BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD) 2.1.1 Definisi - Pengaruh Keadaan Iklim terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Medan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD)

  2.1.1 Definisi

  Menurut WHO (2005), definisi Demam Berdarah Dengue adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih manifestasi seperti sakit kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan, leukopenia,

  3 trombositopenia (100.000 sel per mm atau kurang).

  Menurut Depkes (2005), Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan virus dari golongan Arbovirus yang ditandai dengan demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas berlangsung terus menerus selama 2-7 hari manifestasi perdarahan (peteke, purpura, perdarahan konjungtiva, epistaksis, perdarahan mukosa, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hematuri) termasuk uji

  tourniquet (Rumple leede) positif, trombositopeni (jumlah trombosit

  ≤ 100.000/µl),

  hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit

  ≥ 20%) disertai atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali).

  2.1.2 Epidemiologi Demam Berdarah Dengue Aedes aegypti adalah spesies nyamuk tropis dan subtropis yang ditemukan di

  bumi biasanya antara garis lintang 35 Utara dan 35 Selatan kira-kira berhubungan dengan musim dingin isoterm 10 C (WHO, 1999). Ae. aegypti tersebar luas di wilayah Asia Tenggara dan terutama di daerah perkotaan. Di wilayah yang agak secara khas berfluktuasi bersama air hujan dan kebiasaan penyimpanan air. Pada negara lain di Asia Tenggara yang curah hujannya melebihi 200 mm/tahun, populasi

  

Ae. aegypti ternyata lebih stabil dan ditemukan di daerah perkotaan, pinggiran kota

  dan daerah pedesaan karena kebiasaan penyimpanan air secara tradisional di Indonesia, Myanmar dan Thailand kepadatan nyamuk mungkin lebih tinggi di daerah pinggiran kota daripada di daerah perkotaan (WHO, 2005).

  Distribusi Ae. aegypti juga dibatasi oleh ketinggian. Ketinggian merupakan faktor yang terpenting untuk membatasi penyebaran nyamuk Ae. aegypti. Ini biasanya ditemukan di atas ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Ketinggian yang rendah (kurang dari 500 meter) memiliki tingkat kepadatan nyamuk sedang sampai berat. Sementara daerah pegunungan (di atas 500 meter) memiliki populasi nyamuk yang rendah. Di negara-negara Asia Tenggara ketinggian 1000 sampai 1500 meter di atas permukaan laut merupakan batas bagi penyebaran Ae. aegypti. Di bagian dunia lain spesies ini dapat ditemukan di wilayah yang jauh lebih tinggi misalnya di Colombia sampai mencapai 2200 meter (WHO, 2005).

  Ae. aegypti adalah salah satu vektor nyamuk yang paling efisien untuk

arbovirus (arthropod-borne viruses) karena nyamuk ini sangat antropofilik dan hidup

  dekat manusia dan sering hidup di dalam rumah. Wabah dengue juga telah disertai dengan Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan banyak spesies kompleks Aedes

  

scutellaris. Setiap spesies mempunyai distribusi geografisnya masing-masing namun

  mereka adalah vektor epidemik yang kurang efisien dibanding Ae. aegypti. Faktor penyulit pemusnahan vektor adalah bahwa telur-telur Ae. aegypti dapat bertahan selama lebih dari satu tahun (WHO, 2005).

  Ae. aegypti tersebar luas di seluruh Indonesia walaupun spesies ini ditemukan

  di kota-kota pelabuhan yang penduduknya padat nyamuk ini juga ditemukan di pedesaan. Penyebaran Ae. aegypti dari pelabuhan ke desa disebabkan larva Ae.

  aegypti terbawa melalui transportasi (Sutanto dkk, 2008).

  Menurut Soedarmo (2009), Arthropoda akan menjadi sumber infeksi selama hidupnya sehingga selain menjadi vektor virus tersebut juga menjadi hospes reservoir virus itu. Penyelidikan ekologi di Malaysia membuktikan bahwa sejenis kera liar di hutan merupakan reservoir virus dengue (Soedarmo, 2009). Demam dengue dapat terjadi di daerah perkotaan maupun pedesaan. Di daerah perkotaan yang bertindak sebagai vektor utama adalah nyamuk Ae. aegypti sedangkan di daerah pedesaan nyamuk Aedes albopictus namun tidak jarang kedua spesies tersebut dijumpai baik di daerah pedesaan maupun perkotaan. Hewan primata merupakan sumber infeksi

  Dengue di daerah hutan (Soedarto,2007).

  Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Medan yang ditularkan melalui Ae. aegypti di tiga kecamatan yaitu Kecamatan Medan Barat, Medan Perjuangan dan Medan Tuntungan merupakan kategori wilayah yang rendah, sedang dan tinggi kasus DBD secara berturut-turut selama tiga periode (Januari 2010 sampai Desember 2012) terlihat pada gambar 2.1 dan gambar 2.2 dibawah ini :

Gambar 2.1. Peta Kasus DBD di Kota Medan Tahun 2010 dan 2011 Sumber : (Bidang PMK, DKK Medan)

  Kasus Demam Berdarah Dengue pada tahun 2010 di Kecamatan Medan Perjuangan dengan Incidance Rate berada di warna kuning range IR 5 sampai 10/10.000 penduduk, Kecamatan Medan Barat berada pada warna biru range IR 11 sampai 16/10.000 penduduk, Kecamatan Medan Tuntungan berada pada warna merah dengan range IR 16 sampai 37/10.000 penduduk. Pada tahun 2011 di Kecamatan Medan Perjuangan dengan Incidance Rate berada di warna kuning range IR 5 sampai 10/10.000 penduduk, Kecamatan Medan Barat berada pada warna biru range IR 11 sampai 16/10.000 penduduk, Kecamatan Medan Tuntungan berada pada warna merah dengan range IR 16 sampai 37/10.000 penduduk.

Gambar 2.2. Peta Kasus DBD di Kota Medan Jan-Sept Tahun 2012

  Sumber :(Bidang PMK DKK Medan)

  Kasus Demam Berdarah Dengue pada tahun 2012 di Kecamatan Medan Perjuangan dengan Incidance Rate berada di warna kuning range IR 5 sampai 10/10.000 penduduk, Kecamatan Medan Barat berada pada warna biru range IR 11 sampai 16/10.000 penduduk, Kecamatan Medan Tuntungan berada pada warna merah dengan range IR 16 sampai 37/10.000 penduduk.

2.2 Vektor Penularan DBD Vektor utama penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah nyamuk Ae.

  

Aegypti . Ae. aegypti merupakan vektor epidemi yang paling penting sementara

  spesies lain seperti Aedes albopictus, Aedes polynesiensis anggota kelompok Aedes dan Aedes (Finlaya) nives juga merupakan sebagai vektor sekunder.

  scutellaris

  Semua spesies tersebut kecuali Ae. aegypti memiliki wilayah penyebarannya sendiri yang ditimbulkannya tidak separah yang diakibatkan oleh Ae. aegypti (WHO, 2005).

  2.2.1 Karakteristik Nyamuk Aedes aegypti a.

  Sayap dan badannya belang-belang atau bergaris-garis putih, b. Berkembangbiak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi, WC, tempayan drum, barang-barang penampung air seperti kaleng, ban bekas, pot tanaman air, tempat minum burung dan lain-lain, c. Jarak terbang ± 100 meter, d. Nyamuk betina bersifat ‘multiple biters‘ (menggigit beberapa orang karena sebelum nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat), e.

  Tahan dalam suhu panas dan kelembaban tinggi (Widoyono, 2008).

  2.2.2 Taksonomi dan Morfologi

2.2.2.1 Taksonomi

  Menurut Richard dan Davis (1977) dalam Soegijanto (2006), kedudukan nyamuk Ae. aegypti dalam klasifikasi animalia adalah sebagai berikut : Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Bangsa : Diptera Suku : Culicidae Marga : Aedes Jenis : Ae. aegypti L.

  1. Telur : berbentuk ellips atau oval memanjang, warna hitam, ukuran 0,5-0,8 mm, permukaan polygonal, tidak memiliki alat pelampung dan di letakkan satu persatu pada benda-benda yang terapung atau pada dinding bagian dalam tempat penampungan air yang berbatasan langsung dengan permukaan air. Seekor nyamuk betina meletakkan rata-rata 100 butir tiap kali bertelur (Sutanto dkk, 2008).

  2. Larva : tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan bulu-bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami empat kali pergantian kulit (ecdysis) dan larva yang terbentuk berturut-turut disebut larva instar I, II, III dan IV. Larva instar I tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada thorax belum begitu jelas dan corong pernafasan belum menghitam. Larva instar II bertambah besar, ukuran 2,5-3,9 mm, duri dada belum jelas dan corong pernafasan sudah berwarna hitam. Larva instar IV telah lengkap struktur anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax) dan perut (abdomen) (Soegijanto, 2006).

  3. Pupa : bentuknya bengkok dengan bagian kepala-dada (chepalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya sehingga tampak seperti tanda baca “koma“. Pada bagian punggung (dorsal) dada terdapat alat bernafas seperti trompet. Pupa adalah masa istirahat atau periode tidak aktif pada semua insecta

  holometabola (metamorphosis sempurna), tampak gerakannya lebih lincah bila permukaan air. Menetas dalam 1-2 hari menjadi nyamuk.

4. Dewasa/imago : tubuhnya tersusun dari tiga bagian yaitu kepala, dada dan perut.

  Terdapat tiga pasang tungkai pada toraks, terdapat sayap pada toraks (1-2 pasang) atau tidak ada, memiliki sepasang antena, memiliki mata majemuk dan atau mata tunggal, respirasi melalui stigma atau spirakel, organ reproduksinya terdapat pada ujung abdomen, alat mulut terdiri atas satu pasang mandible (rahang), satu pasang

  

maksila , sebuah labrum (bibir atas) dan labium/bibir bawah (Sembel, D.T.,2009).

  Alat mulut nyamuk betina tipe penusuk-penghisap (pierching-sucking) dan lebih menyukai manusia (anthropophagus) sedangkan nyamuk jantan bagian mulut lebih lemah sehingga tidak mampu menembus kulit manusia karena itu tergolong lebih menyukai cairan tumbuhan /phytophagus (Soegijanto, 2006). Pertumbuhan dari telur sampai menjadi dewasa memerlukan waktu sekitar 9 hari (Sutanto, 2008).

2.2.3 Siklus Hidup Nyamuk

  Menurut Achmadi (2011), pada dasarnya siklus hidup nyamuk berawal dari peletakan telur oleh nyamuk betina. Dari telur muncul fase kehidupan air yang masih belum matang disebut larva yang berkembang melalui empat tahap kemudian bertambah ukuran hingga mencapai pupa nyamuk dewasa membentuk diri sebagai betina atau jantan dan tahap nyamuk dewasa muncul dari pecahan dibelakang kulit pupa. Nyamuk dewasa makan, kawin dan nyamuk betina memproduksi telur untuk melengkapi siklus dan memulai generasi baru. Beberapa spesies nyamuk hanya satu dengan kondisi iklim yang menguntungkan. Mereka sangat bergantung pada iklim dari kondisi lingkungan lokal terutama suhu dan curah hujan.

  Menurut Wijaya (2010) pada awal dan akhir musim penghujan, setelah hujan turun akan timbul genangan-genangan kecil air seperti ban-ban bekas, kaleng bekas,vas bunga bekas, bak yang sudah tidak terpakai lagi. Genangan-genangan air biasanya dimanfaatkan oleh nyamuk Ae.aegypti betina untuk meletakkan telur- telurnya. Telur Ae.aegypti yang belum sempat menetas pada musim penghujan sanggup bertahan terhadap kekeringan pada musim panas selama beberapa bulan.

  Pada awal musim penghujan telur-telur ini akan digenangi air kemudian menetas menjadi larva yang mengakibatkan peningkatan kasus Demam Berdarah Dengue sering terjadi pada awal musim penghujan.

  Suhu dapat mempengaruhi tingkat perkembangan dan ketahanan hidup parasit dan vector nyamuk (Zhuo et al, 2003). Suhu optimum dalam perkembangbiakan nyamuk berkisar 20-30

  C. Pada suhu hangat periode larva sekitar 4-7 hari dan di daerah tropis periode kepompong (pupa) sekitar 1-3 hari (Rozendal, 1997). Secara umum suhu yang lebih panas dengan kelembaban yang tinggi merupakan stimulus perluasan secara geografis dan musim bagi vector penyakit seperti insecta, tikus dan siput (Wawolumayo dan Irianto, 2004). Berikut gambar siklus hidup nyamuk Ae.

  aegypti :

Gambar 2.3. Siklus Hidup Nyamuk Ae. aegypti (Soegijanto, 2006)

  2.2.4 Etiologi

  Menurut Sembel (2009) yang mengutip dari Harwood dan James (1979), Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh salah satu dari empat antigen yang berbeda tetapi sangat dekat satu dengan yang lain yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4 dari genus Flavivirus. Keempat serotipe virus dapat ditemukan diberbagai daerah di Indonesia. Serotipe Den-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak menunjukkan manifestasi klinik yang berat.

  2.2.5 Manifestasi Klinis DBD

  Masa inkubasi dengue pada manusia sekitar 4-5 hari. Gejala keluhan awal

  

dengue tidak spesifik berlangsung sekitar 1-5 hari berupa demam ringan, sakit kepala

  dan malaise. Demam yang terjadi berlangsung secara mendadak kemudian dalam waktu 2-7 hari menuju suhu normal. Bersamaan dengan berlangsungnya demam gejala klinik yang tidak spesifik misalnya anoreksia, nyeri punggung, nyeri tulang dan sendi, rasa lemah dan nyeri kepala dapat menyertainya (Soedarto, 2003). tinggi, fenomena hemorragis, sering hepatomegali dan kegagalan sirkulasi.

  

Trombositopenia sedang sampai nyata dengan hemokonsentrasi secara bersamaan

  adalah temuan laboratorium klinis khusus dari DHF (WHO, 1999). Walaupun umurnya pendek yaitu kira-kira 10 hari Ae. aegypti dapat menularkan virus dengue yang masa inkubasinya 3-10 hari (Sutanto, 2008).

2.2.6 Gejala Demam Berdarah Dengue

  Menurut Sembel (2009) mengemukakan gejala-gejala fase akut Demam Berdarah Dengue sebagai berikut : a.

  Gejala awal : demam, sakit kepala, gatal-gatal pada otot, gatal-gatal pada persendian, rasa tidak enak badan (malaise), kehilangan nafsu makan, muntah- muntah.

  b.

  Gejala fase akut : status seperti terguncang (shock-like state) berkeringat banyak (diaphoretic), keringat basah. Ketidaktenangan (restlessness) yang diikuti dengan gejala yang lebih parah, bintik-bintik darah pada permukaan kulit (petechiae), bintik-bintik darah di bawah kulit (ecchymosis), ruam (rash).

  Menurut WHO (1995), tanda dan gejala klinis DBD adalah sebagai berikut : a. Gejala klinis : demam tinggi mendadak yang berlangsung 2-7 hari, manifestasi perdarahan (uji tourniquet, perdarahan spontan berbentuk peteke, purpura,

  

ekimosis , epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena), hepatomegali,

  renjatan, nadi cepat dan lemah, tekanan darah menurun, nadi tidak teraba, kulit dingin dan anak gelisah. Laboratorium : Trombositopeni (< 100.000 sel/ml), hemokonsentrasi (kenaikan Ht 20% dibandingkan fase konvalesen).

  Menurut WHO (1995) Demam Berdarah Dengue/Dengue Hemorrhagic Fever diklasifikasikan menjadi empat tingkatan keparahan dimana derajat III dan IV dianggap Sindrom Syok Dengue (DSS). Adanya trombositopenia dengan disertai hemokonsentrasi membedakan derajat I dan II dari DHF dan DF (Dengue Fever).

  Derajat I : Demam disertai dengan gejala konstitusional non spesifik, satu- satunya manifestasi perdarahan adalah tes tourniquet positif dan/atau mudah memar. Derajat II : Perdarahan spontan selain manifestasi pasien pada Derajat I, biasanya pada bentuk perdarahan kulit atau perdarahan lain.

  Derajat III : Gagal sirkulasi dimanifestasikan dengan nadi cepat dan lemah serta penyempitan tekanan nadi atau hipotensi dengan adanya kulit dingin dan lembab serta gelisah. Derajat IV : Syok hebat dengan tekanan darah atau nadi tidak terukur.

2.2.7 Mekanisme Penularan Virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Ae.aegypti.

  Sewaktu menggigit untuk menghisap darah virus berkembangbiak di dalam kelenjar liur dipangkal belalai nyamuk. Virus hidup dan berkembang subur di dalam darah manusia. Keadaan ini disebut viremia yaitu berkembang virus di dalam darah (Yatim, 2007).

  Virus kemudian berkembang di dalam nyamuk selama periode 8-10 hari sebelum ini dapat ditularkan ke manusia lain selama menggigit atau menghisap darah kondisi lingkungan sekitarnya (WHO, 1999). Sebagai reaksi tubuh melawan benda asing didalam tubuh timbul panas badan yang secara alami maksudnya untuk melebarkan lumen pembuluh darah untuk mempercepat aliran darah hingga zat penangkal yang secara normal ada di dalam darah bisa segera memusnahkan benda asing tersebut (Yatim, 2007).

  Menurut Soegijanto (2006), virus ditularkan ke manusia melalui kelenjar

  

saliva nyamuk kemudian virus bereplikasi dalam organ target, virus menginfeksi sel

  darah putih dan jaringan limfatik, virus dilepaskan dan bersikulasi dalam darah manusia, virus yang ada dalam darah tertelan nyamuk kedua virus bereplikasi atau melipatgandakan diri dalam perut nyamuk lainnya menginfeksi kelenjar saliva dan virus bereplikasi dalam kelenjar saliva. Berikut bagan kejadian infeksi virus dengue (Gambar 2.4) :

Gambar 2.4. Bagan Kejadian Infeksi Virus Dengue (Soegijanto, 2006)

  

dengue masuk ke dalam tubuh nyamuk, virus berkembangbiak dan menyebar ke

  seluruh tubuh bagian nyamuk dan sebagian besar berada di kelenjar liur. Selanjutnya waktu nyamuk menggigit orang lain air liur bersama virus dengue dilepaskan terlebih dahulu agar darah yang dihisap tidak membeku dan pada saat inilah virus dengue ditularkan ke orang lain. Di dalam tubuh manusia virus berkembangbiak dalam system retikuloendotelial dengan target utama virus dengue adalah APC (antigen

  

presenting cells ) dimana pada umumnya berupa monosit atau makrofag jaringan

  seperti sel Kupffer dari hepar dapat juga terkena. Viremia timbul pada saat menjelang gejala klinis tampak hingga 5-7 hari setelahnya. Virus bersikulasi dalam darah perifer di dalam sel monosit/makrofag, sel limfosit B dan sel limfosit T. Manifestasi klinis infeksi virus dengue tergantung pada berbagai faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh penderita. Terdapat berbagai keadaan mulai dari tanpa gejala (asimtomatis), demam dengue, demam berdarah dengue dan sindrom syok dengue (Soegijanto, 2006 ). Berikut bagan spektrum klinis infeksi virus dengue (Gambar 2.5):

Gambar 2.5. Bagan Spektrum Demam Berdarah Dengue (WHO, 2005)

2.2.8 Patogenesis dan Patofisiologi

2.2.8.1 Patogenesis

  Infeksi virus terjadi melalui gigitan nyamuk, virus memasuki aliran darah manusia untuk kemudian bereplikasi (memperbanyak diri). Sebagai perlawanan tubuh akan membentuk antibodi selanjutnya akan terbentuk kompleks virus-antibodi dengan virus yang berfungsi sebagai antigennya. Kompleks antigen-antibodi tersebut akan melepaskan zat-zat yang merusak sel-sel pembuluh darah yang disebut dengan proses autoimun. Proses tersebut menyebabkan permeabilitas kapiler meningkat yang salah satunya ditunjukkan dengan melebarnya pori-pori pembuluh darah kapiler. Hal eritrosit. Akibatnya tubuh akan mengalami perdarahan mulai dari bercak sampai perdarahan hebat pada kulit, saluran pencernaan (muntah darah, berak darah), saluran pernafasan (mimisan, batuk darah) dan organ vital (jantung, hati, ginjal) yang sering mengakibatkan kematian (Widoyono, 2008).

2.2.8.2 Patofisiologi

  Menurut WHO (2004), Patofisiologi Demam Berdarah Dengue ada dua perubahan yang terjadi yaitu : a.

  Meningkatnya permeabilitas pembuluh darah mengakibatkan kebocoran plasma,

  

hipovolemia dan syok. Demam Berdarah Dengue memiliki ciri yang unik karena

  kebocoran plasma khusus ke arah rongga pleura dan peritoneum selain itu periode kebocoran cukup singkat (24-48 jam).

  b.

  Hemostasis abnormal terjadi akibat vaskulopati, trombositopenia sehingga terjadi berbagai jenis manifestasi perdarahan.

  2.2.9 Gambaran Klinis

  Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas tiga fase yaitu fase febris, fase kritis dan fase pemulihan.

  a.

  Fase Febris : demam mendadak tinggi 2-7 hari, disertai muka kemerahan,

  eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Pada

  beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, infeksi faring dan konjungtiva,

  anoreksia , mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda

  perdarahan seperti petekie, perdarahan mukosa walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal. Fase Kritis : terjadi pada hari 3-7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang biasanya berlangsung selama 24-48 jam. Kebocoran plasma sering didahului oleh lekopeni progresif disertai penurunan hitung trombosit.

  Pada fase ini dapat terjadi syok.

  c.

  Fase Pemulihan : bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48-72 jam setelahnya.

  Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik stabil dan diuresis membaik (Sudjana, 2010).

2.2.10 Penatalaksanaan Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.

  Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen bilamana diperlukan (Chen dkk, 2009 ). Pengobatan yang spesifik untuk DBD tidak ada karena obat terhadap virus

  

dengue belum ada. Oleh karena itu prinsip dasar pengobatan penderita DBD adalah

penggantian cairan tubuh yang hilang karena kebocoran plasma (Depkes, 2005).

  Menurut Soedarto (2007), sampai saat ini untuk virus dengue tidak ada obat yang spesifik untuk memberantasnya. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi akibat perdarahan atau syok dan untuk meningkatkan daya tahan tubuh penderita serta terapi

  

simtomatis untuk mengurangi gejala dan keluhan penderita. Menurut Soegijanto

  (2006) penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue yang disertai syok yang mengidap penyulit perdarahan, sepsis yang dimungkinkan untuk dapat ditolong dengan temuan generasi baru yang masih dapat mengatasi resistensi kuman. Penatalaksanaan kasus DBD yang memungkinkan untuk berobat jalan dan kasus DBD yang dianjurkan rawat tinggal yaitu kasus DBD derajat I dan II. Sedangkan kasus DBD derajat III dan

  IV merupakan kasus DBD dengan penyulit.

2.2.11 Pengendalian Vektor DBD

  Menurut Sukowati (2010), Vaksin untuk pencegahan terhadap infeksi virus dan obat untuk penyakit Demam Berdarah (DB)/DBD belum ada dan masih dalam proses penelitian sehingga pengendaliannya terutama ditujukan untuk memutus rantai penularan yaitu dengan pengendalian vektornya. Beberapa metode pengendalian vektor di tingkat pusat dan di daerah adalah :

  1) Manajemen Lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan untuk mengurangi bahkan menghilangkan habitat perkembangbiakan nyamuk vektor sehingga akan mengurangi kepadatan populasi.

  2) Pengendalian Biologis merupakan upaya pemanfaatan agen biologi untuk pengendalian vektor DBD. Beberapa agen biologis tersebut adalah dari kelompok bakteri yang mengandung endotoksin dan mampu membunuh larva adalah Bacillus thuringiensis serotipe H 14 (Bt.H-14) dan Bacillus sphaericus (Bs), predator seperti ikan pemakan jentik (ikan kepala timah, ikan cupang) dan cylop (Copepoda).

  3) Pengendalian Kimiawi yaitu pengunaan insektisida yaitu malathion, Permethrin, Lambdacyhalothrin dan Pirimiphos methyl.

  Partisipasi Masyarakat merupakan proses panjang dan memerlukan ketekunan, kesabaran dan upaya dalam memberikan pemahaman dan motivasi kepada individu, kelompok, masyarakat bahkan pejabat secara berkesinambungan. Program yang melibatkan masyarakat adalah melakukan 3 M Plus atau Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). 5)

  Perlindungan Individu untuk melindungi pribadi dari risiko penularan virus DBD dengan menggunakan repellent, pakaian yang mengurangi gigitan nyamuk, baju lengan panjang, memasang kelambu saat tidur, memasang kawat kasa. Insektisida rumah tangga seperti semprotan aerosol dan repellent (obat nyamuk bakar) dan repellent oles.

  6) Peraturan Perundangan diperlukan untuk memberikan payung hukum dan melindungi masyarakat dari risiko penularan DB/DBD. Seluruh Negara mempunyai undang-undang tentang pengawasan penyakit yang berpotensi wabah seperti DBD dengan memberikan kewenangan kepada petugas kesehatan untuk mengambil tindakan atau kebijakan untuk mengendalikannya (Sukowati, 2010).

2.3 Ekologi Vektor

  Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara organisme dengan habitat lingkungannya (Setiono, dkk, 2007). Penyakit DBD melibatkan tiga organisme yaitu virus dengue, nyamuk Ae. aegypti dan host manusia. Untuk memahami penyakit yang ditularkan vektor dan untuk pengendalian penyakit virus, nyamuk Ae. aegypti, manusia, lingkungan fisik dan lingkungan biologi (Depkes, 2007).

  a.

  Virus dengue. Virus ini termasuk dalam genus Flavivirus dari family Flaviviridae terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4.

  b.

  Nyamuk Ae. aegypti merupakan vektor yang menularkan virus dengue melalui gigitan nyamuk dari orang sakit ke orang sehat.

  c.

  Manusia merupakan sebaran inang (organisme dimanahidup dan mendapatkan makanan) untuk penyakit DBD.

  d.

  Lingkungan fisik meliputi : 1)

  Tempat Penampungan Air (TPA) baik di dalam maupun di luar rumah sebagai tempat perindukan nyamuk Ae. aegypti.

  2) Ketinggian tempat, dengan ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut tidak ditemukan nyamuk Ae. aegypti.

  3) Curah hujan menambah genangan air sebagai tempat perindukan dan kelembaban udara terutama untuk daerah pantai.

  4) Kecepatan angin juga mempengaruhi pelaksanaan pemberantasan vektor dengan cara fogging.

  5) Suhu udara mempengaruhi perkembangan virus di dalam tubuh nyamuk (Depkes, 2007).

  WHO (2005), virus dengue menginfeksi manusia dan beberapa spesies primata yang lebih rendah. Manusia merupakan reservoir utama virus di wilayah perkotaan. Penelitian yang dilakukan di Malaysia dan Afrika menunjukkan bahwa bangsa kera juga dapat terinfeksi dan kemungkinan merupakan penjamu reservoir walaupun signifikansi epidemiologi dan observasi tersebut tetap dibuktikan. Strain virus dengue dapat tumbuh dengan baik pada kultur jaringan insecta dan sel mamalia setelah diadaptasikan.

2.3.2 Faktor lingkungan

  Lingkungan adalah kondisi atau faktor yang berpengaruh yang bukan bagian dari agen maupun penjamu tetapi mampu menginfeksi agen penjamu. Lingkungan dalam penelitian ini meliputi lingkungan fisik (curah hujan, kecepatan angin, kelembaban dan temperatur/suhu udara). Kualitas dan kuantitas berbagai komponen lingkungan yang utamanya berperan sebagai faktor yang menentukan terjadinya atau tidak terjadinya transmisi agen ke host (Soemirat, 2005).

2.4 Bionomik Vektor

  Bionomik adalah ilmu biologi yang menerangkan hubungan organisme dengan lingkungannya. Bionomik nyamuk meliputi perilaku bertelur, larva, pupa dan dewasa. Misalnya perilaku menggigit, tempat dan waktu kapan bertelur, perilaku perkawinan. Iklim dalam hal ini berperan besar dalam menentukan bionomik nyamuk (Achmadi,2008). Perilaku Makan Menurut Sutanto (2008), Ae. aegypti sangat antropofilik (menghisap darah manusia), walaupun ia bisa makan dari hewan (zoofilik). Menurut Achmadi (2011), nyamuk betina membutuhkan protein untuk memproduksi telur yang didapatkannya dari darah. Nyamuk tertarik pada host berdasarkan faktor- faktor yang berbeda. Semakin hangat suhu dan semakin tinggi kelembaban sekitar host ditambah dengan gerakan host dan perbedaan warna disekitar mereka akan lebih mempermudah nyamuk untuk mendekati host dan menghisap darahnya demi kelangsungan keturunannya. Sumber darah secara epidemiologis adalah penting karena beberapa mikroorganisme patogen dan parasit yang menyebabkan penyakit dihubungkan dengan host tertentu.

  Nyamuk yang mencari makan pada burung dan/atau host mamalia dan juga pada manusia disebut perilaku mencari makan oportunistik.

  Menurut Sutanto (2008), sebagai hewan nocturnal (kebiasaan yang aktif pada malam hari) nyamuk betina memiliki dua periode aktivitas menggigit, pertama di pagi hari (diurnal) selama beberapa jam setelah matahari terbit dan sore hari selama beberapa jam sebelum gelap. Ae. aegypti biasanya tidak menggigit di malam hari tetapi akan menggigit saat malam di kamar yang terang. Kebiasaan menggigit Ae. aegypti pada pagi hari hingga sore yaitu pukul 08.00 - 10.00 dan pukul 15.00 -17.00. Lebih banyak menggigit di dalam rumah daripada di luar rumah. Perilaku Istirahat

  

Ae. aegypti suka beristirahat di tempat yang gelap, lembap dan tersembunyi

  dalam rumah atau bangunan termasuk kamar tidur, kamar mandi, kamar kecil maupun di dapur (Achmadi, 2008). Tempat istirahat nyamuk ada yang memilih di dalam rumah (endofilik) yaitu dinding rumah, adapula yang memilih di luar rumah (eksofilik) yaitu tanaman, kandang binatang, tempat- tempat dekat tanah atau tempat-tempat yang agak tinggi (Sutanto, 2008). 3)

  Jarak Terbang Menurut Achmadi (2011), Nyamuk betina dari berbagai spesies dapat terbang tidak lebih dari 100 meter dari habitat larva, sementara yang lain bergerak dengan jarak 1-5 km, seperti Oc. Vigilax nyamuk yang umum ditemukan pada pesisir rawa asin dapat terbang melebihi 50 km, nyamuk Culex annulirostris dapat terbang 5-10 km. Sutanto (2008), Penyebaran nyamuk Ae. aegypti betina dewasa dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk ketersediaan tempat bertelur dan darah tetapi tampaknya terbatas sampai jarak 100 meter dari lokasi kemunculan. Nyamuk betina mempunyai jarak terbang lebih jauh daripada nyamuk jantan. 4)

  Lama Hidup Menurut Achmadi (2011), semakin tua nyamuk semakin penting dalam penyebaran penyakit. Nyamuk harus bertahan selama mungkin agar cukup bagi mikroorganisme yang dikandungnya cukup waktu untuk ditransmisikan. Ketika nyamuk ada kesempatan menggigit manusia atau hewan untuk kedua kali, maka transmisi akan terjadi. Masa inkubasi ini bervariasi tergantung dari nyamuk seperti suhu lingkungan. Lazimnya 1-2 minggu. Menurut WHO (2004) Nyamuk Ae. aegypti dewasa memiliki rerata lama hidup hanya 8 hari.

  Selama musim hujan saat masa bertahan hidup lebih panjang risiko penyebaran virus semakin besar. Menurut Sutanto (2008) umur nyamuk dewasa betina di alam bebas rerata 10 hari sedangkan di laboratorium mencapai dua bulan.

  5) Kepadatan Musiman

  Sebagian besar spesies nyamuk menunjukkan pola kepadatan musiman dengan fluktuasi yang dihubungkan dengan kondisi meteorologi. Banyak spesies yang bersifat musiman dengan puncak kepadatan nyamuk dewasa pertengahan musim panas dan tidak ada pada musim dingin sedangkan di Negara tropis bisa bersifat aktif sepanjang tahun. Faktor terpenting yang menentukan kepadatan populasi nyamuk dewasa adalah produksi larva seperti keberadaan habitat air dan makanan larva. Suhu dan kelembaban juga menguntungkan pertahanan hidup nyamuk dewasa untuk menjadi padat (Achmadi (2011). Nyamuk merupakan hewan berdarah dingin, proses metabolisme dan siklus hidupnya tergantung pada suhu lingkungan. Suhu rerata optimum untuk perkembangannya adalah 25-30 C dengan kelembaban rerata 60-80%. Pertumbuhan nyamuk akan terhenti bila suhu kurang dari 10 C dan lebih dari

  40 C. Toleransi terhadap suhu tergantung pada spesies nyamuk umumnya di atas 5-6 C batas dimana spesies secara normal dapat beradaptasi sepanjang tahun. Sebagian besar cenderung menghabiskan masa hidup pada kondisi yang berlawanan pada musim dingin atau selama musim kemarau dalam keadaan tidur atau istirahat (Achmadi, 2011). Menurut Michael (2006) yang dikutip oleh Achmadi (2010) bahwa perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan, suhu, kelembaban, arah udara sehingga berefek terhadap ekosistem daratan dan lautan serta berpengaruh terhadap kesehatan terutama terhadap perkembangbiakan vektor penyakit seperti nyamuk Aedes, malaria dan lainnya. Faktor perilaku dan partisipasi masyarakat yang masih kurang dalam kegiatan PSN serta faktor pertambahan jumlah penduduk dan faktor peningkatan mobilitas penduduk sejalan dengan semakin membaiknya transportasi menyebabkan penyebaran virus DBD semakin mudah dan semakin luas.

2.5 Nyamuk sebagai Vektor

  Saat nyamuk betina mencari mangsa untuk menghisap darah maka nyamuk tersebut dapat membawa dan mentransmisikan/menularkan mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit. Spesies nyamuk yang menghisap darah secara berkala/oportunitik pada manusia akan lebih besar kemungkinannya menjadi vektor penular penyakit. Insecta tersebut harus dapat terinfeksi terlebih dahulu oleh mikroorganisme patogen dan kemudian hidup dalam waktu yang cukup lama untuk menularkannya (Achmadi, 2011). a) Umur nyamuk atau longevity, nyamuk betina berumur rerata 10 hari, waktu itu cukup bagi nyamuk untuk makan, bagi virus cukup untuk berkembangbiak dan selanjutnya menyebarkan virus ke manusia lain.

  b) Peluang kontak dengan manusia.

  c) Frekuensi menggigit seekor nyamuk. Nyamuk mempunyai kebiasaan menggigit berulang (multiple biters) yaitu menggigit beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat (Soedarmo, 2009).

  d) Keberadaan manusia di sekitar nyamuk.

  e) Kepadatan nyamuk. Umur nyamuk serta pertumbuhan dipengaruhi suhu. Suhu lingkungan dianggap kondusif berkisar antara 25-30 C dan kelembaban 60-

  80% (Bruce dalam Susanna 2005). Kalau populasi nyamuk terlalu banyak sedangkan ketersediaan pakan misalnya populasi binatang atau manusia di sekitar tidak ada maka kepadatan nyamuk akan merugikan populasi nyamuk itu sendiri. Sebaliknya bila pada satu wilayah cukup padat maka akan meningkatkan kapasitas vektorial yakni kemungkinan tertular akan lebih besar (Achmadi, 2008).

  f) Lingkungan. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan vektor adalah abiotik dan biotik. Faktor abiotik meliputi iklim yaitu curah hujan, suhu, kelembaban dan evaporasi dapat mempengaruhi kegagalan telur, larva dan pupa nyamuk menjadi imago. Demikian juga faktor biotik seperti predator, parasit dan makanan yang berinteraksi dalam kontainer sebagai habitat akuatiknya pradewasa sangat berpengaruh terhadap keberhasilannya pendeknya masa inkubasi ekstrinsik. Kelembaban udara yang rendah akan memperpendek umur nyamuk. Hujan yang diselingi panas semakin besar kemungkinan perkembangbiakannya sedangkan pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda (Achmadi, 2008).

2.7 Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan Ae. aegypti

  Nyamuk berasal dari kategori insecta yang dikenal sebagai Ordo Diptera atau hewan bersayap dua. Dalam diptera, seluruh nyamuk berasal dari kelompok Famili yang dikenal sebagai Culicidae yaitu dengan rentang karakter yang mirip dikelompokkan dalam Subfamili misalnya Culicinae dan Anophelinae, dengan Genus

  

Anopheles dalam subfamili Anophelinae dan Aedes, Culex dan Ochelerotatus pada

  subfamili Culicinae (MCAA, 2006 dalam Achmadi 2011). Menurut Sutanto dkk (2008) Nyamuk termasuk kelas insecta, ordo diptera dan famili culicidae.

  

Arthropoda mempunyai empat tanda morfologi yang jelas yaitu badan beruas-ruas,

umbai-umbai yang juga beruas-ruas, eksoskelet dan bentuk badan simetris bilateral.

  

Arthropoda memiliki sistem pencernaan, pernapasan (trakhea), saraf (otak dan

  ganglion), peredaran darah (terbuka) dan sistem reproduksi. Nyamuk adalah

  

arthropoda yang menyebabkan penyakit (parasit) pada manusia dan binatang

  penyebabnya terdiri atas berbagai macam parasit. Perkembangan nyamuk dialam dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar. Tinggi rendahnya faktor tersebut.

  1) Faktor dalam

  a) Kemampuan berkembangbiak dipengaruhi oleh keperidian (natalitas) yaitu besarnya kemampuan suatu jenis insecta untuk melahirkan keturunan baru. Sedangkan fekunditas adalah kemampuan yang dimiliki oleh insecta betina untuk memproduksi telur.

  b) Perbandingan kelamin pada umumnya 1:1, akan tetapi karena pengaruh tertentu baik faktor dalam maupun faktor luar seperti keadaan musim dan kepadatan populasi maka perbandingan kelamin ini dapat berubah.

  c) Sifat mempertahankan diri. Untuk mempertahankan hidup insecta memiliki alat/kemampuan untuk mempertahankan dan melindungi dirinya dari serangan musuh.

  d) Siklus hidup merupakan suatu rangkaian berbagai stadia yang terjadi pada seekor insecta selama pertumbuhannya sejak menjadi telur sampai menjadi dewasa (imago).

e) Umur imago umumnya memiliki umur yang pendek. Misalnya Ae.

  aegypti memiliki umur sepuluh hari.

  2) Faktor luar (faktor fisik, faktor makanan dan faktor hayati)

  a) Faktor fisik : suhu dan kisaran suhu. Pada umumnya kisaran suhu yang efektif adalah suhu minimum 15

  C, suhu optimum 25 C dan suhu merupakan suhu ideal bagi kehidupan nyamuk. Diperkirakan apabila suhu meningkat 3 C maka akan terjadi proses penularan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk sebanyak dua kali lipat (Achmadi, 2011).

  b) Kelembaban/hujan. Kelembaban yang dimaksud adalah kelembaban tanah, udara dan tempat hidup insecta dimana merupakan faktor penting yang mempengaruhi distribusi dan perkembangan insecta.

  c) Cahaya/warna/bau. Beberapa aktivitas insecta dipengaruhi oleh responnya terhadap cahaya sehingga timbul jenis insecta yang aktif pada pagi, siang, sore atau malam hari. Cahaya matahari dapat mempengaruhi aktivitas dan distribusi lokalnya.

  d) Angin berperan dalam membantu penyebaran insecta terutama insecta yang berukuran kecil. Selain itu angin juga mempengaruhi kandungan air dalam tubuh insecta karena angin mempercepat penguapan dan penyebaran udara (Jumar, 2000).

2.8 Iklim Lingkungan

2.8.1 Definisi

  Iklim adalah rerata keadaan cuaca dalam jangka waktu yang cukup lama minimal 30 tahun yang sifatnya menetap. Iklim merupakan kebiasaan alam yang digerakkan oleh gabungan beberapa unsur yaitu radiasi matahari/lama penyinaran, temperatur/suhu udara, kelembaban, awan, presipasi/hujan, evaporasi/penguapan, tekanan udara dan angin (Kartasapoetra, 2008 ). Iklim adalah rerata cuaca pada suatu wilayah tertentu. Rerata cuaca meliputi semua gambaran yang berhubungan dengan suhu, pola angin, curah hujan yang terjadi di permukaan bumi. Cuaca lebih menggambarkan variasi beberapa kondisi variabel secara harian seperti cuaca cerah, mendung, panas dan lain-lain. Sedangkan musim merupakan kondisi harian dalam kurun waktu tertentu misalnya musim kemarau, musim hujan, musim peralihan dan semuanya ini disebut iklim.

  Iklim di Sumatera Utara termasuk iklim tropis yang dipengaruhi oleh angin Passat dan angin Muson. Ketinggian permukaan daratan Propinsi Sumatera Utara sangat bervariasi, sebagian daerahnya datar hanya beberapa meter dari permukaan laut beriklim cukup panas bisa mencapai 33,9 C sebagian daerah berbukit dengan kemiringan yang landai, beriklim sedang dan sebagian lagi berada pada daerah ketinggian yang suhu minimalnya bisa mencapai 13,4

  C. Kelembaban udara rata-rata 78%-91%, curah hujan 800-4000 mm/tahun dan penyinaran matahari 43%. Propinsi Sumatera Utara memiliki musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Juni sampai dengan September dan musim penghujan biasanya terjadi pada bulan November sampai dengan bulan Maret, diantara kedua musim itu diselingi oleh musim pancaroba (BLH Propinsi Sumatera Utara, 2010).

  Menurut Koesmaryono (1999) dalam Fitriyani (2007) iklim dan cuaca memiliki peranan penting secara langsung maupun tidak langsung terhadap penyebaran, pemencaran, kelimpahan dan perilaku serangga. Ae. aegypti termasuk kedalam jenis serangga sehingga iklim dan cuaca juga berpengaruh terhadap semakin panas maka mengakibatkan makin cepatnya perkembangbiakan nyamuk, pendeknya masa kematangan parasit dalam nyamuk, angka gigitan (biting rate) rerata juga meningkat dan meningkatnya kegiatan reproduksi nyamuk.

2.8.2 Unsur Iklim

  Menurut Kartasapoetra (2008) unsur-unsur iklim adalah sebagai berikut : a. Curah hujan

  Merupakan salah satu bentuk presipitasi uap air yang berasal dari awan yang terdapat di atmosfer. Bentuk presipitasi lainnya adalah salju dan es. Agar terjadinya hujan diperlukan titik-titik kondensasi, amoniak, debu dan asam belerang. Curah hujan 1 mm artinya air hujan yang jatuh setelah 1 mm tidak mengalir, tidak meresap dan tidak menguap. Hari hujan artinya suatu hari dimana curah hujan kurang dari 0,5 mm per hari. Intensifikasi hujan artinya banyaknya curah hujan per satuan jangka waktu tertentu. Apabila intensitasnya besar berarti hujan lebat dapat mengakibatkan banjir (Kartasapoetra, 2008). Indeks Curah Hujan (ICH) tidak secara langsung mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk, tetapi berpengaruh terhadap curah hujan ideal. Curah hujan ideal artinya air hujan tidak sampai menimbulkan banjir dan air menggenang di suatu wadah/media yang menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk yang aman dan relatif masih bersih (misalnya cekungan dipagar bambu, pepohonan, kaleng bekas, atap atau talang rumah).

  Tersedianya air dalam media menyebabkan telur nyamuk menetas dan setelah merupakan salah satu variabel meteorologi yang dapat digunakan sebagai

  

early warming “ pengendalian nyamuk. Curah hujan memiliki pengaruh yang

lebih signifikan (Prihatnolo,2009).

  Menurut Achmadi (2010) bahwa faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian DBD di Kalimantan Timur (2005-2009) kemungkinan karena curah hujan yang tinggi sepanjang tahun dan adanya lingkungan biologi yang menyebabkan nyamuk lebih mudah berkembangbiak. Berdasarkan pengamatan terhadap ICH yang dihubungkan dengan kenaikan jumlah kasus DBD maka pada daerah dengan ICH tinggi perlu kewaspadaan sepanjang tahun sedangkan daerah yang terdapat musim kemarau maka kewaspadaan terhadap DBD dimulai saat masuk musim hujan.

  b.

  Kelembaban (humiditas) udara adalah banyaknya kadar uap air yang ada di udara. Besarnya kelembaban suatu daerah merupakan faktor yang dapat menstimulasi curah hujan. Di Indonesia kelembaban udara tertinggi dicapai pada musim hujan dan terendah pada musim kemarau. Besarnya kelembaban disuatu tempat pada musim erat hubungannya dengan perkembangan organisme (Guslim, 2007). Kelembaban dan curah hujan merupakan faktor penting yang mempengaruhi penyebaran aktivitas dan perkembangan insecta. Pada kelembaban yang sesuai akan membuat insecta lebih tahan terhadap suhu ekstrim. Umumnya insecta lebih tahan terhadap kelebihan air bahkan beberapa insecta yang bukan insecta air dapat menyebar dengan cara hanyut terus menerus dapat berbahaya pada beberapa insecta. Kelembaban juga berpengaruh pada kemampuan bertelur dan pertumbuhan insecta (Jumar, 2000). Kelembaban mempengaruhi usia nyamuk, masa kawin, penyebaran, kebiasaan makan dan kecepatan virus bereplikasi. Pada kelembaban tinggi umumnya nyamuk hidup lebih lama dan cepat menyebar. Oleh karena itu, nyamuk mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk makan pada orang yang terinfeksi dan menularkan virusnya kepada orang lain (Promprou, 2005 dalam Adriyani, 2012). Nyamuk dapat bertahan pada kelembaban 60-80% (Rumbiak, 2006).

  c.

  Temperatur/suhu udara adalah derajat panas atau dingin yang diukur berdasarkan skala tertentu dengan menggunakan thermometer. Satuan suhu yang biasa digunakan adalah derajat celcius sedangkan di Inggris dan beberapa negara lainnya dinyatakan dalam derajat Fahrenheit (Kartasapoetra, 2008). Musim hujan dan musim kemarau memiliki pengaruh pada tingkat suhu lingkungan. Saat pergantian musim penghujan ke musim kemarau konsdisi suhu udara berkisar antara 23-31

  C, ini merupakan range suhu yang optimum untuk perkembangbiakan nyamuk (24-28 C). Perubahan iklim yang ditandai dengan peningkatan suhu rerata dapat mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk Ae.aegypti dengan memperpendek waktu yang diperlukan untuk berkembang dari fase telur menjadi nyamuk dewasa (Daryono, 2004). lingkungan berpengaruh terhadap masa inkubasi ekstrinsik nyamuk. Masa inkubasi ekstrinsik nyamuk dipengaruhi oleh suhu lingkungan, kelembaban, tingkat veremia pada manusia dan galur virus. Peningkatan suhu akan mempersingkat masa inkubasi ekstrinsik dan meningkatkan transmisi. Suhu yang meningkat sampai 34 C akan mempengaruhi suhu air pada tempat perindukan nyamuk yang selanjutnya berpengaruh terhadap penetasan telur menjadi larva secara lebih cepat (Chistophers, 1960 dalam Sintorini 2012). Suhu lingkungan dengan kelembaban yang tinggi di musim kemarau akan mempengaruhi bionomik nyamuk seperti perilaku menggigit, perilaku perkawinan, lama menetas telur nyamuk (Achmadi, 2008).

  d.

  Kecepatan angin merupakan gerakan atau perpindahan massa udara dari satu tempat ke tempat lain secara horizontal. Massa udara adalah udara dalam ukuran yang sangat besar yang mempunyai sifat fisik (temperatur dan kelembaban) yang seragam dari arah yang horizontal (Kartasapoetra, 2008).