BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teori - UPAYA PENINGKATAN HASIL BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) PADA MATERI MENGHARGAI DAN MENAATI KEPUTUSAN BERSAMA DI KELAS V SD NEGERI KALISABUK 01
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kerangka Teori
2.1.1. Pembelajaran PKn ( Pendidikan Kewarganegaraan ) Sesuai Silabus KTSP, mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut : a.
Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.
b.
Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta antikorupsi.
c.
Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.
d.
Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.( Permen No.22 tahun 2006 )
PKn adalah suatu pendidikan yang ingin membina seseorang yang sudah memiliki status kewarganegaraan menjadi warga negara yang baik.
Jadi PKn bertujuan meningkatkan kualitas Warga Negara Indonesia (WNI).
9 Dalam dunia pendidikan, di negara kita mempunyai 12 sasaran bina aspek yaitu : a.
Pribadi yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME b. Yang berbudi pekerti luhur c. Yang berkepribadian d. Berdisiplin e. Yang bekerja keras f. Yang tangguh g.
Yang mandiri h. Yang bertanggung jawab i. Yang cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani j. Yang mampu menumbuhkan dan mempertebal rasa cinta tanah air k.
Yang mampu menumbuhkan dan mempertebal semangat kebangsaan dan kesetiakawanan sosial l.
Yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri serta sikap dan perilaku yang inofatif dan kreatif Menurut Roobiyarto (2007 : 54) Pendidikan Kewarganegaraan tidak dibatasi oleh lingkup tempat dan waktu. Hanya saja penyampaian
Pendidikan Kewarganegaraan itu disesuaikan dengan profesi yang ingin dimiliki oleh peserta didik.
Objek studi Pendidikan Kewarganegaraan adalah manusia Indonesia yaitu Warga Negara Indonesia. Status/kedudukan seseorang membawa serta peranan seseorang. Disinilah seseorang dituntut dapat senantiasa menampilkan dirinya sesuai dengan hakekat manusia. Pangkal tolak untuk supaya manusia itu dapat sesuai dengan statusnya adalah pengendalian diri.
Pendidikan kewarganegaraan adalah wahana untuk mengembangkan kemampuan, watak dan karakter warganegara yang demokratis dan bertanggung jawab ( UURI No 20 th 2003 )
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam rangka “nation and character
building ” : Pertama : Pendidikan Kewarganegaraan merupakan bidang kajian
kewarganegaraan yang ditopang berbagai disiplin ilmu yang releven, yaitu: ilmu politik, hukum, sosiologi, antropologi, psokoliogi dan disiplin ilmu lainnya yang digunakan sebagai landasan untuk melakukan kajian- kajian terhadap proses pengembangan konsep, nilai dan perilaku demokrasi warganegara.
Kedua : Pendidikan Kewarganegaraan mengembangkan daya nalar
(state of mind) bagi para peserta didik. Pengembangan karakter bangsa merupakan proses pengembangan warganegara yang cerdas dan berdaya nalar tinggi. Pendidikan Kewarganegaraan memusatkan perhatiannya pada pengembangan kecerdasan warga negara (civic intelegence) sebagai landasan pengembangan nilai dan perilaku demokrasi.
Ketiga : Pendidikan Kewarganegaraan sebagai suatu proses
pencerdasan, maka pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah yang lebih inspiratif dan partisipatif dengan menekankan pelatihan penggunaan logika dan pealaran. Untuk menfasilitasi pembelajaran PKn yang efektif dikembangkan bahan pembelajaran yang interaktif yang dikemas dalam berbagai paket seperti bahan belajar tercetak, terekam, tersiar, elektronik, dan bahan belajar yang digali dari ligkungan masyarakat sebagai pengalaman langsung (hand of experience).
Keempat : kelas Pendidikan Kewarganegaraan sebagai laboratorium
demokrasi. Melalui Pendidikan Kewarganegaraan, pemahaman sikap dan perilaku demokratis dikembangkan bukan semata-mata melalui ‘mengajar demokrasi” (teaching democracy), tetapi melalui model pembelajaran yang secara langsung menerapkan cara hidup secara demokrasi (doing
democracy ). Penilaian bukan semata-mata dimaksudkan sebagai alat
kendali mutu, tetapi juga sebagai alat untuk memberikan bantuan belajar bagi siswa sehingga lebih dapat berhasil dimasa depan. Evaluasi dilakukan secara menyeluruh termasuk portofolio siswa dan evaluasi diri yang lebih berbasis kelas ( Roobiyarto,2007 : 54 )
2.1.2. Hasil Belajar
Hasil belajar adalah pencapaian hasil (tujuan) setelah berusaha dan derajad keberhasilan yang dicapai dalam suatu tugas. Menurut Winkel (1984 : 64) hasil belajar adalah bukti usaha yang dapat dicapai. Sedangkan menurut pendapat penulis hasil belajar adalah hasil yang dicapai menurut kemampuan siswa dalam mengerjakan sesuatu. Dari pendapat-pendapat tersebut dapat diketahui bahwa hasil belajar adalah hasil yang diperoleh seseorang setelah melakukan usaha atau kegiatan. Untuk mengetahui hasil dari usaha dalam pembelajaran perlu diukur secara langsung dengan menggunakan tes atau evaluasi.
Banyak ahli pendidikan mendefinisikan pengertian belajar. Menurut Witherington dalam Purwanto (1998 : 84) belajar adalah suatu perubahan di dalam suatu kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru daripada reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian, atau suatu perintah. Sedangkan menurut Purwanto (1998 : 85) belajar adalah suatu perubahan dalam tingkah laku di mana perubahan itu dapat mengarah kepada tingkah laku yang lebih baik tetapi juga ada kemungkinan mengarah kepada tingkah laku yang lebih buruk.
Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan atau pengalaman. Sedangkan belajar menurut Winkel (1984 : 162) adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan nilai sikap. Belajar akan mengubah perilaku mental siswa yang belajar.
Dari definisi belajar di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku dalam interaksinya dengan lingkungan sehingga menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Agar belajar dapat berkualitas dengan baik perubahan itu harus dilahirkan oleh pengalaman dan oleh interaksi antara orang dengan lingkungannya.
Menurut Benjamin S. Bloom dalam Sudjana (2001 : 22) hasil belajar meliputi tiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Ranah kognitif berkenaan dengan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, sintesis, dan evaluasi.
Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari penerimaan jawaban atau reaksi dan penilaian. Sedangkan ranah psikomotorik berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak.
Lebih lanjut menurut Sudjana (2001 : 22) ada dua faktor yang mempengaruhi hasil belajar. Kedua faktor tersebut adalah : a.
Faktor-faktor yang bersumber dari dalam diri siswa. Faktor ini dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu faktor biologis dan psikologis.
Yang dapat dikategorikan faktor biologis antara lain usia, kematangan, dan kesehatan. Sedangkan yang dapat dikategorikan sebagai faktor psikologis adalah kelelahan, suasana hati, motivasi, minat, dan kebiasaan belajar.
b.
Faktor-faktor yang bersumber dari luar diri siswa. Dapat diklasifikasikan menjadi dua yakni faktor manusia dan faktor nonmanusia seperti alam benda, hewan, dan lingkungan fisik.
2.1.3. Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan temannya. Siswa secara rutin bekerja dalam kelompok untuk saling membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks. Jadi hakikat sosial dan penggunaan kelompok sejawat menjadi aspek utama dalam pembelajaran kooperatif ( Trianto, 2007:41) Menurut Syukur Ghazali (2002:123) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah sejenis cara belajar berkelompok yang melibatkan empat sampai enam siswa. Di dalam kelompok ini, siswa bekerja bersama-sama yang lain di bawah pengawasan guru. Di dalam diskusi tersebut, siswa-siswa dapat mengemukakan pendapatnya dan seorang siswa yang diangkat sebagai pemimpin kelompok dapat berinisiatif untuk menyimpulkan hasil diskusi. Guru harus menempatkan siswa sebagai insan yang secara alami memiliki pengalaman, pengetahuan, keinginan, dan pikiran yang dapat dimanfaatkan untuk belajar, baik secara individu maupun kelompok. Model pembelajaran kooperatif dapat membuat siswa mempunyaui keyakinan bahwa dirinya mampu belajar juga. Jadi model pembelajaran ini dapat memanfaatkan potensi siswa seluas-luasnya.
Pada mulanya pembelajaran kooperatif muncul atas teori para ahli, seperti munculnya Kelas Demokrasi oleh John Dewey pada tahun 1916 dengan konsep bahwa kelas adalah pencerminan masyarakat. Sifat hubungan antar kelompok sebagai upaya integrasi anta ras yang merupakan kebijakan pemerintah Amerika Serikat untuk menghilangkan rasialisme. Perspektif ketiga munculnya Experiential Learning yang berasumsi bahwa: belajar yang paling baik, yaitu : 1) bila kita terlibat secara pribadi dalam pengalaman belajarnya. 2) pengetahuan harus ditemukan anda sendiri agar memiliki arti atau dapat membuat perbedaan pada perilaku kita, dan 3) komitmen kita terhadap belajar dalam keadaan paling tinggi apabila kita bebas menentukan tujuan belajar kita sendiri dan berusaha secara aktif mencapainya dalam kerangka kerja tertentu.
Pembelajaran kooperatif adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar. Seperti yang diungkapkan Slavin (1998: 110) several forms of cooperative
learning are designed so that students take on specific roles in
accomplishing an overall group task. Mengenai besar kecilnya kelompok
Trianto (2007:41) menyebutkan bahwa kelompok yang dibentuk dalam pembelajaran kooperatif adalah kelompok kecil yang terdiri 4-6 orang siswa yang sederajat tetapi heterogen, kemampuan, jenis kelamin, suku/ras, dan dan satu sama lain saling membantu. Lebih lanjut Trianto menyebutkan bahwa tujuan dibentuknya kelompok tersebut adalah untuk memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir dalam kegiatan belajar.
Tidak semua kerja kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif (cooperative learning). Slavin (2007:54) menyatakan bahwa untuk mencapai hasil yang maksimal , lima unsur model pembelajran kooperatif harus diterapkan yaitu : (1) saling ketergantungan positif, (2) tanggung jawab perseorangan, (3) tatap muka, (4) komunikasi antar anggota, dan (5) evaluasi proses kelompok.
Pembelajaran kooperatif berbeda dengan pembelajaran kelompok tradisional. Perbedaan tersebut dapat kita ketahui dengan melihat pada karakteristiknya masing-masing. Menurut Slavin (1998: 12), karakteristik pembelajaran kooperatif adalah: a.
Tujuan kelompok (group goal) b. Tanggung jawab individu (individual accountability) c. Kesempatan yang sama untuk meraih suksesan (equal opportunities
for success ) d.
Kompetisi tim (team competition) e. Spesialisasi tugas (task spesialization) f. Adaptasi terhadap kebutuhan individual (adaptation to individual needs ).
Sementara itu Arends dalam (Trianto, 2007:47) menuliskan ciri- ciri pembelajaran kooperatif sebagai berikut : a.
Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajar.
b.
Kelompok dibentuk dari siswa yang mempunyai kemampuan tinggi, sedang, dan rendah.
c.
Bila memungkinkan, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yang beragam.
d.
Penghargaan lebih berorientasi kepada kelompok dari pada individu.
Sejalan dengan pemikiran di atas Ibrahim (2000:11) menuliskan langkah- langkah model pembelajaran kooperatif secara umum
Tabel : 1 Langkah-langkah Model Pembelajaran kooperatif Fase Tingkah Laku Guru
1. Menyampaikan tujuan dan Guru menyampaikan semua tujuan memotifasi siswa pelajaran yang ingin dicapai padapelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar
2. Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan
3. Mengorganisasi sisa ke dalam Guru menjelaskan kepada siswa kelompok-keompok belajar bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien
4. Membimbing kelompok bekerja dan belajar Guru membimbing kelompok- kelmpok belajar pada saat mereka
5. mengerjakan tugas mereka Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok 6. Memberikan penghargaan mempresentasikan hasil kerjanya. Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.
Pembelajaran kooperatif memiliki efek yang berarti terhadap penerimaan yang luas terhadap keragaman ras, budaya dan agama ,starta sosial kemampuan, dan ketidakmampuan. (Ibrahim, (2000:9). Pembelajaran kooperatif memberikan peluang kepada siswa yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantung satu sama lain atas tugas-tugas bersama, dan melalui penghargaan kooperatif, belajar untuk menghargai satu sama lain. Kemampuan sosial berkembang secara signifikan dalam pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif sangat sangat tepat digunakan untuk melatihkan keterampilan kerja sama dan kolaborasi, dan juga keterampilan-keterampilan tanya jawab ( Ibrahim, 2000:9).
Pembelajaran kooperatif dapat membantu mempromosikan sikap positif tentang lingkungan dan hal yang lain, meningkatkan daya kritis dan pemikiran kreatif, serta membantu mengangkat harga diri secara positif dan penghargaan karena keteladanan. Salah satu manfaat pembelajaran kooperatif di samping mencapai menguasai materi pelajaran adalah menjadi pendukung interaksi terhadap teman di sekolah.
Pembelajaran model kooperatif sudah membuktikan efektifitas dalam meningkatkan motivasi belajar dan pengakuan diri, artibut langsung untuk sukses atau gagal, pengembangan perasaan ke arah positif terhadap teman sekelas dan capaian terus meningkat pada test pengertian, pemikiran, dan pemecahan masalah. Pola belajar kelompok dengan cara kooperatif selain dapat mendorong timbulnya gagasan yang lebih bermutu dan motivasi, juga merupakan pengembangan nilai sosial bangsa Indonesia. Apabila individu bekerja sama untuk mencapai tujuan, saling ketergantungan secara timbal balik akan lebih bermakna dan lebih termotivasi untuk bekrja sama, di mana kadang-kadang harus menolong anggota secara khusus. Hal terebut menumbuhkan rasa kekamian dan mencegah keakuan . Sikap toleransi dan kerja sama dapat kembangkan dengan melatih siswa untuk bekerja sama sesuai dengan prinsip pada pembelajaraan kooperatif (cooperative learning).
Sementara itu Marjoko (2008:65) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan model pembelajaran yang mengintegrasikan keteramplan sosial yang bermuatan akademis untuk sampai kepada pengalaman individual dan kelompok, saling membantu, berdiskusi, berargumentasi, dan saling mengisi untuk memperoleh pengalaman bersama. Di sini selain terdapat tugas kelompok juga ada tugas individual. Anggota kelompok saling membantu satu dengan yang lain untuk melengkapi tugas individual.
Untuk mencapai efektivitas model coopertive learning di kelas Kirshenbaun dalam Slavin (1994:56) menyebutkan beberapa elemen yang perlu diperhatikan yaitu, “Positive interdepence, face to face interaction,
individual accauntability, interpersonal and small group processing”.
Sedangkan Johnson & Johnson (1987:125) mengemukakan bahwa kesuksesan atau keberhasilan dalam mengimplementasikan coopertive
learning guru harus menciptakan kondisi sebagai berikut : 1.
Positive interdependence, in which students recognize that: “we are all in this together, sink or swim”.
2. Individual accountability, in which every students is accountable for both learning the assigned material and helping other group members learn.
3. face to face interaction among students, includes oral summarizing and elaborating the material being learned.
4. Appropriate use of collaborative skills.
5. Processing of how well the learning groups are functioning
Dari penjelasan beberapa pendapat di atas ternyata tidak semua pembelajaran kelompok bisa dianggap model pembelajaran kooperatif.
Dalam pembelajaran konvesional dikenal pula belajar kelompok, meskipun demikian, ada sejumlah perbedaan esensial antara kelompok belajar kooperatif dengan kelompok belajar konvesional seperti yang ditulis oleh Tianto (2008: 43). Perhatikan tabel berikut:
Tabel 2. Perbedaan Pembelajaran Kooperatif dengan Pembelajaran Konvensional
Kelompok Belajar Kooperatif Kelompok Belajar Konvensional
Adanya saling ketergantungan positif, saling membantu dan saling memberikan motivasi sehingga ada interaksi promotif.
Guru sering membiarkan adanya siswa yang mendominasi kelompok atau menggantungkan diri pada kelompok
Adanya akuntabilitas individual yang mengukur penguasaan materi pelalajaran tiap anggota kelompok. Kelompok diberi umpan balik tentang hasil belajar para anggotanya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlu-kan bantuan dari siapa yang dapat memberikan bantuan.
Akuntabilitas individual individual sering diabaikan sehingga tugas- tugas sering diborong oleh salah seorang anggota kelompok, sedang kan anggota kelompok lainnya hanya enak-enak saja diatas keberhasilan temannya yang di anggap “pemborong”
Kelompok belajar heterogen, baik dalam kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, etnik, dan sebagainya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlu- kan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan.
Kelompok belajar yang homogen Pimpinan kelompok dipilih secara demokratis atau bergilir untuk memberikan pengalaman memim- pin bagi para anggota kelompok
Pemimpin kelompok sering ditentukan oleh guru atau kelompok dibiarkan untuk memilih pemimpinnya dengan cara masing- masing
Pada saat belajar kooperatif sedang berlangsung, guru terus melakukan pemantauan melalui observasi dan melakukan intervensi jika terjadi masalah dalam kerja sama antar anggota kelompok
Pemantauan melalui observasi dan intervensi sering dilakukan oleh guru pada saat belajar kelompok sedang berlangsung Guru memperhatikan secara langsung proses kelompok yang terjadi dalam kelompok- kelompok belajar
Guru sering tidak memperhatikan proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar
Penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas tetapi juga hubungan interpersonal (hubungan antar pribadi yang saling menghargai)
Penekanan sering hanya pada penyelesaian tugas Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu pembelajaran yang membimbing siswa dalam sebuah kelompok kecil dan terstruktur, yang dalam kelompok tersebut siswa dapat saling membantu, saling kerja sama, dan berdiskusi untuk menyelesaikan masalah.
Selain meningkatkan penguasaan materi, pembelajaran kooperatif baik untuk perkembangan sosial anak, karena pembelajarn kooperatif dirancang supaya siswa menjalankan peran–peran khusus dalam menyelesaikan tugas kelompok. Keberhasilan pembelajaran kooperatif tergantung dari keberhasilan masing-masing individu dalam kelompok, keberhasilan tersebut sangat berarti untuk mencapai tujuan yang positif dalam belajar kelompok.
2.1.4. Model Pembelajaran Kooperatif Think Pair Share (TPS)
Strategi Think-Pair-Share tumbuh dari penelitian pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Frank Lyman dkk dari Universitas Maryland pada tahun 1985. Strategi ini menantang asumsi bahwa seluruh resitasi dan diskusi perlu dilakukan di dalam seluruh kelompok, sehingga dianggap lebih efektif untuk mengubah pola diskusi di dalam kelas (Ibrahim, 2000:26).
Menurut Lie (2002:57), “Think-Pair-Share adalah pembelajaran yang memberikan siswa kesempatan untuk bekerja sendiri dan bekerjasama dengan orang lain.” Keunggulan dari model pembelajaran ini adalah optimalisasi partisipasi siswa.
Ibrahim, dkk (2000:26) mengemukakan bahwa, “Think-Pair-Share memiliki prosedur yang ditetapkan secara eksplisit untuk memberi siswa waktu lebih banyak untuk berpikir, menjawab dan saling membantu satu sama lain dalam kelompok diskusi.” Andaikan guru baru saja menyelesaikan suatu penyajian singkat, atau siswa telah membaca suatu tugas, atau suatu situasi penuh teka-teki telah dikemukakan. Untuk proses selanjutnya, tentu saja guru menginginkan agar siswa dapat memikirkannya secara lebih mendalam berkenaan dengan yang telah dijelaskan atau dialami. Guru memilih untuk menggunakan strategi Think-Pair-Share sebagai ganti tanya jawab seluruh kelas.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam pembelajaran Think-Pair-
Share ini, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibrahim, dkk (2000:26)
sebagai berikut: Tahap-1 : Thingking (berfikir). Guru mengajukan pertanyaan atau isu yang berhubungan dengan pelajaran, kemudian siswa diminta untuk memikirkan pertanyaan atau isu tersebut secara mandiri untuk beberapa saat.
Tahap-2 : Piring (berpasangan) Guru meminta siswa berpasangan dengan siswa lain untuk mendiskusikan apa yang telah dipikirkannya pada tahap pertama. Interaksi pada tahap ini diharapkan dapat berbagi jawaban jika telah diajukan suatu pertanyaan atau berbagi ide jika suatu persoalan khusus telah diidentifikasi. Biasanya guru memberi waktu 4-5 menit untuk berpasangan. Tahap-3 : Shareing (berbagi). Pada tahap akhir, guru meminta kepada pasangan untuk berbagi dengan seluruh kelas tentang apa yang telah mereka bicarakan. Ini efektif dilakukan dengan cara bergiliran pasangan demi pasangan dan dilanjutkan sampai sekitar seperempat pasangan telah mendapat kesempatan untuk melaporkan.
Gambar 1. Model Pembelajaran TPS
2.1. Kerangka Berpikir Kerangka berpikir penelitian ini dapat peneliti uraikan sebagai berikut.
Kondisi awal sebelum dilaksanakan penelitian tindakan kelas, telah diperoleh gambaran bahwa hasil belajar PKn siswa masih rendah. Rendahnya hasil belajar siswa dalam pembelajaran diduga karena kurang optimalnya penerapan pendekatan dalam pembelajaran di kelas. Agar hasil belajar siswa meningkat, maka dilakukan tindakan oleh guru dengan menerapkan pendekatan kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share). Tindakan yang akan dilakukan melalui tiga siklus.
Berikut ini kerangka berpikir yang akan ditempuh dalam penelitian.
Tindakan
1. Mencari informasi 2.
Menyajikan tentang proses masalah berkaitan
Kondisi pengambilan dengan
Hasil keputusan dari
Awal menghargai dan berbagai sumber menaati keputusan secara kelompok bersama
PTK
“Peningkatan Hasil belajar
Hasil Hasil Belajar Siswa Melalui belajar siswa pembelajaran kooperatif siswa rendah tipe TPS meningkat Siswa pasif
Siswa aktif 3. Siswa secara berpasangan menemukan jalan keluar terhadap masalah yang disajikan
Gambar 2. Kerangka Berpikir 2.3.
Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir di atas dapat dikemukakan rumusan hipotesis tindakan sebagai berikut. : Penerapan pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) dapat meningkatkan hasil belajar siswa tentang menghargai dan menaati keputusan bersama pada siswa Kelas VI SD Negeri Kalisabuk 01 Cilacap Tahun Pelajaran 2009 / 2010