PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA PADA NOVEL P

PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA PADA NOVEL PARA PRIYAYI
KARYA UMAR KAYAM

Oleh:
Adhitya Tri Hari Pamuji

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya
Jl. Veteran, Kota Malang 65145, Jawa Timur, Indonesia

Abstrak : Novel adalah salah satu bentuk karya sastra. Novel merupakan cerita
fiksi dalam bentuk tulisan dan mempunyai unsur instrinsik dan ekstrinsik. Novel
“Para Priyayi” merupakan novel yang ditulis oleh Umar Kayam seorang
sastrawan yang lahir di Ngawi, Jawa Timur, pada tanggal 30 April 1932. Umar
Kayam sekarang berprofesi sebagai Guru Besar pada Fakultas Sastra
Universitas Gadjah Mada. Selain itu, beliau menjadi anggota Akademi Jakarta
dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Umar Kayam mendapat gelar doktor
dari Cornell University, Ithaca, pada tahun 1932. Dalam novel “Para Priyayi”
ini Umar Kayam menceritakan kisah hidup seorang priyayi yang berasal dari
keluarga petani, yaitu Satrodarsono. Berkat dorongan dari Asisten Wedana Ndoro
Seten, dia bisa mengenyam pendidikan bahkan menjadi seorang guru. Dari

sinilah akhirnya Sastrodarsono tumbuh menjadi seorang priyayi. Hingga pada
akhirnya Sastrodarsono menikah dengan seorang wanita bernama Siti Aisyah,
kemudian mempunyai ia memiliki tiga orang anak dan memiliki cucu. Anak-anak
dan cucu Sastrodarsono tumbuh di zaman mereka dan tumbuh menjadi seseorang
yang anak kelas birokrat yang manja dan tidak mampu menjadi priyayi yang baik
seperti yang diharapkan Sastrodarsono. Pada suatu hari Sastrodarsono
mengangkat Wage anak jadah dari keponakan jauh Sastrodarsono. Wage
kemudian diganti namanya menjadi Lantip oleh keluarga Sastodarsono. Nama itu
dipilih oleh keluarga Sastrodarsno dengan harapan agar kelak Lantip menjadi
seorang anak yang cerdas. Keluarga Sastrodarsono mampu mendidik Lantip,
sehingga Lantip dapat tumbuh besar menjadi anak yang sesuai harapan
Sastrodarsono. Lantip tumbuh sebagai anak yang baik, penurut, cerdas,
sabar,dan cekatan. Lantip selalu mendapat nasihat dari keluarga Sastrodarsono
dan menerapkan semuanya pada kehidupan sehari-harinya. Hingga pada
akhirnya Lantip menunjukkan makna priyayi itu dengan menggunakan caranya
sendiri.

Kata Kunci : Novel, Umar Kayam, Para Priyayi, priyayi, Sastrodarsono, Lantip

SINOPSIS

Wanagalih merupakan sebuah kota kecil yang menjadi ibukota kabupaten
di Madiun. Kota ini berada diantara Sungai Bengawan Solo dan Sungai Ketangga.
Di sana hiduplah seorang petani kecil bernama Atmokasan. Atmokasan memiliki
seorang anak yang bernama Soedarsono. Atmokasan kemudian menitipkan
anaknya kepada seorang priyayi Wanagalih bernama Ndoro Seten. Atmokasan
berharap agar kelak Soedarsono bisa menjadi seorang priyayi seperti Ndoro Seten.
Ketika Soedarsono menjadi bagian dari keluarga Ndoro Seten namanya pun
diganti dengan nama Sastrodarsono. Soedarsono pun akhirnya disekolahkan dan
dididik oleh Ndoro Seten hingga pada akhirnya Soedarsono mempunyai pekerjaan
yang menetap yaitu sebagai seorang guru.
Hingga pada akhirnya Sastrodrsono menikah dengan seorang gadis
bernama Siti Aisyah yang biasa dipanggil Ngaisyah, seorang anak dari mantri
penjual candu asal Jogorogo. Dari pernikahannya Sastrodarsono mempunyai tiga
orang anak. Anak yang pertama bernama Noegroho yang tinggal di Yogya sebagai
guru HIS, seklah dasar untuk anak-anak priyayi, yang kedua Hardojo yang
memilih menjadi abdi dalem Mangkunegaran di Solo, dan anak yang ketiga
Soemini yang menikah dengan seorang asisten wedana di Karangelo yang
kemudian tinggal di Jakarta.
Sastrodarsono juga mengangkat beberapa anak dari keluarganya seperti
Soenandar, Ngadiman, Sri, dan Darmin. Dari empat anak yang diasuhnya,

Soenandar menjadi anak yang paling nakal dan susah diatur. Ketika masih
sekolah, Soenandar sering membuat ulah bahkan sering mengambil uang saku
temannya. Hingga pada suatu saat Soenandar dikeluarkan dari sekolah dan
diminta oleh Sastrodarsono untuk mengawasi sekolah yang didirikan
Sastrodarsono di Wanalawas dengan harapan agar perilaku Soenandar berubah
menjadi lebih baik.

Namun semua itu tidak membuat perilaku Soenandar berubah. Soenandar
menghamili seorang gadis bernama Ngadiyem anak seorang janda bernama Mbok
Soemo, dan fatalnya lagi Soenandar tidak bertanggung jawab. Soenandar kabur
dari Wanalawas dan bergabung dengan gerombolan perampok yang dipimpin oleh
Semin Genjik. Ketika dicari oleh keluarga, Soenandar diketahui telah meninggal
terbakar bersama dengan gerombolan perampok itu.

Mengetahui hal itu, Ngadiyem sedih memikirkan siapa yang akan
bertanggung jawab terhadap nasib anaknya. Namun, semua kesedihannya hilang
setelah Sastrodarsono mengatakan bahwa ia akan menanggung semua biaya untuk
anaknya. Hingga pada suatu hari, Ngadiyem melahirkan seorang anak laki-laki
bernama Wage. Setelah berusia 6 tahun, Wage diangkat menjadi anak
Sastrodarsono dan namanya diganti menjadi Lantip. Lantip tumbuh menjadi anak

yang cerdas, penurut, dan sangat peduli terhadap sesama. Di usia dewasanya
Lantip dapat menjadi anak yang selalu membantu memecahkan masalah yang
dihadapi oleh dirinya dan keluarga Sastrodarsono. Ketika suatu hari, Lantip
mengetahui bahwa ibunya meninggal karena keracunan jamur dan mengetahui
bahwa ayahnya adalah seorang perampok yang mati terbakar bersama
segerombolan Semin Genjik, Lantip tetap tabah dan sabar menghadapi semuanya.
Lantip tidak berputus asa, semua itu dijadikan sebagai motivasi bagi Lantip untuk
menatap masa depan yang lebih baik.
Noegroho, anak pertama dari Sastrodarsono menikah dengan seorang
gadis bernama Susanti. Dari pernikahannya dengan Soesanti, Noegroho memiliki
3 orang anak. Anak yang pertama bernama Suhartono atau Toni, yang kedua Sri
Sumaryati atau Marie, dan anak ketiganya Sutomo atau Tommi. Kehidupan
keluarga ini penuh dengan cobaan, pada masa G30S/PKI keluarga ini harus rela
kehilangan Toni, anak pertama mereka karena tertembak oleh para anggota PKI.
Tak hanya itu, belum lama setelah kepergian Toni keluarga ini juga harus
menerima cobaan lagi. Marie, anak perempuan satu-satunya diketahui hamil
karena ulahnya bersama dengan Maridjan, anak pondok yang berasal dari
Wonosari, Gunung Kidul.

Penderitaan Marie tak hanya berhenti sampai disitu, setelah diselidiki

ternyata Maridjan sudah memiliki seorang istri bernama Suminten. Suminten juga
sedang mengandung anak Maridjan. Berkat bantuan Lantip akhirnya semua
masalah dapat diselesaikan dengan baik. Maridjan akhirnya menikah dengan
Marie cucu dari Sastrodarsono.
Soemini, anak terakhir Sastrodarsono juga mengalami masalah yang
sangat berat. Suaminya, Harjono yang berasal dari Wonosari itu teryata
mengkhianati cinta Soemini. Harjono diketahui berpaling dengan seorang penyayi
keroncong bernama Sri Asih ketika usia pernikahannya tidak lagi seumur jagung.
Hingga pada akhirnya Soemini memutuskan untuk menenangkan dirinya di rumah
orang tuanya di Wanagalih. Setelah beberapa lama akhirnya masalah itu dapat
dihadapinya, Harjono menyusul Soemini ke Wanagalih bersama dengan anak dan
cucu-cucunya dan kembali pulang ke Jakarta sebagai satu keluarga yang utuh.
Masalah tidak hanya dialami oleh Noegroho dan Soemini, Hardojo anak
kedua Sastrodarsono juga mengalami masalah yang tidak kalah rumitnya.
Diusianya yang tak lagi muda, Hardojo mengalami gagal menikah dengan seorang
gadis bernama Maria Magdalena Sri Moerniati atau biasa dipanggil Nunuk karena
perbedaan keyakinan. Hingga pada akhirnya Hardjo menikah dengan mantan
siswanya bernama Sumarti. Dari pernikahannya, pasangan Hardojo dan Sumarti
hanya dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Harimurti.
Harimurti sangat akrab dengan Lantip, dan karena Hardojo hanya

memiliki seorang anak maka Sastrdarsono meminta agar Lantip diangkat menjadi
anak Hardojo. Hardojo pun menerima permintaan ayahnya, Lantip kini diangkat
menjadi kakak Harimurti. Seiring berjalannya waktu, masalah juga menghampiri
Harimurti. Harimurti bertemu dengan seorang wanita yang sangat cerdas juga
cantik, ia bernama Retno Dumilah dan biasa dipanggil Gadis. Gadis hidup
dikalangan keluarga yang berkecukupan, dan ia memiliki seorang adik angkat
bernama Kentus. Benih-benih cinta pun tumbuh diantara Hari dan Gadis, hingga
pada suatu hari mereka tidak dapat menahan nafsu mereka.

Pada suatu hari diketahui Gadis hamil mengandung buah hati Harimurti.
Namun, ketika mereka berniat untuk menikah mereka dipisahkan karena mereka
dianggap sebagai anggota Lekra dan Gerwani. Sehingga mereka dipenjara, Hari
ditahan di Yogya dan Gadis pun juga ditahan di Plantungan, Semarang.
Beruntunglah Hari, berkat bantuan Noegroho pakdenya yang pernah menjadi
kolonel, ia berhasil dibebaskan menjadi tahanan rumah. Kemudian, Hari meminta
agar pakdenya juga membebaskan Gadis calon istrinya yang ditahan di
Plantungan. Namun, Tuhan berkata lain, ketika Gadis berusaha ditemui ternyata
Gadis telah meninggal beberapa hari sebelum keluarga Hari menjemputnya. Gadis
meninggal ketika melahirkan anak kembar yang dikandungnya.
Ketika masalah datang bertubi-tubi, kesedihan juga menghampiri

Sastrodarsono. Istri tercintanya harus pergi meninggalkan Sastrodarsono untuk
selama-lamanya. Siti Aisyah meninggal diusia yang tidak lagi muda karena
penyakit darah tinggi dan liver. Beberapa hari sejak kepergian Ngaisyah kondisi
kesehatan Sastrodarsono semakin memburuk, dan Sastrodarsono pun akhirnya
meninggalkan anak-anak dan cucu-cucunya juga Lantip untuk selama-lamanya
menyusul Ngaisyah.
Pada saat upacara penguburan jenazah Sastrodarsono, Lantip calon suami
Halimah diminta oleh keluarga Sastrodarsono untuk menyampaikan pidato
mewakili keluarga Sastrodarsono. Lantip dianggap paling pantas untuk
menyampaikan pidato dari pada anak-anak atau cucu Sastrodarsono karena Lantip
telah membantu keluarga besar Sastrodarsono dalam menghadapi berbagai
masalah yang datang.
Pengarang

: Umar Kayam

Judul novel

: Para Priyayi


Tahun terbit

: 1992

Penerbit

: Pustaka Utama Grafiti

Analisis Struktural

Sebuah karya sastra memiliki struktur yang terdiri atas unsur-unsur yang
saling berhubungan satu dengan yang lain. Unsur-unsur karya sastra tersebut
membentuk suatu keutuhan, kebulatan dan harmoni. Analisis struktural
mengungkapkan hubungan fungsional antar unsur-unsur karya sastra tersebut
dalam membangun totalitas makna. Jadi, bukan hanya sekedar memaparkan unsur
demi unsur yang terlepas-lepas, karena unsur-unsur tersebut merupakan suatu
kesatuan yang bulat dan utuh.
1.

Tema

Tema dalam novel “Para Priyayi” adalah priyayi yang sesungguhnya adalah

orang yang tidak hanya mengutamakan kedudukan atau jabatan melainkan orang
yang juga memikirkan kehidupan rakyat kecil.
Tema yang ada dalam novel ini disampaikan oleh pengarang lewat seperngkat
tema minor. Tema dalam novel ini termasuk dalam tema sosial.

2.

Tokoh dan Penokohan

a.

Tokoh Utama

: Wage atau Lantip

Tokoh Lantip dalam novel ini memiliki watak yang baik, cerdas, penurut, suka
menolong orang lain, terampil, tahu diri, rendah hati, sabar, rajin, taat, ulet,
cekatan, dan berbakti kepada orang tua.

Hal ini tergambar lewat cerita, dimana dalam keluarga Sastrodarsono Lantip
selalu menuruti apa yang diperintahkan oleh Sastrodarsono, selalu membantu
memecahakan setiap permasalahan yang dihadapi keluarga Sastrodarsono. Watak
sabar dan bakti Lantip dapat dibuktikan lewat cerita ketika ia mengetahui bahwa
ayahnya adalah seorang yang memiliki kepribadian tidak baik ia tetap
menerimanya dengan lapang dada dan ketika mengetahui ibunya telah tiada ia
sering berziarah ke makam ibunya.

b.

Tokoh Tambahan Utama : Embah Kakung Sastrodarsono (Soedarsono)
Tokoh Embah Kakung atau Sastrodarsono dalam novel ini digambarkan

memiliki watak yang setia, berwibawa, baik hati, rajin, dan suka menasehati.
Sastrodarsono sebagai orang yang baik hati dan suka menasihati digambarkan
lewat cerita dimana beliau selalu menolong keluarganya yang meminta bantuan
kepadanya. Sastrodarsono bahkan kemudian mengasuh beberapa anak
keponakannya seperti Ngadiman, Soenandar, Sri, dan Darmin. Sastroarsono
hingga masa tunya selalu menasehati anak-anak dan keluarganya baik secara
langsung maupun secara tidak langsung lewat tembang-tembang mocopat.


c.

Tokoh Tambahan Tidak Utama :

1)

Embah Putri Ngaisyah / Siti Aisyah
Embah Putri Ngaisyah atau Siti Aisyah dalam novel memiliki watak yang

murah senyum, setia, pekerja keras, baik hati, sabar, dan menghargai suami.
2)

Noegroho
Noegroho sebagai anak pertama dari keluarga Sastrodarsono digambarkan

sebagai seseorang yang berwibawa, baik, dan peduli.
3)

Hardojo
Hardojo merupakan anak kedua dari Sastrodarsono. Dalam novel Hardojo

digambarkan memiliki watak ulet, telaten, pantang menyerah, cerdas, sabar.
4)

Soemini
Soemini merupakan adik dari Noegroho dan Harjono. Soemini merupakan

anak yang rajin, bandel, dan keras kepala.

5)

Susanti
Susanti atau sering dipanggil Susi oleh ibunya merupakan istri dari

Noegroho, yang memiliki watak yang mudah khawatir, sering memanjakan anak,
dan pemikir.
6)

Harjono Cokrokusumo
Harjono Cokrokusumo merupakan suami dari Soemini. Harjono

merupakan seorang yang berwibawa, mudah terpengaruh, tidak setia tetapi
tanggung jawab.
7)

Mbok Ngadiyem
Mbok Ngadiyem merupakan ibu dari Wage atau Lantip. Mbok Ngadiyem

berperan sebagai seseorang yang murah hati, tegas, hemat, sabar, dan telaten.

8)

Embah Wedok atau Mbok Soemo
Embah wedok adalah ibu dari Ngadiyem atau nenek dari Lantip. Embah

wedok ini digambarkan sebagai seorang yang pendiam dan mudah putus asa.
9)

Soenandar
Soenandar dalam novel berperan sebagai ayah kandung Lantip. Berbeda

dengan Lantip, Soenandar memiliki watak yang tidak bertanggung jawab, licik,
dan jahil.
10) Ngadiman
Dalam novel Ngadiman digambarkan memiliki watak yang pemalu,
penakut, penurut, jujur, rajin, dan bertanggung jawab.

11) Sri dan Darmin

Sri dan Darmin dalam novel berperan sebagai kakak dan adik. Kedua anak
ini memiliki watak yang baik, rajin sembahyang, dan baik hati. Namun, karena
hidup dikalangan priyayi abangan seperti keluarga Sastrodarsono kedua anak ini
berubah menjadi anak yang malas untuk melaksanakan sholat lima waktu.
12) Suhartono
Suhartono atau biasa dipanggil Toni adalah anak pertama dari Noegroho.
Suhartono tumbuh sebagai anak yang patuh, rajin, dan tahu tata krama. Selain itu,
Suhartono merupakan anak yang pemberani.
13) Sri Sumaryati
Sri Sumaryati atau biasa dipanggil Marie merupakan anak kedua dari
Noegroho ini memiliki watak sombong, keras kepala, dan pembangkang tetapi ia
memiliki watak peduli.
14) Sutomo
Sutomo atau biasa dipanggil Tommi ini merupakan anak bungsu dari
Noegroho. Anak ini memiliki watak masa bodoh, dan pilih kasih.
15) Sumarti
Sumarti adalah suami sah dari Hardojo memliki sifat yang keibuan, baik
hati, sopan, dan telaten.

16) Harimurti
Harimurti merupakan anak tunggal dari pasangan Hardojo dan Sumarti.
Anak ini memiliki watak yang baik, namun labil, dan mudah terpengaruh.
17) Retno Dumilah atau Gadis
Gadis merupakan calon istri Harimurti. Gadis memiliki watak yang rajin,
cerdas, kurang sopan, dan emosional.

18) Halimah
Halimah merupakan calon istri dari Lantip. Halimah dalam novel
digambarkan sebagai seorang yang baik, murah hati, dan peduli.
19) Maridjan
Maridjan adalah anak pondok yang berasal dari Gunung Kidul. Anak ini
kemudian menjadi suami dari Marie, anak perempuan Noegroho. Maridjan dalam
novel berperan sebagai seseorang yang kurang sopan, nakal, namun tanggung
jawab.
20) Ndoro Seten
Ndoro Seten adalah seorang priyayi yang menjadikan Sastrodarsono
tumbuh menjadi seorang priyayi. Ndoro Seten memiliki watak baik hati, peduli,
dan berwibawa.
21) Maria Magdalena Sri Moerniati
Maria ini sering dipanggil atau dik Nunuk. Dia adalah seorang gadis yang
beragama Katholik yang pernah menjadi kekasih Harimurti. Anak ini memiliki
watak penurut, lapang dada, dan teguh keyakinan.
22) Soeminah
Soeminah merupakan bude dari Harimurti yang tinggal di Solo. Beliau
adalah orang yang baik hati, humoris, dan peduli terhadap sesama.

23) Atmokasan
Atmokasan adalah ayah dari Sastrodarsono. Beliau adalah orang yang baik
hati dan berwibawa.
24) Franciscus Xaverius Suharsono

Fran adalah keponakan dari Nunuk. Ia memiliki watak yang sinis, dan
tidak sopan.
25) Kentus
Kentus adalah adik tiri dari Gadis. Kentus hidup kurang sempurna dari
manusia lain, dia memiliki penyakit yang sulit untuk diobati dan mengharuskan
Kentus hidup dalam kekurangan. Namun itu tidak menghalangi semangatnya
untuk tetap hidup. Kentus tumbuh menjadi anak yang baik, rajin, berkeinginan
kuat, dan pantang menyerah.
26) Kang Man, Kang Trimo, Mbok Nem, dan Lik Paerah
Mereka adalah orang-orang yang membantu menyelesaikan pekerjaan
keluarga Sastrodarsono. Mereka memiliki watak penurut, sopan, telaten.
27) Martoadmodjo
Pak Martoadmodjo ini adalah mantan kepala sekolah yang kemudian
diasingkan dibeberapa tempat karena diketahui menyimpang dari aturan yang
berlaku saat itu. Dia diketahui memiliki selir. Beliau memiliki watak yang baik
hati, tabah, peduli, dan cerdas.
28) Martokebo
Martokebo adalah seorang blantik yang sangat terkenal di Wanagalih saat
itu. Beliau awalnya adalah seorang yang baik hati,ramah. Namun, sejak adanya
PKI, ia berubah menjadi seorang yang jahat, dan tidak sopan.
29) Haji Mansur
Beliau adalah salah satu tokoh agama yang sangat terkenal di Wanagalih.
Beliau memiliki watak yang agamis, baik hati, berwibawa, dan sopan.
30) Dokter Soedrajat

Dokter ini adalah dokter yang sangat baik, memiliki kepedulian terhadap
sesama yang tinggi.
31) Pak Dukuh
Pak dukuh dalam novel ini digambarkan sebagai seseorang yang baik hati,
peduli, dan bertanggung jawab.
32) Mukarom
Mukarom adalah ayah dari Siti Aisyah. Mukarom adalah sosok yang baik,
peduli, dan penyayang.
33) Tuan Sato
Beliau sosok seorang yang jahat,egois, dan tidak sopan.
34) Pak Naryo
Pak Naryo adalah salah satu anggota dari rombongan ketoprak yang juga
dimainkan oleh Harimurti. Pak Naryo merupakan sosok seorang yang baik hati,
jujur, dan senang berdebat.
35) Suminten
Suminten adalah mantan istri dari Maridjan (suami Marie). Suminten
digambarkan sebagai seorang wanita yang baik,tabah, sabar.

36) Kyai Jogosimo
Merupakan sesepuh atau dukun di Wanagalih beliau sangat sakti dan
ampuh.
37) Eyang Kusumo Laku Broto
Beliau adalah saudara Sastrodarsono yang memiliki kebiasaan berendam
di Kali Wanagalih. Beliau sangat sakti dan ampuh.

38) Semin Genjik
Semin Genjik adalah pemimpin dari gerombolan perampok yang juga
diikuti oleh ayah Lantip, Soenandar. Semin Genjik merupakan orang yang sangat
jahat, dan tidak berperikemanusiaan.
39) Keluarga Sumarti dan Keluarga Nunuk
Dalam novel ini kedua keluarga ini adalah keluarga yang baik, peduli, dan
penyayang.
40) Ketua Gapermen
Ketua Gapermen adalah seseorang yang sangat sadis, jahat, dan tidak
berperikemanusiaan.
41) Mener Soedirdjo
Beliau adalah guru Soenandar ketika masoh bersekolah. Beliau adalah
guru yang baik, dan murah hati.

d.

Tokoh Protagonis
Dalam novel ini, tokoh protagonis diperankan oleh keluarga

Sastrodarsono, Lantip, Dokter Soedrajad, Pak Haji Mansur, serta Bude Soeminah.
e.

Tokoh Antagonis
Tokoh antagonis dalam novel ini diperankan oleh ketua Gapermen, Tuan

Sato, Semin Genjik, dan Soenandar.
f.

Tokoh Bulat

Tokoh yang memiliki karakter bulat dalam novel ini adalah Harimurti,
Martokebo, Maridjan, dan Marie.
g.

Tokoh Datar
Tokoh datar dalam novel ini diperankan oleh Lantip, Sastrodarsono, Haji

Mansur, Pak Dukuh, dan Bude Soeminah.
3.

Setting

a.

Tempat :
Tempat-tempat yang digunakan dalan novel “Para Priyayi” ini adalah

Madiun(Wanagalih, Pasar Wanagalih, Pendapa Kabupaten, Jalan Setenen atau
rumah Sastrodarsono, Wanalawas, Karangelo, Karang Dompol, Jogorogo,
Kedung Simo, Stasiun Paliyan, Taman Sriwedari), Solo, Yogyakarta (Wonosari
Gunung Kidul, Lapangan Maguwo, Jebukan Bantul), Jakarta, serta Plantungan,
Semarang.
b.

Waktu :
Waktu yang diceritakan pada novel ini adalah sekitar pertengahan abad 19

sampai menjelang G30S/PKI. Peristiwa dalam cerita terjadi pada pagi, siang, sore,
dan malam hari.
c.

Sosial Budaya
Latar sosial dalam novel ini adalah latar sosial tradisional. Novel ini

mengisahkan kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa yang masih sangat peduli
akan tata krama, masih meganut adanya kelas-kelas sosial. Menggambarkan
kebiasaan masyarakat Jawa yang selalu mengganti nama seorang anak apabila
anak tersebut telah berhasil dan memiki status sosial dalam masyarakat. Selain itu,
dalam novel ini diberikan juga kebiasaan masyarakat Jawa yang selalu
mengadakan syukuran (slametan) apabila mereka memiliki hajat, digambarkan
pula kebiasaan masyarakat jawa yang masih percaya akan adanya hal-hal gaib.

4.

Alur

a.

Berdasarkan kompleksitasnya, novel “Para Priyayi“ termasuk dalam alur

campuran karena peristiwa yang terjadi tidak diceritakan secara runtut mulai dari
awal hingga akhir melainkan kadang dari awal hingga akhir namun kadang
diceritakan dari akhir ke awal.
b.

Berdasarkan akhir ceritanya, novel ini termasuk dalam golongan novel

berjenis happy ending karena ceritanya berakhir dengan bahagia. Terbukti dengan
cerita dimana Sastrodarsono mampu mendidik seluruh anak cucu bahkan
keponakan-keponakannya hingga menjadi orang yang berhasil. Salah satunya
adalah Lantip, anak yang lahir dari keluarga yang hanya berprofesi sebagai
penjual tempe bisa berubah menjadi seorang priyayi yang sesungguhnya.
c.

Berdasarkan akhir ceritanya juga novel ini termasuk open plot karena tokoh

utamanya, Lantip masih hidup sehingga memungkinkan untuk ceritanya bisa
diteruskan. Misalkan diteruskan dengan kisah ketika Lantip kemudian mempunyai
seorang istri dan mempunyai anak atau dengan cerita lain yang memungkinkan.
5.

Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan oleh pengarang dalam novel ini adalah sudut

pandang orang pertama. Penggambaran tokoh dalam novel menggunakan
kataganti orang pertama yaitu “aku”. Pengarang memposisikan dirinya dalam
cerita melalui tokoh dalam cerita yaitu Lantip dan Sastrodarsono, terutama pada
tokoh Lantip.

SARANA SASTRA
1.

Gaya Bahasa
Bahasa yang digunakan pengarang dalam novel ini adalah bahasa campuran

antara Bahasa Jawa, Bahasa Belanda, dan Bahasa Indonesia. Pengarang juga

menggunakan beberapa ungkapan-ungkapan yang mengandung majas maupun
peribahasa dalam bahasa Jawa.
Contoh ungkapan-ungkapan itu antara lain :
a.

Langit tidak akan selamanya mendung (mengandung unsur retorika)

b.

Beberapa pepohonan yang dipilih itu tiba-tiba akan meliuk perlahan ke kiri

dan kekanan bagaikan ronggeng yang sedang menggerakkan tubuhnya (majas
perbandingan personifikasi)
c.

Alun-alun itu seakan raksasa gendut yang baik hati yang mengaga mulutnya

menelan semua yang lewat di depannya tanpa pilih bulu, tanpa emosi, kemudian
sesudah kenyang mulutnnya menutup dan menyungging senyum kembali.(majas
perbandingan persionifkasi)
d.

Urip iku mung mampir ngombe (peribahasa bahasa jawa)

e.

Kecekel iwake, ojo mgamti butek banyune (paribahasa dalam bahasa jawa)

7.

Amanat

Amanat yang dapat diambil setelah membaca novel “Para Priyayi” antar lain :
a.

Ketika kita telah menjadi seseorang yang berhasil jangan pernah melupakan

orang-orang yang telah membantu kita meraih keberhasilan itu.
b.

Tidak semena-mena atau memaksakan kehendak kita kepada orang lain.

c.

Selalu berusaha untuk memecahkan suatu masalah dengan jalan

musyawarah.
d.

Selalu menghargai orang lain.

e.

Tidak sombong atas kedudukan yang telah kita dapatkan.

f.

Selalu berusaha untuk selalu berbakti kepada kedua orang tua.

g.

Tetap sabar dalam menghadapi cobaan yang diberikan Tuhan kepada

hambanya karena dibalik cobaan itu pasti ada hikmah yang Tuhan berikan.
h.

Selalu berpikir sebelum bertindak

ANALISIS SOSIOLOGI
Sosiologi dalam sastra merupakan gabungan dan sistem pengetahuan yang
berbeda. Sosiologi adalah bidang ilmu yang menjadikan masyarakat sebagai objek
materi dan kenyataan sosial sebagai objek formal. Dalam perspektif sosiologi,
kenyataan sosial dalam suatu komunitas masyarakat dipahami dalam tiga
paradigma utama, yaitu fakta sosial, definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial.
Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih
mempertimbangkan karya sastra.
Lewat pendekatan sosiologi sastra, keberadaan pengarang dan karyanya
sering tak bisa dilepaskan dari lingkungan dan jamannya (Kurniawan, 2012:4).
Padahal, ada saja pengarang yang tidak terikat oleh perubahan lingkungan,
termasuk momentum penting dalam perubahan politik. Tiap-tiap pilihan tak lain
adalah simpul konsep kepengarangan. Seberapa jauh seorang pengarang terikat
oleh lingkungan dan jamannya, sebetulnya juga ditentukan antara lain oleh konsep
kepengarangannya. Pendekatan sosiologi sastra dapat mengungkapkan latar
belakang pengarang, karena dalam kajiannya mempelajari tentang keberadaan
manusia (baik dari segi pengarang atau segi hasil karyanya) dalam lingkungan
masyarakat.
Dapat dikatakan pula bahwa sastra muncul karena masyarakat
menginginkan keterangan kehidupan sosial budayanya. Tepatnya keterangan
keberadaan kehidupannya. Sehingga munculah pesan-pesan dalam karya sastra,
sebagai bentuk nilai moral yang hendak disampaikan oleh pengarang. Nilai-nilai
yang ada berhubungan dengan nilai-nilai yang terdapat pada latar belakang sosial
budaya masyarakat ketika pengarang hidup dan menjadi salah seorang
anggotanya. Di sisi lain faktor subjektivitas pengarangnya akan menentukan

bentuk karya sastra yang akan dihasilkan. Contoh dalam lingkup masyarakat
Jawa, seni budaya pewayangan merupakan salah satu fakta sosial budaya yang
sudah memasyarakat, sehingga kehadirannya dapat dirasakan siapa pun dalam
novel Para Priyayi karya Umar Kayam. Gaya penulisannya juga sederhana,
bernarasi Jawa yang akrab, mudah dicerna, dengan kritik-kritik yang segera
mengajak pembaca membuat perenungan, yang sebenarnya memiliki kandungan
makna dan filosofi kehidupan. Selain budaya pewayangan yang banyak diekspos
dalam novel Para Priyayi, Umar Kayam juga menghadirkan para tokoh yang
sangat mencerminkan orang-orang Jawa pada umumnya.
Para tokoh dalam novel ini dilahirkan dari latar tempat, social dan waktu
yang memang benar-benar menggambarkan kebudayaan Jawa pada saat itu.
Bahkan Umar Kayam mewarnai novelnya dengan beberapa penggal tembang
kinanti yang merupakan perwujudan kesenian jawa di bagian tengah dan akhir
novel. Tokoh dalam novel yang terlahir dari latar budaya Jawa terlihat sangat
kental terutama dalam dialognya. Uamar Kayam banyak menggunakan dialog
dengan berbahasa Jawa. Bahasa Jawa yang disajikan Umar Kayam dalam
novelya ada tiga bahasa Kromo Inggil (sangat halus) ,Kromo (halus) , dan Ngoko
(kasar). Misalnya pada saat Lantip berbicara pada Sastrodarsono, Lantip
menggunakan bahasa yang terkesan begitu halus dan berbeda pada saat Lantip
berbicara dengan orang yang statusnya sama atau sebaya dengan lantip. Contoh
kutipannya” wah, Ndoro. Nuwun sewu, mohon maaf.” dan biasanya bahasa
seperti kromo inggil tersebut dipakai oleh yang muda ke yang tua apapun strata
sosialnya , sedang kalau yang muda ngomong ke yang muda lagi atau yang setara
umurnya, biasanya pakai ngoko. Tiga puluh satu tokoh ditampilkan oleh Umar
Kayam dalam meramaikan novelnya (Para Priyayi). Misalnya tokoh
Sastrodarsono yang diceritakan sebagai anak tunggal Mas Atmokasan, seorang
pertani desa Kedungsiwo. Sastrodarsono barasal dari keluarga Islam, dan dia juga
beragama Islam. Setelah menjadi guru Sastrodarsono dijodohkan dengan Siti
Aisyah atau Dik Ngaisah. Mereka mempunyai tiga orang anak, yaitu Noegroho,
Hardojo, dan Soemini. Sastrodarsono dan Dik Ngaisah bertekad membangun
keluarga Sastrodarsono sebagai keluarga besar priyayi.

Status priyayi merupakan status yang banyak terlahir dalam suasana
kehidupan orang-orang Jawa. Bahkan orang-orang Jawa pada jaman dahulu di
saat memilih menantu mereka lebih memberatkan
memiliki status

pada calon menantu

yang

priyayi. Bagi orang-orang Jawa status memanglahlah sangat

penting dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi Umar Kayam menyajikan
pemahaman tentang priyayi yang sebenarnya dalam novel, bahwa priyayi itu
bukan dari darah birunya, bukan dari posisi dan jabatannya, melainkan dari sikap
kesungguhannya untuk melayani dan mengayomi rakyat banyak. Hal ini
disampaikan pada bagian terakhir saat tokoh Lantip berpidato pada pemakaman
eyangnya. Lantip dalam pidatonya memaparkan dengan jelas tentang keberadaan
Eyangnya selama masih hidup dalam mengayomi rakyat banyak terutama di
bidang pendidikan.
Melalui novel Para Priyayi , pembaca Indonesia yang berlatar belakang
bukan Jawa akan dapat mengenal dan memahami sebagian kehidupan sosial
budaya Jawa. Tingkah laku tokoh-tokoh dalam novel tersebut tampak sangat
terikat dan sekaligus mengikatkan diri dengan penuh kesadaran terhadap aturan
kelembagaan masyarakat Jawa.

PENUTUP
Novel “Para Priyayi” ini ditulis oleh seorang Guru Besar di Fakultas
Sastra Universitas Gadjah Mada. Novel ini menceritakan kisah hidup seorang
priyayi yang lahir dari keluarga petani. Sastrodarsono diharapkan dapat menjadi
pemula untuk membangun keluarga priyayi kecil. Akhirnya semua berjalan sesuai
harapan, Sastrodarsono tumbuh menjadi seorang priyayi yang mampu menjadikan
keluarganya juga menjadi seorang priyayi meskipun priyayi kecil.
Pengarang menceritakan semua itu dengan menggunakan bahasa seharihari, bahasa yang mudah untuk dipahami. Meskipun kadang-kadang juga diselingi
dengan bahasa Jawa juga bahasa Belanda. Selain itu, pengarang juga

menyampaikan semua idenya dengan menyeluruh secara terang-terangan sehingga
tidak hambatan yang menghalangi penyampaian ide atau gagasan pengarang.
Dengan demikian pembaca dapat menangkap ide cerita dengan sangat mudah.
Dalam novel ini juga disampaikan beberapa pesan yang sangat baik baik
secara langsung maupun secara tidak langsung lewat perumpamaan-perumpamaan
sehingga dapat dijadikan sebagai motivasi bagi pembaca untuk menjadi seorang
pribadi yang lebih baik.

DAFTAR RUJUKAN
Escarpit,Robert. 2005. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Kayam,Umar. 1992. Para Priyayi. Jakarta:Pustaka Utama Grafiti.
Kurniawan, Heru. 2012. Teori, Metode, Dan Aplikasi Sosiologi Sastra.
Yogyakarta: Delta Buku Yogyakarta.
Teeuw,Andries. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP SIKAP TENTANG KORUPSI PADA MAHASISWA

11 131 124