1. Tipe Kateterisasi - ARISKA WIDIASTUTI BAB II
BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA A. Folley Chateter Kateter urine adalah selang yang dimasukan ke dalam kandung kemih
untuk mengalirkan urine. Kateter ini biasanya dimasukan melalui uretra ke dalam kandung kemih, namun metode lain yang disebut pendekatan suprapubic, dapat digunakan (Marrelli,2007,p.265). kateter memungkinkan mengalirnya urine yang berkelanjutan pada klien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau klien yang mengalami obstruksi. Kateter juga menjadi alat untuk mengkaji haluaran urine per jam pada klien yang status hemodinamiknya tidak stabil. Karena kateterisasi kandung kemih membawa resiko ISK dan trauma pada uretra, maka untuk mengumpulkan spesimen maupun menangani inkontinensia, lebih dipilih tindakan yang lain (Potter & Perry, 2006).
Kateterisasi membantu pasien dalam proses eliminasinya. Pemasangan kateter menggantikan kebiasaan normal dari pasien untuk berkemih.
Penggunaan kateter intermiten dalam waktu yang lama dapat menyebabkan pasien mengalami ketergantungan dalam berkemih (Craven dan Zweig, 2010).
1. Tipe Kateterisasi
Ada tiga macam kateter kandung kemih, yaitu kateter dengan selang pembuangan satu buah, dengan dua buah dan dengan tiga buah saluran pembuangan. Saluran pembuangan ini dinamakan lumen. Kateter dengan tiga lumen dengan sendirinya akan memiliki garis tengah ( jadi
11 lebih gemuk) yang lebih besar dibanding dengan kateter satu lumen. Kateter yang dipakai tergantung pada tujuan memakai kateter tersebut : kateter dengan satu lumen dipakai untuk tujuan satu kali, kateter dengan dua lumen adalah kateter yang ditinggal tetap disitu satu lumen dipakai sebagai saluran pembuangan urine, lumen yang lain dipakai dipakai untuk mengisi dan mengosongkan balon yang dipasang pada ujungnya. Balon ini diisi jika kateter dimasukan dengan cara yang tepat. Jumlah air destilasi tertentu, yang menyebabkan kateter tidak dapat tergeser dan tetap berada dalam kandung kemih. Baru setelah kateter akan dilepas, balon ini harus dikosongkan. Kateter dengan tiga lumen, terutama dipakai untuk tujuan membilas kandung kemih, disini satu lumen dipakai untuk memasukan cairan pembilas , satu sebagai saluran pembuangan cairan, dan satu untuk balon penampung (Smeltzer & Bare,2005).
Menurut Hegner dan Caldwell (2009), ada dua jenis kateter yang digunakan untuk mendrainase urin, yaitu : a.
Kateter French adalah selang berlubang. Biasanya terbuat dari karet yang lembut atau plastik. Kateter ini digunakan untuk mengeringkan kandung kemih dan tidak terus menerus berada di kandung kemih.
b.
Kateter folley mempunyai balon di sekeliling bagian lehernya. Balon ini diberi udara (air) setelah kateter masuk ke kandung kemih. Kateter ini juga dikenal sebagai kateter retensi atau indwelling.
Kateterisasi dapat menjadi tindakan yang menyelamatkan jiwa, khususnya bila traktus urinarius tersumbat atau pasien tidak mampu melakukan urinasi. Kateterisasi juga dapat digunakan dengan indikasi lain, yaitu : untuk menentukan perubahan jumlah urin sisa dalam kandung kemih setelah pasien buang air kecil, untuk memintas suatu obstruksi yang menyumbat aliran urine, untuk menghasilkan drainase pascaoperatif pada kandung kemih, daerah vagina atau prostat, atau menyediakan cara-cara untuk memantau pengeluaran urine setiap jam pada pasien yang sakit berat (Smeltzer & Bare, 2005).
2. Indikasi Penggunaan Kateter
Kateter diindikasikan untuk beberapa alasan. Pemasangan kateter dalam jangka waktu yang pendek akan menimbulkan infeksi, sehingga metode pemasangan kateter sementara adalah metode yang paling baik (Japardi, 2009).
a) Indikasi pada pemasangan kateter sementara :
1) Mengurangi ketidaknyamanan pada distensi kandung kemih. 2) Pengambilan urine residu setelah pengosongan kandung kemih.
b) Indikasi pada pemasangan kateter jangka pendek :
1) Obstruksi saluran kemih (pembesaran kelenjar prostat). 2)
Pembedahan untuk memperbaiki organ perkemihan seperti vesika urinaria, uretra dan organ sekitarnya.
3) Preventif pada obstruksi uretra dari perdarahan. 4) Untuk memantau output urine. 5) Irigasi vesika urinaria.
c) Indikasi pada pemasangan kateter jangka panjang :
1) Retensi urin pada penyembuhan penyakit ISK/UTI.
2) Skin rash, ulcer dan luka yang iriatif apabila kontak dengan urine
3) Klien dengan penyakit terminal 3.
Akibat yang Didapat Dari Pemasangan kateter
a) Iritasi ataupun trauma pada uretra
Penggunaan kateter yang ukuranya tidak tepat dapat mengiritasi uretra, sehingga kemungkinan terjadinya trauma pun meningkat. Selain itu, kurangnya penggunaan lubrikasi dapat melukai jaringan sekitar uretra pada saat penyisipan. Trauma pada jaringan uretra pun dapat terjadi apabila penyisipan letak kateter belum tepat pada saat balon retensi pada kateter dikembangkan. Fiksasi kateter yang kurang tepat dapat menambah gerakan yang menyebabkan regangan atau tarikan pada uretra atau yang membuat kateter terlepas tanpa sengaja. Manipulasi kateter paling sering menjadi penyebab kerusakan mukosa kandung kemih pada pasien yang mendapat kateterisasi (Brunner & Suddarth, 2007).
b) Krustasi pada kateter
Urine yang banyak mengandung urea yang memproduksi bakteri seperti Proteus mirabilis, yang meningkatkan Ph urine memicu terbentuknya krusta pada kateter. Lumen kateter tersumbat oleh kristal yang berasal dari campuran pH urine yang tinggi, bakteri dan ion kalsium maupun ion magnesium (Mandigan et all, 2006).
Pembentukan krusta yang berasal dari garam urine dapat menjadi sumber pembentukan batu. Asupan cairan yang bebas dan peningkatan haluaran urine harus dipastikan untuk mengirigasi kateter dan mengencerkan zat-zat dalam urine yang dapat membentuk krusta.
Pemakaian kateter silicon secara signifikan jarang menimbulkan pembentukan krusta (Brunner & Suddarth, 2006).
c) Terjadinya blocking (tersumbat, tidak mengalir dengan lancer)
Kerusakan pada kateter yang disebabkan oleh krusta yang menutupi area lumen kateter (Mandigan et all, 2006).
d) Terjadi kebocoran
Kateter yang pada bagian balon untuk memfiksasi kateter tidak terfiksasi dengan baik akan menyebabkan pengeluaran urine yang tidak tepat. Sehingga urine dapat merembes keluar tidak melalui selang kateter.
e) Resiko infeksi saluran kemih tinggi
Pemasangan kateter akan menurunkan sebagian besar daya tahan alami pada saluran kemih bagian bawah, mengiiritasi mukosa kandung kemih dan menimbulkan jalur artificial untuk masuknya kuman ke dalam kandung kemih. Banyak mikroorganisme ini merupakan bagian dari flora endogen atau flora usus normal, atau didapat melalui kontaminasi silang oleh pasien atau petugas rumah sakit maupun melalui kontak degan peralatan yang tidak steril (Brunner & Suddarth, 2006).
B. Nyeri
Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik secara ringan maupun berat karena terjadinya kerusakan jaringan (International
Association for the Study of Pain, 2011). Nyeri didefinisikan sebagai suatu
keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Nyeri merupakan faktor utama yang menghambat kemampuan dan keinginan individu untuk pulih dari suatu penyakit ( Potter& Perry,2005).
Definisi keperawatan menyatakan bahwa nyeri adalah sesuatu yang menyakitkan tubuh yang di ungkapkan secara subjektif oleh individu yang mengalaminya. Nyeri dianggap nyata meskipun tidak ada penyebab fisik atau sumber yang dapat diidentifikasi. Meskipun beberapa sensasi nyeri dihubungkan dengan status mental atau status psikologis, pasien secara nyata merasakan sensasi nyeri dalam banyak hal dan tidak hanya membayangkan saja. Kebanyakan sensasi nyeri adalah akibat dari stimulasi fisik dan mental atau stimulasi emosional (Potter & Perry, 2007). Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa nyeri adalah suatu pengalaman sensori yang tidak menyenangkan dan menyakitkan bagi tubuh sebagai respon karena adanya kerusakan atau trauma jaringan maupun gejolak psikologis yang diungkapkan secara subjektif oleh individu yang mengalaminya.
1. Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua yaitu nyeri akut dan nyeri kronik. Klasifikasi ini berdasarkan pada waktu atau terjadinya nyeri.
a.
Nyeri akut Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut dan berlangsung dalam waktu yang singkat, nyeri akut juga dapat dijelaskan sebagai suatu nyeri yang berlangsung dari beberapa detik atau kurang dari 6 bulan (Smltzer, 2009). Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivitas system saraf simpatis yang disertai dengan gejala-gejala peningkatan respirasi, peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, diaphoresis dan dilatasi pupil. Secara verbal klien yang mengalami nyeri akut juga biasanya akan memperlihatkan respon emosi dan perilaku seperti menangis, mengerang kesakitan dan mengerutkan wajah (Andarmoyo, 2013).
b.
Nyeri kronik Nyeri kronik adalah Nyeri yang menetap dalam suatu periode yang lama, biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan. Tanda-tanda yang muncul pada nyeri kronik berbeda dengan nyeri akut, dalam pemeriksaan tanda-tanda vital sering didapatkan masih dalam batas normal dan tidak disertai dengan dilatasi pupil. Manifestasi yang biasanya muncul berhubungan dengan respon psikososial seperti rasa keputusasaan, kelesuan, penurunan libido, penurunan berat badan, perilaku menarik diri, mudah tersinggung, marah dan tidak tertarik pada aktivitas fisik. Secara verbal klien akan melaporkan adanya ketidaknyamanan, kelemahan dan kelelahan (Andarmoyo, 2013).
Banyak faktor yang mempengaruhi nyeri diantaranya: lingkungan, umur dan kelelahan, riwayat nyeri sebelumnya, kepercayaan, budaya, pemecahan masalah pribadi, dan tersedianya orang-orang yang memberi dukungan. Nyeri dapat bertambah berat dengan adanya rangsangan dari lingkungan yang berlebihan. Misalnya : kebisingan, cahaya yang terlalu terang dan kesendirian. Kelelahan juga bisa menyebabkan nyeri itu meningkat sehingga banyak orang yang kelelahan kemudian tidur agar lebih tenang. Adanya orang memberikan dukungan seperti orang tua kepada anak-anaknya akan menimbulkan rasa nyaman dalam menghadapi nyeri (Priharjo, 2006).
2. Faktor – faktor yang mempengaruhi nyeri
Reaksi fisik seseorang terhadap nyeri meliputi perubahan neurologis yang spesifik dan sering dapat diperkirakan. Reaksi pasien terhadap nyeri dibentuk oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi mencakup usia, jenis kelamin, keragaman budaya, proses perkembangan, lingkungan dan faktor pendukung, riwayat nyeri sebelumnya, deskripsi nyeri, ansietas. Kemampuan untuk mentoleransi nyeri dapat menurun dengan pengulangan episode nyeri, kelemahan, marah, cemas dan gangguan tidur. Toleransi nyeri dapat ditingkatkan dengan obat-obatan, alkohol, hipnotis, kehangatan, distraksi dan praktek spiritual( Le Mone & Burke, 2008).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi reaksi nyeri tersebut antara lain : a.
Usia Usia merupakan hal yang terpenting dalam mempengaruhi nyeri pada individu. Anak kecil mempunyai kesulitan dalam memahami nyeri dan prosedur pengobatanya yang dapat menyebabkan nyeri. Anak kecil belum bisa mengungkapkan rasa nyeri yang dialami. Takut dalam tindakan keperawatan yang dialaminya (Potter & Perry, 2006).
Pada pasien lansia, perawat harus melakukan pengkajian lebih rinci ketika seseorang lansia melaporkan adanya nyeri. Seringkali lansia memiliki sumber nyeri lebih dari satu. Terkadang penyakit yang berbeda-beda yang diderita lansia menimbulkan gejala yang sama, sebagai contoh nyeri dada tidak selalu mengindikasikan serangan jantung. Nyeri dada dapat timbul karena gejala antritis pada spinal dan gangguan abdomen. Sebagai lansia terkadang pasrah terhadap hal yang dirasakan, menganggap bahwa hal tersebut merupakan konsekuensi penuaan yang tidak bisa dihindari (Nugroho, 2010).
b.
Jenis kelamin Secara umum perempuan dan laki-laki tidak berbeda secara signifikan dalam berespon terhadap nyeri. Hanya beberapa budaya yang menganggap bahwa seseorang anak laki-laki harus lebih berani dan tidak boleh menangis dibandingkan dengan anak perempuan dalam situasi yang sama ketika merasa nyeri. Akan tetapi dari penelitian memperlihatkan hormon seks pada mamalia berpengaruh terhadap tingkat tingkat toleransi terhadap nyeri. Hormon seks testosteron menaikan ambang nyeri pada percobaan binatang, sedangkan estrogen meningkatkan pengenalan/sensitivitas terhadap nyeri. Pada manusia lebih kompleks, dipengaruhi personal, social, budaya dan lain-lain (Nugroho,2010).
c.
Keragaman Budaya Faktor ini telah lama diketahui sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi reaksi dan ekspresiseseorang terhadap rasa nyeri yang dialami. Andrews dan Boyle tahun 1995 (dikutip dalam Kozier B dan Erb’s G, 2009) mengemukakan tentang hasil studi yang dilakukan menunjukan bahwa setiap kelompok budaya yang ada di dunia memiliki perbedaan dalam mempersepsikan nyeri.
d.
Proses perkembangan Usia pada respoden akan mempengaruhi reaksi maupun ekspresi dari individu terhadap rasa nyeri ( Kozier B dan Erb’s G, 2009).
Perbedaan usia pada responden anak-anak dan lansia akan bereaksi terhadap nyeri. Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan untuk mengungkapkan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau petugas kesehatan. Lansia yang mengalami nyeri perlu dilakukan pengkajian, diagnosis, dan implementasi secara intensif. Ebersole dan Hess (1994) dalam Potter & Perry (2006). Mengatakan individu yang berusia lanjut memiliki risiko tinggi mengalami situasi- situasi yang membuat mereka merasakan nyeri.
e.
Lingkungan dan Faktor Pendukung Kondisi lingkungan yang berbeda seperti Rumah Sakit, dapat merangsang bertambahnya rasa nyeri. Pasien yang tidak didampingi oleh keluarga sebagai pendukung dapat merasakan nyeri yang hebat, sebaliknya pasien yang memiliki keluarga sebagai pendukung di sekitarnya merasakan sedikit nyeri. Keluarga yang menjadi pemberi asuhan dapat menjadi pendukung yang penting untuk individu yang sedang merasakan sakit (Kozier B dan Erb’s G, 2009).
f.
Riwayat nyeri sebelumnya Riwayat nyeri yang sebelumnya terjadi pada pesien akan mempengaruhi kepekaan nyeri yang sekarang terjadi pasien. Nyeri yang terjadi pada pasien lain juga akan mempengaruhi terjadinya nyeri (Kozier B dan Erb’s G, 2009).
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri, pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang. Apabila individu sejak lama sering mengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh atau menderita nyeri yang berat maka ansietas atau bahkan rasa takut dapat muncul. Sebaliknya, apabila individu mengalami nyeri dengan jenis yang sama berulang-ulang tetapi kemudian nyeri tersebut berhasil dihilangkan, akan lebih mudah bagi individu tersebut untuk menginterpretasikan sensasi nyeri. Akibatnya, klien akan lebih siap untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan nyeri (Potter & Perry, 2006).
g.
Deskripsi nyeri Persiapan menghadapi nyeri yang terjadi pada pasien dengan sikap positif akan lebih memiliki hasil yang memuaskan. Sebaliknya jika dalam menghadapi nyeri yang terjadi dengan sikap negatif maka akan muncul persepsi bahwa nyeri tersebut merupakan ancaman bahkan memiliki persepsi nyeri sebagai awal dari kematian (Kozier B dan Erb’s G, 2009).
h.
Ansietas Meskipun pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan meningkatkan nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua keadaan. Riset tidak memperlihatkan suatu hubungan yang konsisten antara ansietas dan nyeri juga tidak memperlihatkan bahwa pelatihan pengurangan stress praoperatiif menurunkan nyeri saat pasca operatif. Namun, ansietas yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Ansietas yang tidak berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri. Secara umum, cara yang efektif untuk nyeri adalah dengan mengarahkan pengobatan nyeri ketimbang ansietas (Smeltzer & Bare,2007).
3. Fisiologi Nyeri
Saat terjadinya stimulus yang menimbulkan kerusakan jaringan hingga pengalaman emosional dan psikologis yang menyebabkan nyeri, terdapat rangkaian peristiwa elektrik dan kimiawi yang kompleks, yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi.
a.
Transduksi Proses dimana stimulus noksius diubah ke implus elektrikal pada ujung syaraf. Suatu stimulus kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung syaraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainya menyebabkan sistesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan dikeluarkanya zat-zat mediator nyeri seperti histamine, serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer.
b.
Transmisi Proses penyaluran implus melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana implus tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalicus dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi.
Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bernielin.
Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortex cerebri dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.
c.
Modulasi Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat
(medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesic endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan proses ascenden yang di kontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan implus nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri utuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang meyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang.
d.
Persepsi Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari sensorik.
Kozzier, dkk. (2009) mengatakan bahwa nyeri akan menyebabkan respon tubuh meliputi aspek psikologis, merangsang respon otonom (simpatis dan parasimpatis respon simpatis akibat nyeri seperti peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut nadi, peningkatan pernafasan, meningkatkan tegangan otot, dilatasi pupil, wajah pucat, diaphoresis, sedangkan respon parasimpatis seperti nyeri dalam, berat berakibat tekanan darah turun nadi turun, mual dan muntah, kelemahan, kelelahan, dan pucat.
Pada kasus nyeri yang parah dan serangan yang mendadak merupakan ancaman yang mempengaruhi manusia sebagai sitem terbuka untuk beradaptasi dari stressor yang mengancam dan menggap keseimbangan. Hipotalamus merespon terhadap stimulus nyeri dari reseptor perifer atau korteks serebral melalui system hipotalamus pituitary dan adrenal dengan mekanisme medulla adrenal hipofise untuk menekan fungsi yang tidak penting bagi kehidupan sehingga menyebabkan hilangnya situasi menegangkan dan mekanisme kortek adrenal hopfise untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit dan menyediakan energi kondisi emergency untuk mempercepat penyembuhan. Apabila mekanisme ini tidak berhasil mengatasi stressor (nyeri) dapat menimbulkan respon stress seperti turunya system imun pada peradangan dan menghambat penyembuhan dan jika makin parah dapat terjadi syok ataupun perilaku yang maladaptive (Potter & Perry,2007).
4. Manajemen nyeri
Manajemen nyeri merupakan salah satu cara yang digunakan dibidang kesehatan untuk mengatasi nyeri yang dialami oleh pasien.
Manajemen nyeri mempunyai beberapa tindakan atau prosedur baik secara farmakologis maupun non farmakologis. Prosedur secara farmakologis dilakukan dengan pemberian analgesik, yaitu untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri. Sedangkan secara non farmakologis dapat dilakukan dengan cara relaksasi, teknik pernafasan, pergerakan atau perubahan posisi, massage, akupressur, terapi panas/dingin,
hypnobrirthing, music, dan TENS (Transcutaneus Electrical Nerve
Stimulation).5. Pengukuran nyeri
Penilaian intensitas nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan skala sebagai berikut : a.
Skala deskriptif Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif.Skala pendeskriptif verbal (Verbal Descriptio
Scale) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai
disepanjan g garis.Pendeskriptif ini dirangking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahan”.Perawat menunjukan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang dia rasakan (Potter & Perry, 2006).
Gambar 2.1 Pengukuran Skala VDS (Potter & Perry, 2006) b.Wong-Baker Faces Pain Rating Scale Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda-beda, dimulai dari senyuman sampai dengan menangis karena merasa kesakitan. Skala ini berguna pada pasien dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan Bahasa lokal setempat.
Gambar 2.2 Pengukuran Wong-Baker Faces Pain RatingScale (,2006). Potter & Perry c.
Numerical Rating Scale (NRS) Pasien dinyatakan tentang derajat nyeri yang di rasakan dengan cara menunjukan angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 dinyatakan sebagai tidak nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukan nyeri yang hebat.
Gambar 2.3 Pengukuran Numerical Rating Scale (NRS) (Potter & Perry, 2006)Keterangan : : Tidak Nyeri 1 – 3 : Nyeri Ringan
4
- – 6 : Nyeri Sedang
7
- – 10 : Nyeri Berat C.
Relaksasi Genggam Jari
Teknik relaksasi merupakan salah satu metode manajemen nyeri non farmakologis dalam strategi penanggulangan nyeri, disamping metode TENS (Transcutaneons electric nerve stimulation), biofeedack, placebo dan distraksi.
Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan dan stress, karena dapat mengubah persepsi kognitif dan motivasi afektif pasien.
Teknik relaksasi membuat pasien dapat mengontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stress fisik dan emosi pada nyeri (Potter dan Perry, 2005).
Berbagai macam bentuk relaksasi yang sudah ada adalah relaksasi otot, relaksasi kesadaran indera, relaksasi meditasi, yoga dan relaksasi hipnosa.
Dari bentuk relaksasi diatas belum pernah dijelaskan kajian tentang relaksasi genggam jari (Utami, 2006).
Relaksasi genggam jari adalah sebuah teknik relaksasi yang sangat sederhana dan mudah dilakukan oleh siapapun yang berhubungan dengan jari tangan serta aliran energi didalam tubuh kita. Teknik genggam jari disebut juga Finger hold Liana, 2008).
Tangan (jari dan telapak tangan) adalah alat bantu sederhana dan ampuh untuk menyelaraskan dan membawa tubuh menjadi seimbang. Setiap jari tangan berhubungan dengan sikap sehari-hari. Ibu jari berhubungan dengan perasaan khawatir, jari telunjuk berhubungan dengan kekuatan, jari tengah berhubungan dengan kemarahan, jari manis berhubungan dengan kesedihan dan jari kelingking berhubungan dengan rendah diri dan kecil hati.
Relaksasi genggam jari yang juga disebut finger hold adalah sebuah teknik relaksasi adalah sebuah teknik relaksasi yang digunakan untuk meredakan atau mengurangi intensitas nyeri pasca pembedahan (Pinandita, Purwati, & Utoyo, 2012). Teknik relaksasi genggam jari membantu tubuh, pikiran dan jiwa untuk mencapai relaksasi. Dalam keadaan relaksasi secara alamiahakan memicu pengeluaran hormon endofrin, hormon ini merupakan analges ik alami dari tubuh sehingga nyeri akan berkurang (Sofiyah, Mari’fah, Susanti,2014).
1. Tujuan
Terapi relaksasi genggam jari sebagai pendamping terapi farmakologi yang bertujuan untuk meningkatkan efek analgesik sebagai terapi Pereda nyeri. Dilakukan saat nyeri tidak dirasakan pasien. Tetapi relaksasi bukan sebagai pengganti obat-obatan tetapi diperlukan untuk mempersingkat episode nyeri yang berlangsung beberapa menit atau detik. Kombinasi teknik ini dengan obat-obatan yang dilakukan secara simultan merupakan cara yang efektif untuk menghilangkan nyeri (Smeltzer, 2011).
2. Teknik Relaksasi Genggam Jari
f.
Rapikan pasien dan cuci tangan setelah melakukan tindakan.
Sesion selesai dengan menanyakan kembali bagaimna tigkat intensitas nyeri yang dirasakan pasien setelah dilakukan tindakan. i.
h.
Setelah kurang lebih 15 menit, alihkan tindakan untuk tangan yang lain.
g.
Genggam ibu jari selama kurang lebih 3-5 menit dengan bernafas secara teratur, untuk kemudian seterusnya satu persatu beralih ke jari selanjutnya dengan rentang waktu yang sama.
Teknik ini dilakukan pada pasien yang akan dilakukan tindakan pemasangan kateter, pasien dalam keadaan sadar dan kooperatif saat akan dilakukan tindakan. Langkah prosedurnya sebagai berikut : a.
Cuci tangan sebelum berinteraksi dengan pasien. Memberikan salam dan memperkealkan diri serta menjelaskan maksud dan tujuan dari tindakan yang akan dilakukan pada pasien serta menanyakan kesediaanya.
e.
Perawat duduk berada disamping pasien, relaksasi dimulai dengan menggenggam ibu jari pasien dengan tekanan lembut, genggam hingga nadi pasien terasa berdenyut.
d.
Posisikan pasien dengan berbaring lurus di tempat tidur, minta pasien untuk mengatur nafas dan merilekskan semua otot.
c.
Menjaga privasi pasien.
b.
Pasien diminta untuk mengatur nafas dengan hitungan teratur.
3. Mekanisme Relaksasi Genggam Jari dalam Menurunkan Nyeri
Jenis relaksasi ini sangat sederhana dan mudah dilakukan oleh siapapun yang berhubungan dengan jari tangan serta aliran energi didalam tubuh kita. Apabila individu mempersepsikan sentuhan sebagai stimulusuntuk rileks, kemudian akan muncul respons relaksasi (Potter & Perry,2007). Mekanisme relaksasi genggam jari dijelaskan melalui teori
gate-control yang mengatakan bahwa stimulasi kotaneous mengaktifkan
transmisi serabut saraf sensori A-beta yang lebih besar dan lebih cepat.Proses ini menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan delta-A yang berdiameter lebih kecil. Proses ini terjadi dalam kornu dorsalis medula spinalis yang dianggap sebagai tempat merespons nyeri. Sel-sel inhibitori dalam kornu dorsalis medulla spinalis mengandung enkefalin yang menghambat transmisi nyeri, gerbang sinaps menutup transmisi implus nyeri sehingga bila tidak ada informasi nyeri yang disampaikan melalui saraf asenden menuju otak, maka tidak ada nyeri yang dirasakan (Pinandita, Purwanti & Utoyo, 2012).
D. Kerangka Teori
Kerangka teori penelitian merupakan kumpulan teori yang mendasari suatu topik penelitian. Yang disusun berdasarkan teori yang sudah ada dalam tinjauan teori dan mengikuti kaidah input da output (Saryono, 2011).
Faktor-faktor yang Pasien sakit yang dirawat di IGD mempengaruhi nyeri a.
Usia b.
Jenis kelamin c. keragaman budaya Pemasangan folley chateter Proses terjadinya
s d.
proses nyeri : perkembangan e. & lingkungan a.
Stimulus faktor pendukung b.
Transduksi
f. nyeri riwayat c.
Transmisi sebelumnya d.
Modulasi g. deskripsi nyeri e.
Persepsi h. ansietas Teknik relaksasi genggam jari Nyeri saat dipasang folley kateter
Menurunkan ketegangan fisik dan emosi Nyeri Hormon endofrin
Menghangatkan titik-titik keluar Aliran energi menjadi Menimbulkan rasa tenang, masuknya energi lancar nyaman
Gambar : 2. 4. Kerangka teori Keterangan : : Diteliti : Tidak di teliti
E. Kerangka Konsep F. Hipotesis
Menurut Saryono (2011) mengemukakan bahwa hipotesis penelitian sebagai terjemahan dari tujuan penelitian ke dalam dugaan yang jelas.
Hipotesis dalam penelitian ini adalah : Ha : Ada perbedaan penurunan nyeri pada responden yang diberi teknik relaksasi genggam jari dan responden yang tidak diberi teknik relaksasi genggam jari
Ho : Tidak Ada perbedaan penurunan nyeri pada responden yang diberi teknik relaksasi genggam jari dan responden yang tidak diberi teknik relaksasi genggam jari
Kelompok intervensi Relaksasi genggam jari Nyeri Pemasangan folley kateter Kelompok non intervensi