KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL RANAH 3 WARNA KARYA AHMAD FUADI

KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL RANAH 3 WARNA KARYA AHMAD FUADI SKRIPSI

Oleh: NANING PRAHESTI K1208105 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2012

commit to user

commit to user

DALAM NOVEL RANAH 3 WARNA KARYA AHMAD FUADI

Oleh: NANING PRAHESTI K 1208105

Skripsi Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA Agustus 2012

commit to user

commit to user

commit to user

Naning Prahesti. K1208105. KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA DAN

NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL RANAH 3 WARNA

KARYA AHMAD FUADI. Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Agustus 2012.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) struktur novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi; (2) faktor-faktor yang mendorong penulis menciptakan novel Ranah 3 Warna dilihat dari sudut pandang sosiologi sastra; dan (3) nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi.

Penelitian ini berbentuk deskriptif kualitatif. Metode dan pendekatan yang digunakan adalah metode content analysis dan pendekatan sosiologi sastra. Sumber data adalah novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi, dokumen dan informan. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik catat. Uji validitas data yang digunakan adalah triangulasi teori dan sumber. Teknik analisis data yang digunakan adalah model analisis mengalir.

Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa novel Ranah 3 Warna bertema perjuangan seseorang untuk mencapai cita-citanya dengan doa dan kerja keras. Tokoh utamanya adalah Alif Fikri dan tokoh utama tambahan yaitu Amak, Ayah, Randai, Raisa, Wira, Agam, Memet, Togar, Rusdi, Franc, Ferdinand, Mado, Rob. Alur dalam novel Ranah 3 Warna adalah alur campuran. Latar tempat terjadi di Bukittinggi, Ponorogo, Bandung, Yordania, dan Kanada. Latar waktu menunjuk pada waktu kejadian ketika Alif memasuki bangku kuliah. Latar sosial menerangkan latar belakang cerita mengenai berbagai filosofi hidup yang diajarkan di pesantren. Latar budaya menggambarkan budaya lokal sumatera barat dan daerah-daerah di nusantara serta budaya berburu di Kanada. Sudut pandang dalam novel Ranah 3 Warna menggunakan sudut pandang orang pertama akuan serba tahu. Dalam penulisan novel Ranah 3 Warna, awalnya pengarang terinspirasi dari kegiatan ibunya yang suka menulis buku diary. Judul Ranah 3 Warna merupakan representasi 3 tempat yaitu Bandung, Yordania, dan Kanada. Novel Ranah 3 Warna diilhami dari kisah-kisah dan pengalaman nyata yang dialami oleh pengarangnya sendiri. Alasan pengarang menulis novel tersebut adalah agar tulisan yang ia tulis dan berasal dari kisahnya bermanfaat bagi orang lain. Pengarang tidak menemukan banyak kendala dalam proses penulisan karena isi dari novel tersebut berasal dari kisah nyata yang sebagian dialami oleh penulisnya sendiri. Nilai pendidikan moral dalam novel ini meliputi kewajiban menuntut ilmu, tidak putus asa, berbakti pada orang tua, menjaga sikap dan menjaga nama baik. Nilai pendidikan religius meliputi tekad kuat, ikhlas, sabar, kerja keras, berprasangka baik, dan bersyukur. Sedangkan nilai pendidikan sosial meliputi sikap saling menghargai, persaudaraan, membela kepentingan bangsa, dan bermanfaat bagi orang lain.

commit to user

Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena didalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil. (Mario Teguh)

“Lihatlah orang yang di bawahmu, dan jangan melihat orang yang di atasmu. Karena hal yang demikian itu lebih tepat, supaya kamu tidak meremehkan nikmat

Allah padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah orang yang beruntung. Barangsiapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, dialah orang yang rugi. Barangsiapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, dialah orang yang celaka.” (al-Hadist)

Man Jadda Wajada: Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses Man Shabara Zhafira: Siapa yang bersabar akan beruntung (Ahmad Fuadi)

commit to user

Teriring syukurku pada-Mu, kupersembahkan karya ini untuk :

1. Bapakku (Paimin Sudaryo) dan Ibuku (Kusniah) tercinta. Terima kasih atas doa restu dan pengorbanan tanpa pamrih kalian. Doa kalian di setiap sujud, kerja keras dan pengorbanan, serta kasih sayang kalian untukku tidak akan pernah mampu kubalas. Tiada hal yang lebih indah dan lebih tulus dari hal yang telah kalian berikan dan lakukan demi keberhasilan dan kebahagiaanku;

2. Adik-adikku tersayang, Yeni Sekwanti dan Putri Nilasari. Terima kasih atas dukungan yang kalian tunjukkan padaku selama ini. Kebersamaan kita selama ini membuatku bangga memiliki kalian;

3. Nenekku yang di Jakarta. Terima kasih atas kasih sayangmu yang berlimpah selama ini. Kita memang terpisah oleh jarak dan waktu namun setiap waktu aku selalu menyayangimu;

4. Sahabat-sahabatku (Nina, Rohmani, Ratna, Sinta, Suci, TM, Diska, dan Dani). Terima kasih telah menjadi sahabat terbaikku. Suka dan duka yang kita lalui bersama membuatku lebih memahami arti hidup ini. Semoga persahabatan kita tak lekang oleh waktu;

5. Keluarga besar Pesmi Ar-Royyan. Terima kasih selama empat tahun tak henti- hentinya memotivasiku untuk memperbaiki amalan akhiratku dan senantiasa berlomba-lomba berjuang di jalan-Nya. Kenangan bersama kalian adalah kenangan terindah dan terbaik; dan

6. Teman-temanku Bastind 2008. Terima kasih atas semangat dan motivasi yang telah kalian berikan dalam selama empat tahun kebersamaan kita. Semoga ini menjadi kenangan indah di masa yang akan datang.

commit to user

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang telah memberi ilmu, inspirasi, kemuliaan, karunia, dan hidayah-Nya kepada kita semua, terutama penulis dan keluarga. Atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Kajian Sosiologi Sastra dan Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Ranah 3 Warna Karya Ahmad Fuadi ”.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dan pengarahan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin penulisan skripsi ini;

2. Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dalam penulisan skripsi ini;

3. Dr. Kundharu Saddhono, S.S, M.Hum., selaku Ketua Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang memberikan izin dalam penulisan skripsi ini;

4. Dra. Sumarwati, M.Pd., selaku Pembimbing akademik yang selalu memberikan pengarahan dan bimbingan selama menjadi mahasiswa;

5. Drs. Edy Suryanto, M.Pd., selaku Pembimbing I yang selalu memberikan motivasi dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini;

6. Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum., selaku Pembimbing II yang selalu memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini;

commit to user

telah memberikan bekal ilmu kepada penulis selama ini;

8. Saudara-saudara, sahabat-sahabat, dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan dukungan, motivasi, dan doa selama ini; dan

9. Semua pihak yang telah mendukung dan membantu sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan penulis. Meskipun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.

Surakarta, 17 Juli 2012

Penulis

commit to user

2. Hakikat Pendekatan Sosiologi Sastra…………………………............

a. Pengertian Sosiologi Sastra…………………………………….......

b. Struktur Sosial……………………………………………...............

c. Pendekatan Sosiologi Sastra………………………………………..

3. Hakikat Nilai Pendidikan……………………………………………...

a. Pengertian Nilai Pendidikan……………………………………......

b. Macam-macam Nilai Pendidikan dalam Karya Sastra……………..

1) Nilai Pendidikan Moral……………………………………….....

2) Nilai Pendidikan Religius…………………………………….....

3) Nilai Pendidikan Sosial………………………………………….

B. Hasil Penelitian yang Relevan……………………………………………

C. Kerangka Berpikir………………………………………………..............

METODE PENELITIAN ……………………………………………..........

A. Tempat dan Waktu Penelitian…………………………………………….

B. Bentuk atau Strategi Penelitian……………………………………….......

C. Sumber Data……………………………………………………………...

D. Teknik Pengumpulan Data……………………………………………….

E. Teknik Sampling………………………………………………………….

F. Validitas Data…………………………………………………………….

G. Teknik Analisis Data……………………………………………………..

H. Prosedur Penelitian………………………………………………………. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...........................................

A. Deskripsi Data ............................................................................................

1. Tinjauan Pengarang dalam Susastra Indonesia .....................................

2. Karya-karya Pengarang .........................................................................

B. Deskripsi Temuan Penelitian……………………………………….........

1. Struktur Novel Ranah 3 Warna Karya Ahmad Fuadi ...........................

2. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Pengarang Menulis Novel Ranah 3 Warna Dilihat dari Sudut Pandang Sosiologi Sastra ..............

3. Nilai-nilai Pendidikan yang Terkandung dalam Novel Ranah 3 Warna

43

43

43

44

44

45

45

46

47

49

49

49

50

50

51

94

commit to user

BAB V

C. Pembahasan ............................................................................................... SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN …………………………….....

A. Simpulan………………………………………………………………….

B. Implikasi……………………………………………………………….....

C. Saran……………………………………………………………………...

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………. LAMPIRAN …………………………………………………………………………….

commit to user

Gambar Halaman

1. Kerangka Berpikir ......................................................................... 42

2. Model Analisis Mengalir ............................................................... 47

commit to user

Tabel Halaman

1. Rincian Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian ............................... 43

commit to user

Lampiran Halaman

1. Sinopsis Novel Ranah 3 Warna .................................................... 122

2. Artikel tentang Pengarang .............................................................

123

3. Artikel tentang Karya Pengarang dengan Penulis Lain ............... 126

4. Catatan Lapangan Hasil Wawancara ............................................. 129

5. Surat Permohonan Izin Penyusunan Skripsi ................................. 159

6. Surat Keputusan Dekan FKIP tentang Izin Penyusunan Skripsi... 160

commit to user

R3W : Ranah 3 Warna CLHW : Catatan Lapangan Hasil Wawancara

commit to user

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di zaman modern ini kedudukan sastra dianggap mempunyai peran penting. Hal ini dikarenakan sastra merupakan bagian hidup dari sebagian besar pencipta dan penikmat karya sastra. Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni yang objeknya adalah manusia dan kehidupan dengan bahasa sebagai media penyampaiannya. Hasil dari sastra berupa karya sastra. Karya sastra merupakan sebuah karya imajinatif yang dihasilkan dari kemampuan seorang pengarang menggambarkan berbagai aspek kehidupan manusia dengan bahasa yang indah. Pengalaman pribadi dan pengalaman batin pengarang yang diimbangi dengan pengetahuan dan imajinasinya akan terlihat jelas dalam karya sastra yang diciptakannya.

Karya sastra yang merupakan ungkapan batin seseorang melalui bahasa tidak selalu berupa khayalan atau imajinasi saja, melainkan dapat berupa wawasan pengarang terhadap kenyataan hidup dan melalui proses kreatif berupa penghayatan dan perenungan yang dilakukan secara sadar sehingga tercipta suatu karya. Luapan pemikiran dari sikap dan perasaan pengarang juga dapat dicerminkan lewat karya sastra yang dihasilkannya. Lebih dari itu, sebuah karya sastra seringkali merupakan pengalaman batin pengarang mengenai kehidupan dirinya maupun masyarakat di mana pengarang itu berada yang kemudian dipadu dengan pengimajinasian.

Seperti diungkapkan Waluyo (2008: 1) bahwa hakikat karya sastra atau karya seni pada umumnya adalah imajinatif, artinya metode yang digunakan untuk menciptakannya dengan imajinasi (hasil fantasi) penciptanya. Hal ini berarti bahwa karya seni atau karya sastra tidak diperoleh melalui penelitian, pengamatan, atau pengalaman empiris, namun melalui pengalaman batin ketika seorang pencipta atau seniman memiliki mood atau passion atau suasana hati yang mengenaskan. Pendapat lain, Semi (1993: 18) mengemukakan sastra sebagaimana halnya dengan karya seni yang lain, hampir setiap zaman memegang peranan

commit to user

kemanusiaan dan bukannya formulasi mengenai nilai-nilai kemanusian seperti yang terdapat di dalam filsafat atau agama. Karena sifatnya tidak normatif, sastra lebih mudah berkomunikasi dan nilai-nilai yang disampaikannya dapat lebih fleksibel, baik isi maupun cara penyampaiannya.

Karya sastra bersifat dulce et utile yang artinya karya sastra itu harus indah dan berguna. Kata “indah” dapat diartikan sebagai sastra yang dapat menjadi hiburan. Kata “berguna” berarti bahwa sastra mampu memberi nilai tambah terhadap pembacanya. Jadi, karya sastra itu indah dan berguna. Dengan imajinasi dan kreativitas yang tinggi, seorang pengarang mampu menciptakan karya dengan bahasa yang figuratif dan indah karena perumpamaan dan kiasan- kiasan. Nurgiyantoro (2005: 6) mengemukakan bahwa pengarang dapat mengatasi, memanipulasi, dan menyiasati berbagai masalah kehidupan yang dialami dan diamatinya menjadi berbagai kemungkinan hakiki dan universal dalam karya fiksinya. Pengarang dapat mengemukakan sesuatu yang mungkin dapat terjadi, mungkin benar-benar terjadi, atau mungkin pernah terjadi. Melalui cara itu karya fiksi tersebut dapat mengubah hal-hal yang terasa pahit dan sakit jika dijalani dan dirasakan pada dunia nyata, namun menjadi menyenangkan untuk direnungkan dalam karya sastra. Pauley (2011) menambahkan bahwa pengarang besar adalah mereka yang bisa membayangkan dunia lebih nyata dari yang sebenarnya, lebih jelasnya pengarang membuat dunia mereka beresonansi dengan realitas dunia nyata.

Novel sebagai salah satu bentuk karya sastra dapat menawarkan suatu pesona kehidupan yang diangankan melalui berbagai unsur intrinsiknya, seperti: peristiwa, tema, tokoh, latar, sudut pandang, dan amanat. Unsur pembangun itu menyebabkan karya sastra menjadi faktual atau hidup di hadapan pembaca. Pembaca seolah dihadapkan pada suatu persoalan hidup dalam rangkaian peristiwa. Di situlah pembaca dibawa masuk ke dalam sebuah permenungan tentang kehidupan manusia. Novel adalah karya fiksi yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya yang sengaja dipadukan dan dibuat mirip oleh pengarang dengan kehidupan nyata yang dilengkapi dengan peristiwa-peristiwa di

commit to user

di dalam cerita sungguh ada dan terjadi. Pendapat di atas diperkuat dengan pendapat Nurgiyantoro (2005: 30-31) bahwa sebuah novel yang hadir ke hadapan pembaca adalah sebuah totalitas. Novel dibangun dari sejumlah unsur dan setiap unsur akan saling berhubungan secara saling menentukan, yang kesemuanya itu akan menyebabkan novel tersebut menjadi sebuah karya yang bermakna dan hidup. Di pihak lain, tiap-tiap unsur pembangun novel itu pun hanya akan bermakna jika ada dalam kaitannya dengan keseluruhannya. Dengan kata lain, dalam keadaan terisolasi dan terpisah dari totalitasnya, unsur-unsur tersebut tidak ada artinya atau tidak berfungsi. Hal ini tentu saja masih berkaitan dengan usaha pemahaman dan apresiasi terhadap karya sastra bersangkutan.

Membahas karya sastra ada beberapa bagian yang muncul, antara lain: kurangnya kemampuan pembaca dalam memahami karya sastra yang bersifat kompleks, unik, dan tidak langsung dalam mengungkapkannya. Hal ini yang menyebabkan sulitnya pembaca dalam menafsirkan karya sastra. Menurut Nurgiyantoro (2005: 31-32), salah satu penyebab sulitnya dalam menafsirkan karya sastra yaitu dikarenakan novel merupakan sebuah struktur organisme yang kompleks, unik, dan mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung.

Pendapat di atas didukung pendapat Semi (1993: 1) bahwa tugas peneliti sastra sudah barang tentu tidak hanya terbatas pada menafsirkan makna perlambangan teks sastra, tetapi juga harus dapat membantu mempermudah masyarakat pembaca dalam memahami sastra, memberikan penilaian terhadap mutu penciptaan sastra, memberikan sumbangan pemikiran terhadap pertumbuhan dan perkembangan sastra, dan selanjutnya dapat membantu menyediakan bahan- bahan dalam penyusunan teori-teori sastra. Dengan adanya kegiatan penelitian sastra diharapkan dunia penciptaan sastra lebih bermutu, kemampuan masyarakat pembaca sastra menjadi meningkat, dunia teori dan keilmuan sastra menjadi meningkat pula.

Karya Sastra seperti novel, cerpen, maupun drama dapat dikatakan sebagai dokumen sosial karena di dalamnya memotret kehidupan sosial

commit to user

seperti sosial, moral, psikologi, dan lain-lain. Hal ini dikarenakan seorang sastrawan sebagai anggota masyarakat yang melalui batinnya mengalami suatu peristiwa ataupun menyaksikan peristiwa yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk karya sastra. Hal ini sejalan dengan pendapat Darma (1984: 52) bahwa salah satu hakikat sastra adalah menggambarkan manusia sebagaimana adanya. Karya sastra yang baik akan mengajak pembaca melihat karya tersebut sebagai

cermin dirinya sendiri. Dengan jalan menimbulkan “panthos”, yaitu simpati terhadap dan merasa terlibat dalam peristiwa mental yang terjadi dalam karya tersebut, dapat terjadi dengan intens apabila pembaca dapat mengadakan hubungan langsung dengan karya tersebut. Pembaca akan lebih mudah menangkap gagasan dan maksud pengarang dan sekaligus menangkap amanat atau moral karya tersebut.

Karya sastra merupakan pengungkapan kehidupan nyata menjadi sebuah karya imajinatif yang indah untuk dinikmati. Kehidupan dan realitas yang ada dalam karya sastra memiliki cakupan hubungan antara manusia dengan keadaan sosial yang menjadi inspirasi penciptaan. Dari sinilah karya sastra menyumbangkan tata nilai untuk figur dan tuntunan masyarakat. Sangidu (2004:

43) berpendapat bahwa karya sastra adalah tanggapan pencipta (pengarang) terhadap dunia sekelilingnya (realitas sosial) yang diwujudkan dalam bentuk karya sastra merupakan pencerminan karya sastra. Dengan demikian dalam karya sastra tidak hanya sebuah imajinasi yang dapat dinikmati, tetapi bisa dipelajari mengenai: sosiologi, psikologi, adat istiadat, moral, budi pekerti, agama, tuntunan masyarakat, dan tingkah laku manusia di suatu masa. Selaras dengan pendapat di atas, Damono (2006) menambahkan hakikat sastra adalah segala sesuatu yang dalam masyarakat tertentu pada masa tertentu dianggap sebagai sastra. Pandangan ini dilandasi kenyataan bahwa sastra bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, terpisah dari masyarakat yang melahirkan dan menikmatinya. Sastra mempunyai kedudukan, peran, dan kegunaan dalam masyarakat dan itu semua senantiasa mengalami pergeseran dari waktu ke waktu dan perbedaan antara satu masyarakat dengan masyarakat lain.

commit to user

tertentu dalam masanya maka perlu dilakukan penelitian sastra. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ratna (2003: 332-333) bahwa ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat sehingga perlu diteliti. Pertama, karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat. Kedua, karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat. Ketiga, medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan. Keempat, berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut. Kelima, sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.

Dunia sastra berkembang sesuai dengan kehidupan kehidupan dan perubahan zaman. Seiring dengan perkembangan zaman, kini banyak bermunculan pengarang-pengarang muda berbakat yang menghasilkan karya. Nama Fuadi merupakan satu nama yang turut menghiasi jejak sastra di tanah air dalam beberapa tahun terakhir ini. Fuadi adalah pengarang novel yang menceritakan tentang kehidupan pengarang pada masa lalu yang serba kesulitan dan tertekan. Salah satu karyanya adalah novel Ranah 3 Warna. Novel ini menceritakan kehidupan seorang anak bernama Alif yang mempunyai mimpi setinggi langit dan berusaha dengan keras untuk mencapainya. Alif yang baru saja tamat dari Pondok Madani mempunyai impian ingin belajar teknologi tinggi di Bandung seperti Habibie lalu merantau sampai ke Amerika.

Dengan penuh semangat dan kesabaran, Alif berusaha menghadapi berbagai cobaan yang menghalangi impiannya. Meskipun sahabat dan orang- orang didekatnya meragukan kemampuannya, Alif pantang menyerah. dia

commit to user

man jadda wajada dan man shabara zhafira. Berdasarkan uraian di atas, maka akan diteliti lebih lanjut tentang struktur novel, faktor-faktor yang melatarbelakangi penulis menulis novel Ranah

3 Warna dilihat dari sudut pandang sosiologi sastra, dan nilai pendidikan yang terdapat dalam novel. Penelitian ini berjudul Kajian Sosiologi Sastra dan Nilai- Nilai Pendidikan dalam Novel Ranah 3 Warna Karya Fuadi .

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana struktur novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi?

2. Apakah yang melatarbelakangi pengarang menulis novel Ranah 3 Warna dilihat dari sudut pandang sosiologi sastra?

3. Bagaimana nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan:

1. Struktur novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi.

2. Faktor-faktor yang melatarbelakangi penulis menulis novel Ranah 3 Warna dilihat dari sudut pandang sosiologi sastra.

3. Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang sastra yang terkait dengan analisis novel dengan pendekatan sosiologi sastra.

commit to user

a. Bagi guru Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran bagi guru bahasa dan sastra Indonesia ketika harus membimbing siswanya untuk menganalisis novel dengan pendekatan sosiologi sastra.

b. Bagi siswa Dapat memahami dan mengapresiasi novel serta dapat memperoleh pengetahuan

sehingga dapat mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

c. Bagi peneliti lain Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian sastra dengan permasalahan yang sejenis.

commit to user

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Hakikat Novel

a. Pengertian Novel Novel merupakan salah satu ragam karya sastra yang merupakan hasil imajinasi dari pengalaman batin sastrawan yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan ini. Nurgiyantoro (2005: 9) berpendapat novel (Inggris: novel) dan cerita pendek (disingkat: cerpen; Inggris: short story) merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Bahkan dalam perkembangannya yang kemudian, novel dianggap bersinonim dengan fiksi. Dengan demikian, pengertian fiksi seperti dikemukakan di atas, juga berlaku untuk novel. Sebutan novel dalam bahasa Inggris inilah yang kemudian masuk ke Indonesia. Kata novel juga berasal dari bahasa Itali novella dalam bahasa Jerman novelle.

Sejalan dengan pengertian di atas, Waluyo (1994: 37) berpendapat bahwa istilah novel di sini mewakili dua pengertian, yakni pengertian yang sama dengan roman (jadi menggantikan istilah roman) dan pengertian yang biasa digunakan untuk klasifikasi cerita menengah (cermen) seperti karya-karya Idrus sekitar tahun 1942 sampai 1949. Karena istilah roman sudah dijelaskan maka pengertian novel di sini berarti cerita menengah, walaupun tidak terbatas pada cerita sejenis karya- karya Idrus (sebab karya-karya Idrus yang dikumpulkan dalam Dari Ave Maria ke Jalan Lain Ke Roma banyak yang mirip cerita pendek atau novelet). Novel berasal dari bahasa latin novellus yang kemudian diturunkan menjadi novies yang berarti baru. Perkataan baru ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi yang muncul belakangan dibandingkan cerita pendek dan roman.

Pendapat di atas diperkuat oleh pendapat Semi (1993:32) bahwa di antara para ahli teori sastra kita memang ada yang membedakan antara novel dan roman, dengan mengatakan bahwa novel mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang dan pemusatan kehidupan yang tegas sedangkan

commit to user

melukiskan peristiwa dari masa kanak-kanak sampai dewasa dan meninggal dunia. Pendapat lain diungkapkan oleh Baribin yang menyatakan dalam istilah novel tercakup roman, sebab roman hanyalah istilah untuk zaman sebelum Perang Dunia II di Indonesia. Digunakannya istilah roman pada waktu itu adalah wajar karena sastrawan Indonesia pada waktu itu umumnya berorientasi ke negeri Belanda. Istilah novel di Indonesia dikenal setelah kemerdekaan. Artinya, setelah sastrawan Indonesia beralih ke bacaan-bacaan berbahasa Inggris. Di Inggris dan Indonesia istilah yang dikenal adalah novel, bukan roman (dalam Santosa dan Wahyuningtyas, 2010: 46-47).

Selaras dengan pendapat pakar-pakar di atas, Nurgiyantoro (2005: 4) menyatakan novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya, tentu saja juga bersifat imajinatif. Pada dasarnya sebuah cerita yang terdapat dalam novel mempunyai tujuan untuk memberikan hiburan kepada pembaca.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Wellek dan Warren bahwa membaca sebuah karya fiksi adalah menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin. Novel merupakan ungkapan serta gambaran kehidupan manusia pada suatu zaman yang dihadapkan pada berbagai permasalahan hidup yang kompleks yang dapat melahirkan suatu konflik dan pertikaian. Melalui novel, pengarang dapat menceritakan semua aspek kehidupan manusia secara mendalam termasuk tentang berbagai perilaku manusia di dalamnya. Novel memuat tentang kehidupan manusia dalam menghadapi permasalahan hidup. Novel juga dapat berfungsi untuk mempelajari kehidupan manusia pada zaman tertentu (dalam Nurgiyantoro, 2005: 3).

b. Jenis-jenis Novel Ada beberapa jenis novel dalam sastra. Jenis novel mencerminkan keragaman tema dan kreativitas dari pengarangnya. Menurut Waluyo (1994: 40),

commit to user

serius dan novel pop.

1) Novel Serius Novel serius adalah novel yang dipandang bernilai sastra tinggi. Novel serius yang bertujuan untuk memberikan hiburan kepada pembaca, juga mempunyai tujuan memberikan pengalaman yang berharga dan mengajak pembaca untuk meresapi lebih sungguh-sungguh tentang masalah yang dikemukakan. Berbeda dengan novel populer yang selalu mengikuti selera pasar, novel sastra tidak bersifat mengabdi kepada pembaca. Nurgiyantoro (2005: 18) mengungkapkan bahwa dalam membaca novel serius, jika ingin memahaminya dengan baik diperlukan daya konsentrasi yang tinggi disertai dengan kemauan untuk itu.

Kecenderungan yang muncul pada novel serius memicu sedikitnya pembaca yang berminat pada novel sastra ini. Meskipun demikian, hal ini tidak menyebabkan popularitas novel serius menurun. Justru novel ini mampu bertahan dari waktu ke waktu. Misalnya, roman Romeo Juliet karya William Shakespeare atau karya Sutan Takdir, Armin Pane, Sanusi Pane yang memunculkan polemik yang muncul pada dekade 30-an yang hingga saat ini masih dianggap relevan dan belum ketinggalan zaman (Nurgiyantoro, 2005: 21).

Selaras dengan pendapat di atas, Platt (2003) menambahkan bahwa “novel populer menjadi tempat ekspresi, langsung dan bentuk penyesalan dari

cita-cita, impian, kecemasan, dan frustrasi dari pembacanya. Ini berarti bahwa konvensional fiksi populer bekerja untuk menghasilkan pandangan utopianis kehidupan ”.

2) Novel Pop Novel pop adalah novel yang nilai sastranya diragukan atau rendah karena tidak ada unsur kreativitas. Ratna (2005: 407) menyebutkan bahwa secara historis novel populer merupakan perkembangan kemudian dari tradisi sastra Melayu Tionghoa yang berkembang pesat pada perempat terakhir abad ke-19. Dikaitkan dengan ciri-cirinya, sastra populer juga merupakan kelanjutan novel kecil, novel picisan menurut pemahaman R. Roolvink, dan jenis sastra yang

commit to user

Setelah mengalami masa kosong cukup lama, genre tersebut muncul kembali dan seolah-olah mengalami zaman keemasan pada periode tahun 1970-an. Para pelopornya, diantaranya: Marga T, dengan karyanya yang terkenal Karmila, Badai Pasti Berlalu , dan Gema sebuah Hati dan Ashadi Siregar dengan karyanya Cintaku di Kampus Biru , Kugapai Cintamu, dan Terminal Cinta Terakhir.

Selain dua jenis novel di atas, Lubis (simpulan dikutip dalam Tarigan, 1993: 167-169) menyebutkan bahwa jenis novel meliputi: (1) novel avontur, (2) novel psikologis, (3) novel detektif, (4) novel sosial, dan (5) novel kolektif.

1) Novel Avontur Novel avontur adalah novel lakon atau hero utama. Pengalaman pertama dimulai pada awal cerita, melalui pengalaman-pengalaman lain hingga ke akhir cerita. Dalam novel avontur tersebut juga terdapat tokoh yang mempunyai sifat- sifat romantis, yaitu heroisme atau lakon wanita. Pengalaman-pengalaman itu sering merupakan rintangan-rintangan bagi lakon untuk mencapai tujuan.

2) Novel Psikologis Novel psikologis mengutamakan pemeriksaan seluruhnya dari semua pikiran-pikiran para pelaku atau tokoh.

3) Novel Detektif Novel detektif merupakan novel yang menceritakan cara membongkar rahasia kejahatan pelaku. Dalam novel detektif dibutuhkan bukti-bukti kejahatan yang kuat agar dapat menangkap si pelaku kejahatan.

4) Novel Sosial Dalam novel sosial pelaku pria dan wanita tenggelam dalam masyarakat, dalam kelas atau golongannya. Tiap-tiap golongan suatu waktu akan bentrok, berbenturan, pemogokan dan revolusi.

5) Novel Kolektif Novel kolektif tidak terutama membawa “cerita”, tetapi lebih

mengutamakan cerita masyarakat sebagai suatu totalitas, suatu keseluruhan. Novel seperti ini mencampuradukkan pandangan-pandangan antropologis dan sosiologis dengan cara mengarang novel atau roman.

commit to user

Struktur dalam sebuah karya sastra baik itu intrinsik maupun ekstrinsik dalam novel, cerpen, puisi dan drama adalah suatu keharusan untuk dimasukkan dalam karya-karya tersebut. Dalam hal ini struktur intrinsiklah yang paling sering dimasukkan dalam karya sastra, karena unsur intrinsik adalah hal utama dalam membangun sebuah cerita. Pendapat lain, Nurgiyantoro (2005: 23) menyebutkan ada tujuh unsur pembentuk novel, yaitu: (1) plot/ alur cerita, (2) tema, (3) penokohan, (4) latar/setting, (5) sudut pandang, (6) gaya bahasa, dan (7) suasana cerita.

Novel sebagai sebuah karya fiksi dibangun melalui beberapa unsur intrinsiknya. Unsur-unsur tersebut antara lain tema, penokohan/ perwatakan, alur, latar, dan sudut pandang. Penelitian ini akan menerangkan mengenai unsur-unsur intrinsik tersebut di atas.

1) Tema Setiap fiksi haruslah mempunyai dasar atau tema yang merupakan sasaran tujuan. Penulis melukiskan watak para tokoh dalam karyanya dengan dasar tersebut. Dengan demikian tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa tema ini merupakan hal yang paling penting dalam sebuah cerita. Suatu cerita yang tidak mempunyai tema tentu tak ada gunanya dan artinya. Walaupun misalnya pengarang tidak menjelaskan apa tema ceritanya secara eksplisit, hal itu harus dapat dirasakan dan disimpulkan oleh para pembaca setelah selesai membacanya (Tarigan, 1993: 125).

Sejalan dengan pendapat di atas, Waluyo dan Wardani (2009: 10-11) mengemukakan, “tema adalah gagasan pokok dalam cerita fiksi. Tema cerita mungkin dapat diketahui oleh pembaca melalui judul atau petunjuk setelah judul, namun yang banyak ialah melalui proses pembacaan karya sastra yang mungkin perlu dilakukan beberapa kali, karena belum cukup dilakukan dengan sekali saja. ”

Tema dapat dipandang sebagai dasar cerita atau gagasan dasar umum pada sebuah karya novel. Gagasan dasar umum inilah yang telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang untuk mengembangkan cerita. Dengan kata lain, cerita tentunya akan “setia” mengikuti gagasan dasar umum yang telah ditetapkan

commit to user

unsur intrinsik yang lain seperti penokohan, pelataran, dan penyudutpandangan diusahakan mencerminkan gagasan dasar umum tersebut (Nurgiyantoro, 2005: 70).

Berbeda dengan pendapat di atas, Brooks, Purser, dan Waren menyatakan, “tema adalah pandangan hidup yang tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra ” (dalam Tarigan, 1993: 125). Dalam usaha menemukan dan menafsirkan tema sebuah novel secara lebih khusus dan rinci, Stanton mengemukakan adanya sejumlah kriteria yang dapat diikuti seperti ditunjukkan sebagai berikut ini.

a) Penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan tiap detil cerita yang menonjol. Kriteria ini merupakan hal yang paling penting. Hal itu disebabkan pada detil-detil yang menonjol (atau: ditonjolkan) itulah- yang dapat diidentifikasi sebagai tokoh masalah-konflik utama-pada umumnya sesuatu yang ingin disampaikan ditempatkan.

b) Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detil cerita. Novel, sebagai salah satu genre sastra, merupakan suatu sarana pengungkapan keyakinan, kebenaran, ide, gagasan, sikap, dan pandangan hidup pengarang, dan lain-lain yang tergolong unsur isi dan sebagai sesuatu yang ingin disampaikan.

c) Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tak langsung dalam novel yang bersangkutan. Tema cerita tak dapat ditafsirkan hanya berdasarkan perkiraan, sesuatu yang dibayangkan dalam cerita, atau informasi lain yang kurang dapat dipercaya.

d) Penafsiran tema sebuah novel haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara langsung ada dan atau yang disarankan dalam cerita. Kriteria ini mempertegas kriteria ketiga di atas. Penunjukan tema sebuah cerita haruslah dapat dibuktikan dengan data-data atau detil-detil cerita yang terdapat dalam cerita itu, baik yang berupa bukti-bukti langsung, artinya

commit to user

“hanya” berupa penafsiran terhadap kata-kata yang ada (dalam Nurgiyantoro, 2005: 87-88).

Pendapat lain dikemukakan oleh Paris (2003) bahwa, “tema bukan nasihat, bukan subyek, bukan sebuah makna yang disembunyikan dari cerita. Apakah tema? Tema adalah makna yang tersirat; mungkin makna untuk mengetahui sebuah cerita. Dengan tema, pembaca memaknai implikasi penting dari keseluruhan cerita, bukan sesuatu yang terpisahkan dari bagian cerita ”.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide atau gagasan yang terkandung dalam sebuah karya sastra yang diambil dari khasanah kehidupan yang ada.

2) Penokohan/ Perwatakan Bagian cerita fiksi ini membicarakan tokoh-tokoh cerita (penokohan) dan watak-watak tokoh-tokoh itu (perwatakan). Keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Tokoh-tokoh itu memiliki watak yang menyebabkan terjadi konflik dan konflik itulah yang kemudian menghasilkan cerita (Waluyo dan Wardani, 2009: 27). Selaras dengan pendapat tersebut, Abrams mengemukakan, “tokoh cerita ialah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan ”(dalam Nurgiyantoro, 2005: 165).

Tokoh-tokoh dalam fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Adapun beberapa tokoh cerita tersebut, antara lain:

a) Tokoh utama dan tokoh tambahan Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita, dan sebaliknya, ada tokoh- tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama cerita, sedang yang kedua adalah tokoh tambahan.

commit to user

bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian (Nurgiyantoro, 2005: 176-177).

b) Tokoh protagonis dan antagonis Mengenai pembagian tokoh ini, Altenbernd dan Lewis berpendapat jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot dapat dibedakan adanya tokoh utama dan tokoh tambahan, dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Membaca sebuah novel, pembaca sering mengidentifikasikan diri dengan tokoh-tokoh tertentu, memberikan simpati dan empati, melibatkan diri secara emosional terhadap tokoh tersebut. Tokoh yang disikapi demikian oleh pembaca disebut sebagai tokoh protagonis (dalam Nurgiyantoro, 2005: 178).

c) Tokoh sederhana dan tokoh bulat Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli, adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja. Sebagai seorang tokoh manusia, ia tak diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya. Ia tak memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu.

Tokoh bulat, kompleks, berbeda halnya dengan tokoh sederhana, adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Ia dapat saja memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia pun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin seperti bertentangan dan sulit diduga (Nurgiyantoro, 2005: 181-183).

d) Tokoh statis dan tokoh berkembang Selain pembagian tokoh-tokoh di atas, Altenbernd dan Lewis (1966) menambahkan berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh cerita dalam sebuah novel, tokoh dapat dibedakan kedalam tokoh statis, tak berkembang , dan tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh

commit to user

perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi (Nurgiyantoro, 2005:188).

Tokoh berkembang, dipihak lain, adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan dan perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan. Ia secara aktif berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial, alam, maupun yang lain, yang kesemuanya itu akan mempengaruhi sikap, watak, dan tingkah lakunya.

e) Tokoh tipikal dan tokoh netral Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap sekelompok manusia dari kehidupan nyata, Altenbernd dan Lewis (1966) berpendapat bahwa tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh tipikal dan tokoh netral. Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya, atau sesuatu yang lain yang lebih bersifat mewakili. Tokoh tipikal merupakan penggambaran, pencerminan, dan penunjukan terhadap orang, atau sekelompok orang yang terikat dalam sebuah lembaga, atau individu sebagai bagian dari suatu lembaga, yang ada di dunia nyata (Nurgiyantoro, 2005: 190).

Tokoh netral, di pihak lain, adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia benar-benar merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi. Ia hadir atau dihadirkan semata-mata demi cerita, atau bahkan dialah sebenarnya yang empunya cerita, pelaku cerita, dan yang diceritakan (Nurgiyantoro, 2005: 191).

Menurut Waluyo (1994: 171), deskripsi watak tokoh biasanya meliputi tiga dimensi, yakni: (1) dimensi fisik (fisiologis); (2) dimensi psikis atau psikologis; dan (3) dimensi sosial atau sosiologis.

a) Dimensi fisik, artinya keadaan fisik tokohnya yang meliputi (1) usia (tingkat kedewasaan); (2) jenis kelamin; (3) keadaan tubuh (tinggi, pendek, pincang, gagah, tampan, menarik, dan sebagainya); (4) ciri-ciri

commit to user

spesifik.

b) Dimensi psikis dari tokoh melukiskan latar belakang kejiwaan, kebiasaan, sifat, dan karakternya, seperti misalnya: (1) mentalitas, ukuran moral, dan kecerdasan; (2) temperamen, keinginan, dan perasaan pribadi; (3) kecakapan dan keahlian khusus.

c) Dimensi sosiologis menunjuk latar belakang kedudukan tokoh tersebut dalam masyarakat dan hubungannya dengan tokoh-tokoh lainnya. Misalnya: (1) status sosial: kaya, miskin, menengah; (2) pekerjaan, jabatan, peranan dalam masyarakat; (3) pendidikan; (4) pandangan hidup, kepercayaan, agama, ideologi; (5) aktivitas sosial, organisasi dan kesenangan; dan (6) suku, bangsa, dan keturunan. Setiap dimensi sosiologis memberikan konsekuensi, misalnya dalam melukiskan watak, pakaian, latar belakang, kebiasaan, bahasa yang digunakan, dan sebagainya.

3) Alur Alur atau plot sering juga disebut kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab dan akibat dan memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan datang (Waluyo dan Wardani, 2009: 14). Nurgiyantoro (2005: 111) berpendapat bahwa untuk menyebut plot, secara tradisional, orang juga sering mempergunakan istilah alur atau jalan cerita, sedangkan dalam teori- teori yang berkembang lebih kemudian dikenal adanya istilah struktur naratif, susunan, dan juga sujet (plot). Penyamaan begitu saja antara plot dengan jalan cerita, atau bahkan mendefinisikan plot sebagai jalan cerita sebenarnya kurang tepat. Plot memang mengandung unsur jalan cerita atau tepatnya: peristiwa demi peristiwa yang susul- menyusul- namun ia lebih dari sekedar rangkaian peristiwa.

Pendapat di atas diperkuat pendapat Waluyo dan Wardani (2009:14) bahwa, “alur atau plot sering juga disebut kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab dan akibat dan memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan

commit to user

dengan baha sa Inggris sebagai berikut: “Plot is a narative of events, the emphasis falling on causality. Causality overshadows time sequence ”. Di dalam sebuah plot (alur cerita terdapat hubungan sebab-akibat dari suatu cerita yang mengembangkan konflik cerita. Dalam plot itu ada serangkain peristiwa (dalam Waluyo dan Wardani, 2009: 14-15).

Tidak jauh berbeda dengan pendapat para pakar di atas, Abrams mengemukakan plot sebuah karya fiksi merupakan struktur peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu. Penyajian peristiwa- peristiwa itu, atau secara lebih khusus aksi ‘actions’ tokoh baik yang verbal maupun nonverbal, dalam sebuah karya bersifat linear, namun antara peristiwa-peristiwa yang dikemukakan sebelumnya dan sesudahnya belum tentu berhubungan langsung secara logis bersebab-akibat (dalam Nurgiyantoro, 2005: 113-114).

Alur cerita meliputi: (1) eksposisi; (2) inciting moment (saat terjadi); (3) rising action ; (4) complication; (5) climax; (6) falling action; (7) denouement (penyelesaian) (Waluyo, 1994: 147-148).

a) Eksposisi, artinya paparan awal cerita. Pengarang mulai memperkenalkan tempat kejadian, waktu, topik, dan tokoh-tokoh. Sejak eksposisi ini, pengarang sudah menunjukkan apakah ia menulis cerpen, novel atau roman. Jika pengarang menulis cerpen maka eksposisi berjalan singkat seperlunya saja, mungkin tidak lebih dari satu dua alinea (bayangkan tamu yang hanya sebentar saja bertemu, maka ia akan berbicara seperlunya). Dalam novel dan roman, cerita dapat lebih rinci.

b) Inciting moment adalah peristiwa mulai adanya problem-problem mulai ditampilkan oleh pengarang untuk kemudian dikembangkan atau ditingkatkan.

c) Rising action adalah cerita (problem) mulai meningkat

d) Complication adalah konflik semakin ruwet.

commit to user

telah mencapai klimaksnya. Emosi yang memuncak telah berkurang.

f) Denouement, artinya penyelesaian. Unsur ini dapat dipaparkan oleh pengarang dapat juga kita (karena pembaca diharapkan mampu menafsirkan sendiri penyelesaian cerita). Cerita-cerita jaman Balai Pustaka sampai Pujangga Baru melukiskan denouement, sedangkan cerita-cerita mutakhir tidak.

Pada prinsipnya, alur cerita terdiri atas tiga bagian, yakni: (1) alur awal; (2) alur tengah; dan (3) alur akhir. Alur awal terdiri atas paparan (eksposisi), rangsangan (inciting moment), dan penggawatan (rising action). Alur tengah cerita terdiri atas pertikaian (conflict), perumitan (complication), dan klimaks atau puncak penggawatan (climax). Akhir alur cerita terdiri dari peleraian (falling action ) dan penyelesaian (denouement).

Berdasarkan kriteria urutan waktu, Nurgiyantoro (2005: 153-156) membagi plot menjadi tiga, yaitu:

a) Plot lurus atau progresif Plot sebuah novel dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti oleh atau menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa yang kemudian. Secara runtut cerita dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik), tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian).