Antara Negara Islam dan Komunitas Politi

Tugas akhir MK Pemikiran Islam
21 Juni 2012
Dosen: Dr. Kautsar Azhari Noer

Antara ‘Negara Islam’ dan ‘Komunitas Politik Islam’
Maulida Sri Handayani (02020811)

Pendahuluan
Isu politik dalam “dunia Islam” yang tak pernah sepi dari perdebatan adalah soal
perlu tidaknya Islam dibakukan dalam bentuk negara. Sebagian pihak melihat “hukum
Islam” sebagai pembimbing hidup, sumber etika bagi umat Muslim secara orangperorang atau individual. Sementara sebagian umat lain melihatnya sebagai hukum baku
dalam masyarakat yang harus diformalkan dalam bentuk hukum negara. Permasalahan
ini menjadi kian pelik ketika sudah menjadi tantangan eksistensi suatu negara seperti
Indonesia.
Sejak awal, eksistensi negara ini menjadi wilayah tarik-menarik antara mereka
yang menginginkan suatu konsep negara netral dengan konsep negara yang bercorak
Islam secara formal. Sampai akhirnya terbentuk kompromi yang bertahan sampai hari
ini, di mana negara tidak steril dari agama (Islam), namun berusaha berada di atas
semua agama resmi yang ada. Bahkan dengan bentuk sekompromistis seperti sekarang
pun tetap ada dorongan untuk memformalkan bentuk negara Islam, baik dari jalur
politik elektoral (sistem kepartaian dalam pemilihan umum), maupun dari jalur politik

kultural.
Masalah ini tentu adalah persoalan yang mesti diurai oleh para teoretikus dan
pemikir politik serta pemimpin agama. Untuk kasus Indonesia sendiri, sejak awal
berdiri, agama-agama selain Islam koeksis dan bersama-sama memperjuangkan serta
mendirikan negara ini. Agama selain Islam, bukanlah semata-mata kaum “pendatang”
atau “tamu” seperti halnya kaum Muslim di negara-negara Barat. Satu kelompok ras,
agama, suku, yang ada di Indonesia sama berperannya dengan kelompok lain.
Perbedaannya hanya soal jumlah, apakah ia kelompok mayoritas atau bukan. Sehingga
persoalan formalisme negara Islam bisa menyulut perpecahan bahkan bisa membuat
negara ini bubar.
Sehubungan hal ini, saya akan menyampaikan pendapat dua pemikir politik
Islam. Yang pertama adalah Bahtiar Effendy,pemikir politik UIN Jakarta, yang
menelisik apakah Islam bisa sesuai dengan semangat demokrasi. Yang kedua adalah
pemikir Islam dari Sudan, Abdelwahab El-Affendi, yang menekankan pentingnya
komunitas Islam, namun tidak melihat pendirian negara islam sebagai hal yang perlu
dilakukan. Pada ujungnya, saya juga akan menyampaikan kesimpulan dan pendapat
yang tersintesis dari pendapat kedua ahli tersebut.

1


A. Islam dan Demokrasi, Pandangan Bahtiar Effendy
1.1.

Asumsi Umum: Islam tidak sesuai dengan Demokrasi

Bahtiar Effendy, mengulas hubungan dan kesesuaian antara demokrasi dengan
Islam yang bertolak dari tesis populer yang meletakkan keduanya pada posisi berhadaphadapan. Effendy mencontohkan Francis Fukuyama yang menyebut Islam sebagai salah
satu agama yang tidak berkesesuaian dengan demokrasi. Effendy juga menambahkan
Olivier Roy sebagai penulis lain yang melihat Islam sangat kuat imajinasi politiknya
akan komunitas agama, yang ujungnya meyakini bahwa wilayah agama, hukum, dan
politik sebagai hal yang tidak dapat dipisahkan. Konsekuensinya, bagi Roy, syariah
bukan hanya menjadi tuntunan tingkah laku individual, namun juga sumber hukum
dalam sebuah komunitas politik.1
Dalam uraian selanjutnya, Effendy memperlihatkan bahwa ketidaksesuaian
agama dan demokrasi tidak khas pada Islam saja, namun juga ada dalam dinamika
kelompok agama lain, misalnya pandangan St. Agustinus dan fenomena Kristen Kanan
di Amerika Serikat. Effedy juga berpendapat bahwa anggapan ketidaksesuaian Islam
dan demokrasi salah satunya disebabkan bias bahkan arogansi sementara kalangan Barat
yang mengklaim wilayahnya sebagai heartland of democracy. Dengan kata lain,
demokrasi bagi kalangan ini merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari

dinamika kultural Barat. Oleh karenanya, hanya budaya Barat yang kompatibel dengan
demokrasi.
Secara garis besar, Effendy menampik klaim-klaim di atas. Ia memperlihatkan
bahwa negara-negara non-Eropa Barat dan Amerika Utara juga mengalami proses
demokratisasi yang pesat, misalnya negara-negara Amerika Latin, Afrika, dan Asia.
Perkembangan di antara negara-negara itupun berbeda-beda, sepeti halnya berbeda pula
demokrasi yang berkembang di negara-negara maju seperti Jepang, Israel dan negaranegara Skandinavia. Ia secara umum juga menampik tesis ketidaksesuaian Islam dengan
demokrasi itu, sebab menurutnya tidak semua agama punya hierarki keagamaan atau
bersifat monolitik. Islam termasuk agama yang tidak punya hierarki keagamaan yang
ketat sehingga penafsiran atas suatu hal pun pasti tidak seragam, termasuk dalam hal
politik. Effendy dalam esainya ingin menjawab pertanyaan sejauh mana dan macam apa
Islam berkesesuaian dengan demokrasi?
1.2

Kesamaan Dasar Islam dan Demokrasi

Ernest Gellner, ditulis Effendy, berpendapat bahwa Islam mempunya budayatinggi yang sesuai dengan prinsip demokrasi, yakni individualisme, skripturalisme,
puritanisme, dan egalitarianisme.2 Begitu juga Robert N. Bellah yang berkesimpulan
bahwa pemerintahan Muhammad di Madinah bersifat egaliter dan partisipatif, bahkan
terlalu modern untuk zamannya. Doktrin dan praktik Islam yang menurut mereka sesuai

dengan demokrasi adalah keadilan (al-‘adl); egalitarianisme (al-musawah);
musyawarah atau negosiasi (syura). Doktrin dan praktik itu “[d]isebut modern karena
adanya komitmen, keterlibatan, dan partisipasi dari seluruh komunitas politik Madinah.”
Penentuan posisi pimpinan juga berdasar prinsip meritokrasi, bukan prinsip keturunan.
Bahtiar Effendy, “Demokrasi dan Agama: Eksistensi Agama dalam Politik Indonesia,” dalam
Islam, Negaram dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, ed.
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus A.F. (Jakarta: Paramadiana, 2005), 156.
2
Effendy, 157.
1

2

Namun menurut Effendy, walau hal-hal di atas menunjukkan kemiripan antara
doktrin dan praktik Islam dengan demokrasi, masih banyak yang menyangsikannya.
Oleh karenanya, Effendy menunjukkan adanya kesesuaian Islam dengan demokrasi,
dengan terlebih dahulu mempersoalkan posisi umum Islam dalam kehidupan manusia
dan bagaimana para pemeluknya memperlakukan ajaran-ajarab Qur’an dan Sunnah.
Effendi menunjukkan dua sifat Islam dalam kaitan tersebut, yakni:
1. Omnipresence; yakni Islam mempunyai sifat ada di mana-mana. Dalam arti,

pemeluk Islam pada umumnya percaya bahwa bahwa Islam menjadi petunjuk
perbuatan mereka, di manapun mereka berada.
2. Holistik; yakni Islam mempunyai sifat menyeluruh. Artinya, pemeluk Islam
pada umumnya percaya bahwa Islam merupakan suatu sistem peradaban yang
menyeluruh. Bahkan ada yang percaya bahwa ia adalah agama dan negara.
“Lebih khusus lagi, Islam tidak mengenal dinding pemisah antara yang bersifat
spiritual dan temporal—meskipun dua wilayah itu dapat dibedakan. Sebaliknya,
Islam memberikan panduan etis (bagi) seluruh aspek kehidupan.” 3 Namun,
persoalan sifat holistik itu diterapkan, pemeluk Islam tidak berpendapat
seragam. Ada dua garis besar, yakni:
(i) Legalistik dan formalistik; yang berpendapat bahwa keislaman yang
holistik harus diterapkan pada bentuknya, yakni menjadi hukum negara.
(ii) Substantif; yang berpendapat bahwa penerapan holisme Islam lebih
penting soal isi daripada soal bentuk. Pandangan ini tidak menganggap
Islam harus menjadi hukum negara tetapi ajarannya menjadi laku
keseharian.
Selain dua pandangan yang penting di atas, Effendy, menunjukkan bahwasanya
agama Islam tidak memberi panduan politik yang mendetail. Al Qur’an hanya
memberikan wawasan yang bersifat umum, yakni sifat-sifat yang berkesesuaian dengan
demokrasi seperti disebut di atas. Itulah sebabnya Islam juga mengenal penggunaan atau

konsep ijtihad. Itu artinya, tidak cocok jika ajaran Islam diformalkan ke dalam negara
karena tidak mendetail.
Dari semua uraian di atas, Effendy menyimpulkan, sejauh Islam dipahami secara
substansial dan bukan secara formalistik, maka kesesuaian Islam dengan demokrasi
semakin jelas. Effendy mencontohkan Madinah, yang hanya gagal karena kelemahan
infrastruktur, bukan karena anyaman politiknya.
1.3

Legalisme-Formalisme vs. Substansialisme di Indonesia

Pelaku sejarah Islam Indonesia awal menurut Effendy, sadar akan kesesuaian
Islam-Demokrasi ini. Oleh karenanya, tokoh seperti Natsir berusaha merealisasikan
konstruksi negara dengan asas teodemokrasi, ada “teo” bersanding dengan “demokrasi”.
Namun menurut Effendy, pemahaman holistik dan omnipresence Islam pada Natsir
berat pada pemahamannya yang legalistik-formalistik. Sehingga ia meyakini bahwa
pemeluk Islam harus mengkaitkan Islam secara legal-formal.

3

Effendy, 162.


3

Ini mengalami kendala, menurut Effendy, karena persoalan “teknikal”, di mana
orang Islam pasti berbeda-beda bentuk penerapan ajarannya, tergantung situasi yang
dihadapinya. Orang Islam, misalnya saja ada yang masuk pada “golongan agama” juga
ada yang ada pada “golongan nasionalis”. Dan perdebatan anatara keduanya pun hanya
berada pada wilayah formal, tidak masuk pada substansi.
Kondisi pemerintahan Soekarno dan Soeharto yang bagi Effendy otoriter
(dengan Demokrasi Liberal 1950-59 sebagai kekecualian), membuat hubungan Islam
dengan politik-demoktasi hanya berada pada wacana spekulatif. Maksudnya, dalam
kondisi otoriter seperti itu, berbagai wacana Islam tidak bisa secara praktis
berkompetisi, misalnya dalam pemilihan umum. Wacana spekulatif itu walau seperti
latihan intelektual saja, ada gunanya yakni mempersiapkan aturan main antara pelakupelaku demokrasi saat masa itu akhirnya datang (barangkali maksudnya Reformasi
1998).
Pemikiran Islam sejak dasawarsa 1970-an (era Nurcholis Madjid) ini
dimaksudkan sebagai langkah-langkah remedial dari pemikiran Islam yang legalistikformalistik pada era sebelumnya. Effendy menulis bahwa pemikiran itu membawa pada
perubahan paradigma, dari yang sebelumnya mengutanakan bentuk menjadi lebih
mengutamakan isi. Ini pula yang Effendy harapkan dapat membawa pada “politik
keummatan baru” yang dapat menjauhkan pemeluk Islam dari nuansa simbolikideologis. Maka dari itu, Effendy berkesimpulan bahwa Islam dapat berkesesuaian

tinggi dengan demokrasi, dengan syarat, pemikiran dan praktik Islam bertransformasi
dari yang tadinya diartikulasikan secara legal-formal, menjadi lebih substansialistik.

B. Masyarakat Politik Islam, Pandangan Abdelwahab El-Affendi
Dalam buku Who Needs an Islamic State? yang diterjemahkan menjadi
Masyarakat tak Bernegara, Abdelwahab El-Affendi menguraikan terlebih dulu
pandangan Ibnu Khaldun tentang masyarakat. Dalam pandangan Khaldun, sifat alami
manusia dan masyarakatnya dapat dilihat dalam pandangannya mengenai ashabiyah
(solidaritas klan).4 Khaldun melihat masyarakat yang didasarkan pada keluarga besar
atau klan cenderung menciptakan unit-unit berdasarkan ashabiyah tersebut. Ashabiyahlah yang mengikat kelompok-kelompok itu agar bersama-sama dalam satu basis otoritas
politik. Otoritas politik ini dipegang oleh kelompok yang paling kuat. Namun kemudian
negara ini hancur oleh penaklukan atau ekspansi oleh negara lain. Sehingga, bentuk
awal negara ini hancur dan kemudian terbentuklah negara baru, yang umurnya lebih
muda dan lebih kokoh.
Pada pola negara seperti ini, menurut Khaldun seperti yang diinterpretasikan ElAffendi, agama dan moralitas hanya bersifat pelengkap.5 “Agama dan moralitas bisa
merusak atau malah memperkuat ashabiyah.”6 Ibnu Khaldun menurut Affendi,
menyangkal anggapan yang umum dikumandangkan oleh para pemikir Muslim klasik
yang berpendapat bahwa agama merupakan basis tatanan sosial dan kenegaraan atau
nasionalisme. Nasionalisme ini tumbuh secara alamiah dari tatanan sosial menjadi
Abdelwahab El-Affendi, Masyarakat Tak Bernegara. Kritik Teori Politik Islam, (Yogyakarta:

LKiS, 1994), 8.
5
El-Affendi, 9.
6
El-Affendi.
4

4

negara dengan bentuknya yang paling primitive, yakni mulk tabi’i (berdasar kekuatan
brutal), lalu di atasnya ada mulk siyasi (kekuasaan politik berdasarkan pencarian
rasional untuk memenuhi kebutuhan publik), dan yang tertinggi adalah khalifah
(kekuasaan berdasar hukum Tuhan demi mendapat kebahagiaan di akhirat).
Ironi dari Khaldun sebagai pemikir Muslim, ia menyuarakan humanisme realis
seperti pada Machiavelli dan Hobbes. Seperti Hobbes, Khaldun juga berpendapat bahwa
manusia pada dasarnya tidak baik; atau pada istilah Hobbesian: homo homini lupus.
Maka demi mengatasi ketidakbajikan-ketidakbajikan individual tersebut justru harus
ada otoritas yang berkuasa. Negara diperlukan untuk memenuhi kebutuhan riil manusia
yang berada dalam komunitas tersebut. Karena prinsip realisme tersebut, konsep negara
ideal atau khilafah yang berorientasi ketuhanan sulit untuk dicapai. Oleh karenanya, ide

negara sebagai sesuatu yang ideal tersebut tidak perlu repot diperjuangkan. Negara
cukup menjadi otoritas yang mampu merepresi kebrutalan individu yang selalu
mendahulukan kepentingannya.
Bagi Al-Affendi, konsep negara Islam, harus sama sekali ditinggalkan. Ia juga
berpegang pada realisme seperti Khaldun. Namun Khaldun di mata Affendi “[…]
tampak terombang-ambing antara menganggap ashabiyah sebagai kekuatan yang
mendasari semua pengaruh dalam politik dan menganggap agama sebagai faktor
penting dalam menegaskan ashabiyah […]”7 Pada titik inilah Affendi, meski menolak
negara Islam formalistik, melihat bahwa komunitas politik Islam sebagai sesuatu yang
tidak terhindarkan. Dengan kata lain, wacana politik Islam harus diletakkan dalam
kerangka “negara untuk umat Islam” bukan “negara Islam.” Ia tak dapat dihindarkan,
justru karena sifat alamiah dari terbentuknya ashabiyah yang Khaldunian itulah.
Bagaimanapun, akan selalu ada rasa keterikatan klan (kelompok) di antara umat
Muslim, kecuali jika komunitas ini sudah tersekularisasi seperti mayoritas Kristen
Eropa.
Menurut Affendi, kesalahan sudut pandang kaum Islam formalis adalah asumsi
bahwa negara yang berprinsip Islami adalah negara yang memaksakan warga negaranya
hidup sesuai syariat Islam. “Yang benar, tujuan komunitas politik Islam adalah memberi
kemungkinan kepada umat islam secara individual untuk hidup sesuai dengan Islam dan
melindungi mereka dari paksaan yang cenderung meruntuhkan komitmen mereka pada

Islam.”8 Bagi Affendi, pemberlakuan syariat Islam adalah kesalahpahaman terhadap
pemahaman itu. Syariat menurutnya hanya bisa mengatur dengan benar bila masyarakat
yang menaatinya memahaminya sebagai tindakan membebaskan.9
Ajuan dari El-Affendi ini bernada komunitarianisme. Komunitarianisme
menurut Will Kymlicka, teoris politik dari Amerika Serikat, adalah paham di mana
“[…] kita mendukung kepentingan orang-orang dengan membiarkan mereka memilih
sendiri cara hidup yang mereka inginkan.” 10 Affendi memaparkan, untuk
memperjuangkan keadilan, suatu komunitas politik Islam harus berdasar pada tanggung
jawab dan peran aktif individu dalam komunitas tersebut. Paparan itu senada dengan
pendapat John Stuart Mill. Dikutip oleh Kymlicka, Mill beranggapan bahwa rasa
El-Affendi, 104.
El-Affendi, 131.
9
Al-Affendi.
10
Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy. An Introduction, (New York: Oxford
University Press, 1990), 199.
7
8

5

komitmen terhadap suatu falsafah publik umum adalah prasyarat dari suatu kultur yang
merdeka, dan itu merupakan pengikat pada prinsip-prinsip kebebasan individual dan
kesetaraan politik dan sosial.11
Dengan sikap komunitarian yang voluntaris di atas, Islam bisa hidup sebagai
ekspresi yang sesungguhnya dari masyarakat. Negara juga tidak menjadi organisasi
intrusif-koersif yang berusaha memaksakan syariah terhadap warga negaranya. Bagi
Affendi, yang mengatur komunitas politik Islam dan memberinya makna adalah
kebebasan.12 “Seorang muslim memenuhi kewajiban sosialnya jika ia melakukan
sesuatu secara sukarela tanpa paksaan, sekalipun paksaan demi harmoni sosial.” 13 Oleh
karenanya, dapat disimpulkan bahwa bagi El-Affendi, negara Islam merupakan suatu
yang tidak relevan. Islam dapat hadir dan hidup jika dipelihara oleh komunitas politik
Islam. Dengan kata lain, Islam bisa hidup tanpa negara (Islam).

Penutup
Dari Effendy, saya menyimpulkan bahwa meski komunitas Islam harus
bertransformasi, tidak mungkin agama tercerai sepenuhnya dari kehidupan negara.
“[P]olitik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari Islam. Komunitas Islam sendiri tidak
mungkin melepaskan kegiatan politik mereka kosong dari pengaruh agama.” 14 Namun,
hubungan yang niscaya antara Islam dan politik ini bagi Effendy tidak perlu berpola
mekanis atau dikunci ke dalam hukum negara secara legalistik-formalistik. Keduanya
sebaiknya berhubungan melalui pola substansial, kecenderungan yang menurut Effendy
lebih berorientasi makna dan isi. Islam, pada Effendy, sesuai dengan semangat negara
demokratis.
Dengan El-Affendi, Islam menjadi suatu ekspresi hidup umatnya jika hidup jika
dipelihara secara voluntaris dalam suasana kebebasan individu. Dengan memelihara
kebebasan individu yang akan memelihara Islam, bagi Affendi, justru akan
menghindarkan kita dari individualisme. Dengan kata lain, kebebasan individu yang
dimiliki umat—yang juga dimiliki tiap individu kelompok lain—yang justru akan
memelihara ashabiyah atau semangat persaudaraan di antara umat muslim atau di dalam
komunitas politik Islam.
Membaca paparan kedua pemikir di atas, saya menyimpulkan bahwa yang
terjadi di Indonesia (misalnya dengan prenerapan syariah di Aceh dan peraturanperaturan syariah di tempat lain) tidak lagi sesuai dengan semangat komunitas Islam
yang ditawarkan El-Affendi. Ia juga tidak sesuai dengan semangat Islam substansialis
yang dalam pendapat Bahtiar Effendy justru kompatibel dengan demokrasi.

Kedua pemikiran di atas juga membawa implikasi serius pada praktik bernegara
dan beragama di Indonesia. Jika sekarang di banyak titik di Indonesia marak tuntutan
untuk memformalisasikan Islam ke dalam kehidupan bermasyarakat, maka perlu
Kymlicka, 229.
El-Affendi, 137.
13
Al-Affendi, 138.
14
Effendy.
11
12

6

dipertanyakan sejauh mana umat Islam melihat Islam sebagai ekspresi hidupnya.
Apakah benar Islam menjadi napas yang selalu dibutuhkan oleh umat? Atau Islam
hanya menjadi kewajiban atau keterpaksaan demi harmoni atau konformitas sosial. Atau
bahkan jauh lebih buruk dari itu: Islam malah menjadi represi baru? Dan itu berarti
kebebasan politik yang dibuka hanya mempersilakan masuk pada jenis represi baru
yang berdasar agama (Islam).
Jika mau konsisten dengan pemikiran dengan Bahtiar Effendy dan Abdelwahab
El-Affendi, gejala-gejala mengerasnya tuntutan formalisme Islam adalah pertanda
bahwa komunitas politik Islam justru sudah mati. Saat kita mempersilakan negara ini
berdasar atas syariat Islam, berarti kita membunuh ashabiyah umat Islam itu sendiri.
Kita membunuh komunitas politik Islam, dalam arti ekspresi keagamaan yang murni
tumbuh dari kebebasan hati nurani warga negara.

Daftar Pustaka
1. Belkeziz, Abdelillah. The State in Contemporary Islamic Thought. A Historical
Survey of the Major Muslim Political Thinkers of the Modern Era. New York:
I.B. Tauris, 2009.
2. El-Affendi, Abdelwahab. Masyarakat Tak Bernegara. Kritik Teori Politik Islam.
Yogyakarta: LKiS, 1994.
3. Hidayat, Komarudin dan Ahmad Gaus A.F. Islam, Negara dan Civil Society:
Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer. Jakarta: Paramadina, 2005.
4. Kymlicka, Will. Contemporary Political Philosophy. An Introduction. New
York: Oxford University Press, 1990.

7