Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persepsi, Sikap dan Partisipasi Masyarakat Desa Idamdehe, Halmahera Barat,Terhadap Rencana Pembangunan PLTP T2 092013020 BAB II

Bab Dua
Tinjauan Pustaka

Pengantar
Dalam bab ini berisi tentang tinjauan pustaka yang dipakai
sebagai landasan pemikiran teoritis mengenai partisipasi masyarakat
dalam pembangunan. Selanjutnya konsep pemikiran teoritis yang telah
dikembangkan dari literatur-literatur tersebut akan membantu penulis
menganalisa hasil penelitian mengenai keterlibatan masyarakat dalam
rencana pembangunan PLTP di Desa Idamdehe, Kecamatan Jailolo,
Kabupaten Halmahera Barat. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan beberapa konsep yang dianggap relevan, yaitu teori
tentang partisipasi, persepsi, sikap, resistensi, dan konsep
pembangunan berkelanjutan.

Partisipasi
Partisipasi dapat diartikan sebagai keterlibatan masyarakat
lokal dalam menetapkan dan melaksanakan agenda mereka, sehingga
kontrol berada pada masyarakat lokal. Dalam aksinya, masyarakat lokal
melakukan aksi kolektif (Nemarundwe dan Richards, 2002: 169).
Menurut Uphoff dan Cohen (dalam Ife, 2008: 296), partisipasi

menekankan pada peran rakyat dalam pengambilan keputusan. Sejalan
dengan pemikiran Uphoff dan Cohen, Kartasasmita1 mengatakan
bahwa peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan
keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya merupakan unsur
yang sungguh penting, Pengalaman banyak negara menunjukkan
bahwa agar pembangunan dapat berhasil, partisipasi masyarakat amat

1

www.stialan.ac.id/artikel/artikel%20ginanjar.pdf

9

diperlukan. Partisipasi harus dilandasi oleh kesadaran, bukan karena
paksaan.
Kerstan, (dalam Nemarundwe dan Richards, 2002 : 170-171),
memaparkan ada tingkatan-tingkatan yang harus dilalui untuk
mencapai aksi kolektif dalam kegiatan pasrtisipasi atau lebih dikenal
dengan sebutan “The Ladder Of Participation”. Berikut merupakan
ilustrasi gambar tentang “The Ladder Of Participation”, yaitu:


Sumber: Kerstan, (dalam Nemarundwe dan Richards, 2002)

Berdasarkan gambar di atas dapat disampaikan sebagai berikut:
Tangga pertama, partisipasi pasif, yaitu dalam tahapan ini respon
masyarakat terhadap tingkatan berpartisipasi masih menerima
informasi. Tangga kedua, berpartisipasi untuk mendapatkan
keuntungan, yaitu masyarakat berpartisipasi disebabkan adanya
manfaat yang akan diterima jika mereka berpartisipasi. Tangga ketiga,
kerjasama, yaitu respon masyarakat positif sehingga adanya kerjasama
yang dihasilkan. Tangga keempat, konsultasi, yaitu masyarakat
membutuhkan konsultasi terhadap kegiatan yang akan diambil/buat.
Tangga kelima, kolaborasi. Kolaborasi adalah adanya kerja sama antara
masyarakat dan pihak luar dalam melakukan kegiatan. Tangga keenam,
10

aksi kolektif atau aksi bersama, yaitu tingkatan partisipasi yang
mengikutsertakan masyarakat secara bersama-sama dengan pihak luar
dalam perencanaan serta pengambilan keputusan. Dalam tulisan
Nemarundwe dan Richards (2002), tentang “The Ladder Of

Participation”, partisipasi dipahami sebagai dinamika yang menuju
arah positif, karena konsep pendekatan pembangunan yang digunakan
adalah Bottom Up. Partisipasi masyarakat dalam penelitian
Nemarundwe dan Richards, tegas karena masyarakat lokal dapat
memetakan kebutuhan mereka sendiri tanpa adanya intervensi dari
pihak luar, sehingga pembangunan dan program yang akan dilakukan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal.
Akan tetapi menurut Syahdan (dalam Riansyah, 2012: 33), dia
mengingatkan dalam tulisannya bahwa perlunya bersikap hati-hati
terhadap konsep partisipasi. Ada beberapa hal yang perlu dicermati
tentang pemaknaan partisipasi, yaitu: a). Partisipasi bukan mobilisasi
dan sosialisasi. Artinya partisipasi sering dianggap sebagai kehadiran
masyarakat secara massal atau menggerakan orang untuk berkumpul
dan melakukan sesuatu (mobilisasi), kebijakan publik dianggap sudah
partisipatif tatkala publik berkumpul bukan pada forum
permusyawaratan, akan tetapi pada forum sosialisasi. b). Partisipasi
tidak terhenti pada kerangka keterwakilan formal prosedural. Meski
partisipasi harus diwadahi dalam berbagai prosedur komunikasi, bukan
berarti mekanisme pengorganisasian opini publik hanya berada dalam
prosedur formal. Ruang partisipasi seharusnya diperlebar sampai batas

terluar dari kekuasaan komunikatif, yakni suara-suara bawah, media
massa, serta berbagai aspirasi dan opini publik di forum warga.
Keterwakilan dalam proses komunikasi publik dalam masyarakat
majemuk harus terbuka secara kritis. c). Partisipasi sebagai agama baru.
Paradigma partisipatif pada hakikatnya menggeser bandul orientasi
perbincangan tentang pembangunan dari negara dan pasar kepada civil
society. Namun bukan berarti semua yang dari masyarakat adalah
benar dan sahih. Dalam pencapaian konsesus pembangunan tidak bisa
dianggap bahwa kepentingan masyarakat selalu menjadi premis mayor
dalam proses diskursif dan sementara kepentingan negara dianggap
premis minor. d). Partisipasi bukan hanya vote, tapi juga voice.
11

Demokrasi deliberatif memang lekat dengan dihasilkannya konsesuskonsesus bersama. Namun bukan berarti proses mewujudkannya
dilakukan dengan pendekatan efektif dan efisien seperti dalam logika
produksi. Partisipasi bukan hanya masalah keterlibatan publik untuk
memberikan pilihan (vote) namun lebih menekankan pada
penyampaian aspirasi (voice) dan mendiskursifkannya secara
berkualitas. Sebuah kesepakatan perencanaan pembangunan lebih baik
tertunda karena alasan belum maksimal proses diskursifnya, dari pada

dihasilkan secara efektif dan efisien namun berpotensi merugikan
banyak kelompok kepentingan.
Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Nemarundwe dan
Richards (2002) tentang “The Ladder Of Participation” dan menurut
pemikiran Arnstein (dalam Ife, 2008, 299: 300), tentang “Jenjang
Partisipasi Warga Negara”. Arstein (1969),
Kontrol
warga negara
Kekuasaan
didelegasikan
Kemitraan
menenangkan

Derajat kekuatan
warga negara
Derajat
tokenisme

konsultasi
menginformasikan


Nonpartisipasi

terapi
Manipulasi

Dari topologi ini, jelaskan bahwa apa yang mungkin dikatakan
sebagai partispasi dapat berkisar dari manipulasi oleh pemegang
kekuasaan sampai kepada warga negara yang memiliki kontrol
terhadap keputusan-keputusan yang mempengaruhi kehidupan
mereka, yang bervariasi menurut tingkat kontrol.

12

Persepsi
Menurut Liliweri (1997:138), kata persepsi seringkali dimaknai
dengan pendapat, sikap, penilaian, perasaan dan lain-lain. Yang pasti,
tindakan persepsi, penilaian, perasaan, bahkan sikap selalu berhadapan
dengan suatu objek atau suatu peristiwa tertentu. Persepsi selalu
menggambarkan pengalaman manusia tentang objek, peristiwa atau

hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi
atau menafsirkan pesan tentang objek tersebut.
Persepsi individu tidak hadir sendiri tetapi terdiri dari
beberapa bagian, yakni sensasi, atensi, ekspektasi atau harapan,
motivasi dan memori. Berikut ini merupakan pembahasannya, yaitu :


Sensasi adalah pengalaman elementer yang segera, tidak
memerlukan uraian verbal, simbolis atau konseptual yang
berhubungan dengan kegiatan indera. Sensasi berkaitan erat
dengan cara indera manusia yang menangkap stimulus atau
rangsangan dari objek atau dunia empiris.



Atensi merupakan dampak dari sensasi yang mempengaruhi cara
berpikir berdasarkan objek yang diterima oleh indera. Atensi
selalu fokus pada indera mata, dan mengesampingkan peran
indera lainnya untuk menangkap stimulus.




Ekspektasi sama dengan harapan. Ekspektasi sering timbul setelah
kita menangkap stimulus atau sering mengharapkan apa yang
bakal terjadi setelah indera menangkap stimulus.



Motivasi adalah dorongan batin internal untuk mewujudkan
harapan.



Memori adalah dicatat dalam ingatan semua stimulus mulai dari
sensasi, atensi, ekspektasi atau harapan dan motivasi. Akhirnya
persepsi hanya sampai pada tahap menyimpulkan informasi dan
menafsirkan pesan.

13


Persepsi (perception) adalah proses individu mengatur dan
menginterpertasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan
arti bagi lingkungan mereka. Apa yang diterima seseorang pada
dasarnya bisa berbeda dari realitas objektif. Walaupun seharusnya
tidak perlu ada, perbedaan tersebut sering timbul (Robbins dan Judge.
2008 : 175)
Sering timbulnya perbedaan persepsi tersebut di pengaruhi
oleh faktor-faktor yang terletak dalam pembentuk persepsi, dalam diri
objek atau target yang diartikan atau dalam konteks situasai di mana
persepsi tersebut dibuat. Berikut merupakan tabel tentang faktorfaktor yang mempengaruhi persepsi.

Faktor-faktor dalam
situasi

waktu

keadaann kerja

keadaan sosial


Faktor-faktor dalam diri si pengarti :

Sikap-sikap

Motif-motif

Minat-minat

Pengalaman

Harapan-harapan

Persepsi

Faktor-faktor dalam diri target :

Sesuatu yang baru

Gerakan


Suara

Ukuran

Latar belakang

Kedekatan

kemiripan
Sumber : Robbins dan Judge, 2008:176

Gambar 2.1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi

14

Dalam tabel di atas dapat dipahami bahwa banyak faktor yang
dapat membentuk dan terkadang mengubah persepsi. Faktor-faktor ini
bisa terletak dalam diri pembentuk persepsi, dalam diri objek atau
target atau dalam konteks situasi di mana persepsi tersebut dibuat.
Berdasarkan tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa terdapat tiga faktor
yang mempengaruhi persepsi, yaitu self factor, situation dan faktorfaktor dalam diri target. Hal tersebut yang akhirnya membuat persepsi
masing-masing individu terhadap objek menjadi berbeda satu dengan
yang lainnya, walaupun individu melihat objek yang sama.

Sikap
Menurut Sarwono dan Meinarno (2009), Sikap berasal dari
bahasa Latin aptus, yang berarti dalam keadaan sehat dan siap
melakukan aksi/tindakan. Secara harfiah, sikap dipandang sebagai
kesiapan raga yang dapat diamati. Menurut Allport (dalam Sarwono
dan Meinarno, 2009: 81) sikap merupakan kesiapan mental, yaitu suatu
proses yang berlangsung dalam diri seseorang bersama dengan
pengalaman individual masing-masing, mengarahkan dan menentukan
respon terhadap berbagai objek dan situasi.
Makna sikap, lebih dari sekedar menyimpulkan informasi dan
menafsirkan pesan. Menurut Liliweri (1997:140), sikap adalah sebuah
penilaian yang relatif bertahan. Penilaian itu bisa bersifat positif atau
negatif yang berkaitan dengan kepercayaan, perasaan atau emosi, dan
kecenderungan untuk bertindak terhadap objek.
Sikap merupakan konsep yang dibentuk oleh 3 komponen,
yaitu kognitif, afektif dan perilaku. Ketiga komponen tersebut dapat di
jelaskan sebagai berikut :


Komponen kognitif berisi tentang semua pemikiran serta ide-ide
yang berkenaan dengan objek sikap. Isi pemikiran seseorang
meliputi hal-hal yang diketahuinya mengenai objek sikap, yaitu
dapat berupa tanggapan atau keyakinan, kesan dan penilaian
terhadap objek sikap tadi.
15



Komponen afektif meliputi perasaan atau emosi seseorang
terhadap objek sikap. Adanya komponen afeksi dari sikap dapat
diketahui melalui perasaan suka atau tidak suka, senang atau tidak
senang atau objek sikap. Isi perasaan atau emosi pada penilaian
seseorang terhadap objek sikap inilah yang menjadi suatu
pendorong atau kekuatan untuk bertindak.



Komponen perilaku dapat diketahui melalui respon subjek yang
berkenaan dengan objek sikap. Respon tersebut dapat berupa
tindakan atau perbuatan yang dapat diamati, dan dapat berupa
intensi2 atau niat untuk melakukan perbuatan tertentu
sehubungan dengan objek sikap. Jika intensinya positif maka
respon yang diberikan pun akan positif. Sebagai contoh adanya
partisipasi dan dukungan yang diberikan dalam suatu kegiatan.
Sedangkan jika intensinya negatif maka respon yang di berikan
pun akan negatif karena adanya kecenderungan untuk menjauhi
atau tidak berpartisipasi dan memberikan dukungan terhadap
suatu kegiatan.

Menurut Farhati (1995), ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi sikap yang diberikan terhadap lingkungan, yaitu :


Faktor kepribadian
Respon yang dilakukan biasanya dipengaruhi oleh pengetahuan
individu terhadap objek, serta adanya intervensi pengetahuan
yang berasal dari pengalaman orang lain. Hal inilah yang akan
menentukan sikap seseorang terhadap lingkungannya.



Faktor demografis
Respon yang diberikan terhadap lingkungan akan bersifat positif
karena adanya pengetahuan yang dimiliki oleh individu, biasanya
hal ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan individu yang tinggi.
Sebaliknya respon yang diberikan akan bersifat negatif untuk
individu yang memiliki ciri sebaliknya.

2

Intensi adalah predis posisi atau kesiapan untuk bertindak terhadap objek sikap

16



Faktor sistem nilai
Perbedaan nilai yang dianut seseorang akan mempengaruhi
penilaian seseorang terhadap sesuatu. Nilai-nilai yang telah
ditanamkan oleh orang tua tentang bagaimana berinteraksi
dengan lingkungan, akan mempengaruhi pandangan dan tindakan
seseorang, terhadap lingkungan sekitarnya.

Resistensi
Definisi resistensi
Menurut Hujatnikajenong (dalam Adlin, 2006:176), resistensi
merupakan konsep yang sangat luas, walaupun demikian pada
dasarnya ingin menjelaskan terjadinya perlawanan yang dilakukan
subaltern atau mereka yang tertindas, karena ketidakadilan dan
sebagainya. Resistensi juga dapat dilihat sebagai materialisasi atau
perwujudan yang paling aktual dari hasrat untuk menolak dominasi
pengetahuan atau kekuasaan.
Menurut Barnard dan Jonathan (Suriadi, 2008), resistensi
merupakan suatu perlawanan ataupun penolakan untuk memprotes
perubahan-perubahan yang terjadi dan yang tidak sesuai.
Lebih jauh Piderit (2000), menambahkan bahwa resistensi
merupakan sebagai respon negatif ketika menghadapi perubahan yang
berasal dari tiga dimensi, yaitu komponen afektif, komponen kognitif
dan komponen perilaku. Komponen afektif melihat bagaimana
perasaan ketika terjadi perubahan, kemudian komponen kognitif
mengarah pada pikiran ketika terjadi perubahan, dan komponen
perilaku yang mencakup tindakan yang memberi respon pada
perubahan. Jadi dapat disimpulkan bahwa resistensi adalah
kecenderungan individu untuk menghindari atau menolak perubahan
yang terdiri dari beberapa komponen, yaitu: komponen kognitif,
afektif, dan perilaku yang direpresentasikan melalui serangkaian
respon negatif terhadap perubahan.

17

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resistensi
Menurut Suriadi (2008), resistensi dapat diakibatkan oleh tiga
faktor. Pertama, faktor sosio-psikologis yakni keadaan sosial yang
mempengaruhi psikologis, Kedua, faktor sistem budaya yang sudah
tidak sesuai lagi tatanan nilai dan norma. Ketiga, faktor struktural
yakni adanya kondisi struktural (sosial politik).
Smelser (dalam Sihbudi dan Nurhasim, 2001) menyatakan
bahwa gerakan sosial seperti perlawanan ataupun resistensi ditentukan
oleh lima faktor. Pertama, daya dukung (structural condusiveness)
yaitu suatu perlawanan akan mudah terjadi dalam suatu lingkungan
atau masyarakat tertentu yang berpotensi untuk melakukan suatu
gerakan massa secara spontan dan berkesinambungan (seperti
lingkungan kampus, buruh, petani, dan sebagainya). Kedua, adanya
tekanan-tekanan struktural (struktural strain) akan mempercepat
orang untuk melakukan gerakan massa secara spontan karena
keinginan mereka untuk melepaskan diri dari situasi yang
menyengsarakan. Ketiga, menyebarkan informasi yang dipercayai oleh
masyarakat luas untuk membangun perasaan kebersamaan dan juga
dapat menimbulkan kegelisahan kolektif akan situasi yang dapat
menguntungkan tersebut. Keempat, faktor yang dapat memancing
tindakan massa karena emosi yang tidak terkendali (triggering
incidence), seperti adanya rumor atau isu-isu yang bisa
membangkitkan kesadaran kolektif untuk melakukan perlawanan.
Kelima, upaya mobilisasi orang-orang untuk melakukan tindakan yang
telah direncanakan (mobilization for actions).

Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Menurut Hardjosoemantri (2000)3, Konsep pembangunan
berkelanjutan dipopulerkan melalui laporan WCED4 berjudul “Our
Common Future” (Hari depan kita bersama) yang diterbitkan pada
3 http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/pembangunan%20berkelanjutan%20%20abdurrahman.pdf. 4 juli 2014
4 World Commission on Environment and Development.

18

tahun 1987. Laporan ini mendefinisikan pembangunan berkelanjutan
sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini
tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhan mereka sendiri.
Dalam konsep pembangunan berkelanjutan mengenal tiga pilar
utama, yaitu: ekonomi, lingkungan dan sosial. Menurut Djajadiningrat
(2005), pembangunan yang berkelanjutan harus memperhatikan aspek
keberlanjutannya, yaitu: keberlanjutan ekologi, keberlanjutan di
bidang ekonomi, keberlanjutan sosial dan budaya, keberlanjutan
politik dan keberlanjutan pertahanan keamanan.
Untuk

mewujudkan

pembangunan

berkelanjutan

maka

berdasarkan Deklarasi Rio pada tahun 1992, PBB menawarkan 27

principle of rio declaration. Diantaranya yaitu : (principle 1), Human
beings and the environment. (principle 2) Prevention. (principle 3)
From a right to development to intergenerational equity. (principle 4)
Sustainable development through integration. (principle 5) Poverty
eradication. (principle 6) Special situation of developing countries.
(principle 7) Common but differentiated responbilities. (principle 8)
Sustainable patterns of production and comsumption and demographic
policies. (principle 9) Science and technology. (principle 10) Public
participation. (principle 11 ) Environmental legislation. (principle 12)
The environmental and trade. (principle 13) Liability and
compensation. (principle 14) Dangerous activities and substances.
(principle 15) Precaution. (principle 16) The polluter-pays principles.
(principle 17) Environmental impact assessment. (principle 18)
Notification and assistance in case of emergency. (principle 19)
Notification and consultation on activities with transboundary impact.
(principle 20) The role of woman. (principle 21) The role of youth.
(principle 22) Indigenous people and sustainable development.
(principle 23) The enviroment of oppresed peoples. (principle 24) The
enviroment in armed conflict. (principle 25) Peace, development and
19

environmental protection. (principle 26) International environmental
dispute settlement. (principle 27) Cooperation in a spirit of global
parthership.

20

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: SABANA SUMBA: Kelembagaan dan Pembangunan Ekonomi Desa T2 902010002 BAB II

0 3 29

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Christian Entrepreneurship T2 912010027 BAB II

0 1 59

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemberdayaan Masyarakat Alam Pembangunan Desa Tlogoweru D 902007005 BAB II

0 0 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persepsi, Sikap dan Partisipasi Masyarakat Desa Idamdehe, Halmahera Barat,Terhadap Rencana Pembangunan PLTP T2 092013020 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persepsi, Sikap dan Partisipasi Masyarakat Desa Idamdehe, Halmahera Barat,Terhadap Rencana Pembangunan PLTP T2 092013020 BAB IV

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persepsi, Sikap dan Partisipasi Masyarakat Desa Idamdehe, Halmahera Barat,Terhadap Rencana Pembangunan PLTP T2 092013020 BAB V

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persepsi, Sikap dan Partisipasi Masyarakat Desa Idamdehe, Halmahera Barat,Terhadap Rencana Pembangunan PLTP T2 092013020 BAB VI

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persepsi, Sikap dan Partisipasi Masyarakat Desa Idamdehe, Halmahera Barat,Terhadap Rencana Pembangunan PLTP

0 1 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persepsi, Sikap dan Partisipasi Masyarakat Desa Idamdehe, Halmahera Barat,Terhadap Rencana Pembangunan PLTP

0 0 27

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dari Ritual ke Pasar: Pergeseran Makna Saguer pada Masyarakat Halmahera Utara (Studi Kasus pada Masyarakat Desa Gossoma, Halmahera Utara) T1 BAB II

0 2 15