BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kakao - Titin Dwi Hendriyani BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kakao

  Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu anggota dari familia Sterculiaceae yang berasal dari hutan tropis Amerika Tengah dan Amerika Selatan bagian utara. Kakao banyak dimanfaatkan oleh suku Indian Maya dan suku Astek sebagai bahan makanan dan minuman (Baon & Wardani, 2010). Pada abad ke 15, kakao mulai dikenalkan di Eropa dan menyebar ke seluruh dunia mulai saat itu (Susanto, 1994).

  Di Indonesia, kakao diperkenalkan pertama kali oleh bangsa Spanyol di Minahasa pada tahun 1560 dan menyebar ke hampir seluruh wilayah Indonesia pada akhir abad 18 (Susanto, 1994). Pada saat ini, Indonesia menjadi negara penghasil kakao terbesar kedua di dunia setelah Pantai Gading dengan total produksi mencapai 900 ribu ton pada tahun 2012 (FAO, 2014). Dengan kondisi tersebut, kakao menjadi komoditas perdagangan utama bagi Indonesia dengan total devisa mencapai US$ 1,2 milyar pada tahun 2010 (FAO, 2014).

2.1.1 Morfologi Tanaman Kakao

  Tanaman kakao berbentuk pohon dengan dengan tinggi dapat mencapai 3 - 8 meter (van Steenis et al., 2008). Tanaman kakao bersifat dimorfisme, yaitu memiliki 2 macam percabangan. Cabang yang tumbuh ke atas disebut cabang ortrotof dan cabang yang pertumbuhannya ke samping disebut cabang plagiotrof.

  Tanaman kakao yang masih muda akan memiliki batang yang lurus, namun pada

  9 umur sekitar 10 bulan akan membentuk cabang plagiotrof (Karmawati et al., 2010).

  Berdasarkan percabangannya, daun kakao juga bersifat dimorfisme yaitu daun yang tumbuh pada cabang ortotrop memiliki tangkai daun yang panjang (7,5

  • 10 cm), sedangkan pada cabang plagiotrop memiliki tangkai daun lebih pendek yaitu sekitar 2,5 cm (Susanto, 1994). Helaian daun berbentuk bulat telur terbalik memanjang (obovatus) dengan panjang pada daun dewasa mencapai 10
    • – 48 cm dan lebar dapat mencapai 4 - 20 cm. Ujung daun meruncing (acuminatus) dengan pangkal daun berbentuk runcing (acutus) (Backer & Bakhuizen van den Brink, 1963).

  Bunga kakao berkembang dari berkas ketiak daun pada batang dan beberapa cabangnya (cauliflori; Backer & Bakhuizen van den Brink, 1963). Tempat tumbuh bunga tersebut lama

  • – kelamaan menebal dan membesar disebut dengan bantalan bunga (cushion; Gambar 2.1 A). Bunga kakao umumnya berwarna putih, ungu dan kemerahan. Jumlah bunga dalam satu pohon dapat mencapai sekitar 10.000 kuntum bunga setiap tahun, namun yang berhasil tumbuh dan berkembangbiak menjadi buah hanya sekitar 10 - 50 bunga saja (Susanto; 1994).

  Setiap kuntum bunga tersusun atas 5 daun kelopak (sepala) berbentuk lanset berwarna putih dengan panjang dapat mencapai 6

  • – 8 mm dan 5 daun mahkota (petala) berbentuk cekung dengan panjang dapat mencapai 2,5 - 4 mm serta organ kelamin (Gambar 2.1 B; Backer & Bakhuizen van den Brink, 1963). Bunga kakao merupakan bunga banci (hermaproditus) dengan organ betina (gynaecium) terdiri atas bakal buah (ovary), tangkai putik (stylus), dan kepala putik (stigma).
Putik bunga kakao berwarna putih berukuran pendek (Backer & Bakhuizen van den Brink, 1963). Organ kelamin jantan (androecium) terdiri dari 5 benang sari (stamen) dan staminodia. Stamen merupakan organ kelamin jantan fertile karena mampu menghasilkan tepung sari (pollen) dengan diameter 2 - 3 mikron, sedangkan staminodia merupakan organ kelamin jantan yang steril berwarna ungu tua dengan ujung putih, ukurannya dapat mencapai 4

  • – 6 mm (Backer & Bakhuizen van den Brink, 1963).

  Staminodia Stigma Stamen

  

Petala

A

  B

  Bunga kakao yang muncul dari batang (kauliflori), sebagian Gambar 2.1 A. kuntum bungan masih kuncup dan sebagian telah mekar; B. Diagram bunga yang telah mekar menunjukkan staminodia dan petala (Rahardjo, 2011)

  Proses pembungaan kakao diawali dengan terbentuknya kuncup bunga. Setelah 30 hari, kuncup bunga akan mekar yang menandakan putik dan benang sari telah masak dan siap untuk melakukan penyerbukan dan pembuahan. Setelah mengalami penyerbukan yang umumnya dibantu oleh serangga, bakal biji akan tumbuh menjadi biji dan bakal buah akan tumbuh menjadi buah (Rahardjo, 2011)

  Buah kakao termasuk buah buni, berbentuk bulat memanjang dengan ujung meruncing (obovatus; Backer & Bakhuizen van den Brink, 1963). Buah kakao memilki panjang mencapai 12

  • – 22 cm dan lebar dapat mencapai 6 – 10 cmm
berwarna hijau, kuning dan merah tergantung kultivarnya (Backer & Bakhuizen van den Brink, 1963). Buah kakao terdiri atas kulit buah (pod), arilus (pulp) dan biji (Saleh, 1998). Pada setiap buah kakao dapat dihasilkan biji sebanyak 30 - 50 butir tergantung kultivarnya (Prawoto & Winarsih, 2010). Di bagian dalamnya terdapat kulit biji (testa) yang membungkus 2 kotiledon. Biji kakao tidak memiliki masa dorman sehingga terkadang ditemukan biji yang telah berkecambah di dalam buah yang terlambat dipanen (Prawoto & Winarsih, 2010).

  Tanaman kakao memiliki sistem perakaran tunggang yang bercabang (Siregar et al., 2010). Panjang akar tanaman kakao dapat mencapai 15 meter ke arah bawah dan 8 meter ke arah lateral (Siregar et al., 2010). Sebagian besar akar lateral kakao (mendatar) berkembang dekat permukaan tanah (surface root feeder) yaitu pada kedalaman 0 - 30 cm (Prawoto & Winarsih, 2010).

2.1.2 Kultivar Kakao

  Kakao memiliki tiga kultivar yang umumnya dibudidayakan yaitu Criollo,

  

Forestero, dan Trinitario.(Gambar 2.2). Kakao Criollo merupakan jenis kakao

  yang mulia atau bermutu tinggi karena memiliki cita rasa yang khas, fermentasi biji lebih singkat dan rasanya tidak terlalu pahit (Susanto, 1994). Namun demikian, kultivar ini memiliki pertumbuhan yang kurang kuat, masa berbuah lambat sehingga produktivitasnya rendah, dan mudah terserang hama dan penyakit (Prawoto & Winarsih, 2010). Criollo memiliki buah dengan permukaan kulit yang kasar dengan alur

  • – alurnya yang jelas. Buah kakao kultivar Criollo memiliki tebal tetapi lunak sehingga mudah dipecahkan serta memiliki kadar lemak dalam biji yang rendah (Karmawati et al., 2010). Warna buah pada saat
muda umumnya berwarna merah dan jika sudah masak warna berubah menjadi orange, ujung buah berbentuk tumpul sedikit bengkok dan tiap buah berisi biji yang dapat mencapai 30 - 40 biji dengan bentuk biji bulat dan endosperm berwarna putih (Susanto, 1994).

  Kakao Forestero, dikenal dengan kakao curah atau kakao lindak karena memiliki rasa biji yang pahit. Namun kakao forestero memiliki pertumbuhan yang kuat, cepat berbuah sehingga produksinya lebih tinggi, serta relatif lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit (Susanto, 1994). Kakao Forestero memiliki kulit buah berwarna hijau, agak keras dengan permukaan yang halus serta memiliki alur yang agak dalam. Endosperm kakao Forestero berwarna ungu tua (Prawoto & Winarsih, 2010).

  Kakao Trinitario merupakan hasil persilangan dari kakao Criollo dan

  Forastero sehingga terdapat jenis

  • – jenis baru yang mutunya lebih baik, buah maupun bijinya (Susanto, 1994).

  Tiga kultivar kakao meliputi (A) Criollo, (B) forastero dan (C)

  Gambar 2.2

  (Karmawati et al., 2010)

  Trinitario

2.1.3 Manfaat Tanaman Kakao

  Kakao dibudidayakan oleh masyarakat untuk dimanfaatkan buahnya. Kulit buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai pakan pakan ternak (Gambar 2.3 A Sihombing, 2008), bahan baku kompos (Dachlan et al., 2009), selain itu juga sebagai bahan baku pembuatan arang aktif untuk adsorben logam berat (Masitoh & Sianit, 2013). Pulp buah kakao juga dapat dimanfaatkan untuk produk pangan seperti nata de cacao (Gambar 2.3 B; Elizabeth, 2006)

  Bagian buah kakao yang paling penting adalah biji kakao. Biji kakao dapat diolah menjadi cacao butter dan cacao powder. Cocoa butter dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam produk pangan seperti bahan dalam pembuatan permen dan kembang gula, serta non pangan seperti seperti sebagai bahan baku pembuatan sabun (Yulia, 2012). Cacao powder juga memiliki banyak manfaat dalam produk pangan maupun non pangan seperti hot choco, ice cream choco (Gambar 2.3 C; Zairisman, 2006) serta dalam bidang kosmetik seperti masker dan spa (Gambar 2.3 D)

  Kulit buah kakao yang dimanfaatkan untuk pakan ternak (A); Pulp

  Gambar 2.3

  sebagai bahan baku pembuatan nata de cocoa (B); cocoa powder untuk bahan baku makanan (ice cream) (C) dan masker(D). Sumber da

2.2 Budidaya Kakao dan Permasalahan Kakao di Indonesia

2.2.1 Budidaya Kakao

  Di Indonesia, Kakao merupakan salah satu tanaman budidaya yang memiliki peran penting bagi perekonomian Indonesia. Hal tersebut karena, Indonesia memiliki luas area perkebunan kakao terbesar kedua di dunia yang dari tahun ke tahun yang terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2001, luas area perkebunan kakao di Indonesia hanya sekitar 800 ribu ha, sedangkan pada tahun 2012, luas area perkebunan kakao mencapai lebih dari 1,7 juta ha. Dengan luas perkebunan tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara dengan luas area perkebunan terbesar ke dua di dunia setelah Pantai Gading dengan luas area perkebunan kakao mencapai 25 juta ha pada tahun 2012 (Gambar 2.4; FAO, 2014).

Gambar 2.4 Perkembangan luas area perkebunan kakao dari tahun 2001-2012 (FAO, 2014).

  Luasnya area perkebunan kakao di Indonesia tersebut mengakibatkan produksi kakao di Indonesia menjadi tinggi. Indonesia merupakan negara dengan total produksi kakao terbesar kedua di dunia, dengan total produksi biji kakao rata-rata mencapai lebih dari 900 ribu ton pada tahun 2012 (Gambar 2.5; FAO.

  2014). Hal tersebut menjadikan kakao sebagai komoditas eksport terbesar ketiga setelah karet dan minyak sawit dengan nilai eksport mencapai sekitar US $ 1,2 milyar pada tahun 2010 (FAO, 2014).

Gambar 2.5 Produksi Kakao dunia pada Tahun 2012 (FAO, 2014).

2.2.2 Permasalahan Budidaya Kakao di Indonesia

  Indonesia merupakan negara dengan total produksi kakao terbesar kedua di dunia (Gambar 2.5; FAO, 2014), namun tingginya produksi tersebut dikarenakan Indonesia memiliki luas area perkebunan kakao yang tinggi pula (Gambar 2.4; FAO,2014). Dalam hal produktivitas, perkebunan kakao di Indonesia tergolong rendah dan hanya menempati urutan ke

  • – 17 dalam hal produktivitas kakao dari 58 negara penghasil kakao di dunia (Gambar 1.1; FAO, 2014). Produktivitas perkebunan kakao di Indonesia hanya sekitar 550 kg untuk setiap hektar per tahunnya. Jika dibandingkan dengan negara lain seperti Thailand dan Guatemala, total produksi tersebut sangat rendah, hanya seperlima produktivitas kakao dari kedua negara tersebut.
Banyak faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya produktivitas kakao di Indonesia, diantaranya adalah usia tanaman kakao yang cukup tua (lebih dari 25 tahun). Saat ini hampir 90 % dari total perkebunan kakao di Indonesia telah berusia tua dan harus segera diremajakan (Taufik et al,. 2010). Disamping itu faktor bibit kakao yang berkualitas rendah juga memegang peran peting dalam hal rendahnya produktivtias kakao di Indonesia (Limbongan, 2012). Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitas bibit kakao yang unggul dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu yang singkat guna mengatasi permasalahan di atas.

2.2.3 Pembibitan Tanaman Kakao

  Mayoritas petani kakao di Indonesia penyediaan bibit secara generatif melalui biji. Biji kakao yang dipanen dari tanaman kakao yang unggul dibersihkan dari pulp kemudian dikeringkan sampai kadar air 40% selanjutnya dikecambahkan selama 12 hari. Benih yang telah dikecambahkan kemudian dipelihara selama 4 - 5 bulan sampai siap untuk di tanam di lahan (Rahardjo, 2011).

  Teknik pembibitan tersebut mampu menghasilkan benih dalam jumlah yang masal serta waktu yang relatif singkat. Namun, bibit yang dihasilkan memilki variasi genetik yang tinggi dan tidak sama dengan induknya (Maximova et al., 2002). Hal tersebut karena kakao melakukan penyerbukan silang dalam menghasilkan biji. Bunga kakao bersifat protogini yang artinya putik masak lebih awal daripada kepalasari sehingga serbuk sari tidak mampu membuahi putik dari kuntum yang sama (Prawoto, 2008). Sebagai akibatnya biji yang dihasilkan tidak memiliki sifat genetik yang seragam karena memilik dua induk yang berbeda.

  Alternatif lain yang mulai banyak digunakan oleh para petani untuk menghasilkan bibit yang relatif sama dengan induknya dengan cara pembibitan secara vegetatif melalui stek, okulasi dan sambung pucuk (Rahardjo, 2010). Pembibitan dengan stek dilakukan dengan cara memotong batang atau pucuk tanaman kakao yang masih muda kemudian ditanam ke dalam pot yang telah berisi medium. Stek akan mulai tumbuh akar setelah berumur tiga minggu dan siap untuk ditanam di lahan setelah berumur enam bulan (Raharjo, 2010).

  Teknik ini mudah dilakukan dan menghasilkan bibit dengan sifat genetis yang sama dengan induknya (Siregar et al., 2010). Namun teknik tersebut masih memiliki tingkat keberhasilan rendah yaitu 27 % pada tanaman kakao (Abdoellah, 2008). Akibatnya, teknik tersebut tidak mampu menghasilkan bibit dalam jumlah masal serta merusak tanaman induk yang akan di stek (Rahardjo, 2010).

  Cara vegetatif lain yang digunakan oleh petani adalah melalui okulasi. Mata tunas yang berwarna hijau dari pohon kakao berkualitas ditempelkan ke batang bawah bibit kakao yang diperoleh dari perkecambahan biji. Mata tunas kemudian diikat dengan tali plastik dan dibiarkan tumbuh dan berkembang menjadi batang baru. Bibit yang dihasilkan dengan teknik ini memerlukan waktu sekitar 4 - 5 bulan sebelum ditanam ke lahan. Teknik ini memiliki kelebihan antara lain mampu menghasilkan bibit secara masal dengan sifat sesuai dengan induk yang dijadikan sumber mata tunas serta tingkat keberhasilan mencapai 90% (Rahardjo, 2010). Namun teknik ini membutuhkan mata tunas yang banyak sehingga merusak tanaman induknya. Disamping itu, keterbatasan mata tunas yang dibutuhkan menyebabkan jumlah bibit yang dihasilkan juga terbatas (Rahardjo, 2010).

  Cara lain yang digunakan oleh petani kakao adalah melalui sambung pucuk (Siregar et al., 2010). Teknik ini dilakukan dengan cara memotong cabang muda dari tanaman yang berkualitas kemudian disambungkan pada bibit kakao yang berasal dari biji. Teknik sambung pucuk ini akan menghasilkan bibit dengan sifat genetika yang sama dengan induknya, akan tetapi teknik tersebut memiliki tingkat keberhasilan yang relatif rendah serta akan dihasilkan bibit dengan jumlah yang terbatas, karena terbatasnya jumlah pucuk yang akan disambung (Karmawati et

  al ., 2010).

2.3 Perkembangan Penelitian Embriogenesis Somatik Kakao

  Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan pembibitan kakao secara konvensional khususnya dalam hal menghasilkan bibit secara masal dengan kualitas yang seragam dan sama dengan induknya adalah dengan menggunakan teknik kultur jaringan. Kultur jaringan tanaman merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman dan ditumbuhkan pada media tanam buatan yang aseptis (Hendaryono & Wijayani, 1994). Teknik ini dapat memperbanyak tanaman dalam jumlah besar dengan waktu yang singkat serta menghasilkan bibit yang seragam dengan induknya (Avivi et al., 2010). Namun demikian, tidak semua tanaman mampu diperbanyak menggunakan teknik kultur jaringan. Disamping itu teknik ini juga memerlukan keahlian khusus, serta harus dilakukan di laboratorium sehingga membutuhkan biaya yang relatif mahal (Hendaryono & Wijayani, 1994).

  Beberapa teknik kultur jaringan telah dikembangkan untuk perbanyakan bibit kakao seperti melalui kultur pucuk dan kultur tunas aksiler (Zulkarnain, 2009). Namun, kultur pucuk kakao belum berhasil diaplikasikan dalam jumlah masal serta memiliki beberapa kendala seperti tumbuhan yang dihasilkan memiliki pertumbuhan yang lambat dan memiliki akar serabut (Zulkarnain, 2009). Teknik kultur tunas aksiler juga belum berhasil untuk diaplikasikan pada tanaman kakao (Figuera et al., 1991)

  Salah satu teknik kultur jaringan yang mulai dikembangkan untuk menyediakan bibit kakao secara in vitro adalah dengan menggunakan teknik embryogenesis somatik (Winarsih et al., 2003; Avivi et al., 2010). Embryogenesis somatik adalah teknik budidaya tanaman secara in vitro dimana sel somatik berkembang membentuk tumbuhan baru melalui tahap perkembangan embryo yang spesifik tanpa melalui peleburan sel gamet (Purnamaningsih, 2002). Pada teknik embryogenesis somatik ada beberapa tahap, yaitu (1) induksi kalus embriogenik (2) induksi embrio somatik (3) perkecambahan dan (4) aklimatisasi (Gambar 2.6; Li et al., 1998)

  Pada tahap induksi kalus remah (friabel), eksplan ditanam pada medium yang mengandung zat pengatur tumbuh tertentu sehingga terinduksi kalus. Kalus remah memiliki ciri berupa kalus yang lunak, mudah dipisah- pisahkan dan berwarna kuning kecoklat- coklatan, (Hilyatunnisa, 2013; Purwasih, 2013; Rahayu, 2013;). Kalus remah kemudian dapat diinduksi pembentukan embryo dengan cara memindahkan ke dalam medium dengan penambahan auksin dengan konsentrasi rendah (Purnamaningsih, 2002). Tahapan pembentukan embryo dimulai dari fase globular, hati, torpedo dan kotiledon (Gambar 2.6; Purnamaningsih, 2002).

  Embryo somatik yang terbentuk kemudian dikecambahkan pada medium dengan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang sangat rendah atau bahkan tidak diberikan sama sekali untuk menjadi tanaman lengkap dengan tunas dan akar (Purnamaningsih, 2002). Tahap terakhir adalah aklimatisasi, pada tahap ini bibit tanaman dipindahkan ke lingkungan ex vitro (Purnamaningsih, 2002).

  Tahap perkembangan morfologi embryo somatik kakao; (a) embryo

  Gambar 2.6

  tahap globular; (b) embryo tahap heart; (c) embryo tahap torpedo; (d) embryo tahap kotiledon; (e) planlet; dan (f) aklimatisasi (Li et al., 1998).

  Kelebihan dari kultur embryogenesis somatik kakao antara lain mampu menghasilkan bibit dalam jumlah besar (Li et al., 1998), sifat genetik yang sama dengan induknya (Avivi et al., 2010), serta tanaman yang dihasilkan memiliki akar tunggang seperti tanaman yang berasal dari biji (Li et al., 1998). Namun demikian, teknik ini juga memiliki kendala berupa tingkat keberhasilan pembentukan embryo somatik rendah dan bervariasi dari 1 - 100 % tergantung medium dan eksplan yang digunakan (Li et al., 1998; Winarsih et al., 2003; Avivi

  et al ., 2010) dan memerlukan penanganan yang intensif dengan tenaga kerja yang terampil (Purnamaningsih, 2002).

  Teknik embryogenesis somatik telah berhasil digunakan untuk produksi bibit berbagai tanaman seperti tanaman cendana (Santalum album L.; Sukmadjaja, 2005), manggis (Garcinia indica Choiss; Thengane et al., 2006) maupun kopi (Coffea Arabica L.; Riyadi & Tirtoboma, 2004) dengan tingkat keberhasilan yang tinggi, yaitu sekitar 80 % - 100 %. Pada tanaman kakao, embryogenesis somatik juga telah dicobakan untuk menghasilkan bibit yang unggul. Namun, sampai saat ini tingkat keberhasilannya masih sangat bervariasi antara 1 sampai 100 % bergantung kultivar kakao yang digunakan. Jumlah embryo yang dihasilkan dari setiap eksplan yang ditanam juga bervariasi dari 1 sampai 45 buah embrio somatik per eksplan tergantung kultivar yang digunakan (Li et al., 1998)

  Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan induksi embryogenesis somatik kakao, seperti penggunaan berbagai jenis eksplan (Siregar, 1991; Chantrapradist & Kanchanapoom, 1995; Li et al., 1998), uji berbagai medium dasar (Li et al., 1998; Winarsih et al., 2003; Avivi et al., 2010) maupun penambahan garam nutrient dengan konsentrasi tertentu ke dalam medium tanam (Minyaka et al., 2008; Emile et al., 2010).

  Penelitian pertama tentang embryo somatik kakao dilakukan oleh Esan pada tahun 1977 dengan menggunakan eksplan jaringan embryo zigotik, namun tingkat keberhasilan yang diperoleh masih sangat rendah (Maximova et al., 2002). Eksplan embryo zigotik yang diisolasi dari buah muda juga sudah dicobakan untuk induksi embryogenesis somatik kakao, namun persentase keberhasilan juga masih rendah 27 %, serta memiliki sifat genetik yang bervariasi (Diniarti, 1991). Eksplan kotiledon juga pernah dicobakan untuk menginduksi pembentukan embryo somatik kakao, namun eksplan yang digunakan tidak berhasil menginduksi embryo (0 %) (Cahantrapradist & Kanchanapoom, 1995).

  Salah satu eksplan yang dilaporkan memiliki tingkat keberhasilan relatif tinggi serta merupakan sel somatik sehingga memiliki sifat genetik yang seragam adalah eksplan staminodia dan petala (Li et al., 1998). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan embryo somatik bervariasi antara 1 sampai 100 % tergantung genotip yang digunakan (Li et al., 1998; Winarsih et al., 2003; Avivi et al., 2010).

  Di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, upaya pembibitan kakao melalui teknik embryogenesis somatik juga telah dilakukan dengan menggunakan kultivar Criollo. Pada penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (2013) dengan menanam kalus pada medium DKW (Driver & Kuniyuki, 1984) dengan

  • 7 -6

  penambahan kinetin 5.10 M & 10 M 2,4-D ke dalam medium tanam. Medium tersebut mampu menginduksi kalus bersifat embryogenik dan medium DKW yang

  • 8

  hanya ditambah kinetin 5.10 M berhasil menginduksi embryo somatik, meskipun tingkat keberhasilan masih relatif rendah yaitu 1 %.

  Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Purwasih (2013) menggunakan

  • 6 -7

  medium DKW yang dikombinasikan dengan 10 M 2,4-D & 10 M BAP merupakan medium yang digunakan untuk menginduksi kalus. Medium tersebut dapat membentuk kalus dengan tipe yang friable sehingga mampu untuk membentuk embryo somatik. Namun, tingkat keberhasilan dalam induksi embryo masih rendah sekitar 1%.

  Penelitian yang dilaporkan oleh Hilyatunnisa (2013) menggunakan eksplan

  • 7

  staminodia dan petala yang ditanam pada medium DKW dengan kombinasi 10

  • 7

  M Adenin & 5 x 10 2,4-D berhasil untuk menginduksi kalus tetapi penelitian ini belum berhasil menginduksi embryo. Penambahan air kelapa ke dalam medium tanam juga belum dapat meningkatkan keberhasilan induksi embryo somatik kakao.

  Upaya lain juga telah dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan induksi embryo somatik kakao diantaranya adalah dengan menggunakan beberapa medium dasar seperti medium MS (Murashige & Skoog, 1962), dan DKW (Driver & Kuniyuki, 1984). Medium MS telah dicobakan untuk menginduksi

  • – embryogenesis somatik kakao, namun tingkat keberhasilannya sangat rendah (0 11 %; Alemanno et al., 1996). Medium DKW berhasil menginduksi pembentukan embryo somatik dengan tingkat keberhasilan yang lebih baik, namun persentae keberhasilannya sangat tergantung kultivar yang digunakan (Li et al., 1998; Maximova et al., 2002).

  Selain menggunakan beberapa medium dasar, upaya lain yang juga telah dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan induksi embryo somatik kakao adalah dengan penambahan kadar garam makronutrient (Minyaka et al., 2008; Emile et al., 2010). Minyaka et al. (2008) melakukan penelitian induksi embryo somatik pada tanaman kakao dengan menambahkan K SO dan MgSO ke dalam

  2

  4

  4 media. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan induksi embrio somatik kakao dapat mencapai 40 %. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Emile et al. (2010), namun hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tingkat keberhasilannya lebih rendah dibandingkan penelitian Minyaka et al. (2008) yaitu kurang dari 30 %.

2.4 Medium Tanam

  Medium kultur jaringan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan dalam perbanyakan tanaman secara in vitro (Yusnita, 2003). Sampai saat ini teredapat lebih dari 200 komposisi medium dasar yang banyak digunakan untuk kultur jaringan. Beberapa komposisi medium dasar yang banyak digunakan dalam kultur jaringan antara lain medium dasar MS (Murashige & Skoog, 1962) yang dapat digunakan untuk hampir semua jenis kultur; medium dasar B5 (Gambrog, 1968) yang dapat digunakan untuk kultur sel pada tanaman kedelai dan legume lain, medium dasar WPM (Woody Plant Medium, 1981) yang banyak digunakan untuk tanaman berkayu, maupun medium dasar DKW (Driver & Kuniyuki, 1984) yang banyak digunakan untuk embryogenesis somatik (Hendaryono & Wijayanti, 1994). Pada umumnya, media kultur jaringan mengandung unsur garam makro, garam mikro, vitamin, asam-asam amino essensial, gula dan zat pengatur tumbuh (ZPT).

2.4.1 Makronutrien

  Kebutuhan garam-garam mineral didalam kultur jaringan kurang lebih sama dengan tanaman utuh. Unsur makro dibutuhkan dalam jumlah cukup besar, pada umumnya diberikan dalam bentuk persenyawaan (Nursetiadi, 2008). George & Sherrington (1984) menyebutkan beberapa persenyawaan makronutrien yang umum digunakan pada medium kultur jaringan, antara lain: Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K), Sulfur (S), Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg). Unsur

  • – unsur makro biasanya diberikan dalam bentuk garam berupa NH NO , KNO ,

  4

  3

  3 CaCl .2H O, MgSO .7H O dan KH2PO . Macam dan konsentrasi garam makro

  2

  2

  4

  2

  4

  yang optimum untuk tiap-tiap komponen untuk memenuhi pertumbuhan yang maksimal bagi setiap jenis tanaman dan setiap jenis eksplan sangat bervariasi.

  Salah satu garam yang banyak ditambahkan ke dalam medium tanam adalah garam magnesium sulfat (MgSO ). Garam MgSO mengandung ion sulfat yang

  4

  4

  mampu meningkatkan proses metabolisme seperti sintesis asam amino dan sintesis protein di dalam sel (Saito, 2004; Leustek, 2002). Sulfur banyak ditemukan sebagai komponen penyusun asam amino sistein dan metionin, dan sebagai penyusun vitamin thiamin dan biotin, serta penyusun koenzim A (Salisbury & Ross, 1995). Kondisi tersebut merupakan prasarat utama untuk terjadi proses

  • – proses biologi pada tumbuhan tinggi termasuk proses embryogenesis (Minyaka, 2008). Ion Mg yang terdapat pada garam MgSO

  4

  memiliki peran penting dalam mengaktifkan banyak enzim seperti enzim-enzim yang dibutuhkan dalam reaksi fotosintesis dan respirasi maupun enzim-enzim untuk sintesis asam deoksiribonukleat (DNA) dan asam ribonukleat (RNA; Salisbury & Ross, 1995).

  Penelitian penambahan makronutrien terhadap keberhasilan embryogenesis somatik pada beberapa jenis tanaman telah dilaporkan pada tanaman wortel (Daucus carrota cv. Nants). Induksi embryo somatik dengan menggunakan medium tanpa penambahan MgSO hanya mampu menghasilkan embryo dengan

  4

  tingkat keberhasilan yang rendah, yaitu 20 embryo dari setiap eksplan yang ditanam, sedangkan induksi embryo somatik yang dilakukan dengan kadar

  • 3

  MgSO yang tinggi (4 x 10 M) mampu meningkatkan jumlah embryo yang

  4

  terinduksi hampir sepuluh kali lipat menjadi 200 embryo dari setiap eksplan yang ditanam (Ghasemi et al., 2009).

  Hal yang sama juga dilaporkan pada tanaman kanola (Brassica napus L.), yaitu induksi embryo somatik tidak dapat dilakukan pada medium tanpa penambahan MgSO , sedangkan pada medium dengan penambahan MgSO

  4

  4

  mampu menginduksi pembentukan embryo somatik ( Lim & Loh, 1992) . Pada tanaman Magnolia, penambahan magnesium dengan konsentrasi tinggi mampu menginduksi pembentukan embryo somatik, sedangkan penambahan magnesium dengan konsentrasi rendah hanya mampu menginduksi pembentukan kalus tanpa diikuti pembentukan embryo somatik (Valova et al.,1996)

  Pada tanaman kakao, penelitian tentang pengaruh penambahan MgSO ke

  4

  dalam medium tanam untuk meningkatkan produksi embryo somatik juga telah dilaporkan. Penambahan konsentrasi MgSO ke dalam medium tanam

  4

  berpengaruh secara nyata meningkatkan keberhasilan induksi embryo somatik kakao, tetapi tingkat keberhasilannya masih tergantung pada genotipe kakao yang digunakan. Pada eksplan petala yang diisolasi dari kakao bergenotipe Sca 6,

  • 3

  penambahan 1,5 x 10 M MgSO ke dalam medium tanam tidak mampu

  4

  menginduksi pembentukan embryo somatik, sedangkan penambahan MgSO

  4

  • 3

  sebanyak 4 kali lebih tinggi (6 x10 M) mampu menginduksi embryo somatik sampai 40 % (Minyaka et al., 2008). Hal yang berbeda terjadi pada genotipe IMC

  • 3

  6 dimana eksplan yang sama ditanam pada medium dengan penambahan 1,5x10 M MgSO hanya menginduksi sekitar 7 % embryo dan penambahan MgSO

  4

  4

  • 3

  sampai konsentasi 6 x10 M hanya mampu meningkatkan keberhasilan induksi embryo kurang dari 15 % (Minyaka et al.;2008).

  Penelitian tentang pengaruh penambahan MgSO ke dalam medium tanam

  4

  terhadap keberhasilan induksi embryo somatik pada tanaman kakao kultivar

  Criollo belum pernah dilaporkan, maka pada penelitian ini dilaporkan uji tentang hal tersebut pada penelitian ini.

  2.4.2 Mikronutrien Unsur hara mikro adalah unsur yang diperlukan dalam jumlah sedikit.

  George dan Sherrington (1984) menyebutkan beberapa persenyawaan mikronutrien yang umum digunakan pada medium kultur jaringan, antara lain: Klor (Cl), Mangan (Mn), Besi (Fe), Tembaga (Cu), Seng (Zn), Bor (B), dan Molibdenum (Mo). Unsur

  • – unsur mikro biasanya diberikan dalam bentuk MnSO .4H O, ZnSO .4H O, H BO , KJ, NaMoO .2H O, CuSO .5H O dan

  4

  2

  4

  2

  3

  3

  4

  2

  4

  2 CoCl .6H O (Indrianto, 2002). Meskipun diperlukan dalam jumlah sedikit, namun

  2

  2

  jika tidak ada unsur hara mikro di dalam medium tanam dapat menyebabkan kelainan pertumbuhan.

  2.4.3 Vitamin

  Vitamin memilki fungsi katalitik pada sistem enzim dan dibutuhkan dalam jumlah kecil. Vitamin

  • – vitamin yang sering digunakan dalam media kultur jaringan antara lain tiamin (vitamin B ), piridoksin (vitamin B ) dan asam

  

1

  6 nikotinat. George dan Sherrington (1984) memasukan beberapa macam vitamin yang umum digunakan pada berbagai medium dasar, antara lain: thiamin-HCl, niasin, glisin, piridoksin HCl, myo-inositol, asam folat, sianokobalamin, riboflavin, biotin, kolin klorida, kalsium pantetonat, piridoksin fosfat dan nikotinamida (Hendaryono & Wijayanti, 1994).

  2.4.4 Asam – Asam Amino

  Asam

  • –asam amino berperan penting untuk pertumbuhan dan diferensiasi kalus. Kebutuhan asam amino untuk setiap tanaman berbeda beda. Asparagin dan Glutamin berperan dalam metabolisme asam amino, karena dapat menjadi pembawa dan sumber amonia untuk sintesis asam
  • – asam amino baru dalam jaringan. Adapun asam amino yang umum ditambahkan pada medium adalah: glutamine, glycine, L-cyteine, L-arginine, L-Aaspartic acid, L-methionine. (Hendaryono & Wijayanti, 1994).

  2.4.5 Gula

  Pada kultur in vitro, sel dan jaringan tumbuhan belum sempurna dalam melakukan asimilasi fotoautotrof, sehingga diperlukan gula sebagai sumber karbon dan energi. Selain sebagai sumber energi bagi sel dan jaringan, gula juga berfungsi sebagai penjaga keseimbangan tekanan osmotik potensial didalam medium. Gula pada umumnya diberikan pada medium kultur berupa sukrosa atau komponen-komponennya seperti monosakarida glukosa atau fruktosa.

  (Hendaryono & Wijayanti, 1994).

2.4.6 Zat Pengatur Tumbuh

  Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) merupakan senyawa organik baik yang disintesis oleh tumbuhan itu sendiri (hormon) maupun senyawa sintetik dalam konsentrasi sangat rendah mampu mendukung, menghambat, atau menimbulkan respon bagi tumbuhan (Salisbury & Ross, 1995). Secara umum ada lima kelompok ZPT yang digunakan dalam kultur jaringan, yaitu auksin, sitokinin. giberelin, etilen, dan asam abisat (Salisbury & Ross, 1995).

  Salah satu ZPT yang banyak digunakan pada kultur jaringan adalah sitokinin. Sitokinin berperan dalam memacu dalam pembelahan sel dan pembentukan organ, mendorong pemanjangan sel, menunda penuaan, memacu perkembangan kloroplas dan sintesis protein (Salisbury & Ross, 1995). Pemberian sitokinin ke dalam medium, kultur jaringan juga penting dalam meningkatkan keberhasilan pembelahan sel, ploriferasi pucuk, morfogenesis pucuk, perkecambahan biji (Zulkarnain, 2009). Pemberian sitokinin dalam konsentrasi yang relative tinggi akan merangsang pembentukan tunas (Hendaryono & Wijayanti, 1994). Berbagai macam ZPT golongan sitokinin yaitu BA (benzil adenin), kinetin (furfuril amino purin), 2-Ip (dimethyl allyl aminopurin), dan zeatin serta TDZ (Thidiazuron) (Salisbury & Ross, 1995). Salah satu sitokininyang biasa digunakan dalam kultur jaringan dari golongan sitokinin adalah Thidiazuron (TDZ)

2.4.6.1 Thidiazuron (TDZ)

  Thidiazuron (TDZ) merupakan zat pengatur tumbuh golongan sitokinin

  • 1

  dengan rumus kimia C H N OS dengan berat molekul 220,251 g mol (Gambar

  9

  8

  4 Windujati, 2011). TDZ merupakan salah satu sitokinin sintetik yang memiliki

  2.7;

  kemampuan lebih baik dalam menginduksi tunas, diantara sitokinin lain seperti benzylaminopurin dan kinetin (Mok & Mok, 2001). ZPT ini berfungsi memacu pembentukan tunas adventif (Huetterman dan Prece, 1993), menginduksi proses pembelahan sel secara cepat pada kumpulan sel meristem sehingga terbentuk primordia tunas (George danSherington, 1984).

  Rumus bangun Thidiazuron (Salisbury & Ross, 1995)

  Gambar 2.7

  Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penambahan TDZ ke dalam medium tanam telah berhasil digunakan untuk menginduksi embryo somatik pada tanaman cendana (Santalum album L.). Pada tanaman tersebut, penambahan 9 x

  • 6

  10 TDZ ke dalam medium MS berhasil menginduksi pembentukan embryo somatik dengan tingkat keberhasilan mencapai 33 % (Sukmadjaja, 2005). Pada

  • 5

  tanaman pule pandak (Rauvolfia serpentina L.), penambahan 2.7 x 10 TDZ yang

  • 6

  dikombinasikan dengan 2,2 x 10 2,4-D ke dalam medium MS berhasil menginduksi embryo dengan tingkat keberhasilan mencapai 100 % (Sugito, 2006).

  Pada tanaman kakao, penambahan TDZ ke dalam medium tanam berhasil menginduksi pembentukan embryo somatik, namun tingkat keberhasilannya sangat bervariasi tergantung genotipe yang digunakan. Pada genotipe Sca6,

  • 8

  penambahan 22,7 x 10 M TDZ ke dalam medium DKW mampu menginduksi pembentukan embrio somatik dengan tingkat keberhasilan mencapai 100 %, sedangkan pada genotipe yang lain seperti ICS da Pound hanya berhasil menginduksi pembentukan embryo somatik dengan tingkat keberhasilan kurang dari 10 % (Li et al.,1998). Jumlah embryo yang berhasil diinduksi dari setiap eksplan staminodia yang ditanampun juga bervariasi tergantung genotipe yang

  • 8

  digunakan. Pada Sca6, penambahan 22,7 x 10 M TDZ ke dalam medium DKW mampu menginduksi embryo somatik sebanyak lebih dari 45 embrio per eksplan, sedangkan pada genotipe Pound dan ICS, penambahan TDZ ke dalam medium tanam dengan konsentrasi tersebut hanya mampu menginduksi kurang dari 3 embryo per eksplan yang ditanam (Li et al., 1998).

  Penelitian penambahan sitokinin ke dalam medium terhadap keberhasilan induksi embryo somatik kakao kultivar Criollo telah dilakukan (Rahayu, 2013), namun sitokinin yang digunakan adalah kinetin. Penambahan TDZ ke dalam medium tanam untuk menginduksi pembentukan embryo somatik kultivar Criollo belum pernah dilaprokan sehingga pada penelitian ini dlaporkan tentang hal tersebut untuk pertama kalinya.