BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Self Efficacy 1. Pengertian Self Efficacy - Ghufroni Anjar Susanti BAB II

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Self Efficacy 1. Pengertian Self Efficacy Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy sebagai suatu

  keyakinan atau kepercayaan individu mengenai kemampuan dirinya untuk mengorganisasi, melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, menghasilkan sesuatu dan mengimplementasi tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu. Woolfolk (1993) menyebutkan bahwa

  self-efficacy merupakan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri atau

  tingkat keyakinan mengenai seberapa besar kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas tertentu untuk mencapai hasil tertentu.

  Baron dan Byrne (2000) menjelaskan bahwa self-efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuannya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan menghasilkan sesuatu. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa self-efficacy adalah keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk mengatur, melaksanakan tindakan untuk mencapai suatu tujuan.

2. Dimensi Self Efficacy

  Bandura (1997) membedakan self-efficacy menjadi tiga dimensi, yaitu level (derajat kesulitan), generality (kemampuan dalam menghadapi situasi), dan strength (ketahanan dalam menghadapi tugas).

  9 a.

  Dimensi Level Dimensi ini mengacu pada derajat kesulitan tugas yang dihadapi.

  Penerimaan dan keyakinan seeorang terhadap suatu tugas berbeda-beda. Persepsi setiap individu akan berbeda dalam memandang tingkat kesulitan dari suatu tugas Persepsi terhadap tugas yang sulit dipengaruhi oleh kompetensi yang dimiliki individu. Ada yang menganggap suatu tugas itu sulit sedangkan orang lain mungkin merasa tidak demikian. Keyakinan ini didasari oleh pemahamannya terhadap tugas tersebut.

  b.

  Dimensi Generality Dimensi ini mengacu sejauh mana individu yakin akan kemampuannya dalam berbagai situasi tugas, mulai dari dalam melakukan suatu aktivitas yang biasa dilakukan atau situasi tertentu yang tidak pernah dilakukan hingga dalam serangkaian tugas atau situasi sulit dan bervariasi c. Dimensi Strength

  Dimensi strength merupakan kuatnya keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimiliki ketika menghadapi tuntutan tugas atau permasalahan. Hal ini berkaitan dengan ketahanan dan keuletan individu dalam pemenuhan tugasnya. Self efficacy yang lemah dapat dengan mudah menyerah dengan pengalaman yang sulit ketika menghadapi sebuah tugas yang sulit. Sedangkan bila self efficacy tinggi maka individu akan memiliki keyakinan dan kemantapan yang kuat terhadap kemampuannya untuk mengerjakan suatu tugas dan akan terus bertahan dalam usahannya meskipun banyak mengalami kesulitan dan tantangan 3.

   Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Efficacy

  Menurut Bandura (1997) ada beberapa faktor yang mempengaruhi

  self efficacy , antara lain:

  a. Jenis Kelamin Zimmerman (Bandura, 1997) menyebutkan bahwa terdapat perbedaan pada perkembangan kemampuan dan kompetensi laki-laki dan perempuan. Laki-laki berusaha untuk sangat membanggakan dirinya, perempuan sering kali menganggap remeh kemampuan mereka.

  Hal ini berasal dari pandangan orang tua terhadap anaknya. Semakin seorang wanita menerima perlakuan perbedaan gender ini, maka semakin cenderung rendah penilaian mereka terhadap kemampuan dirinya. Pada bidang pekerjaan tertentu para pria memiliki self-efficacy yang lebih tinggi dibanding dengan wanita, begitu juga sebaliknya wanita lebih cakap dalam beberapa pekerjaan dibandingkan dengan pria.

  b.

  Usia Individu yang usianya lebih tua tentunya memiliki rentang waktu dan pengalaman yang lebih banyak dalam menghadapi suatu hal yang terjadi di hidupnya bila dibandingkan dengan individu yang usianya lebih muda, yang mungkin masih memiliki sedikit pengalaman dalam kehidupan. Individu yang lebih tua cenderung akan lebih mampu dalam mengatasi rintangan dalam hidupnya dibandingkan dengan individu yang usianya lebih muda. Sehingga usia disini memiliki pengaruh yang cukup besar dalam pembentukan self efficacy seseorang.

  c.

  Pendidikan Individu yang menjalani jenjang pendidikan yang lebih tinggi biasanya memiliki self-efficacy yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang tingkat pendidikannya rendah, karena pada dasarnya mereka lebih banyak belajar dan lebih banyak menerima pendidikan formal serta akan lebih banyak mendapatkan kesempatan untuk belajar dalam mengatasi persoalanpersoalan yang terjadi dalam hidupnya.

  d. Pengalaman

  Self-efficacy terbentuk melalui proses belajar yang dapat terjadi pada suatu organisasi ataupun perusahaan dimana individu bekerja.

  

Self-efficacy terbentuk sebagai suatu proses adaptasi dan pembelajaran

  yang ada dalam situasi kerjanya tersebut. Semakin lama seseorang bekerja maka semakin tinggi self efficacy yang dimiliki individu tersebut dalam pekerjaan tertentu, akan tetapi tidak menutup kemungkinann bahwa self efficacy yang dimiliki oleh individu tersebut justru cenderung menurun atau tetap. Hal ini juga sangat tergantung kepada bagaimana individu menghadapai keberhasilan dan kegagalan yang dialaminya selama melalukan pekerjaan.

4. Sumber-Sumber Self-Efficacy

  Menurut Bandura (1997) self-efficacy dibangun dari empat sumber prinsip informasi, yaitu enactive mastery experience sebagai indikator dari kemampuan diri, vicarious experience yang akan menjadi transmisi kompetensi dan perbandingan dengan orang lain, social persuasion dan tipe yang berkaitan dengan social yang merupakan suatu proses kemampuan khusus, psychological state dari orang yang menimbang terhadap kemampuan dan kekuatannya.

  a.

  Enactive Mastery Experience (Pengalaman yang Telah Dilalui) Merupakan sumber informasi yang paling berpengaruh karena menyediakan bukti otentik berkenaan dengan kemampuan seseorang dalam melakukan sesuatu. Dari pengalaman masa lalu terlihat bukti apakah seseorang mengarahkan seluruh kemampuannya untuk meraih keberhasilan. Pengalaman keberhasilan atau kesuksesan dalam mengerjakan sesuatu akan meningkatkan self-efficacy seseorang dan kegagalan juga akan menguranginya, namun kegagalan di berbagai pengalaman hidup dapat diatasi dengan upaya tertentu dan dapat memicu persepsi self-efficacy menjadi lebih baik karena membuat individu tersebut mampu utuk mengatasi rintangan-rintangan yang lebih sulit nantinya.

  b.

  Vicarious Experience (Pengalaman Orang Lain) Merupakan cara meningkatkan self-efficacy dari pengalaman keberhasilan yang telah ditunjukkan oleh orang lain. Vicarious

  

experience biasa disebut dengan modeling. Ketika melihat orang lain

  dengan kemampuan yang sama berhasil dalam suatu tugas melalui usaha yang tekun, individu juga akan merasa yakin bahwa dirinya juga dapat berhasil dalam bidang tersebut dengan usaha yang sama. Sebaliknya self-efficacy dapat turun ketika orang yang diamati gagal walapun telah berusaha dengan keras. Seseorang bisa menjadi ragu untuk berhasil ketika model yang diamati gagal meskipun ia memiliki kemampuan dalam bidang tersebut. Vicarious experience seseorang sangat dipengaruhi oleh persepsi diri individu tersebut tentang dirinya memiliki kesamaan dengan model. Semakin seseorang merasa dirinya mirip dengan model, maka kesuksesan dan kegagalan model akan semakin mempengaruhi self-efficacy. Sebaliknya apabila individu merasa dirinya semakin berbeda dengan model, maka self-efficacy menjadi semakin tidak dipengaruhi oleh perilaku model.

  c.

  Social persuasion (Persuasi Sosial) Merupakan penguatan yang didapatkan individu dari orang lain bahwa ia memiliki kemampuan untuk bisa melakukan dan mendapatkan apa yang menjadi tujuannya. Orang yang mendapat persuasi secara verbal maka mereka memiliki kemamuan untuk menyelesaikan tugas- tugas yang diberikan akan mengerahkan usaha yang lebih besar daripada orang yang tidak dipersuasi bahwa dirinya mampu pada bidang tersebut. d.

  Physiological state (Keadaan Fisiologis) Keadaan fisik yang tidak mendukung seperti kondisi tubuh tidak fit, kelelahan, dan sakit merupakan faktor yang tidak mendukung seseorang melakukan suatu hal dan akan mengakibatkan berkurangnya kinerja individu dalam melakukan hal tersebut. Selain itu, tanda-tanda psikologis menghasilkan informasi dalam menilai kemampuannya. Kondisi stress dan kecemasan dilihat individu sebagai tanda yang mengancam ketidakmampuan diri. Level of arousal dapat memberikan informasi mengenai tingkat self-efficacy tergantung bagaimana arousal itu diinterpretasikan. Bagaimana seseorang menghadapi suatu tugas, apakah cemas atau khawatir (self-efficacy rendah) atau tertarik (self-

  efficacy tinggi) dapat memberikan informasi mengenai self-efficacy

  orang tersebut. Dalam menilai kemampuannya seseorang dipengaruhi oleh informasi tentang keadaan fisiknya untuk menghadapi situsasi tertentu dengan memperhatikan keadaan fisiologisnya.

5. Proses Pembentukan Self Efficacy

  Menurut Bandura (1997) proses psikologis dalam self-efficacy yang turut berperan dalam diri manusia ada 4, yakni proses kognitif, motivasional, afeksi dan proses pemilihan/seleksi.

  a.

  Proses Kognitif Kognitif merupakan proses berfikir. Proses kognitif mempengaruhi serangkaian tindakan yang dilakukan seseorang yang pada awalnya dikonstruk dalam pikirannya. Kebanyakan tindakan manusia bermula dari sesuau yang difikirkan terlebih dahulu. Individu yang memikirkan sesuatu yang menyenangkan misalnya tentang kesuksesan maka akan cenderung memiliki self-efficacy yang tinggi. Sebaliknya individu yang self-efficacy nya rendah lebih banyak membayangkan kegagalan dan hal-hal yang dapat menghambatnya.

  b.

  Proses Motivasi Motivasi manusia dibangkitkan melalui kognitif. Seorang memotivasi atau member dorongan bagi diri mereka sendiri dan mengarahkan tindakan melalui tahap pemikiran-pemikiran berdasarkan informasi sebelumnya. Kepercayaan akan kemampuan diri dapat mempengaruhi motivasi dalam beberapa hal, yakni menentukan tujuan yang telah ditentukan individu, seberapa besar usaha yang dilakukan, seberapa tahan ia dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dan ketahanannya dalam menghadapi kegagalan c.

  Proses Afektif Proses afektif merupakan proses mengatur kondisi emosi dan reaksi terhadap tekanan. Seseorang yang meyakini bahwa ia mampu mengatasi tugas maupun peristiwa-peristiwa sulit akan merasa tenang dan tidak cemas serta dapat mempengaruhi level stres dan depresi.

  Persepsi self-efficacy tentang kemampuannya mengontrol sumber stres memiliki peranan penting dalam timbulnya kecemasaan. Sebaliknya, seseorang yang merasa tidak mampu mengontrol situasi cenderung mengalami kecemasan yang tinggi dan merasa tidak tenang, serta selalu memikirkan kekurangan.

  d.

  Proses Seleksi

  Self-efficacy turut berperan dalam rangka menentukan aktivitas,

  tindakan dan situasi tertentu yang akan dipilih untuk menghadapi suatu tugas tertentu. Individu yang memilih tindakan menghindari tugas, menyerah dari tugas yang menurutnya melebihi dari kemampuannya maka individu tersebut memiliki self-efficacy yang rendah, sebaliknya bila individu mampu memilih tindakan yang sesuai untuk menghadapi dan mengatasi kondisi sulit tersebut, maka ia memiliki self-efficacy yang tinggi.

B. Locus Of Control 1. Pengertian Locus Of Control

  Pada awalnya konsep tentang Locus of Control atau disebut juga sebagai pusat kendali pertama kali dikemukakan oleh Julian Rotter pada tahun 1966, beliau merupakan seorang ahli dibidang Social Theory Learning (Teori Pembelajaran Sosial).

  “Generalized belief that a person can or can not control his own destiny”, Rotter (dalam Ayudiati, 2010)

  atau keyakinan individu terhadap mampu tidaknya mengontrol nasib

  (destiny)

  itu sendiri disebut dengan locus of control, Rotter (dalam Utami, 2011). Disisi lain Larsen & Buss (dalam Zulkaida dkk, 2007) mendefinisikan locus of control sebagai suatu konsep yang menunjuk pada keyakinan individu mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Locus of control menggambarkan seberapa jauh seseorang memandang hubungan antara perbuatan yang dilakukannya (action) dengan akibat/hasilnya (outcome). Seseorang dengan keyakinan bahwa nasib dan kejadian-kejadian dalam hidupnya berada dibawah kontrol dirinya, dikatakan bahwa seorang tersebut memiliki internal locus of

  

control, sedangkan seseorang yang memiliki keyakinan bahwa nasib dan

  kejadian-kejadian dalam hidupnya ditentukan oleh lingkungannya, maka seseorang tersebut dikatakan memiliki external locus of control.

  Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa locus of control merupakan konsep dasar yang menunjuk pada keyakinan individu mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya serta dapat menggambarkan seberapa jauh seseorang memandang hubungan antara perbuatan yang dilakukannya (action) dengan akibat/hasilnya (outcome).

2. Konsep Locus of Control

  Rotter (dalam Utami, 2011) menyatakan 4 konsep dasar locus of

  control, yaitu:

  a. Potensi perilaku Merupakan setiap kemungkinan yang secara relativ muncul pada situasi tertentu, berkaitan dengan hasil yang diinginkan dalam kehidupan seseorang.

  b.

  Harapan Merupakan suatu kemungkinan dari berbagai kejadian yang akan muncul dan dialami seseorang. c.

  Nilai unsur penguat Merupakan pilihan terhadap berbagai kemungkinan penguatan atas hasil dari beberapa penguat hasil-hasil lainnya yang dapat muncul pada situasi serupa.

  d.

  Suasana psikologis Merupakan bentuk rangsangan baik secara internal maupun eksternal yang diterima seseorang pada suatu saat tertentu yang meningkatkan atau menurunkan harapan terhadap munculnya hasil yang sangat diharapkan.

  Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa konsep dasar adanya locus

  of control yaitu adanya potensi perilaku, harapan, nilai penguat dan

  suasana psikologis yang mempengaruhi harapan terhadap hasil yang ditentukan.

3. Macam-macam Locus of Control

  Locus of control dibedakan menjadi internal locus of control dan

external locus of control. Crider (dalam Utami, 2011) membedakan

  karakteristik locus of control sebagai berikut : a.

  Internal locus of control 1)

  Suka bekerja keras 2)

  Memiliki inisiatif yang tinggi 3)

  Selalu berusaha untuk menemukan pemecahan masalah 4) Selalu mencoba untuk berfikir efektif

  5) Selalu mempunyai persepsi bahwa usaha harus dilakukan jika ingin berhasil b.

  External locus of control 1)

  Kurang memiliki inisiatif 2)

  Mempunyai harapan bahwa ada sedikit korelasi antara usaha dan kesuksesan 3) Kurang suka berusaha, karena mereka percaya bahwa faktor luarlah yang mengontrol 4)

  Kurang mencari informasi untuk memecahkan masalah Pada orang yang memiliki internal locus of control, faktor kemampuan dan usaha nampak dominan, oleh karenanya apabila orang dengan internal locus of control menuai kegagalan mereka cenderung mengoreksi dan menyalahkan dirinya sendiri karena kurangnya usaha- usaha yang dilakukan. Begitu pula adanya dengan keberhasilan, mereka kan merasa bangga atas hasil usaha-usahanya. Hal ini akan berdampak positif pada tindakannya di masa yang akan datang bahwa keberhasilan dapat dicapai dengan usaha keras atas segala kemampuannya.

  Sedangkan pada orang dengan external locus of control cenderung memandang keberhasilan dan kegagalan dari faktor kesukaran dan nasib, oleh karenanya apabila menuai kegagalan mereka akan cenderung menyalahkan lingkungan sekitar sebagai penyebabnya. Hal tersebut tentunya berdampak negatif pada tindakannya di masa yang akan datang, karena merasa tidak mampu dan kurang berusaha sehingga mereka tidak mempunyai harapan dan keinginan untuk memperbaiki kegagalannya.

  

Locus of control merupakan dimensi kepribadian yang berupa kontinum,

  yaitu dari internal pada satu sisi dan eksternal pada sisi yang lain, oleh karenya tidak satupun individu yang benar-benar internal ataupun benar- benar eksternal.

  Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kedua tipe locus of

  

control terdapat pada masing-masing individu, namun ada kecenderungan

  untuk lebih memiliki salah satu tipe locus of control tertentu. Locus of

  

control bersifat dinamis atau dapat dikembangkan. Individu yang

  berorientasi external locus of control dapat pula berubah menjadi individu dengan orientasi internal locus of control dan sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan ada pengaruh situasi dan kondisi yang menyertainya yaitu lingkungan dimana Ia tinggal dan frekuensi melakukan segala aktifitasnya.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Locus of Control

  Locus of control sebagai salah satu kepribadian seseorang, dapat

  dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya :

  a. Usia Individu pada masa muda selalu bergantung kepada orang lain dalam pemenuhan kebutuhannya. Oleh karena ketergantungan tersebut mereka harus tunduk pada pengawasan orang tua dan mematuhi norma- norma yang ada. Hal itu menjadikan individu dengan usia muda cenderung memiliki locus of control eksternal dibandingkan dengan individu yang berusia lebih tua. London dan Exner (dalam Utami, 2011) dalam penelitiannya menemukan bahwa locus of control berkembang kearah internal sejalan dengan perkembangan usia.

  b.

  Pendidikan Pendidikan yang didapatkan oleh seseorang tidak harus berasal dari bangku sekolah. Lingkungandan masyarakat juga termasuk tempat anak untuk mengembangkan diri (Basri, 1995). Dalam dunia pendidikan formal kepribadian dan sikap guru sangat mempengaruhi anak didik untuk lebih besar, namun bertanggung jawab lebih besar sehingga menguntungkan bagi perkembangan kepribadiannya menurut Wilis (dalam Zulkaida, 2007). Pendidikan non formal oleh anak pada lingkungan sosialnya membentuk proses pembentukan identitas diri yaitu, perkembangan kearah individualitas yang mantap merupakan salah satu aspek penting dalam perkembangan individu untuk meyakini kemampuan dirinya.

  c.

  Keluarga Dalam perkembangannya locus of control dipengaruhi oleh beberapa aspek antara lain lingkungan fisik dan lingkungan sosial.

  Lingkungn sosial yang pertama bagi individu adalah keluarga, karena disinilah terjadi interaksi antara anak dan orang tua, dimana orang tua menanamkan nilai-nilai serta mewariskan norma-norma kepada anaknya. Sikap orang tua sangat berpengaruh terhadap perkembangan orientasi locus of control. Sikap orang tua yang positif akan memberikan orientasi locus of control anak menjadi internal (Utami,

  2011). Dalam penelitiannya Katkovsky (dalam Zulkaida, 2007) bahwa interaksi anak dengan orang tua sangat hangat, membesarkan hati, fleksibel, menerima dan memberi kesempatan untuk berdiri sendiri ketika anak masih kecil akan mengahsilkan anak dengan orientasi locus

  of control yang lebih internal daripada interaksi anak pada orang tua yang menolak, memusuhi dan mendominasi segala sesuatu.

  Dari beberapa pendapat tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa didalam perkembangannya locus of control dipengaruhi oleh berbagai aspek, yaitu lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan sosial yang pertama bagi seorang anak adalah keluarga. Di dalam keluarga inilah terjadi interaksi antara anak dengan orang tua. Lingkungan fisik yang mempengaruhi adalah usia dan pendidikan. Pendidikan dan usia merupakan aspek yang membantu perkembangan kepribadian seseorang.

5. Aspek-aspek Locus Of Control

  Lavenson (dalam Azwar, 2009) mengkategorikan locus of control ke dalam 3 aspek, yaitu: a.

  Aspek Internal (I) Merupakan keyakinan-keyakinan seseorang bahwa kejadian- kejadian dalam hidupnya ditentukan terutama oleh kemampuan dalam dirinya sendiri. b.

  Aspek powerful others (P) Merupakan keyakinan-keyakinan seseorang bahwa kejadian- kejadian dalam hidupnya ditentukan terutama oleh orang lain yang lebih berkuasa atas dirinya.

  c.

  Aspek chance (C) Merupakan keyakinan-keyakinan seseorang bahwa kejadian- kejadian dalam hidupnya terutama ditentukan oleh nasib, peluang, dan keberuntungan. Aspek internal merupakan internal locus of control, sedangkan aspek others dan chance merupaka external locus of control.

  Adanya perbedaan locus of control pada individu menyebabkan munculnya perbedaan dalam efektifitas dan efisiensi perilaku antara orang dengan kecenderungan internal locus of control dan kecenderungan

  

external locus of control. Dasar dari pemikirannya adalah orang dengan

  kecenderungan internal locus of control akan selalu berusaha untuk mencapai apa yang menjadi keinginannya berdasarkan kemampuannya sedangkan pada orang dengan kecenderungan external locus of control akan lebih sering mengambil sikap pasrah dan kurang berusaha. Persepsi dari mereka yang memiliki locus of control internal menuntun mereka untuk berusaha lebih kuat dalam mencapai tujuan, Utami (2011).

  Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang termasuk dalam aspek-aspek locus of control antara lain aspek internal, aspek

  powerfull others , dan aspek chance.

C. Diabetes Mellitus 1. Pengertian Diabetes Mellitus

  Diabetes melitus (DM) merupakan gangguan metabolik yang diitandai dengan kondisi kadar glukosa darah yang tinggi ≥200 mg.

  Kondisi kadar glukosa darah yang terus menerus tinggi dan tidak segera ditangani dapat mengakibatkan terjadinya gangguan fungsi organ lainya seperti mata, jantung, ginjal, saraf, dan pembuluh darah (ADA, 2012). Sehingga penderita diabetes melitus memiliki resiko kematian lebih besar dibandingkan orang yang tidak menderita diabetes melitus (Purwanti, 2013) 2.

   Klasifikasi Diabetes Melius

  Deabetes miletus dibedakan menjadi menjadi beberapa tipe yaitu Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) yang merupakan diabetes melitus tipe 1 yang bergantung dengan poduksi insulin. Non-Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) merupakan diabetes melitus tipe 2 yang dikarenakan resistensi jaringan terhadap insulin sehingga tidak bergantung pada insulin.

  Diabetes melitus gestasional merupakan kondisi diabetes melitusmellitus yang terjadi pada wanita saat kehamilan. Serta diabetes melitus tipe lain yang disebabkan oleh penyakit serta mempengaruhi kadar glukosa dalam darah seperti penyakit penkreatitis (Nurarif & Kusuma, 2013; Sudoyo, 2006).

  3. Manifetasi Klinis Diabetes Melitus

  Tanda dan gejala diabetes melitus menurut Sudoyo (2006) (Sudoyo, 2006) adalah kondisi khas penderita diabetes melitus yang dapat menjadi ciri khas penderita diabetes melitus yaitu poliuria (peningkatan keinginan untuk berkemih), polidipsia (peningkatan rasa haus), polifagia (peningkatan nafsu makan). , penurunan atau kenaikan berat badan, merasa lemas, kesemutan, rasa gatal, luka yang sulit sembuh, mata kabur, disfungsi ereksi (pria), dan pruritus (wanita).

  Tanda dan gejala pada diabetes melitus tipe 2 yang dapat terjadi adalah intoleransi glukosa progresif atau terjadi lambat dalam kurun waktu satu tahun, keletihan, mudah tersinggung, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang sulit sembuh, kenaikan atau penurunan berat badan, gangguan alat reproduksiinfeksi vaginal, dan jika kadar glukosa darah sangat tinggi dapat terjadi pandangan kabur (Sudoyo, 2006).

  4. Komplikasi Diabetes Melitus

  Komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi jika diabetes melitus tidak terditeksi dalam waktu beberapa tahun bahkan terjadi sebelum diagnosa ditegakan. Diantaranya adalah penyakit mata, neuropati perifer, dan penyakit vaskuler perifer (Sudoyo, 2006). Komplikasi diabetes melitus dapat digolongkan menjadi dua yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronis (Sutedjo, 2010), yaitu : a.

  Komplikasi Akut Merupakan komplikasi yang terjadi karena kondisi ketidakseimbangan kadar glukosa darah dalam jangka pendekwaku dekat. Komplikasinya meliputi hipoglikemia, ketoasidosis diabetika (DAK), sindrom hiperglikemik hiperosmolar non-ketotikc (HHNK) b. Komplikasi Kronis

  Kompikasi kronis terjadi karena jangka panjang umumnya terjadi sekitar 10 sampai 15 tahun setelah gejala awal. Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya adalah : 1)

  Makrovaskulaer (ganggaun pada pembuluh darah besar), komplikasi yang terjadi pada kondisi ini dapat menggangu sirkulasi koroner, vaskular perifer, dan vaskulaer serebral. 2)

  Mikrovaskular (gangguan pada pembuluh darah kecil), pada komplikasi yang terjadi kondisi ini dikarenakan glukosa darah yang tinggi dalam waktu lama sehingga dapat merusak mata (retinopati) dan ginjal (nefuropati).

  3) Neuropati dapat terjadi karena terjadi gangaun pada sisem saraf sensorik dan motorik sehingga dapat mengakibatkan impotensi maupun ulkus pada kaki (Baughman, 2000). 4)

  Masalah Psikologis merupakan masalah yang dapat terjadi pada penderita diabetes mellitus. Stres atau kecemasan yang berujung pada depresi. Kondisi ini berkaitan dengan hilangnya kontrol, katakutan akan ketidakmampuan mengatasi penyakitnya, kesalahan informasi mengenai diabetes, serta ketakutan terjadinya komplikasi fisik lainya (Baughman, 2000; Rubenstein, Wayen, & Bradley, 2003).

D. Kerangka Berfikir

  Penyakit yang dimiliki seseorang hendaknya tidak menjadi alasan orang tersebut untuk memperoleh kesembuhannya kembali. Hal ini tentu saja tergantung dari pemahaman masing-masing pasien dalam menyikapi penyakit Diabetus Mellitus yang dideritanya tersebut. Pemahaman pasien dalam menyikapi penyakit Diabetus Mellitus yang dideritanya merupakan salah satu hal yang penting. Dengan pemahaman yang dimiliki, maka seseorang akan mengetahui betul tentang penyakit yang diderita serta hal-hal apa saja yang perlu dilakukan dan dihindari. Pemahaman itu sendiri didapat jika pasien memiliki self efficacy yang baik. Dimana didalam self efficacy terdiri dari tiga dimensi. Salah satunya adalah dimensi level. Dimensi level ini mengacu pada persepsi setiap individu dalam memandang tingkat kesulitan yang sedang dihadapi. Pada pasien penderita Diabetus Mellitus sangat diperlukan pemahaman tentang penyakit Diabetus Mellitus itu sendiri. Sehingga dengan pemahaman yang baik, maka akan memunculkan keyakinan dan persepsi yang baik pula. Dengan adanya pemahaman dan keyakinan maka akan diikuti dengan kontrol diri pasien yang baik sehingga akan memunculkan locus of

  control dalam diri pasien. Didalam locus of control itu sendiri terdapat tiga

  aspek yang mempengaruhi. Aspek internal adalah salah satunya. Dalam aspek internal, keyakinan bahwa kejadian dalam hidupnya ditentukan oleh dirinya sendiri. Hal ini berhubungan dengan dimensi yang ada di dalam self efficacy yaitu dimensi generality, yang menyebutkan bahwa seseorang yang memiliki

  self efficacy adalah orang yang yakin akan kemampuannya. Keyakinan ini

  diharapkan dapat dijadikan langkah positif dalam menyikapi para pasien yang menderita penyakit Diabetus Mellitus. Kuatnya keyakinan dalam menghadapi penyakit Diabetus Mellitus tersebut dapat dimasukkan dalam dimensi self efficacy yang lainnya yaitu dimensi strength.

  Berikut dapat digambarkan kerangka berfikir dari uraian dibawah: Aspek locus of control :

  Dimensi self efficacy:

  1. Aspek internal

  1. Dimensi level

2. Aspek powerful

  2. Dimensi generality

  others

  3. Dimensi strength

  3. Aspek chance

  

Gambar 1. Kerangka Berfikir

E. Hipotesis

  Hipotesis adalah dugaan sementara yang disimpulkan oleh peneliti berdasarkan hasil kajian teori dan tentunya harus dibuktikan kenenarannya dengan penelitian dan hasil perolehannya.

  Berdasarkan pemaparan tinjauan pustaka diatas maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah “ada hubungan locus of control dengan

  self efficacy pada pasien penderita diabetes militus tipe 2 rawat jalan di

  RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto”