EKSISTENSI TOKOH NYAI DALAM DUA NOVEL SASTRA PERANAKAN CINA KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

  

EKSISTENSI TOKOH NYAI

DALAM DUA NOVEL SASTRA PERANAKAN CINA

KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

  Oleh

  

Fransiska Firlana Laksitasari

NIM : 034114023

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

2008

  

PERSEMBAHAN

U n tu k Ye s u s ya n g Es a , ka re n a cin ta- Mu a ku be ra d a

U n tu k a lm a rh u m B a p a k ya n g d i s u rga , m e s ki Ka u ta k s e m p a t

m e n ja d i te m a n u n tu k m e n cu ra h ka n h a ti ke tika ku d e w a s a .

Ib u ku ya n g s e tia m e n d a m p in gi d a n m e m p e rju a n gka n m a s a

d e p a n ku , w a ja h m u s e la lu m e lu lu h ka n a irm a ta ku . D a n a ku

m e n ja d i ku a t ka re n a m u .

D im a s Rizky ya n g s e n a n tia s a a d a , s a ya p in i s e m a kin ku a t

m e n ge p a k ka re n a s u d a h m e n e m u ka n s a ra n g u n tu k p u la n g.

  

D ite rb a n gka n ta kd ir a ku ( ka n ) s a m p a i…..b e gitu s ya ir S a p a rd i

le m b u t ka u la gu ka n u n tu kku .

  

S krip s i in i ju ga ku p e rs e m b a h ka n b a gi s ia p a s a ja ya n g

m e m b u tu h ka n p e m b u ktia n d a la m ke b e ra d a a n n ya .

  

MOTTO

  S abar dan s adar dal am ket er bat as an akan membuat mu mampu men en t ukan pil ihan . D an B iar l ah s akit mu men j adi kekuat an mu.

  An gin adal ah t an da dan wakt u adal ah ker j a r as a. Ger akku adal ah keber adaan ku.

  K etika membaca tanda di bawah rumpun bambu, Firlana

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertandatangan di bawah ini, saya, mahasiswa Sanata Dharma: Nama : Fransiska Firlana Laksitasari Nomor Mahasiswa : 034114023

  Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

  

EKSISTENSI TOKOH NYAI DALAM DUA NOVEL SASTRA

  :”, beserta

  PERANAKAN CINA KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA perangkat yang diperlukan.

  Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya ataupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

  Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 30 Juni 2008 Yang menyatakan

  Fransiska Firlana Laksitasari

  

ABSTRAK

  Laksitasari, Fransiska Firlana. 2008. Eksistensi Tokoh Nyai dalam Dua Novel Skripsi. Program Sastra Peranakan Cina. Kajian Sosiologi Sastra. Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.

  Kisah pernyaian menjadi motif paling dominan dalam Sastra Peranakan Cina. Hubungan antara nyai dengan lelaki berkebangsaan Cina menjadi alat pengarang untuk menyampaikan ideologinya dalam menanggapi kondisi sosial masyarakat pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Penelitian ini memusatkan kajian pada novel Cerita Nyai Soemirah dan novel Kota Medan

  . Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan

  Penu dengen Impian

  mendeskripsikan eksistensi tokoh nyai dalam dua novel tersebut. Metode penelitian deskripsi analisis digunakan dalam penulisan ini, sedangkan pendekatan yang diterapkan adalah struktural dan Sosiologi Sastra.

  Politik rasial yang diberlakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda mempengaruhi keharmonisan hubungan antarbangsa. Untuk itu, keberadaan nyai ditanggapi dengan pro dan kontra. Situasi ini tidak menghalangi nyai dalam memerdekakan pilihannya, tetapi justru mendorong para nyai untuk mengaktualisasi keberadaannya. Sistem lama yang mengikat justru mendukung nilai baru yang dipertentangkan. Menjadi nyai bukanlah suatu paksaan, melainkan suatu pilihan untuk mewujudkan kehendak. Nyai Soemirah dan Nyai Ros Mina dengan rela dan sadar menjadi nyai dari lelaki berkebangsaan Cina.

  Eksistensi tokoh nyai dapat dilihat dari segi motivasi, peran, dan pandangan masyarakat. Aktualisasi ketiga unsur tersebut dipengaruhi oleh proses sosialisasi, idealisme, dan loyalitas. Motivasi dominan seorang perempuan menjadi nyai adalah faktor lingkungan yang didukung oleh ambisi pribadi. Seorang nyai yang berlatar belakang bangsawan hanya memiliki peran di wilayah domestik. Nyai dari golongan golongan ini cenderung setia dan bermartabat. Nyai yang berasal dari keluarga miskin berperan di wilayah domestik dan di bidang ekonomi. Menurut pandangan masyarakat pribumi yang kontra, nyai merupakan wujud penghinaan dan pengkhianatan terhadap rasa kebangsaan. Pernyaian dianggap menentang dan menjauhkan diri dari ajaran agama Islam. Namun, bagi masyarakat yang pro, nyai dipandang hanya sebagai gelar. Selain itu, nyai dianggap sebagai jalan untuk mewujudkan keinginan. Sosok nyai bagi masyarakat Cina tetaplah seorang perempuan yang memiliki hak dan patut dicinta selayaknya istri sah. Di sisi lain, nyai adalah istri sementara yang bisa diperoleh dengan uang dan bisa dibuang kapan saja.

  ABSTRACT

  Laksitasari, Fransiska Firlana. 2008. The Existence of Nyai in Two Novels of the Peranakan Chinese Literature. A Literary Sociological Approach.

  A Thesis. Indonesian Letters Study Programme, Indonesia Letters Department, Faculty of Letters. Sanata Dharma University. Yogyakarta.

  The story of nyai becomes the most dominant motive in Peranakan Chinese Literature. The relation between nyai with a man Chinesse nationality becomes the author is tool to convey his ideology to read the society social condition in the era of Netherland Colonial government. This study focuses its discussion to the novels entitled Cerita Nyai Soemirah and Kota Medan Penu

  . The objective of this study is to analyse and to describe the

  dengen Impian

  existence of nyai in those two novels. The method used in this study is an analysis descriptive method, while the approach applied is a structural and literally Sociology Approach.

  Racial politic practiced by Netherland Colonial government influences the harmonization of the relation among nation. Therefore, the existence of nyai has a pro and contra. This situation does not abstruct nyai to free her choice, but it encourages her actualize her choice. The old system which bind exactly agree with the new value which is contradictory. Becoming a nyai is not a force, but a choice to realize her will. Nyai Soemirah dan Nyai ros Mina are in favour and conciously become nyai of a man with Chinesse nationality.

  The existence of nyai can be seen through motivational aspect, role, and society’s perspective. The actualization of those three is influenced by the process of socialization, idealism, and loyality. The dominant mitivation of a women to become nyai is the environt mental factor which is supported by her personal ambition. A nyai who has a noble background only gets a role in domestic area. Nyai from this class is tend to be loyal and more prestigious. Nyai who comes from a poor family has a role in domestic and economic area. Based on the perspective of native people who are contra, nyai is a kind of disdain and deceit to nationalism. The practice of nyai is considered in conflict and goes beyond the Moslem is belief. In the other hand, the society which is pro perceives nyai merely as a title. The other say that nyai becomes a way to realize the will. The character of nyai for Chinesse society is still a woman who has a right and fair to love as a legal wife. Otherwise, nyai is only a temporary wife who can be bought with money and can be threw away anytime.

  

Kata Pengantar

  Hasil sebuah kerja bukanlah suatu kesudahan. Untuk mencapai hasil, suatu proses harus dilampaui. Penelitian ini merupakan hasil dari sebuah proses yang tidak berkesudahan. Terima kasih untuk Gusti Allah yang setia dan senantiasa memberi hawa penyegaran dalam proses hidup ini. Dukungan dari banyak pihak telah membantu penyelesaian penelitian ini, untuk itu saya ucapkan terima kasih kepada:

  1. S.E. Peni Adji, S. S., M. Hum dosen pembimbing yang membuatku melakukan harmonisasi kodrati perempuan.

  2. Drs. B. Rahmanto, M. Hum, dosen pembimbingku. Hal yang selalu kuingat dan kupegang dari perkataan Bapak “Kalian harus tahan banting!”.

  3. Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M. Hum, dosen penguji, terima kasih peluangnya.

  4. Serta segenap dosen Prodi Sastra Indonesia, Drs. Hery Antono, M. Hum, Drs. P. Ary Subagyo, M. Hum, Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum, Drs.Yosef Yapi Taum, M. Hum, Drs. F.X. Santoso.

  Penelitian ini sudah tentu masih banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran dari para pembaca akan sangat membantu kesempurnaan penelitian ini. Penulis berharap semakin banyak orang yang peduli dengan Sastra Peranakan Cina, meski sekadar membacanya. Semoga setiap manusia memiliki semangat kesadaran akan eksistensinya di dunia ini. Terima kasih.

  DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................................

  i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii PERSEMBAHAN............................................................................................. iv MOTTO …………………………………………………………………... v SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................ vi ABSTRAK ........................................................................................................ vii ABSTRACT ....................................................................................................... viii KATA PENGANTAR ...................................................................................... ix DAFTAR ISI .................................................................................................... x BAB I PENDAHULUAN...............................................................................

  1 1. 1 Latar Belakang ............................................................................

  1 1. 2 Rumusan Masalah .......................................................................

  6 1. 3 Tujuan Penelitian.........................................................................

  7 1. 4 Manfaat Penelitian.......................................................................

  7 1. 5 Tinjauan Pustaka ........................................................................

  8 1. 6 Landasan Teori ……………………………………………...

  9 1. 7 Metodologi Penelitian ……………………………………….

  15 1.7.1 Pendekatan ..................................................................

  15 1.7.1 Metode ........................................................................

  15

  1.7.4 Sumber Data ...............................................................

  16 1. 8 Sistematika Penyajian ………………………………………

  17 BAB II KONDISI SOSIAL MASYARAKAT DAN SASTRA PERANAKAN CINA ......................................................................

  18

  2.1

  19 Kondisi Sosial Masyarakat Cina ................................................. 2. 2 Masyarakat dan Sastra Peranakan Cina .......................................

  24 2. 3 Perkawinan Campur dan Tradisi Nyai ........................................

  30 BAB III TOKOH DAN PENOKOHAN NYAI SOEMIRAH DALAM NOVEL CERITA NYAI SOEMIRAH DAN NYAI ROS MINA DALAM NOVEL KOTA MEDAN PENU DENGEN IMPIAN......

  34 3. 1 Tokoh dan Penokohan Nyai Soemirah .......................................

  35 3. 2 Tokoh dan Penokohan Nyai Ros Mina .......................................

  51 3. 3 Rangkuman..................................................................................

  72 BAB IV EKSISTENSI TOKOH NYAI DALAM NOVEL CERITA NYAI DAN DALAM NOVEL KOTA MEDAN PENU

  SOEMIRAH DENGEN IMPIAN ...........................................................................

  76 4. 1 Pengantar ....................................................................................

  76 4. 2 Motivasi Tokoh menjadi Nyai.....................................................

  77 4. 2. 1 Motivasi Nyai Soemirah...................................................

  77 4. 2. 2 Motivasi Nyai Ros Mina .................................................

  81 4. 3 Peran Nyai dalam Keluarga .........................................................

  88 4. 3. 1 Peran Nyai Soemirah ………………………………….

  89

  4. 4 Nyai dalam Pandangan Pribumi dan Cina ……………………

  98 4. 4. 1 Nyai dalam Novel Cerita Nyai Soemirah ……………

  98 4. 4. 1. 1 Menurut Pandangan Masyarakat Pribumi ……

  98 4. 4. 1. 2 Menurut Pandangan Masyarakat Cina ……….. 113 4. 4. 2 Nyai dalam Novel Kota Medan Penu dengen Impian …. 118

  4. 4. 2. 1 Menurut Pandangan Masyarakat Pribumi …… 118 4. 4. 2. 2 Menurut Pandangan Masyarakat Cina ……….. 123

  4. 5 Rangkuman …………………………………………………. 131

  BAB V PENUTUP .......................................................................................... 135 5. 1 Kesimpulan ................................................................................. 135 5. 2 Saran ........................................................................................... 141

  DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 143 BIODATA PENULIS …………………………………………………….. 146

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Soemirah dan Ros Mina merupakan tokoh perempuan dalam dua novel Sastra Peranakan Cina. Kedua tokoh tersebut merupakan sosok perempuan pribumi yang memiliki hubungan khusus dengan lelaki etnis Cina. Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Bela nda, hubungan antara perempuan pribumi dengan lelaki lain bangsa diharamkan oleh sebagian masyarakat pribumi. Politik rasial yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda memunculkan kecemburuan pihak pribumi. Politik tersebut memutus proses asimilasi antarbangsa di Nusantara. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai stereotipe negatif antarbangsa. Faktor tradisi dan agama semakin mempersempit pandangan mengenai kekerabatan antarbangsa. Misalnya, problematika yang dihadapi Soemirah dalam novel karya Thio Tjin Boen yang berjudul Cerita Nyai Soemirah (1917). Soemirah dilarang memiliki hubungan khusus dengan lelaki Cina karena sang pujaan tidak beragama Islam. Soemirah pun harus memperjuangkan cintanya itu dan tidak peduli berstatus nyai. Juvenile Kuo dalam novel Kota Medan Penu dengen Impian atawa Nyai

  

Tertabur dengen Mas (1928) menghadirkan Ros Mina yang diusir ayahnya

  karena menjadi istri muda orang asing. Ros Mina dianggap melanggar ajaran agama Islam dan karena itu ayahnya sangat malu. Ros Mina yang merasa sudah kepalang tanggung, akhirnya dengan sengaja menjadi nyai dari lelaki- lelaki Cina supaya bisa hidup bersenang-senang.

  Hubungan dengan lelaki lain bangsa ini membuat Soemirah dan Ros Mina berstatus nyai. Sosok nyai hanya berstatus sebagai istri sementara dan tidak resmi. Menjadi nyai dianggap sebagai suatu penghinaan terhadap bangsa.

  Namun demikian, Soemirah dan Ros Mina memiliki pandangan yang berbeda dalam menyikapi pendapat masyarakat terhadap sosok nyai. Mereka memiliki perjuangan dan pemikiran sendiri dalam menghadapi nilai- nilai sosial yang sangat membatasi hak serta eksistensi mereka. Sebagai manusia, Soemirah dan Ros Mina menyadari bahwa kehadiran mereka di dunia bukan sekadar ‘berada’ seperti benda mati. Bagi mereka yang terpenting adalah soal baga imana menyadari keberadaan tersebut serta mempertanyakan makna keberadaan itu sendiri. Pengakuan dan perhatian eksistensi personal mereka juga dibutuhkan.

  Keberadaan Soemirah dan Ros Mina melibatkan lingkungan serta tradisi kolot masa itu (kolonial). Misalnya saja ketika Soemirah memiliki perasaan khusus terhadap lelaki Cina. Menurut pandangan sang ibu, hubungan itu diharamkan karena orang Cina kafir (tidak beragama Islam). Selain itu, sebagai keturunan bangsawan, sang ibu merasa perlu untuk menjaga martabat keluarga.

  Keterlibatan lingkungan dalam kehidupan seseorang memperlihatkan bahwa eksistensi nyai sangat erat hubungannya dengan konteks sosio- masyarakat. Oleh karena itu, eksistensi tokoh nyai tersebut dikaji dari segi ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, situasi sosial, serta proses sosialnya (Semi 1989: 52). Berkiblat dari pendapat Lukacs dalam Taum (1997: 50,51) yakni sastra sebagai cermin masyarakat, penelitian ini mendeskripsikan dan menganalisis peristiwa yang hadir dalam novel yang dianggap sebagai gejala masyarakat pada waktu itu. Akan tetapi, pencerminan tersebut bukanlah pengekspresian gejala masyarakat secara konkret dan menyeluruh. Fokus penelitian ini adala h perempuan berstatus nyai yang diwakili oleh Soemirah dan Ros Mina terkait dengan eksistensinya. Kedua nyai tersebut mempunyai cara berbeda dalam mengaktualisasikan diri di tengah zaman yang mengikat pada masa itu.

  Kedua novel ini sengaja dipilih karena tokohnya memiliki kesamaan status sebagai nyai dari lelaki Cina. Akan tetapi, keduanya memiliki perbedaan dalam menyikapi tradisi dan nilai pada kondisi serta situasi yang hampir sama (masa pemerintahan kolonial). Bagi Soemirah, apa yang dilakukan berlandaskan rasa cinta. Ia merasa bahwa mencintai dan berhubungan dengan lelaki dari bangsa manapun sah-sah saja dan tidak menganggap sebagai suatu kesalahan. Meskipun demikian, ia tidak ingin anaknya bernasib sama dengan suaminya, dikucilkan dari keluarga. Berbeda dengan Ros Mina, semua yang dijalaninya demi kesenangan semata. Meski awalnya tersiksa, namun pada akhirnya ia menikmati karena alasan materi.

  Berdasarkan periodisasi Sumarjo (1989: 91) novel Cerita Nyai

  

Soemirah (1917) masuk dalam masa pengembangan (1912-1924) yakni masa

  Peranakan semakin menonjol. Novel Kota Medan Penu dengen Impian atawa

  

Nyai Tertabur dengen Mas (1928) masuk dalam masa keemasan (1925-1942)

  yakni puncak perkembangan sastra Melayu-Rendah. Novel merupakan salah satu jenis sastra yang banyak ditulis dan diterbitkan oleh kaum Peranakan.

  Perbedaan periodisasi ini ternyata tidak mempengaruhi tema-tema yang muncul, terutama dominasi tema pernyaian. Para pengarang memiliki sudut pandang yang berbeda dalam mengemas tema nyai pada sebuah cerita. Kesamaan tema tersebut membuktikan bahwa problematika seorang nyai masih berlangsung. Nyai seolah menjadi motif sastra yang terus mendapat perhatian bahkan menjadi subjek utama dalam cerita berbahasa Melayu Rendah.

  Lan (1962: 7) berpendapat bahwa Sastra Indonesia-Cina merupakan hasil karya segolongan penduduk Cina yang pada waktu itu disebut Tionghoa- Peranakan. Menurut Salmon (1985: xv), ditemukan 3005 judul karya yang 1398 diantaranya berupa novel dan cerpen asli. Menurut Watson dalam Faruk dkk (2000: 35) salah satu ciri Sastra Peranakan Cina adalah bercerita tentang nyai. Hal tersebut tidak mengherankan karena pada masa kolonial sosok nyai cukup menjadi sorotan masyarakat. Sosok nyai begitu dekat dengan penguasa- penguasa, kondisi sosial politik yang tidak memihak pribumi membuat status nyai dianggap sebagai kehinaan dan pengkhianatan.

  Thio Tjin Boen dan Juvenile Kuo merupakan kaum Peranakan yang mengangkat kisah para nyai dalam karya sastra. Mereka menampilkan perempuan-perempuan pribumi yang memilih dengan tulus, terpaksa, bahkan memang seperti itulah hidup dan kehidupan perempuan pribumi yang menjadi nyai. Terlebih mengingat pengarang-pengarang tersebut hidup pada masa ‘larisnya’ para nyai. Sebagai pengarang, mereka ingin menggambarkan situasi dan kondisi suatu masa di mana mereka hidup terkait dengan problematika nyai. Sosok nyai dihadirkan untuk membalut ideologi- ideologi yang sedang berkembang saat itu, misalnya soal nasionalisme. Kisah dan kiprah para nyai menjadi cerminan perempuan pribumi pada masa itu. Hal ini diyakinkan dengan pendapat dari tokoh dan pemerhati Sastra Peranakan Cina berikut.

  (1) “Dalam sastera sesuatu bangsa dalam sesuatu masa jang tertentu tertjerminlah keadaan kemasjarakatan bangsa itu selama kala itu terbajang perkembangan kemasjarakatan bangsa itu”. (Lan, 1962: 33)

  Karya sastra yang lahir pada suatu masa tertentu merupakan cerminan kondisi masyarakat, akan tetapi kenyataan-kenyataan yang ada sudah dipantulkan oleh pengarang. Cerita Soemirah dan Ros Mina yang muncul era 1800-an hingga 1900-an diciptakan untuk mewakili situasi kemasyarakatan pada saat itu.

  Situasi sosial maupun politik yang tersirat dalam novel merupakan gambaran perkembangan sejarah masa itu.

  Soemirah dan Ros Mina merupakan gambaran perempuan pribumi pada masa kolonial Belanda yang memiliki cara dalam mewujudkan eksistensi personal mereka. Untuk mengungkapkan eksistensi dan cermin perempuan berstatus nyai pada masa tersebut perlu dibahas tokoh serta penokohan mereka.

  Hal ini mengingat bahwa eksistensi dalam penelitian ini berobjek pada tokoh.

  Keduanya merupakan tokoh utama yang berstatus nyai dan paling dominan dalam penceritaan. Namun sebelumnya, akan dibahas kondisi sosial masyarakat dan Sastra Peranakan Cina. Pembahasan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran bahwa kondisi sosial masyarakat memiliki pengaruh dalam penciptaan karakter tokoh. Selain itu, pembahasan tersebut memiliki fungsi sebagai cerminan dalam perwujudan eksistensi tokoh.

1.2 Rumusan Masalah

  Fokus permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

  1.2.1 Bagaimanakah kondisi sosial masyarakat dan Sastra Peranakan Cina?

  1.2.2 Bagaimanakah deskripsi tokoh dan penokohan Nyai Soemirah dalam novel Cerita Nyai Soemirah karya Thio Tjin Boen dan Nyai Ros Mina dalam novel Kota Medan Penu dengen Impian

  

atawa Nyai Tertabur dengen Mas karya Jovenile Kuo?

  1.2.3 Bagaimanakah eksistensi Nyai Soemirah dalam novel Cerita Nyai

  Soemirah karya Thio Tjin Boen dan Nyai Ros Mina dalam novel Kota Medan Penu dengen Impian atawa Nyai Tertabur dengen

  karya Jovenile Kuo dalam kajian Sosiologi Sastra?

  Mas

  Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul berdasarkan uraian dalam latar belakang yang memperlihatkan beberapa permasalahan sehingga

1.3 Tujuan Penelitian

  Mengacu pada rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

  1.3.1 Mendeskripsikan kondisi sosial masyarakat dan Sastra Peranakan Cina.

  1.3.2 Mendeskripsikan tokoh dan penokohan Nyai Soemirah dalam novel Cerita Nyai Soemirah karya Thio Tjin Boen dan Nyai Ros Mina dalam novel Kota Medan Penu dengen Impian atawa Nyai karya Jovenile Kuo.

  Tertabur dengen Mas

  1.3.3 Menganalisis dan mendeskripsikan eksistensi Nyai Soemirah dalam novel Cerita Nyai Soemirah karya Thio Tjin Boen dan Nyai Ros Mina dalam novel Kota Medan Penu dengen Impian

  atawa Nyai Tertabur dengen Mas karya Jovenile Kuo dalam kajian Sosiologi Sastra.

1.4 Manfaat Penelitian

  Hasil penelitian ini memiliki beberapa manfaat antara lain :

  1.4.1 Manfaat Teoritis 1.4.1.l Melengkapi perkembangan khazanah sastra dalam hal penelitian sastra mengingat belum banyak yang meneliti novel- novel Sastra Peranakan Cina.

  1.4.1.2 Menjadi media pengungkap fakta dalam realitas yang

  1.4.2 Manfaat Praktis

  1.4.2.1 Memperkenalkan Sastra Peranakan Cina khususnya novel bagi masyarakat yang belum mengenal Sastra Peranakan Cina. Sampai sekarang keberadaan sastra ini belum mendapat tempat dalam sejarah sastra Indonesia.

  1.4.2.2 Memperkenalkan tokoh-tokoh nyai dari lelaki Cina yang muncul dalam karya sastra karangan kaum Peranakan.

1.5 Tinjauan Pustaka

  Sumarjo dalam buku Kesusastraan Melayu-Rendah Masa Awal (2004) mengulas novel Cerita Nyai Soemirah dengan judul yang sama dengan tokohnya. Pembahasan ini seturut alur cerita, namun kurang detail dari segi tokoh dan penokohan. Dominasi pembahasannya adalah perihal pendidikan Barat dan Timur; tidak secara khusus membahas tokoh perempuannya (Soemirah). Sepanjang penulusuran peneliti, novel Kota Medan Penu dengen

  

Impian atawa Nyai Tertabur dengen Mas belum pernah dibahas, namun

  seringkali dicantumkan dalam penggolongan jenis novel Sastra Peranakan Cina.

  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa topik penelitian mengenai eksistensi nyai belum pernah ada yang meneliti.

1.6 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan teori struktural dan Sosiologi Sastra.

  Teori struktural untuk membahas tokoh dan penokohan, sedangkan teori Sosiologi Sastra untuk mengkaji eksistensi tokoh.

  1.6.1 Teori Struktural Teori struktural merupakan sebuah pendekatan ya ng mengkaji unsur- unsur pembangun karya sastra. Mursal Esten (1990: 18) menyebutkan bahwa struktur karya sastra terdiri atas unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik karya sastra meliputi tema, alur, latar, tokoh dan penokohan, dan gaya. Faktor politik, ekonomi, sosial, dan psikologi merupakan unsur-unsur ekstrinsik dalam karya sastra. Dalam penelitian ini, penulis hanya membahas unsur tokoh dan penokohan mengingat kajian utama penelitian ini adalah sosok nyai terkait dengan eksistensinya.

  1.6.1.1 Tokoh dan Penokohan Istilah “tokoh” menunjuk pada pelaku cerita, sedangkan penokohan menunjuk pada sifat dan sikap tokoh yang ditafsirkan oleh pembaca.

  (Nurgiyantoro, 2002: 165). Menurut perannya, tokoh dapat dibagi menjadi dua yakni tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan dalam penceritaan dan yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Keutamaan tokoh ditentukan oleh dominasi, banyaknya penceritaan, dan pengaruhnya terhadap plot secara keseluruhan. Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit muncul dan kurang penting dalam perkembangan alur cerita (Nurgiyantoro, 2002: 176,177).

  Penokohan adalah arti yang membedakan antara satu tokoh dengan tokoh lain. Tokoh dapat diamati dari segi fisik, sosial, psikologis, dan moral.

  Unsur-unsur segi fisik antara lain terlihat dari jenis kelamin, umur, bentuk tubuh, dan warna kulit. Segi sosial dapat dilihat dari status ekonomi, profesi, agama, dan hubungan keluarga. Unsur kebiasaan, sifat, minat, motivasi, suka atau tidak suka seorang tokoh tergolong dalam psikologis. Segi psikologis menunjukkan pula kerja batin gabungan antara emosi dan intelektual yang menuntun perjalanan laku. Segi moral selalu ada dalam teks sastra. Sebuah keputusan berdasarkan moral akan membedakan pilihan para tokoh ketika dalam kondisi krisis moral. Keputusan tersebut menunjukkan apakah sang tokoh berwatak tidak mementingkan diri sendiri, hipokrit, atau kompromis (Yudiaryani, 2005).

  1.6.2 Sosiologi Sastra Sastra dipandang sebagai suatu lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai media pengungkapan permasalahan sosial (Wellek dan Warren,

  1990: 109). Hubungan antara sastra dan masyarakat dalam ilmu sastra disebut Sosiologi Sastra. Sosiologi Sastra adalah suatu telaah sosiologis terhadap suatu karya sastra. Sosiologi Sastra merupakan satu telaah sastra yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan tentang sosial serta tentang proses sosialnya (Semi, 1989: 52). Menurut Damono, Sosiologi Sastra yang diciptakan oleh sastrawan yang juga bagian dari anggota masyarakat (2002: 2). Pengarang adalah anggota masyarakat yang hidup dan berelasi dengan lingkungan sehingga berpengaruh pada proses kreatif pengarang.

  Masyarakat, pengarang, dan karya sastra memiliki hubungan yang erat sehingga karya sastra menjadi pencerminan pengalaman pengarang (Sumarjo, 1979: 15).

  George Lukas seorang krtitikus Marxis menggunakan istilah “cermin” dalam keseluruhan karyanya. Novel tidak sekadar menampilkan realitas, tetapi lebih menampakkan sebuah permenungan atau refleksi realitas yang lebih lengkap dan luas. Sebuah karya sastra diartikan sebagai proses yang hidup.

  Karya sastra tidak sekadar memberikan bentuk cloning dunia nyata, tetapi lebih pada koreksi diri (Taum, 1997: 50,51).

  1.6.2.1 Eksistensi berasal dari kata Latin existere (ex ‘keluar’ dan istere

  Eksistensi

  ‘membuat sendiri’). Hal itu berarti bahwa apa yang ada adalah apa yang memiliki aktualitas dan apa yang dia lami. Eksistensi menekankan ‘apanya’ sesuatu yang sempurna. Dengan kesempurnaan inilah sesuatu itu menjadi suatu eksisten. Eksistensi manusia adalah cara manusia berada di dunia ini.

  Eksistensialisme beranggapan bahwa manusia adalah makhluk yang merdeka sehingga ia bebas bertindak tetapi bertanggung jawab atas pilihannya (Sugono, 2003: 104). Eksistensi berarti adanya; keberadaan. Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang benar dan mana yang tidak benar (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1999: 253). Dalam penelitian ini yang dimaksud eksistensi adalah keberadaan manusia yang memiliki aktualitas yang merdeka tanpa memandang benar salah, namun bertanggung jawab dengan pilihannya.

  Hakikat eksistensi adalah gabungan dari unsur- unsur subjektif, seperti etos, moral, kemampuan, kompetensi, kecakapan, dsb. Eksistensi bukanlah suatu kondisi personal yang ajeg (tidak berubah). Eksistensi identik dengan proses kehidupan manusia. Proses kehidupan tersebut antara lain meliputi sosialisasi, idealisme, dan loyalitas (Panuju, 1996: 8).

  Sosialisasi merupakan proses pengenalan terhadap simbol-simbol, nilai- nilai, perilaku dari lingkungan yang kemudian direduksi menjadi sistem nilai. Sosialisasi bukanlah suatu proses yang terjadi begitu saja, melainkan menuntut keaktifan dari subjek individu. Jadi, karakter seseorang bukan saja dipengaruhi oleh faktor genetik atau lingkungan, melainkan proses sosialisasi yang mereka lakukan. Dari situ dapat dilihat bahwa eksistensi seseorang ditentukan oleh usaha, kerja, perbuataan, dan lingkungan pergaulan. Eksistensi juga sangat dipengaruhi faktor bagaimana seseorang merumuskan tujuan hidup atau idealisme. Idealisme tersebut dirumuskan secara rasional dan menjadi orientasi dominan dalam kehidupan seseorang. Tujuan hidup yang kuat mendorong seseorang menghalalkan sumber daya yang tersedia dan memiliki prinsip yang kuat dalam menggunakan “cara” dan argumen sebagai landasan filosofi sikap. Di sisi lain, loyalitas diartikan sebagai pengabdian. Dalam hal ini manusia dituntut untuk bertanggung jawab dan jujur dalam menjalankan pilihannya (Panuju, 1996: 9-12).

  Seorang manusia tidak cukup hanya dianggap ‘berada’ karena mereka bukanlah ‘benda’ (mati). Manusia mampu bergerak dan bukan sekadar digerakkan oleh dorongan dari luar. Seorang manusia memiliki daya dalam dirinya untuk bergerak. Menurut Irwanto, daya penggerak ini disebut motivasi.

  Motivasi bisa muncul dari lingkungan (desakan, situasi lingkungan), individu (instink, emosi, nafsu), dan dari tujuan atau nilai suatu objek (kepuasan atas pekerjaan, status, dan tanggung jawab) (2002: 193). Selain itu, keberadaan akan lebih bermakna bila seseorang memiliki peran dalam lingkungannya. Peran merupakan perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1999:751). Untuk mendukung peran tersebut tidak lepas dari pandangan masyarakat sebagai wujud pengakuan eksistensi seseorang.

  1.6.2.2 Nyai Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘nyai’ memiliki tiga pengertian yakni (i) panggilan untuk orang perempuan yang sudah kawin atau sudah tua, (ii) panggilan untuk orang perempuan yang usianya lebih tua daripada orang perempuan yang memanggilnya, (iii) gundik orang asing (terutama orang Eropa), sebutan kepada wanita piaraan orang asing (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1999: 695). Selain pengertian di atas, menurut sastra lama ‘nyai’ mempunyai arti ’adinda’ (Poerwadarminta, 1989:

  ’Nyahi’ adalah sebutan bagi seorang perempuan pengatur rumah tangga yang dimiliki oleh seorang pria Eropa (Suyono, 2005: 16). Di dalam

  

Kamus Moderen Bahasa Indonesia disebutkan pengertian ’nyai’ (ejaan lama:

  ’njai’) sebagai berikut, (i) adinda, kekasih, isteri: kakanda sekalian, pengantin, tunanganku, bakal isteriku, (ii) (Djw) nji, nyonya besar, (iii) perempuan piaraan bangsa Eropa yang tidak dikawini; (iv) (Sunda) upik, genduk (Zain, 517). ’Nyai’ memiliki empat pengertian, (i) sebutan perempuan muda kebanyakan, (ii) istri pejabat rendah, (iii) sebutan untuk perempuan pribumi yang menikah dengan orang asing yang beragama Islam, seperti Arab, Keling, dan Turki, (iv) bila menikah atau ’kumpul kebo’ dengan orang asing yang tidak beragama Islam disebut ’nyai- nyai’ (Rosidi, 2000: 455).

  Pengertian-pengertian ’nyai’ dalam referensi di atas mengalami perkembangan. Semula ’nyai’ digunakan untuk menyebut perempuan yang dikasihi, namun pada akhirnya pengertian ’gundik’ yang bertahan hingga sekarang. Pengertian awal ’nyai’ pun sudah tidak pernah dipakai lagi.

  Pengertian ’nyai’ sebagai sebutan gundik juga tercantum dalam Kamus

  

Indonesia Jawa (Sudaryanto, 1991: 218) dan Bausastra Jawa Indonesia jilid 2

(Prawiroatmojo, 1981: 18).

  Kenyataan dalam sastra adalah fakta-fakta dalam realita sebagai gejala- gejala masyarakat yang terungkap dalam teks. Sastra adalah cermin dalam realitas. Soemirah dan Ros Mina adalah tokoh teks yang dimunculkan pengarang karena gejala masyarakat. Mereka merupakan bagian dari tetapi, mereka mampu memaknai keberadaan tersebut sehingga muncul pengakuan dari masyarakat. Untuk itu, diperlukan cara dan sikap dalam mengaktualisasi diri sebagai wujud eksistensi personal. Teori eksistensi dalam penelitian ini digunakan sebagai kerangka berpikir dalam analisis.

1.7 Metodologi Penelitian

  1.7.1 Pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan struktural dan Sosiologi

  Sastra. Pendekatan struktural adalah pendekatan yang membatasi diri pada penelaahan karya itu sendiri. Telaah berdasarkan segi intrinsik meliputi tema, alur, latar, penokohan, dan gaya bahasa (Semi, 1989: 44,45). Penelitian ini hanya membahas unsur tokoh dan penokohan. Pendekatan sosiologis adalah pendekatan yang bertolak bahwa sastra merupakan percerminan kehidupan masyarakat (Semi, 1989: 46).

  1.7.2 Metode Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis. Secara etimologis, deskripsi dan analisis mempunyai arti menguraikan. Namun demikian, metode analisis tidak hanya menguraikan tetapi memberi pemahaman dan penjelasan (Ratna, 2004: 53). Penelitian ini dilakukan dengan cara memaparkan fakta- fakta yang disusul dengan penjelasan.

  1.7.3 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian dengan permasalahan penelitian. Data-data tersebut kemudian diklasifikasikan dan dikaji berdasarkan kriteria rumusan masalah hingga menemukan jawaban permasalahan. Tahap akhir adalah penyajian hasil analisis data.

  1.7.4 Sumber Data Penelitian ini menggunakan dua sumber data berupa novel dalam buku seri terbitan Kepustakaan Populer Gramedia. Cerita Nyai Soemirah

  

atawa Peruntungan Manusia (jilid 1) dan Cerita Nyai Soemirah Pembalasan

yang Luput (jilid 2) yang terbit awal pada tahun 1917 terdapat dalam buku

  Jilid 2 yang terbit

  Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia

  tahun 2001 dan disunting oleh Marcus A.S dan Pax Benedanto. Kota Medan

  

Penu dengen Impian atawa Nyai Tertabur dengen Mas terbit awal tahun 1928

  terdapat dalam buku Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 7 yang terbit pada tahun 2003 dan disunting oleh Marcus A.S danYul Halmiyati. Demikian data novel secara rinci.

  1.7.4.1 Judul Novel : Cerita Nyai Soemirah atawa Peruntungan

  Manusia (jilid 1) dan Cerita Nyai Soemirah Pembalasan yang Luput (jilid 2)

  Pengarang : Thio Tjin Boen Penerbit Awal : Drukkerij Kho Tjeng be dan Co Tahun Terbit Awal : 1917 Tebal Novel : 156 hlm (hlm 1 sampai hlm 156)

  1.7.4.2 Judul Novel : Kota Medan Penu dengen Impian atawa Nyai

  Tertabur dengen Mas

  Pengarang : Jovenile Kuo Penerbit Awal : - Tahun Terbit Awal : 1928 Tebal Novel : 136 hlm (hlm 262 sampai hlm 398)

  Dalam pembahasan selanjutnya, novel yang pertama hanya disingkat dengan Cerita Nyai Soemirah dan novel yang kedua hanya disebut dengan

  Kota Medan Penu dengen Impian.

1.8 Sistematika Penyajian

  Penelitian ini disajikan dalam lima bab. Bab pertama pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penyajian. Bab dua menyajikan kondisi sosial masyarakat dan Sastra Peranakan Cina. Bab tiga pembahasan struktural yakni tokoh dan penokohan. Bab empat membahas eksistensi tokoh nyai dalam kajian Sosiologi Sastra. Bab lima penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Bagian terakhir adalah daftar pustaka.

BAB II KONDISI SOSIAL MASYARAKAT DAN SASTRA PERANAKAN CINA Pembahasan eksistensi nyai tidak bisa dipisahkan dari kondisi sosial

  masyarakat bangsa Indonesia yang pada waktu itu di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Kehadiran para nyai dirasa penting bagi lelaki- lelaki lain bangsa yang datang ke Nusantara. Keberadaan seorang nyai terkait erat dengan kekuasaan seorang pejabat pemerintahan. Para nyai hadir sebagai bukti kekuasaan sekaligus pemuas kejantanan penguasa. Akan tetapi, tidak semua lelaki menganggap seorang nyai hanya sebagai ‘gundik’. Perempuan- perempuan pribumi yang mendampingi lelaki bangsa asing memiliki penghayatan tersendiri dalam memandang sosok nyai. Kaum Peranakan mengangkat kisah para nyai ke dalam karya sastra yang berbentuk novel. Antara lain novel Cerita Nyai Soemirah karya Thio Tjin Boen dan Kota

  

Medan Penu dengen Impian karya Jovenile Kuo yang menjadi objek penelitian

ini.

  Kedua novel tersebut muncul pada tahun yang berbeda, Cerita Nyai

  

Soemirah muncul pada tahun 1917 dan berlatar cerita tahun 1800-an hingga

1900-an. Novel Kota Medan Penu dengen Impian muncul pada tahun 1928.

  Namun pada dasarnya, kehadiran tokoh nyai dalam Sastra Peranakan Cina memiliki manfaat yang berarti bagi sejarah Indonesia. Hal itu dikarenakan

  Indonesia pada suatu masa tertentu. Menurut Lan, sastra tidak bisa lepas dari pengalaman pengarang yang hidup pada masa tertentu. Pengalaman itulah yang menghidupi karya pengarang. Oleh sebab itu, sastra suatu bangsa merupakan cermin jiwa suatu bangsa (1962: 33-28).

  Pembahasan pada bab ini diperlukan untuk menunjang analisis bab selanjutnya yakni karakterisasi tokoh dan eksistensi nyai dalam novel Cerita

  

Nyai Soemirah karya Thio Tjin Boen dan Kota Medan Penu dengen Impian

  karya Jovenile Kuo. Penulis menyadari bahwa sekalipun karya sastra bersifat otonom, lingkungan tetap memiliki pengaruh dalam proses penciptaan.

  Deskripsi pada bab ini menunjukkan adanya gambaran gejala kemasyarakatan yang memiliki pengaruh terhadap eksistensi seorang nyai. Para nyai hadir dengan cara tersendiri untuk mengaktualisasikan diri dalam menanggapi kondisi zaman dan tradisi yang mengikat pada era kolonial.

2.1 Kondisi Sosial Masyarakat Cina di Indonesia

  Pada mulanya merantau selalu dianggap hanya untuk sementara, padahal tidak sedikit perantau yang tinggal lama dan akhirnya menetap.

  Perantau yang notabene adalah kaum pedagang dan kuli upah seringkali tidak kembali ke negeri leluhur karena situasi politik yang tidak menentu. Misalnya ketika Dinasti Ming runtuh (1644). Banyak orang Cina tidak berpihak pada orang-orang Mancu sehingga memilih ke pengasingan dan melarikan diri.

  Masyarakat Cina pun terbentuk di kepulauan Nusantara terutama Jawa dan

  Sebelum abad ke-19 terjalin hubungan yang harmonis antara masyarakat Cina dengan pribumi. Pada masa itu, golongan tertinggi -golongan elite- adalah orang-orang pribumi. Oleh karena itulah, orang-orang Cina mendekati dan melebur ke dalam masyarakat prib umi. Hubungan harmonis tersebut terlihat dengan adanya perkawinan campur antara orang Cina dengan perempuan pribumi. Mereka juga mengawini perempuan dari golongan bangsawan pribumi. Perkawinan tersebut dilakukan untuk mempermudah pergerakan dan perluasan kekuasaan. Dengan status bangsawan, orang-orang Cina ini pun memperoleh kemudahan, misalnya dalam hal perniagaan. Namun, sejak abad ke-19 yang menjadi golongan elite di negeri ini adalah orang-orang Belanda. Pendekatan pun mengarah ke penguasa yang menjadi golongan elite baru. Mereka mencoba melebur dalam pergaulan bangsa Barat yang saat itu menguasai Hindia Belanda. Akan tetapi, orang-orang Cina tidak diterima dan tidak berhasil menjalin hubungan perkawinan dengan golongan gubernur jenderal. Hal inilah yang menyebabkan mereka menjadi golongan tersendiri dan menjadi minoritas (Ham, 2005: 1,2,3).

  Pada abad ke-19 hubungan erat antara Jawa dengan Cina dibelokkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Golongan-golongan bangsa dipisahkan. Hal ini didasari oleh ketidaksukaan pemerintah Hindia Belanda akan kecenderungan percampuran berbagai bangsa seperti Timur Asing, Cina, Bugis, dan lain- lain. Pemerintah ingin bangsa-bangsa itu dipisahkan dan tidak dicampuradukkan (Ham, 2005: 12,13). Pengaruh politik devide et impera Orang-orang Belanda secara politik dan ekonomis menduduki tempat teratas, Cina dan Arab masuk golongan kedua, dan pribumi masuk dalam golongan terbawah. Orang Cina dan Arab menduduki tempat khusus dalam kota-kota kolonial karena mereka tidak berperan dalam birokrasi kolonial tetapi berhubungan erat dengan perkembangan ekonomi. Penggolongan tersebut menimbulkan kecemburuan masyarakat pribumi karena orang-orang Cina tampak dianakemaskan oleh pemerintah. Kebencian pribumi terhadap orang Cina pun mulai terpupuk.

  Selain adanya pembagian golongan bangsa-bangsa secara rasial, pemerintah kolonial juga memberlakukan wijkenstelsel dan passenstelsel.

  

Wijkenstelsel merupakan sistem perkampungan berdasarkan kelompok etnik,

  dalam konteks ini orang Cina diharuskan tinggal terpisah dengan penduduk pribumi. Passenstelsel adalah sistem izin jalan yang diberlakukan terhadap orang Cina yang akan pergi keluar dari kampung Cina (Ham, 2005: 37). Aturan-aturan pemerintah Hindia Belanda tersebut dibuat untuk menghindari persatuan antarbangsa yang akan menentang pemerintahan. Peraturan ini menghambat proses asimilasi antarbangsa sehingga kekerabatan sulit terjalin. Stereotipe-stereotipe negatif pun muncul. Hal itu dikarenakan tidak adanya komunikasi secara teratur sehingga tidak saling mengerti adat dan budaya masing- masing. Masyarakat pribumi yang notabene beragama Islam menganggap orang Cina kafir karena kebiasaan makan daging babi.