Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Dengan Pengan Ditengah Perubahan Studi Kasus Perilaku Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Orang Mbatakapidu T2 092013003 BAB II

D ua
Perspektif Teori

Untuk dapat memahami fenomena yang menarik perhatian penulis
maka penulis menggunakan beberapa teori dan berbagai hasil
penelitian yang topiknya hampir sama dengan topik yang dikaji dalam
penelitian ini.

Agama Sebagai Sebuah Sistem Kepercayaan
Dalam bukunya yang berjudul The Intrepetation Of Cultures:
Selected Essays (1974) yang kemudian diterjemahkan ke dalam buku
yang berjudul kebudayaan dan agama (1992), Geertz menyebut agama
berlaku sebagai sebuah sistem kebudayaan dan bukan sebagai ideologi
hasil rekayasa sosial belaka. Hal ini terjadi kerena adanya batas-batas
pemikiran, penderitaan yag tidak tertahankan, masalah moral yang
tidak terpecahkan, ketidaksanggupan manusia untuk membuat
penafsiran dan ditemukannya “dunia lain” yang aneh, kacau dan tidak
terselami. Agama bukan terkait dengan bagaimana manusia
memecahkan penderitaan, melainkan bagaimana manusia mampu
untuk menderita. Pertanyaannya apakah ketika seseorang mengalami
penderitaan maka dapat dikatakan bahwa dia memiliki kekuatan untuk

bertahan dalam penderitaan? Atau apakah dengan menderita maka dia
akan menemukan kehidupan yang sejati? Jawabannya adalah
tergantung pada ajaran agama tersebut apakah agama cenderung
mendomestifikasi atau memberdayakan.
Sebagai serangkaian sistem simbol yang sakral, agama juga
menghasilkan etos. Geertz mengkaji bagaimana simbol-simbol sakral
itu dihayati dalam berbagai ritus dan kebudayaan dari berbagai bangsa,
khususnya dalam pertunjukan wayang kulit di Jawa. Dari kajian
tersebut timbul pertanyaan fundamental sejauhmana simbol-simbol

7

sakral dari nilai-nilai lokal yang dianut dipraktekkan oleh orang
M batakapidu?
Geertz (1981) dalam disertasinya yang berjudul The Religion Of
Java (abangan, santri, and priyayi) menyebut dalam struktur sosial di
M ojokuto, varian agama santri diasosiasikan dengan pasar (market)
yang merupakan salah satu inti dari sosial-struktural lainnya seperti
desa dan pemerintahan
atau birokrasi. Oleh karena itu, dapat

dikatakan bahwa ada hubungan antara satu tradisi agama dengan pasar.
Sebagai serangkaian sistem simbol yang sakral, agama juga
menghasilkan etos. Geertz mengkaji bagaimana simbol-simbol sakral
itu dihayati dalam berbagai ritus dan kebudayaan dari berbagai bangsa,
khususnya dalam pertunjukan wayang kulit di Jawa.
Liliweri (2007) dalam Palekahelu (2010 : 16) menyebut agama
atau sistem kepercayaan suatu masyarakat adalah salah satu bentuk
dari kebudayaan, yang diterima tanpa sadar atau tanpa dipikirkan dan
proses perwarisannya dilakukan melalui komunikasi dan peniruan dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Oleh karena itu, untuk
memahami agama dengan baik tentunya membutuhkan pemahaman
tentang kebudayaan, baik terkait dengan batasan kebudayaan maupun
bentuk-bentuk kebudayaan.
Dalam konteks ini, penulis ingin memahami secara mendalam
tentang pandangan dunia (world view), sistem kepercayaan (belief),
nilai-nilai yang diyakini (value) dan keseluruhan perilaku (actions)
yang dianut oleh orang M batakapidu.

Kepercayaan Terhadap Leluhur
Penduduk pulau Sumba dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu

penduduk Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba
Barat Daya. Seluruh penduduknya mewujudnya suatu kesatuan,
demikian juga bahasanya. Perbedaan hanya terdapat pada dialeknya.
Seluruh penduduk asli Sumba percaya akan adanya tokoh ilahi yang

8

diistilahkan dengan marapu.1 Kepercayaan kepada marapu adalah
kepercayaan kepada arwah para leluhur. Arwah ini dipercayai dapat
memberikan malapetaka jika tidak dipedulikan. Tampaknya di
kalangan para leluhur terdapat suatu stratifikasi tertentu. Para leluhur
dibedakan atas dua golongan yaitu maha-leluhur (marapu ratu) dan
leluhur biasa (marapu). M aha-leluhur dibedakan atas dua golongan
yaitu maha-leluhur yang langsung turun dari langit dan yang datang ke
Sumba dengan menggunakan perahu. M aha-leluhur adalah leluhur
yang menurunkan beberapa leluhur biasa. Para leluhur biasa terdiri
dari leluhur besar (marapu bokulu) dan leluhur kecil (marapu
pakahopi).2
Pada umumnya setip marapu terikat pada klan (kabihu-nya).
Setiap klan memiliki marapu sendiri. M asing-masing marapu

mempunyai sejarah sendiri yang terkait erat denga sejarah klan. Oleh
karena itu, leluhur biasa dapat disebut sebagai marapu klan (marapu
kabihu). M arapu klan adalah pemimpin, pendiri, pahlawan, klannya
dan disekitarnya berbentuk mite-mite yang melukiskan bahwa ia
mempunyai
kekuatan-kekuatan supranatural. Setiap marapu
mempunyai kuasa, kemampuan dan kesaktian yang tidak sama.3
M arapu diwujudkan dalam berbagai bentuk benda seperti
tombak, emas, gong, gading, manik-manik dan sebagainya. Bendabenda ini merupakan benda keramat yang tidak dapat dijamah oleh
sembarang orang, kecuali imam atau juru sembahyang dalam suatu
upacara keagamaan. Benda-benda ini diletakkan dalam sebuah
keranjang atau peti dan disimpan di atas balai-balai loteng rumah.
Orang Sumba percaya bahwa marapu hadir dalam benda-benda itu,
bahkan benda-benda itu kadang-kadang dilihat sebagai marapu itu
sendiri. Benda-benda ini disebut sebagai milik atau bagian marapu
(tanggu marapu).4

1 Harun Hadiwijono, “Religi suku murba di I ndonesia” (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2009) hal. 25-26
2 F . D. W ellem, “Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi” (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2004) hal. 45
3 W ellem, I bid., hal. 45-46
4 W ellem, I bid., hal. 46

9

Di samping para leluhur yang dijadikan obyek penyembahan,
klan-klan tertentu menyembah binatang-binatang tertentu seperti klan
Kabuling, marapu-nya adalah ular; klan W awangu, marapu-nya adalah
buaya; klan Karangguwatu, marapu-nya adalah burung tekukur dan
klan M aru W atubulu; marapu-nya adalah anjing. M arapu dipandang
sebagai perantara antara sang pencipta dan manusia. Sang marapu-lah
yang menyampaikan permohonan manusia kepada sang pencipta dan
sang pencipta menjawabnya melalui marapu.
Penulis sendiri memahami marapu sebagai mediator dari
keintiman hubungan antara manusia dengan sang pencipta yang
dilakukan dalam sebuah ritual. Langer (1942) dalam Dhavamony (1995
: 174) menyebut ritual merupakan ungkapan yang lebih bersifat logis
daripada hanya bersifat logis. Ritual memperlihatkan tatanan atas
simbol-simbol yang diobjekkan. Simbol-simbol ini mengungkapkan

perilaku dan perasaan, serta membentuk disposisi pribadi dari para
pemuja mengikuti modelnya masing-masing. Pengobjekan ini penting
untuk kelanjutan dan kebersamaan dalam kelompok keagamaan. Kalau
tidak, pemujaan yang bersifat kolektif tidak dimungkinkan. Akan
tetapi, sekaligus harus tahu bahwa penggunaan sarana-sarana simbolis
yang sama secara terus-menerus menghasilkan suatu dampak yang
membuat simbol-simbol tersebut menjadi biasa sebagaimana
diharapkan.
Dhavamony (1995 : 175-176) menyebut ritual dibagi atas empat
bagian yaitu (1) tindakan magis yang dikaitkan dengan penggunaan
bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis; (2) tindakan
religius, kultus para leluhur dan juga bekerja dengan cara ini; (3) ritual
konstitutif yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial
dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan upacaraupacara kehidupan ini menjadi khas dan (4) ritual faktatif yang
meningkatkan produktivitas atau kekuatan, atau pemurnian dan
perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan
materi suatu kelompok. Ritual-ritual faktatif berbeda dari ritual
konstitutif karena tujuannya lebih dari sekedar pengungkapan atau
perubahan hubungan sosial. Artinya tidak saja diejawantahkan melalui


10

kurban untuk bagi para leluhur dan pelaksanaan magi, tetapi juga
lewat pelaksanaan tindakan yang diwajibkan oleh anggota-anggota
jemaah dalam konteks peranan sekular mereka.

Teori Animisme
E. B. Taylor adalah orang yang sangat besar pengaruhnya dalam
teori tentang perkembangan religi suku murba. Pada tahun 1873, ia
menulis buku berjudul Primitive Culture (kebudayaan bersahaja).
Dalam buku itu, ia mengemukakan teori animisme. Kata animisme
berasal dari bahasa Latin animus, yang berarti jiwa. M enurut Taylor,
animisme adalah suatu kepercayaan mengenai adanya roh-roh dan
makhluk-makhluk halus yang mendiami seluruh alam semesta ini.5
Teori ini dimaksud sebagai suatu usaha menemukan asal mula
dan perkembangan religi dalam kebudayaan manusia. Kesadaran
manusia akan adanya jiwa dan roh dipandang sebagai asal mula religi.
Ada dua keyakinan pokok yang terkandung dalam teori animisme ini
yaitu: (1) keyakinan adanya jiwa pada setiap makhluk, yang dapat terus
berada sekalipun makhluk itu sudah mati atau tubuhnya sudah

dibinasakan dan (2) keyakinan adanya banyak roh yang berpangkatpangkat dari yang rendah hingga yang tinggi, dengan para dewa
sebagai puncaknya.6
M enurut Taylor, suku murba merasa diperhadapkan dengan dua
macam persoalan yaitu perbedaan antara orang yang hidup dengan
yang mati dan pengalaman di dalam mimpi. Persoalan pertama
mengandung arti bahwa orang yang hidup jelas-jelas berbeda dengan
orang yang sudah mati karena orang hidup dapat bergerak, berbicara,
mengeluarkan isi hatinya, sementara orang yang sudah mati tidak
demikian. Apa sebenarnya yang mengakibatkan orang tiba-tiba tidak
bergerak, berbicara dan lain sebagainya dapat dikatakan mati? Apa
yang menyebabkan orang tidak lagi menunjukan gejala-gejala hidup?
Apa yang mengakibatkan hidup itu?. Orang tidur, secara lahiriah
5
6

Hadiwijono, Op, cit., hal. 3
Hadiwijono, Op, cit., hal. 4

11


menunjukan gejala yang sama dengan orang yang mati, tetapi ia tidak
mati. Semua persoalan ini menjadikan setiap orang berpikir mengenai
hidup atau mati. Persoalan kedua mengandung arti bahwa keyakinan
akan adanya banyak roh, dikatakan bahwa di dalam mimpi orang dapat
melihat hal-hal yang tidak dapat dilihat pada waktu bangun. Di dalam
mimpi itu, seorang dapat bertemu dengan orang-orang yang sedang
tidak bersama-sama dengannya atau dengan orang yang sudah mati. Di
dalam mimpi, orang dapat mengalami hal-hal yang tidak mungkin
terjadi pada bangun, umpamanya ia dapat terbang dan sebagainya.7
Pada akhir abad ke-19, dalam pandangan umum, teori animisme
tidak dapat menerangkan suku murba secara komprehensif. Banyak
orang semakin yakin bahwa dalam menerangkan religi suku murba
sebenarnya harus diperhatikan kepercayaan adanya daya adikrodati
yang berdiri sendiri, sehingga mereka memandang bahwa daya
adikodrati ini mendahului kepercayaan adanya jiwa atau roh. Selain
itu, perlu dipahami bahwa orang-orang suku murba bukanlah para
filsuf atau ahli pikir, tetapi mereka hanya bergantung pada gejala-gejala
yang dialaminya. Berdasarkan pertimbangan ini maka muncullah suatu
teori baru yang disebut sebagai teori pra-animisme atau teori
dinamisme. M enurut teori ini, religi yang tertua bukanlah animisme,

melainkan kepercayaan adanya kekuatan gaib adikodrati yang berada
pada segala sesuatu, di mana kekuatan ini disebut mana.8
Pada tahun 1891, R. H. Codrington menulis buku yang berjudul
The M elanesians (suku M elanesia). M enurutnya, mana adalah suatu
daya yang tidak bersifat bendawi, tetapi juga bukan juga bersifat rohani
dalam arti yang biasa dipakai. M ana adalah daya atau kekuatan
adikodrati dalam arti tertentu, daya yang menyimpang dari yang biasa,
sekaligus juga bersifat adikodrati. Segala sesuatu yang memiliki mana
dipandang sebagai panas, yang dapat mengakibatkan hal-hal yang baik
maupun yang buruk.9

Hadiwijono, Op, cit., hal. 4-5
Hadiwijono, Op, cit., hal. 5
9 Hadiwijono, Op, cit., hal. 6
7

8

12


Setahun berselang tepatnya pada tahun 1892, John H. King
menulis buku yang berjudul The Supernatural, It’s Origin, Nature And
Evolution (yang adikodrati, tabiat dan perkembangannya). Selanjutnya,
pada tahun 1909 R. R. M arett menulis buku berjudul The Treshold Of
Religion (ambang religi). M arret tidak mengakui bahwa permulaan
religi adalah kesadaran manusia mengenai adanya perbedaan antara
unsur-unsur jasmani dan rohani. M enurutnya, pangkal dari segala
perilaku keagamaan adalah perasaan rendah terhadap gejala-gejala dan
peristiwa-peristiwa di dalam kehidupan sehari-hari yang menyimpang
dari yang biasa. Jadi, sebelum manusia memiliki suatu bentuk religi
animisme, manusia sudah memiliki suatu bentuk religi yang lain.10
Pada awal abad ke-20, disamping teori pra-animisme timbul juga
suatu teori yang disebut teori tokoh dewa yang tertinggi. Pada tahun
1898, Andrew Lang menulis buku berjudul The Making Of Religion
(pembentukan religi) dan kemudian disusul buku lainnya yang
berjudul M agic and Religion (magi dan religi) yang diluncurkan tahun
1901. Berdasarkan dongeng dan mitos suku-suku bangsa murba, Lang
menyebut bahwa suku murba tidak mungkin memandang dewa-dewa
sebagai roh, seperti yang dikemukakan dalam teori animisme oleh
Taylor. Dari dongeng dan mitos itu, Lang mengambil kesimpulan
bahwa suku murba percaya akan adanya seorang tokoh dewa, yang
dipandang sebagai tokoh dewa yang tertinggi (supreme being, high
God).11
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian H. G. Schulte Nordholt
pada tahun 1971 yang berjudul The Political System Of The Atony Of
Timor. Dalam penelitian ini, H. G. Schulte - Nordholt menyebut agama
pada orang Atoni digambarkan dalam tuhan yang berada dalam dunia
tersembunyi (the hidden world). M enurut orang Atoni, tuhan disebut
sebagai uis neno (dewa langit, Allah yang tertinggi atau the lord of
heaven is the supreme God).12

Hadiwijono, Op, cit., hal. 6
Hadiwijono, Op, cit., hal. 6-7
12 W ilhelmus Foni, “Budaya Bertani Atoni Pah Meto” (Salatiga: Satya W acana
University Press, 2002) hal. 14
10

11

13

Teori Tindakan
Parsons (Cubbon dalam Beilharz, 2002 : 292 - 293) menyebut
aspek-aspek pertentangan kuno antara materialisme dan idealisme
menjadi persoalan penting dalam karya-karyanya, yakni di dalam
bentuk pelbagai positivisme dan idealisme yang oleh Parsons dirangkai
dalam teori tindakan voluntaristik.
Dalam karyanya yang bertajuk The Structure Of Social Action
(1973), Parsons menyebut tindakan adalah perilaku yang disertai aspek
upaya subyektif dengan tujuan membawa kondisi-kondisi situasional
atau isi kenyataan yang lebih dekat kepada keadaan yang ideal atau
yang ditetapkan secara normatif (Cubbon dalam Beilharz, 2002 : 293).
Dalam tradisi positivistik, masalah Hobbesian mengenai
ketertiban muncul karena pandangan Hobbes yang keliru mengenai
regulasi normatif. Hal ini terjadi karena pada hakikatnya individuindividu saling berlomba untuk memuaskan hasrat mereka, di mana
rasio mereka hanya menjadi alat maka kekuatan dan kecurangan
menjadi sarana paling efisien untuk mencapai tujuan dan satu-satunya
solusi atas “perang semua melawan semua” yang diakibatkan oleh
kenyataan tadi adalah dengan memberangus kebebasan individu lewat
kekuasaan koersif yang di konsepsikan sebagai sumber eksternal dan
faktual bagi ketertiban (Cubbon dalam Beilharz, 2002 : 293).
Sedangkan dalam tradisi idealis, spirit pemandu suatu bangsa,
suku, zaman atau agama telah mengendalikan kehidupan sosial secara
efektif dan menggusur sudut pandang subyektif seorang aktor dari
signifikansi teoritis. Namun relasi tindakan terhadap dua kenyataan
dan nilai di atas paling tepat diistilahkan dengan “orientasi terhadap”,
bukan “ditentukan oleh”, meskipun sang aktor mau tidak mau harus
memilih cara tersebut di antara pelbagai alternatif tindakan yang
mungkin (Cubbon dalam Beilharz, 2002: 293).

14

Sistem Sosial
Sebuah karya bersama Parsons dan Shils (Cubbon dalam
Beilharz, 2002: 293) lewat tulisan yang berjudul Toward A General
Theory Of Action (1951) menyebut nilai, motif dan sistem tindakan
mengacu kepada suatu sistem tindakan umum yang terdiri dari tiga
sistem yang saling berdiri sendiri namun tetap berkaitan, yakni sistemsitem sosial, personalitas dan kultural.
Dalam bukunya yang berjudul Social System (1951), Parsons
(Cubbon dalam Beilharz, 2002 : 294) menyebut pada tahap teorisasi ini
mengarah pada “orientasi nilai”. Regularitas di antara cara-cara dasar
dalam hubungan antarmanusia membentuk “pola-pola orientasi nilai”
yang merupakan bagian utama dari sistem kultural. Pola-pola tersebut
muncul dari suatu matriks lima pilihan dikotomis yang disebut sebagai
“variabel-variabel pola”. Pola-pola pilihan itu menjadi bagian dari
sistem personalitas lewat internalisasi dan menjadi bagian dari sistem
sosial lewat institusionalisasi.
Oleh karena nilai-nilai dalam suatu masyarakat sangat erat
hubungannya dengan sistem sosial maka Parsons (1965 : 171) dalam
Sosrodihardjo (1987 : 111) menyebut values are modes of normative
orientation of action in a social system which define the main
directions of action without reference to spesific goals or more detailed
situations or structures. Dengan kata lain, nilai-nilai bersifat abstrak
dan memberikan pengarahan yang normatif. Berbeda dengan lembaga,
walaupun sama-sama merupakan pola-pola yang normatif, tetapi lebih
ditujukan kepada situasi tertentu.
Parsons (Cubbon dalam Beilharz, 2002 : 294) berkesimpulan
bahwa menyatunya pola-pola nilai umum dengan struktur disposisi
kebutuhan yang telah diinternalisasi dalam kepribadian pelaku
merupakan fenomena inti di dalam dinamika sistem sosial.

15

Kelembagaan Adat dan Non Adat
Jennifer Brick, dalam penelitiannya di daerah pedesaan
Afghanistan yang berjudul The Political Economy Of Customary
Village Organizations In Rural Afghanistan (2008) menyebut terdapat
tiga macam organisasi adat yang berperan dalam pembangunan
pedesaan di Afghanistan. Organisasi adat tersebut dibagi atas tiga
bagian yaitu Shura, M alik dan M ullah. Shura merupakan badan
deliberatif terkecil di masyarakat, dewan ini bersifat informal yang
bertanggungjawab membahas sengketa yang terjadi dalam desa atau
dengan desa tetangganya (sengketa tanah, air, isu pengelolaan
sumberdaya dan keamanan). M alik merupakan perwakilan komunitas
dalam institusi pemerintahan formal yang bertanggungjawab
menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintah (jembatan
antara masyarakat dan pemerintah) dan menangani isu keamanan,
pembangunan dan pemerintahan. Sedangkan M ullah merupakan
pemimpin agama dalam masyarakat yang bertanggungjawab membantu
membahas penyelesaian suatu perselisihan dalam keluarga atau
masalah pribadi lainnya, pemimpin spiritual tradisional yang
memainkan peran sebagai hakim, guru dan tabib, mengumpulkan
sedekah untuk diberikan kepada kaum yang kurang beruntung dan
pembangunan masjid, serta menangani urusan pembiayaan lokal.
Ketiga jenis organisasi adat ini didukung dengan teori local self
governance untuk menyediakan dan menyalurkan barang publik.
Dari tulisan Brick tergambar bahwa (1) organisasi adat
merupakan lembaga informal yang concern dalam hal penyaluran
sumberdaya atau barang publik kepada masyarakat di pedesaan
Afghanistan; (2) adanya peran politik lokal pasca konflik yang
mendukung proses pembangunan di Afghanistan; (3) organisasi adat
memiliki peran produktif dalam pembangunan negara dan (4)
organisasi adat masih sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga sangat
dimungkinkan kerjadinya korupsi, kroni kapitalisme dan sebagainya.

16

Konstruksi peran kelembagaan adat dan non adat di daerah pedesaan
Afghanistan dapat digambarkan sebagai berikut:13
Peran organisasi adat dan non adat di pedesaan Afghanistan dalam aras
politik lokal

Organisasi Non Adat

Shura

Organisasi Adat

Malik

 Badan deliberatif terkecil di
masyarakat
 Dewan ini bersifat informal
 Membahas sengketa yang
terjadi dalam desa atau dengan
desa tetangganya (sengketa
tanah, air, isu pengelolaan
sumberdaya dan keamanan)

 Menyelenggarakan program
nasional yang besar
 Dirancang untuk melayani
penyaluran barang dan jasa
publik
 Melakukan
pembangunan
yang berbasis proyek dan
meningkatkan tata kelola
masyarakat

 Perwakilan
komunitas
dalam
institusi pemerintahan formal
 Menyampaikan aspirasi masyarakat
kepada pemerintah (Jembatan antara
masyarakat dan pemerintah).
 Menangani
isu
keamanan,
pembangunan dan pemerintahan.

 Didukung dengan teori local self
governance untuk menyediakan
dan menyalurkan barang publik
 Organisasi
adat
dapat
menjalankan tata kelola dan
penyaluran barang publik lokal
dengan baik
 Adanya peran produktif dari
organisasi untuk menyediakan
barang publik
 Adanya upaya dari organisasi non
adat untuk mengganti sistem adat

Mullah
 Pemimpin
agama
dalam
masyarakat
 Membantu
membahas
penyelesaian suatu perselisihan
dalam keluarga atau masalah
pribadi lainnya
 Pemimpin spiritual tradisional
yang memainkan peran sebagai
hakim, guru dan tabib.
 Mengumpulkan sedekah untuk
diberikan kepada kaum yang
kurang beruntung dan bagi
pembangunan masjid
 Menangani urusan pembiayaan
lokal

Kesimpulan:
1. Organisasi adat merupakan lembaga informal yang concern dalam hal penyaluran sumberdaya atau barang publik kepada
masyarakat di pedesaan Afghanistan.
2. Adanya peran politik lokal pasca konflik yang mendukung proses pembangunan di Afghanistan.
3. Organisasi adat memiliki peran produktif dalam pembangunan negara.
4. Organisasi adat tetap eksis di kawasan pedesaan Afghanistan walaupun telah masuknya organisasi non adat.
5. Organisasi adat masih sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga sangat dimungkinkan kerjadinya korupsi, kroni kapitalisme
dan sebagainya

Gambar 1. Konstruksi Peran Kelembagaan Adat dan Non Adat

Hasil anotasi jurnal pada mata kuliah analisis kebijakan ekonomi politik di Program
Pascasarjana Magister Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana

13

17

Sistem Ekonomi Jasa

Sosrodihardjo (1987 : 91 – 92) menyebut sistem ekonomi jasa
mempunyai pengaruh yang besar terhadap pola hubungan antarwarga
masyarakat. Tukar menukar jasa harus selalu dilakukan secara tatap
muka. Pemberi jasa harus berhubungan secara langsung dengan pihak
penerima, sedangkan dalam sistem ekonomi uang tidak perlu saling
mengenal dan tidak perlu berhubungan secara langsung. Hubungan
tatap muka dalam sistem ekonomi jasa mengakibatkan adanya
hubungan yang subyektif, artinya ditujukan kepada subyeknya.
Sedangkan hubungan dalam sistem ekonomi uang dapat menghasilkan
hubungan yang obyektif, ditujukan kepada obyek yang diperjual
belikan dengan menyisihkan subyektivitas dan emosi. M aka sifat
hubungan dalam ekonomi jasa tercampur dengan emosi, tetapi
ekonomi uang dapat rasional, bahkan dengan menyisihkan rasa
perikemanusiaan.

Perilaku Ekonomi

Ekonom neoklasik menyebut manusia sebagai agen rasional yang
dalam aktivitas ekonominya berorientasi untuk memaksimalkan
kegunaan atau kebahagiaan. Sifat rasional ini mempunyai ciri seperti
(1) memperhitungkan untung-rugi; (2) mementingkan keuntungan diri
sendiri dan (3) memberikan hasil yang sebesar-besarnya dengan
pengorbanan yang sekecil-kecilnya.14
Konsep ketiga di atas sangat kurang tepat. Secara tidak sadar
kesalahan konsep mempunyai dampak yang cukup dalam. Yuwono
(2013: i) menyebut pengorbanan terkecil adalah nol, sehingga rumusan
isi hukum ekonomi bermakna mendapatkan hasil yang sebesarbesarnya tanpa pengorbanan, sehingga dalam kehidupan sehari-hari
seringkali terjadi tindakan yang tidak etis seperti korupsi, suapmenyuap dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan pandangan Gandhi
yang menegaskan bahwa terdapat tujuh dosa sosial yang paling
http://sharingtheory.blogspot.com/2009/06/teori-perilaku-ekonomi.html, Diunduh
tanggal 21 November 2014

14

18

mematikan yaitu: (1) wealth without work; (2) pleasure without
conscience; (3) knowledge without character; (4) commerce (bussiness)
without morality; (5) science without humanity; (6) religion without
sacrifice dan (7) politics without principle.15
Untuk meluruskan banalitas (kesalah-kaprahan) ini, maka
Yuwono menyebut optimisasi menjadi kata kunci bagi individu dalam
setiap perilaku ekonominya, bukan dicapai tanpa pengorbanan sama
sekali. Optimisasi hanya dapat dilakukan dengan memilih dengan
dengan tepat satu dari berbagai pilihan berdasarkan kaidah-kaidah
yang bernalar, tanpa meninggalkan etika. Etika merupakan suatu
kondisi yang inherent dalam setiap keputusan berperilaku ekonomi
secara benar. Dengan kata lain, dalam setiap berperilaku ekonomi
selalu diatur oleh norma-norma atau nilai-nilai yang dianut.
Sejalan dengan pemikiran Yuwono (2013), Frank Knight
menyebut manusia tidak didorong semata-mata oleh hasrat, tetapi
mereka merealisasikan atau memanifestasikan nilai-nilai tertentu dan
oleh Knight memasukan nilai sebagai elemen normatif. Dengan kata
lain, dalam memilihpun manusia akan selalu diperhadapkan dengan
value judgement (keputusan nilai) atau valuation (penilaian).16

Perilaku Sosial

Parsons (1968) menyebut perilaku atau tindakan mengandaikan
adanya kesatuan antara bagian-bagian yang berhubungan satu sama
lain. Kesatuan antara bagian itu pada umumya mempunyai tujuan
tertentu. Dengan kata lain, bagian-bagian ini membentuk satu
kesatuan (sistem) demi tercapainya tujuan atau maksud tertentu.17

Covey (dalam Kameo, 2013)
http://sharingtheory.blogspot.com/2009/06/teori-perilaku-ekonomi.html, diunduh
tanggal 21 November 2014
17
http://perilakuorganisasi.com/talcott-parsons-teori-struktur-fungsional.html,
diunduh tanggal 20 November 2014
15

16

19

Parsons (1968) dalam Haryati (2014 : 70) menyebut perilaku
sosial dipengaruhi oleh beberapa hal seperti yang diejawantahkan
dalam formulasi sebagai berikut:
A = S+ M + I
Keterangan:
A : action (tindakan atau perilaku)
S : situation (situasi yang berhubungan langsung dengan perilaku)
M : motivation (motivasi)
I
: ideal (norma)
Formulasi di atas menunjukkan bahwa perilaku sosial secara
agregat dibentuk oleh tujuan, situasi, dorongan dan norma. Begitu
pula dengan orang M batakapidu, jika kita ingin mengetahui rangka
(frame) pengalaman masyarakat, maka kita harus melihat kolektivitas
yang secara agregat dari pengalaman nenek moyang penduduk yang
sampai saat ini mendiami desa.
W eber menyebut gejala seperti itu sering kali berlangsung secara
sadar atau setengah sadar. Sebagaimana bentuk-bentuk perilaku
lainnya, maka perilaku sosial dapat dilakukan dengan berbagai cara
seperti: (1) perilaku sosial diklasifikasikan sebagai rasional dan
berorientasi terhadap suatu tujuan. M aksudnya bahwa obyek-obyek
dalam situasi eksternal atau pribadi-pribadi lainnya akan berperilaku
tertentu dan dengan mempergunakan harapan-harapan seperti kondisi
atau sarana demi tercapainya tujuan- tujuan yang telah dipilih secara
rasional. Hal tersebut dapat disebut sebagai perilaku yang berorientasi
pada tujuan; (2) perilaku sosial diklasifikasikan oleh kepercayaan secara
sadar pada arti mutlak perilaku, sehingga tidak tergantung pada suatu
motif tertentu dan diukur dengan patokan-patokan-patokan tertentu
seperti etika, estetika atau agama. Orientasi rasional terhadap suatu
nilai mutlak disebut perilaku yang terkait dengan nilai; (3) perilaku
sosial diklasifikasikan sebagai sesuatu yang bersifat afektif atau
emosional, yang merupakan hasil konfigurasi khusus dari perasaan
pribadi dan (4) perilaku sosial yang diklasifikasikan sebagai tradisional
yang telah menjadi adat-istiadat. Perilaku tradisional dalam arti sempit

20

sebagaimana halnya dengan tipe reaktif imitasi, terletak di perbatasan
atau kadang-kadang melintasi perilaku berorientasi yang mempunyai
arti. Perilaku yang berkaitan dengan nilai berbeda dengan perilaku
afektif. Dasar perbedaannya adalah formulasi yang sadar terhadap
nilai-nilai yang menguasai perilaku dan orientasi terencana yang
konsisten pada nilai-nilai tersebut. Namun kedua hal itu mempunyai
persamaan yakni perilaku tidaklah terletak pada pencapaian tujuan
tertentu. Akan tetapi, keterlibatan dalam perilaku tertentu demi
perilaku itu.18

Perilaku Lingkungan
Shumacher 19 (1979) menyebut kemakmuran sering dicapai
dengan cara-cara yang bertentangan dengan nilai dan norma seperti
keserakahan, iri hati dan sebagainya. Dengan kata lain, dalam
menjalani kehidupannya maka manusia cenderung mengabaikan
kearifan (wisdom). Dari sisi ekonomi, kearifan berarti kelestarian.
Artinya penggunaan teknologi seharusnya tidak meracuni lingkungan.
Pertanyaannya apakah memang hal ini telah sesuai dengan yang
diharapkan?
Rasanya
hal
tersebut
sangat
sulit
untuk
diimplementasikan. Kearifan memungkinkan kita untuk tidak
mengejar kepentingan-kepentingan material dan lebih cenderung
untuk mengejar tujuan spiritual.
Nilai moral dan spiritual dalam perkembangan ilmu ekonomi
adalah bagian dari mereduksi sifat serakah (greed) yang bisa
menghancurkan manusia itu sendiri. Apabila manusia terus menuruti
keserakahannya dan memandang bahwa alam memang diciptakan
untuk dikuasai maka alam akan terus mengalami degradasi dan sangat
sulit untuk dilakukan recovery. M anusia yang merasa telah menguasai

18
http://antropnesia.blogspot.com/2012/02/teori-perilaku-dari-max-weber.html,
Diunduh tanggal 20 November 2014
19 Cendekiawan ekonomi berkebangsaan Jerman
yang merupakan penggagas dari
teknologi madya sekaligus pendiri dan ketua dari intermediate technology
development group. Schumacher merupakan penulis buku small is beautiful dan
pandangan-pandangannya banyak dipengaruhi oleh ajaran Gandhi.

21

alam dan menimbulkan kerusakan berarti secara tidak sadar
menghancurkan diri sendiri karena manusia itu merupakan bagian dari
alam. Oleh karena itu, kesadaran moral merupakan pionir dalam
mendamaikan kekacauan yang telah dan akan terus terjadi.
Prinsip-prinsip kesederhanaan, kearifan dan segala hal berbau
spiritual memang nampaknya sulit dimasukkan dalam kajian ekonomi.
Namun, kita perlu merenung kembali ajaran Gandhi tentang semangat
“swadesi” 20. Dengan kata lain, menjadi negara dengan pertumbuhan
ekonomi yang rendah bukan berarti akan selalu berada dalam kondisi
terbelakang dan selalu bergantung kepada negara lain. Namun, hal
yang paling penting adalah sejauhmana impak dari pertumbuhan
tersebut dapat dirasakan oleh seluruh lapisan rakyat atau tanpa adanya
diskriminasi. Hal inilah yang disebut Schumacher sebagai konsep dari
kebahagiaan (happiness).
Hadirnya modernisasi mengisyaratkan bahwa setiap negara
harus melakukan spesialisasi produksi sesuai dengan keunggulan
komparatif yang dimilikinya. Karl M arx merupakan salah seorang
pemikir yang dianggap oleh banyak kalangan telah tergelincir kedalam
sebuah kesalahan yang besar ketika dia merumuskan apa yang disebut
dengan teori nilai tenaga kerja. Teori ini memandang bahwa modal
sebagian besar hanya dihasilkan oleh manusia (contoh: alat-alat
modern yang dapat membantu kegiatan produksi manusia), sedangkan
M arx lupa bahwa sebenarnya yang jauh lebih penting adalah dengan
melihat alam sebagai sumber modal. Hasil dari alam cenderung
dihabiskan dengan kecepatan yang sangat tinggi dan semakin
mengkhawatirkan.21 Kehadiran teori inipun sampai saat ini masih
menjadi perdebatan diantara banyak kalangan.
Salah satu pemikir yang pernah mengkritik M arx adalah
Schumacher. Salah satu isu penting yang dikritik oleh Schumacher
bahwa M arx di dalam teorinya cenderung melakukan pengabaian
terhadap keberlanjutan alam. Kesalahan utama M arx yaitu karena dia
Kemandirian
E.F. Schumacher, “Kecil itu indah: ilmu ekonomi yang mementingkan rakyat kecil”
(Jakarta: LP3ES, 1979) hal. 15

20
21

22

menganggap bahan bakar fosil sebagai sumber pendapatan, namun
sebenarnya elemen tersebut sejatinya merupakan bentuk dari modal.
Alasan fundamentalnya adalah jika manusia memandang dan
memperlakukan bahan bakar fosil sebagai bagian dari modal alam
maka manusia akan menjadi lebih bijak dan cenderung melakukan
penghematan terhadap penggunaan bahan bakar fosil.
Dalam menjalani kehidupan maka tentunya manusia akan selalu
dihampiri dengan berbagai pertanyaan dialektis yang sebenarnya
membuat manusia semakin menjadi lebih bijak. Pertanyaanpertanyaan yang sejatinya harus menjadi bahan perenungan manusia
antara lain apakah sumber daya yang bersifat non-renewable hanya
boleh kita gunakan dalam jumlah yang sedikit? Apakah sumber daya
yang bersifat non-renewable sama sekali tidak boleh kita gunakan?
Berapakah jumlah ideal dari sumber daya yang bersifat non-renewable
yang harus kita gunakan? Apakah sumber daya yang bersifat renewable
boleh kita gunakan dalam jumlah yang banyak? Apakah sumber daya
yang bersifat renewable sama sekali tidak boleh kita gunakan?
Berapakah jumlah ideal dari sumber daya yang bersifat renewable yang
harus kita gunakan? Berapakah jumlah sumber daya (non-renewable
maupun renewable) yang harus kita simpan? Dimanakah batasan
antara needs dan wants?.
M asalah pembangunan memang merupakan persoalan pilihan.
Dalam pilihan diandaikan ada kebebasan, sehingga pembangunan
merupakan persoalan etis. Oleh karena pembangunan merupakan
persoalan etis maka kita perlu mempertahankan dan menjaga
kelestarian lingkungan dalam menjalankan kegiatan ekonomi
(environment preserve for sustainable development).

Kritik Terhadap Tesis M endeville
Bernard M endeville (dalam Skousen, 2006 : 45) lewat karyanya
yang berjudul The Fable Of The Bees (1714) dalam edisinya yang
pertama mengisahkan cerita lebah yang mendengung dalam sarang
yang kaya menjadi jujur dan kemudian jatuh miskin dan hancur

23

setelah menjadi komunitas yang bermoral. Dalam edisi kedua yang
populer, M endeville mendeskripsikan sebuah masyarakat yang
makmur, di mana semua warga negaranya memutuskan untuk meninggalkan kemewahan, pengeluaran dan menanggalkan senjata. Hasilnya
adalah timbul depresi, ambruknya perdagangan dan rusaknya
perumahan.
Tulisan M endeville menunjukkan bahwa keserakahan,
kemewahan dan ketamakan akan membawa publik menuju pada
kemakmuran. Artinya jika moment kejahatan itu hilang maka
masyarakat pasti rusak atau bahkan bisa lenyap sepenuhnya. Jadi,
dalam paradoks M endeville ini tersirat makna bahwa mengejar
kepentingan diri sendiri akan menciptakan kebaikan sosial.
Friedrich Hayek dan John M aynard Keynes menyetujui dongeng
dari M endeville. Hayek (1984: 184 - 185, dalam Skousen 2006 : 45)
menyebut bahwa melalui M endeville inilah Adam Smith mendapatkan
pandangan tentang pembagian kerja, kepentingan diri, kebebasan
ekonomi dan ide tentang konsekuensi yang tidak diharapkan. Keynes
(1973: 358-361, dalam Skousen 2006: 45) juga setuju dengan pandangan
M endeville tentang sentimen anti-penghematan dan tekanan statis
untuk memastikan terciptanya lapangan kerja dalam masyarakat.
Dalam tulisannya yang berjudul The Theory Of M oral
Sentiments, Smith (1759 : 308 - 310, dalam Skousen 2006 : 46) tidak
menyetujui pandangan M endeville. Smith menyebut karya M endeville
sebagai pandangan yang sepenuhnya merusak dan tesisnya sangat
keliru. Smith tidak setuju dengan pandangan yang menyatakan bahwa
kemajuan ekonomi bisa dicapai melalui keserakahan, ketamakan dan
cinta diri tanpa kendali, sehingga Smith mengecam M endeville karena
tampaknya dia tidak bisa membedakan antara yang baik dan jahat.

Kritik Terhadap Tesis W eber
M ax W eber, dalam disertasinya yang berjudul The Protestant
Ethic And The Spirit Of Capitalism (2007) menyebut salah satu

24

penyebab utama kemajuan ekonomi yang pesat pada beberapa negara
di Eropa dan Amerika Serikat adalah apa yang disebut sebagai etika
protestan. Etika protestan menjadi sebuah konsep umum yang tidak
dihubungkan lagi dengan agama protestan itu sendiri. Konsep tersebut
menjadi sebuah nilai tentang kerja keras tanpa pamrih untuk mencapai
sukses.
Tesis W eber yang memperlihatkan kemungkinan adanya
hubungan antara ajaran agama dengan perilaku ekonomi hingga saat
ini masih menimbulkan perdebatan. Tesisnya dipertentangkan dengan
teori M arx tentang kapitalisme, dasar asumsinya dipersoalkan dan
ketepatan interpretasinya digugat. Samuelsson menyebut bahwa dari
penelitian sejarah, tidak bisa diketemukan dukungan untuk teori
W eber tentang kesejajaran doktrin protestanisme dengan kapitalisme
dan konsep tentang korelasi antara agama dan tingkah laku ekonomis.22
Tentu saja penolakan ini tidaklah terpisah dari pilihan bukti
historis yang masing-masing dipakai oleh W eber dan Samuelsson
terhadap tanggapan mereka tentang doktrin protestan (khususnya
Calvinis yang puritan), yang dianggap oleh W eber memainkan peranan
penting. Perbedaan pokok ialah pada keinginan W eber untuk
membuat suatu kerangka konseptual, yang diambil dari pengalaman
sejarah untuk menerangkan suatu gejala historis dan sosiologis yang
sampai saat ini dikenal dengan kapitalisme modern, sedangkan
Samuelsson lebih berusaha melukiskan peristiwa sejarah dari sudut
logika peristiwa sendiri.23
M emang perdebatan historis merupakan darah daging dari
penulisan sejarah. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa serta
merta bangkit pula para pembela W eber, yang bukan saja meragukan
ketepatan pilihan bukti historis dan interpretasi Samuelsson, tetapi
juga meragukan kemampuannya untuk memahami W eber dengan
tepat. Bahkan Bellah menjadikan buku Samuelsson sebagai salah satu

22 Taufik Abdullah, “Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi” (Jakarta: LP3ES,
1979) hal. 4
23 Abdullah, I bid., hal. 5

25

contoh dari tetap pentingnya tesis W eber, menyebut penolakan
Samuelsson sebagai sebuah bentuk permusuhan yang irrasional.24
Penolakan terhadap tesis W eber pun tidak juga berhenti. Lenski
seorang peneliti katolik terkemuka yang meneliti tentang faktor agama
dalam kehidupan sosial, menyebut bahwa masalah etika protestan
sudah waktunya memperoleh moratorium. Namun, W eber tetap
konsisten dengan asumsinya bahwa rasionalitas adalah unsur pokok
yang menyebabkan peradaban barat mempunyai arti dan pengaruh
yang universal. Dalam kegiatan ekonomi, dapat dilihat bahwa banyak
peradaban dalam sejarah mengenal apa artinya mencari keuntungan,
tetapi hanya di dunia barat-lah pencarian keuntungan itu
diselenggarakan dalam kerangka organisasi yang diatur secara rasional.
Inilah akar utama dari sistem kapitalisme, yang mewujudkan diri
dalam sistem perilaku ekonomis.25
Keberatan terhadap tesis W eber dari sudut historis juga diajukan
oleh Tawney yang menyebutkan bahwa jika masalahnya adalah soal
panggilan, bukanlah ini merupakan suatu pertimbagan pribadi? Jika
demikian, maka di mana harus dicari pertautan pribadi dengan
masyarakat dalam hal sistem tindakan? Para teolog kristen mengajukan
keberatan terhadap interpretasi W eber mengenai doktrin protestan.
Dengan tegas mereka menyatakan bahwa ajaran-ajaran dari para teolog
yang disebut W eber sama sekali tidak mengarahkannya untuk
kepentingan ekonomi. Tidak ada yang lebih jauh dari pikiran Calvin
dan pengikut-pengikutnya selain dari usaha mencari pemenuhan
materialistis.26
Terhadap kritik di atas, W eber mengajukan jawaban bahwa yang
dicarinya ialah kemungkinan adanya hubungan antara beberapa
fenomena. Dalam hal ini, W eber hanya memperhatikan fenomena
yang secara teoritis dapat dianggap memiliki kaitan atau interaksi. Jadi,
sifatnya mencari kemungkinan (probabilistic) dan bukan langsung
mencari kaitan fungsional, yang menentukan fungsi bagian-bagian dari
Abdullah, I bid., hal. 5-6
Abdullah, I bid., hal. 6-7
26 Abdullah, I bid., hal. 11-12
24

25

26

suatu sistem. Seorang ahli sosiologi menyebutnya elementaristic dalam
arti bahwa W eber hanya mereduksi permasalahan, padahal yang paling
pokok ialah panggilan.27
Kritik-kritik di atas umumnya bertolak dari tradisi ilmiah yang
sama, hanya saja mereka tidak menemukan kesesuaian dengan tesis
tersebut. Oleh karena itu, pengikut W eber mencoba memperlihatkan
aspek lain dari tesis W eber dengan mengatakan bahwa para pengeritik
lupa bahwa sebenarnya W eber ingin memperlihatkan masalah
transformasi struktural. Pokok utama persoalannya ialah pada hal
dinamika sosial itu sendiri dan faktor-faktor yang menyebabkannya.
Dengan kata lain, hal ini menyangkut apa yang pernah disebut oleh
Parsons sebagai breakthrough atau keterlepasan dari ikatan lama. Jadi,
bukan sekedar soal ada atau tidaknya kemungkinan hubungan kausal
antara doktrin agama dan tindakan ekonomi.28
M alah lebih dari pada itu, betapa pun sesungguhnya isi dan
maksud dari suatu nilai atau norma, tesis W eber secara implisit
menyebutkan bahwa tindakan yang muncul dapat sama sekali berbeda
dari dasar norma itu. Artinya sangat terbatasnya pengaruh ide, cita atau
pikiran dalam menentukan sistem tindakan (system of action).29
Kesimpulannya adalah W eber menekankan pada peranan sekte
yang berfungsi sebagai indikator dari status serta mekanisme
pengawasan terhadap sikap moral, sehingga sebenarnya memang
hubungan etika protestan dengan semangat kapitalisme tidak telepas
dari pembaharuan sebagai konsekuensi logis dari diferensiasi yang
terjadi. Hal inilah yang disadari oleh Geertz tentang adanya perbedaan
(variant) dalam penghayatan agama, seperti di M ojokuto atau status
seperti di Tabanan. Geertz melihat adanya unsur semangat kapitalisme
dalam arti tekun, hemat dan berperhitungan (ajaran Calvin atau
Calvinist). Akan tetapi, hal ini tidak didukung oleh kemampuan
organisasi yang baik.30
Abdullah, I bid., hal. 12
Abdullah, I bid., hal. 12-13
29 Abdullah, I bid., hal. 13
30 Abdullah, I bid., hal. 33
27

28

27

Ketidakmampuan organisasi dan tidak adanya corporateness,
solidaritas kekaryaan juga dilihat oleh Siegel di Aceh. Ia melihat bahwa
aktivitas dagang dibimbing oleh moral dari pedagang itu sendiri dan
tidak harus ditentukan oleh ikatan agama. Hubungan dalam usaha
dagang bukanlah hubungan antar usaha, tetapi antar pribadi. Demikian
halnya dengan kepemimpinan dalam usaha, tidak ada hubungan
antara majikan dan pegawai, yang ada hanyalah hubungan induk
semang dengan anak semang yang sifatnya pribadi. Jadi, tidak seperti
etika protestan yang menyumbang bagi peneguhan semangat
kapitalisme, yang rasional dan berperhitungan, maka di Aceh yang
muncul adalah perhitungan dagang di satu pihak dan pandangan
terhadap manusia di pihak lain. Di mana keduanya dibimbing oleh
logikanya masing-masing.31
Siegel memang lebih memperhatikan sikap pribadi dalam
kegiatan ekonomi, sedangkan Geertz mencoba menangkap situasi
rohaniah yang mewarnai kegiatan ekonomi dan kemudian mencoba
menghubungkannya dengan kegiatan ekonomi. Keduanya melihat
kelemahan organisasi sebagai penghalang utama peningkatan
kemampuan ekonomi dari santri Jawa dan pedagang Aceh.32

Kearifan Lokal
Quaritch W ales (dalam Ayatrohaedi, 1986) menyebut kearifan
lokal (local wisdom), yang dalam disiplin antropologi dikenal dengan
istilah local genius. Haryati Soebadio (dalam Ayatrohaedi, 1986 : 18 19) menyebut local genius adalah juga cultural identity, identitas atau
kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu
menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan
kemampuan sendiri.
M oendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986: 40 - 41) menyebut
unsur budaya daerah berpotensial sebagai local genius karena telah

31
32

Abdullah, I bid., hal. 34-35
Abdullah, I bid., hal. 35

28

teruji kemampuannya untuk bertahan sampai saat ini. Ciri-ciri kearifan
lokal atau local genius tersebut yaitu (1) mampu bertahan terhadap
budaya luar; (2) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur
budaya luar; (3) mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur
budaya luar ke dalam budaya asli; (4) mempunyai kemampuan
mengendalikan dan (5) mampu memberi arah pada perkembangan
budaya.
Sibarani (2012 : 112 - 113) menyebut kearifan lokal adalah
kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari
nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan
masyarakat. Kearifan lokal juga dapat didefinisikan sebagai nilai
budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan
kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana. Artinya karifan lokal
merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus
dijadikan pegangan hidup karena kearifan lokal merupakan
pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang
berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem
lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu
panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan
lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif
masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai.
Keraf (2002) menyebut kearifan lokal sebagai semua bentuk
pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat
kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam
kehidupan di dalam komunitas ekologis. Artinya manusia sebagai
makhluk integral dan merupakan satu kesatuan dari alam semesta serta
perilaku penuh tanggung jawab, penuh sikap hormat dan peduli
terhadap kelangsungan semua kehidupan di alam semesta serta
mengubah cara pandang antroposentrisme ke cara pandang
biosentrisme dan ekosentrisme. Nilai-nilai kearifan lokal yang
terkandung dalam suatu sistem sosial masyarakat, dapat dihayati,
dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke genarasi
lainnya yang sekaligus membentuk dan menuntun pola perilaku
manusia sehari-hari.

29

Ataupah (2004) menyebut kearifan lokal bersifat historis tetapi
positif. Nilai-nilai diambil oleh leluhur dan kemudian diwariskan
secara lisan kepada generasi berikutnya lalu oleh ahli warisnya tidak
menerimanya secara pasif dapat menambah atau mengurangi dan
diolah, sehingga apa yang disebut kearifan itu berlaku secara
situasional dan tidak dapat dilepaskan dari sistem lingkungan hidup
atau sistem ekologi yang harus dihadapi orang-orang yang memahami
dan melaksanakan kearifan itu.

Pembangunan Berkelanjutan
Dewasa ini kita diperhadapkan dengan banyak persoalan dan
pandangan yang sangat paradoksal. Pada satu sisi, kita merayakan
banyak kemajuan ekonomi, sosial dan budaya khususnya di berbagai
belahan dunia yang melakukan pembangunan selama bertahun-tahun,
di sini kemiskinan bisa dikurangi secara signifikan. Namun, kita juga
diperhadapkan dengan banyak gugatan atas berbagai usaha
pembangunan yang bertahun-tahun telah menjadi sebuah ideologi,
seperti laporan tentang kemiskinan, gizi buruk, ketimpangan,
lingkungan dan sebagainya yang terus menghiasi surat kabar maupun
jurnal. Dari persoalan inilah yang memaksa manusia untuk berpikir
mengenai gagasan pembangunan berkelanjutan yang berangkat dari
berbagai fenomena yang telah terjadi.33
Sen dalam diskusinya tentang pembangunan jauh lebih luas,
karena mempersoalkan definisi pembangunan klasik yang cenderung
mengejar pertumbuhan dan semata-mata untuk pemenuhan
kebutuhan material masyarakat, sedangkan rumusan Sen tentang
pembangunan berkelanjutan sampai menyentuh dimensi sosial dan
politik. Dalam development as freedom, Sen (1993 : 3) menyebut
pembangunan dapat dilihat dari berbagai perluasan kemerdekaan sejati
yang dihadapi oleh masyarakat (development can be seen as a process
of expending the real freedoms that enjoy people). Pandangan ini pada
hakikatnya mengarah kepada kebebasan politik, kesempatan33

Shiva (1997 : xxxi) dalam W inarno (2013 : 138)

30

kesempatan ekonomi, peluang-peluang sosial, jaminan keterbukaan
dan perlindungan keamanan.34
Pada zaman pencerahan, Shiva menyebut pembangunan
berkelanjutan berpusat pada kesucian dua kategori yaitu ilmu
pengetahuan modern dan pembangunan ekonomi.35 Definisi ini ingin
mengingatkan kita bahwa kedua kategori ini merupakan akar
penyebab dari begitu banyaknya persoalan kehidupan manusia dan
lingkungan.
Dari kedua pandangan tersebut tergambar bahwa pembangunan
berkelanjutan sejatinya tidak bersifat mikro, namun lebih bersifat
makro yang menyentuh berbagai aspek kehidupan dan bersifat
komprehensif, sehingga Pembangunan yang sejati adalah proses
menuju pada kebebasan dan lebih bertanggungjawab. Artinya
pembangunan tidak hanya untuk segelintir orang saja, tetapi harus
dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk masyarakat di
desa M batakapidu yang masih hidup dalam tatanan nilai-nilai lokal
tradisonal.

Definisi Kerja
Ritus seperti hamayangu sebagai ancestor worship merupakan
sebuah pengalaman religius mengenai interaksi antara orang
M batakapidu dengan leluhur. Dalam penelitian ini, penulis melakukan
observasi terkait dengan ritus yang masih dilakukan oleh orang
M batakapidu sebagai entry point. Dari interaksi tersebut terakumulasi
berbagai pengalaman yang dijadikan sebagai sumber pengetahuan oleh
orang M batakapidu yang diturunkan dari generasi ke generasi. M elihat
hal ini, membuat penulis memilih KAP (knowledge, attitude, and
practice) study sebagai penuntun untuk dapat masuk ke dalam dunia36

W inarno, I bid., hal. 46
W inarno, I bid., hal. 138
36 I stilah dunia yang dimaksud ini sama dengan pendapat
Kana (1983 : 9) yang
menyebut sebagai suatu cakupan pengertian dari suatu masyarakat yang melingkupi
pandangan dan konsep-konsep mengenai kepelbagaian dan kebanyaksegian dunia fisik,

34

35

31

orang M batakapidu. Artinya pengetahuan (knowledge), sikap atau
attitude (keyakinan, kepedulian dan kepercayaan) orang M batakapidu
akan membimbing perilaku (practice) yang dicerminkan dalam
kehidupan ekonomi, sosial dan lingkungan. Perilaku inilah yang akan
bermuara
pada
pembangunan
berkelanjutan
(sustainable
development). Argumentasi tersebut penulis gambarkan dalam sebuah
skema definisi kerja (working definition) seperti di bawah ini:
Sang Pencipta
Interaksi Orang
Mbatakapidu dengan
leluhur

Marapu

Manusia

KAP study

Knowledge

Ritus-ritus

Pengalaman Orang Mbatakapidu

Attitude

1. Berladang
2. Berternak
3. Berdagang
4. Investasi

Practice

1.

2.
3.
4.

Relasi antara orang Mbatakapidu
dengan program pemerintah dan
LSM
Hubungan Kekerabatan
Dinamika Organisasi Warga
Dinamika Kelembagaan Adat

1.
2.

Menjaga mata air
Menjaga padang
rumput

Pembangunan Berkelanjutan

Tidak dikaji secara mendalam
Dikaji secara mendalam
Gambar 2. Definisi Kerja (working definition)

hidup (termasuk aktivitas dan hasil aktivitas), lingkungan kemasyarakatan serta dunia
gaib sebagai suatu keseluruhan yang teratur dan lengkap.

32

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kontrak Bisnis dengan Orang Asing T2 322011012 BAB II

0 3 56

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Kasus tentang Perubahan Sosial di Sumba Timur terhadap Persyaratan Gelar Kebangsawanan T2 752011041 BAB II

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tato sebagai Representasi Spiritual Orang-Orang Bertato T2 752014027 BAB II

0 1 45

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Dengan Pengan Ditengah Perubahan Studi Kasus Perilaku Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Orang Mbatakapidu T2 092013003 BAB I

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Dengan Pengan Ditengah Perubahan Studi Kasus Perilaku Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Orang Mbatakapidu T2 092013003 BAB IV

0 1 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Dengan Pengan Ditengah Perubahan Studi Kasus Perilaku Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Orang Mbatakapidu T2 092013003 BAB IX

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Dengan Pengan Ditengah Perubahan Studi Kasus Perilaku Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Orang Mbatakapidu T2 092013003 BAB V

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Dengan Pengan Ditengah Perubahan Studi Kasus Perilaku Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Orang Mbatakapidu T2 092013003 BAB VI

0 1 29

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Dengan Pengan Ditengah Perubahan Studi Kasus Perilaku Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Orang Mbatakapidu

0 6 20

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jaringan Islam Tradisional di Pekalongan: Respon Jaringan terhadap Perubahan Sosial T2 BAB II

0 0 12