Partai Politik Sistem Pemerintahan dan O

Partai Politik, Sistem Pemerintahan dan Oposisi
Politik1
Oleh :
Subhan Agung2

Abstrak

Pada dasarnya ada keterkaitan yang erat antara partai
politik dengan sistem pemerintahan sebuah negara.
Partai politik telah berabad-abad lamanya, bahkan
masih berjalan sampai saat ini menjadi lembaga sentral
penyumplai aktor-aktor pemerintahan, baik legislatif
maupun eksekutif.
Oposisi muncul sebagai jawaban atas ketidakmampuan
parpol dalam menyerap kepentingan-kepentingan yang
berkembang di masyarakat. Namun dalam prakteknya
oposisi dalam arti yang sebenarnya dan terintsitusi
dalam bentuk pemerintahan parlementer. Sedangkan
dalam bentuk pemerinatahan presidensial oposisi tidak
terstruktur dan dilembagakan, oposisi hanya muncul
sebagai gerakan, layaknya lembaga penekan lainnya

yang lazim muncul dari gerakan civil society.
Pendahuluan
Partai Politik merupakan “biang” dari pemerintahan di sebagian
besar negara di dunia saat ini. Mereka menyebarkan anggotaanggotanya di berbagai institusi vital pemerintahan lewat
mekanisme pemilihan yang melibatkan rakyat (electoral),baik di
eksekutif, legislatif maupun lembaga-lembaga politik lainnya.
Hampir bisa dipastikan institusi-institusi tersebut dikuasai oleh
“orang-orang partai tadi”.
Oleh karena pemerintahan didominasi oleh “orang-orang partai”,
maka segala kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan di
semua level tadi tentunya sangat dipengaruhi oleh kepentingan
1Disampaikan dalam Diskusi sebagai Pemakalah Teori Partai Politik dan Sistem
Pemilu, Universitas Siliwangi, Tasikmalaya.
2Pengajar Ilmu Politik FISIP Unsil Tasikmalaya.

partai politik. Kepentingan partai ini merupakan sesuatu yang
taken for granteddalam kosep Ilmu Politik ketika memasuki
pemerintahan yang ada, dikarenakan akan sangat sulit bagi
petinggi partai mengabaikan kepentingannya di jabatan
pemerintahannya. Namun yang kemudian menimbulkan dinamika

adalah ketika kepentingan tersebut tidak selaras dengan
keinginan masyarakat atau kelompok-kelompok di masyarakat
yang bisa menimbulkan apa yang disebut oposisi-oposisi politik.
Istilah oposisi dalam banyak kasus sering disamakan dengan
penekan politik (political pressure).
Konsep di atas, dalam kajian disiplin Ilmu Politik sering disebut
sebagai sebab munculnya oposisi dari sudut pandang hubungan
the mass and the elite. Di mana elit-elit di pemerintahan tidak
mampu mengakomodir berbagai tuntutan dari kelompok yang ada
di masyarakat, sehingga memunculkan kekecewaan dan tuntutantuntutan tertentu sehingga muncullah oposisi ini. Selain berdasar
atas konsep pertama di atas, oposisi juga bisa disebabkan oleh
kekecewaan dan ketidakpuasan dari pihak partai politik yang
mengalami kekalahan atau minoritas dalam seleksi elektoral
(Pemilu), mereka biasanya membentuk kubu tersendiri di dalam
pemerintahan dan menggabungkan kekuatan dengan partai
“gurem” lainnya untuk menekan dan mengganti pemerintahan
dengan menggalang dukungan dari berbagai pihak. Pendekatanini
biasa dikenal sebagai pendekatan institusionalisasi oposisi. Model
ini banyak berkembang di negara-negara Eropa Barat semisal
Inggris dan Prancis.

Kedua model mainstream munculnya oposisi politik di atas lazim
dan populer saat ini di dunia. Namun yang paling populer adalah
yang mode pertama. Hampir setiap perbincangan tentang oposisi
politik itu muncul lebih pada rujukan kasus yang pertama, bahkan
dalam beberapa kasus model institusi oposisi pun pada
kenyataannya mendapatkan kekuatan jika mendapat support dari
oposisi jalanan (menunggangi interest groups) yang ada.

Oposisi Politik dan Demokrasi
Robert A.Dahl (1989)mengemukakan bahwa oposisi politik dalam
negara demokrasi tidak bisa dihindarkan, bahkan menjadi tolokukur sehat atau tidaknya negara demokrasi,dikarenakan pada

dasarnya konflik tidak bisa dihindarkan dalam urusan manusia.
Selain itu juga setiap warga negara memiliki hak inisiatif dan
partisipasi dalam membangun pemerintahan yang lebih baik ke
depannya. Namun perbedaan cara dan persepsi dalam memajukan
pemerintahan akan sangat beragam dan menimbulkan gesekan.
Ilmuwan-ilmuwan politik Barat, termasuk salah satunya Dahl
merekam jejak proses demokrasi Eropa, terutama Eropa Barat dan
Amerika. Para ilmuwan tersebut memasukan presurre groups

sebagai salah satu bagian dari oposisi politik. Grup penekan lebih
pada berbagai kelompok yang muncul dimasyarakat yang kecewa
dan menekan tapi belum tentu menentang pemerintahan yang ada
atau bertujuan mengganti pemerintahan, kebijakan atau personil
pemerintahan. Sedangkan Oposisi politik lebih luas dari itu yakni
bertujuan menentang pemerintahan, bisa berupa perubahan total
ataupun bisa menolak perubahan yang dibawa pemerintah. Oposisi
jenisnya tidak hanya mengganti pemerintahan secara total, tetapi
mungkin yang diganti hanya personilnya saja atau kebijakannya
saja seperti yang biasa dilakukan oleh presure groups.

Adakah Oposisi di Indonesia?
Dari pemahaman dan batasan tersebut, kita lanjutkan kajian pada
oposisi di Indonesia. Pertanyaan sederhananya, adakah oposisi
dalam sistem pemerintahan Indonesia?. Hal ini menjadi penting
dengan adanya kasus yang oleh SBY dianggap “pembelotan” dari
koalisi gabungan partai-partai besar dalam kasus Century
kemarin. Kubu Demokrat menganggap koalisi sudah final dan para
anggotanya harus mendukung dan menguatkan pemerintahan
supaya stabil. Namun yang terjadi adalah justru sebaliknya di

mana Golkar, Hanura, PKS dan lainnyadi Pansus Centurylebih
banyak menyerang dan menyudutkan pemerintahan SBY bahkan
sampai pada wacana pemakzulan, hal ini tentu saja dianggap
pihak Demokrat saat itu dianggap “pembelotan” dari janji koalisi.
Disisi lain, partai-partai koalisi yang dianggap membelot juga
mempertahankan pendiriannya, bahwa koalisi jangan dipahami
ketat dan kaku. Anggota-anggota koalisi tetap kritis terhadap
pemerintahan, karena mendukung bukan berarti diam ketika ada
kesalahan dalam pemerintahan. Selain itu juga, Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang memang dari awal selalu

kontra pemerintah dikarenakan calon presidennya mengalami
kekalahan dalam dua Pemilu sebelumnya, mendeklarasikan diri
sebagai partai oposisi, belum jelas apakah tujuan akhirnya
mengganti pemerintahan atau hanya kebijakannya.
Untuk menjawab kasus di atas, ada baiknya kita melihat konsepsi
dari konsep koalisi, oposisi dan sistem pemerintahan. Di dunia
saat ini populer dikenal dua sistem pemerintahan utama dan satu
sistem Hybrid yakni sistem Presidensial, Parlementer dan Hybrid
System. Dalam sistem Presidensial, presiden dipilih oleh rakyat

sebagai pemimpin eksekutif (kepala negara dan kepala
pemerintahan), kekuasaan presiden sifatnya fixtem (sudah baku
dalam konstitusi dasar negara). Legislatif juga dipilih oleh rakyat
dalam Pemilu. Presiden bertanggung jawab pada rakyat lewat
Majelis Perwakilan. Legislatif tidak bisa menjatuhkan presiden,
tetapi bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan langsung, lewat
berbagai hak yang dimilikinya. Namun dalam kondisi darurat DPR
bisa mengajukan ketidakpercayaan untuk menjatuhkan presiden
dan disahkan Majelis Perwakilan Rakyat, namun sangat jarang
terjadi. Kedua-keduanya memilki veto yang sama kuat, sehingga
terkadang pengesahan satu undang-undang dalam sistem ini
cenderung berlarut-larut. Dalam sistem ini oposisi partai yang
cenderung bertujuan mengganti pemerintahan tidak dikenal,
namun jikapun ada hanya sifatnya menekan dalam kontra
kebijakan. Lebih jelasnya lihat bagan 1!.
Dalam sistem parlementer, presiden dipilih oleh rakyat atau untuk
di negara dengan sistem kerajaan dipilih oleh sidang kerajaan
tertentu. Kepala pemerintahan dipegang eksekutif dibawah
pimpinan perdana menteri yang justru paling vital karena
fungsinya sebagai kepala pemerintahan. Perdana menteri dipilih

oleh parlemen (sejenis legislatif). Dan palemen dipilih oleh rakyat
dalam Pemilu. Dalam sistem ini sifatnya fluid (sewaktu-waktu bisa
ada perubahan, tidak baku). Oposisi muncul tergantung konstelasi
partai, dalam sistem ini partai oposisi diakui konsistensinya dalam
negara. Parlemen bisa dengan cepat menjatuhkan (replace)
pemerintahan jika dipandang perlu, karena pemerintahan
bertanggung jawab pada parlemen. Dalam kasus dibeberapa
negara penganut sistem ini, seperti Inggris dan beberapa negara
Skandinavian, partai-partai oposisi menggelar pemerintahan
tandingan (shadow government), lengkap dari perdana menteri
sampai menteri-menteri dan jabatan-jabatan lainnya dan

mendapatkan gaji yang besar dari perannya menjadi saingan
pemerintah yang sah. Dan jika mampu menggulingkan kekuasaan,
biasanya pemerintahan tandingan ini bisa langsung menjadi
penguasa. Lebih jelasnya lihat bagan 2!.
Sedangkan dalam sistem Hybrid, presiden berfungsi sebagai
kepala negara, dan berfungsi memilih kepala pemerintahan atau
perdana menteri. Perdana menteri bertanggung jawab kepada
parlemen. Presiden dan parlement sama-sama dipilih oleh rakyat.

Oposisi dalam model ini terjadi dalam level palemen dan sifatnya
hanya pada pertarungan untuk perubahan kebijakan antar
kepentingan partai. Model ini dipraktekkan di Prancis. Untuk lebih
jelasnya lihat di bagan 3!.

Bagan 1. Sistem Presidensial
Presiden

Ceck and Balances
Legislatif

Eksekutif

Bersifat fictem
Elektoral
(PEMILIH-PEMILIH)

Bagan 2. Sistem Parlementer

Government (Perdana Menteri

Elektoral (PEMILIH-PEMILIH)
Parlement
(sejenis legislatif)

Replace

memilih

Shadow Government Fluid/tidak fictem

memilih

Bagan 3. Sistem Hibryd
Bertanggung jawab

Parlemen

Head of Government

Presiden(Head of State)


Memilih

Memilih

Elektoral
(PEMILIHPEMILIH)

Dari kajian di atas, terlihat jelas bahwa dalam sistem presidensial
seperti negara kita, oposisi hanya dikenal dalam konteks
perubahan kebijakan. Oposisi yang kemudian disistemkan dalam
sistem demokrasi hanya dikenal dalam sistem parlementer dan

menjadi model tersendiri yang diberlakukan di banyak negara.
Oposisi yang tujuan akhirnya menjatuhkan pemerintahan atau
personil pemerintahan sangat memungkinkan dilakukan dalam
negara yang menganut sistem ini. Sedangkan di Indonesia saat ini
kecil kemungkinan. Walaupun masih bisa tapi sifatnya akan tidak
mudah, dikarenakan sistem presidensial yang memberikan ruang
perimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif.

Jadi oposisi dalam konteks yang diproklamirkan PDI-P dalam kasus
di atas, sifatnya tidak terinstitusi dalam pemerintah, hanya pada
flat form sementara partai, yang kebetulan mengalami kekalahan
dalam Pemilu oleh partai penguasa. Peran-peran oposisi pun tidak
lebih strategis dengan apa yang dilakukan oleh interest groups
yang bertansformasi menjadi presure groups yang ujung-ujungnya
lebih pada kritik dan menekan pada perubahan kebijakan ke
depannya.
Di sisi lain, dikarenakan oposisi tidak terinstitusi dalam
pemerintahan sebagai common enemy-nya koalisi, maka koalisi
pun di sistem presidensial tidaklah baku dan tidaklah ketat,
karena batasan-batasan suatu partai keluar dari koalisipun tidak
terlalu ketat. Sehingga partai-partai peserta koalisi dengan serta
merta bisa dengan cepat merubah sikap dan menyerang
pemerintah. Lihat konsep ini pada kasus Indonesia seperti yang
disampaikan di atas tadi. Hal ini bisa menjelaskan mengapa Golkar
menyerang pemerintah yang merupakan partai penguasa
pimpinan koalisi. Sedangkan di negara dengan oposisi yang ketat
seperti dalam sistem parlementer, maka koalisi pun sangat ketat
dan jika anggota koalisi melanggar, maka dengan serta merta
partai penguasa mendudukkannya sebagai lawan politik atau
oposisi.

Referensi List
Amal, Ichlasul, 1996, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Tiara
Wacana, Yogyakarta.
Bogdanor, Vernon, 1981, The People and the Party System,
Cambridge University Press, Cambridge.
Dahl, Robert, 1989, Democracy and Its Critics, Yale University,
New Heaven.

----------, 1985, A Preface to Economic Democracy, University of
California, Berkeley.
Handbook of Political Parties, 1987, Sage Publication, NY.
Jackson, Keith, 1987, The Dilemma of Parliament, Allen and
Unwin-Port Nicholson Press.