BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Demam Berdarah Dengue (DBD) 1. Definisi - FAKTOR PENYEBAB PRESCRIBING ERROR KASUS DEMAM BERDARAH DENGUE DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MAJENANG - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Demam Berdarah Dengue (DBD) 1. Definisi Demam Berdarah Dengue adalah salah satu bentuk klinis dari

  penyakit akibat infeksi dengan virus dengue pada manusia sebagai manifestasi klinis dan infeksi virus dengue dapat berupa demam dengue dan demam berdarah dengue (Anonim, 2011). Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang perjalanan penyakitnya cepat dan dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di Indonesia (Anonim, 2011).

2. Patogenesis

  Virus merupakan mikroorganisme yang hanya dapat hidup didalam sel hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai pejamu (host) dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut tergantung daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka akan perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan menimbulkan kematian (Anonim, 2004).

  Patogenesis DBD dan Sindrom Syok Dengue (SSD) masih merupakan masalah yang kontroversial. Terdapat dua teori yang sering digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenetik yang terjadi pada DBD dan SSD. Teori yang paling banyak digunakan adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologus infection) atau hipotesis antybody

  

dependent enhancement (ADE) (Anonim, 2004). Teori ini menyatakan

  bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah infeksi dengue pertama mendapat infeksi berulang dengan tipe virus dengue yang

  4 berlainan dalam jangka waktu yang tertentu yang diperkirakan antara 6 bulan sampai 5 tahun. Akibat infeksi kedua oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang penderita dengan kadar antibodi anti dengue yang rendah, respons antibodi anamnestik yang akan terjardi dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit imun dengan menghasilkan antibodi IgG anti dengue titer tinggi. Disamping itu replikasi virus dengue terjadi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah yang banyak. Hal-hal ini semuanya akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen antibodi yang selanjutnya akan mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat antivasi C3 dan C5 menyebabkan meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah (Rena dkk, 2009).

   Gambar 1. Patogenesis DBD (Anonim, 2004)

3. Diagnosis

  Diagnosis demam berdarah ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1999 terdiri dari kriteria klinis dan dan laboratoris.

  a. Kriteria klinis

  a) Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari.

  b) Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan : (1) Uji tourniquet positif (2) Retekia, ekomosis, epitaksis, perdarahan gusi.

  (3) Hemetamesis dan atau melena.

  c) Pembesaran hati

  d) Syok ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.

  b. Kriteria Laboratoris

  a) Trombositopenia (100.000 sel/mm3 atau kurang) b) Hemokonsentrasi peningkatan hematokrit 20% atau lebih.

  Pada Demam Berdarah Dengue (DBD) umumnya dijumpai trombositopenia dan hemokonsentrasi. Penurunan jumlah trombosit kurang dari 100.

  000/μl biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-7, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit. Pada pasien DBD, saat sebelum syok terjadi atau sebelum suhu turun biasanya terjadi penurunan nilai trombosit yang disertai dengan peningkatan nilai hematokrit. Nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau karena perdarahan. Jumlah leukosit dapat menurun (leucopenia), limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok. Asidosis metabolik dan peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN) ditemukan pada

  

syok berat. Pada pemeriksaan radiologis bisa ditemukan efusi pleura, terutama sebelah kanan. Berat-ringannya efusi pleura berhubungan dengan berat-ringannya penyakit. Pada pasien yang mengalami syok, efusi pleura dapat ditemukan bilateral (Anonim, 2004).

4. Penatalaksanaan DBD a. Terapi non obat

  Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat simptomatis dan suportif, yaitu mengatasai kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi. Pada pasien DBD dapat terjadi peningkatan nilai hematokrit, jika nilai hematokrit meningkat lebih dari 20% mencerminkan perembesan plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian cairan. Tujuan pemberian cairan oral adalah untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah, atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Cairan diberikan untuk mengurangi rasa haus dan dehidrasi karena demam tinggi, anoreksia, dan muntah. Penderita DBD perlu diberi minum sebanyak mungkin, dapat diberikan berupa air teh manis, sirup atau susu, dan dapat diberikan juga oralit (Anonim, 2004).

  a) Penggantian Volume Plasma Patogenesis dasar DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan suhu maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume plasma yang hilang. Penggantian volume cairan harus adekuat (Anonim, 2004).

  Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat badan serta derajat kehilangan plasma. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan 24 jam (Anonim,2004).

  Tabel 1.Kebutuhan Cairan Rumatan (Anonim, 2004)

  Jenis cairan yang direkomendasikan pada pasien DBD sebagai cairan rumatan adalah : a. Kristaloid

  a) Larutan ringer laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL).

  b) Larutan asetat (RA) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RA).

  c) Larutan NaCl 0,9% (faali/GF) atau dekstrosa 5% dalam larutan garam faali (D5/GF) (Anonim, 2004).

  b. Koloid

  a) Dekstran 40

  b) Plasma c) Albumin (Anonim, 2004).

  b) Pemberian Oksigen Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen (Anonim, 2004).

  c) Transfusi Darah Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan seperti hematemesis dan melena diindikasikan untuk memperoleh transfusi darah. Darah segar sangat berguna untuk mengganti volume massa sel darah merah agar menjadi normal (Soegijanto, 2006).

  Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal

  haemorrhage ) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematocrit

  (misalnya dari 50% menjadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan (Anonim, 2004).

b. Terapi Obat-obatan

  d) Antipiretik Obat antipiretik diberikan bila suhu tubuh lebih dari 38.5°C. Obat antipiretik diberikan apabila diperlukan. Obat antipiretik digunakan bertujuan untuk menurunkan suhu tubuh menjadi dibawah 39° C. Antipiretik yang dianjurkan adalah parasetamol, sedangkan asetosal tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan gastritis, perdarahan, atau asidosis (Anonim, 2004).

  

Tabel 2. Dosis Parasetamol Menurut Kelompok Umur (Anonim, 2004)

  e) Antibiotik Belum ada bukti yang mendukung penggunaan antibiotik pada pasien DBD (Anonim, 2010). Pertimbangan pemberian antibiotik pada keadaan syok mengingat kemungkinan adanya kejadian infeksi sekunder dengan translokasi dari saluran cerna. Antibiotik yang digunakan hendaknya yang tidak berefek terhadap sistem pembekuan (Anonim, 2004).

  f) Antisedatif Antisedatif dibutuhkan terutama pada pasien yang sangat gelisah. Obat hepatotoksik sebaiknya dihindarkan, kloralhidrat oral atau rektal dianjurkan dengan dosis 12,5

  • – 50 mg/kg tidak lebih dari 1 jam digunakan sebagai satu macam obat hipnotik (Soegijanto, 2006).
g) Antikonvulsan Anti konvulsan seperti diazepam, fenobarbital atau largaktil diberikan apabila terdapat indikasi kejang (Anonim, 2004).

  h) Kortikosteroid Pemakain kortikosteroid pada penderita DBD masih kontroversial. Pemberian steroid tidak direkomendasikan pada pasien DBD (Anonim, 2010). Sedangkan menurut Dep.Kes. RI. Menyebutkan bahwa pemberian deksametason 0,5 mg/KgBB/kali tiap 8 jam berguna untuk mengurangi udem otak karena syok yang berlangsung lama, tetapi apabila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan (Anonim, 2004). i) Antidiuretik Furosemid 1 mg/KgBB dapat diberikan pada pengobatan syok apabila diuresis 1 ml/KgBB belum cukup untuk memperbaiki keadaan penderita. Furosemid diberikan terutama jika pada psien syok terdapat overload Antara lain edema atau pernafasan meningkat (Anonim, 2004). j) Neomisin dan laktulosa Neomisin dan laktulosa dapat diberikan pada pasien yang mengalami ensefalopati karena berguna untuk mengurangi produksi amoniak (Anonim, 2004). k) Vitamin K Pemberian vitamin K secara intravena 3-10 mg selama 3 hari dapat diberikan apabila terdapat disfungsi hati (Anonim, 2004). l) Vasopresor Obat-obatan vasopresor seperti dopamin, dobutamin, atau epinephrine dapat diberikan jika pasien mengalami syok yang belum teratasi dengan pemberian ringer laktat (Anonim, 2004). m) Heparin

  Heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratories didapatkan tanda-tanda Koagulasi Intravaskuler Disseminata (KID) (Anonim, 2004). n) Natrium bikarbonat

  Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD, maka analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks. Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan (Anonim, 2004). Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia pasien dapat dipulangkan apabila, memenuhi semua keadaan dibawah ini : 1) Tampak perbaikan secara klinis 2) Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik 3) Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis) 4) Hematokrit stabil 5) Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/pl 6) Tiga hari setelah syok teratasi 7) Nafsu makan membaik (Anonim, 2004). B. Prescribing Error Kesalahan peresepan (Prescribing Error ) dapat didefinisikan sebagai kegagalan dalam proses penulisan resep yang menyebabkan satu atau lebih kesalahan format penulisan resep sehingga terjadi kesalahan dalam instruksi pelayanan resep (Aronson, 2009).

  Kesalahan pada kesalahan peresepan diklasifikasikan menjadi dua macam, yakni kesalahan omission dan kesalahan commission (Ni dkk, 2002)

  1. Kesalahan omission diartikan sebagai hilangnya informasi penting pada resep, termasuk tidak ada dan atau tidak lengkap spesifikasi bentuk sediaan atau kekuatan, dosis dan atau dosis regimen, jumlah atau durasi obat yang harus ada pada resep yang tidak bisa terbaca dan resep yang tidak memenuhi aturan. 2. kesalahan commission merupakan kesalahan memberikan informasi pada penulisan resep, termasuk kesalahan dosis dan atau regimen dosis, kesalahan obat dan atau indikasinya, kesalahan jumlah dan atau durasi terapi, serta adanya interaksi obat pada resep.

C. Rumah Sakit

  Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan gabungan alat ilmiah khusus dan rumit, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personal terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik modern, yang semuanya terikat bersama-sama dalam maksud yang sama, untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik ( Siregar, 2003).

  Pada umumnya tugas rumah sakit adalah menyediakan keperluan untuk pemeliharaan dan pemulihan kesehatan. Menurut KEPMENKES RI Nomor : 983/Menkes/SK/XI/1992, Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksudkan, Rumah Sakit mempunyai fungsi :

  1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit; 2. pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis;

  3. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan pemberian pelayanan kesehatan; dan 4. penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

D. Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)

  Instalasi farmasi rumah sakit (IFRS) adalah suatu unit/ bagian di rumah sakit yang melakukan pekerjaan kefarmasian dan memberikan pelayanan kefarmasian menyeluruh, khususnya kepada pasien, professional kesehatan, rumah sakit, serta masyarakat pada umumnya, dipimpin oleh seorang apoteker yang sah, kompeten dan profesional (Siregar, 2004).

  Kriteria penetapan prioritas penerapan fungsi dan pelayanan IFRS didasarkan pada berbagai hal berikut.

  1. Fungsi yang memastikan tersedianya obat yang paling sesuai, efektif, aman, rasional, dan memadai.

  2. Fungsi yang memastikan, langsung mempengaruhi penulisan serta penggunaan obat yang paling tepat dan rasional.

  3. Fungsi yang memastikan upaya peningkatan keamanan dan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat.

  4. Fungsi dan pelayanan yang segera dapat dilakukan tanpa penambahan biaya yang besar.

  5. Fungsi dan pelayanan yang menjadi keahlian serta keterampilan apoteker.

  6. Fungsi dan pelayanan atas permintaan professional kesehatan lainnya (Siregar, 2004).

E. Resep

  Resep adalah permintaan tertulis dari seorang dokter kepada apoteker untuk membuat dan atau menyerahkan obat kepada pasien. Yang berhak menulis resep ialah :

  1. Dokter 2. Dokter gigi, terbatas pada pengobatan gigi dan mulut.

  3. Dokter hewan, terbatas pengobatan hewan. Dalam resep harus memuat :

  a. Nama, alamat dan nomor izin praktek Dokter, Dokter gigi dan Dokter hewan.

  b. Tanggal penulisan resep ( inscription).

  c. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep. Nama setiap obat atau komposisi obat (invicatio).

  d. Aturan pemakaian obat yang tertulis (signatur).

  e. Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep, sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku (subscriptio).

  f. Jenis hewan dan nama serta alamat pemiliknya untuk resep Dokter hewan.

  g. Tanda seru dan paraf Dokter untuk resep yang mengandung obat

yang jumlahnya melebihi dosis maksimal (Anief, 1988).