Pembatalan Hibah Dan Akibat Hukumnya Terhadap Sertipikat Hasil Peralihan Hak

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960,
telah terjadi perubahan fundamental pada hukum agraria di Indonesia terutama
hukum di bidang pertanahan karena telah terjadi pembaharuan di bidang hukum
agraria atau hukum tanah di Indonesia. UUPA telah menciptakan unifikasi di bidang
hukum tanah dan hak-hak perorangan atas tanah dan menyatakan tidak berlaku lagi
hukum tanah yang dualistik, yaitu :1
1. hukum tanah barat yang liberalistik, dan
2. hukum tanah adat tertulis ciptaan pemerintah Belanda dan pemerintah Swapraja.
Hukum tanah adat yang tidak tertulis masih tetap berlaku sebagai sumber
utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas tanah yang sudah dikuasai oleh orang dan
badan hukum baik yang berasal dari hukum tanah barat maupun hukum tanah adat
pun dikonversi atau diubah menjadi hak-hak perorangan atas tanah menurut hukum
tanah nasional.2
Dengan demikian UUPA bersumber utama pada hukum adat yang tidak
tertulis, sehingga hukum tanah nasional menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga-


1

Boedi Harsono (a), Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Cet. 10, (Jakarta:
Universitas Trisakti, 2007), hlm.30
2
Ibid.

1

Universitas Sumatera Utara

2

lembaga hukum, dan sistem hukum adat yang dirumuskan menjadi norma-norma
hukum tanah nasional yang tertulis dan disusun menurut sistem hukum adat.
Konsepsi hukum adat mengenai pertanahan yang diangkat menjadi konsepsi hukum
tanah nasional dirumuskan sebagai komunalistik-religius yang memungkinkan
penguasaan bagian-bagian tanah bersama karunia Tuhan Yang Maha Esa oleh para
warga negara secara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi,
sekaligus mengandung unsur kebersamaan.3

Berlakunya dualisme hukum tanah di Indonesia adalah sebagai akibat dari
politik penjajahan yang menimbulkan permasalahan antar golongan dalam
masyarakat yang tentunya hal ini tidak sejalan dengan cita-cita persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu hukum
pertanahan yang sederhana bersifat nasional, berlaku di seluruh wilayah Republik
Indonesia, dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia untuk
menggantikan hukum tanah yang bersifat dualisme.
Pembentukan UUPA tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan dualisme
hukum tanah di Indonesia dan meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum
agraria nasional yang berstruktur tunggal serta menciptakan reformasi di bidang
pertanahan. Salah satu dasar yang diletakkan UUPA sebagai hukum tanah nasional
adalah kesatuan dan kesederhanaan hukum. Sifat dualisme yang menjiwai hukum
agraria kolonial dengan memberlakukan perbedaan antara hak-hak tanah menurut
hukum adat dan hak-hak tanah menurut hukum barat harus diakhiri.
3

Ibid.

Universitas Sumatera Utara


3

Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan memerlukan
tersedianya perangkat hukum tertulis yang lengkap, jelas, dan dilaksanakan secara
konsisten, serta penyelenggaraan pendaftaran tanah yang efektif. Dengan tersedianya
perangkat hukum yang tertulis, siapapun yang berkepentingan akan dengan mudah
mengetahui kemungkinan apa yang tersedia baginya untuk menguasai dan
menggunakan tanah yang diperlukannya, bagaimana cara memperolehnya, hak-hak,
kewajiban, serta larangan-larangan apa yang ada dalam menguasai tanah dengan hakhak tertentu, sanksi apa yang dihadapinya jika diabaikan ketentuan-ketentuan yang
bersangkutan, serta hal-hal lain yang berhubungan dengan penguasaan dan
penggunaan tanah yang dipunyainya.4
Kegiatan pendaftaran tanah sejalan dengan semangat awal pembentukan
UUPA untuk menghilangkan segala perbedaan antara hukum tanah adat dan hukum
tanah barat dengan mengkonversi hak-hak tanah tersebut menjadi hak baru menurut
UUPA sejak berlakunya UUPA. UUPA sebagai peraturan dasar pokok-pokok agraria
telah menetapkan ketentuan-ketentuan konversi terhadap hak-hak barat maupun hakhak Indonesia atas tanah sebagaimana diatur dalam bagian kedua UUPA. Dengan
ditetapkannya ketentuan konversi, maka hak-hak dimaksud secara hukum menjadi
hak yang sesuai sejak berlakunya UUPA dan secara administratif, subjek hak

4


Boedi Harsono (b), Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Cet. 3, (Jakarta: Djambatan,
2005), hlm.69.

Universitas Sumatera Utara

4

diharuskan mendaftarkan haknya pada instansi pemerintahan melalui suatu kegiatan
yang disebut pendaftaran tanah.5
Penerbitan suatu sertipikat tanah di suatu negara berkaitan dengan sistem
pendaftaran tanah yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Jika dilihat dari
ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA ditegaskan bahwa “surat tanda bukti hak
atau sertipikat tanah yang diterbitkan tersebut berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat” dan sesuai dengan sistem negatif yang dianut dalam pendaftaran tanah di
Indonesia, maka berarti sertipikat tanah yang diterbitkan itu bukanlah alat bukti yang
mutlak yang tidak bisa diganggu gugat artinya sertipikat tanah itu bisa dicabut atau
dibatalkan.6
Sistem pendaftaran tanah yang digunakan dalam hukum tanah nasional adalah

sistem pendaftaran hak dengan sistem negatif yang mengandung unsur-unsur positif.
Makna dari sistem ini adalah bahwa pemerintah memberikan pengakuan atas
sertipikat hak atas tanah sebagai tanda bukti hak dan sebagai alat bukti kuat sepanjang
tidak dibuktikan sebaliknya.7 Hal ini juga dinyatakan dalam putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 459 K/Sip/1975 tanggal 18 September 1975 yang
memuat dasar pertimbangan bahwa mengingat stelsel negatif tentang register/
pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia, maka pendaftaran nama seseorang di

5

Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah : Suatu Analisis
dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosiologis, Cet. 1, (Jakarta: Republika, 2008),
hlm.24.
6
Bachtiar Effendi, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan
Pelaksanaannya, cet. 1, edisi kedua, (Bandung: Alumni, 1993), hlm.75.
7
Mhd. Yamin Lubis, dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi Revisi,
(Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju, 2010), hlm.174.


Universitas Sumatera Utara

5

dalam register bukanlah berarti absolut menjadi pemilik tanah tersebut apabila
ketidakabsahannya dapat dibuktikan oleh pihak lain.8 Dengan demikian, berdasarkan
sistem pendaftaran tanah tersebut, apabila ada pihak yang merasa dirugikan atas
diterbitkannya sertipikat atas suatu bidang tanah, maka pihak yang merasa dirugikan
tersebut dapat mengajukan gugatan pembatalan sertipikat tersebut.
Sebagai pemberian perlindungan hukum kepada para pemegang sertipikat hak
atas tanah tersebut, Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa:
“Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas
nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad
baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak yang merasa mempunyai hak
atas tanah ini tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam
waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan
keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor
Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan pada
Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut”.9
Timbulnya sengketa pertanahan bermula dari adanya gugatan dari salah satu

pihak yang berisi keberatan dan tuntutan terhadap hak atas tanah, baik mengenai
status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan tujuan untuk memperoleh
penyelesaian secara administratif sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
Tujuan akhir dari pengaduan tersebut adalah gugatan bahwa ia adalah pihak yang
lebih berhak dari yang lain atas tanah sengketa tersebut. Oleh karena itu penyelesaian
terhadap sengketa hukum tersebut tergantung dari sifat atau masalah yang diajukan.

8

A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cet. 1, (Bandung: CV. Mandar Maju,
1999), hlm.66.
9
Republik Indonesia (a), Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24, LN
No. 59 Tahun 1997, TLN No. 3696, Ps.32 ayat (2).

Universitas Sumatera Utara

6

Adapun sifat permasalahan dari suatu sengketa pertanahan secara umum ada

beberapa macam, antara lain:10
1. Masalah yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan sebagai pemegang
hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atau atas tanah yang belum ada
haknya;
2. Bantahan terhadap sesuatu alas hak atau bukti perolehan yang digunakan
sebagai dasar pemberian hak;
3. Kekeliruan atau kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan
peraturan yang kurang atau tidak benar;
4. Masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis (bersifat strategis).
Penyelesaian sengketa pertanahan dapat berakibat pada pembatalan hak atas
tanah. Berdasarkan Pasal 104 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan
Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan (PMNA/KBPN Nomor 9
Tahun 1999), pembatalan hak atas tanah tersebut meliputi :11
1. Pembatalan keputusan pemberian hak;
2. Pembatalan sertipikat hak atas tanah;
3. Pembatalan keputusan pemberian hak dalam rangka pengaturan penguasaan
tanah.

10

Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Cet. 1, (Bandung: Alumni,
1991), hlm.22-23.
11
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak
Pengelolaan, Pasal 104 ayat (1).

Universitas Sumatera Utara

7

Alasan penerbitan pembatalan hak atas tanah tersebut karena :12
1. Adanya cacat hukum administratif dalam penerbitan keputusan pemberian hak
dan/atau sertipikat hak atas tanahnya;
2. Melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Pembatalan hak atas tanah tersebut tentunya dilakukan setelah melalui tahap
pembuktian yang diajukan oleh para pihak di persidangan mengenai peralihan hak
atas tanah tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata bahwa pembuktian atas suatu hak dapat dibuktikan dengan alat bukti yang
terdiri atas:13

1.
2.
3.
4.
5.

Alat bukti tertulis;
Alat bukti saksi-saksi;
Alat bukti persangkaan;
Alat bukti pengakuan;
Alat bukti sumpah.
Peralihan hak atas tanah adalah suatu perbuatan hukum memindahkan suatu

hak atas tanah yang dimilikinya kepada orang lain. Menurut John Salindeho,
pengertian peralihan hak atas tanah dengan pemindahan hak atas tanah adalah sama.
Bahwa peralihan hak atas tanah atau pemindahan hak atas tanah adalah suatu
perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan atau mengalihkan hak atas tanah dari
yang mengalihkan kepada yang menerima pengalihan.14 Menurut Haryanto dalam
Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 20 ayat (2) ditentukan bahwa hak milik dapat
12


Republik Indonesia, Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak
Pengelolaan, Bab IV.
13
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh Subekti
dan Tjitrosudibio, Cet. 34, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), Pasal 1866.
14
John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, (Jakarta : Grafika, 1993), hlm.37.

Universitas Sumatera Utara

8

beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Yang dimaksud dalam pasal ini adalah hak
milik yang dapat dijual, ditukarkan dengan benda lain, dihibahkan dan diberikan
dengan wasiat. Pengertian dialihkan menunjukkan bahwa hak milik dapat berpindah
kepada pihak lain karena adanya perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan
tujuan agar pihak lain memperoleh hak tersebut.15
Menurut Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, peralihan hak atas tanah dengan cara pemindahan hak atas tanah
terjadi karena beberapa perbuatan hukum, yaitu :
1. Jual beli
Jual beli tanah diartikan sebagai suatu perbuatan yang merupakan penyerahan
hak milik dari penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya dan pembeli
berkewajiban memberikan uang harga yang telah disepakati kepada penjual.
Penyerahan hak yang dilakukan oleh penjual kepada pembeli tersebut
mengakibatkan terjadinya peralihan hak milik atas tanah dari penjual kepada
pembeli sebagai pemilik hak baru, supaya perbuatan jual beli tersebut
memperoleh bukti.
2. Pemberian dengan wasiat
Pemberian dengan wasiat ini dilakukan pada saaat pemiliknya masih hidup,
tetapi haknya baru beralih setelah ia meninggal dunia. Selama ia masih hidup,
maka apa yang diwariskan tersebut masih dapat diubah atau ditarik kembali.
3. Pemasukan Dalam Perusahaan
Dalam hal ini pihak yang memasukkan tanah ke dalam perusahaan akan
mendapat imbalan berupa saham dalam perusahaan yang bersangkutan.
4. Hibah
Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya,
dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan
sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan
itu. Hibah hanyalah dapat mengenai benda-benda yang sudah ada.16

15

Haryanto, Cara Mendapatkan Sertifikat Hak Atas Tanah, (Surabaya: Usaha Nasional,
1981), hlm.3.
16
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

9

Setiap peralihan hak atas tanah yang dilakukan oleh seseorang kecuali
pemindahan hak melalui lelang, harus didasarkan pada suatu akta yang berwenang
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor
24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah:
“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual
beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum
pemindahan hak lainnya kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat
didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang
berwenang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Dengan demikian, setiap perbuatan peralihan hak atas tanah tersebut harus
didaftarkan ke Kantor Pertanahan setempat di mana letak tanah berada dengan
terlebih dahulu dibuatkan akta PPAT. Hal ini perlu agar peralihan hak atas tanah
tersebut mempunyai kekuatan hukum yang kuat, sehingga bila terjadi sengketa
pertanahan di kemudian hari dan penerima peralihan hak atas tanah tersebut
mempunyai bukti otentik, berupa sertipikat hak atas tanah, maka akan mendapat
perlindungan secara hukum. Salah satu bentuk sengketa pertanahan mengenai
peralihan hak dapat muncul karena adanya gugatan pembatalan peralihan hak.
Mengenai pembatalan peralihan hak berupa hibah karena adanya tuntutan dari
ahli waris yang merasa hak legitieme portie mereka terlanggar, seharusnya para
legitimaris tersebut menuntut pemenuhan legitieme portie yang berhak mereka terima
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 913 dan Pasal 914 KUHPerdata, bukan
menuntut pembatalan peralihan hak atas tanahnya yang melampaui atau melanggar
legitieme portie. Berdasarkan Pasal 924 KUHPerdata, terhadap “peralihan hak atas
tanah yang melampaui atau melanggar legitieme portie yaitu menuntut pemenuhan

Universitas Sumatera Utara

10

bagian mutlak dengan melakukan pemotongan. Urutan pemotongan yaitu apabila
pengambilan bagian dari ahli waris non legitimaris dan wasiat tidak mencukupi,
maka pemenuhan bagian mutlak diambil dari hibah-hibah, dimulai dari hibah-hibah
yang terakhir.”
Suatu hibah pada dasarnya tidak dapat dibatalkan, tetapi hanya dapat ditarik
kembali atau dihapuskan bilamana memenuhi ketentuan Pasal 1688 KUHPerdata,
yaitu:
1. Syarat-syarat dengan mana penghibahan dilakukan tidak terpenuhi;
2. Penerima hibah bersalah melakukan atau membantu melakukan kejahatan
yang bertujuan mengambil jiwa pemberi hibah atau suatu kejahatan lain
terhadap pemberi hibah;
3. Penerima hibah menolak memberikan tunjangan nafkah kepada pemberi
hibah, setelah penghibah jatuh miskin.
Selanjutnya, dalam penelitian ini akan dibahas mengenai kasus dibatalkannya
peralihan hak atas tanah terhadap Sertipikat Hak Milik Nomor 254/Sei Sikambing B
oleh Badan Pertanahan Nasional sebagai pelaksanaan eksekusi putusan Pengadilan
Negeri Medan yang diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Medan dan Mahkamah Agung
Republik Indonesia. Perkara ini bermula dari Sertipikat Hak Milik No. 254/Sei
Sikambing B semula terdaftar atas nama Teuku Hasan, berdasarkan Pemisahan dari
Hak Milik Nomor 71 pemisahan diatas namanya sendiri, bahwa Teuku Hasan
mengalihkan tanah tersebut kepada Harminder Singh, berdasarkan Akta Jual Beli
Nomor 31/HM/1990 tanggal 12 Maret 1990 yang diperbuat oleh Chairani Bustami,
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Kota Medan, bahwa sertipikat Hak Milik No.
254/Sei Sikambing B terdaftar atas nama Haminder Singh tersebut kemudian beralih

Universitas Sumatera Utara

11

atas nama Rahul, berdasarkan Akta Hibah Nomor 180/2002 tanggal 19 Agustus 2002
yang dibuat oleh Reny Helena Hutagalung selaku PPAT Kota Medan.
Ketika Harminder Singh tersebut meninggal dunia, maka warisannya terbuka
dan setelah dilaksanakan hibah wasiat terhadap Sertipikat Hak Milik No. 254/Sei
Sikambing B, maka ahli waris Harminder Singh lainnya menggugat agar sertipikat
tersebut dikembalikan ke dalam boedel warisan, melalui gugatan ke Pengadilan.
Putusan Pengadilan Negeri Medan di Medan dengan Nomor 506/Pdt.G/2008/PNMdn tanggal 10 Juni 2009 yang salah satu amar putusannya antara lain menyatakan
bahwa Akta Hibah Nomor 180/2002 tanggal 19 Agustus 2002 yang diperbuat oleh
Reny Helena Hutagalung, PPAT di Kota Medan tidak sah dan batal demi hukum.
Putusan pengadilan Negeri Medan tersebut selanjutnya dikuatkan oleh Putusan
Pengadilan Tinggi Medan, dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Ahli waris Herminder Singh yaitu Rita Harjit Kaur, Balbir Singh dan Raj
Kumar Singh kemudian mengajukan permohonan untuk menerbitkan sertipikat
baru/pengganti sekaligus balik nama keatas nama semula (Harminder Singh) atas
bidang tanah Sertipikat Hak Hak Milik No.254/Sei Sikambing - B, seluas 2.391m²
tanggal 7-2-1983. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 55 Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 jo. Pasal 125 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3/1997 dan Pasal 73 sampai dengan Pasal 76 Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3/2011, yang pada pokoknya Kepala Badan
Pertanahan Nasional berwenang mengeluarkan keputusan pembatalan peralihan
karena melaksanakan amar putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan

Universitas Sumatera Utara

12

oleh Kepala Kantor Pertanahan diadakan pencatatan data Yuridis/Fisik pemeliharaan
data pendaftaran tanah sebagai lanjutan dari penyelesaian kasus pertanahan
berdasarkan putusan pengadilan setelah diterimanya salinan keputusan pembatalan
peralihan hak yang bersangkutan dari pejabat yang berwenang.
Sertipikat hak milik atas tanah yang diterbitkan dalam kenyataanya
mengandung kelemahan terhadap kepastian haknya karena masih dapat dipersoalkan
oleh masyarakat di lembaga peradilan baik itu mengenai proses penerbitannya
maupun proses peralihan haknya. Oleh karena itu, sertipikat hak milik atas tanah
memiliki kekuatan hukum pasti setelah memperoleh putusan hakim.17
Kepastian hukum dalam pendaftaran tanah mempunyai sasaran untuk
mencapai perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah. Karenanya setiap
permasalahan yang timbul pada saat sengketa yang bergulir di pengadilan harus
melalui proses pembuktian. Dalam hal ini para pihak yang bersengketa memerlukan
alat bukti dan sertipikat tanah sebagai hasil proses pendaftaran tanah, merupakan alat
bukti hak kepemilikan yang diperlukan oleh para pihak yang bersengketa.18 Melalui
tahap pembuktian di persidangan akan diperoleh kepastian hukum terhadap proses
peralihan hak atas tanah yang merupakan salah satu kegiatan pendaftaran tanah dan
yang pada akhirnya diharapkan akan memberikan perlindungan hukum bagi
pemegang sertipikat hak atas tanah.

17

Muchtar Wahid, Op. cit., hlm. 112
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, (Surabaya: Arkola,
2003), hlm. 43.
18

Universitas Sumatera Utara

13

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, perlu suatu penelitian lebih lanjut
mengenai akibat hukum pembatalan peralihan hak atas tanah terhadap sertipikat yang
akan dituangkan ke dalam judul tesis “Pembatalan Hibah Dan Akibat Hukumnya
Terhadap Sertipikat Hasil Peralihan Hak”.
B. Permasalahan
Adapun permasalahan yang akan diteliti lebih lanjut dalam tesis ini adalah:
1. Bagaimana hak ahli waris terhadap harta orang tua yang telah dihibahkan dan
telah dibalik-namakan atas nama penerima hibah?
2. Bagaimana akibat hukum pembatalan peralihan hak atas tanah terhadap sertipikat
hasil hibah?
3. Bagaimana perlindungan hukum bagi pemegang sertipikat hak atas tanah hasil
hibah yang dibatalkan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukan di atas maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui hak ahli waris terhadap harta orang tua yang telah dihibahkan
dan telah dibalik-namakan atas nama penerima hibah.
2. Untuk mengetahui akibat hukum pembatalan peralihan hak atas tanah terhadap
sertipikat hasil wasiat.
3. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi pemegang sertipikat hak atas tanah
hasil hibah yang dibatalkan.

Universitas Sumatera Utara

14

D. Manfaat Penelitian
Tujuan Penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang
hendak dicapai bersama, dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat menambah bahan pustaka/literatur
mengenai pembatalan hibah dan akibat hukumnya terhadap sertipikat hasil
peralihan hak, selain itu penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi dasar bagi
penelitian pada bidang yang sama.
2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah pembatalan hibah dan
akibat hukumnya terhadap sertipikat hasil peralihan hak.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada dan sepanjang penelusuran kepustakaan yang
ada dilingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister
Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, belum
ada penelitian sebelumnya yang berjudul “Pembatalan Hibah Dan Akibat Hukumnya
Terhadap Sertipikat Hasil Peralihan Hak”, akan tetapi ada beberapa penelitian yang
yang menyangkut peralihan hak atas tanah antara lain penelitian yang dilakukan oleh:
1. Saudari

Elyanju

Sihombing

(Nim.

002111009),

Magister

Kenotariatan

Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Pendaftaran Peralihan Hak

Universitas Sumatera Utara

15

Milik Atas Tanah Karena Pewarisan Menurut PP No. 24 Tahun 1997 (Penelitian
di Kota P. Siantar)”, dengan permasalahan yang diteliti adalah :
a. Bagaimana pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atas tanah karena
pewarisan menurut PP No. 24 Tahun 1997 di Kota P. Siantar?
b. Faktor-faktor apa yang menyebabkan pemegang hak milik atas tanah karena
pewarisan belum mendaftarkan peralihan haknya?
c. Apa upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala dalam pendaftaran
peralihan hak milik atas tanah karena pewarisan menurut PP No. 24 Tahun
1997?
2. Saudara Nirwan Harahap (Nim. 087011171), Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Problematika Jual Beli dan Pendaftaran
Tanah Hak Milik Yang Dimiliki Bersama Anak Di Bawah Umur (Studi Di
Pematang Siantar)”, dengan permasalahan yang diteliti adalah :
a. Bagaimana sikap Kantor Pertanahan Kota Pematang Siantar dalam
mendaftarkan jual beli tanah hak milik yang dimiliki bersama dengan anak di
bawah umur?
b. Apakah problematika jual beli dan pendaftaran tanah hak milik yang dimiliki
bersama dengan anak di bawah umur yang dilaksanakan di hadapan PPAT?
c. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh PPAT dan penghadap untuk mengatasi
kendala dalam melangsungkan jual beli dan pendaftaran tanah hak milik yang
dimiliki bersama dengan anak di bawah umur?

Universitas Sumatera Utara

16

Permasalahan-permasalahan yang dibahas dalam penelitian-penelitian tersebut
berbeda dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan
demikian penelitian ini adalah asli baik dari segi substansi maupun dari
permasalahan, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis,
teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu
terjadi.19 Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam
membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.
Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.20
Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya
mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis
yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut. Teori yang digunakan
sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum. Dalam
pengertian teori kepastian hukum yang oleh Roscue Pound dikatakan bahwa adanya
kepastian hukum memungkinkan adanya “Predictability”.21 Dengan demikian
kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yang pertama adanya aturan yang
19
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
1986), hlm.122.
20
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm.80.
21
Pieter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2009), hlm.158.

Universitas Sumatera Utara

17

bersifat umum membuat individu mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan, dan kedua berupa keamanan bagi individu dari kesewenangan pemerintah
karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa
saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.
Menurut Radbruch, hubungan antara keadilan dan kepastian hukum perlu
diperhatikan. Oleh karena kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dalam
Negara, maka hukum positif selalu harus ditaati, walaupun isinya kurang adil atau
juga kurang sesuai dengan tujuan hukum. Tetapi terdapat kekecualian yakni bilamana
pertentangan antara isi tata hukum dengan keadilan begitu besar, sehingga tata hukum
itu tampak tidak adil pada saat itu tata hukum boleh dilepaskan.22
Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan
akhirnya timbulnya keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan kepada kepastian
hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum, akibatnya kaku dan akan
menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi, peraturannya adalah demikian dan
harus ditaati atau dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa kejam apabila
dilaksanakan secara ketat ”Lex dura, set tamen scripta” (undang-undang itu kejam,
tetapi demikianlah bunyinya).23
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan peraturan dasar yang
mengatur penguasaan, pemilikan, peruntukan, penggunaan, dan pengendalian
pemanfaatan tanah yang bertujuan terselenggaranya pengelolaan dan pemanfaatan
22
23

Theo Huijbers, Filsafat Dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm.163.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1988),

hlm.58.

Universitas Sumatera Utara

18

tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Salah satu aspek yang dibutuhkan
untuk tujuan tersebut adalah mengenai kepastian hak atas tanah yang menjadi dasar
utama dalam rangka kepastian hukum kepemilikan tanah.
Untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah, dalam Pasal 19 UUPA telah
diatur ketentuan dasar pendaftaran tanah sebagai berikut :
(1) Untuk menjamin kepastian hukum, oleh Pemerintah diadakan pendaftaran
tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, menurut ketentuan yang diatur
dengan peraturan pemerintah.
(2) Pendaftaran tanah tersebut pada ayat (1) meliputi :
a. pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.24
Mengenai sistem pendaftaran tanah yang dianut oleh UUPA dikemukakan
oleh para ahli hukum yang mengemukakan pandangannya masing-masing. A.P.
Parlindungan menyatakan bahwa ”pendaftaran tanah yang dianut dalam UUPA
disamping menganut sistem positif juga sistem negatif.” Sedangkan menurut Maria
Sumardjono, sistem pendaftaran tanah yang dipakai di Indonesia adalah sistem positif
sekalipun secara tidak langsung. Sistem pendaftaran tanah yang dianut sekarang
adalah sistem buku tanah, dimana yang dibukukan adalah hak-haknya (registration of
title).
Demikian juga menurut Boedi Harsono, sesungguhnya pendaftaran tanah di
Indonesia menurut Pasal 19 ayat (1) UUPA bertujuan untuk menjamin kepastian
hukum, tetapi bukan maksudnya akan menggunakan apa yang disebut sistem positif.
24

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, Pasal 19.

Universitas Sumatera Utara

19

Ketentuan tersebut tidak memerintahkan dipergunakannya sistem positif, karena
sertipikat sebagai surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat dan bukan alat bukti yang mutlak. Hal ini ditegaskan dalam
penjelasan PP Nomor 24 Tahun 1997 bahwa pihak lain yang merasa memiliki tanah
dapat menuntut orang yang namanya tercantum dalam sertipikat dalam waktu lima
tahun sejak dikeluarkannya sertipikat itu. Jadi pendaftaran hak yang diatur dalam
peraturan pemerintah ini tidaklah mutlak, karena orang yang terdaftar dalam buku
tanah tidak mengakibatkan orang yang sebenarnya berhak atas tanah akan kehilangan
haknya. Orang tersebut masih dapat menggugat orang yang berhak. Bahwa sistem
yang dipergunakan dalam UUPA bukanlah sistem negatif yang murni melainkan
sistem negatif yang bertendensi positif. Pengertian negatif disini adalah bahwa
keterangan-keterangan yang ada itu jika ternyata tidak benar masih dapat diubah dan
dibetulkan.
Pendapat serupa dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman bahwa
“stelsel pendaftaran menurut PP Nomor 10 Tahun 1961 lebih tepat dinamakan stelsel
campuran antara stelsel negatif dan stelsel positif.” Pendaftaran tanah memberikan
perlindungan kepada pemilik yang berhak (stelsel negatif) dan menyempurnakannya
dengan mempergunakan unsur stelsel positif. UUPA telah mengambil ciri-ciri dari
pada kedua stelsel tersebut. Stelsel negatif ternyata dari perlindungan yang diberikan
UUPA kepada pemilik yang sebenarnya dan stelsel positif tampak dari campur tangan
pemerintah untuk meneliti kebenaran peralihan itu. Pengambilan unsur-unsur sistem
positif di lembaga pendaftaran tanah lebih menjamin usaha-usaha untuk mendapatkan

Universitas Sumatera Utara

20

kepastian hukum. Para pejabat berhak menjajaki proses terjadinya peralihan dan
berhak menolak pembuatan akta peralihan hak ataupun menolak melakukan
pendaftaran tanah jika dilihat adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi. Penggunaan
ciri-ciri stelsel positif dapat menutupi kelemahan-kelemahan stelsel negatif. Bagi
masyarakat yang masih perlu mendapat bimbingan hal ini merupakan bantuan yang
besar untuk mencegah terjadinya hal-hal yang dapat menimbulkan kerugian pada
pemilik yang sebenarnya dan para pembeli. Menurutnya sistem pendaftaran tanah di
Indonesia juga disebut Quasi Positif (positif yang semu).
2. Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi
dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak dan
kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.25
Menurut Burhan Ashshofa, suatu konsep merupakan abstraksi mengenai suatu
fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian,
keadaan, kelompok atau individu tertentu.26
Adapun uraian dari pada konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah:
a. Pembatalan peralihan hak adalah pembatalan perbuatan hukum pemindahan hak
berupa hibah wasiat.

25
26

Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1998), hlm.31.
Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hlm.19.

Universitas Sumatera Utara

21

b. Sertipikat hasil hibah yaitu sertipikat hasil pendaftaran peralihan hak yang
dilakukan melalui hibah wasiat.
c. Legitimaris adalah adalah Ahli waris ab intestato yang dijamin oleh undangundang bahwa ia akan menerima suatu bagian minimum dalam harta peninggalan
yang bersangkutan. Baik dengan jalan penghibahan ataupun secara pemberian
sesudah meninggal (making bij dode) pewaris tidak boleh mencabut hak legitimaris
ini.27
d. Hak Atas Tanah adalah hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan UUPA
Pasal 16.28
e. Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya,
dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu
benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.29
G. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian dan Metode Pendekatan
Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, bersifat deskriptif
analisis maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci
dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan

27

Komar Andasasmita, Notaris III Hukum Harta Perkawinan Dan Waris Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Teori & Praktek), (Bandung: Ikatan Notaris Indonesia Komisariat
Daerah Jawa Barat, 1987), hlm.143.
28
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, Pasal 1 angka 5.
29
Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1666 ayat (1).

Universitas Sumatera Utara

22

berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat
untuk menjawab permasalahan.30
Penelitian ini termasuk ruang lingkup penelitian yang menggambarkan,
menelaah dan menjelaskan serta menganalisa teori hukum yang bersifat umum dan
peraturan perundang-undangan mengenai pembatalan peralihan hak terhadap
sertipikat hasil hibah wasiat, sehingga dapat diperoleh penjelasan apakah putusan
pengadilan sudah tepat dan sesuai dengan sistem pendaftaran tanah di Indonesia,
apakah prosedur pembatalan sertipikat oleh Badan Pertanahan Nasional telah sesuai
dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan bagaimana
kepastian hukum terhadap sertipikat hak atas tanah hasil hibah wasiat yang, dan
sebagai hasilnya dapat menjelaskan mengenai akibat hukum pembatalan peralihan
hak atas tanah terhadap sertipikat hasil hibah wasiat kepada legitimaris.
Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, yang
disebabkan karena penelitian ini merupakan penelitian hukum doktriner yang disebut
juga penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya
pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.31 Meliputi
penelitian terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, peraturan perundangundangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisis permasalahan yang

30

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung:
Alumni, 1994), hlm.101.
31
Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, (Semarang: PT. Ghalia Indonesia, 1996),
hlm.13.

Universitas Sumatera Utara

23

dibahas,32 serta menjawab pertanyaan sesuai permasalahan-permasalahan dalam
penulisan tesis ini, yaitu masalah pembatalan hibah dan akibat hukumnya terhadap
sertipikat hasil peralihan hak.
2. Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
dengan menggunakan bahan hukum :
a. Bahan hukum primer.
Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan
utama yang dipakai dalam rangka penelitian33 ini di antaranya adalah UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria beserta
peraturan pelaksanaannya, dan peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan
pembatalan hibah dan akibat hukumnya terhadap sertipikat hasil peralihan hak.
b. Bahan hukum sekunder.
Yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan
dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer,34 seperti hasilhasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari para ahli hukum, serta dokumendokumen lain yang berkaitan dengan masalah pembatalan hibah dan akibat
hukumnya terhadap sertipikat hasil peralihan hak.

32
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm.13.
33
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Juritmetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990), hlm.53.
34
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

24

c. Bahan hukum tertier.
Yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder35 seperti kamus hukum, surat kabar, makalah yang
berkaitan dengan objek penelitian.
3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
a. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan, pengumpulan data dilakukan
melalui studi kepustakaan (Library Research), studi kepustakaan ini dilakukan untuk
mendapatkan atau mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil
pemikiran lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini.
b. Alat Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka
pengumpulan data dilakukan melalui :
1) Studi Dokumen.
Studi Kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan atau mencari konsepsikonsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil pemikiran lainnya yang berkaitan
dengan permasalahan penelitian ini.
2) Pedoman Wawancara.
Hasil wawancara yang diperoleh akan digunakan sebagai data pendukung
dalam penelitian ini. Data tersebut diperoleh dari pihak-pihak yang telah ditentukan
sebagai narasumber yang dianggap mengetahui permasalahan yang berkaitan dengan
35

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

25

pembatalan hibah dan akibat hukumnya terhadap sertipikat hasil peralihan hak, yaitu
pihak Kantor Pertanahan Kota Medan atau yang mewakilinya guna memperoleh datadata yang berkaitan dengan penelitian ini.
Alat yang digunakan dalam wawancara yaitu menggunakan pedoman
wawancara sehingga data yang diperoleh langsung dari sumbernya serta lebih
mendalam sehingga dapat dijadikan bahan guna menjawab permasalahan dalam tesis
ini.
4. Analisis Data
Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna
untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam
penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan
metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang
bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun
penuh dengan variasi (keragaman).36
Selanjutnya, data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan
(library research) dan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan (field
research) kemudian disusun secara berurutan dan sistematis dan selanjutnya
dianalisis sehingga diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta
yang terdapat dalam masalah pembatalan hibah dan akibat hukumnya terhadap
sertipikat hasil peralihan hak. Selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan

36

Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis
Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.53.

Universitas Sumatera Utara

26

metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum
untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus, dengan menggunakan ketentuan
berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip
dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta
yang bersifat khusus,37 guna menjawab permasalahan-permasalahan yang telah
dirumuskan dalam penelitian ini.

37

Mukti Fajar, dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.109.

Universitas Sumatera Utara