Pebedaan Validitas Composite Autonomic Symptoms Scale (COMPASS) Dan Survey Autonomic symptoms(SAS) terhadap Penilaian Disfungsi Otonom Pada Neuropati Diabetika.
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Diabetes
melitus
(DM)
merupakan
kelompok
penyakit
yang
dikarakteristik dengan produksi insulin yang menurun atau kegagalan
respons insulin yang adekuat,
sehingga menimbulkan hiperglikemia.
Diabetes merupakan penyakit kronik yang paling sering di dunia, dialami
sekitar 180 juta penduduk pada tahun 2008, dan diperkirakan mencapai 360
juta penduduk pada tahun 2030. Diperkirakan 5 -10 % merupakan tipe 1
(yang tergantung insulin) dan 90 % - 95 % merupakan tipe 2 (tidak
tergantung insulin). (McGuire KD, 2012)
Diabetes melitus (DM) dikaitkan dengan banyak sindrom neuropatik
yang berbeda, mulai dari gangguan sensorik yang ringan, seperti terdapat
pada diabetic sensorimotor polyneuropathy dan yang berat seperti pada
diabetic lumbosacral radiculoplexus neuropathy, di mana terjadi gangguan
sensorik yang disertai kelemahan motorik.
banyak,
diantaranya metabolik
Etiologi sindrom ini sangat
dan gangguan imunologi,
namun
mekanisme pasti belum diketahui (Tracy, 2008)
Hiperglikemia akan menghasilkan produk sebagai hasil reaksi non
enzymatik yang akhirnya terkumpul sebagai advance glikosiation end
product (AGEs) dan inilah yang mempunyai efek tidak baik pada pembuluh
darah dan axon saraf.(Goldin A, 2006)
Dengan meningkatnya populasi penderita diabetes melitus (DM),
perbaikan dalam pengobatan,
dan selanjutnya meningkatkan pula
Universitas Sumatera Utara
kelangsungan hidup, sehingga timbul komplikasi dari penyakit dasar, seperti
neuropati diabetika dan gangguan pada sistem otonom. Diperkirakan 15.0 %
pasien dengan DM mempunyai tanda dan gejala neuropati, di mana hampir
50 % juga memiliki gambaran gangguan hantaran saraf. Neuropati paling
sering dijumpai pada penderita DM yang berusia lebih dari 50 tahun, jarang
dijumpai pada usia di bawah 30 tahun, dan sangat jarang pada anak – anak.
(Adams dan Victor, 2005)
Hubungan antara DM dan neuropati telah dikenal sejak 100 tahun
yang lalu,
dan pertamakali diperkenalkan oleh Leyden 1983. Neuropati
diabetika merupakan salah satu komplikasi kronis dari DM. Neuropati juga
dapat menurunkan kualitas hidup penderita DM. Prevalensi neuropati
diabetika meningkat sejalan dengan meningkatnya penderita DM, yaitu 7.5
% - 50.0 % dalam 25 tahun terakhir. (Bansal, 2006)
Tingginya
neuropati
diabetika
(ND),
progresifitas
serta
berkembangnya ND termasuk painful diabetic neuropathy (PDN) berkorelasi
dengan hiperglikemia. Diabetes Control and Complication Trial (DCCT)
menyatakan bahwa pengendalian glukosa
darah yang ketat akan
menurunkan angka ND sebesar 60 %.(Catherine, 2006)
Prevalensi
neuropati
diabetika
meningkat
sesuai
dengan
meningkatnya usia, durasi dari diabetes, dan menurunnya toleransi dari
glukosa. Namun angka kejadian neuropati sama antara Insulin Dependent
Diabetis Melitus (IDDM)
dan Non - Insulin Dependent Diabetes Melitus
(NIDDM). (Greene. D.A, 2000)
Universitas Sumatera Utara
Polineuropati diabetika merupakan neuropati diabetika yang terbanyak
dijumpai. Pada pasien dengan DM tipe 2, 59 % menunjukkan berbagai
neuropati diabetika dan 45 % diantaranya adalah polineuropati diabetika.
(Salomon, 2010; Ziegler, 2008)
Nyeri neuropati diabetika merupakan nyeri neuropati yang ditemukan
pada 11.6
%
pasien neuropati
Diabetes Melitus (IDDM),
diabetika
dan 32.1 %
dengan
Insulin Dependent
pada Non - Insulin
Dependent
Diabetes Melitus (NIDDM), dengan gejala yang ditimbulkan berupa nyeri
hebat dan akut seperti terbakar, pedih, seperti kesetrum dan alodinia dan
memburuk pada malam hari. (Salomon, 2004)
Beratnya neuropati bisa diukur dengan evaluasi objektif menggunakan
skor klinik dan data neurofisiologis. Beberapa skor klinik telah divalidasi dan
telah digunakan untuk menilai adanya neuropati. (Lefaucheur, 2004)
Diantara beberapa skor yang dapat digunakan yaitu Diabetic
Neuropathy Examinaton (DNE), Diabetic Neuropathy Symptom (DNS) cukup
memiliki akurasi yang cukup baik dalam penilaian neuropati diabetika. (Jan –
Williem, 2000)
Disfungsi otonom merupakan salah satu gejala penyakit neuropati
diabetika (ND) yang sering ditemukan dan berpengaruh terhadap morbiditas
dan mortalitas penderita penyakit neuropati diabetika. (Jan – Willem, 2003)
Adanya gangguan seperti abnormalities of sweating, Charcot joints,
foot ulcers dan bladder dysfunction, sering dikeluhkan oleh penderita
neuropati diabetika. (Al – moallem, 2008)
Universitas Sumatera Utara
Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa disfungsi otonom
sering terjadi pada penderita DM baik tipe 1 dan tipe 2. Prevalensi disfungsi
otonom pada DM tipe 1 mencapai 66 % dan 59 % pada DM tipe 2. Pada DM
tipe 1 lebih sering terjadi disfungsi sekremotor, dan disfungsi ereksi.
Sementara pada DM tipe 2, gangguan lebih banyak lagi yang terjadi seperti
diare,
konstipasi,
gangguan
vasomotor,
gangguan
gastrointestinal,
gangguan tidur dan lain sebagainya. (Low A, 2004)
Penilaian disfungsi otonom dapat dilakukan dengan bebarapa cara,
ada yang berupa sistem skor dan ada juga dengan menggunakan alat dan
test. Ada beberapa skor yang dapat digunakan dalam menilai disfungsi
otonom seperti Composite Autonomic Symptoms Scale (COMPASS) dan
Survey autonomic symptoms (SAS). Sedangkan yang menggunakan test
adalah seperti valsava manuever,
tilt table test, dan lain – lain.
Elektrofisiologi juga digunakan dalam penilaian disfungsi otonom yaitu
sympatehtic skin respons (SSR) dan Quantitative Sudomotor Axon Reflex
Test (QSART). (Zilliox, 2011)
Pada penelitian yang dilakukan oleh Zilliox dan kawan – kawan pada
tahun 2011,
dari 62 penderita neuropati diabetika yang dinilai dengan
menggunakan Survey of Autonomic Symptoms (SAS), ditemukan bahwa
nilai SAS meningkat pada penderita neuropati (p < 0.0001). (Zilliox, 2011)
Pada literatur lain juga dikatakan bahwa epidemiologi dari cardiac
autonomic neuropathy ( CAN ) menunjukkan peningkatan dari 16 – 26 %
menjadi hampir 90 % pada DM tipe 1 dan 2. (Vinik, 2001)
Universitas Sumatera Utara
Dalam satu penelitian dinyatakan disfungsi otonom sering terjadi pada
usia antara 35 - 60 tahun, dan dapat terjadi 2 - 16 tahun sejak diagnosa
diabetes ditegakkan.
Selain itu dalam penelitian ini juga disebutkan ada
hubungan yang cukup jelas antara kadar HbA1c dan perubahan pada tes
yang dilakukan untuk disfungsi otonom. Namun tidak ada perbedaan antara
pria dan wanita. (Taha SA, 2004)
Diagnosis disfungsi otonom pada penderita neuropati diabetika, dapat
ditegakkan bila terdapat gejala otonom yang dapat di ketahui dengan
menanyakan kepada penderita beberapa gejala dengan menggunakan
kuesioner seperti Composite Autonomic Symptom Score (COMPASS) dan
Survey of Autonomic
Symptoms
(SAS)
dan
dibantu
dengan
pemeriksaan penunjang. (Zilliox, 2011)
I.2. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana perbedaan
validitas Composite Autonomic Symptoms
Scale (COMPASS) dan Survey Autonomic Symptoms (SAS) dalam
penilaian disfungsi otonom pada neuropati diabetika ?
I.3. TUJUAN PENELITIAN
I.3.1. TUJUAN UMUM
Untuk mengetahui perbedaan validitas Composite Autonomic
Symptoms Scale (COMPASS) dan Survey Autonomic Symptoms
(SAS) dalam penilaian disfungsi otonom pada neuropati diabetika.
Universitas Sumatera Utara
I.3.2. TUJUAN KHUSUS
I.3.2.1.Untuk
mengetahui
perbedaan
validitas
Autonomic Symptom Scale (COMPASS)
Composite
dan Survey
Autonomic Symptoms (SAS) dalam penilaian penilaian
disfungsi otonom pada neuropati diabetika.
I.3.2.2. Untuk mengetahui sensitifitas dan spesifisitas SAS terhadap
COMPASS dalam penilaian disfungsi otonom.
I.3.2.3.Untuk mendapatkan cut off SAS berdasarkan cut off
COMPASS.
I.3.2.4. Untuk mengetahui hubungan DNS terhadap COMPASS dan
SAS.
I.3.2.5. Untuk mengetahui lama DM dengan DNS, COMPASS dan
SAS.
I.3.2.6.Untuk mengetahui gambaran disfungsi otonom berdasarkan
COMPASS.
I.3.2.7.Untuk
mengetahui
gambaran
disfungsi
otonom
berdasarkan SAS.
I.3.2.8.Untuk
mengetahui
gambaran
neuropati
diabetika
berdasarkan DNS.
I.3.2.9.Untuk
mengetahui
gambaran
karakteristik
demografi
penderita neuropati diabetika.
Universitas Sumatera Utara
I.4. HIPOTESA
Ada perbedaan validitas survey autonomic symptom (SAS) dan
Composite Autonomic Symptom Scole (COMPASS) dalam
penilaian disfungsi otonom pada neuropati diabetika.
I.5. MANFAAT PENELITIAN
I.5.1. Untuk Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini diharapkan menjadi dasar untuk penelitian
selanjutnya dalam pengembangan untuk membuat skala yang
lebih baik lagi dalam mendiagnosa disfungsi otonom pada
penyakit sistemik lainnya.
I.5.2. Untuk Ilmu Kedokteran
Dengan mengetahui tools yang tepat dan terbaik antara
COMPASS dan SAS , dapat digunakan sebagai alat untuk
menegakkan diagnosa disfungsi otonom pada neuropati
diabetika dan penyakit lainnya,
dan dapat memberikan
penatalaksanaan yang terbaik.
I.5.3. Untuk Masyarakat
Dengan mengetahui suatu kuesioner yang terbaik, tetapi tidak
menyulitkan bagi penderita untuk memahami pertanyaan, akan
sangat membantu mengetahui gejala dini yang ada, sehingga
diharapkan akan menghindari outcome yang jelek.
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Diabetes
melitus
(DM)
merupakan
kelompok
penyakit
yang
dikarakteristik dengan produksi insulin yang menurun atau kegagalan
respons insulin yang adekuat,
sehingga menimbulkan hiperglikemia.
Diabetes merupakan penyakit kronik yang paling sering di dunia, dialami
sekitar 180 juta penduduk pada tahun 2008, dan diperkirakan mencapai 360
juta penduduk pada tahun 2030. Diperkirakan 5 -10 % merupakan tipe 1
(yang tergantung insulin) dan 90 % - 95 % merupakan tipe 2 (tidak
tergantung insulin). (McGuire KD, 2012)
Diabetes melitus (DM) dikaitkan dengan banyak sindrom neuropatik
yang berbeda, mulai dari gangguan sensorik yang ringan, seperti terdapat
pada diabetic sensorimotor polyneuropathy dan yang berat seperti pada
diabetic lumbosacral radiculoplexus neuropathy, di mana terjadi gangguan
sensorik yang disertai kelemahan motorik.
banyak,
diantaranya metabolik
Etiologi sindrom ini sangat
dan gangguan imunologi,
namun
mekanisme pasti belum diketahui (Tracy, 2008)
Hiperglikemia akan menghasilkan produk sebagai hasil reaksi non
enzymatik yang akhirnya terkumpul sebagai advance glikosiation end
product (AGEs) dan inilah yang mempunyai efek tidak baik pada pembuluh
darah dan axon saraf.(Goldin A, 2006)
Dengan meningkatnya populasi penderita diabetes melitus (DM),
perbaikan dalam pengobatan,
dan selanjutnya meningkatkan pula
Universitas Sumatera Utara
kelangsungan hidup, sehingga timbul komplikasi dari penyakit dasar, seperti
neuropati diabetika dan gangguan pada sistem otonom. Diperkirakan 15.0 %
pasien dengan DM mempunyai tanda dan gejala neuropati, di mana hampir
50 % juga memiliki gambaran gangguan hantaran saraf. Neuropati paling
sering dijumpai pada penderita DM yang berusia lebih dari 50 tahun, jarang
dijumpai pada usia di bawah 30 tahun, dan sangat jarang pada anak – anak.
(Adams dan Victor, 2005)
Hubungan antara DM dan neuropati telah dikenal sejak 100 tahun
yang lalu,
dan pertamakali diperkenalkan oleh Leyden 1983. Neuropati
diabetika merupakan salah satu komplikasi kronis dari DM. Neuropati juga
dapat menurunkan kualitas hidup penderita DM. Prevalensi neuropati
diabetika meningkat sejalan dengan meningkatnya penderita DM, yaitu 7.5
% - 50.0 % dalam 25 tahun terakhir. (Bansal, 2006)
Tingginya
neuropati
diabetika
(ND),
progresifitas
serta
berkembangnya ND termasuk painful diabetic neuropathy (PDN) berkorelasi
dengan hiperglikemia. Diabetes Control and Complication Trial (DCCT)
menyatakan bahwa pengendalian glukosa
darah yang ketat akan
menurunkan angka ND sebesar 60 %.(Catherine, 2006)
Prevalensi
neuropati
diabetika
meningkat
sesuai
dengan
meningkatnya usia, durasi dari diabetes, dan menurunnya toleransi dari
glukosa. Namun angka kejadian neuropati sama antara Insulin Dependent
Diabetis Melitus (IDDM)
dan Non - Insulin Dependent Diabetes Melitus
(NIDDM). (Greene. D.A, 2000)
Universitas Sumatera Utara
Polineuropati diabetika merupakan neuropati diabetika yang terbanyak
dijumpai. Pada pasien dengan DM tipe 2, 59 % menunjukkan berbagai
neuropati diabetika dan 45 % diantaranya adalah polineuropati diabetika.
(Salomon, 2010; Ziegler, 2008)
Nyeri neuropati diabetika merupakan nyeri neuropati yang ditemukan
pada 11.6
%
pasien neuropati
Diabetes Melitus (IDDM),
diabetika
dan 32.1 %
dengan
Insulin Dependent
pada Non - Insulin
Dependent
Diabetes Melitus (NIDDM), dengan gejala yang ditimbulkan berupa nyeri
hebat dan akut seperti terbakar, pedih, seperti kesetrum dan alodinia dan
memburuk pada malam hari. (Salomon, 2004)
Beratnya neuropati bisa diukur dengan evaluasi objektif menggunakan
skor klinik dan data neurofisiologis. Beberapa skor klinik telah divalidasi dan
telah digunakan untuk menilai adanya neuropati. (Lefaucheur, 2004)
Diantara beberapa skor yang dapat digunakan yaitu Diabetic
Neuropathy Examinaton (DNE), Diabetic Neuropathy Symptom (DNS) cukup
memiliki akurasi yang cukup baik dalam penilaian neuropati diabetika. (Jan –
Williem, 2000)
Disfungsi otonom merupakan salah satu gejala penyakit neuropati
diabetika (ND) yang sering ditemukan dan berpengaruh terhadap morbiditas
dan mortalitas penderita penyakit neuropati diabetika. (Jan – Willem, 2003)
Adanya gangguan seperti abnormalities of sweating, Charcot joints,
foot ulcers dan bladder dysfunction, sering dikeluhkan oleh penderita
neuropati diabetika. (Al – moallem, 2008)
Universitas Sumatera Utara
Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa disfungsi otonom
sering terjadi pada penderita DM baik tipe 1 dan tipe 2. Prevalensi disfungsi
otonom pada DM tipe 1 mencapai 66 % dan 59 % pada DM tipe 2. Pada DM
tipe 1 lebih sering terjadi disfungsi sekremotor, dan disfungsi ereksi.
Sementara pada DM tipe 2, gangguan lebih banyak lagi yang terjadi seperti
diare,
konstipasi,
gangguan
vasomotor,
gangguan
gastrointestinal,
gangguan tidur dan lain sebagainya. (Low A, 2004)
Penilaian disfungsi otonom dapat dilakukan dengan bebarapa cara,
ada yang berupa sistem skor dan ada juga dengan menggunakan alat dan
test. Ada beberapa skor yang dapat digunakan dalam menilai disfungsi
otonom seperti Composite Autonomic Symptoms Scale (COMPASS) dan
Survey autonomic symptoms (SAS). Sedangkan yang menggunakan test
adalah seperti valsava manuever,
tilt table test, dan lain – lain.
Elektrofisiologi juga digunakan dalam penilaian disfungsi otonom yaitu
sympatehtic skin respons (SSR) dan Quantitative Sudomotor Axon Reflex
Test (QSART). (Zilliox, 2011)
Pada penelitian yang dilakukan oleh Zilliox dan kawan – kawan pada
tahun 2011,
dari 62 penderita neuropati diabetika yang dinilai dengan
menggunakan Survey of Autonomic Symptoms (SAS), ditemukan bahwa
nilai SAS meningkat pada penderita neuropati (p < 0.0001). (Zilliox, 2011)
Pada literatur lain juga dikatakan bahwa epidemiologi dari cardiac
autonomic neuropathy ( CAN ) menunjukkan peningkatan dari 16 – 26 %
menjadi hampir 90 % pada DM tipe 1 dan 2. (Vinik, 2001)
Universitas Sumatera Utara
Dalam satu penelitian dinyatakan disfungsi otonom sering terjadi pada
usia antara 35 - 60 tahun, dan dapat terjadi 2 - 16 tahun sejak diagnosa
diabetes ditegakkan.
Selain itu dalam penelitian ini juga disebutkan ada
hubungan yang cukup jelas antara kadar HbA1c dan perubahan pada tes
yang dilakukan untuk disfungsi otonom. Namun tidak ada perbedaan antara
pria dan wanita. (Taha SA, 2004)
Diagnosis disfungsi otonom pada penderita neuropati diabetika, dapat
ditegakkan bila terdapat gejala otonom yang dapat di ketahui dengan
menanyakan kepada penderita beberapa gejala dengan menggunakan
kuesioner seperti Composite Autonomic Symptom Score (COMPASS) dan
Survey of Autonomic
Symptoms
(SAS)
dan
dibantu
dengan
pemeriksaan penunjang. (Zilliox, 2011)
I.2. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana perbedaan
validitas Composite Autonomic Symptoms
Scale (COMPASS) dan Survey Autonomic Symptoms (SAS) dalam
penilaian disfungsi otonom pada neuropati diabetika ?
I.3. TUJUAN PENELITIAN
I.3.1. TUJUAN UMUM
Untuk mengetahui perbedaan validitas Composite Autonomic
Symptoms Scale (COMPASS) dan Survey Autonomic Symptoms
(SAS) dalam penilaian disfungsi otonom pada neuropati diabetika.
Universitas Sumatera Utara
I.3.2. TUJUAN KHUSUS
I.3.2.1.Untuk
mengetahui
perbedaan
validitas
Autonomic Symptom Scale (COMPASS)
Composite
dan Survey
Autonomic Symptoms (SAS) dalam penilaian penilaian
disfungsi otonom pada neuropati diabetika.
I.3.2.2. Untuk mengetahui sensitifitas dan spesifisitas SAS terhadap
COMPASS dalam penilaian disfungsi otonom.
I.3.2.3.Untuk mendapatkan cut off SAS berdasarkan cut off
COMPASS.
I.3.2.4. Untuk mengetahui hubungan DNS terhadap COMPASS dan
SAS.
I.3.2.5. Untuk mengetahui lama DM dengan DNS, COMPASS dan
SAS.
I.3.2.6.Untuk mengetahui gambaran disfungsi otonom berdasarkan
COMPASS.
I.3.2.7.Untuk
mengetahui
gambaran
disfungsi
otonom
berdasarkan SAS.
I.3.2.8.Untuk
mengetahui
gambaran
neuropati
diabetika
berdasarkan DNS.
I.3.2.9.Untuk
mengetahui
gambaran
karakteristik
demografi
penderita neuropati diabetika.
Universitas Sumatera Utara
I.4. HIPOTESA
Ada perbedaan validitas survey autonomic symptom (SAS) dan
Composite Autonomic Symptom Scole (COMPASS) dalam
penilaian disfungsi otonom pada neuropati diabetika.
I.5. MANFAAT PENELITIAN
I.5.1. Untuk Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini diharapkan menjadi dasar untuk penelitian
selanjutnya dalam pengembangan untuk membuat skala yang
lebih baik lagi dalam mendiagnosa disfungsi otonom pada
penyakit sistemik lainnya.
I.5.2. Untuk Ilmu Kedokteran
Dengan mengetahui tools yang tepat dan terbaik antara
COMPASS dan SAS , dapat digunakan sebagai alat untuk
menegakkan diagnosa disfungsi otonom pada neuropati
diabetika dan penyakit lainnya,
dan dapat memberikan
penatalaksanaan yang terbaik.
I.5.3. Untuk Masyarakat
Dengan mengetahui suatu kuesioner yang terbaik, tetapi tidak
menyulitkan bagi penderita untuk memahami pertanyaan, akan
sangat membantu mengetahui gejala dini yang ada, sehingga
diharapkan akan menghindari outcome yang jelek.
Universitas Sumatera Utara