BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) 2.1.1 Definisi Penyakit DBD - Determinan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Medan Tembung

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

2.1.1 Definisi Penyakit DBD

  Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian, serta sering menimbulkan wabah. Jika nyamuk menggigit orang dengan demam berdarah, virus

  

dengue masuk ke tubuh nyamuk bersama darah yang dihisapnya. Di dalam tubuh

  nyamuk, virus berkembang biak dan menyebar ke seluruh bagian tubuh nyamuk dan sebagian besar berada di kelenjar liur. Selanjutnya ketika nyamuk menggigit orang lain, air liur bersama virus dengue dilepaskan terlebih dahulu agar darah yang akan dihisap tidak membeku, dan pada saat inilah virus dengue ditularkan ke orang lain (Soegijanto, 2006).

  Demam Dengue (Dengue Fever) adalah penyakit febris - virus akut, seringkali

  (WHO, 1999).

2.1.2 Etiologi

  DBD disebabkan oleh virus dengue yang temasuk kelompok B Arthropoda

  

borne virus (Arboviroses). Dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan

  mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu : DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 (Soedarto, 2010).

  Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe yang lain tersebut. Dengan kata lain, infeksi oleh satu serotipe virus dengue menimbulkan imunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut, tetapi tidak ada ”cross protective” terhadap serotipe virus yang lain (Soegijanto, 2006).

  Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tesebut akan difagosit oleh sel monosit perifer (Soegijanto, 2006).

  Virus dengue mampu bertahan hidup dan mengadakan multiplikasi di dalam sel. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus, genomnya masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk komponen- komponennya, baik komponen antara maupun komponen struktural virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangan virus dengue terjadi di sitoplasma sel (Soegijanto, 2006).

  Menurut Gubler dalam Soegijanto (2006), patofisiologi primer DBD dan DSS adalah peningkatan akut permebilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume plasma menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus berat, hal ini didukung penemuan post-mortem meliputi efusi serosa, efusi pleura, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemi. Perubahan hemostasis pada DBD dan DSS abdomen (WHO, 2004).

2.1.4 Tanda dan Gejala Klinik

  Menurut Soegijanto (2006), gejala klinik utama pada DBD adalah demam dan manifestasi perdarahan. Untuk menegakkan diagnosis klinis DBD, WHO dalam Soegijanto (2006) menentukan beberapa patokan gejala klinis dan laboratorium meliputi : a)

  Gejala Klinis : Demam mendadak yang berlangsusng selama 2-7 hari

  • Manifestasi perdarahan
  • o

  Uji torniquet positif o Perdarahan spontan berbentuk peteki, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena

  Hepatomegali

  • Renjatan, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (< 20 mmHg) atau nadi
trombosit < 150.000 sel/ml sebagai batas tombositopeni.

  Selain patokan trombositopeni dan hemokonsentrasi, diagnosis laboratoris DBD juga dapat ditegakkan melalui pemeriksaan serologis. Pemeriksaan serologis didasarkan atas timbulnya antibodi pada penderita yang terjadi setelah infeksi.

  Pemeriksaan serologis terdiri dari (Depkes RI, 2007) :

  a) HI (Haemaglutination Inhibition)

  Pemeriksaan HI sampai saat ini dianggap sebagai gold standard. Namun pemeriksaan ini memerlukan dua sampel darah (serum) dimana spesimen kedua harus diambil pada fase konvalensen (penyembuhan) sehingga tidak dapat memberikan hasil yang cepat. Konfirmasi serologi tergantung pada kenaikan titer yang jelas (4 kali atau lebih) antibodi spesifik dari sampel serum antara fase akut dan fase konvalensen.

  b) ELISA (IgM/IgG)

  Infeksi dengue dapat dibedakan dengan menentukan rasio limit antibodi dengue tingkat, yaitu sebagai berikut: Derajat I : Demam dan tourniquet positif.

  • Derajat II : Demam dan perdarahan spontan, pada umumnya di kulit dan atau
  • pendarahan lain.
  • hepatomegali, dan ditemukan gejala-gejala kegagalan sirkulasi meliputi nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (< 20 mmHg), atau hipotensi disertai ekstremitas dingin dan gelisah.

  Derajat III : Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai

  • hepatomegali, dan ditemukan gejala renjatan hebat (nadi tak teraba dan tekanan darah tak terukur).

  Derajat IV : Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai

  Dalam pelaksanaan sehari-hari diagnosis DBD dapat ditegakkan jika didapatkan demam, manifestasi perdarahan, trombositopeni, dan hemokonsentrasi atau tanda-tanda kebocoran plasma lainnya seperti efusi pleura, ascites, dan

Gambar 2.1. Siklus Penularan DBD

  Sumber : Depkes RI, 2007

  Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus

  

dengue , yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada

  manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus (Depkes RI, 2004a).

  Nyamuk Aedes betina biasanya terinfeksi virus dengue pada saat menghisap darah dari seseorang yang sedang berada pada tahap demam akut (viraemia). Setelah pada saat atau persis sebelum gejala awal penyakit tampak dan berlangsung selama kurang lebih 5 hari setelah dimulainya penyakit. Saat-saat tersebut merupakan masa kritis dimana penderita dalam masa sangat infektif untuk vektor nyamuk yang berperan dalam siklus penularan (WHO, 2004).

  Lebih jelasnya Depkes RI (2007) menjelaskan mekanisme penularan penyakit DBD dan tempat potensial penularannya sebagai berikut :

  a) Mekanisme Penularan DBD

  Seseorang yang di dalam darahnya mengandung virus dengue merupakan sumber penular DBD. Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari. Bila penderita DBD digigit nyamuk penular maka virus dalam darah akan ikut terhisap masuk ke dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar di berbagai jaringan tubuh nyamuk, termasuk di dalam kelenjar liurnya. Kira- kira 1 minggu setelah menghisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain (masa inkubasi ekstrinsik). Virus ini akan berada Tempat Potensial bagi Penularan DBD Penularan DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk penularnya. Beberapa tempat yang paling potensial untuk terjadinya penularan DBD adalah : Wilayah yang banyak kasus DBD (rawan/endemis).

  • Tempat-tempat umum yang menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang
  • datang dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus dengue yang cukup besar, seperti sekolah, RS/Puskesmas dan sarana pelayanan kesehatan lainnya, serta tempat umum lainnya (hotel, pertokoan, pasar, restoran, tempat ibadah, dan lain-lain).
  • berbagai wilayah maka ada kemungkinan diantaranya terdapat penderita yang membawa tipe virus dengue yang berbeda dari masing-masing lokasi.

  Pemukiman baru di pinggir kota. Penduduk pada lokasi ini umumnya barasal dari

2.2 Vektor Penular Penyakit DBD

  Virus dengue ditularkan dari satu orang ke orang lain oleh nyamuk Aedes dari

Gambar 2.2. Nyamuk Aedes aegypti

  Sumber :

  Nyamuk Aedes aegypti disebut black-white mosquito karena tubuhnya ditandai dengan pita atau garis-garis putih keperakan di atas dasar hitam. Di Indonesia, nyamuk ini sering disebut sebagai salah satu dari nyamuk-nyamuk rumah (WHO, 2004).

  Dalam siklus hidupnya, nyamuk Aedes aegypti dapat dibagi menjadi 4 tahap yaitu telur, larva/jentik, pupa, dan dewasa sehingga termasuk dalam metamorfosis

  2006).

  Gambar berikut menunjukkan siklus hidup nyamuk Aedes aegypti

Gambar 2.3. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti

  Sumber : Depkes RI, 2007

  a) Telur

  Telur nyamuk Aedes aegypti berbentuk elips atau oval memanjang, warna hitam, ukuran 0,5-0,8 mm, permukaan poligonal, tidak memiliki alat pelampung, dan diletakkan satu persatu pada benda-benda yang terapung atau pada dinding bagian terbentuk berturut-turut disebut larva instar I, II, III, dan IV. Larva instar I tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada (thorax) belum begitu jelas, dan corong pernapasan (siphon) belum menghitam. Larva instar II bertambah besar, ukuran 2,5-3,9 mm, duri dada belum jelas, dan corong pernapasan sudah berwarna hitam. Larva nstar IV telah lengkap struktur anatominya dan tubuh dapat dibagi menjadi kepala (chepal), dada (thorax), dan perut (abdomen).

  Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk, sepasang antena tanpa duri-duri, dan alat-alat mulut tipe pengunyah (chewing). Bagian dada tampak paling besar dan terdapat bulu-bulu yang simetris. Perut tersusun atas 8 ruas, ruas perut ke-8 memiliki alat untuk bernapas yang disebut corong pernapasan. Corong pernapasan tanpa duri-duri, berwarna hitam, dan ada seberkas bulu-bulu. Ruas ke-8 juga dilengkapi dengan seberkas bulu-bulu sikat (brush) di bagian ventral dan gigi-gigi sisir (comb) yang berjumlah 15-19 gigi yang tersusun dalam 1 baris. Larva ini adalah bentuk tidak makan, tampak gerakannya lebih lincah bila dibandingkan dengan larva. Waktu istirahat, posisi pupa sejajar dengan bidang permukaan air.

  d) Nyamuk Dewasa

  Tubuh nyamuk Aedes aegypti dewasa tersusun atas tiga bagian yaitu kepala, dada, dan perut. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk dan antena yang berbulu. Bagian mulut nyamuk betina merupakan tipe penususk-pengisap (piercing-sucking) dan termasuk lebih menyukai manusia (anthropophagus) sedangkan nyamuk jantan bagian mulutnya lebih lemah sehingga tidak mampu menembus kulit manusia karena itu tergolong lebih menyukai tumbuhan (phytophagus).

  Dada nyamuk ini terdiri dari 3 ruas yaitu porothorax, mesothorax, dan

  

metathorax . Setiap ruas dada memiliki sepasang kaki yang terdiri dari femur (paha),

tibia (betis), dan tarsus (tampak). Pada ruas-ruas kaki ada gelang-gelang putih tetapi

  pada bagian tibia kaki belakang tidak ada gelang putih. Pada bagian dada juga

  Menurut Sitio (2008), pengetahuan tentang bionomik vektor sangat diperlukan dalam perencanaan pengendalian vektor. Bionomik vektor meliputi tempat perindukan (breeding habit), kebiasaan menggigit (feeding habit), kebiasaan istirahat (resting habit), jarak terbang, dan lama hidup.

  a) Tempat Perindukan (Breeding Places)

  Tempat perindukan yang paling potensial adalah TPA yang digunakan sehari- hari seperti drum, tempayan, bak mandi, bak WC, ember, dan sejenisnya. Tempat perindukan tambahan disebut non-TPA, seperti tempat minum hewan, barang bekas, vas bunga, perangkap semut, dan lainnya sedangkan TPA alamiah seperti lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon pisang, potongan bambu, dan lainnya. Nyamuk Aedes aegypti lebih tertarik meletakkan telurnya pada TPA berair yang berwarna gelap, paling menyukai warna hitam, terbuka lebar, dan terutama terletak di tempat-tempat yang terlindung dari sinar matahari langsung (Soegijanto, 2006). Kebiasaan Istirahat (Resting Habit) Nyamuk Aedes aegypti paling suka beristirahat di tempat yang gelap, lembab, dan tersembunyi di dalam rumah atau bangunan, termasuk kamar tidur, kamar mandi, kamar kecil, maupun dapur. Dapat juga ditemukan di luar rumah, di tumbuhan, atau di tempat terlindung lainnya. Di dalam ruangan, permukaan istirahat yang disukainya adalah di bawah furnitur, benda yang tergantung seperti baju dan korden, serta di dinding (WHO, 2004).

  d) Jarak Terbang

  Menurut Sitio (2008) yang mengutip pernyataan Chapman, pergerakan nyamuk dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa dan selanjutnya ke tempat untuk beristirahat ditentukan oleh kemampuan terbang nyamuk. Pada waktu terbang nyamuk memerlukan oksigen lebih banyak sehingga penguapan air dari tubuh nyamuk menjadi lebih besar. Untuk mempertahankan cadangan air di dalam tubuh dari penguapan maka jarak terbang nyamuk menjadi terbatas. Aktifitas dan jarak terbang nyamuk dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu: faktor eksternal dan faktor internal. terbawa alat transportasi.

  e) Lama Hidup Nyamuk Aedes aegypti dewasa memiliki rata-rata lama hidup hanya 8 hari.

  Selama musim hujan, saat masa bertahan hidup lebih panjang, risiko penyebaran virus semakin besar. Dengan demikian, diperlukan lebih banyak penelitian untuk mengkaji survival alami Aedes aegypti dalam berbagai kondisi lingkungan (WHO, 2004).

2.2.3 Pengamatan Kepadatan Populasi Vektor

  Untuk mengetahui kepadatan vektor disuatu lokasi dapat dilakukan beberapa survei meliputi survei nyamuk, survei jentik, dan survei perangkap telur.

  a) Survei Nyamuk

  Sampling vektor nyamuk dewasa dapat memberikan data yang berharga untuk mengetahui kecenderungan populasi musiman, dinamika penularan, risiko penularan, dan evaluasi terhadap usaha pemberantasan nyamuk. Beberapa cara untuk survei

  • Pada periode inaktif, nyamuk dewasa istirahat di dalam rumah terutama di kamar tidur dan di tempat yang gelap seperti tempat gantungan pakaian dan tempat- tempat terlindung. Jumlah nyamuk dewasa yang tertangkap istirahat dengan aspirator per rumah disebut resting rate.

  Resting Collection

  b) Survei Jentik

  Survei jentik dilakukan dengan cara pemeriksaan terhadap semua tempat air di dalam dan di luar rumah dari 100 (seratus) rumah yang diperiksa di suatu daerah dengan mata telanjang untuk mengetahui ada tidaknya jentik. Dalam pelaksanaan survei ada dua metode yang meliputi (Depkes RI, 2007) : b.1) Metode Single Larva

  Metode ini dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat genangan yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik yaitu : Angka Bebas Jentik (ABJ) : persentase pemeriksaan jentik yang dilakukan di

  • semua desa/kelurahan setiap 3 bulan oleh petugas Puskesmas pada rumah-rumah penduduk yang diperiksa secara acak.
  • rumah yang diperiksa.

  House Index (HI) : presentase rumah yang ditemukan jentik terhadap seluruh

  • seluruh kontainer yang diperiksa.

  Container Index (CI) : presentase antara kontainer yang ditemukan jentik terhadap

  Breteau Index (BI) : jumlah kontainer positif perseratus rumah yang diperiksa.

indikator keberhasilan pengendalian nyamuk penularan DBD (Depkes RI, 2007).

  c) Survei Perangkap Telur

  Menurut Ditjen PP&PL (2007), survei telur menggunakan ovitrap yaitu berupa potongan bambu atau kontainer lain yang mudah diperoleh (bekas kaleng susu dicat hitam, gelas plastik, tempurung kelapa atau lainnya) yang diberi air dan diberi lubang ±1 cm dari tepi atas untuk menggantung ovitrap pada paku dan untuk mencegah air agar tidak meluap. Kemudian ovitrap diberi padel yang berupa potongan bambu atau kain yang berwarna gelap sebagai tempat meletakkan telur bagi nyamuk. Jumlah pemasangan ovitrap pada setiap rumah adalah 2 buah, 1 buah dipasang di dalam rumah dan 1 buah lagi dipasang di luar rumah. Jumlah ovitrap yang dipasang minimal 160 buah di 80 rumah. Pengamatan ada atau tidak adanya telur dilakukan seminggu sekali dengan cara pemeriksaan adanya telur di padel atau bisa juga dengan pemeriksaan adanya jentik di dalam ovitrap. Pada waktu pemeriksaan padel, air di dalam ovitrap dibuang dan diganti air baru. Bila air tidak

2.3.1 Distribusi Penyakit DBD

a) Orang (Person)

  Umur adalah salah satu faktor yang memengaruhi kepekaan terhadap infeksi virus dengue. Pada awal epidemi di Filipina, Thailand, Indonesia, dan Malaysia penyakit DBD kebanyakan menyerang anak-anak dan 95% kasus yang dilaporkan berumur < 15 tahun. Walaupun demikian, berbagai negara melaporkan bahwa kasus- kasus dewasa meningkat selama terjadi KLB (Soegijanto, 2006).

  Berdasarkan Kemenkes (2010), kasus DBD per kelompok umur di Indonesia mengalami pergeseran dari tahun 1993-2009. Dari tahun 1993-1998 kelompok umur terbesar kasus DBD adalah kelompok umur < 15 tahun sedangkan tahun 1999-2009 kelompok umur terbesar kasus DBD cenderung pada kelompok umur ≥ 15 tahun. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 2.4. Proporsi Kasus DBD Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 1993- 2009

  Sumber : Ditjen PP&PL Depkes RI, 2009

  Sejauh ini tidak ditemukan perbedaan kerentanan terhadap serangan DBD dikaitkan dengan perbedaan jenis kelamin (gender). Di Filipina dilaporkan bahwa rasio antar jenis kelamin adalah 1:1. Di Thailand tidak ditemukan perbedaan kerentanan terhadap serangan DBD antara laki-laki dan perempuan meskipun ditemukan angka kematian yang lebih tinggi pada anak perempuan, tetapi perbedaan angka tersebut tidak signifikan (Kusriastuti dalam Duma, 2007). infeksi di antara kelompok etnik. Kelompok penduduk Cina banyak terserang DBD dari pada yang lain. Penemuan ini dijumpai pada awal epidemi (Soegijanto, 2006).

  Mobilitas penduduk juga memegang peranan penting pada transmisi penularan infeksi virus dengue. Salah satu faktor yang memengaruhi penyebaran epidemi dari Queensland ke New South Wales pada tahun 1942 adalah perpindahan personil militer dan angkatan udara karena jalur transportasi yang mereka lewati merupakan jalur penyebaran virus dengue (Sutaryo, 2005).

b) Tempat (Place)

  Penyakit akibat infeksi virus dengue ditemukan tersebar luas di berbagai negara terutama di negara tropik dan subtropik yang terletak antara 30º Lintang Utara dan 40º Lintang Selatan seperti Asia Tenggara, Pasifik Barat, dan Caribbean dengan tingkat kejadian sekitar 50-100 juta kasus setiap tahunnya (Djunaedi dalam Duma, 2007). Data dari seluruh dunia menunjukkan bahwa Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya (Kemenkes RI, 2010). banyak di daerah perkotaan. Hal ini disebabkan karena habitat perindukan nyamuk adalah air yang relatif bersih, yaitu penampungan air untuk keperluan sehari-hari, barang-barang bekas sepeti botol, ban, kaleng, plastik, dan sebagainya yang merupakan lingkungan buatan manusia terutama di kota-kota. Namun, dengan semakin majunya mobilisasi manusia dan pesatnya transportasi, nyamuk juga berimigrasi sampai ke daerah pedesaan. Selain itu, di daerah pedesaan memang banyak terdapat nyamuk Aedes albopictus (nyamuk kebun) yang juga dapat menularkan virus dengue (Nadesul, 2004).

  Di India misalnya, Aedes aegypti merupakan vektor di perkotaan dan populasinya berubah-ubah sesuai dengan curah hujan dan kebiasaan penyimpanan air.

  Di negara-negara Asia Tenggara yang curah hujan tahunannya lebih dari 2000 mm, menjadikan populasi Aedes aegypti lebih stabil di perkotaan, semi perkotaan, dan pedesaan. Adanya kebiasaan penyimpanan air secara tradisional di Indonesia dan Thailand menyebabkan kepadatan populasi nyamuk di daerah semi perkotaan lebih

  1968. Sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (CFR = 41,5%). Sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia. Persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD mengalami peningkatan.

  Dari 2 provinsi dan 2 kota pada tahun 1968, menjadi 32 provinsi (97%) dan 382 kabupaten/kota (77%) yang endemis pada tahun 2009 (Kemenkes RI, 2010).

c) Waktu (Time)

  Selama abad ke-18, 19, dan awal abad ke-20 epidemi penyakit yang menyerupai dengue tercatat menyerang seluruh dunia, baik di wilayah tropis maupun di beberapa wilayah beriklim sedang. KLB penyakit dengue serupa dengan DBD yang dicatat pertama kali terjadi di Australia tahun 1897. Penyakit perdarahan serupa juga berhasil dicatat pada tahun 1928 saat terjadi epidemi di Yunani dan kemudian di Taiwan tahun 1931. Epidemi DBD pertama yang berhasil dipastikan, dicatat di Filipina tahun 1953-1954. Selama 20 tahun terakhir terjadi peningkatan yang tajam pada insidensi dan penyebaran penyakit secara geografis. Di beberapa negara Asia tahun ke tahun mulai menurun dari 41,4% pada tahun 1968 terus menurun sampai menjadi 0,89% pada tahun 2009. Meskipun CFR menurun tetapi bila dilihat angka absolut kematian dalam lima tahun terakhir tetap meningkat (Kemenkes RI, 2010). Hal tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Gambar 2.5. Jumlah Absolut Kematian DBD dan Angka Kematian di Indonesia Tahun 1968

  • – 2009

dimulai sesudah bulan September, dan mencapai puncaknya sekitar bulan Desember (Soegijanto, 2006).

2.3.2 Determinan Penyakit DBD

  Timbulnya suatu penyakit, termasuk penyakit DBD dapat diterangkan melalui konsep segitiga epidemiologi, yaitu adanya faktor pejamu (host), penyebab (agent), dan lingkungan (environment).

a) Pejamu (Host)

  Host merupakan manusia yang peka terhadap infeksi virus dengue. Menurut

  Sari dalam T. Azizah (2010), faktor-faktor yang terkait dalam penularan DBD pada manusia antara lain golongan umur, pendidikan, penghasilan, suku bangsa, kepadatan penduduk, mobilitas penduduk, tingkat kerentanan, perilaku hidup bersih dan sehat, serta perkumpulan yang ada di masyarakat.

  Golongan umur akan memengaruhi peluang terjadinya penularan penyakit. Lebih banyak golongan umur < 15 tahun berarti kelompok yang rentan untuk sakit dalam jarak terbang nyamuk. Lebih padat penduduk akan lebih mudah untuk terjadi penularan DBD karena jarak terbang nyamuk diperkirakan 50 meter. Mobilitas penduduk akan memudahkan penularan dari satu tempat ke tempat lain.

  Kekuatan dalam tubuh individu tidak sama dalam menghadapi suatu penyakit, ada yang mudah kena penyakit dan ada yang tahan terhadap penyakit. Oleh karena itu, kerentanan terhadap penyakit akan berbeda pada tiap individu. Melalui perilaku hidup bersih dan sehat akan mengurangi risiko penularan penyakit DBD.

  Perkumpulan yang ada dimasyarakat juga bisa digunakan untuk sarana Penyuluhan Kesehatan Masyarakat (PKM).

b) Penyebab (Agent)

  Agent penyebab penyakit DBD adalah virus dengue yang termasuk kelompok

B -Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus

Flavivirus , famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu ; DEN-1,

  DEN-2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi

   Lingkungan (Environment)

  Sukamto (2007) memaparkan determinan lingkungan (environment) antara lain sebagai berikut: c.1) Lingkungan Fisik, yang terkait antara lain : macam tempat penampungan air, ketinggian tempat, hari hujan, kecepatan angin, suhu udara, tata guna tanah, pestisida yang digunakan, dan kelembaban udara.

  Tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti dibedakan berdasarkan bahan tempat penampungan air (logam, plastik, porselin, fiberglass, semen, tembikar, dan lain lain), warna tempat penampungan air (putih, hijau, coklat, dan lain-lain), letak tempat penampungan air (di dalam rumah atau di luar rumah), penutup tempat penampungan air (ada atau tidak ada), pencahayaan pada tempat penampungan air (terang atau gelap), dan sebagainya. Di tempat dengan ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut tidak ditemukan nyamuk Aedes aegypti.

  Curah hujan menambah genangan air sebagai tempat perindukan,

  Pada lingkungan biologi, yang memengaruhi penularan penyakit DBD terutama adalah banyaknya tanaman hias dan tanaman pekarangan. Bila banyak tanaman hias dan tanaman pekarangan, berarti akan menambah tempat yang disenangi nyamuk untuk beristirahat. Pada tempat-tempat yang demikian, akan memperpanjang umur nyamuk dan penularan mungkin terjadi sepanjang tahun di tempat tersebut.

2.4 Pencegahan dan Pengendalian DBD

  Cara memotong rantai penularan penyakit DBD masih dengan cara membasmi vektor karena belum ditemukannya vaksin atau obat yang dapat membunuh virus dengue. Cara yang tepat guna adalah dengan membasmi jentik nyamuk yang ada di tempat perkembangbiakannya (Nadesul, 2004).

  Menurut Sukowati (2010), beberapa metode pengendalian vektor yang telah banyak diketahui dan digunakan oleh program pengendalian DBD di tingkat pusat dan di daerah yaitu manajemen lingkungan, pengendalian biologis, pengendalian lembaga swadaya masyarakat melalui program kemitraan (Sukowati, 2010).

  WHO pada tahun 1982 telah menetapkan 3 jenis Manajemen Lingkungan yaitu :

a) Modifikasi Lingkungan, yaitu pengubahan fisik habitat larva yang tahan lama.

  b) Manipulasi Lingkungan, yaitu pengubahan sementara habitat vektor yang memerlukan pengaturan wadah yang penting dan tidak penting serta manajemen atau pemusnahan tempat perkembangbiakan alami nyamuk.

  c) Perubahan Habitasi atau perilaku vektor, yaitu upaya untuk mengurangi kontak antara manusia dan vektor.

  Program pengendalian nyamuk Aedes aegypti yang dilakukan di Kuba dan Panama di awal abad ke-20 didasarkan terutama pada manajemen lingkungan.

  Aktivitas semacam itu tetap dapat diterapkan pada tempat dengan penyakit dengue bersifat endemik (WHO, 2004).

  Aspek manajemen lingkungan menyangkut empat bidang yaitu planning, Padahal Puskesmas merupakan ujung tombak dari pelaksanaan program kesehatan masyarakat.

2.4.2 Pengendalian Biologis

  Pengendalian secara Biologis merupakan upaya pemanfaatan agent biologi untuk pengendalian vektor DBD. Beberapa agen biologis yang sudah digunakan dan terbukti mampu mengendalikan populasi larva vektor DBD adalah dari kelompok predator, seperti bakteri, cyclop (Copepoda), dan ikan pemakan jentik (Sukowati, 2010).

  Bakteri Bacillus thuringiensis serotipe H-14 (Bt.H-14) dinilai efektif untuk mengendalikan nyamuk. Bakteri tersebut tidak memengaruhi sepesies lain. Bt.H-14 didapati sangat efektif terhadap Anopheles stephensi dan Aedes aegypti. Terdapat berbagai formula produk Bt.H-14 yang diproduksi oleh beberapa perusahaan besar untuk mengendalikan vektor nyamuk. Produk tersebut meliputi bubuk yang dilarutkan dan berbagai formula yang bereaksi lambat seperti briket, tablet, dan terhadap larva Culex quinquefasciatus dan Toxorhynchities amboinensis. Pelepasan predator ini di Queensland bagian Utara dan Selatan, serta Thailand menunjukkan hasil yang beragam. Namun, di Vietnam hasilnya lebih sukses karena mampu memberantas Aedes aegypti di satu desa. Walaupun faktor kelangkaan bahan pangan serta melakukan pembersihan wadah secara teratur dapat mencegah kelangsungan hidup Copepods. Mereka cocok untuk wadah besar yang tidak dibersihkan secara teratur seperti tangki beton, drum besar, atau ban. Mereka juga dapat digunakan bersamaan dengan Bt.H-14. Copepods berperan dalam pengendalian vektor dengue, akan tetapi masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut terhadap kemungkinan penggunannya (WHO, 2004).

  Ikan Larvivorus (Gambusia affinis dan Poecilia reticulata) telah banyak digunakan untuk mengendalikan jentik Aedes aegypti di tempat penyimpanan air yang besar di banyak negara di Asia Tenggara. Kemampuan dan efisiensi dari tindakan pengendalian ini tergantung pada jenis penampungan airnya (Suroso dalam terhadap lingkungan dan organisme yang bukan sasaran (Sukowati, 2010).

  Penggunaan insektisida dalam jangka tertentu secara terus menerus akan menimbulkan resistensi vektor. Insektisida untuk pengendalian DBD harus digunakan dengan bijak dan merupakan senjata pamungkas (WHO, 2004).

2.4.4 Partisipasi Masyarakat

  Partisipasi masyarakat merupakan proses panjang dan memerlukan ketekunan, kesabaran, dan upaya dalam memberikan pemahaman dan motivasi kepada individu, kelompok, masyarakat, bahkan pejabat secara berkesinambungan. Program yang melibatkan masyarakat adalah mengajak masyarakat mau dan mampu melakukan 3M Plus atau PSN dilingkungan mereka. Istilah tersebut sangat populer dan mungkin sudah menjadi trade mark bagi program pengendalian DBD. Namun, karena masyarakat kita sangat heterogen dalam tingkat pendidikan, pemahaman, dan latar belakang, kegiatan ini belum mampu mandiri dalam pelaksanaannya (Sukowati, 2010).

  Untuk melindungi pribadi dari risiko penularan virus DBD dapat dilakukan secara individu dengan menggunakan repellent dan menggunakan pakaian yang mengurangi gigitan nyamuk. Baju lengan panjang dan celana panjang bisa mengurangi kontak dengan nyamuk meskipun sementara. Untuk mengurangi kontak dengan nyamuk, di dalam keluarga bisa memasang kelambu pada waktu tidur dan kasa anti nyamuk (Sukowati, 2010).

  Insektisida rumah tangga seperti semprotan aerosol, obat nyamuk bakar,

  

vaporize mats (VP), dan repellent oles bisa digunakan oleh individu. Pada 12 tahun

  terakhir dikembangkan kelambu berinsektisida atau dikenal sebagai insecticide

  

treated nets (ITNs) dan tirai berinsektisida yang mampu melindungi gigitan nyamuk

(WHO, 2004).

2.4.6 Peraturan Perundangan

  Peraturan perundangan diperlukan untuk memberikan payung hukum dan melindungi masyarakat dari risiko penularan DBD. Seperti telah dipaparkan di atas vektor DBD adalah Singapura yang mengharuskan masyarakat untuk menjaga lingkungannya agar bebas dari investasi larva Aedes. Adanya peraturan dan pelaksanaan aturan tersebut menyebabkan epidemi DBD di negara tersebut dapat dikendalikan (Sukowati, 2010).

  Pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta sudah mempunyai peraturan serupa tetapi penerapannya masih belum dapat dijalankan. Untuk itu, perlu dilakukan sosialisasi peraturan daerah dan penyuluhan tentang memelihara lingkungan yang bebas dari larva nyamuk secara bertahap. Hal ini mengingat pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu. UUD 1945 mengamanatkan bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia dan dinyatakan juga bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat (Sukowati, 2010).

2.5 Landasan Teori

  dengan gangguan interaksi antara ketiga faktor ini.

  Faktor-faktor dalam trias epidemiologi terus menerus dalam keadaan berinteraksi satu sama lain. Keterhubungan antara pejamu, penyebab, dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang dinamis yang berada dalam keseimbangan (equilibrium) pada seorang individu yang sehat. Jika terjadi gangguan terhadap keseimbangan hubungan segitiga inilah yang akan menimbulkan status sakit sehingga akan timbul penyakit secara individu maupun keseluruhan populasi yang mengalami perubahan tersebut (Bustan, 2006).

  Kejadian penyakit DBD yang menggambarkan hubungan penyebab (agent), pejamu (host), lingkungan (environment), dan vektor dapat digambarkan seperti gambar berikut :

  

Agen pejamu yang rentan. Agen klasik bersifat biologis (misalnya virus, bakteri, parasit). Agen memiliki sejumlah karakteristik antara lain: Infektifitas yakni kemampuan agen untuk mengakibatkan infeksi pada pejamu yang rentan; Patogenesitas yakni kemampuan agen untuk mengakibatkan penyakit di dalam pejamu; dan Virulensi yakni beratnya penyakit yang diakibatkan agen di dalam pejamu (Murti, 2003).

  Pejamu merupakan organisme yang rentan oleh pengaruh agen. Faktor endogen pejamu mencakup umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan, profil genetik, latar belakang keluarga, penyakit terdahulu, status imunitas, dan sebagainya. Lingkungan merupakan kondisi atau faktor berpengaruh yang bukan bagian dari agen maupun pejamu tetapi mampu mempromosikan paparan agen dan interaksinya dengan pejamu. Sementara itu, vektor dapat ikut mengambil bagian bagi transmisi paparan agen. Pejamu (manusia), agen (virus), vektor (nyamuk Aedes aegypti), dan lingkungan (genangan air hujan, iklim, dan perumahan), saling berinteraksi untuk menghasilkan kejadian DBD (Murti, 2003). air, menabur bubuk abate, menggantung pakaian, kebiasaan tidur, dan pemakaian obat anti nyamuk/repellent yang berhubungan dengan kejadian DBD di Kecamatan Medan Tembung.

  b) Penyebab (Agent)

  Agent penyakit DBD adalah virus dengue yang termasuk kelompok

  , anggota dari genus Flavivirus, dan famili Flaviviridae. Virus ini

  Arboviroses

  ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan juga nyamuk Aedes albopictus yang merupakan vektor infeksi DBD. Dalam penelitian ini, yang diteliti dari faktor agent adalah keberadaan jentik nyamuk yang mengindikasikan adanya vektor DBD di Kecamatan Medan Tembung.

  c) Lingkungan (Environment)

  Lingkungan adalah kondisi atau faktor berpengaruh yang bukan bagian dari

  

agent maupun host, tetapi mampu menginteraksikan agent dan host. Dalam penelitian

  ini, yang berperan sebagai faktor lingkungan meliputi tata rumah, tempat

  Berdasarkan landasan teori maka peneliti merumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut :

  Variabel Bebas Variabel Terikat Keberadaan Jentik Kejadian DBD Faktor Lingkungan :

  • House Index -

  Container Index

  • Tata rumah
  • Tempat penampungan air
  • Bukan tempat penampungan air
  • Tempat penampungan air alami
  • Kawat kasa pada ventilasi
  • Tanaman hias/tumbuhan

  Faktor Kebiasaan :

  • Membersihkan tempat penampungan air