Kepuasan Pernikahan dan Penghasilan Pasa

URBAN DALAM WACANA:
KESEHATAN, BUDAYA, DAN MASYARAKAT

PROSIDING
The 3 International Conference
Urban Mobility: Its Impacts on Socio-cultural and Health Issues
rd

Editor:
Bramantio
Arum Budia stuti
Santi Martini
M. Atoillah Isfandiari
Usma Nur Dian Rosyidah

@2013 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
Prosiding Konferensi Resmi
Urban dalam Wacana: Kesehatan, Budaya, dan Masyarakat
ISBN 978-602-1779-11-8
Editor: Bramantio, Arum Budiastuti, Santi Martini, M. Atoillah Isfandiari, Usma
Nur Dian R.

Desain Sampul: Gesang Manggala Putra

Cetakan Pertama April 2013
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
Unit Penelitian, Publikasi, dan Dokumentasi
Kampus B Jalan Dharmawangsa Dalam, Surabaya 60286
Jawa Timur - Indonesia
Tel. +62 31 5035676, Fax. +62 31 5035807
website: http://www.fib.unair.ac.id
Email: fib@unair.ac.id

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

vii

BAGIAN 1

TRANSFORMASI MASYARAKAT URBAN
Rakyat Miskin dan Perebutan Ruang Kota di Surabaya Tahun 1900—1960-an
Purnawan Basundoro

1
2

Penelusuran Kearifan Lokal Masyarakat Petani Jawa di Pulau Jawa
Ali Badrudin

22

Teknik Komunikasi dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Terapung, Banjarmasin
Rusma Noortyani

30

Masyarakat Urban dan Posmodernisasi Fesyen: Studi Kasus Busana Pengantin
Jawa Muslim di Surabaya
Dewi Meyrasyawati


37

Dari Kyai Menjadi Bupati: Studi Pergeseran Kepemimpinan Pesantren ke
Kepemimpinan Sekuler
Nurul Azizah

49

Media Massa dan Politik Identitas dalam Masyarakat Urban
Netty Dyah Kurniasari

59

Jilbab sebagai Tameng Penutup Aib: Sebuah Telaah Semiotis
Resti Nurfaidah

67

Pemerintahan Kota dan Manajemen Lingkungan

Nanang Haryono

83

Penggunaan Air Domestik di Penempatan Setinggan: Kajian Kes di Bandaraya
Kota Kinabalu, Sabah
Nooraiza Anak Antie, Rasyad B. Suwardi, Mohammad Tahir Mapa, dan Abdul Khair
Beddu

94

Panti Jompo sebagai Pilihan Tempat Tinggal Lansia dalam Masyarakat Urban
Jepang
Putri Elsy

104

iii

Masyarakat Mandiri Dompet Dhuafa sebagai Praktik Organisasi Berbasis

Keyakinan untuk Program Pemberdayaan Ekonomi dalam Masyarakat Urban
Sari Viciawati Machdum

112

“The City of Love”: Studi tentang Gay Indonesia di Paris
Wisnu Adihartono Reksodirdjo

122

BAGIAN 2
RUANG URBAN DALAM TEKS

129

Ibukota sebagai Ruang Antagonistik: Gambaran Relasi antara Ibukota dan
Penduduk Asli dalam Kesusastraan Jepang
Dewi Anggraeni

130


Surabaya dalam Antologi Puisi Siti Surabaya dan Kisah Para Pendatang
Suryadi Kusniawan

139

Pembacaan Ekokritik terhadap Novel Sketsa Karya Ari Nur Utami: Individu,
Kota, dan Identitas
Usma Nur Dian Rosyidah

149

Bab yang Hilang: Studi Awal Modernitas dan Perubahan Konstruksi Tubuh
Perempuan pada Periode Jepang
Galuh Ambar Sasi dan Krida Amalia Husna

155

Membaca Problematika Gender dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban
karya Abidah El Khaleiqy dan A Thousand Splendid Suns karya Khalid

Hosseini
Yulianeta

165

Epifani Kepengarangan Yusri Fajar: Identitas Kaum Marginal Timur-Eropa
pada Surat dari Praha
Susilo Mansurudin

174

Posisi Perempuan dalam Film Hukum Indonesia
Wahyu Heriyadi

181

Majalah Nyuara: Renegoisasi Identitas dan Kebahasaan Orang Lampung

188


Imelda
Kesuksesan Pembelajaran Bahasa Banjar di Kalimantan Selatan dalam Rangka
Pemertahanan Bahasa pada Domain Rumah Tangga, Pertemanan di Luar
Rumah, dan Sekolah
M. Rafiek

iv

196

Wacana Makan, Makanan, dan Sepeda Motor dalam Pembentukan Citra
Raden Muhammad Arie Andhiko Ajie

204

Strategi Teks Iklan Produk Bermuatan Pornografi
Sri Wiryanti B.U.

213


BAGIAN 3
PROBLEMATIKA KESEHATAN MASYARAKAT URBAN

223

Kesehatan dan Gaya Hidup Masyarakat Urban
Irene Kristina dan Siti Aisah

224

Spa dan Sistem Kebugaran Tradisional Indonesia: Kesehatan dan Gaya Hidup
Masyarakat Urban
Pinky Saptandari

231

Determinan Status Kesehatan Laki-Laki Usia Produktif
Novia Indriani Sudharma, Oktavianus Ch. Salim, dan Dian Mediana

242


Kepuasan Pernikahan dan Penghasilan Pasangan Dewasa Muda di Kawasan
Urban: Sebuah Studi Awal
Pingkan Rumondor, Greta Vidya Paramita, Putri Lenggo Geni, Nangoi Priscilla Francis

249

Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin Kota, Antara Mimpi dan Realita
Budi Arsih

255

Gambaran Status Gizi Penduduk Pedesaan dan Perkotaan di Indonesia
Siti Rahayu Nadhiroh

265

Status Gizi Balita Keluarga Migran di Kawasan Kumuh Denpasar
Kadek Tresna Adhi dan Tangking Widarsa


272

Kebiasaan Jajan Pada Anak dari Keluarga Miskin Kota di Kelurahan Semper
Barat Kecamatan Cilincing Jakarta Utara
Kania Saraswati Harisoesyanti

280

Determinan Kesehatan Sosial yang Memengaruhi Tingkat Kesuburan Migran di
Kawasan Kumuh Denpasar
Putu Widarini, Ayu Swandewi, Hari Mulyawan, dan Tangking Widarsa

286

v

Isu Kesihatan dan Keselamatan di Kalangan Scavangers: Tinjauan Awal di
Tapak Pelupasan Sampah Kayu Madang Bandaraya Kota Kinibalu, Sabah,
Malaysia
Abdul Hair B. Beddu Asis, Mohammad Tahir Mapa, Rasyad Suwardi, Nooraiza Antie

292

Geographic Informastion System (GIS) untuk Pemetaan Korelasi Antara
Persebaran Kasus HIV/AIDS dan Keberadaan Café di Denpasar pada Tahun
2011
Puji Antari N.N., Suariyani N.L.P., dan Hari Mulyawan K.

204

Manajemen Stres Penderita HIV pada Usia Remaja
Khairunnisa Nuraini Rachman

310

Pemberdayaan K-PRO (Kader Kesehatan Reproduksi) Remaja Kawasan
Lokalisasi Dolly, Surabaya
Lukman Hakim, Dedik Sulistiawan, Ni’mah Rahmawati Nurislami, Nurul Chabibah,
dan Risyad Indra Syahrial

316

Sisa Peralatan Elektrik dan Elektronik (E-waste): Kesan Kepada Kesihatan
Manusia dan Alam Sekitar
Mohammad Tahir Mapa, Rasyad Suwardi, Abdul Khair Beddu Asis, dan Nooraizah
Anak Antie

325

TENTANG PENULIS

336

vi

KATA PENGANTAR
Buku ini terbit berdasarkan The 3rd International Conference on Urban Mobility: Its Impacts on
Socio-cultural and Health Issues yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya bekerja sama
dengan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, pada
7—8 Desember 2012. Dorongan untuk proyek tersebut muncul dari tujuan strategis utama
Universitas Airlangga pada tahun 2012, yaitu menjadi pusat riset kelas dunia dalam ilmu
kesehatan di Indonesia. Implikasinya, diperlukan rencana strategis untuk menyelaraskan
dengan tujuan ini dan mendukung tujuan Universitas Airlangga. Selain itu, kami merasa
perlu menantang kecenderungan kita untuk meneliti dan menulis dalam batas-batas disiplin
akademis.
Berkaitan dengan hal tersebut, kami memutuskan memilih tema konferensi yang
terkait dengan dinamika masyarakat perkotaan, baik dalam hal sosial, budaya, maupun
kesehatan. Berlokasi di Surabaya, kota kedua terbesar di Indonesia, kami memberi
perhatian khusus pada fenomena perkotaan. Secara khusus, kami telah mencoba untuk
mengeksplorasi laju perubahan yang dialami oleh masyarakat perkotaan. Dalam
kepentingan meningkatkan profil universitas sebagai pemimpin nasional dalam ilmu
kesehatan, kami mengundang pembicara dari seluruh dunia untuk berbagi penelitian
mereka mengenai dampak sosial-budaya dan kesehatan mobilitas perkotaan. Konferensi ini
dihadiri oleh sekitar 200 peserta dari berbagai belahan dunia, termasuk Amerika Serikat,
Perancis, Sri Lanka, Taiwan, Singapura, Malaysia, dan Australia.
Pokok diskusi Bagian Pertama buku ini adalah pergeseran dari masyarakat agraris
menjadi masyarakat urban. Transformasi ini terlihat dalam fesyen, arena politik, dan peran
media yang memunculkan kompleksitas permasalahan lingkungan, sosial, dan jender.
Dinamika yang demikian, dalam hal ini perebutan ruang kota, bahkan telah muncul di
Indonesia sepanjang tidak kurang dari enam dasawarsa pertama 1900-an. Di sisi lain, dalam
masyarakat agraris, interaksi dan komunikasi manusia dengan alam maupun antar
sesamanya berlangsung secara harmonis dan tanpa media perantara. Pola ini terwujud
dalam kearifan lokal yang masih dipegang teguh oleh para petani di Jawa dan perdagangan
dengan teknik komunikasi persuasif langsung di Pasar Terapung di Banjarmasin. Transisi
dari pola agraris menuju modernitas urban muncul dalam fesyen pakaian pengantin yang
menggabungkan unsur tradisional dan relijius yang dikemas posmodern, Jawa-Islam. Secara
politik, pergeseran yang ada ditandai dengan pola kepemimpinan beberapa bupati di Jawa
Timur yang menggabungkan gaya kepemimpinan tradisional ala pesantren dan sekuler
modern. Transformasi menuju kehidupan urban ini pun tidak lepas dari berbagai masalah
yang perlu dipahami secara komprehensif. Permasalahan pertama berasal dari peran media
sebagai pembentuk identitas masyarakat urban. Politik identitas melalui media
dimanfaatkan sebagian kalangan untuk membangun citra diri yang positif ketika sedang
bermasalah dengan hukum , misalnya dengan mengenakan jilbab. Selain konstruksi media,
problem lain yang dihadapi dalam masa perubahan adalah kesiapan manajemen lingkungan
yang menuntut pengelolaan sumber daya air dan manajemen limbah yang baik oleh
pemerintah kota; perlakukan terhadap para manula yang menginginkan sisa hidup yang
mandiri, produktif, dan bermartabat; program pemberdayaan berbasis keyakinan untuk
membantu orang-orang yang termarjinalkan dalam persaingan kehidupan urban; serta
permasalahan identitas sebagai seorang gay yang masih belum dapat diterima sepenuhnya
oleh masyarakat yang sedang bertransformasi ini.
Bagian Kedua buku ini berkaitan dengan ruang urban di dalam teks. Kota bukan
sekadar ruang untuk ditempati dan melangsungkan hidup, tetapi sekaligus menjadi sebuah

vii

realitas yang dihadirkan kembali di dalam media seperti sastra. Di balik citra ibukota selama
ini yang tampak menjanjikan banyak hal, baik di kesusastraan Jepang maupun Indonesia,
ternyata ada sisi lain yang justru memiliki daya untuk mematahkan bahkan mematikan siapa
pun yang berada di dalamnya. Ibukota digambarkan sebagai sebuah ruang yang bersifat
antagonis terhadap penduduknya. Dalam konteks yang lebih luas, kota membentuk
identitas penduduknya sebagai proses penyesuaian dengan konteks urban yang justru
menenggelamkan mimpi-mimpi mereka dengan kemiskinan. Dengan kata lain, kota dengan
caranya yang khas telah mengalienasi manusia dari kemanusiaannya. Dinamika perkotaan
pun tidak memberi perkecualian bagi bahasa sebagai instrumen bersastra dari mengalami
perubahan. Hal ini tampak pada peran Facebook sebagai salah satu bentuk gaya hidup
perkotaan sebagai medium bagi masyarakat Lampung untuk berekspresi diri melalui bahasa
Lampung sekaligus merenegoisasi kelampungan mereka. Senada dengan hal itu, melalui
model jejaring yang terbangun di kota dan antarkota di Kalimatan Selatan, bahasa Banjar
mampu dipertahankan dari gerusan laju zaman. Lebih lanjut, penguasaan masyarakat kota
atas teknologi bernama internet berdampak pula pada usaha membangun citra yang
diinginkan seseorang Dengan mengolaborasikan bahasa dan foto yang kemudian disebar
melalui internet, citra kedua-pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI
Jakarta mampu dilekatkan ke dalam benak masyarakat. Pada ranah yang berbeda, penyatuan
antara bahasa verbal dan nonverbal tersebut juga menjadi strategi pemasaran. Seiring
perkembangan zaman, iklan hadir dengan kompleksitas yang melampaui sekadar usaha
menjual barang dan jasa. Apabila dicermati, sejumlah iklan ternyata bermuatan pornografi,
baik secara implisit maupun eksplisit, dan pada umumnya menghadirkan perempuan
sebagai objek. Kedudukan perempuan sebagai objek pelengkap atau bahkan objek
penderita juga terasa nyata baik di dalam karya sastra maupun film. Lebih lanjut,
perempuan dan iklan ternyata tidak saja hadir bersama dalam ruang kontemporer Indonesia,
tetapi telah ada bahkan sejak periode pendudukan Jepang di Indonesia. Pada masa itu, baik
di dalam iklan, komik, maupun foto di media massa, perempuan ditempatkan pada
persimpangan antara tradisionalitas dan modernitas, Timur dan Barat. Hal senada pun
dijumpai di dalam karya sastra yang lahir dari pengarang Indonesia yang pernah
mengenyam pendidikan di Eropa.
Problematika kesehatan masyarakat urban menjadi fokus Bagian Ketiga buku ini.
Masyarakat yang tinggal di perkotaan mempunyai sifat sangat dinamis dan serba ingin cepat
sehingga hal ini berpengaruh terhadap gaya hidup mereka dalam memandang diri dan
lingkungannya. Pada masyarakat urban, informasi yang bertambah sebagai dampak
globalisasi mengakibatkan banyak perempuan bekerja, hal ini juga akan berpengaruh pada
interaksi dalam keluarga termasuk peran istri dalam keluarga. Globalisasi juga
mengakibatkan berbagai perubahan, di antaranya perubahan gaya hidup. Kompleksitas
tingkat kesibukan dan pekerjaan di perkotaan juga mengakibatkan masyarakat kurang gerak
dan hanya memiliki sedikit waktu untuk berolahraga. Banyaknya tempat-tempat hiburan di
perkotaan turut andil dalam menciptakan gaya hidup yang tidak sehat. Mal atau kafe
menjadi kebutuhan masyarakat urban untuk memenuhi tuntutan gaya hidup mereka yang
tentunya membawa konsekuensi, salah satu diantaranya adalah keberadaan kafe dikaitkan
dengan persebaran kasus HIV/AIDS.
Perpindahan penduduk dari desa ke kota menyebakan jumlah penduduk di kota
meningkat dan hal ini tidak diimbangi dengan penyediaan perumahan sehingga
menimbulkan daerah kumuh yang merupakan kantong kemiskinan. Akibatnya, masyarakat
miskin yang ada di perkotaan sulit untuk menjangkau pelayanan kesehatan dan
mendapatkan makanan yang sehat dan bergizi. Selain itu, perilaku hidup mereka pun dapat
dikatakan jauh dari kategori sehat seperti yang diharapkan. Kawasan pemukiman kumuh

viii

yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi, kondisi lingkungan yang tidak layak
huni dan tidak memenuhi syarat, minimnya fasilitas pendidikan, kesehatan, serta sarana dan
prasarana sosial budaya. Anak balita yang tinggal di kawasan pemukiman padat dan kumuh
sangat rentan terhadap masalah gizi kurang. Kondisi sanitasi lingkungan yang kurang baik
menyebabkan tingginya prevalensi penyakit infeksi pada anak, di samping tidak cukupnya
asupan zat gizi baik secara kuantitas maupun kualitas oleh karena pola asuh anak yang tidak
memadai dan rendahnya ketahanan pangan rumah tangga yang terkait dengan kemiskinan.
Satu-satunya simpulan yang mungkin dihadirkan di sini adalah bahwa laju urbanisasi
yang merupakan ciri kehidupan modern di Indonesia, dan banyak bagian lain dunia, telah
menciptakan kebutuhan untuk pendekatan baru dalam menangani masalah perkotaan
sekaligus cara berpikir baru dalam memastikan kesehatan warga kota. Buku ini merupakan
asupan yang cukup bagi pemikiran dan menawarkan wawasan yang unik ke dalam isu-isu
dari para pakar dan praktisi masalah-masalah sosial, budaya, dan kesehatan di seluruh dunia.
Editor

ix

Kepuasan Pernikahan dan Penghasilan
Pasangan Dewasa Muda di Kawasan Urban:
Sebuah Studi Awal
Pingkan Rumondor
Greta Vidya Paramita
Putri Lenggo Geni
angoi Priscilla Francis
(BINUS University)
The current study aims to validate the measure of marital satisfaction among young urban married couples.
Marital satisfaction is defined as an individual’s subjective experience toward marriage or components
within a marriage. The scale consists of 58 questions measuring individual’s satisfaction in communication,
division in roles, agreement, openness, intimacy, intimacy in social relationship, sexuality, finance, and
spirituality. The results indicate that the instrument is found to be reliable and has moderate correlation
with subjective rating of overall marital satisfaction.
Keywords: marital satisfaction, marital adjustment, urban maried couples.
Pendahuluan
Pasangan yang menikah tentunya ingin memiliki pernikahan yang berkualitas, yakni
pernikahan yang bertahan lama dan memuaskan bagi kedua belah pihak. Kepuasan
pernikahan (marital satisfaction) merujuk pada sikap secara umum terhadap pernikahan, atau
kebahagiaan pernikahan sebagai suatu kesatuan konstruk. Sementara itu, penyesuaian
pernikahan (marital adjustment) memiliki cakupan yang lebih luas, mencakup proses-proses
dalam pernikahan seperti kemampuan manajemen konflik, kegiatan saling mendukung,
relasi seksual, atau keintiman emosional (Lawrence, 2009:1028).
Penelitian terdahulu menemukan bahwa kepuasan pernikahan terkait dengan kualitas
hidup (psychological well-being) dan kesehatan individu. Hal ini didukung oleh penelitian Shek
(1995) pada 1.501 pasangan menikah di China. Kualitas kesehatan psikologis dan fisik dari
individu diperlukan dalam membangun keluarga yang sehat. Keluarga yang sehat, pada
gilirannya akan menghasilkan anak-anak yang sehat mental dan fisik pula. Namun demikian,
kurangnya konsensus mengenai definisi kepuasan pernikahan akibat sulitnya
mengkonseptualisasi konstruk ini membuat kepuasan pernikahan sulit diukur melalui
penelitian empiris.
Walaupun demikian, sehubungan dengan besarnya implikasi kepuasan pernikahan dan
penyesuaian pernikahan dalam kelangsungan hidup berumah tangga, angka perceraian, stres
individu, kesehatan fisik, dan kesejahteraan psikologis anak (Lawrence, 2009:1128),
penelitian sejenis masih sangat diperlukan. Ditambah lagi, data Direktorat Jendral Badan
Peradilan Agama Mahkamah Agung (Diitjen Badilag MA) pada tahun 2010 menemukan
285.184 perkara yang berakhir dengan perceraian ke Pengadilan Agama se-Indonesia.
Angka tersebut merupakan angka tertinggi dalam 5 tahun terakhir.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, beberapa aspek yang menjadi pemicu
perceraian antara lain 91.841 perkara karena masalah ketidakharmonisan dalam rumah
tangga, 67.891 kasus karena masalah ekonomi, dan 10.029 kasus karena masalah cemburu
(Ditjen Badilag MA, 2010). Dari data di atas terlihat bahwa ketidakharmoniasan dalam
rumah tangga dan masalah ekonomi berperan penting dalam menentukan suatu pernikahan
249

akan bertahan atau berakhir dalam perceraian. Pengalaman praktik Sadarjoen (2012) sebagai
psikolog perkawinan selama 10 tahun, yang dituangkan dalam modul Tata Laksana Couple
Therapy, mendukung informasi bahwa masalah terkait keuangan merupakan salah satu area
utama dalam konflik perkawinan.
Pasangan dewasa muda yang tinggal di daerah urban seperti Jakarta tidak terlepas dari
arus globalisasi. Salah satu dampak globalisasi ialah bertambahnya arus informasi, termasuk
mengenai pentingnya pekerjaan bagi aktualisasi diri manusia. Hal ini ikut berperan dalam
meningkatnya jumlah istri yang bekerja. Selama dua dekade terakhir ini diperkirakan jumlah
tenaga kerja wanita terserap di sektor industri sebagai buruh mengalami kenaikan sekitar
4,3% setiap tahunnya (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, 2000). Selain itu,
selama periode 2006—2008, peningkatan jumlah angkatan kerja perempuan jauh lebih
besar dibandingkan dengan peningkatan jumlah angkatan kerja laki-laki (Kementrian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, 2008). Fakta ini
tentunya berdampak pada kualitas pernikahan wanita yang bekerja.
Menurut Nieva & Gutek (1981), pekerjaan bagi seorang wanita yang telah menikah
dan bekerja bukan sekadar cara menambah penghasilan, tetapi juga sebagai cara
meningkatkan well being dan kompetensi dirinya serta peningkatan kekuasaan dalam keluarga
sehubungan dengan istri tidak lagi bergantung sepenuhnya pada penghasilan suami.
Pekerjaan bagi seorang wanita juga meningkatkan kepuasan pernikahan istri, walaupun juga
memberikan tambahan pada beban kerja istri, karena selain bekerja, seorang istri juga
diharapkan mengerjakan peran istri, seperti mengurus rumah tangga dan anak-anak.
Namun demikian, pada praktiknya status istri yang bekerja juga menimbulkan masalah baru
terkait dengan keuangan seperti adanya kecenderungan suami tidak menyerahkan
penghasilan pada istri karena merasa istri memiliki uang sendiri dari hasil kerjanya
(Sadarjoen, 2012).
Di samping itu, meningkatnya jumlah istri yang bekerja memberi peluang pada
terjadinya kondisi istri memiliki penghasilan lebih besar daripada suami. Hal ini dapat
berdampak pada pergeseran peran dan dinamika keluarga yang tidak menutup
kemungkinan akan memengaruhi kepuasan pernikahan mereka. Oleh karena itu, penelitian
ini ingin melihat perbedaan kepuasan pernikahan dan penyesuaian pernikahan pada
pasangan ditinjau dari penghasilan istri yang tergolong lebih tinggi, setara, maupun lebih
rendah dari suaminya. Jika ditemui adanya perbedaan kepuasan pernikahan pada kelompok
pasangan dengan penghasilan istri lebih tinggi dari suami dan kelompok pasangan dengan
penghasilan istri setara dan lebih rendah dari suami, perlu dilakukan studi lanjutan
mengenai penanganan yang tepat bagi pasangan dengan karakteristik tersebut. Penelitian
awal ini ini membahas lebih jauh mengenai pengembangan alat ukur kepuasan pernikahan
pada pasangan dewasa muda dengan suami-isteri bekerja di Jakarta.
Kepuasan Pernikahan (Marital Satisfaction)
Menurut Atwater & Duffy (2005), kepuasan pernikahan merupakan perasaan
menyenangkan dan puas dalam pernikahan. Penelitian lain merangkum faktor-faktor yang
terkait dengan kepuasan pernikahan seseorang di antaranya adalah (1) waktu, yang terbagi
menjadi tiga hal yaitu lama berpacaran (Grover, et al., 1985 dalam Lauer & Lauer, 2000),
usia (Robert Bitter, 1986 dalam Lauer & Lauer, 2000), dan kesiapan untuk menikah
(Holman & Li, 1997 dalam Lauer & Lauer, 2000), (2) kesetaraan dalam hubungan dan
tanggung jawab dalam pekerjaan rumah tangga (Davidson 1984; Suitor 1991 dalam Lauer
& Lauer, 2000), dan (3) komunikasi (Goleman, 1985 dalam Lauer & Lauer, 2000).
Faktor lain yang menentukan kepuasan pasangan dalam suatu pernikahan yaitu
penyesuaian. Menurut Atwater & Duffy (2005), penyesuaian pernikahan ialah perubahan

250

dalam hubungan pasangan selama berjalannya pernikahan. Sejalan dengan definisi tersebut,
DeGenova (2005) mendefinisikan penyesuaian pernikahan sebagai proses memodifikasi,
beradaptasi, dan mengubah pola perilaku dan interaksi pasangan maupun individu untuk
mencapai kepuasan maksimun dalam hubungan. Lebih jauh, Lawrence (2009) memaparkan
proses-proses dalam penyesuaian pernikahan antara lain keterampilan manajemen konflik
dan konsekuensi dari pernikahan, seperti halnya kepuasan pernikahan (marital satisfaction).
Penelitian lain menekankan penyesuaian diadik atau penyesuaian antara dua individu
dalam suatu pernikahan (Spanier 1976). Menurut Spanier (1976) penyesuaian diadik adalah
proses yang bergerak dalam suatu kontinum yang dapat dievaluasi berdasarkan kedekatan
dengan penyesuaian yang baik atau penyesuaian yang buruk. Hasil dari proses tersebut
ditentukan oleh beberapa hal, antara lain derajat perbedaan yang menimbulkan masalah,
derajat ketegangan interpersonal dan kecemasan pribadi, derajat kepuasan dalam hubungan,
derajat kedekatan hubungan, dan derajat kesepakatan akan hal-hal yang penting bagi
hubungan (Spanier, 1976). Penyesuaian pernikahan atau penyesuaian diadik terdiri atas
beberapa dimensi yaitu (1) kesepakatan dalam pernikahan (dyadic consensus) yang merupakan
derajat kesepahaman antara suami dan istri dalam berbagai masalah dalam perkawinan,
seperti keuangan keluarga, rekreasi, agama, filosofi hidup, dan tugas-tugas rumah tangga
(Wilson & Filsinger, 1986), (2) kedekatan hubungan (dyadic cohesion) atau derajat keakraban
pasangan terhadap hubungan yang dilihat dari frekuensi pasangan melakukan kegiatan
bersama, misalnya dengan saling bertukar pikiran, mengerjakan proyek bersama, dan
berbagi minat yang sama (Wilson & Filsinger, 1986), (3) kepuasan hubungan dalam
pernikahan (dyadic satisfaction) yang terlihat dari seberapa sering pasangan bertengkar,
berciuman, saling membuka diri, pernah atau tidak mempertimbangkan perpisahan, dan
komitmen terhadap kelanjutan hubungan (Wilson & Filsinger, 1986), dan (4) ekspresi
afektif (affectional expression), yaitu persetujuan pasangan mengenai cara-cara untuk
menunjukkan afeksi dan memenuhi kebutuhan seksual dalam hubungan pernikahan
(Wilson & Filsinger, 1986).
Pengukuran Kepuasan Pernikahan
Penelitian sebelumnya melahirkan beberapa alat ukur kepuasan pernikahan. Salah satu
yang dinilai memiliki kualitas psikometri paling baik ialah DAS yang dikembangkan Spanier
(1976). Sementara itu, salah satu yang sering digunakan dalam penelitian ialah ENRICH
yang dikembangkan Fowers & Olson (1993).
Untuk mengukur penyesuaian diadik, Spanier (1976) mengembangkan Dyadic
Adjustment Scale yang terbagi menjadi empat subskala, yaitu dyadic consensus, dyadic satisfaction,
dyadic cohesion, dan affectional expression. Sementara itu, ENRICH marital satisfactionscale
(Fowers & Olson, 1993) terdiri atas 12 kategori yaitu idealisticdistortion, marital satisfaction,
personality issues, communication, conflict resolution, financial management, leisure activities, sexual
relationship, children and parenting ,family and friends, equalitarian roles, dan religious orientation.
Pengukuran kepuasan pernikahan di Indonesia, khususnya pada pasangan eksekutif
muda di kawasan perkotaan, dibuat oleh Sadarjoen (2004) yang terdiri atas 7 aspek
kepuasan yaitu emosi, seksual, intelektual, finansial, spiritual, rekreasi, dan keintiman sosial
dalam relasi sosial.
Metode Penelitian
Jumlah partisipan dalam penelitian ini ialah 44 individu yang berusia antara 20—40
tahun atau berada dalam tahap perkembangan dewasa muda (Papalia, et al., 2004). Semua
pasangan berada dalam fase 1—5 tahun perkawinan yang identik dengan masa adaptasi dan
penyesuaian (Sadarjoen, 2012), berdomisili di wilayah Jabodetabek, dan bekerja di Jakarta.

251

Seluruh partisipan dalam penelitian ini diperoleh secara aksidental, secara khusus
menggunakan metode snowball.
Penelitian ini menggunakan alat ukur yang dikembangkan dengan mengombinasikan
tiga alat ukur yaitu Dyadic Adjustment Scale (Spanier, 1976), ENRICH Marital Satisfaction
(Fowers & Olson, 1993), dan Kuesioner Kepuasan Pernikahan (Sadarjoen, 2004). Peneliti
juga melakukan beberapa penyesuaian dengan kondisi pasangan usia dewasa muda yang
tinggal di wilayah perkotaan. Kuesioner yang digunakan terdiri atas 58 butir soal yang
berupa skala Likert dengan empat kemungkinan jawaban yaitu “sangat sesuai”, “sesuai”,
“kurang sesuai”, dan “sangat tidak sesuai”. Alat ukur ini memiliki 9 dimensi yaitu sebagai
berikut:
1. Komunikasi
Pasangan puas akan cara yang khas untuk berkomunikasi satu sama lain. Pasangan dapat
memahami maksud dari pasangannya dan merasa dipahami oleh pasangannya, termasuk
dipahami dalam bidang pekerjaan/pendidikan yang ditekuni.
2. Keseimbangan pembagian peran
Pasangan puas dengan pembagian peran yang seimbang dalam pernikahan.
3. Kesepakatan
Pasangan mampu berdiskusi dengan setara dan ada satu orang yang lebih memahami
situasi sehingga menjadi dominan dalam pengambilan keputusan sehingga mencapai
kesepakatan.
4. Keterbukaan
Pasangan bersedia mengungkapkan informasi pribadi, isi pikiran dan perasaan secara
terbuka, termasuk terbuka akan gaji dan perencanaan keuangan.
5. Keintiman
Pasangan dapat secara nyaman menghabiskan waktu untuk melakukan aktifitas bersamasama, tanpa kehadiran pihak lain.
6. Keintiman sosial dalam relasi
Pasangan nyaman melakukan kegiatan dalam lingkup sosial sebagai pasangan, seperti
mengunjungi acara keluarga, atau membantu teman/kerabat yang memerlukan bantuan.
7. Seksualitas
Pasangan bebas menentukan aktifitas seksual, dari segi tempat, waktu untuk memenuhi
kebutuhan seksualnya dan adanya kesetiaan untuk berhubungan seksual hanya dengan
pasangannya saja.
8. Finansial
Pasangan dapat memenuhi kebutuhan finansial keluarga batihnya dari segi jumlah dan
memiliki pembangian tanggung jawab finansial.
9. Spriritualitas
Pasangan merasakan pemenuhan kebutuhan spiritualitasnya tercukupi selama berada
dalam ikatan pernikahan.
Hasil Penelitian
Berdasarkan perhitungan statistik SPSS 20, didapat coefficient alpha cronbach untuk skor
total sebesar 0,920, dengan korelasi butir soal dan skor total berkisar antara -0,495 hingga
0,743. Jumlah butir soal yang memiliki korelasi butir soal dan skor total lebih kecil dari 0,02
terdapat 8 butir soal (butir soal nomor 5, 9, 26, 27, 28, 33, 35, 46). Sebagian besar butir soal
berasal dari dimensi keintiman. Selain itu, didapat coefficient alpha cronbach untuk masingmasing dimensi, berkisar antara 0,009 hingga 0,841. Dimensi dengan alpha lebih kecil dari
0,5 ialah Finansial (0,009), Keintiman (0,138), dan Keintiman Sosial (0,383).

252

Evaluasi validitas kriterion dilakukan dengan mengorelasikan skor total dengan rating
kepuasan pernikahan subjektif secara keseluruhan. Koefisien korelasi spearman yang
didapat ialah 0,487 dan signifikan dalam taraf signifikansi 0,01. Hal ini memperlihatkan
bahwa semakin tinggi skor total kuesioner kepuasan pernikahan maka semakin tinggi pula
penilaian terhadap kepuasan subjektif secara keseluruhan.
Simpulan
Alat ukur kepuasan pernikahan pasangan urban ini memiliki reliabilitas yang tinggi
(=0,920) serta validitas kriterion yang cukup baik (rs=0,487). Namun demikian, masih
banyak butir soal dengan kualitas kurang baik, seperti misalnya butir soal “Saya rikuh
berada berdua saja dengan pasangan”, arti kata “rikuh” di sini kurang dapat dipahami oleh
responden di area urban. Selain itu, masih perlu perbaikan untuk dimensi Keintiman,
Keintiman Sosial, dan Finansial.
Temuan lain ialah pasangan dewasa muda yang bekerja di daerah urban menilai
pernikahan mereka relatif memuaskan, terlihat dari jangkauan penilaian kepuasan
pernikahan subjektif dari 70—100 (rata-rata 83,94; SD: 9,16). Total skor kepuasan
pernikahan juga dinilai tinggi, yaitu rata-rata 176,68 dari skor maksimum yang mungkin
didapat, yaitu 232. Hal ini memperlihatkan bahwa terdapat kecenderungan memberikan
jawaban yang sesuai dengan norma sosial. Oleh karena itu, hal ini harus diperhatikan dalam
pengembangan alat ukur kepuasan pernikahan, khususnya pada pasangan muda di kawasan
urban.
Hasil observasi peneliti memperlihatkan bahwa ada calon partisipan yang menolak
mengisi kuesioner karena dianggap terlalu mengungkap kehidupan pribadinya. Oleh karena
itu, perlu dipilih kata-kata yang tidak mengancam agar partisipan bersedia mengisi
kuesioner ini sesuai dengan perasaan terhadap pernikahannya.
Referensi
Atwater, E. & K.G. Duffy. 2005. Psychology for Living: Adjustment, Growth, and Behavior Today.
New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
DeGenova, M.K. 2005. Intimate Relationships, Marriage and Families. Boston: McGraw-Hill.
Duvall, E.M. & B.C. Miller. 1985. Marriage and Family Development. London: Harper & Row
Publisher.
Fowers, B.J. & D.H. Olson. 1993. “ENRICH Marital Satisfaction Scale: A Brief Research and
Clinical Tool”, Journal of Family Psychology, vol. 7, No. 2.
Lauer, R.H. & J.C. Lauer. 2000. Marriage & Family: The Quest for Intimacy. Boston: McGrawHill.
Lawrence, E., R.A. Barry, R.L. Brock & A. Langer. 2009. “Assesment of Marital Satisfaction”,
H. Reis & S. Sprecher (eds.), Encyclopedia of Human Relationships. SAGE Publications,
dari http://www.sageereference.com/humanrelationships/Article_n330.html.
Nieva, VF& Gutek, BA1981,Woman and work, Praeger, New York.

253

Papalia, D.E., S.E. Olds & R.D. Feldman. 2004. Human Development. New York: McGrawHill Companies.
Pemerintah Republik Indonesia, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak.
2008.
“Partisipasi
Angkatan
Kerja”,
http://www.menegpp.go.id/aplikasidata/index.php?option=com_docman&task=doc
_download&gid=306&Butir soalid=65, diunduh 30 Januari 2012.
Sadarjoen, S.S. 2004. “Model Kualitas Perkawinan Berdasarkan Kepegasan Pasangan dan
Gaya Penyelesaian Konflik Perkawinan: Studi Eksplanatif terhadap Pasangan
Perkawinan Eksekutif Muda Pada Usia Perkawinan Sepuluh Tahun Pertama di Kota
Bandung dan Jakarta”, Disertasi, Universitas Padjajaran, Bandung.
____________

. 2012. Modul Tata Laksana Couple Therapy. Jakarta: Universitas Yarsi.

Saputra, A. 2011. “Pemicu Utama Perceraian Masalah Ekonomi, Selingkuh Urutan Kedua”,
http://www.detiknews.com/read/2011/08/03/113811/1695407/10/pemicu-utamaperceraian-masalah-ekonomi-selingkuh-urutan-kedua?nd9922, diunduh 30 Januari
2012.
Seccombe, K. & R.L. Warner. 2006. Marriages and Families: Relationships in Social Context.
Victoria: Wadsworth/Thomson Learning.
Shek, D.T.L. 1995. “Marital Quality and Psychological Well-being of Married Adults in A Chinese
Context”, The Journal of Genetic Psychology, vol. 156, no. 1 (Proquest).
Spanier, G.B. 1976. “Measuring Dyadic Adjustment: New Scales for Assessing the Quality of
Marriage and Similar Dyads”, Journal of Marriage and the Family, vol. 38, no. 1 (JSTOR).
Tjaja, R.P. 2000. “Wanita Bekerja dan Implikasi Sosial”, http://www.bappenas.go.id/getfile-server/node/8632, diunduh 30 Januari 2012
Wilson, M.R. & E.E. Filsinger. 1986. “Religiousity and Marital Adjustment: Multidimensional
Interrelationships”, Journal of Marriage and the Family, vol. 48, no. 1. (Feb., 1986) (JSTOR).

254