Spiritualitas di sebalik gambar: membaca pameran-pameran lukisan di Yogyakarta - Repositori Institusi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

  • )

  SPIRITUALITAS DI SEBALIK GAMBAR Membaca Pameran-pameran Lukisan di Yogyakarta **)

  Oleh : Dr. G. Budi Subanar 1.

   Pengantar

  Salah satu dunia karya seni yang cukup memberi warna di kota Yogyakarta datang dari seni lukis. Beberapa tanda dapat ditemukan secara permanen maupun insidental tersebar di berbagai sudut kota. Mulai titik nol Yogyakarta yang saat ini dihiasi dengan seni instalasi dan patung yang terpasang di ruang publik. Atau dari berbagai mural yang menghias berbagai 1) dinding di sejumlah tempat (Lihat kupasan majalah Gong), adanya museum dan galeri yang menjadi ruang pameran, sampai dengan adanya dua lembaga pendidikan menengah (SMSR) dan tinggi (ISI) yang ada di kota Yogyakarta. Bahkan beberapa tahun lalu, untuk memperingati 100 tahun kelahiran pelukis legendaris Affandi, ruas jalan di Gejayan berganti nama dari Jalan Gejayan menjadi Jalan Affandi dan diujung jalannya juga dipasang sebuah patung dada tokoh tersebut. Penamaan tersebut selain dimaksudkan untuk memberi penghormatan kepada tokoh Affandi, juga dimaksudkan untuk melawan lupa, menjaga agar kehadiran tokoh tersebut dengan segala kiprahnya, semangatnya masih dapat dihidupi. Inilah beberapa hal yang menjadi penanda untuk kehadiran dunia seni yang menjadi salah satu kekhasan Yogyakarta. Pertanyaannya, bagaimana hal-hal tersebut dapat dibaca sekaligus dikaitkan dengan masalah sumbangannya untuk menjaga identitas bangsa, sebagaimana ditulis dalam TOR, dan menjadi maksud tersirat sebagaimana ditulis dalam judul di atas.

  2.

  • *) Bagaimana dalam dunia lukis terkandung spiritualitas?

  

Makalah disampaikan pada kegiatan Sarasehan Budaya Spiritual Daerah Istimewa Yogyakarta

dengan tema Budaya Spiritual dan Moralitas Bangsa, yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian

Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, pada tanggal 27-28 Maret 2012, bertempat di University

**) Hotel Yogyakarta. 1) Ketua Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  

Museum Affandi yang mengawetkan diri untuk melawan lupa. Di bagian utara, di tengah, dan di sisi

selatan kota Yogyakarta terdapat sejumlah galeri yang sekaligus menjadi tempat pameran non

  Menjawab pertanyaan tersebut pertama perlu dikemukakan apa yang dimaksud dengan spiritualitas. Kamus Besar Bahasa Indonesia, menyebut istilah spiritual dengan penjelasan “berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani, batin)”. Sedangkan istilah spiritualitas dalam sumber lain bisa diartikan bermacam-macam. Secara umum, istilah tersebut dikaitkan dengan hidup batin. Atau hal yang terkait dengan doa pribadi, atau terkait dengan aliran-aliran tertentu yang muncul dan berkembang dari wilayah agama besar, atau dari kepercayaan-kepercayaan lokal. Pengertian kontemporer sekarang mencakup lebih luas lagi, karena bisa dikaitkan dengan gerakan pecinta ekologi, atau dapat dikaitkan dengan metode untuk berproses dalam menjalani pengembaraan hidup pribadi, atau gerakan-gerakan alternatif yang mengembangkan kesadaran pribadi atau pengembangan kepribadian. Dengan pengertian semacam itu, tulisan ini akan mengaitkan beberapa hal yang memperlihatkan keterkaitan antara dunia lukis dan spiritualitas (kontemporer) yang tampil lewat pameran seni rupa. Kaitan tersebut dapat ditempatkan pada wilayah proses bagaimana sebuah pameran lukisan dipersiapkan mulai dari pemilihan tema, sampai pada pemilihan para pesertanya. Dapat juga ditempatkan bagaimana karya-karya yang ditampilkan, diperkenalkan dan dibicarakan. Kemungkinan lain adalah bagaimana karya-karya diapresiasi, dibaca dan dimaknai. Dalam lingkup-lingkup itulah akan ditemukan apa spiritualitas yang dimaksudkan di sini.

3. Dinamika pelaku, lembaga pendidikan, dan pameran

  Sudah sejak masa Ibukota RI di Yogyakarta, antara 1946 - 1949, Yogyakarta terkait dengan dunia lukisan yang dicipta oleh para perupa dan dipamerkan untuk menopang perjuangan kemerdekaan RI dan menjadi sarana untuk menjalankan diplomasi Negara RI yang baru lahir. Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan masa pemerintahan Suharto, dalam buku memoarnya, menuliskan bagaimana para perupa ikut menyokong perjuangan para pejuang lewat kemampuannya melukis pada kanvas atau membuat poster pada kertas-kertas yang kemudian disebar untuk mengobarkan semangat juang para gerilyawan. Atau para seniman akan diundang Presiden Sukarno untuk memamerkan karyanya dalam menyambut tamu-tamu asing yang diundangnya. Dengan cara tersebut, ada beberapa hal terjadi. Perupa memamerkan karyanya yang sekaligus kemampuannya untuk menghadirkan bahasa simbol yang sekaligus juga mengetengahkan interpretasi dan pesan yang mau dikomunikasikan. Dalam peristiwa ini, ada satu peran dalambagian diplomasi seni yang dipercayakan kepada para seniman itu.

  Demikian pun, pendirian lembaga pendidikan tinggi senirupa (ASRI-Akademi Seni Rupa Indonesia) dimaksudkan untuk mendidik para calon guru menggambar, membentuk seniman sebagai penggiat budaya, dan ahli pemikir budaya. Lembaga tersebut dengan cita- cita dan visi panjangnya memperlihatkan keberadaannya sebagai lembaga pendidikan tinggi yang membentuk perupa sebagai alumni yang mewujudkan visi dan misi lembaga ASRi itu.

  Terkait dengan ini, kalau mencermati biografi beberapa seniman lulusan ASRI, mereka mencerminkan bagaimana semangat tersebut terejawantah secara nyata. (Lihat misal, biografi sejumlah tokohnya.) 4.

   Pameran dan usaha sekitarnya

  Beberapa tempat penting yang menjadi ruang pameran dapat menjadi sumber yang menyimpan banyak kisah. Di wilayah utara Yogyakarta ada Bentara Budaya. Di selatan ada Cemeti Art Galleri, Kedai Kebun Forum. Tempat-tempat tersebut menjadi ruang pameran, atau menjadi tempat aktivitas seni budaya lainnya. Dalam penyelenggaraannya, lembaga- lembaga tersebut memiliki beberapa personil sebagai pemikir dan pelaksana yang menjadi tugas tetapnya. Sekaligus mereka juga mempunyai hubungan baik dengan berbagai kalangan yang turut mengkoordinir dan menjadi tenaga yang membantu tatkala tempat tersebut menjadi tempat pamer.

  Ada bermacam kegiatan seni, komunitas seni, para tokoh yang membuat Bentara Budaya dan tempat-tempat lain itu menjadi tempat berharga untuk diperhitungkan. Para perupa/ seniman muda yang tengah meniti karir pada bidang tertentu mendapatkan tempat dan kesempatan untuk berpameran, mengelar karya-karyanya yang mempunyai keterangan sedemikian itu. Di antara tempat tesebut, ada juga yang memberi tempat kepada seniman tua dari wilayah lokal yang sangat terbatas aksesnya, dan tak mempunyai kesempatan untuk memamerkan karyanya. Tokoh-tokoh dan pilihan yang diangkat akan menemukan dan menentukan dinamikanya. Selain pameran perseorangan dengan kekhasan mereka, di Bentara Budaya juga diselenggarakan pameran lukisan yang diajak untuk mendalaminya, dan menuangkan gagasannya pada media kanvas yang menjadi keahlian mereka.

  Dalam lima tahun terakhir, sejumlah tema yang mengritik situasi aktual (tanggal tertentu, atau hari penting untuk orang-orang tertentu. Meneliti jejak yang ditinggalkan lewat katalog yang memuat karya-karya mereka, dapat dijumpai keprihatinan terhadap hal- hal tertentu yang kemudian hadir di atas kanvas atau sarana apa pun (instalasi) sehingga karya estetisnya ternikmati, tapi sekaligus menemukan jejak cara perupa mengolah tema dan melakukan eksekusi visualnya sehingga tanggapan dari seniman yang ikut serta belum terdaftar di dalamnya.

  Saat pameran berlangsung, penyelenggara akan membagikan katalog sebagai inventaris dan dokumentasi atas karya-karya yang dipasang. Dengan katalog tersebut, jejak dapat terlacak. Dan karyanya dapat dinikmati berulang-ulang, di samping karya asli yang dipasang di pameran, tersedia untuk dicermati dan diapresiasi. Juga tatkala pameran tidak berlangsung lagi, katalog masih menjadi media yang merekam. Dengan demikian dalam katalog dapat ditemukan jejak bagaimana keprihatinan tematis diinterpretasi oleh para perupa sebagaimana tercermin sampai dengan eksekusi akhir dengan karya seninya.

5. Beberapa tema Katalog seni rupa diproduksi oleh penyelenggara dan dibagikan secara gratis.

  Barangkali secara sederhana, dengan pembagian gratis tersebut tidak terdapat motivasi komersial dalam penyelenggaraannya. Di dalamnya, ada sebuah proses konsumsi (menikmati, dan berapresiasi) yang seimbang. Wilayah tanggung jawab sosial dari perusahaan Kompas Gramedia, seakan tercermin dalam policy ini. Apakah dengan demikian tidak bisa dikerjakan dengan semangat ekonomi yang tinggi. TIndakan social semacam ini juga tampil dalam keragaman tema-tema yang kebanyakan social-politik-budaya dalam bentuk ‘plesetan/ sarkarme’ dari peristiwa tertentu pada wilayah social yang menjadikan keprihatinan bagi warga. Beberapa dapat diketengahkan, contoh-contohnya. Pemilihan tema – merupakan bagian dari proses produksi. Tahap ini merupakan fase penting karena disitulah motivasi dan pesan tertuang. Entah keprihatinan terhadap apa. pada politik uang, pameran di Bentara Budaya sepertinya jauh dari aspek ekonomi tersebut. Pembuatan katalog dengan pilihan judul, cover dan kata pengantar menjadi memperkuat bagaimana pilihan tema dijabarkan dan digaris bawahi.

  Di sinilah masyarakat pengunjung mendapatkan keleluasannya untuk berapresiasi atasnya. Bisa jadi orang berpikir atas wilayah komoditas. Barang yang dapat diperjual belikan. Tapi jelas hal tersebut, tidak merupakan tempat utama. Seniman berkreasi dengan segala gagasan dan eksekusi visual yang dipilih dan diolahnya sampai terwujud dalam karyanya. Bersama menempatkan dengan sejumlah karya yang pernah dipamerkan, tidak ada jejaknya. Bagaimana membaca lebih lanjut. Itulah semangat sosial yang ingin disajikan dan dikomunikasikan. Tempat menjadi ruang sosial, kurator mengetengahkan tema sebagai komunikasi yang perlu ditanggapi. Untuk menegaskan tema, kadang disediakan juga diskusi yang beriringan dengan … dan segala kehadirannya. Lalu, tahap berikut kesempatan penikmat untuk mengapresiasi dan bertafsir.

  Masing-masing tema, ditempatkan dalam konteks tertentu, situasi masyarakat di mana . Sehingga pesan dan makna menggema. Lindu (2006), merupakan salah satu karya setelah peristiwa yang menimba yogya dan menelan sekian banyak korban. Inilah spiritualitas itu. Menggerakkan. Beberapa tema politik, karena menanggapi kesemrawutan pemerintah, suasana menjelang pemilu yang mengajak mengritisi calon anggota parlemen (Kere Munggah Mbale), dan anggota parlemen yang bermental tak tahu malu. (Rai Gedheg) Inilah spiritualitas sosial, bersemangat untuk menampilkan dan berpartisipasi.

  Demikian pun di tempat pendidikan, Cemeti Art Gallery yang memberi kesempatan para perupa asing untuk magang. Pilihan tema yang disajikan dalam katalog, dalam kesejajaran dengan katalog dari BB dapat ditemukan bagaimana spiritualitas itu berlangsung. Mereka menyuarakan keprihatinan atas masalah lingkungan. Inilah spiritualitas ekologi yang ingin dikomunikasikan. Demikian terus beberapa tema lain yang ditawarkan dan ditanggapi (BLU), sangat memberi wajah pada bagaimana spiritualitas atas keprihatinan hal tertentu menjadi masalah yang direfleksikan dan direpresentasikan dalam

  6. Jejak-jejak yang butuh apresiasi Pameran hadir secara langsung dan katalog. Dalam beberapa kesempatan di berbagai tempat, upacara dimeriahkan dengan beberapa rangkai acara. Ritus atau performance memulai dan memberi tempat publik untuk dilanjutkan. Menunggu apresiasi. Memang membutuhkan perangkat ilmu khusus tersendiri (ilmu semiotika- yang memungkinkan membaca tanda), tapi dapat juga apresiasi dilakukan secara sederhana.

  Pengalaman estetik yang dituangkan dalam karya, dan dikomunikasikan kedalamannya akan menemukan hal-hal yang bisa ditangkap dalam pameran dan katalog tersebut. Warna, cahaya. Bentuk, benda, sosok atau apa pun yang ditempatkan sebagai yang mengundang tanggapan. Spiritual yang menggerakkan akan bergerak kemana-mana.

  7. Rasanya berlebihan menghubungkan Yogyakarta dengan peninggalannya memiliki bangunan-bangunan yang berhubungan dengan pelayanan publik: fasilitas pendidikan, kesehatan, perekonomian

  (pasar/ pertokoan), pemerintahan (perkantoran), tempat ibadat, tempat/ fasilitas sosial lainnya. Bangunan-bangunan tersebut dibangun tidak dalam ruang kosong. Dengan demikian akan memiliki juga sambungan sejarah. Historisitas akan berkaitan dengan identitas yang hadir lewat simbol. Dalam hal ini juga hadir lewat identitas yang dirumuskan dalam ekspresi-ekspresi bagaimana Keprihatinan yang dikomunikasikan melalui pemilihan tema yang dihadirkan dalam berbagai pameran. Kalau dalam sejarah awalnya, kehadiran seni rupa telah menopang kehadiran Negara RI di mana para seniman turut berdiplomasi di dalamnya sebagaimana disebut di atas, dalam keberadaannya sekarang keperdulian warga Yogyakarta hadir dalam kritik yang diberikan pada situasi pemerintahan yang kurang ambil peduli pada usaha menyejahterakan rakyatnya. Kritik tersebut disuarakan lewat media seni rupa. Di sini dapat dikatakan bagaimana pameran seni rupa di Yogyakarta turut menjaga bagaimana identitas bangsa, jati diri bangsa terus disuarakan. Tidak dengan cara fisik demo turun ke jalan, melainkan dengan gambar yang menyimpan makna dan pesan. Para perupanya disodori tema keprihatinan, yang memancing proses kreatifnya. Sampai terwujud dalam berbagai karya mereka. Di sinilah, budaya yang tampil dalam media seni nilai dengan mata uang, tapi penyampai pesan untuk identitas bangsa yang memang telah diusahakan pada sejarah sebelumnya. Seniman menjadi aktor sejarah yang terlibat dalam membangun identitas bangsa melalui karya-karyanya. Di sinilah karya seni mempunyai makna spiritual, terkait dengan hal-hal luhur yang senantiasa disuarakan. Menjadi nyata dalam menanggapi situasi-situasi keprihatinan bersama seluruh bangsa. Dengan cara demikian seni rupa terus turut membangun identitas bangsa.

  Diselesaikan di Mrican, 27 Maret 2012.