Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Dengan Pengan Ditengah Perubahan Studi Kasus Perilaku Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Orang Mbatakapidu T2 092013003 BAB VI

En a m
Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu

Kehidupan Ekonomi Orang M batakapidu
Pada umumnya orang M batakapidu merupakan petani lahan
kering yang juga sebagai penganyam tikar, penganyam gedek, tenunan
(lawu1, hinggi 2 dan tiara haringgi 3), mengusahakan arang, kayu bakar
dan pekerjaan sejenis lainnya. Hasil dari kerajinan tikar, arang dan
kayu bakar merupakan sumber pendapatan utama Orang M batakapidu
terutama untuk memenuhi kebutuhan primer mereka seperti beras,
sirih, pinang, kapur, kopi, gula, kebutuhan dapur lainnya dan biaya
pendidikan anak.
Kegiatan seperti menganyam tikar merupakan kegiatan yang
banyak digeluti oleh orang M batakapidu lebih tepatnya dilakukan oleh
para kaum ibu, bapak dan pemuda-pemudi. Adapun ciri-ciri dari usaha
yang mereka geluti seperti (1) bahan baku berupa pohon pandan yang
tersedia secara melimpah di kebun maupun di sekitar bataran sungai;
(2) kegiatan ini merupakan usaha individu dan kelompok (jika
tergabung di dalam PKK yang anggotanya berasal dari berbagai suku
namun masih memiliki hubungan kekerabatan; (3) jika ada pesanan
khusus dari pelanggan maka akan dikerjakan oleh individu atau

anggota yang mendapat kepercayaan untuk menganyam pesanan yang
diminta, biasanya dibantu oleh sanak keluarga yang berada dalam
lingkup rumah tangga tersebut (hasil dari anyaman inipun akan
menjadi sumber pendapatan bersih bagi sang pengrajin), sedangkan
jika dikerjakan secara gotong royong oleh anggota PKK maka hasilnya
sebagian akan dimasukkan ke dalam kas PKK dan sebagian akan dibagi
secara merata pada masing-masing anggota yang terlibat; (4) alat yang
Sarung (untuk perempuan)
Kain (untuk laki-laki)
3 Selendang
1

2

73

digunakan untuk menganyam pun masih sangat sederhana serta
bersifat padat karya; (5) kegiatan menganyam sudah dilakukan secara
turun-temurun dan (6) pengrajin sangat terampil dan skilled dalam
menghasilkan produk dari pandan.


Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2011 dan 2014.

Gambar 18 dan 19. Kegiatan Menganyam para Ibu aggota PKK (kiri) dan Ibu
Karolina K. Ngguna sedang menganyam tikar yang dipesan dari Jakarta
(kanan)

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014.

Gambar 20 dan 21. Tikar hasil anyaman para Ibu aggota PKK (kiri) dan salah
satu hasil kreasi berupa model tanduk sapi (kanan)

74

Terkait dengan hal ini, ibu M argaretha Takandjandji 4 menyebut:
“Kalau kerajinan tikar sudah masuk home industry. Ada
yang ukuran kecil, ada yang ekornya (ujungnya) diberi
variasi (khusus yang di jual ke luar daerah). Kalau yang
ukuran 1 x 3 m seharga Rp 600.00,-. Ukuran 1,2 x 5 m
seharga Rp 800.000,- sedangkan ukuran 1,2 x 10 m seharga

Rp. 1.500.000,-. Sekarang sedang dianyam ukuran 1,2 x 15
dan ukuran 1,2 x 20 m karena karena ada permintaan atau
pesanan dari Jakarta. Ke depan akan dipesan sampai yang
berukuran 30 m. Pesanan yang datang diawali dengan
ukuran yang kecil dan sederhana dengan asumsi bahwa kalau
langsung dipesan yang berukuran 30 m maka para pengrajin
belum terbiasa, sehingga dimulai dari ukuran yang kecil
sampai ukuran yang paling besar (30 m). Nantinya tikar ini
akan digunakan sebagai carpet untuk peragaan busana.
Pemilihan karpet yang berasal dan berbahandasar pandan ini
merupakan pesanan dari designer yang melakukan kerja
sama dengan pihak kementrian ekonomi kreatif. Selain tikar,
ada juga anyaman bantal yang berbahandasar pandan dengan
nilai jual Rp 300.000,-. Kelebihan pengrajin di sini adalah
cukup hanya dengan melihat sebuah contoh maka para
pengrajin akan cepat menangkap dan langsung mulai
menganyam sesuai dengan pesanan, sedangkan anyaman
yang berbentuk tanduk sapi dihargai dengan Rp 100.000,-”.

Senada dengan penuturan ibu M argaretha Takandjandji, maka

Karolina Konda Ngguna5 juga menyebut:
“Kegiatan produktif yang kami lakukan seperti
membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan
sebagainya. Tikar yang berukuran 1 x 2 m seharga Rp.
50.000,- ukuran 2 x 4 seharga Rp 300.000,- ukuran 1,2
x 10 m seharga 1.500.000,-. Kalau ukuran paling besar
kami buat sesuai dengan kemampuan. Kegiatan ini
sudah dilakukan secara turun-temurun. Kami hidup
dari hasil tenun tikar. Pendapatan yang kami
terimapun digunakan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari seperti pengeluaran sehari-hari seperti kopi,
gula, teh, beras, sirih, pinang dan sisanya untuk biaya
pendidikan anak”.
4
5

W awancara tanggal 08 Oktober 2014
W awancara tanggal 08 Oktober 2014

75


Dari penuturan ibu M argaretha Takandjandji dan Karolina
Konda Ngguna tergambar bahwa kegitan produktif seperti menganyam
pandan sudah masuk dalam industri rumah tangga dan dapat
menopang kebutuhan rumah tangga orang M batakapidu. Gambaran ini
sejalan dengan pandangan Ramachandran (1955) dalam Sosrodihardjo
(1987 : 125) yang menyebut industri pedesaan harus diperbaiki,
sehingga dapat berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) secara regional
dalam hubungannya dengan falsafah seperti gotong-royong (mutual
service and neighbourliness).
Staley (1972) dalam Sosrodihardjo (1987 : 126) menyebut
industri kecil dapat dibagi menjadi 4 kategori yaitu (1) family system
(manufacture of own use); (2) artisan system; (3) putting out or
dispered factory system dan (4) factory system. M elihat industri yang
ada di desa, maka Sosrodihardjo (1987 : 126) menyebut family system
merupakan dasar industri pedesaan. Dalam hal ini, yang dimaksud
dengan family adalah keluarga dalam arti batih dan keluarga dalam arti
kerabat.
Sosrodihardjo (1987 : 126) menyebut industri yang ada di
pedesaan merupakan industri yang bersifat labour intensive, di mana

modal yang paling utama adalah (1) tenaga kerja dan (2) bahan mentah
yang diperoleh berasal dari pekarangan sendiri atau tempat yang
berdekatan. M eskipun di sini uang turut menentukan, namun modal
uang sangat terbatas jumlahnya. Hal yang menarik dari industri
pedesaan seperti labour intensive adalah industri-industri terkumpul
dan terpusat di suatu kampung atau dukuh atau bagian dari dukuh dan
tidak sampai meliputi satu desa. Contoh terpusatnya industri (anyaman
tikar) pedesaan di desa M batakapidu terdapat di kampung Uhu
M utung, M anu Rara, Lai Ndatang dan beberapa kampung lainnya.

Lumbung: Antara Ketahanan Pangan dan Kolektivitas
Orang M batakapidu merupakan sebuah komunitas lokal yang
memiliki tradisi secara turun-temurun dalam hal ketahanan pangan.
Inilah yang merupakan warisan para leluhur orang M batakapidu pada

76

masa lampau yang sampai saat ini masih diejawantahkan di sana.
Ketahanan pangan yang dimaksud yaitu melalui penyediaan tiga jenis
lumbung. Berikut adalah penuturan dari beberapa informan terkait

dengan perilaku berladang mereka.

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014.

Gambar 22 dan 23. Lumbung di hindi (kiri) dan lumbung di atas pohon
(kanan)

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014.

Gambar 24. Bapak Petrus Babu Eha dan lumbung di kebunnya

Terkait dengan hal ini, bapak
menyebut:

6

Umbu Ngguti Nggandung6

FGD tanggal 12 September 2014


77

“Ada 3 macam lumbung pangan yang notabene merupakan
warisan para leluhur yaitu lumbung di kebun, pohon dan
loteng (hindi). Lumbung di kebun ini meliputi tanaman
seperti padi, jagung, luwa, iwi, keladi, singkong, ganyong,
pepaya, sukun, labu, pepaya dan sebagainya. Lumbung di
pohon meliputi jagung yang dililit di atas pohon, sedangkan
lumbung di hindi berupa jagung, sorgum, kacang-kacangan
dan padi yang dipersiapkan sebagai bibit (winingu) untuk
persiapan masa tanam musim berikutnya. Makna dari ketiga
lumbung pangan ini ingin menunjukkan bahwa rumah
tangga tersebut memiliki sumber makanan yang cukup”.

Dari penuturan bapak Umbu Ngguti Nggandung tergambar
bahwa eksistensi dari ketiga lumbung pangan ini kurang lebih hanya
untuk memenuhi kebutuhan primer atau konsumsi rumah tangga dan
persiapan bibit, sehingga secara komprehensif dan detail bapak
Alexander Viktor Umbu Retangu7 menyebut:
“Maksud dari 3 lumbung ini bukan hanya ingin

menunjukkan bahwa seseorang memiliki atau berkecukupan
pangan, tetapi ini berarti kelompok tersebut akan saling
membantu pada waktu musim lapar atau dalam istilah
modern disebut sebagai usaha bersama atau koperasi kecil
atau dalam bahasa adatnya disebut pa anda rukungu parai
ruping”. Artinya jika sebuah rumah tangga tidak memiliki
jagung atau padi sebagai sumber karbohidrat sehari-hari atau
bibit maka akan dibagi kepada rumah tangga tersebut.
Dengan kata lain, di sini ada rasa solidaritas yang tinggi.
Misalnya si A punya 200 karandi 8 dan dia simpan 50 karandi,
si B memiliki 50 karandi dan hanya simpan 10 karandi tetapi
jika si B kehabisan bibit maka dia akan berkekurangan, tetapi
dengan adanya lumbung maka akan menolong pada waktu
musim tanam dan akan serempak dalam hal menanam.
Karena dalam beberapa dekade ini terjadi perubahan iklim
yang sangat ekstrim mengakibatkan hasil panen orang
Mbatakapidu menurun, namun tidak secara signifikan”.

Diperkuat lagi oleh temuan M akambombu (2013 : 9) yang
menyebut:

“Program ketahanan pangan yang sementara ini digalakkan
juga sebagai upaya untuk mengembalikan model ketahanan
7
8

W awancara tanggal 08 Oktober 2014
Sebuah satuan yang digunakan untuk menilai jumlah jagung.

78

pangan yang dilakukan oleh para leluhur mereka pada masa
lampau. Pada masa lampau, leluhur mereka mengenal sistem
ketahanan pangan melalui penyediaan 3 jenis lumbung
pangan yaitu (1) lumbung di rumah,9 lumbung ini berfungsi
untuk menyediakan bahan pangan dan bahan bibit untuk
keberlanjutan musim tanam tahun berikutnya; (2) lumbung
di pohon, yaitu berupa jagung hasil panen yang digantung
pada pohon yang memiliki tegakan lurus untuk menghidari
dari ancaman dimakan tikus, lumbung ini berfungsi untuk
menampung hasil panen yang biasanya dipersiapkan untuk

persediaan pangan pada masa-masa kerja kebun, yaitu
sebelum musim hujan tiba, seperti pada bulan-bulan
September - Oktober dan (3) lumbung di kebun, tidak dalam
arti tempat penyimpanan di suatu tempat, tetapi merupakan
tanaman pangan yang sengaja tidak dipanen (masih dalam
tanah atau tetap di pohonnya) yang dibiarkan begitu saja
karena sewaktu-waktu akan dikonsumsi. Jenis tanaman
dimaksud seperti, petatas, ganyung, luwa, litangu dan
sebagainya”.

Senada dengan penuturan M akambombu, maka Yacob Tanda10
juga menyebut:
“Sejak dari jaman leluhur kami telah dikenal istilah lumbung.
Istilah lumbung ini dibagi atas 3 jenis yaitu lumbung di
kebun (woka), loteng (hindi) dan pohon (pingi ai). Misalnya
kalau jagung panen pada bulan Maret (bisa di muat ke hindi
dan pohon), sorgum panen bulan Juli (dimuat ke hindi), ubi
kayu panen bulan Agustus dan September (dimuat ke hindi),
panen kapas, keladi, iwi bulan Oktober, November dan
Desember (kebun). Harus didukung oleh tanaman jangka
menengah seperti pisang, sukun, mangga, jeruk. Hal ini
dilakukan untuk mendukung ketersediaan pangan (ambil di
kebun), di mana langsung petik lalu langsung jual, sehingga
tidak masuk rumah lagi. Saat ini masyarakat kami telah
lampaui tahapan produksi (sudah terbiasa berproduksi) walau
cuman gelondongan. Climate change juga merupakan sebuah
hal yang terus diwaspadai oleh seluruh elemen yang ada di
Mbatakapidu, Salah satu contoh terjadi pada musim tanam
2013 dan musim panen 2014 di mana banyak masyarakat
yang gagal panen. Jika kita hanya meratapi apa yang telah
terjadi dan tidak mau belajar dari pengalaman dan mulai
9 Rumah yang dimaksud berupa rumah panggung yang memiliki loteng dan bukan
rumah pada umumnya.
10 W awancara tanggal 09 September 2014

79

meningkatkan etos kerja yang tinggi maka bukan tidak
mungkin masyarakat akan selalu tergantung akan makanan
pokok yang dijual di lumbung desa”.

Dari penuturan bapak Alexander Viktor Umbu Retangu, Yacob
Tanda dan temuan M akambombu tergambar bahwa orang
M batakapidu masih menjalankan dan atau mengejawantahkan model
tiga lumbung dalam praktek berladang mereka. M akna dari ketiga
lumbung ini tidak hanya untuk mendukung ketersediaan pangan,
tetapi merupakan cikal bakal koperasi versi orang Sumba. Hal ini
sejalan dengan pandangan Bellah (1992 : 18-19) yang menyebut ketika
konfusianisme Cina yang menekankan pada faktor efisiensi, harmoni
dan mengintegrasikan bagian yang berbeda dari masyarakat dalam
usaha produksi berkolaborasi dengan budhisme Jepang maka disini
terjadi semacam pergeseran, di mana tidak lagi memperhatikan lagi
faktor-faktor di atas, tetapi lebih menekankan pentingnya relasi yang
tanpa pamrih untuk kepentingan kolektif.
Di sisi lain, karena faktor climate change mengakibatkan hasil
panen orang M batakapidu menjadi menurun, sehingga persediaan di
lumbung pun menjadi berkurang. Oleh karena itu, upaya untuk
mengembangkan tanaman panganan lokal menjadi kewajiban bagi
masing-masing rumah tangga dalam menjaga keberlangsungan dan
keberlanjutan dari ketiga lumbung ini.
Terkait dengan hal ini, bapak Bimbu W ohangara11 menyebut:
“Sebenarnya yang harus kita pelajari yaitu cara kerja dalam
bidang pertanian. Contoh: dulu jam 04 pagi harus bangun
masak air, minum kopi, jam 06 harus makan dan setelah
selesai makan harus di kebun. Ini rutinitas yang kita lakukan.
Etos kerja dari para anak muda Mbatakapidu semakin hari
semakin menurun. Contoh: dengan adanya motor maka
anak-anak muda akan cenderung berada di atas motor dari
pada harus mencurahkan waktu di kebun. Semangat kerja
untuk bertahan hidup semakin tergerus. Dulu ada istilah
gerbang hililuwanya. Ada 2 istilah yang terkadung yaitu (1)
bagaimana pengalaman atau teladan orang tua kita ulangi
11

W awancara tanggal 29 September 2014

80

dan (2) merupakan singkatan dari nama tanaman panganan
lokal seperti hilli, iwi, luwa, litangu, ganyong. Sekarang
kalau kita tanam jagung atau ubi kayu maka kita tidak tanam
lagi tanaman lokal yang lain, sehingga kalau jagung tidak
berhasil maka kita tinggal gigit jari. Dulu tanam hilli, iwi,
ganyong, ubi kayu dan kalau jagung hasil panennya menurun
maka masih ada stok tanaman pangan lokal yang lain.
Artinya lumbung selalu tersedia di kebun, sehingga kita tidak
lapar. Setiap rumah tangga harus miliki 10 jenis tanaman
pangan lokal yang didukung oleh peraturan daerah yang
menyerukan bahwa setiap petani harus siapkan tanaman
panganan lokal. Kami tidak sajikan makanan yang dibeli di
pasar seperti kue, tetapi kami sajikan makanan yang
berbahan dasar tanaman pangan lokal seperti cendol, sate ubi
dan sebagainya. Ada program dari pemerintah daerah terkait
dengan no day without rice (tiada hari tanpa beras).
Kendalanya karena rumah kami jauh dari kebun maka kami
tidak tanam di kebun, sehingga kami menanamnya di
pekarangan rumah. Kami wajib tanam 50 pisang per kepala
keluarga. Untuk merubah pola pikir untuk kembali ke
semula maka akan cukup berat. Jika pakai sistem paksaan
juga kurang pas. Cara yang paling efektif yaitu bagaimana dia
kenyang dulu, termasuk kembangkan bermacam pangan
lokal, sehingga kalau cuaca lagi ekstrim maka kita dapat
mensiasati kelaparan. Sekarang kita harus sadarkan dan
yakinkan diri masyarakat lewat perenungan pembangunan
seperti: (1) sadar diri bahwa saya miskin; (2) percaya diri
bahwa saya mampu; (3) menganggap bantuan dari pihak lain
sebagai pelengkap atau perangsang; (4) merasa diri
mempunyai modal dasar seperti tenaga, tanah, bibit atau
benih dan modal uang sesuai dengan kemampuan”.

Senada dengan penuturan bapak Bimbu W ohangara, maka
Kalikit Landjamara12 juga menyebut:
“Kalau mau menghasilkan segala sesuatu maka kita harus
kerja keras. Ada petuah nenek moyang yang menyebut
amahu rara na parikku (tajak itu adalah emas). Jika ada
parikku (tajak), tetapi kita tidak memanfaatkannya maka
akan sia-sia. Istrimu adalah tanah. M engapa demikian?
Karena dengan memanfaatkan dan mengolahnya maka kita
akan bisa bertahan hidup darinya dengan menghasilkan
hasil-hasil bumi. Kita harus keluar air keringat baru kita bisa
‘menikmati’ segala berkat Tuhan. Ketika saya jual hasil usaha
12

W awancara tanggal 13 September 2014

81

sendiri maka kita akan lebih menikmatinya. Untuk
mendapatkan segala sesuatu maka kita harus kerja keras dan
tabah. Dewasa ini kalau kita kurang usaha maka kita akan
sengsara, sedangkan yang giat berusaha maka hidupnya akan
sejahtera”.

Dari penuturan bapak Bimbu W ohangara dan Kalikit
Landjamara tergambar bahwa rendahnya etos kerja generasi muda di
M batakapidu menjadi sebuah tantangan dalam pembangunan di desa
M batakapidu. Seharusnya para generasi muda dapat mencurahkan
sebagian waktu mereka untuk bekerja membantu orang tua di kebun.
Artinya ada alokasi penggunaan waktu yang lebih tepat dari pada
mencurahkan waktu mereka untuk berkumpul dengan teman-teman di
W aingapu untuk mengkonsumsi minuman keras.
Ada beberapa petuah dari para leluhur yang dapat dijadikan
sebagai bahan perenungan oleh generasi muda di M batakapidu. Bapak
Bimbu W ohangara13 menyebut ada petuah yang mengajarkan namunya
na kabbiala punggu ai, parikku butta rumba (ingat parang potong kayu
dan tajak cabut rumput) dan namunya na karunggu panni manu, utta
uhu wei (ingat jagung untuk makanan ayam dan dedak padi untuk
makanan babi)”. M akna dari petuah ini adalah bagaimana orang
M batakapidu secara sadar dan bertanggungjawab terhadap lahan yang
ada agar dimanfaatkan demi menunjang kehidupan yang akan datang
dan jika bangun pagi maka babi, ayam dan ternak lainnya harus diberi
makan. Sebelum dapat menyediakan jagung, ubi kayu dan sebagainya
untuk pakan ternak maka dia harus berusaha di kebun dengan
menanam tanaman panganan lokal. inilah petuah yang menunjang
pembangunan untuk masa depan anak.
Dari penuturan bapak Umbu Ngguti Nggandung, Alexander
Viktor Umbu Retangu, Yacob Tanda, Bimbu W ohangara, Kalikit
Landjamara dan temuan M akambombu tergambar bahwa untuk terus
mendukung keberlanjutan dari tiga lumbung di desa M batakapidu
maka orang M batakapidu perlu menjunjung tinggi etos kerja, gotong
13

W awancara tanggal 29 September 2014

82

royong dan kolektivitas, sehingga dapat menjadi dasar pijak dalam
proses pembangunan pedesaan khususnya di M batakapidu. Hal ini
sejalan dengan temuan Foni (2002) yang menyebut jika merasa sebagai
bagian dari komunitas Atoni Pah M eto maka seseorang harus bekerja
keras, bersungguh-sungguh, tekun, terbuka, jujur, loyal dan
bertanggungjawab.

Sistem Ketahanan Pangan Orang M batakapidu

Lumbung yang diusahakan oleh orang M batakapidu sejatinya
menggambarkan konstruksi bahwa semakin kuatnya kolektivitas yang
menggambarkan relasi diantara orang M batakapidu, sedangkan
ketahanan pangan merupakan trickle down effect dari fondasi tersebut.
Sistem ketahanan pangan orang M batakapidu dapat digambarkan
sebagai berikut:

Ketahanan Pangan
Lumbung di Kebun

Lumbung di Hindi

Lumbung di Pohon

 Ubi Kayu
 Petatas
 Iwi
 Litangu
 Luwa
 Ubi Keladi
 Pisang
 Pepaya
 Dan sebagainya

 Jagung
 Sorgum
 Kacang Tanah
 Kacang Hijau
 Padi
 Dan sebagainya

 Jagung

Nilai Gotong Royong, Relasi Tanpa Pamrih dan Kolektivitas

Gambar 25. Sistem Ketahanan Pangan Orang Mbatakapidu

Sistem ketahanan pangan ini berbeda dengan dengan bangunan
ketahanan pangan masyarakat W unga yang ditemukan oleh Palekahelu

83

(2010 : 215) yang menyebut kehidupan yang berkelanjutan ditopang
oleh empat pilar seperti produksi pangan sendiri, mengambil dari alam,
dagang dan bantuan. Ini tentu masih mengambarkan perilaku orang
yang masih tergantung pada pemerintah. Seharusnya masyarakat harus
dapat mempertahankan eksistensi dan mengaktualisasikan diri mereka
dengan jalan kemandirian yang memanfaatkan pengetahuan lokal
tradisional yang dimiliki dan tentunya didasari atas nilai-nilai filosofi
yang menopang pembangunan.

M emilih Bibit Kehidupan: Jagung H arapan Vs Bisma
Orang M batakapidu berpandangan bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi hasil panen adalah dalam hal pemilihan bibit jagung.
Sejak jaman leluhur sampai saat ini di kalangan orang M batakapidu
mengenal 2 jenis bibit jagung yaitu jagung lokal yang merupakan bibit
hasil pemuliaan sendiri yang dikenal dengan sebutan jagung harapan
(wataru monungu) dan bibit jagung bantuan pemerintah yang dikenal
dengan sebutan jagung bisma (salah satu dari sekian brand14 jagung
bantuan pemerintah yang telah dikemas sedemikian rupa di dalam
plastik dan telah dicampur dengan obat-obatan agar tidak dimakan
rayap dan serangga sejenis).
Terkait dengan hal ini, bapak Bimbu W ohangara15 menyebut:
“Di sini (Mbatakapidu) kami hanya gunakan bibit lokal,
sedangkan di tempat lain banyak gunakan bibit jagung bisma
dan sebagainya. Memanga kalau Kalau bibit unggul
produksinya (hasil panen) lebih tinggi, tetapi tidak tahan
lama (cepat bubuk), tetapi hasil panen dari bibit lokal ini
tahan terhadap panas, tahan terhadap kekurangan air, tahan
lama dan sebagainya. Bibit lokal di sini disebut dengan istilah
jagung harapan (wataru monungu). Kami sudah coba
berbagai cara salah satunya dengan campur hasil panen
jagung bisma dengan daun jeruk tetapi sama saja atau tetap
busuk Biasanya jagung ini (bisma atau hibrida) tidak
memiliki rambut di bagian atas ujung tongkol jagung. Jagung
yang dihasilkan bisma hanya untuk dijual, sedangkan hasil
14
15

Merek
W awancara tanggal 12 September 2014

84

panen dari jagung harapan digunakan sebagai bibit dan
sisanya dikonsumsi”.

Senada dengan penuturan bapak Bimbu W ohangara, maka Domu
W ulang,16 Karipi Njandji 17 dan ibu Bompa Pihu18 juga menyebut:
“Kami selalu gunakan bibit jagung lokal yang dikenal dengan
sebutan wataru monungu karena hasilnya tahan lama,
sedangkan bibit bantuan pemerintah seperti jagung bisma
hasilnya tidak tahan lama (cepat bubuk). Ini kami telah
lakukan selama turun temurun. Hasil panen dari jagung
bisma biasanya kami jual ke pasar, sedangkan hasil panen
dari bibit lokal untuk di simpan sebagai benih di musim
tanam yang akan dating dan sisanya kami konsumsi”.

Dari penuturan bapak Bimbu W ohangara, Domu W ulang,
Karipi Njandji dan Bompa Pihu tergambar bahwa penggunaan atas
sumber daya lokal masih sangat kental bagi orang M batakapidu.
Sebenarnya bukan masalah tahan lama atau bagusnya komoditas ini,
tetapi selebihnya ada hasrat dan kemauan secara komunal untuk
mempertahankan nilai-nilai lokal peninggalan leluhur yang hampir
tergerus oleh perkembangan jaman.

Rotu : Konsensus Yang Tergadaikan
Orang M batakapidu merupakan pelaku ekonomi skala kecil yang
mencurahkan sebagian waktunya untuk berternak ayam, babi,
kambing, sapi, kuda, kerbau dan ternak lainnya. Terkait dengan
perilaku berternak orang M batakapidu, peneliti menemukan sebuah
model yang sejak turun-temurun dijalankan oleh orang M batakapidu
yang dikenal dengan sebutan rotu. Berikut adalah penuturan dari
beberapa informan terkait dengan perilaku berternak orang
M batapidu.
W awancara tanggal 12 September 2014
W awancara tanggal 16 September 2014
18 W awancara tanggal 22 September 2014
16
17

85

Terkait dengan hal ini, bapak Yacob Tanda19 menyebut:
“Rotu merupakan warisan leluhur manusia Sumba. Rotu
mengandung makna adanya upaya untuk melestarikan
eksistensi dari ternak dengan melawan rasa serakah (greed)
untuk menggunakan ternak sebagai obyek dalam memenuhi
kebutuhan ekonomi dan sosial seseorang. Rotu akan dapat
terjadi ketika ada kesepakatan (konsensus) di dalam
komunitas masyarakat, sehingga dapat dikatakan rotu
bersifat lokalistik. Artinya ternak akan dibiarkan
berkembang sesuai dengan waktu yang telah disepakati,
sehingga populasi ternak menjadi terjaga dan bertambah dari
segi kuantitas. Inilah yang merupakan titik awal dari
keberlanjutan (sustainability). Kalau dalam konteks
perikanan (danau dekat laut) ini disebut dengan istilah mihi
parotu, di mana kita tidak boleh menangkap ikan dengan
sembarangan dan biasanya setelah satu atau 2 tahun baru
akan dilakukan penangkapan ikan secara massal oleh
penduduk setempat. Hadirnya modernisasi lewat pergeseran
peradaban dunia membuat nilai-nilai lokal seperti rotu
menjadi luntur dan ditinggalkan oleh orang Mbatakapidu”.

Senada dengan penuturan bapak Yacob Tanda, maka Alexander
Viktor Umbu Retangu20 juga menyebut:
“Sistem rotu merupakan peninggalan leluhur yang sangat
mendukung keberlanjutan ternak. M isalnya: jika kita
memiliki beberapa ekor ternak, meskipun ada urusan
kematian sekalipun maka ternak tersebut tidak akan
digunakan. Saat ini sudah nilai-nilai sudah mulai bergeser di
mana, kuda atau sapi atau kerbau yang masih dalam rahim
induknya saja sudah dijual, jagung yang belum siap dipanen
maka sudah di petik untuk dikonsumsi dahulu, ayam belum
besar maka sudah dipotong atau sudah dijual dan begitu juga
dengan ternak lainnya. Inilah sebuah bentuk ketidaktaatan
orang Mbatakapidu. Sebenarnya ada petuah yang harus
direnungkan yaitu pa mbotu nya limma, pa mbotu nya eti.
Artinya aset tidak digunakan secara sembarangan. Ada
ketaatan untuk menjaga aset seperti ternak, kecuali kalau
sudah tidak produktif atau ternaknya mengalami cacat fisik
baru dijual atau dikonsumsi”.

19
20

W awancara tanggal 09 September 2014
W awancara tanggal 08 Oktober 2014

86

Hal ini juga diperkuat oleh penuturan bapak Yohanis Hina Lalu
Panda dan Karipi Njandji 22 yang menyebut:
21

“Dulu kami memiliki 1 ekor kerbau betina dan kerbau ini
kami lepas ditengah-tengah kawanan kuda. Saat itu dengan
sistem rotu kerbau tersebut berkembang biak dan mencapai
ratusan ekor. Artinya kerbau - kerbau tersebut jarang dijual
dan jarang digunakan untuk kepentingan belis maupun adat
adat. Kalau mau dipotong untuk dikonsumsi maka masih
dipikirkan lagi, kecuali dipotong yang sudah tidak produktif
lagi. Inilah prinsip hidup hemat yang diwariskan oleh
leluhur. Saat ini hampir tidak ada lagi sistem rotu karena
terjadi pergeseran nilai, di mana kebutuhan hidup
mengalahkan nilai-nilai yang ada. Contoh: pada tahun 2013
saya terpaksa menjual kuda kepada kepala desa Mbatakapidu
karena saya harus memenuhi kebutuhan yang mendesak.
W aktu itu kuda masih di padang penggembalaan bersama
kawanan ternak lainnya, tetapi saya sudah terima dimuka
uangnya karena saya sangat membutuhkan uang. Tahun 90an pemerintah anjurkan pada kami agar tidk menjual ternak,
tetapi yang dijual hanya ternak yang tidak produktif. Ini
merupakan sebuah bentuk campur tangan pemerintah untuk
menjaga populasi ternak. Ketika dipadukan dengan sistem
rotu yang ada maka akan semakin menunjang pembangunan
berkelanjutan. Berbeda dengan saat ini, ternak masih di perut
sudah di jual dan minta dibayar di muka. Ini tentu menuju
pada masyarakat yang konsumtif”.

Dari penuturan bapak Yacob Tanda, Alexander Viktor Umbu
Retangu, Yohanis Hina Lalu Panda dan Karipi Njandji tergambar
bahwa rotu merupakan sebuah nilai lokal yang mengajarkan betapa
pentingnya menjaga populasi ternak, sehingga tidak mengakibatkan
ternak menjadi punah di tanah M batakapidu. Kesepakatan atau
konsensus di dalam suatu komunitas menjadi salah satu faktor utama
untuk menjaga eksistensi ternak. Saat ini nilai-nilai ini hampir punah
dan tinggal kenangan karena semakin tergerus oleh jaman. Hegemoni
uang melalui kebutuhan dan keinginan serta lemahnya peran
kelembagaan adat yang membuat sulitnya menghasilkan sebuah
konsensus menjadi faktor pemicu tidak dilaksanakan lagi sistem rotu.
21
22

FGD tanggal 12 September 2014
W awancara tanggal 16 September 2014

87

Yuwono (2013 : 3) menyebut perlunya membedakan kebutuhan
dan keinginan. Pembedaan ini berkaitan erat dengan konsep
kecukupan. Dalam konteks orang M batakapidu, sering mereka tidak
bisa lagi membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Artinya
mereka menganggap keinginan sebagai kebutuhan, sehingga
kebutuhannya menjadi tidak terbatas. Contoh: ketika sang anak tidak
sekolah sampai tamat SM P atau SMA, namun dia membutuhkan
sepeda motor maka ternak yang dimilikinya akan dijual untuk
membeli atau kredit motor. Artinya terjadi alokasi sumber daya yang
tidak tepat. Seharusnya uang hasil penjualan ternak dipakai untuk
biaya sekolah dan bukan untuk tujuan konsumtif. Di sisi lain,
munculnya alat
transportasi
seperti
kendaraan
bermotor
mengakibatkan berkurangnya perhatian alokasi waktu generasi muda
untuk menggembalakan ternak. Di mana sebagian besar waktu mereka
dicurahkan untuk jalan-jalan di kota W aingapu dan tidak memiliki
faedah.
Sosrodihardjo (1987 : 110) menyebut kehadiran uang dalam
masyarakat tradisional berdasarkan atas pertukaran jasa membuat nilai
tradisional diterapkan dalam situasi yang rasional. Dalam kaitannya
dengan penelitian ini, ketika orang M batakapidu diperhadapkan dalam
kondisi di mana mereka membutuhkan uang sebagai alat pertukaran
yang sah maka salah satu keputusan yang diambil yaitu dengan
menjual ternak. Artinya alokasi sumber daya yang dilakukan harus
secara tepat, sehingga penggunaannya bukan untuk tujuan konsumtif.
Konsensus guna mempertahankan nilai-nilai lokal juga menjadi
sebuah persoalan utama di desa M batakapidu. Parsons (1965 : 171)
dalam Sosrodihardjo (1987 : 111) menyebut kehadiran lembaga
(institution) akan menghasilkan pola-pola normatif yang ditujukan
untuk situasi tertentu. Selama kelembagaan adat yang ada di desa
M batakapidu mampu merangkul semua orang Mbatakapidu untuk
mengejewantahkan kembali sistem rotu maka bukan tidak mungkin
desa ini akan menjadi desa swasembada ternak.

88

Antara Rasionalitas dan Optimisasi
Kegiatan produktif lainnya yang dilakukan oleh orang
M batakapidu yaitu dengan menjadi pedagang. Kegiatan berdagang
biasanya dilakukan di pasar maupun dengan membuka kios di rumah.
Produk yang di jual pun sangat bervariasi mulai dari rokok, makanan
ringan (snack), beras, kopi, gula, teh, telur ayam kampung, buah dan
bunga pepaya, tikar, arang, jagung bulir, pisang, ubi kayu, ubi keladi
dan sebagainya. Berikut adalah penuturan dari beberapa informan
terkait dengan perilaku berdagang mereka.
Ibu Elisabeth Tinggi Nalu23 menyebut :
“Di kios terdapat 1 unit alat penggilingan jagung yang saya
beli pada tahun 2009. Saya jual wataru (jagung) dengan harga
Rp 5.000,- per kg. Jagung ini saya dapatkan dari hasil
penggilingan jagung. Kalau ada yang giling jagung maka
hanya akan dipotong jagungnya dan tidak menggunakan
uang. Kalau yang digiling 10 kg maka saya hanya potong 1
hingga 1,5 kg saja (musim rimbangu atau paceklik dan hanya
untuk sampai bulan Juli), sedangkan kalau musim panen saya
potong 2 kg. Saya tidak pernah beli dari orang atau dengan
kata lain saya hanya jual jagung yang didapat dari hasil
giling. Kemarin saat bulan Mei saya jual 500 kg dan saya
dapat Rp 2.500.000,-. Hal ini saya lakukan karena kebiasaan
yang terjadi bahwa pada bulan Juli atau Agustus jagung
menjadi yubuku (bubuk) atau busuk. Sekarang kalau selama
2 minggu atau 3 minggu saya bisa dapat 20 atau 30 kg jagung.
Saya jual rokok seharga Rp 15.000,- dan untungnya Rp
6.000,- per bungkus”.

Dari penuturan ibu Elisabeth Tinggi Nalu tergambar bahwa ada
kecenderungan untuk mendapatkan keuntungan yang besar dari
kegiatan berdagang yang digeluti, sehingga Yuwono (2013 : 4)
menyebut keinginan yang sudah menyatu dalam kebutuhan adalah
awal dari keserakahan. Keinginan untuk membentuk pola pikir dalam
benak seseorang. Pertama, keinginan itu akan diupayakan untuk
dipenuhi, bagaimanapun caranya. Semua daya diarahkan untuk
memenuhi keinginannya itu. Kedua, upaya untuk memenuhi
23

W awancara tanggal 25 September 2014

89

keinginan itu membentuk egoisme dalam dirinya. Ia akan
mengedepankan kepentingan pribadi di atas kepentingan yang lainnya
(sosial, kelembagaan dan sebagainya). Ketiga, ketika orang sudah
mengedepankan egoisme maka terbentuklah keserakahan (greedy)
dalam dirinya. Orang tidak lagi memiliki kepedulian terhadap apapun
dan kepentingan dari siapapun. Hal inipun dipertegas oleh Smith
(1759: 308 - 310, dalam Skousen 2006 : 46) yang tidak setuju dengan
pandangan M endeville, yang menyatakan bahwa kemajuan ekonomi
bisa dicapai melalui keserakahan, ketamakan dan cinta diri tanpa
kendali.
Berbeda dengan penuturan ibu Elisabeth Tinggi Nalu, maka
Dorce K. Tamar 24 menyebut:
“Saya buka usaha kios dengan modal seadanya dan juga
bantuan dari simpan pinjam yang diberikan oleh desa. Saya
jual beras, rokok, makanan ringan (snack) dan sebagainya.
Kalau rokok per bungkus seharga Rp 12.000,- maka saya jual
kembali dengan Rp 14.000,- sedangkan kalau harga di pasar
seharga Rp 6.000,- maka saya akan jual Rp 7.000,-. Saya tidak
terlalu ingin untuk mendapatkan untung banyak. Saya
sesuaikan dengan kekuatan ekonomi pembeli. Harga yang
saya tetapkan sangat rasional. Orang tua saya dulu
mengajarkan bahwa tidak boleh menyusahkan sesama,
karena kami semua ini bersaudara atau makanlah
secukupnya dan jangan makan melampaui kebutuhan”.

Senada dengan penuturan ibu Dorce K. Tamar, maka Tonda
M bitu25 juga menyebut:
“Saya menjual barang-barang kebutuhan pokok di kios, tetapi
harga yang saya tetapkan relatif murah, karena saya tidak
mau mengambil keuntungan dengan cara tidak adil. Contoh:
kalau rokok Gatra di toko seharga Rp 4.000,- maka saya jual
seharga Rp 6.000,-. Hal ini saya sesuaikan dengan daya beli
dari orang desa. Motif saya membuka usaha ini bukan untuk
mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, tetapi
bagaimana lewat usaha ini mampu memenuhi kebutuhan
orang desa. Sejak kecil saya diajarkan oleh orang tua bahwa
24
25

W awancara tanggal 22 September 2014
FGD tanggal 03 Oktober 2014

90

mengambil keuntungan di tengah kesusahan orang lain
merupakan suatu tindakan yang sangat tercela. Hal inilah
yang selalu kami jalankan secara turun temurun di dalam
keluarga”.

Ibu Adriana Dai Ngana26 juga menyebut:
“Saya selama ini berdagang di pasar inpres Matawai. Saya
harus bangun jam 04 pagi dan harus menempuh perjalanan
dengan jalan kaki menelesuri hutan agar dapat tiba di
kompleks rumah desa untuk dapat bertemu dengan tukang
ojek yang dapat membonceng saya ke pasar inpres. Biaya jasa
ojek yang harus saya bayar untuk pulang pergi adalah Rp
20.000,-. Barang-barang yang saya jual berupa makanan
pokok, mulai dari telur ayam kampung, bunga pepaya,
kelapa, sirih dan sebagainya. Telur saya jual 4 butir seharga
Rp 10.000,- atau 7 butir seharga Rp 20.000,-. Saat musim
hujan yang kami jual walla kadjawa (bunga pepaya). 1
kantung seharga Rp 1.500,- atau Rp 2.000,- sedangkan 3
kantung saya jual dengan harga Rp 5.000,-. Kalau musim
hujan 4 kantung saya jual dengan harga Rp 5.000,-. Mengapa
demikian? Karena pada musim hujan orang sudah tanam
banyak pohon papaya dan pada saat yang sama harga telur
naik karena jelang natal dan tahun baru di mana 3 butir saya
jual dengan harga Rp 10.000,-. Kalau kelapa saya jual 6 buah
seharga Rp 10.000,-, kalau sirih 1 ikat seharga Rp 5.000,-,
kadang 3 ikat saya jual dengan harga Rp 10.000,-.
Keuntungan yang saya terima pun tidak seberapa karena
harus dikurangi dengan jasa ojek. Prinsip berdagang saya
adalah bagaimana barang dagangan saya bisa laku dan tidak
merugikan pembeli dengan cara menipu. Sejak turuntemurun terutama di dalam keluarga kami selalu diajarkan
tentang nilai-nilai kejujuran. Bahwa mengambil keuntungan
dari sesama dengan cara menipu itu sangat tabuh, sehingga
mempengaruhi saya dalam menentukan harga. Kita akan
mendapat kebaikan kalau kita berbuat baik kepada sesama”.

Dari penuturan ibu Dorce K. Tamar, Tonda M bitu dan Adriana
Dai Ngana tergambar bahwa bahwa ada nilai-nilai tertentu yang
mengatur perilaku orang M batakapidu dalam berdagang seperti tidak
mengambil keuntungan dengan cara menipu, kejujuran dan solidaritas.
26

W awancara tanggal 17 September 2014

91

Namun, masih ada juga pedagang yang mengedepankan keuntungan
dari pada kepentingan orang banyak. W alaupun ia bertindak secara
rasional dalam konteks ekonomi, tetapi harus ada unsur etika yang
menjadi pertimbangannya, sehingga keputusannya dalam menentukan
harga tidak merugikan orang lain.
Sejak jaman dahulu orang M batakapidu sangat familiar dengan
prinsip hidup hemat. Contoh: dalam hal berdagang, orang
M batakapidu selalu taat untuk tidak menggunakan uang tersebut
sebelum uang itu tiba di rumah, tetapi saat ini nilai-nilai ini semakin
luntur, sehingga bapak Umbu Ngguti Nggandung, Yohanis M baku
Lalu Panda dan Petrus Babu Eha menyebut:27
“Jaman dulu, kalau dapat uang hasil jualan maka pulang di
rumah tidak boleh langsung habiskan uang itu, tetapi bawa
pulang uang dan tidak boleh satu sen dari uang tersebut
keluar. Akan tetapi, terlebih dahulu harus potong ayam dan
sembayang baru boleh gunakan uang tersebut. Maksudnya
agar uang itu diberkati dan agar uang ini jangan asal keluar.
Berbeda dengan saat ini, ketika selesai berdagang di pasar
maka uang tersebut akan habis untuk dibelanjakan dan tidak
sampai ke rumah lagi, terkadang uang tersebut digunakan
untuk membeli minuman keras dan diminum bersama
dengan teman-teman mereka di pasar inpres maupun dengan
kerabatnya di rumah. Inilah satu bentuk ketidaktaatan orang
Mbatakapidu. Nilai-nilai yang yang sudah ada sejak dahulu
kala mulai dilupakan dan semakin luntur”.

Dari penuturan Umbu Ngguti Nggandung, Yohanis M baku Lalu
Panda dan Petrus Babu Eha tergambar bahwa telah terjadi pergeseran
nilai yang membuat orang M batakapidu menjadi tidak taat. Keinginan
telah berubah menjadi kebutuhan, sehingga mereka pun semakin
konsumtif.
Dari penuturan ibu Elisabeth Tinggi Nalu, Dorce K. Tamar,
Tonda M bitu, Adriana Dai Ngana, Umbu Ngguti Nggandung, Yohanis
M baku Lalu Panda dan Petrus Babu Eha tergambar bahwa variasi dari
orientasi berdagang dituntun oleh insting ekonomi dan etika, sehingga
27

FGD tanggal 12 September 2014

92

Yuwono (2013 : i) menyebut optimisasi sebagai kata kunci dari
perilaku ekonomi hanya dapat dilakukan dengan memilih dengan tepat
satu dari berbagai pilihan berdasarkan kaidah-kaidah yang bernalar,
tanpa meninggalkan etika, sehingga setiap keputusan berperilaku
ekonomi dapat berjalan secara benar.

Antara Bargaining dan Resiprositas
Keadilan bagi masyarakat lokal tradisional tercermin di dalam
sistem moralitas pertukaran, tatanan peringkat pertukaran barang dan
jasa dan transaksi berdasarkan resiprositas. Persoalan yang sering
menimpa masyarakat lokal tradisional khususnya orang M batakapidu
adalah terkait dengan bargaining dan resiprositas, sehingga bapak
Yacob Tanda28 menyebut:
“Awal tahun 2014 ada seorang pengusaha asal Bali yang
datang untuk membeli pisang di orang Mbatakapidu.
Pengusaha ini hanya butuh 400 tandan pisang dengan harga
yang telah disepakati sebesar Rp 20.000,- untuk 1 tandan
pisang. Orang Mbatakapidu mulai mengumpulkan pisang
mereka dan ternyata mencapai 800-an tandan. Akhirnya di
sini terjadi kelebihan persediaan (over lot). Akibatnya ada
banyak pisang yang tidak terjual. Di sini, bergaining penjual
(orang Mbatakapidu) menurun, sedangkan bargaining dari
pembeli (pengusaha) menjadi kuat. Hal inilah yang menjadi
awal mula pengusaha mulai membeli sisa pisang tadi dengan
harga yang tidak wajar atau di bawah Rp 20.000,-. Contoh:
satu tandan dihargai dengan Rp 6.000,- sampai Rp 10.000,-“.

Dari penuturan bapak Yacob Tanda tergambar bahwa orang
M batakapidu berpikir secara rasional di mana kalau jual ke pasar inpres
W aingapu maka pasar sudah jenuh karena harus bersaing dengan
pisang yang berasal dari Lambanapu, Kiritana dan yang diimpor dari
kabupaten Sumba Barat, Sumba Tengah maupun Sumba Barat Daya,
sehingga jalan satu-satunya adalah dengan menyerahkan semua sisa
pisang kepada pembeli yang berasal dari Bali. Pisang merupakan salah

28

W awancara tanggal 09 September 2014

93

satu produk yang cepat rusak dan tidak tahan lama, sehingga posisi
tawarnya pun akan semakin rendah. Bargaining inilah yang membuat
transaksi berdasarkan resiprositas di desa menjadi tidak seimbang.

M enabung di Tengah Kesederhanaan
Perilaku investasi orang M batakapidu berkaitan erat dengan
pemahaman untuk men-secure masa depan baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang untuk generasi berikutnya.
Terkait dengan hal di atas, bapak Bimbu W ohangara29 menyebut:
“Investasi jangka panjang yang kami lakukan adalah dengan
menyediakan tanaman umur panjang masing-masing 1000
pohon bagi setiap rumah tangga. Program ini merupakan
hasil kesepakatan pemerintah desa yang berasal dari aspirasi
masyarakat (akar rumput) yang mewajibkan setiap rumah
tangga untuk bermusyawarah bersama anggota keluarga
tentang berapa target tanaman yang harus di tanam untuk
semua komoditas. Contoh: 25 pohon yang saya targetkan
tahun ini maka saya akan membaginya untuk masing-masing
bulan. Bagaimana saya mencapai target tersebut? Lebih
boleh, kalau kurang maka saya harus evaluasi diri. Harus
kontrol berapa yang mati dan berapa yang hidup. Kontrol di
pekarangan, sawah, kebun dan sebagainya. Setiap rumah
tangga harus buat perencanaan. Setiap rumah tangga harus
ada 3 lembar kartu kontrol. M isalnya 1 dibiarkan kosong
(arsip), 1 diisi lalu di simpan di rumah dan 1 diisi lalu
disimpan di
dompet. Maksudnya untuk sekedar
mengingatkan. Habis bulan baru diisi jumlah tanaman yang
sudah ditanam. Kalau hanya pandiamangu (harap gampang)
terus maka kapan dulu baru kita maju? Beli polibek sekian
ribu saja sudah berat, tetapi jika pergi ke acara kematian atau
peminangan bisa bawa malandja (pembawaan berupa kain
atau sarung) yang harganya bisa mencapai jutaan ribu rupiah.
Kenapa buat masa depan tidak bisa? Perencanaan ini bukan
bersifat umum, tetapi sangat spesifik bagi masing-masing
rumah tangga di Mbatakapidu. Ibarat sebuah gerobak maka
harus didorong baru dia bisa jalan, kalau tidak didorong
maka dia tidak akan jalan. Untuk mensukseskan program ini
maka pihak pemerintah desa menghimbau para ketua rukun
tetangga untuk memobilisasi masyarakat agar bekerja. Sejauh
ini masyarakat selalu kooperatif dan selalu bermitra dengan
29

W awancara tanggal 13 dan 29 September 2014

94

pemerintah desa dalam hal pengadaan bibit tanaman. Hampir
seluruh kintal rumah maupun kebun penduduk telah
dipenuhi dengan tanaman umur panjang”.

Berikut ini adalah catatan kecil yang berhasil dirangkum penulis
dari bapak Bimbu W ohangara, yang nantinya akan dituangkan ke
dalam kartu kontrol sesuai dengan tahun yang sedang berjalan (current
year). Hal tersebut dirangkum dalam tabel 16.
Tabel 16. Tanaman yang telah Ditanam
Periode
21 Januari 2013
22 Januari 2013
24 Januari 2013
25 Januari 2013
28 Januari 2013
31 Januar 2013

Tanaman
 Gamalina
 Injuwatu
 Kamalapau/Mangga Hutan
 Salak
 Cendana
 Cendana
 Cendana
 Cendana
 Cendana

Jumlah
15 pohon
15 pohon
3 pohon
3 pohon
10 pohon
10 pohon
50 pohon
9 pohon
3 pohon

Sumber: Data sekunder, 2014.

Tabel ini dibuat guna memudahkan dalam hal pencataan pada
kartu kontrol. Adapun kartu kontrol yang dimaksud oleh bapak Bimbu
W ohangara yaitu:

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014

Gambar 26. Bapak Bimbu W ohangara sedang Menunjukkan dan Menjelaskan
Kegunaan dari Kartu Kontrol

95

Kehadiran kartu kontrol ini sangat membantu dalam hal
monitoring dan evaluasi, sehingga dalam temuannya M akambombu
(2013 : 7 - 8) menyebut:
“Untuk memastikan bahwa tanaman ini benar-benar
ditanam dikebun masyarakat maka pemerintah desa
membuatkan sebuah kartu kontrol. Kartu ini dapat disebut
sebagai sebuah kartu perencanaan rumah tangga yang
diintervensi desa kepada masing-masing rumah tangga.
Model kartunya berbentuk kartu sensus seperti yang
dikembangkan oleh badan pusat statistik (BPS). Kartu ini
terdiri dari 7 bagian yang memuat informasi tentang
tanaman apa yang sudah ada dikebun dan apa yang akan
dilakukan pada periode berikutnya untuk menambah jumlah
yang sudah ada. Bagian pertama, berisi tentang aset
masyarakat di bidang tanaman umur pendek yang memuat
tentang target area yang akan ditanam dengan berbagai
tanaman umur pendek dan hasil panennya akan dikonversi
ke dalam jumlah rupiah yang dihasilkan dari setiap kilogram
hasil panen. Bagian kedua, berisi tentang aset masyarakat
dibidang tanaman jangka menengah yang memuat tentang
target jumlah pohon yang akan ditanam dan jumlah pohon
yang saat ini sudah ada di kebun masyarakat. Bagian ketiga,
berisi tentang asset masyarakat di bidang tanaman jangka
panjang yang memuat tentang target jumlah pohon yang
akan ditanam dan jumlah pohon yang sudah ada saat ini.
Bagian keempat, berisi tentang aset masyarakat di bidang
peternakan (besar, kecil dan unggas), yang memuat tentang
target jumlah ternak yang akan dipelihara dan jumlah yang
sudah ada sampai dengan saat ini. Bagian kelima, berisi
luasan lahan yang dikelola oleh setiap rumah tangga baik itu
yang berisi pekarangan, kebun, sawah, penghijauan, lahan
tidur, atau tanah kapling. Bagian keenam, berisi tentang
peralatan pertanian yang dimiliki oleh masyarakat dalam
mengolah lahannya, berisi jenis alat yang dimiliki dan status
alat apakah berfungsi atau tidak. Bagian ketujuh adalah berisi
tentang identitas kepala rumah tangga dan jumlah anggota
rumah tangga. Cara untuk memastikan bahwa setiap rumah
tangga mengetahui apa yang dimilikinya maka kartu ini
dibuat rangkap tiga. Kartu ini juga dapat dikatakan sebagai
instrumen pengawasan internal dan eksternal atas apa yang
dimiliki oleh setiap kepala rumah tangga. Rangkap pertama
untuk ditempel di depan rumah penduduk yang sewaktuwaktu dapat dilihat ketika ada pengawasan dari pemerintah
desa atau dapat dilihat dan dibaca oleh orang lain. Rangkap
kedua, untuk disimpan di dompet atau yang mudah untuk
dibawa kemana-mana, jika sewaktu-waktu ada pertanyaan

96

dari pemerintah desa atau orang lain yang bersangkutan
dapat membuktikan dengan menunjukkan kartu ini.
Rangkap ketiga akan digunakan untuk diperbanyak pada
tahun berikutnya jika jumlah aset yang miliki semakin
banyak atau bertambah”.

M elihat kondisi orang M batakapidu yang sebagian besar masih
buta huruf maka bapak Yacob Tanda30 menyebut:
“Penggunaan belum maksimal karena banyak masyarakat
yang tidak tahu tulis atau buta huruf. Jadi kita rubah caranya
dengan berikan wewenang untuk mengontrol kepada para
ketua RT, karena 1 RT hanya beberapa kepala keluarga saja,
sehingga memudahkan dalam hal pengontrolan. Ketua RT
mengetahui dengan jelas luas kebun, tanaman apa yang
ditanam masyarakatnya dan sebagainya. Sekarang kita batasi
untuk kontrol tanaman yang punya nilai jual tinggi. Kami
menghadapi kendala di dana, sehingga tidak dapat
menyadiakan papan informasi untuk diberikan pada masingmasing RT. Kami harus sediakan papan data untuk RT sangat
sulit saat ini. Untuk ukuran 8 inchi harganya sudah Rp
100.000,- di mana 1 RT dapat 3 lembar papan data. Ini harus
dialokasikan ke setiap RT, karena terlalu banyak item-nya
maka masyarakat kewalahan mengisinya. Sekarang tinggal
masyarakat lapor di RT dan RT yang menginputnya. Melihat
kondisi belum tersedianya papan tersebut maka saat ini kita
masih gunakan kartu kontrol yang sederhana. Kalau ini jalan
maka bagus karena kita melombakan setiap warga, kalau si A
tanam banyak maka akan memicu si B, si C dan sebagainya
untuk berlomba dalam hal menanam. Sebagian besar
masyarakat sudah mulai sadar akan pentingnya investasi
jangka panjang, sehingga mereka telah dan mulai
mengambangkan tanaman umur panjang seperti mahoni,
gamalina, kaduru, sengon dan sebagainya. Pohon yang telah
besar pun tidak sembarang dipotong untuk dijual maupun
digunakan untuk membangun rumah. Inilah bentuk ketaatan
yang mengarah pada pola hidup hemat dari orang
Mbatakapidu”.

Terlepas dari masalah buta huruf, ternyata orang M batakapidu
tetap memiliki kesadaran untuk men-secure masa depan mereka,
sehingga bapak Alexander Viktor Umbu Retangu31 menyebut:
30

W awancara tanggal 27 September 2014

97

“Dalam hal investasi jangka panjang, orang Mbatakapidu
sudah memulainya dari sejak jaman dulu kala. Contoh: salah
satu warga seperti Umbu Kopa rihi yang berdomisili di Landa
(arah menuju ke daerah W atu Mamoha) yang menanam
70.000 pohon umur panjang seperti mahoni, gamalina (jati
putih) dan sebagainya di lahannya. Inilah nilai-nilai yang
diwariskan oleh para leluhur untuk dapat dijadikan sebagai
bekal jangka panjang bagi masa depan kami orang
Mbatakapidu”.

Dari penuturan bapak Bimbu W ohangara, Yacob Tanda,
Alexander Viktor Umbu Retangu dan temuan M akambombu
tergambar bahwa ada upaya secara komunal dari orang M batakapidu
untuk berpikir tentang investasi jangka panjang. Upaya ini didukung
dengan penggunaan kartu kontrol yang diadopsi dari sebuah lembaga
pemerintah dan berhasil memicu kesadaran semua orang M batakapidu
untuk mulai menanam berbagai jenis tanaman sejak dini.
Selain investasi jangka panjang, investasi jangka pendek pun
telah menjadi perhatian utama orang M batakapidu tepatnya dalam
men-secure pendidikan anak, sehingga ibu Bomba Pihu32 menyebut:
“Kami para orang tua menyadari bahwa kami hanya lulusan
sekolah dasar, sehingga kami mulai menyadari akan
pentingnya pendidikan demi masa depan anak. Untuk
mendukung masa depan anak lewat jenjang pendidikan maka
masing-masing anggota (11 orang) dari kelompok rinjungu
pahammu mulai memikirkan untuk mengumpulkan 1 ekor
ayam betina agar saat dia bertelur maka telurnya akan dijual
dan uangnya akan dimasukkan ke dalam buku rekening
untuk biaya pendidikan anak. Seluruh telur ayam dijual dan
uangnya akan dibagi secara merata kepada setiap anak. Saya
yang biasanya menjual telur-telur ke pasar. Dari pada
mengabiskan aset untuk kepentingan adat maka ada baiknya
kami memikirkan masa depan anak. Karena melihat
efektifnya usaha kami ini, kelompok lainnya pun mulai
meniru dan melakukan hal yang sama. W alaupun hasilnya
tidak terlalu besar, tetapi kami tetap percaya dan terus
bekerja keras untuk mengumpulkan sebongkah harapan bagi
masa depan anak kami. Inilah sebuah petuah dari para
31
32

W awancara tanggal 08 Oktober 2014
W awancara tanggal 22 September 2014

98

leluhur yang mengajarkan pada kami bagaimana bekerja
keras demi mengejar suatu tujuan”.

Senada dengan hal di atas, ibu Karolina Konda Ngguna dan
M argaretha Takandjandji 33 menyebut:
“W aktu itu kami bersepakat untuk masing-masing anggota
kelompok menyiapkan 1 ekor ayam betina agar nantinya
telur ayam dapat dijual untuk dilokasikan sebagai tabungan.
Uang yang didapat akan dibagi secara adil untuk masingmasing anggota. Jika dalam kegiatan PKK, pada setiap bulan
kami lakukan arisan tabungan anak dengan setoran Rp
25.000,- ke atas (sesuai dengan kemampuan). Sekarang
tabungan anak saya sudah mencapai Rp 11.000.000,- di bank.
Tabungan itu akan diblokir hingga anak lulus dari SMA. Jika
arisan anak maka pertama-tama kita harus membuka
rekenin

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: SABANA SUMBA: Kelembagaan dan Pembangunan Ekonomi Desa T2 902010002 BAB VI

0 1 29

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Migran dalam Bingkai Orang Papua T2 092011007 BAB VI

0 0 29

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Christian Entrepreneurship T2 912010027 BAB VI

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gerakan Sosial Perkumpulan Papua Pusaka Bangsa (Pendidikan dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat) T2 092010005 BAB VI

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Dengan Pengan Ditengah Perubahan Studi Kasus Perilaku Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Orang Mbatakapidu T2 092013003 BAB I

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Dengan Pengan Ditengah Perubahan Studi Kasus Perilaku Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Orang Mbatakapidu T2 092013003 BAB II

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Dengan Pengan Ditengah Perubahan Studi Kasus Perilaku Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Orang Mbatakapidu T2 092013003 BAB IV

0 1 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Dengan Pengan Ditengah Perubahan Studi Kasus Perilaku Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Orang Mbatakapidu T2 092013003 BAB IX

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Dengan Pengan Ditengah Perubahan Studi Kasus Perilaku Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Orang Mbatakapidu T2 092013003 BAB V

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Dengan Pengan Ditengah Perubahan Studi Kasus Perilaku Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Orang Mbatakapidu

0 6 20