Mekanisme Koping Lansia dalam Menghadapi Stres di Graha Residen Senior Karya Kasih Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Konsep Lansia
2.1.1. Definisi dan Klasifikasi Lansia
Usia lanjut atau biasa dikenal dengan lansia merupakan tahap akhir
perkembangan pada daur kehidupan manusia. Menurut UU RI no. 13
tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia, lanjut usia (lansia) adalah
seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Menurut Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), lanjut usia meliputi:1. Usia pertengahan (middle
age), ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun; 2. Lanjut usia (elderly) =
antara 60 dan 74 tahun; 3. Lanjut usia tua (old) = antara 75 dan 90 tahun;
4. Usia sangat tua (very old) = di atas 90 tahun.
Sedangkan, klasifikasi lansia menurut Depkes RI (2003 dalam
Maryam dkk, 2008), yaitu sebagai berikut: 1. Pralansia, merupakan
seseorang yang berusia 45-59 tahun; 2. Lansia, yaitu seseorang yang
berusia 60 tahun atau lebih; 3. Lansia resiko tinggi, yaitu seseorang yang
berusia 60 tahun atau lebih yang memiliki masalah kesehatan; 4. Lansia
potensial, yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau
kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan jasa; 5. Lansia yang tidak

potensial, merupakan lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga
hidupnya bergantung pada orang lain.
2.1.2. Teori Proses Menua
Proses menua bersifat individual, dimana terjadi pada individu
dengan usia berbeda. Adapun teori proses menua, yaitu sebagai berikut:
6
Universitas Sumatera Utara

7

A. Teori Biologi
Teori biologi yaitu meliputi:
a. Teori Genetik
Teori ini merupakan teori yang menjelaskan bahwa didalam
tubuh terdapat jam biologis yang mengatur gen dan menetukan
proses penuaan. Teori ini menyatakan bahwa menua itu telah
terprogram secara genetik untuk spesies tertentu. Setiap spesies
didalam inti selnya memiliki suatu jam genetik/jam biologis sendiri
terkait dengan frekuensi mitosis. Menua terjadi sebagai akibat dari
perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul DNA

dan setiap sel akan mengalami mutasi (Maryam dkk, 2008).
b. Teori rantai silang (cross link theory)
Teori ini menjelaskan bahwa menua disebabkan oleh sel-sel
lemak, protein, karbohidrat, dan asam nukleat (molekul kolagen)
yang sudah tua dan bereaksi dengan zat kimia dan radiasi,
mengubah fungsi jaringan yang menyebabkan perubahan pada
membran plasma. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya jaringan
yang kaku, kurang elastis, dan hilangnya fungsi sel pada proses
menua (Maryam dkk, 2008).
c. Teori radikal bebas (free radical theory)
Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas dan di dalam
tubuh karena adanya proses metabolisme atau proses pernapasan di
dalam mitokondria. Radikal bebas merupakan suatu atom atau

Universitas Sumatera Utara

8

molekul yang tidak stabil karena mempunyai elektron yang tidak
berpasangan sehingga sangat reaktif mengikat atom atau molekul

lain yang menimbulkan berbagai kerusakan atau perubahan dalam
tubuh.

Tidak

mengakibatkan

stabilnya

radikal

bebas

(kelompok

oksidasi

oksigen

bahan


organik,

atom)

misalnya

karbohidrat dan protein.Radikal bebas ini menyebabkan sel tidak
dapat melakukan regenerasi. Radikal bebas yang terdapat
dilingkungan, yaitu:1. Asap kendaraan bermotor; 2. Asap rokok; 3.
Zat pengawet makanan; 4. Radiasi; 5. Sinar ultraviolet yang
mengakibatkan terjadinya perubahan pigmen dan kolagen pada
proses menua.
d. Teori imunologi
Pada proses metabolisme tubuh, diproduksi suatu zat
khusus. Zat tersebut tidak dapat ditahan oleh jaringan tubuh
tertentu sehingga menjadi lemah.Sistem imun menjadi kurang
efektif dalam mempertahankan diri, regulasi dan responsibilitas
(Maryam dkk, 2008).
e. Teori fisiologis

Teori ini merupakan teori intrinsik dan ekstrinsik. Terdiri
atas teori oksidasi stres, dan teori pemakaian dan perusakan(wear
and tear theory). Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel
tubuh lelah terpakai, dimana regenerasi jaringan tidak dapat
mempertahankan kestabilan lingkungan internal.

Universitas Sumatera Utara

9

B. Teori Psikososial dan Sosiokultural
Proses penuaan terjadi secara alamiah seiring dengan penambahan
usia. Perubahan psikologis yang terjadi dapat berhubungan dengan
keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Adapun yang
termasuk dalam teori ini yaitu:
a. Teori intregitas ego
Teori ini mengidentifikasi tugas-tugas yang harus dicapai
dalam tiap tahap perkembangan.Tugas perkembangan terakhir
merefleksikan kehidupan seseorang dan pencapaiannya.Hasil akhir
dari penyelesaian konflik antara intregitas ego dan keputusasaan

adalah kebebasan.
b. Teori stabilitas personal
Kepribadian seseorang terbentuk pada masa kanak-kanak dan
tetap bertahan secara stabil. Perubahan yang radikal pada usia tua bisa
jadi mengindikasikan penyakit otak (Padila,2014).
c. Teori pembebasan/penarikan diri (disangagement theory)
Teori ini membahas putusnya pergaulan atau hubungan dengan.
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang
berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau
menarik diri dari pergaulan sekitarnya maupun peran sebelumnya.
Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik
secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering lanjut usia
mengalami kehilangan ganda (triple loss), meliputi: 1. kehilangan

Universitas Sumatera Utara

10

peran (loss of role); 2. hambatan kontak sosial (restriction of contact
and relationship); 3.berkurangnya komitmen (reduced commitment to

social mores and values.
Menurut teori ini, seorang lanjut usia dinyatakan mengalami
proses menua yang berhasil apabila ia menarik diri dari kegiatan
terdahulu dan dapat memusatkan diri pada persoalan pribadi dan
mempersiapkan diri menghadapi kematiannya (Cummings & Henry
1961 dalam Potter & Perry, 2010).
d. Teori aktivitas atau kegiatan
Teori ini menyatakan bahwa kesinambungan aktivitas yang
dilakukan selama usia paruh baya akan mempengaruhi keberhasilan
proses penuaan. Teori ini menyatakan bahwa lanjut usia yang sukses
adalah mereka yang aktif dan banyak ikut serta dalam kegiatan
sosial.Lanjut usia akan merasakan kepuasan bila dapat melakukan
aktivitas dan mempertahankan aktivitas tersebut selama mungkin.
Kualitas aktifitas menjadi hal yang lebih penting dibandingkan
kuantitas aktifitas yang dilakukan (Padila, 2014).
e. Teori kontinuitas atau perkembangan (continuity theory)
Menurut Neugarten (1964 dalam Potter & Perry, 2010),
menyatakan bahwa seiring penuaan, kepribadian akan tetap sama dan
perilaku menjadi lebih mudah diramalkan. Kepribadian dan perilaku
yang dibangun selama hidup akan menentukan tingkat hubungan dan

aktivitas pada masa lansia. Perubahan yang terjadi pada seorang lanjut

Universitas Sumatera Utara

11

usia sangat dipengaruhi oleh tipe personalitas yang dimilikinya.
Pengalaman hidup seseorang suatu saat merupakan gambarannya kelak
pada saat ia menjadi lanjut usia. Hal ini dapat dilihat dari gaya hidup,
perilaku, dan harapan seseorang ternyata tidak berubah, walaupun ia
telah lanjut usia.
C. Teori Konsekuensi Fungsional
Teori ini mengatakan tentang konsekuensi fungsional usia lanjut yang
berhubungan dengan perubahan-perubahan karena usia dan faktor risiko
tambahan. Intervensi menjadi hal yang dibutuhkan, dimana dengan adanya
intervensi membuat konsekuensi fungsional menjadi positif (Padila, 2014).

2.1.3. Perubahan yang Dialami Lansia
Menurut Potter & Perry(2010), perubahan yang dialami lansia
dapat meliputi:

A.

Perubahan Fisiologis
Perubahan fisiologis adalah perubahan secara fisik. Perubahan

tersebut terdiri dari:
a. Sistem Integumen
Seiring dengan proses penuaan, kulit akan kehilangan elastisitas
dan kelembabannya. Lapisan epitel menipis, serat kolagen elastis juga
mengecil dan menjadi kaku. Kerutan di wajah dan leher memperlihatkan
pola aktivitas otot dan ekspresi wajah sepanjang usia hidup, tariakn
gravitasi dan penurunan elastisitas. Pada kulit terdapat bintik dengan

Universitas Sumatera Utara

12

bentuk yang tidak teratur (ireguler), halus dan berwarna cokelat (lentigo
senilis) dan lesi seborrheicatau keratosis dalam bentuk ireguler, bulat,
cokelat dan berair.

b. Sistem Respirasi
Setelah usia 55 tahun, kekuatan otot respirasi mulai berkurang
(Beers, 2000 dalam Natsir & Muhith, 2011). Perubahan tulang belakang
menyebabkan ekspansi paru berkurang. Perubahan yang umum ditemukan
pada lansia yaitu penurunan refleks batuk, penurunan kapasitas vital paru
karena pelebaran diameter dada antero-posterior, peningkatan kekakuan
dinding dada, peningkatan infeksi saluran napas.
c. Sistem Kardiovaskular
Penurunan

kekuatan

kontraksi

miokardium

menyebabkan

penurunan curah jantung (cardiac output).Penurunan menjadi lebih berat
jika lansia mengalami kegelisahan, iritabilitas, penyakit, atau kesulitan

beraktivitas.Hipertensi adalah masalah yang sering ditemukan pada lansia
yang nantinya dapat menjadi risiko gagal jantung, gagal ginjal, penyakit
jantung coroner, dan penyakit vaskular perifer. Denyut nadi perifer lansia
akan lebih lemah pada ekstremitas bawah, sehingga lansia terkadang
mengeluh kakinya terasa dingin, terutama pada malam hari.
d. Sistem Gastrointestinal dan Abdomen
Penuaan mengakibatkan peningkatan jaringan lemak di tubuh,
menurunnya tonus otot dan elastisitas, sehingga terjadi penambahan
ukuran abdomen menjadi lebih menonjol.Perubahan fungsi gastrointestinal

Universitas Sumatera Utara

13

meliputi

perlambatan

peristaltik

dan

perubahan

sekresi,

yang

mengakibatkan lansia mengalami intoleransi pada makanan tertentu dan
gangguan akibat pengosongan lambung yang lambat.Perubahan pada
saluran gastrointestinal bawah menyebabkan konstipasi, distensi lambung
dan intestinal karena gas (flatulens), atau diare.
d. Sistem Reproduksi
Perubahan

sistem

reproduksi

disebabkan

oleh

perubahan

hormonal.Wanita umumnya mengalami penurunan produksi estrogen,
degenerasi ovarium, atrofi vagina, uterus dan payudara. Menopause
berhubungan dengan menurunnya respon ovarium terhadap hormon
hipofise dan kadar estrogen dan progesteron. Pria tidak mengalami
terhentinya fertilitas akibat penuaan yang mutlak, tetapi mengalami
penurunan jumlah sperma, tentis mengecil, ereksi berkurang atau
melambat.Penurunan aktivitas seksual biasanya disebabkan oleh penyakit,
kematian pasangan seksual, berkurangnya sosialisasi, atau hilangnya minat
seksual.
e. Sistem Muskuloskeletal
Seiring penuaan, serat otot mengecil sehingga massa otot, kekuatan
otot adan massa tulang juga akan berkurang. Wanita pascamenopause
mengalami demineralisasi tulang yang lebih besar dibandingkan pria
lansia.Wanita

yang

mempertahankan

kehidupannya

memiliki

demineralisasi

asupan
tulang

kalsium
lebih

selama

rendah

dan

Universitas Sumatera Utara

14

sebaliknya.Pria lansia dengan gizi yang buruk dan penurunan mobilitas
juga berisiko mengalami demineralisasi tulang.
g. Sistem Perkemihan
Hipertrofi kelenjar prostat terkadang timbul pada pria lansia.
Pembesaran prostat tersebut akan menekan leher kandung kemih, sehingga
terjadi retensi urin, frekuensi, inkontinensia, dan infeksi saluran kemih.
Wanita lansia terutama yang telah memliki anak, biasanya mengalami
inkontinensia stres, yaitu pengeluaran urin involunter ysng terjadi ketika
batuk, bersin atau mengangkat benda.Hal ini terjadi karena melemahnya
otot perineum dan kandung kemih. Faktor resiko inkontinesia urin adalah
usia, menopause, diabetes, histerektomi, stroke, dan obesitas.
h. Sistem Neurologis
Pada pertengahan dekade kedua, terjadi penurunan jumlah dan
ukuran neuron pada sistem saraf, sehingga fungsi neurotransmiter
berkurang.Refleks volunter menjadi lebih lambat dan individu kurang
mampu merespons stimulus multipel.Lansia juga sering melaporkan
perubahan kualitas dan kuantitas tidur.Keluhan meliputi kesulitan tidur,
kesulitan untuk tetap terjaga, kesulitan untuk kembali tidur setelah
terbangun di malam hari, terjaga terlalu cepat, dan tidur siang yang
berlebihan.Fungsi sensori baik itu penglihatan, pendengaran, pengecapan,
penghidung, maupun sentuhan sudah mengalami penurunan.
B.

Perubahan Fungsional

Universitas Sumatera Utara

15

Fungsi pada lansia meliputi bidang fisik, psikososial, kognitif, dan
sosial. Penurunan fungsi yang terjadi pada lansia biasanya berhubungan
dengan tingkat keparahannya.

Faktor tersebut akan mempengaruhi

kemampuan fungsional dan kesejahteraan seorang lansia. Lansia merasa
sulit untuk menerima perubahan yang terjadi pada seluruh aspek
kehidupannya, ada yang menyangkal dan terus mengharapkan penampilan
yang sama tanpa mempedulikan usianya. Sebaliknya, beberapa lansia
melebih-lebihkan kondisi dan membatasi kegiatannya.Lansia merasa takut
dengan adanya penurunan fungsi.
Status fungsional lansia biasanya merujuk pada kemampuan dan
perilaku yang aman dalam aktivitas harian (ADL).Perubahan yang
mendadak dalam ADL merupakan tanda penyakit akut atau perburukan
masalah kronis dengan perubahan fungsi (Kresevic dan Mezey,
2003).Contoh penyakit akut dengan gejala perubahan fungsi yaitu
pneumonia, infeksi saluran kemih, dehidrasi, gangguan elektrolit dan
delirium.Diabetes, penyakit kardiovaskular, atau penyakit paru-paru kronis
merupakan contoh penyakit kronis dengan perubahan fungsi.
C.

Perubahan Kognitif
Beberapa perubahan struktur dan fisiologis otak yang dihubungkan

dengan gangguan kognitif (penurunan jumlah sel, deposisi lipofusin dan
amiloid pada sel dan perubahan kadar neurotransmiter) terjadi pada lansia
yang mengalami gangguan kognitif maupun tidak. Tiga kondisi utama
yang mempengaruhi kognisi lansia, yaitu :

Universitas Sumatera Utara

16

a. Delirium
Delirium atau keadaan bingung akut adalah gangguan kognitif
yang

reversibel

dan

biasanya

disebabkan

oleh

faktor

fisiologis.Penyebabnya yaitu gangguan elektrolit, anoksia serebral,
hipoglikemia, pengobatan, efek obat, tumor, hematoma subdural, infeksi
serebrovaskular, infark, ataupun perdarahan serebrovaskular.Delirium juga
dapat disebabkan oleh faktor lingkungan, seperti defisit sensorik,
lingkungan yang asing, atau faktor psikososial seperti stres emosional dan
nyeri.
b. Demensia
Demensia merupakan

gangguan intelektual yang menghambat

fungsi kerja dan sosial. Perubahan kognitif akan menurunkan kemampuan
lansia untuk melakukan kegiatan harian. Demensia merupakan disfungsi
serebral yang tidak reversibel dan bersifat progresif perlahan. Bolla dan
Fille (2000) mendeskripsikan empat jenis demensia, yaitu penyakit
Alzheimer (50%), penyakit Lewi Body (DLBD) (15 %), demensia frontaltemporal (15%), dan demensia vaskular (10 %). Penyebab lain seperti
infeksi atau trauma masuk 10 % kasus lainnya.
c. Depresi
Lansia dapat mengalami depresi pada penghujung kehidupannya.
Prevalensinya berkisar antara 10-15 % pada lansia di komunitas, 11-45 %
pada lansia yang membutuhkan rawat inap, dan sampai 50 % pada residen
panti jompo (Flaherty et.al.,2003). Lansia dengan demensia biasanya juga

Universitas Sumatera Utara

17

mengalami depresi. Stres pada lansia dan keluarganya akan bertambah saat
demensia dan depresi terjadi bersamaan.

D.

Perubahan Psikososial
Perubahan psikososial selama prosses penuaan akan melibatkan

proses transisi kehidupan dan kehilangan. Transisi hidup, yang mayoritas
disusun oleh pengalaman kehilangan, meliputi masa pensiun dan
perubahan keadaan finansial, perubahan peran dan hubungan, perubahan
kesehatan dan kemampuan fungsional, perubahan jaringan sosial, dan
relokasi. Kehilangan yang umum bagi lansia biasanya berkisar pada
kehilangan suatu hubungan akibat proses kematian.

2.2.

Konsep Stres
2.2.1. Definisi Stres
Stres adalah suatu reaksi fisik dan psikis terhadap setiap
tuntutan yang menyebabkan ketegangan dan mengganggu stabilitas
kehidupan sehari-hari (Hidayat, 2009).Stres merupakan suatu reaksi
tertentu yang muncul dapat disebabkan oleh berbagai tuntutan, misalnya
ketika manusia menghadapi tantangan-tantangan (challenge) yang penting,
ketika dihadapkan pada ancaman (threat), atau ketika harus berusaha
mengatasi harapan-harapan yang tidak realistis dari lingkungannya (Nasir
& Muhith, 2011).

Universitas Sumatera Utara

18

2.2.2. Jenis Stres
Nasir & Muhith (2011) membagi stres menjadi dua, yaitu eustres
dan distres.

a. Eustres
Eustres merupakan stres yang baik dan positif. Stres yang baik
akan memberikan kesempatan untuk berkembang dan memaksa seseorang
mencapai peforma yang lebih tinggi. Stres yang baik terjadi jika setiap
stimulus mempunyai arti sebagai hal yang memberikan pelajaran dan
bukan sebuah tekanan.Menurut Hans Selye (dalam Hidayat, 2009), eustres
adalah respon stres ringan yang menimbulkan rasa bahagia, senang dan
menantang, misalnya lulus dari ujian atau kondisi menghadapi pernikahan.
b. Distres
Distres adalah stres yang bersifat negatif atau buruk. Distres
dihasilkan dari sebuah proses yang memaknai sesuatu yang buruk, respon
yang negatif dan terdapat indikasi mengganggu integritas diri sehingga
dapat diartikan

sebagai ancaman. Distres dapat dipicu oleh sebuah

tuntutan atau harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan yang
dihadapi.Distres dimaknai sebagai sebuah reaksi tubuh yang menyebabkan
fungsi organ tubuh terganggu (Hawari 2001 dalam Nasir & Muhith, 2011).
2.2.3. Sumber Stres
Menurut Nasir & Muhith (2011), sumber-sumber stres yang biasa
terjadi dalam kehidupan adalah sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara

19

a. Individu
Sumber stres dari dalam individu itu sendiri berkaitan dengan
dengan adanya konflik. Konflik yang terjadi yaitu terdapat perbedaan
antara keinginan dengan kenyataan, dan biasanya individu harus
menentukan pilihan yang sama pentingnya, sehingga permasalahan yang
dialami tidak mampu diatasi, misalnya melalui penyakit yang diderita dan
penilaian suatu motivasi.
b. Keluarga
Stres yang bersumber dari keluarga dapat berupa adanya masalah
atau perselisihan dengan anggota keluarga lainnya, masalah keuangan,
inconsiderate behavior, atau tujuan yang bertolak belakang.Ada tiga hal
yang paling sering terjadi sebagai stresor dalam keluarga, yaitu
bertambahnya anggota keluarga, perceraian dan adanya anggota keluarga
yang sakit, cacat atau meninggal.
c. Komunitas dan lingkungan
Sumber stres ini dapat terjadi di komunitas masyarakat dan
lingkungan seperti lingkungan pekerjaan.Stres yang dialami individu yang
berkerja di lingkungan yang dapat berkembang lebih sedikit dibandingkan
di lingkungan yang sulit berkembang. Beberapa aspek dari pekerjaan yang
dapat meningkatkan stres pekerja yaitu lingkungan kerja, reliabilitas
peralatan kerja, hubungan interpersonal yang buruk, kurang pengakuan
atas kinerja yang baik dan tidak ada kemajuan dalam pekerjaan serta
kehilangan pekerjaan akibat dipecat atau pensiun.

Universitas Sumatera Utara

20

2.2.4. Faktor Presipitasi Stres
Beberapa faktor yang dianggap sebagai pemicu timbulnya stres
(stresor) antara lain sebagai berikut ( Nasir& Muhith, 2011).
A. Faktor Fisik dan Biologis
Adapun yang termasuk dalam faktor fisik dan biologis, yaitu:
a. Genetika
Kehamilan mempunyai kemungkinan kerentanan stres pada anak
yang dilahirkan, seperti ibu hamil yang perokok, alkoholik dan
penggunaan obat-obatan yang yang dilarang pada masa kehamilan, seperti:
aspirin dan jenis obat-obatan analgetik.
b. Case History
Riwayat penyakit di masa lalu yang mempunyai efek psikologis di
masa depan. Penyakit tersebut dapat berupa penyakit di masa kecil, seperti
demam tinggi yang memengaruhi kerusakan gendang telinga, kecelakaan
yang mengakibatkan kehilangan organ atau bagian tubuh, patah tulang dan
sebagainya.
c. Pengalaman Hidup
Hal ini mencakup pengalaman hidup serta case history yang terjadi
pada individu dan memengaruhi perasaan individu.Remaja yang
mengalami pengalaman hidup seperti keterlambatan pertumbuhan pada
masa pubertas memengaruhi rasa percaya diri.
d. Tidur

Universitas Sumatera Utara

21

Istirahat yang cukup akan memberikan energi. Kebutuhan tidur
akan memengaruhi konsentrasi, semangat dan gairah dalam melakukan
aktivitas, seperti pekerjaan. Penderita insomnia mempunyai kerentanan
terhadap stres yang lebih berat.
e. Diet
Diet yang berlebihan dapat mengakibatkan stres berat dan
memungkinkan

terjadi

sindrom

anoreksia.Penderita obesitas

yang

melakukan diet ketat berlebihan mempunyai risiko kematian yang tinggi.
f. Postur Tubuh
Individu yang memiliki kelainan bentuk tubuh, cacat bawaan, dan
penggunaan steroid dapat memicu terjadinya stres.Postur tubuh yang tidak
sesuai dengan keinginan dapat menjadi stresor bagi beberapa individu.
g. Penyakit
Penyakit anemia dapat membuat individu cepat merasa lelah
sehingga dapat menimbulkan stres karena individu kurang dapat bekerja
secara maksimal, begitu juga dengan penyakit lainnya.

B. Faktor Psikologis
Adapun yang termasuk dalam faktor psikologis, yaitu:
a. Persepsi
Persepsi individu memengaruhi reaksi individu terhadap stres. Hal
tersebut bergantung pada hal-hal sebagai berikut: 1) Kontrol terhadap
stres; 2) Stres yang dapat diprediksi; 3) Kemampuan melawan batas.

Universitas Sumatera Utara

22

b. Emosi
Perbedaan kemampuan untuk mengenal dan membedakan setiap
perasaan emosi sangat berpengaruh terhadap stres.Stres dan emosi
mempunyai ikatan yang saling memengaruhi, seperti kecemasan, rasa
bersalah, khawatir, ekspresi marah, rasa takut, sedih dan cemburu.
c. Situasi psikologis
Situasi yang memengaruhi berupa konflik, frustasi, serta situasi
atau kondisi tertentu yang memengaruhi penilaian yang memberikan
ancaman bagi individu, misalnya tingkat kejahatan yang semakin
meningkat akan memberikan rasa kecemasan atau stres.
d. Pengalaman Hidup
Pengalaman

hidup

merupakan

keseluruhan

kejadian

yang

memberikan pengaruh psikologis yang memungkinkan muncul stres bagi
individu, berupa perubahan hidup, masa transisi (life passages) dan krisis
kehidupan.
C. Faktor Lingkungan
Lingkungan dapat memengaruhi stres pada individu, seperti:
a. Lingkungan Fisik
Kondisi atau kejadian yang dapat memicu stres yaitu bencana alam
(disaster syndrome), seperti gempa bumi, topan, badai, kondisi cuaca
(terlalu panas/dingin), kondisi lingkungan yang padat (over crowded),
kemacetan, lingkungan yang kotor dan sebagainya.
b. Lingkungan Biotik

Universitas Sumatera Utara

23

Gangguan berasal dari virus atau bakteri, misalnya penderita alergi
dapat menjadi stres bila lingkungan memicu alergi bila berada di
dalamnya.
c. Lingkungan Sosial
Hubungan yang buruk dengan orang lain akan menjadi stresor bagi
individu jika tidak dapat memperbaiki hubungannya.

2.2.5. Respon Stres
Taylor (1991, dalam Nasir & Muhith, 2011), menyatakan bahwa
stres dapat menghasilkan berbagai respon, yang dapat dilihat dalam
berbagai aspek sebagai berikut:
a. Respon Fisiologis, dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah,
detak jantung, nadi dan sistem pernapasan.
b. Respon Kognitif, dapat dilihat melalui terganggunya proses kognitif
individu, seperti pikiran yang kacau, menurunnya daya konsentrasi,
pikiran berulang dan pikiran yang tidak wajar.
c. Respon Emosi, dapat muncul menjadi sangat luas, menyangkut emosi
yang mungkin dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah dan
sebagainya.
d. Respon Tingkah Laku, dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi
yang menekan dan flight yaitu menghindari situasi yang menekan.
Nasir & Muhith (2011), menyebutkan dalam stres terdapat respon
sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

24

a. Adaptasi Fisiologis
Indikator fiologis dari stres bersifat objektif, tetapi hal ini tidak
selalu teramati sepanjang waktu pada individu yang mengalami
stres.Berikut ini adalah indikator dari stres fisiologis, yaitu kenaikan
tekanan darah, peningkatan ketegangan di leher, bahu dan punggung,
peningkatan denyut nadi dan frekuensi pernapasan, telapak tangan
berkeringat, tangan dan kaki dingin, postur tubuh yang tidak tegap,
keletihan, sakit kepala, gangguan lambung, suara yang bernada tinggi,
mual, muntah dan diare, perubahan nafsu makan, perubahan berat badan,
perubahan frekuensi berkemih, dilatasi pupil dan gelisah, kesulitan untuk
tidur, atau sering terbangun saat tidur.
b. Adaptasi Psikologis
Emosi dapat dikaji secara langsung atau tidak langsung dengan
mengamati perilaku individu. Indikator dari stres psikologis, yaitu
ansietas, depresi, kepenatan, perubahan dalam kebiasaan makan, tidur, dan
pola aktivitas, kelelahan mental, perasaan tidak adekuat, kehilangan harga
diri, peningkatan kepekaan, kehilangan motivasi, ledakan emosional dan
menangis, penurunan produktivitas dan kualitas kinerja pekerjaan,
kecenderungan untuk membuat kesalahan (misalnya penilaian buruk),
mudah lupa dan pikiran buntu, kehilangan perhatian terhadap hal-hal yang
rinci, preokupasi (misalnya mimpi siang hari), ketidakmampuan
berkonsentrasi pada tugas, peningkatan ketidakhadiran dan penyakit,
letargi, kehilangan minat dan rentan terhadap kecelakaan.

Universitas Sumatera Utara

25

c. Adaptasi Perkembangan
Stres yang berkepanjangan dapat memengaruhi kemampuan untuk
menyelesaikan tugas perkembangan dan dapat mengarah pada krisis
pendewasaan.Seseorang

biasanya menghadapi

tugas

perkembangan

dengan menunjukkan karakteristik dari tahap perkembangan, misalnya
bayi yang diasuh dalam lingkungan yang responsif dan empati mampu
mengembangkan harga diri yang sehat dan belajar respon koping adaptif
yang sehat.

2.2.6. Stres pada Lansia
Lansia mengalami berbagai perubahan, seperti perubahan fisik,
kognitif dan psikososial.Hal tersebut dapat memicu terjadinya stres.Lansia
dapat mengalami stres ketika berada di panti wreda.Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Indriana dkk. (2010), menunjukkan bahwa keseluruhan
subyek, yakni 32 orang lansia yang diteliti di panti wreda Pucang
Gading,Semarang, tergolong stres dengan alasan terdapat perubahan dalam
aktivitas sehari-hari, perubahan dalam perkumpulan keluarga, kematian
pasangan atau anggota keluarga, perubahan dalam pilihan maupun
kuantitas olahraga maupun rekreasi serta perubahan dalam status
pekerjaan.Lansia merasa tidak siap terhadap perubahan-perubahan yang
dialami.
Kesepian yang dialami lansia, seperti ditinggal oleh anggota
keluarga maupun kematian pasangan hidup, dapat memengaruhi lansia

Universitas Sumatera Utara

26

untuk stres.Septiningsih dan Na’imah (2012) dalam penelitiannya tentang
kesepian lansia, menyebutkan bahwa lansia yang tinggal di panti wreda
mengalami kesepian, baik itu secara emosional, situasional maupun
sosial.Lansia tersebut mampu beradaptasi terhadap respon stres karena
kesepian, dimana hasil koping yang ditunjukkan bersifat positif.
Kondisi stres juga dapat memperburuk kondisi kesehatan.Hal
tersebut sesuai dengan penelitian Sulastri (2015) dalam penelitiannya
tentang hubungan antara stres dan riwayat kontrol dengan kekambuhan
hipertensi pada lansia, dimana semakin tinggi tingkat stres responden
makasemakin sering tingkat kekambuhannya. Satu dari 23 orang lansia
dengan tingkat stres ringan, mengalami kekambuhan penyakit hipertensi ,
sedangkan pada tingkat stres sedang terdapat 36 dari 41 orang lansia yang
mengalami kekambuhan.
Stres yang dialami lansia yang tinggal di panti wreda dapat
mempengaruhi hubungan sosial lansia.Hal tersebut sesuai didukung
dengan penelitian Wreksoatmodjo (2013), bahwa social engagement
(hubungan sosial) lansia yang tinggal di panti wreda lebih buruk
dibandingkan dengan yang tinggal bersama keluarga. Persentase
karakteristik social engagement lansia di panti wreda yaitu 89,5 % buruk
dan 10,5 % baik, sedangkan lansia yang tinggal dengan keluarga yaitu
16,2 % buruk dan 83,8 % baik.

Universitas Sumatera Utara

27

2.3.

Konsep Koping
2.3.1. Definisi Koping
Menurut Lazarus (1985, dalam Nasir & Muhith, 2011), koping
adalah perubahan kognitif dan perilaku secara konstan dalam upaya
mengatasi tuntutan internal dan atau eksternal khusus yang melelahkan
atau melebihi sumber individu. Mekanisme koping adalah cara dalam
menyelesaikan masalah, mengatasi perubahan yang terjadi dan situasi
yang mengancam, baik secara kognitif maupun perilaku (Nasir & Muhith,
2011).
Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan koping yang efektif
adalah koping yang

untuk membantu seseorang menoleransi dan

menerima situasi menekan, serta tidak merisaukan tekanan yang tidak
dapat dikuasai.

2.3.2. Jenis-Jenis Koping
Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi
dua, yaitu mekanisme koping adaptif dan maladaptif (Nasir & Muhith,
2011).
A. Mekanisme Koping Adaptif
Mekanisme

koping

adaptif

merupakan

mekanisme

yang

mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan.
Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain, memcahkan masalah
secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif.

Universitas Sumatera Utara

28

Menurut Bell (1977 dalam Rasmun, 2009), metode koping ini
sama halnya dengan metode koping jangka panjang, dimana merupakan
cara yang konstruktif dan efektif dalam menangani masalah psikologis
dalam jangka waktu yang lama. Contohnya yaitu:
a. Berbicara dengan orang lain atau “curhat” (curah pendapat dari hati ke
hati) dengan teman, keluarga atau profesi tentang masalah yang dihadapi.
b. Mencoba mencari informasi lebih banyak tentang masalah yang sedang
dihadapi.
c. Menghubungkan situasi atau masalah yang sedang dihadapi dengan
kekuatan supra natural.
d. Melakukan latihan fisik untuk mengurangi ketegangan/masalah.
e. Membuat berbagai alternatif tindakan untuk mengurangi situasi.
f. Mengambil pelajaran dari peristiwa atau pengalaman masa lalu.
Nasir & Muhith (2011) menyebutkan bahwa mekanisme koping ini
merupakan gaya koping yang positif dan mampu mendukung intregitas
ego, yang terdiri dari:
a. Problem Solving
Problem solving merupakan sebuah usaha untuk memecahkan
masalah. Pemecahan masalah ini digunakan sebagai cara untuk
menghindari tekanan atau beban psikologis akibat adanya stresor yang
masuk dalam diri individu.
b. Utilizing Sosial Support

Universitas Sumatera Utara

29

Utilizing Sosial Support merupakan upaya tindak lanjut dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi ketika masalah belum terselesaikan.
Individu yang tidak mampu menyelesaikan masalahnya, seharusnya
mencari dukungan dari orang lain yang dapat dipercaya dan mampu
memberikan bantuan dalam bentuk masukan dan saran. Semakin banyak
dukungan, maka semakin efektif upaya penyelesaian masalah.
c. Looking For Silver Lining
Kepelikan masalah yang dihadapi terkadang akan membawa
kebuntuan dalam upaya menyelesaikan masalah. Sesulit dan sepelik apa
pun masalah yang dihadapi, setidaknya manusia harus tetap berpikir
positif dan mengambil hikmah dari masalah tersebut. Individu diharapkan
mau menerima kenyataan ini sebagai sebuah ujian dan cobaan yang harus
dihadapi tanpa menurunkan semangat dan motivasi untuk selalu berusaha
menyelesaikan masalh.Tidak ada seorang pun yang terbebas dari masalah,
karena dengan masalah manusia berpikir, bertindak dan berperilaku.
B. Mekanisme Koping Maladaptif
Mekanisme koping maladaptif adalah mekanisme koping yang
menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan
otonomi, dan cenderung menguasai lingkungan.
Menurut Bell (1977 dalam Rasmun, 2009), metode koping ini
sama halnya dengan metode koping jangka pendek, yang merupakan cara
yang digunakan untuk mengurangi stres/ketegangan psikologis dan cukup
efektif untuk sementara, tetapi tidak efektif dalam jangka panjang,

Universitas Sumatera Utara

30

contohnya adalah: 1. menggunakan alkohol atau obat-obatan; 2. melamun
dan fantasi; 3. mencoba melihat aspek humor dari situasi yang tidak
menyenangkan; 4. tidak ragu, dan merasa yakin bahwa semua akan stabil;
5. banyak tidur; 6. banyak merokok; 7. menangis; 8. beralih pada aktifitas
lain agar dapat melupakan masalah.
Nasir & Muhith (2011) menyebutkan bahwa mekanisme koping ini
merupakan gaya koping negatif, yang akan menurunkan integritas ego,
merusak dan merugikan diri sendiri. Terdiri dari :
a. Avoidance
Avoidancemerupakan bentuk dari proses internalisasi terhadap suatu
pemecahan masalah ke dalam alam bawah sadar dengan menghilangkan
atau membebaskan diri dari suatu tekanan mental akibat masalah yang
dihadapi. Individu akan berusaha menghindari atau lari dari masalah.
Bentuk pelarian diri dapat berupa makan, minum, merokok, atau
menggunakan obat-obatan dengan tujuan menghilangkan masalah untuk
sesaat dan tidak menyelesaikan masalah.
b. Self-blame
Self-blamemerupakan bentuk ketidakberdayaan atas masalah yang
dihadapi dengan menyalahkan diri tanpa evaluasi diri yang optimal,
sehingga menekan kreativitas dan ide yang berdampak pada penarikan diri
dari struktur sosial.
c. Wishfull Thinking

Universitas Sumatera Utara

31

Penentuan standar yang terlalu tinggi membuat seseorang terbuai
dalam khayalan dan impian tanpa kehadiran fakta yang nyata.Kegagalan
dalam mencapai tujuan yang diinginkan mengakibatkan kesedihan yang
mendalam.Hal tersebut merupakan bentuk dari berduka difungsional dan
dapat membuat seseorang mengalami gangguan jiwa.

Menurut Lazarus dan Folkman (1984, dalam Nasir & Muhith,
2011), dalam melakukan koping, ada dua strategi yang dapat dilakukan,
yaitu:
A. Koping yang berfokus pada masalah (problem focused coping)
Problem focused coping adalah usaha mengatasi stres dengan cara
mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan
sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan. Problem focused coping
ditujukan dengan mengurangi demands (keinginan) dari situasi yang
penuh dengan stres atau memperluas sumber untuk mengatasinya. Strategi
yang dipakai adalah sebagai berikut:
a. Confrontative coping : usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap
menekan secara agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi, dan
pengambilan risiko.
b. Seeking social support : usaha untuk mendapatkan kenyamanan
emosional dan bantuan informasi dari orang lain.
c. Planful problem solving : usaha untuk mengubah keadaan yang
dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap dan analitis.

Universitas Sumatera Utara

32

B. Emotion Focused Coping
Emotion Focused Coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara
mengatur respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan
dampak yang akan timbul dari suatu kondisi atau situasi yang dianggap
penuh tekanan. Emotion Focused Coping ditujukan untuk mengontrol
respon emosional terhadap situasi stres melalui pendekatan perilaku dan
kognitif. Strategi yang digunakan antara lain sebagai berikut:
a. Self-control : usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi
yang menekan.
b. Distancing : usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti
menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi sesuatu atau
menciptakan pandangan yang positif.
c. Positive reappraisal : usaha mencari makna positif dari permasalahan
dengan berfokus pada pengembangan diri, biasanya melibatkan hal-hal
yang bersifat religius.
d. Accepting responsibility : usaha untuk menyadari tanggung jawab dari
permasalahan yang dihadapi dan mencoba menerima untuk membuat
menjadi lebih baik.
e. Escape/avoidance : usaha untuk mengatasi situasi yang menekan
dengan lari dari situasi atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain
seperti makan, minum, merokok atau menggunakan obat-obatan.

Universitas Sumatera Utara

33

2.3.3. Pengukuran Koping
Skala pengukuran koping dapat memggunakan The Revised Ways
of Coping Checklist dan BriefCOPEscale.The Revised Ways of Coping
Checklist adalah sebuah skala yang telah direvisi dariWays of Coping
Checklist yang dikembangkan oleh Folkman dan Lazarus pada tahun1980.
Skala ini terdiri dari 66 item pernyataan, dengan pilihan jawaban 0= not
used, 1= used somewhat, 2= used quite a bit, 3= used a great deal. Skala
tersebut menilai strategi koping yang digunakan untuk mengatasi situasi
stres, seperti koping berfokus masalah dan koping berfokus emosi. Koping
berfokus pada masalah meliputi confrontative coping,seeking social
supportdanplanful problem solving. Koping berfokus pada emosi meliputi
self-control, distancing, positive reappraisalaccepting responsibilitydan
escape/avoidance.Skala ini digunakan Wardani untuk mengukur koping
lansia, dimana sebagian besar responden menggunakan koping yang
berfokus pada emosi.
BriefCOPEscaledariCarver(dalamDavison&Neale, 2001)

ini,

menyatakanaspek-aspek kemampuan koping terhadap stres,yaitu koping
yang berfokus masalah dan emosi. Koping yang berfokus masalah terdiri
dari

activecoping,

planning,using

instrumentalsupport,

selfdistraction,behavioraldisengagement.Koping yang berfokus emosi
terdiri dari religion,positive refarming,acceptance, humor,using emotional
support, denial,venting, alcohol/druguse, self blame. Skala ini terdiri dari

Universitas Sumatera Utara

34

28 pertanyaan, dengan pilihan jawaban 1= tidak pernah, 2= kadangkadang, 3= sering, 4= selalu.
Brief COPE scaleini digunakan oleh Apriska (2016) dalam
penelitiannya yang berjudul “Hubungan Antara Tingkat Kesepian Dengan
Mekanisme Koping Lansia di Unit Pelayanan Lanjut Usia Wening
Wardoyo Ungaran”. Pengukuran dilakukan dengan keterangan sebagai
berikut:
a. Terdiri dari 14 item, masing-masing item ada 2 pertanyaan, jadi ada 28
pertanyaan untuk kuesioner ini.
b. Untuk menilai mekanisme koping yang digunakan, maka 14 item
digolongkan menjadi 2 yaitu : mekanisme koping positif (active coping,
acceptance, planning, positive reframing, use instrumental support, use
emotional support, humor, dan religion) dan mekanisme koping negatif
(behavioral disengagement, denial, venting, self distraction, self blame,
dan substance use).
c. Untuk mekanisme koping positif ada 8 item, masing-masing item ada 2
pertanyaan, skor tertinggi untuk 1 pertanyaan adalah 4, jadi skor tertinggi
untuk 1 item adalah 8. Jika skor yang diperoleh pasien untuk 1 item adalah
8 (misalnya untuk item active coping skornya 8), maka pasien
menggunakan active coping sebagai mekanisme koping dan digolongkan
dalam mekanisme koping positif.Begitu juga penilaian untuk mekanisme
koping negatif (Carver et al., 1989; Carver, 1997; Kasi et al., 2012).

Universitas Sumatera Utara