PENETAPAN KADAR KAFEIN DALAM MINUMAN BERENERGI MEREK "X" DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI DERIVATIF APLIKASI PEAK-TO-PEAK SKRIPSI

  

PENETAPAN KADAR KAFEIN DALAM MINUMAN BERENERGI MEREK

"X" DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI DERIVATIF APLIKASI

PEAK-TO-PEAK

  

SKRIPSI

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

  Program Studi Ilmu Farmasi Oleh:

  Veronica Suko Danasrayaningsih NIM : 038114015

  

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2007

  i ii

iii

Hidup ini bukan tentang mengumpulkan nilai Bukan tentang tempat tinggalmu atau sekolahmu Bahkan, juga bukan tentang nilai-nilai ujianmu, uang, baju, dan perguruan tinggi yang menerimamu atau yang tidak menerimamu Hidup bukan tentang apakah kau memiliki banyak teman atau apakah kau seorang diri.

  Namun, hidup ini adalah tentang kepercayaan, kebahagiaan, dan welas asih.

  

Tentang menghargai orang apa adanya dan bukan karena apa yang

dimilikinya.

  Dan, yang terpenting, hidup ini adalah tentang memilih untuk

menggunakan hidupmu untuk menyentuh hidup orang lain dengan

cara yang tidak bisa digantikan dengan cara lain. Hidup adalah tentang pilihan-pilihan itu.

  ( Chicken Soup)

  Kupersembahkan karyaku ini

  Untuk Bapak, Ibu, Leo,

  Orang-orang yang mencintaiku serta almamaterku iv

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa di Surga, karena hanya berkat dan rahmat-Nya skripsi ini dapat diselesaikan oleh penulis. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  Selama penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikannya, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

  1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. Selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata

  2. Ibu Christine Patramurti, M.Si., Apt. selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan arahan dan dorongan semangat selama penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Dra.M.M Yetty Tjandrawati, M.Si. yang telah memberikan kritik dan saran untuk skripsi ini.

  4. Bapak Drs. Sulasmono, Apt. yang telah memberikan kritik dan saran untuk skripsi ini.

  5. Bapak Dr. Sudibyo Martono, M.S., Apt. terima kasih untuk semua diskusi, nasehat dan semangatnya

  6. Mr. “J” terima kasih untuk semua mukjizat yang setiap detik diberikan. v

  7. Pak Mukmin, Pak Prapto, Mas Parlan, Mas Kunto dan Mas Sarwanto, terima kasih atas semua bantuan dan cerita-ceritanya.

  8. Bapak Ignatius Sadiarko dan Ibu Theresia Sri Suratmini, terima kasih untuk semua doa, peluh, dan semangat selama ini.

  9. Leo Damar Kandela, terimakasih buat ejekan-ejekan penyemangatnya.

  10. Keluarga Besar Soekohardjono terima kasih atas semua doa, perhatian dan cinta yang selalu diberikan.

  11. Dita, Andi, Yohana, makasih sudah memberikan aku apa arti sahabat.

  12. Henny, sahabat seperjuangan, makasih buat bantuan, diskusi, saran dan kritiknya.

  13. Teman-teman kelas A angkatan 2003, terima kasih untuk empat tahun yang indah.

  Teman-teman KKN angkatan XXXII Dusun Soka Kragilan, Aiu, Anis, Dedy, Dessy, Ica, Ita, Yeye’, Arba, Prast, Adi, makasih dukungannya.

  15. Teman-teman P3W Mrican, Cipluk, Eka, Leli, Lisa, Trisna, Rita, Paula, MM, Sandra, Uli, Nyoman, Qwhat, Yongkie, Yanu, Ziko, makasih sudah mau menjadi keluarga keduaku. Kejar satu juta!

  16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu namun sangat berjasa terhadap skripsi ini. Terimakasih.

  Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak memiliki kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan dan perkembangan selanjutnya. Akhir kata semoga skripsi ini berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan.

  Penulis vi vii

  

INTISARI

  Kafein merupakan salah satu zat aktif yang terdapat dalam minuman berenergi yang bersifat menstimulasi sistem saraf pusat, pernafasan, dan jantung. Penentuan kadar kafein dalam minuman berenergi dapat dilakukan dengan mengembangkan metode spektrofotometri ultraviolet menjadi spektrofotometri derivatif aplikasi peak-to-peak tanpa harus dilakukan pemisahan terlebih dahulu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui akurasi dan presisi dari metode yang digunakan langsung pada sampel.

  Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental deskriptif. Penelitian dilakukan dengan membuat spektra serapan, baik spektra normal maupun spektra derivatifnya. Spektra derivatif pertama merupakan plot dA/d 2 2 λ vs λ, spektra derivatif kedua merupakan plot d A/d 3 3 λ vs λ, spektra derivatif ketiga merupakan plot d A/d

  λ vs λ. Penentuan kadar kafein didasarkan pada jarak vertikal antara puncak maksimum pada panjang gelombang 271 nm dan puncak minimum pada panjang gelombang 273 nm yang dinyatakan sebagai nilai amplitudo peak-to-peak

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai recovery kafein berada pada rentang 96,24 – 107,12 % dan nilai CV sebesar 0,46 %. Dapat disimpulkan bahwa penetapan kadar kafein dalam minuman berenergi merek “X” secara spektrofotometri derivatif aplikasi peak-to-peak memiliki akurasi dan presisi yang baik.

  Kata kunci : kafein, minuman berenergi, spektrofotometri derivatif, peak-to-peak viii

  

ABSTRACT

  Caffeine is one of the active subtance in energy drink that stimulate central nervous system, respiratory, and heart. Determination of caffeine conssentration in energy drink can be made by enlarge ultraviolet spectrophotometry method to derivative spectrophotometry peak-to-peak method application without extraction. The aim of this research is ti find out the accuracy and precision of the method used in sample.

  This research is descriptive non experimental research. The research has been conduct by creating spectra absorbance, both normal absorbance spectra and derivative spectra. First derivative spectra is plot dA/d 2 2 λ vs λ, second derivative 3 3 spectra is plot d A/d

  A/d λ vs λ, and third derivative spectra is plot d λ vs λ. Determination of caffeine concentration is based on the measurement of vertical distance between maximum peak at 271 nm and minimum peak at 273 nm which stated as peak-to-peak amplitude value.

  The result of this research show that the caffeine recovery value is on 96,24 – 107,12 % and CV value is on 0,46 %. It can be concluded that determination of caffeine concentration using derivative spectrophotometry peak-to-peak method application has ood accuracy and precision.

  Keywords : cafeine, energy drink, derivative spectrophotometry, peak-to-peak ix

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL................................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................. iii HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................................... iv KATA PENGANTAR.............................................................................................. v PENYATAAN KEASLIAN KARYA...................................................................... vii

  INTISARI………………………………………………………………………...... viii

  

ABSTRACT ……………………………………………………………………......... ix

  DAFTAR TABEL………………………………………………………………..... xiii DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………....... xiv DAFTAR LAMPIRAN……………………………………...…………….......…. xvi

  BAB I. PENGANTAR…………………………………………………….......……. 1 A. Latar Belakang………………………………………………………….......…… 1

  1. Permasalahan ………………………………………………………….......…. 2

  2. Keaslian Penelitian ………………………………………………….......…… 3

  3. Manfaat Penelitian …………………………………………………...........… 3

  B. Tujuan Penelitian ……………………………………………………….......….. 4

  BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ……………………………………........…… 5 A. Kafein ….……………………………………………………………….......…... 5 x

  B. Minuman Berenergi …………………………………………………….......…... 6

  C. Spektrofotometri Ultraviolet ………………………………………………......... 7

  D. Spektrofotometri Derivatif ………………………………………………......… 14

  E. Validasi Metode Analisis dan Kategori Metode Analisis …………………....... 16

  F. Keterangan Empiris ………………………………………………………......… 20

  BAB III. METODOLOGI PENELITIAN …………………………………......….. 21 A. Jenis dan Rancangan Penelitian ………………………………………......…… 21 B. Definisi Operasional ………………………………………………………...... 21 C. Bahan-bahan Penelitian …………………………………………………......…. 21 D. Alat-alat penelitian …………………………………………………..........…… 22

  1. Pembuatan larutan HCl 0,1N .......................................................................... 22

  2. Pembuatan spektra tiap-tiap senyawa ............................................................. 22

  3. Penentuan panjang gelombang peak to peak .................................................. 23

  4. Pembuatan kurva baku ................................................................................... 23

  5. Penetapan kadar kafein ................................................................................... 23

  6. Pembuatan larutan kafein baku yang akan ditambahkan pada sampel …....... 24

  7. Validasi Metode Analisis …………………………………………......…….. 24

  F. Analisis Hasil ....................................................................................................... 25

  BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................................... 26 A. Pengambilan Sampel ........................................................................................... 26 xi

  B. Analisis Organoleptis …………………………………………………......…… 27

  C. Pembuatan Larutan Baku Kafein ………………………………………......….. 27

  D. Pengamatan Spektra Kafein ………………………………………….....……… 28

  E. Pembuatan Larutan Sampel dan Pembacaan Serapan Sampel ……….....……... 30

  F. Penentuan Panjang Gelombang Peak-to-Peak ………………………….....…... 32

  G. Pembuatan Kurva Baku Kafein …………………………………………....….. 35

  H. Penetapan Kadar Kafein dalam Minuman Berenergi Merek “X” ……….....…. 36

  BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………..........… 39 A. Kesimpulan ……………………………………………………………….....… 39 B. Saran ………………………………………………………………….……....... 39 LAMPIRAN …………………………………………………………….……........ 42 BIOGRAFI PENULIS............................................................................................... 59 xii

  

DAFTAR TABEL

  Tabel I. Parameter validasi yang dipersyaratkan untuk validasi metode …........ 19 Tabel II. Kurva baku kafein ……………………………………………….......… 36 Tabel III. Data kafein terukur dalam sampel minuman berenergi merek “X”........ 37 Tabel IV. Data kafein terukur pada sampel minuman berenergi yang telah ditambah larutan kafein baku …………………………………......…… 38 Tabel V. Data perhitungan recovery kafein dalam sampel minuman

  Berenergi …………………………………………………………......... 38 xiii

  

DAFTAR GAMBAR

  Gambar 1. Rumus bangun kafein ........................................................................... 5 Gambar 2. Struktur taurin dan kafein sebagai zat aktif yang terkandung dalam minuman berenergi ................................................... 7 Gambar 3. Tingkat energi elektron molekul ………….…………......…………… 8 Gambar 4. Bagan spektrofotometer berkas ganda ………………………......….. 12 Gambar 5. Penurunan spektrum basal menjadi spektra derivatif satu sampai empat……………………………………………………...........……. 15 Gambar 6. Metode analisis kuantitatif spektra derivatif ………..……….......….. 15 Gambar 8. Gugus kromofor kafein....................................................................... 29 Gambar 9. Spektra serapan normal kafein ………………… ……………......…. 29 Gambar 10. Spektra serapan normal sampel minuman berenergi merek “X” ……………………………………………………......…. 31 Gambar 11. Struktur niasinamida dan piridoksin ………………………………… 31 Gambar 12. Spektra serapan normal kafein dengan sampel minuman berenergi merek “X” ……………………………………………....... 32 Gambar 13. Spektra derivat pertama kafein dengan sampel minuman berenergi merek “X” .......................................................................... 33 Gambar 14. Spektra derivat kedua kafein dengan sampel minuman berenergi merek “X”............................................................................ 34 xiv

  Gambar 15. Spektra derivat ketiga kafein dengan sampel minuman berenergi merek “X” ........................................................................... 35 Gambar 16. Minuman berenergi merek “X” .......................................................... 44 xv

  

DAFTAR LAMPIRAN

  Lampiran 1. Sertifikat analisis kafein …………………………….......………….. 42 Lampiran 2. Data sampel minuman berenergi ………………………......……….. 43 Lampiran 3. Data penimbangan kafein baku ……………………………......…… 44 Lampiran 4. Spektra sampel minuman berenergi merek “X” ................................. 45 Lampiran 5. Contoh Perhitungan Konsentrasi Larutan Baku Kafein ………......… 46 Lampiran 6. Spektra kafein ……………………………………………….........… 47 Lampiran 7. Spektra derivatif kafein dengan sampel (

  ∆λ 1 nm) ......................... 48 Lampiran 8. Spektra derivatif kafein dengan sampel (

  ∆λ 2 nm) ......................... 50

  3

  3 Lampiran 9. Contoh Perhitungan amplitudo peak-to-peak (d A/d ) …………..... 52

  λ Lampiran 10. Perhitungan kadar terukur kafein dalam sampel …………….....…... 54 Lampiran 11. Perhitungan Recovery, CV kadar terukur kafein……..……….....…..56 xvi

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Konsumsi minuman energi menunjukkan pertumbuhan yang cukup pesat

  sejak tahun 1997. Banyak orang memilih untuk mengembalikan energi yang hilang selama aktifitasnya dengan minuman berenergi. Bahkan tidak sedikit orang yang mengkonsumsinya setiap hari.

  Beberapa minuman energi mengandung kafein. Berdasarkan fungsinya dalam metabolisme, kafein lebih cocok bertindak sebagai stimulan daripada sumber energi (Anonim, 2006a).

  Minuman berenergi yang beredar di Indonesia termasuk dalam golongan suplemen makanan dengan ijin edar SD (Suplemen yang diproduksi dalam negeri). Namun, sebelum ada Surat Keputusan Kepala Balai POM tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan, minuman berenergi memiliki ijin edar MD (Makanan yang diproduksi dalam negeri).

  Menurut Balai POM, minuman berenergi yang ada di Indonesia mengandung kafein sejumlah 50 mg per botol dan hanya diperbolehkan untuk mengkonsumsi sebanyak tiga botol per hari (Marlinda, 2001).

  Saat ini, banyak metode analisis telah dikembangkan untuk menetapkan kadar kafein. Pada penetapan kadar kafein dalam minuman, berbagai macam metode analisis seperti titrimetri, spektrofotometri dan KCKT telah banyak dilaporkan. Namun masih banyak kekurangan pada metode analisis tersebut. Pada titrimetri penetapan kadar harus melalui isolasi terlebih dahulu. Keberadaan

  2 senyawa lain akan mengganggu hasil titrasi sehingga hasil yang diperoleh tidak tepat. Metode KCKT merupakan metode yang sensitif dan dapat digunakan untuk penetapan kadar senyawa yang berupa campuran secara bersamaan. Metode ini membutuhkan biaya operasional yang cukup mahal untuk mengoperasikannya.

  Metode spektrofotometri merupakan metode yang cepat dan sederhana untuk menetapkan kadar kafein, namun metode ini tidak dapat digunakan untuk sampel yang kompleks sehingga harus dilakukan isolasi terlebih dahulu.

  Saat ini spektrofotometri UV berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga dapat digunakan untuk menetapkan kadar campuran, salah satunya melalui derivatisasi. Karena adanya kebutuhan akan analisis yang penentuan kadar kafein. Hal ini dikarenakan metode ini dapat menetapkan kadar kafein dengan cepat dan selektif tanpa adanya isolasi terlebih dahulu. Metode spektrofotometri derivatif aplikasi peak to peak didasarkan pada pengukuran pada daerah panjang gelombang yang mempunyai nilai ekstremum ( amplitudo peak- to-peak ) pada derivat kafein baku dan sampel.

  3

  1. Permasalahan

  Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan, timbul masalah untuk diteliti, yaitu apakah metode spektrofotometri derivatif aplikasi peak to peak yang digunakan dalam penetapan kadar kafein dalam minuman berenergi merek “X” memiliki akurasi dan presisi yang baik?

  2. Keaslian Penelitian

  Penelitian terhadap penetapan kadar kafein secara spektrofotometri ultraviolet telah banyak dilakukan. Pada penelitian ini digunakan metode spektrofotometri derivatif aplikasi peak-to-peak sebagai metode pengembangan berenergi merek “X”. Penelitian dengan menggunakan aplikasi peak-to-peak yang pernah dilakukan diantaranya adalah penetapan kadar kafein dalam minuman (Alpdogan et al, 2000), penetapan kadar asam askorbat dalam sayuran (Aydogmus and Cetin, 2001), penetapan kadar kafein dalam campuran parasetamol, kafein dan salisilamida (Friamita, 2006).

  3. Manfaat penelitian

  a. Manfaat metodologis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah khususnya terhadap perkembangan metode spektrofotometri derivatif aplikasi peak to peak, khususnya terhadap kafein dalam minuman berenergi merek “X”.

  4 b. Manfaat praktis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan metode penetapan kadar yang lebih cepat dan praktis untuk menetapkan kadar kafein dalam minuman berenergi merek”X” karena tidak memerlukan pemisahan terlebih dahulu.

   Tujuan Penelitian B.

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akurasi dan presisi dari metode spektrofotometri derivatif aplikasi peak to peak pada penetapan kadar kafein dalam minuman berenergi merek “X”.

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Kafein O CH

  3 H C 3 N N N O N

CH

3

  (1,3,7 Trimetil Xantine; C

  8 H

  10 N

  4 O 2 ; BM 194,9) Gambar 1. Rumus bangun kafein Kafein berbentuk anhidrat atau hidrat yang mengandung satu molekul air.

  Kafein mengandung tidak kurang dari 98,5% dan tidak lebih dari 101,0% C

  8 H

  10 N

  4 O 2 , dihitung terhadap zat anhidrat ( Anonim, 1995 ).

  Pemerian. Serbuk putih atau bentuk jarum mengkilat putih, biasanya menggumpal; tidak berbau; rasa pahit. Titik lebur antara 235ºC - 237ºC ( Anonim, 1995 ). Kafein memiliki kelarutan 1:60 dengan air, 1:1 dengan air panas, 1:130 dengan etanol, 1:7 dengan kloroform. Sedikit larut dalam eter namun mudah larut dalam larutan asam encer. Dalam larutan asam encer, kafein memberikan serapan 1 1 absorbsi maksimum pada 273 nm ( A = 504 )( Clarke, 1986 ). A sama artinya 1 1 dengan serapan jenis (A1% 1cm) di dalam Farmakope Indonesia IV yaitu serapan dari larutan 1% zat terlarut dalam sel dengan ketebalan 1 cm.

  Kafein adalah zat kimia yang tergolong dalam jenis alkaloid. Selain pada kopi, kafein banyak ditemukan dalam minuman, teh, cola, coklat,

  6 minuman berenergi, maupun obat-obatan. Kandungan kafein pada secangkir kopi sekitar 80-125 mg, sedangkan satu kaleng softdrink cola mengandung sekitar 23- 37 mg, teh mengandung sekitar 40 mg, dan satu ons coklat mengandung sekitar 20 mg kafein ( Anonim, 2006b ).

  Sebenarnya, jika dikonsumsi di bawah ambang batas, kafein tidak akan menimbulkan masalah. Akan tetapi jika dikonsumsi di atas 500 mg ( dalam satu kali minum ), akan mengakibatkan keracunan ( Marlinda, 2001 ).

B. Minuman Energi

  Minuman berenergi termasuk dalam golongan food supplement atau berbatasan “ antara obat dan makanan / minuman. Meskipun termasuk makanan yang dijual bebas, produk minuman berenergi ini berisi zat-zat yang biasa terdapat dalam obat-obatan (Rafira, 2005).

  Kandungan zat aktif yang umum dijumpai pada produk minuman berenergi ini antara lain kafein, taurin, vitamin B, guarana, ginseng dan vitamin C ( Anonim, 2006a). Kelebihan produk minuman berenergi adalah manfaatnya yang cepat terasa karena mengandung zat pemanis buatan (sorbitol, aspartam, siklamat) yang mudah diserap tubuh. Sumber lain yang juga mempengaruhi kecepatan reaksi adalah kandungan kafein dan taurin di dalamnya (Marlinda, 2001).

  Kombinasi taurin dan kafein dalam minuman berenergi akan merangsang sistem saraf pusat untuk memicu reaksi katabolisme di otot. Mekanismenya

  7 melalui pengaktifan kerja saraf yang menghasilkan percepatan jantung untuk memompa darah dan oksigen, sembari menstimulasi peningkatan kadar gula darah (Anonim, 2006a).

  O CH 3 O H C 3 N N S C C NH

  HO

2 H H

  2

  2 N O N O CH 3 Gambar 2. Struktur taurin dan kafein sebagai zat aktif yang terkandung dalam minuman

berenergi

C. Spektrofotometri Ultraviolet

  Serapan radiasi digunakan dalam analisis spektrofotometri UV-Vis dan infra merah. Spektrofotometri UV adalah anggota teknis analisis spektroskopik yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat (190-380 nm) dengan memakai instrumen spektrofotometer (Mulja dan Suharman, 1995).

  Prinsip kerja spektrofotometri berdasarkan atas interaksi antara radiasi elektromagnetik dengan materi (atom, ion, atau molekul). Interaksi yang menyebabkan adanya perpindahan energi dari sinar radiasi ke materi disebut absorbsi (Pecsok et al, 1976). Bila cahaya jatuh pada senyawa, maka sebagian dari cahaya diserap oleh molekul-molekul sesuai dengan struktur dari molekul. Setiap senyawa mempunyai tingkatan energi yang spesifik (Mulja dan Suharman, 1995).

  8 Transisi elektronik senyawa organik yang dapat terjadi yaitu transisi dari

  orbital , , n , n yang ditunjukkan oleh gambar berikut: σ→ σ π→ π → σ → π

  

Gambar 3. Tingkat energi elektron molekul (Skoog et al, 1998)

  • 1. Transisi elektron n

  → π Transisi jenis ini meliputi transisi elektron-elektron heteroatom tak

  • berikatan ke orbital antibonding seperti Nitrogen, Sulfur, Oksigen, dan

  π Halogen. Serapan ini terjadi pada panjang gelombang yang panjang dan intensitasnya rendah (Sastrohamidjojo, 2001). Hal ini disebabkan karena probabilitas terjadinya transisi energi yang diserap (P) kecil. Nilai harga P adalah 0,1 sampai 1 yang menunjukkan kekuatan pita absorbansi akibat transisi elektronik yang diperbolehkan. Sedangkan untuk harga P < 0,01 merupakan transisi yang terlarang (forbidden transition) ( Mulja dan Suharman, 1995).

  • Senyawa-senyawa jenuh yang mengandung heteroatom seperti Nitrogen,

  2. Transisi elektron n → σ

  Sulfur, Oksigen, dan Halogen memiliki elektron-elektron tak berikatan ( elektron n atau elektron nonbonding) disamping elektron σ. Elektron nonbonding ini dapat dipromosikan pada panjang gelombang yang pendek, ke keadaan antibonding

  • .

  σ

  Transisi ini terjadi pada panjang gelombang di bawah 200 nm (Christian, 2004).

  9

  • Transisi ini terjadi pada elektron di orbital

  3. Transisi elektron π→ π

  π, yaitu pada ikatan rangkap dua dan rangkap tiga. Eksitasi ini paling mudah terbaca dan bertanggung jawab terhadap spektra elektronik dalam daerah UV dan tampak (Christian, 2004).

  • 4. Transisi elektron

  σ→ σ Transisi ini terjadi pada elektron yang mempunyai ikatan tunggal kovalen dan menduduki orbital

  σ. Tingkat energi yang dibutuhkan untuk eksitasi ini sangat besar (Connors, 1982) dan absorpsi elektron σ untuk bertransisi yaitu pada panjang gelombang sekitar 150 nm yang jauh dari UV (Sastrohamidjojo, 2001).

  Suatu molekul dapat menyerap radiasi elektromagnetik bila mempunyai kromofor disebut kromogen. Pada senyawa organik dikenal pula gugus auksokrom yaitu gugus fungsional yang tidak menyerap radiasi namun bila terikat bersama kromofor dapat meningkatkan penyerapan oleh kromofor atau merubah panjang gelombang serapan dan intensitas ketika bergabung dengan kromofor. Auksokrom sedikitnya mempunyai sepasang elektron bebas yang dapat berinteraksi dengan elektron

  3, -Cl,

  π pada kromofor (n- π konjugasi), misal –OCH -OH dan –NH (Christian, 2004).

3 Pergeseran serapan ada 4 macam yaitu pergeseran batokromik, pergeseran

  hipsokromik, hiperkromik, dan hipokromik. Pergeseran batokromik adalah pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih panjang disebabkan substitusi atau pengaruh pelarut. Pergeseran hipsokromik adalah pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih pendek disebabkan substitusi atau pengaruh pelarut,

  10 misalnya dari pelarut nonpolar ke pelarut polar (Sastrohamidjojo, 2001). Efek hiperkromik adalah kenaikan intensitas serapan. Efek hipokromik adalah penurunan intensitas serapan (Connors, 1982).

  Spektrofotometri dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kuantitatif spektroskopik berdasarkan hubungan antara jumlah cahaya yang diabsorpsi dan jumlah molekul pengabsorpsi (konsentrasi senyawa pengabsorpsi). Banyaknya cahaya yang diserap pada frekuensi atau panjang gelombang tertentu sesuai dengan jumlah molekul yang ada. Hal ini menentukan banyaknya intensitas absorpsi yang merupakan dasar analisis kuantitatif dengan metode spektrofotometri (Willard et al, 1988). Intensitas serapan dinyatakan

  I ε.b.c -

  T = = 10 ………………………………. (1)

  Io

  dimana I adalah intensitas dari energi pancaran yang mengenai cuplikan, I adalah

  o

  intensitas pancaran yang keluar dari cuplikan, c adalah konsentrasi,

  ε adalah absorptivitas molar dan b adalah panjang sel.

  Rumusan tersebut disempurnakan dalam Hukum Lambert-Beer yang menyatakan hubungan antara transmisi dengan tebal cuplikan dan konsentrasi bahan penyerap. Hubungan tersebut dinyatakan sebagai:

  1 A = log =

  ε.c.b = a.b.c ………………….. (2)

  T

  Keterangan: T = persen transmitan Io = intensitas radiasi yang datang I = intensitas radiasi yang diteruskan

  • 1 -1

  = daya serap molar, absorptivitas molar, (L. mol . cm ) ε

  • -1 -1

  a = daya serap, absorptivitas (L. g . cm )

  11

  • 1 -1

  c = konsentrasi larutan (mol. L ) (g. L ) b = tebal kuvet (cm) A = serapan ( Silverstein, 1981). Harga

  ε didefinisikan sebagai daya serap molar atau koefisien extingsi molar. Harga ε adalah karakteristik untuk molekul atau ion penyerap dalam pelarut tertentu, pada panjang gelombang tertentu dan tidak bergantung pada konsentrasi dan panjang gelombang lintasan radiasi (Sastrohamidjojo, 2001).

  Dalam produk farmasi, konsentrasi dan jumlah sampel biasa ditunjukkan dalam gram atau milligram daripada dalam satuan mol. Bila diketahui konsentrasi (c) larutan dalam gram per liter (g/L), maka persamaan Lambert-Beer dapat ditulis menjadi A adalah absorbansi; A(1%,1cm) adalah absorbansi larutan konsentrasi 1% b/v dalam kuvet setebal 1 cm; b adalah tebal kuvet dalm cm (biasanya 1 cm); dan c adalah konsentrasi sampel dalam g/100ml (Watson, 1999). Harga

  ε bergantung pada luas penampang senyawa yang terkena radiasi (A) dan probabilitas terjadinya transisi energi yang diserap (P). Hubungan

  ε dan variabel tersebut adalah sebagai berikut:

  19 P A………….……………… (5)

  ε = 8,7 x 10 Secara umum dapat dikatakan bahwa harga

  ε sangat mempengaruhi puncak spektrum suatu zat. Rincian harga ε terhadap puncak spektrum adalah sebagai

  2

  2

  3

  3

  4

  4

  • berikut: 1-10 : sangat lemah; 10-10 : lemah; 10 -10 : sedang; 10 -10 : kuat; 10

  5 10 : sangat kuat (Mulja dan Suharman, 1995).

  12 Dalam penurunan hukum ini diasumsikan bahwa radiasi yang masuk adalah monokromatik, spesies penyerap tidak tergantung satu terhadap yang lainnya dalam proses penyerapan, absorpsi terjadi dalam volume yang mempunyai luas penampang yang sama, degradasi energi cepat (tidak terjadi flouresensi), indeks bias tidak tergantung pada konsentrasi (tidak berlaku pada konsentrasi yang tinggi) (Pecsok et al, 1976).

  Instrumen yang digunakan untuk mempelajari serapan atau emisi radiasi elektromagnetik sebagai fungsi dari panjang gelombang disebut spektrofotometer.

  Bagian-bagian penting dari spektrofotometer meliputi :

  

Gambar 4. Bagan spektrofotometer berkas ganda (Skoog et al, 1998)

1. Sumber radiasi

  Sumber radiasi ultraviolet yang kebanyakan digunakan adalah lampu hidrogen dan lampu deuterium. Lampu tersebut terdiri dari sepasang elektroda yang terselubung dalam tabung gelas dan diisi dengan gas hidrogen atau deuterium pada tekanan yang rendah. Bila tekanan yang tinggi dikenakan pada elektroda-elektroda, maka akan dihasilkan elektron-elektron yang mengeksitasi elektron-elektron lain dalam molekul gas ke tingkatan tenaga yang tinggi. Bila elektron-elektron kembali ke tingkat dasar mereka melepaskan radiasi yang kontinyu dalam daerah sekitar 180 dan 350 nm (Sastrohamidjojo, 2001).

  13

  2. Monokromator

  Sumber radiasi yang digunakan biasanya memancarkan radiasi kontinyu pada daerah panjang gelombang yang lebar. Dalam spektrofotometer, radiasi yang polikromatis ini harus diubah menjadi radiasi monokromatis (Sastrohamidjojo, 2001).

  Monokromator berfungsi untuk mendapatkan radiasi monokromatis dari sumber radiasi yang memancarkan radiasi polikromatis (Mulja dan Suharman, 1995). Monokromator merupakan serangkaian alat optik yang menguraikan radiasi polikromatik menjadi jalur-jalur yang efektif atau panjang gelombang- panjang gelombang tunggalnya dan memisahkan panjang gelombang tersebut

  3. Tempat cuplikan

  Cuplikan yang akan dipelajari pada daerah ultraviolet yang biasanya berupa gas atau larutan ditempatkan pada sel atau kuvet. Untuk daerah ultraviolet biasanya digunakan kuarsa atau sel dari silika yang dilebur. Sel untuk larutan mempunyai panjang lintasan tertentu dari 1 sampai 10 cm (Sastrohamidjojo, 2001).

  4. Detektor

  Fungsi detektor dalam spektrofotometri adalah mengubah sinyal radiasi yang diterima menjadi sinyal elektronik (Mulja dan Suharman, 1995). Setiap detektor menyerap tenaga foton yang mengenainya dan mengubah tenaga tersebut untuk dapat diukur secara kuantitatif. Detektor yang digunakan dalam ultraviolet disebut detektor fotolistrik (Sastrohamidjojo, 2001).

  14

5. Alat pencatat

  Fungsi alat pencatat adalah mengubah sinyal elektronik yang dihasilkan oleh detektor menjadi bentuk yang dapat diinterpretasikan (Pecsok et al, 1976).

D. Spektrofotometri Derivatif

  Spektrofotometri derivatif merupakan metode manipulasi terhadap spektra pada spektrofotometri ultraviolet dan tampak (Connors, 1982). Pada spektroskopi derivatif, derivaf pertama atau lebih dari absorbansi ditransformasikan sebagai fungsi panjang gelombang lawan panjang gelombang (dA/d

  λ vs λ). Pada spektra derivatif, kemampuan mendeteksi dan mengukur spektra minor dapat meningkat. dua spektra yang mirip. Lebih jauh, metode ini dapat digunakan pada analisis kuantitatif untuk mengukur konsentrasi analit. Dengan derivatisasi yang dibuat lebih tinggi maka spektrogram akan bertambah dengan sejumlah pemecahan puncak-puncak yang lebih terperinci dan puncak spektra yang melebar terpecah menjadi dua (Willard et.al, 1988).

  Semua spektrum yang dihasilkan oleh semua spektrofotometer ultraviolet apapun dapat diturunkan spektra derivatifnya secara manual maupun otomatis.

  Analisis kuantitatif spektrum derivatif dilakukan dengan jalan menggambarkan selisih absorban ( -A ) terhadap rata-rata

  2

  1

  ∆A) dua panjang gelombang (∆A = Aλ λ dua panjang gelombang tersebut yang berderet teratur, yaitu: λ λ + 1 2

  λ m = ……………………………… (6)

  2 (Mulja dan Suharman, 1995).

  15

  Gambar 5. Penurunan spektrum basal menjadi spektra derivatif satu sampai empat

Keterangan : a = spektra normal, b = spektra derivatif satu, c = spektra derivatif dua, d =

spectra derivatif tiga, e = spektra derivatif empat (Mulja dan Suharman, 1995)

  Kemungkinan metode analisis kuantitatif spektrofotometri ada beberapa jenis, yaitu : a) aplikasi tangent, b) aplikasi peak-peak, c) aplikasi peak-zero (a) (b) (c)

  

Gambar 6. Metode analisis kuantitatif spektra derivatif (Anonim, 2006c)

Keterangan : a = aplikasi tangent, b = aplikasi peak-to-peak, c = aplikasi peak-zero

  Analisis kuantitatif mengunakan aplikasi peak to peak didasarkan pada pengukuran daerah antara dua nilai ekstrem (amplitudo peak to peak) pada orde pertama, kedua, ketiga bahkan keempat dari spektra derivatif (Alpdogan et.al, 2000).

  16

E. Validasi Metode dan Kategori Metode Analisis

  Validasi metode analisis merupakan suatu prosedur yang digunakan untuk membuktikan bahwa metode analisis tersebut secara taat asas memberikan hasil seperti yang diharapkan dengan kecermatan dan ketelitian yang memadai. Persoalan analisis era modern ini yaitu sangat kecilnya kadar senyawa yang dianalisis dan kompleksnya matrik sampel yang dianalisis (Mulja dan Suharman, 1995).

  Parameter-parameter yang digunakan sebagai pedoman kesahihan metode analisis antara lain :

  1. Spesifitas

  komponen yang mungkin diharapkan untuk disajikan, seperti ketidakmurnian, degradasi produk dan komponen matriks (Anonim, 2005).

  2. Linieritas

  Linieritas suatu prosedur analisis merupakan kemampuan untuk mendapatkan hasil uji yang secara langsung atau secara matematis, proporsional dengan konsentrasi analit di dalam sampel dengan pemberian rentang. Rentang adalah jarak antara level terbawah dan teratas dari metode analisis yang telah dipakai untuk mendapatkan presisi, linieritas dan akurasi yang bisa diterima (Anonim, 2005). Untuk maksud analisis kuantitatif yang dipakai sebagai parameter yaitu bermacam-macam kadar sebagai absis pada sistem koordinat Cartesian. Sedangkan sebagai ordinat dapat dipakai tanggap detektor yang

  17 merupakan serapan radiasi elektromagnetik pada metode spektrofotometri UV- Vis (Mulja dan Suharman, 1995).

  3. Akurasi

  Akurasi dari suatu metode analisis merupakan kedekatan hasil pengukuran yang diperoleh dengan metode tersebut dengan nilai yang sebenarnya. Akurasi dari suatu metode analisis sebaiknya disajikan dalam rentang (Anonim, 2005).

  kadar teru kur

  ………………… (7)

  % Re cov ery = x 100 % kadar diketahui

  Akurasi untuk bahan obat dengan kadar kecil biasanya disepakati 90- 110%, akurasi untuk kadar obat yang lebih besar biasanya disepakati 95-105%, akurasi untuk bahan baku biasanya disepakati 98-102% sedangkan untuk bioanalisis rentang akurasi 80-120% masih bisa diterima (Mulja dan Hanwar, 2003).

  4. Presisi

  Presisi dari suatu metode analisis adalah derajat kesesuaian antara hasil pengukuran ketika metode tersebut diaplikasikan secara berulang-ulang pada sampel yang homogen. Presisi biasanya ditunjukkan dengan standar deviasi atau koefisien variasi dari sebuah seri pengukuran (Anonim, 2005).

  Presisi dalam USP dibagi menjadi tiga macam yaitu :

  a. repeatability adalah derajat keterulangan metode analisis jika analisis dilakukan di laboratorium yang sama pada hari yang sama dengan alat yang sama pula.

  18 b. intermediate precision adalah derajat keterulangan metode analisis jika analisis dilakukan pada laboratorium yang sama dengan hari yang berbeda, analisis yang berbeda dan atau alat yang berbeda.

  c. reproducibility adalah derajat keterulangan metode analisis jika analisis dilakukan pada laboratorium yang berbeda (Anonim, 2005).

  Kriteria seksama diberikan jika metode memberikan simpangan baku relatif atau koefisien variasi 2% atau kurang. Akan tetapi kriteria ini sangat fleksibel tergantung pada kondisi analit yang diperiksa, konsentrasi sampel dan kondisi laboratorium. Pada kadar 1 % atau lebih, standar deviasi relatif antara laboratorium adalah sekitar 2,5 %, untuk satu per seribu adalah 5 %. Pada kadar billion (ppb) adalah 32 % (Harmita, 2004). n _ 2

  

( xx )

1i = 1 SD = ………………………………. (8) n

  

1

  Persamaan no.(7) digunakan untuk menghitung nilai SD

  SD

  CV = x 100 % …………………………………. (9) _

  x

  Nilai CV dapat dihitung menggunakan persamaan no.(9)

   LOD (Limit of detection) dan LOQ (Limit of Quantitation) 5.

  LOD (limit of detection) adalah jumlah terkecil analit di dalam sampel yang masih dapat terdeteksi. LOD besarnya 2-3 kali respon blanko. LOQ (limit of

  

Quantitation ) adalah jumlah terkecil analit di dalam sampel yang masih dapat

  19 ditetapkan dalam kondisi percobaan tertentu dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima. LOQ besarnya 10 kali dari respon blanko (Anonim, 2005).

  Metode analisis dapat dibedakan menjadi empat kategori berdasarkan jenis analit: a. Kategori I.

  Mencakup metode-metode analisis kualitatif untuk menetapkan kadar komponen utama dari bahan obat atau zat aktif (termasuk pengawet) dalam sediaan farmasi.

  b. Kategori II.

  Mencakup metode-metode analisis kualitatif dan kuantitatif yang digunakan dalam sediaan farmasi.

  c. Kategori III.