Transformasi Uang Giral di Indonesia Perspektif Hukum Positif - Electronic theses of IAIN Ponorogo

  

ABSTRAK

  Hafidh, Mohammad. “Transformasi Uang Giral di Indonesia Perspektif Hukum

  Positif”. Tesis, Program Studi Magister Ekonomi Syariah, Pascasarjana, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo.

  Pembimbing: Aji Damanuri, M.E.I.

  Kata Kunci: Uang Giral, Hukum Positif

  Alat Pembayaran Menggunkan Kartu (APMK) dan uang elektronik pernah diatur dalam sejumlah regulasi Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI). Selain PBI dan SE BI, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1953 juga mengakui keberadaan Uang Giral. Namun, secara gramatikal dengan diundangkannya pasal 26 ayat 2 Undang-undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, maka secara tidak langsung uang giral tidak lagi dianggap sebagai alat pembayaran yang sah.

  Penelitian ini meliputi dua pembahasan masalah yang meliputi: (1) transformasi uang giral ke elektronik sebagai alat tukar prespektif Hukum Positif di Indonesia dan (2) pengaruh PBI Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik terhadap transaksi uang elektronik di Indonesia.

  Penelitian ini menggunakan jenis penelitian library research dengan menyajikan data utama bersumber dari laporan Bank Indonesia dan aturan-aturan perundang-undangan lalu menganalisanya menggunakan teori perundang- undangan, teori harmonisasi hukum dan teori interpretasi hukum.

  Penelitian ini menghasilkan dua temuan. Pertama, keberadaan uang elektronik sebagai uang giral tidaklah legal di Indonesia meskipun telah disahkan oleh BI dan diatur dalam PBI mengenai Uang Elektronik. Karena secara sistematis PBI berada di bawah UU. Akan tetapi melalui penafsiran evolutiv

  

dinamis, uang elektronik dapat dikategorikan sebagai uang giral yang kemudian

menjadi legal dengan adanya UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Kedua, terbitnya PBI Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Penyelenggaraan Kegiatan

  Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu sangat berpengaruh terhadap transaksi non tunai di Indonesia. Bahkan, dalam sepuluh tahun sejak kemunculan uang elektronik pada tahun 2007 hingga akhir 2017, jumlah kartu prabayar meningkat pesat hingga 300 kali.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya, uang merupakan sejumlah emas atau perak yang disimpan

  1 dan diganti nilainya oleh penerbit (issuer) dengan menggunakan kertas.

  Jumlah uang yang diterbitkan haruslah sesuai dengan emas atau perak yang diback-up agar tidak terjadi penurunan nilai mata uang atau inflasi. Sehingga dengan kata lain uang kertas hanyalah bukti atas keberadaan atau kepemilikan sejumlah emas atau perak yang dimiliki seseorang yang kemudian disimpan oleh issuer. Ketika terjadi bencana yang memusnahkan wujud kertas sebagai uang, maka pihak issuer mampu menerbitkan lagi, karena bentuk ekstrinsik dari nilai sebuah uang memang benar-benar ada dan tetap utuh.

  Namun seiring berjalannya waktu, nilai ekstrinsik daripada lembaran- lembaran uang tidak lagi diback-up dalam emas maupun perak. Nilai yang tertera pada uang merupakan nilai virtual yang dikuatkan dengan otoritas dan kepercayaan. Sehingga nilai ekstrinsik uang tidak lagi balance dengan nilai intrinsiknya. Hal tersebut berisiko menimbulkan inflasi sedikit demi sedikit. Bahkan uang yang tadinya merupakan turunan dari emas atau perak dan berfungsi sebagai pengganti keduanya, kini telah diturunkan lagi fungsinya menjadi saldo yang ditanam dan digantikan oleh kartu debit atau ATM

  1

  2

  (Automated Teller Machine ). Dengan kata lain, nilai yang tertera pada kartu debit dan ATM merupakan nilai yang secara ekstrisik diback-up menggunakan

  3 uang dan disimpan oleh issuer.

  Sebagaimana telah disebutkan di atas, demi menjaga stabilitas ekonomi, maka setiap uang yang diterbitkan harus senilai dengan emas atau perak yang disimpan (intrinsic value). Bila jumlah uang yang diterbitkan melebihi nilai emas atau perak yang disimpan, maka akan terjadi penurunan nilai uang atau inflasi. Sehingga Islam mengharamkan pertambahan nilai (bunga) yang didasarkan pada waktu (hutang). Karena hal tersebut sama saja dengan menaikkan jumlah nilai uang tanpa menaikkan saldo emas-perak yang

  4 disimpan. Sehingga nilai uang akan turun dan menyebabkan inflasi.

  Akan tetapi sejak sistem ekonomi kapital mulai berlaku dimana-mana, emas dan perak tidak lagi diback-up. Sehingga ketika terjadi bencana yang memusnahkan wujud uang, maka nilai uang tersebut juga ikut musnah karena keberadaan nilai ekstrinsik uang ada bersama dengan intrinsiknya meskipun tidak balance. Akan tetapi pada kartu ATM maupun kartu debit yang notabene menjadi turunan daripada uang, hal tersebut tidak akan terjadi. Nilai virtual (intrinsik) yang tertanam pada kartu ATM maupun kartu debit, terpisah dengan nilai ekstrinsiknya. Sehingga apabila terjadi bencana yang memusnahkan wujud kartu ATM maupun kartu debit, pihak issuer mampu menerbitkan lagi kartu yang baru dengan nilai intrinsik yang setara/sesuai dengan saldo yang 2 Bank Indonesia, Daftar Istilah Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah (Jakarta: Bank Indonesia, 2015), 74. 3 Serfianto D.P., Iswi Hariyan,i dan Cita Yustisia Serfianai, Untung dengan Kartu

  disimpan sebelumnya karena kartu ATM maupun kartu debit memiliki nilai ekstrinsik yang terpisah dari bendanya.

  Namun semakin ke sini, uang yang merupakan back-up atas nilai virtual kini bernasib sama dengan pendahulunya (emas-perak). Saat ini manusia sudah mulai menciptakan nilai virtual lain sebagai turunan dari uang tanpa memback-

  

up nya. Seperti ketika seorang membeli pulsa senilai Rp 50.000 dan mendapat

  bonus pulsa Rp 10.000. Selisih antara harga yang dibayarkan dan jumlah pulsa yang didapat merupakan bukti nyata adanya perbedaan antara nilai intrinsik uang virtual dengan nilai ekstrinsiknya. Selain itu, muncul pula token-token virtual semacam bonus yang didapat dari transaksi lain yang juga berpotensi menaikkan nilai uang intrinsik virtual tanpa menaikkan jumlah ekstrinsik daripada uang yang ditanam.

  Proses penurunan emas perak menjadi uang tidak terjadi dalam sehari tetapi dalam periode yang lama, begitu pula dengan APMK (Alat Pemabayaran Menggunakan Kartu). Dalam perannya sebagai otoritas jasa keuangan, Bank Indonesia menerbitkan Surat Edaran Bank Indonesia nomor 7/60/DASP tanggal 30 Desember 2005 tentang Tatacara Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) yang menyebutkan bahwa kartu Pembayaran, Cek Giro dan sebagainya dicetak dan diterbitkan oleh Bank.

  Namun sekarang, APMK (dalam hal ini T-Cash) diterbitkan oleh Telkomsel bukan lembaga keuangan bank. Terlebih lagi, APMK yang dimaksud dalam SE BI nomor 7/60/DASP tanggal 30 Desember 2005 merupakan chip yang ditanam dalam kartu. Telkomsel menerbitkan media pembayaran baru bukan dalam kartu melainkan stiker.

  Selain dari beberapa kesenjangan antara teori dan praktik di lapangan (das solen dan das sein) yang penulis paparkan di atas, penulis merasa bahwa T-Cash merupakan sesuatu yang spektakuler yang masih menjadi berita hangat beriringan dengan kemunculan bitcoin, cryptocurrency, e-money dan lainnya.

  5 T-Cash tidak termasuk dalam APMK. Akibatnya, muncul asumsi bahwa T- Cash merupakan mata uang digital baru dan bukan merupakan uang giral.

  Berdasar pada pemaparan di atas penulis tertarik untuk meneliti lebih mendalam dan komprehensif melalui sebuah tesis yang berjudul

  “TRANSFORMASI UANG GIRAL DI INDONESIA PERSPEKTIF HUKUM POSITIF”.

B. Rumusan Masalah

  Untuk mempermudah dan lebih fokus pada objek penelitian serta tidak meluas pada masalah lain yang dianggap tidak penting, maka penulis membatasi masalah yang akan dibahas dalam penelitian, dengan merumuskan beberapa rumusan masalah berikut:

  1. Bagaimana transformasi uang giral ke elektronik sebagai alat tukar prespektif Hukum Positif di Indonesia?

  2. Bagaimana pengaruh PBI Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik terhadap transaksi uang elektronik di Indonesia? 5

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian dalam tesis ini sebagai berikut:

  1. Menganalisis posisi T-Cash sebagai alat tukar apakah termasuk pada jenis mata uang, simpanan, pembiayaan, valuta, APMK atau lainnya. Sekaligus menganalisis implementasi T-Cash terhadap Peraturan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.

  2. Menganalisis kemungkinan-kemungkinan ekonomis yang akan terjadi di masa depan terkait keuntungan bagi nasabah maupun laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Juga menganalisis dampak negatif yang mungkin terjadi pada penurunan stabilitas uang di Indonesia.

  D. Kegunaan Penelitian

  Diharapkan hasil penelitian ini nanti dapat memberikan kontribusi positif, baik secara teoritis maupun praktis.

  1. Teoritis

  Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan tentang perkembangan uang kartal, giral hingga uang digital. Serta dapat diketahui pula dampak negatif yang mungkin muncul di masa mendatang.

  2. Praktis

  a. Bagi penulis, sebagai wacana dalam mengembangkan wawasan keilmuan penulis di bidang ekonomi modern. b. Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi otoritas moneter di Indonesia dalam menentukan kebijakan baru terkait perkembangan ekonomi modern.

  c. Sebagai kritik dan masukan bagi pemerintah Indonesia mengenai proses pembaruan dan evaluasi aturan perundang-undangan di Indonesia.

  d. Sebagai masukan untuk pengembang dan lembaga lain dalam mengambil kebijakan mekanisme maupun ekonomi.

  e. Sebagai bahan untuk memepersiapkan kemajuan sistem ekonomi Indonesia yang semakin mudah tanpa memengaruhi stabilitas mata uang rupiah.

E. Kajian Terdahulu

  Sejauh penelaahan penulis tentang karya tulis ilmiah atau penelitian yang terkait dengan pembahasan T-Cash, di antaranya:

  1. Dalam Jurnal Yuridika volume 32 no. 1 yang terbit pada Januari 2017 terdapat tulisan Rachmadi Usman dengan judul “Karakteristik Uang

  6 Elektronik” disimpulkan bahwa :

  Uang elektronik pada hakikatnya merupakan uang tunai tanpa ada fsik (cashless money), yang nilai uangnya berasal dari nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbitnya, kemudian disimpan secara elektronik dalam suatu media elektronik berupa server (hard drive) atau kartu chip, yang berfungsi sebagai alat pembayaran non tunai kepada pedagang yang bukan penerbit uang elektronik yang bersangkutan.

  Usman menyebutkan bahwa di antara uang elektronik yang saat ini muncul dan berkembang adalah T-Cash. Dia menggolongkan T-Cash ini ke dalam elektronik dan sejajar dengan Kartu ATM, Kartu Kredit. Meskipun bentuk fisik T-Cash berupa stiker dan sangat berbeda dengan kartu.

  2. Dalam Jurnal terbitan Universitas Negeri Surabaya, terdapat literatur berjudul “Dampak Kebijakan e-money di Indonesia sebagai Alat Sistem

  Pembayaran Baru” karya Muhammad Sofyan Abidin dapat disimpulkan

  bahwa:

  a. Tujuan Peraturan Bank Indonesia Nomor11/12/PBI/2009 adalah untuk mengontrol jumlah uang yang beredar di masyarakat.

  b. Kebijakan sistem pembayaran dengan uang elektronik diharapkan mampu memicu pertumbuhan dan menjaga kestabilan ekonomi.

  3. “Implikasi Yuridis Penggunaan Mata Uang Virtual Bitcoin sebagai Alat

  Pembayaran dalam Transaksi Komersial (Studi Komparasi Antara Indonesia-Singapura)”. Sebuah jurnal hukum terbitan Universitas

  Diponegoro tulisan Axel Yohandi, Nanik Trihastuti, dan Darminto

  7 Hartono menyimpulkan bahwa :

  a. Penggunaan mata uang virtual bitcoin di Indonesia telah mengalami 7 peningkatan, meskipun demikian hingga saat ini belum ada pengakuan

  Axel Yohandi, Nanik Trihastuti, dan Darminto Hartono, “Implikasi Yuridis secara hukum dari pemerintah Indonesia terhadap penggunaan mata uang virtual bitcoin sebagai alat pembayaran dalam transaksi komersial.

  b. Belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur penggunaan mata uang virtual bitcoin seabagai alat pembayaran dalam transaksi komersial menyebabkan seseorang yang dirugikan terhadap penggunaan bitcoin tidak dapat mengajukan upaya hukum

  Kedua karya tulis di atas yang membahas uang elektronik secara umum dan mencantumkan T-Cash sebagai contoh. Berbeda dengan dua karya di atas, pada tulisan ini penulis lebih fokus membahas T-Cash secara khusus. Mulai dari sistem operasi yang digunakan, mekanisme, posisi T-Cash sebagai uang hingga legalitas T-Cash di Indonesia.

  Salah satu pembahasan dalam penelitian ini menyerupai jurnal ketiga. Jurnal dalam Diponegoro Law Journal tersebut membahas regulasi uang virtual di Indonesia. Hanya saja dalam jurnal tersebut, Yohandi fokus membahas bitcoin yang bebas dari sistem pengendali pusat (pemerintah) yang

  

8

  mengontrol seluruh sistem keuangan . Sedangkan penelitian ini akan fokus membahas T-Cash yang diterbitkan oleh PT. Telekomunikasi Selular (Telkomsel) yang tentunya tidak bisa dilepaskan dari perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

  8

F. Metode Penelitian

  1. Jenis Penelitian

  Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library

  research). Yaitu penelitian dengan lebih ditekankan pada karya-karya

  pustaka. Penelitian ini merupakan penampilan argumentasi penalaran keilmuan yang memaparkan hasil kajian pustaka dan hasil olah pikir peneliti mengenai suatu masalah/ topik kajian, sehingga penulis lebih bebas dalam menyusun formatnya sesuai kebutuhan.

  9

  2. Sumber Data

  a. Sumber data primer yaitu: 1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral.

  2) PBI Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik. 3) Quick Guide (panduan penggunaan) T-Cash. 2017.

  b. Sumber data sekunder antara lain: 1) Hasan, Ahmad. 2005. Mata Uang Islami Telaah Komprehensif

  Sistem Keuangan Islami. terj. Saifurrahman Barito dan Zulfakar Ali. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

  2) Serfianto, R., Iswi Hariyani, dan Cita Yustisia Serfiani. 2012.

  Untung dengan Kartu Kredit, Kartu ATM,-Debit, dan Uang Elektronik. Jakarta: Visimedia.

  3) Wijaya, Dimas Ankaa. 2016. Mengenal Bitcoin dan Cryptocurrency. Medan: Puspantara.

  4) Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) nomor 11/10 DASP tanggal

  13 April 2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu.

  5) Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) nomor 11/11DASP tanggal 13 April 2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money).

  3. Teknik Pengumpulan Data

  Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau library

  research. Sehingga, metode pengumpulan data yang tepat adalah

  metode “dokumentasi”. Metode dokumentasi yaitu dengan mencari data-data mengenai hal-hal/ variabel-variabel yang berupa catatan atau tulisan, surat kabar, artikel, dan sebagainya yang diperoleh

  10

  dari sumber data primer, sekunder dan tersier. Dengan runtutan sebagai berikut: a. Dokumentasi kepustakaan yaitu mencari data-data yang terkait dari sumber-sumber berupa tulisan dan sumber non tulisan bila perlu.

  b. Membaca literatur (buku-buku) dan dari artikel yang ada relevansinya.

  c. Menganalisa dan menyimpulkan.

  4. Teknik Analisa dan Pengolahan Data

  Setelah mendokumentasikan data mengenai objek penelitian berupa T-Cash, data yang terkumpul tersebut kemudian dianalisa 10 dengan menggunakan metode content analysis. Moeloeng

  11

  mengidentifikasikan istilah ini dengan kajian isi , yaitu dengan menganalisis seluruh struktur dan ide dasar pemikiran Telkomsel yang tertuang dalam T-Cash setelah itu penulis mengkritisi secara objektif dan menilai seluruh aspek yang ada.

  Adapun prosedur pengolahan data yang penulis gunakan adalah: a. Editing, yaitu memeriksa kembali semua data yang telah diperoleh terutama dari segi kelengkapan, kejelasan makna keseragaman, kesatuan atau kelompok data.

  b. Organizing, yaitu menyusun dan mensistematiskan data-data yang diperoleh dalam kerangka paparan yang telah direncanakan sebelumnya sesuai dengan pembahasan.

  c. Penemuan hasil riset, yaitu melakukan analisis lanjutan terhadap hasil pengolahan data dengan menggunakan kaidah- kaidah, serta teori-tori, sehingga diperoleh kesimpulan tertentu sebagai pemecahan dari rumusan masalah yang ada.

G. Sistematika Pembahasan

  Dalam penyusunan hasil penelitian ini, penulis akan membagi dalam lima bab yang dapat digambarkan sebagai berikut:

  11 Bab pertama : Pendahuluan Konsep dasar yang memberikan gambaran secara umum dari keseluruhan penelitian ini, yang meliputi latar belakang masalah, penegasan masalah, rumusan masalah, telaah pustaka, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

  Bab kedua : Teori Hukum Positif di Indonesia Berisi tentang Teori Perundang-undangan, teori harmonisasi hukum dan teori interpretasi hukum.

  Bab ini perlu. Karena untuk menganalisa transformasi uang giral prespektif hukum positif, tentunya seorang penganalisis harus mengetahui sejarah perkembangan hukum dan aturan perundang-undangan yang terkait. Begitu juga kedudukan dan asas diantara masing-masing hukum. Bab ketiga : Uang Giral sebagai Alat Pembayaran

  Berisi tentang macam-macam uang giral, APMK, uang elektronik dan dasar hukum terkait APMK dan uang elektronik.

  Bab ini penting. Karena untuk menganalisa regulasi uang elektronik, pelaksanaan undang-undang terhadap uang giral hingga pengaruh undang-undang pada uang giral, maka harus diketahui mekanisme dan pertumbuhan uang elektronik. Bab keempat : Transformasi Uang Giral Perspektif Hukum Positif

  Bab ini merupakan inti dari pembahasan tesis ini yang akan diawali dengan analisis penafsiran hukum terkaut uang elektronik baik secara historis, gramatikal hingga evolutif-

  dinamis, juga dibahas di dalamnya Pengaruh PBI Nomor 14/2/PBI/2012 terhadap Transaksi Uang Elektronik.

  Bab kelima : Kesimpulan dan Saran.

  Tahap akhir penelitian yang berisi kesimpulan dan jawaban dari pembahasa-pembahasan bab sebelumnya dengan tujuan untuk memudahkan pembaca memahami intisari penelitian, saran-saran, penutup dan lampiran-lampiran.

BAB II TEORI HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Teori Perundang-undangan di Indonesia Istilah perundang-undangan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

  (KBBI) diartikan sebagai ketentuan dan peraturan negara yang dibuat oleh pemerintah (eksekutif) disahkan oleh parlemen (legislatif) ditandatangani oleh

  1

  kepala negara (presiden) dan mempunyai kekuatan yang mengikat Dalam perundang-undangan terdapat istilah hirarki yang oleh Maria Farida Indriati Soeprapto diterjemahkan dengan tata atau susunan secara berjenjang, dan berlapis-lapis di mana peraturan yang lebih rendah selalu bersumber dan berdasar pada peraturan yang lebih tinggi. Menurut Hans Kelsen tentang hirarkhi yang menyatakan bahwa, norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarkhi dalam tata susunan. Ini berarti suatu norma yang lebih rendah berlaku yang bersumber pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat

  2 ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu norma dasar.

  Kerangka teoritik tentang hirarki peraturan perundang-undangan berikut kekuatan hukum mengikat merujuk pada teori hirarki norma-norma dari Hans Kelsen, yang dapat dirinci sebagai berikut:

1 Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 456.

  2

  1. Hukum mengatur pembentukannya sendiri, yakni suatu norma hukum menentukan cara untuk membuat norma hukum yang lain dan menentukan isi dari norma hukum yang lain itu.

  2. Suatu norma adalah valid, karena dibuat dengan cara yang ditentukan oleh norma yang lain, dan norma yang lain ini menjadi alasan validitas dari norma yang pertama.

  3. Hubungan antara norma yang mengatur pembuatan norma yang lain dapat diungkap sebagai hubungan super dan sub-ordinasi dalam kiasan mengenai ruang.

  4. Norma yang menentukan pembuatan norma yang lain adalah norma yang lebih tinggi, sedangkan norma yang dibuat ini adalah norma yang lebih rendah.

  5. Tata hukum bukanlah sistem norma yang satu sama lain hanya dikoordinasikan, yang berdiri sejajar atau sederajat, melainkan suatu

  3 hirarki norma-norma dari tingkatan yang berbeda.

  Kesatuan norma-norma ini disusun oleh fakta bahwa pembentukan norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma yang lebih tinggi, yang pembentukannya ditentukan oleh norma yang lebih tinggi lagi, dan bahwa

  

regressus ini diakhiri oleh norma yang lebih tinggi yang merupakan norma

  dasar, yang menjadi alasan utama validitas dari keseluruhan tata hukum yang

  4 membentuk kesatuan.

  Berdasarkan teori mengenai hirarki norma-norma dari Hans Kelsen, diperoleh pemahaman mengenai makna hirarki norma hukum, bahwa suatu norma hukum memperoleh validitas apabila pembentukannya ditentukan oleh norma hukum yang lebih tinggi, dan pembentukan norma hukum tersebut meliputi cara pembentukan dan isi norma hukum. Dengan demikian, ketika dibuat suatu norma hukum bersumber dari norma hukum yang lebih tinggi, pada dasarnya norma hukum yang lebih rendah itu melaksanakan norma hukum yang lebih tinggi. 3 4 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan: ... 25.

  Menurut A. Hamid S Attamimi dalam pembentukan perundang- undangan di Negara Republik Indonesia harus mengacu pada asas-asas hukum umum yakni “Pancasila, Negara berdasarkan atas hukum, dan Pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi”. Pancasila berdasarkan UUD RI Tahun 1945 menjadi landasan filsafati tertinggi dalam pembentukan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini disebabkan, bahwa Pancasila adalah menjadi cita hukum

  5 (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar tertulis maupun tidak tertulis.

  Sebagai cita hukum, nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila Pancasila menjadi acuan konstruksi berfikir lembaga pembentuk peraturan perundang- undangan di tingkat pusat maupun di daerah yang mengarahkan atau memandu materi muatan perundang-undangan yang baik yakni berisi kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi terwujudnya masyarakat dan negara hukum Indonesia yang madani.

  Pembentukan peraturan perundang undangan diatur dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, yang memuat peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Pengertian ini menunjukkan unsur-unsur agar dapat dikatakan sebagai peraturan perundang-undangan, diantaranya:

  1. Peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum;

  5

  2. Dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang;

  3. Pembentukan dan penetapannya melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

  Unsur pertama menunjukkan bahwa jenis dari peraturan perundang- undangan itu, bersifat peraturan tertulis. Pemaknaan dari peraturan tertulis ini bukan dimaksudkan sekedar bentuknya yang dituliskan saja, jika dipahami demikian, maka awig-awig (peraturan desa pakraman) yang ditulis memenuhi sebagai unsur ini. istilah peraturan perundang-undangan yang merupakan terjemahan dari istilah Belanda “wettelijke regeling”. Menurut A. Hamid S.

  Attamimi, peraturan perundang-undangan dalam cakupannya tidak hanya terbatas pada peraturan yang merupakan produk legislatif bersama pemerintah melainkan meliputi juga peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh badan

  6

  eksekutif yang bersifat mengatur. Selanjutnya dikatakan bahwa, membedakan antara teori perundang-undangan dan ilmu perundang-undangan, yang menurutnya teori perundang-undangan berorientasi pada menjelaskan dan menjernihkan pemahaman dan bersifat kognitif, sedangkan ilmu perundang- undangan (dalam arti sempit) berorientasi pada melakukan perbuatan pelaksanaan dan bersifat normatif. Jadi teori perundang-undangan dan ilmu perundang-undangan merupakan cabang atau bagian dari ilmu pengetahuan

  7

  perundang-undangan. Selanjutnya Rosjidi Ranggawidjaja, menguraikan teori perundang-undangan berorientasi pada usaha menjelaskan pemahaman (yang 6 H. Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, bersifat dasar) antara lain pemahaman tentang undang-undang, pembentuk undang-undang, fungsi perundang-undangan, peraturan perundang-undangan, dan sebagainya dan bersifat kognitif.

  Peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk mengatur dan melaksanakannya sesuai dengan konstitusi dan kewenangan yang ada dalam negara hukum, pada hakekat dari negara hukum memiliki empat elemen hukum, yakni : (a) pemerintahan menurut hukum, (b) jaminan terhadap hak- hak asasi keberadaan manusia, (c) pembagian kekuasaan, dan (d) pengawasan yustisia terhadap pemerintah. Keempat elemen tersebut berfungsi untuk

  8

  mengontrol perundang-undangan hingga memenuhi syarat baik. Secara yuridis elemen tersebut menjiwai :

  1. Bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus berdasar pada peraturan yang lebih tinggi dan atau yang menjadi sumber aslinya;

  2. Bahwa setiap perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hukum positip yang mengatur hak-hak asasi manusia termasuk hak warga negara dan masyarakat;

  3. Bahwa setiap perundang-undangan dibuat harus berdasarkan hukum positip yang mendasarinya;

  4. Bahwa setiap perundang-undangan memberikan kesempatan untuk dilakukan yudicial review oleh lembaga peradilan kehakiman (Mahkamah Agung) yang berwenang untuk itu.

  Peraturan perundang-undangan yang dibuat secara tertulis memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Kepastian norma hukum adalah keabsahan norma hukum supaya norma hukum bersangkutan mempunyai kekuatan hukum mengikat. Secara teoritik, pada dasarnya ada 3 (tiga) aspek yang mesti dipenuhi supaya norma hukum itu absah, yakni filosofi, sosiologis, dan yuridis, yang masing-masing berkaitan dengan nilai-nilai dasar hukum yakni, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, selain itu ada yang menambahkan dengan landasan politis.

  Landasan keabsahan norma hukum peraturan perundang-undangan dari

  

filosofi, sosiologis, dan yuridis mendapatkan perhatian bahasan dari para

  9

  sarjana Indonesia, dan dapat dirangkum, sebagai berikut :

  1. Landasan Filosofi, mencerminkan nilai-nilai filosofi atau nilai yang terdapat dalam cita hukum (rechtsidee), diperlukan sebagai sarana untuk menjamin keadilan.

  2. Landasan Sosiologis, mencerminkan tuntutan atau kebutuhan masyarakat yang memerlukan penyelesaian, diperlukan sebagai sarana untuk menjamin kemanfaatan.

  3. Landasan Yuridis, konsistensi ketentuan hukum, baik menyangkut dasar kewenangan dan prosedur pembentukan, maupun jenis dan materi muatan, serta tidak adanya kontradiksi antar ketentuan hukum yang sederajat dan dengan yang lebih tinggi, diperlukan sebagai sarana menjamin kepastian hukum.

  Norma hukum tersebut, menjadikan bagian dari pembentuk undang- undang didalam pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai landasan atau dasar pikiran. Dalam dasar atau landasan pembentukan itu (filosofi, sosiologis dan yuridis), untuk menjadi dasar sebagai bagian dari kebangsaan diperlukan landasan idiologis, artinya bahwa pembuat undang-undang untuk tetap menjadikan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesiayakni bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu Indonesia.

  Peraturan yang baik selain norma hukum juga diperlukan substansi hukum (materi) yang akan menjadikan bagian penting suatu peraturan perundang-undangan, dimana hirarkhi perundang-undangan agar tidak bertentangan satu dengan yang lainnya (keharmonisan peraturan). Beberapa ajaran dalam konsep dan hirarkhi norma hukum yang dikemukakan oleh para sarjana seperti Achmad Ali menyatakan tentang ajaran Hans Kelsen terdiri dari

  10

  tiga konsep, yaitu:

  a. Ajaran Hukum Murni (Pure theory of law) yang menyatakan ilmu hukum bebas dari anasir-anasir non hukum seperti sejarah, moral, sosiologi, politik dan sebagainya. Kelsen menolak masalah keadilan di jadikan bagian pembahasan dalam ilmu hukum, baginya keadilan adalah masalah idiologi yang ideal yang irasional, jadi Kelsen ingin menerima hukum apa adanya yaitu peraturan yang dibuat dan diakui oleh negara.

  b. Ajaran tentang Groundnorm, yakni merupakan induk yang melahirkan peraturan perundang-undangan dalam suatu tatanan sistem hukum tertentu, groundnorm ibarat bahan bakar yang menggerakkan seluruh sistem hukum yang memiliki fungsi sebagai dasar mengapa hukum itu ditaati dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan hukum.

  c. Ajaran tentang Stufentheori, teori stufenbau yang dikemukakan oleh Hans Kelsen menyatakan bahwa “norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarkhis dimana norma yang dibawah berlaku bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi berlaku bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada dasar atau groundnorm atau besik norm atau fundamental norm yang tidak dapat ditelusuri lagi pada siapa pembentuknya dan dari mana asalnya.

  11 Teori Hans Kelsen yang telah dikenal dalam ilmu hukum tersebut, seperti

  antara lain : Pertama Teori tentang Reine Rechchtslehre; Kedua Teori tentang Grundnorm; dan Ketiga Teori tentang Stuffenbau des Rechts.

  59 Dalam

  penulisan tesis ini adalah teori tentang hirarki norma hukum (Stufenbau

  

Theory) dengan didukung dengan norma dasar (grundnorm). Selanjutnya

  disebutkan Grundnorm voraussetzt, das heibt: wie es dem subjektiven Sinn

  

des Verfassunggebenden Willensaktes, den Vorschriften des Verfassunggebers,

entspricht.

  12 oleh Max Knight diterjemahkan menjadi :

  Norma dasar yang seseorang harus lakukan seperti yang dinyatakan oleh konstitusi adalah seseorang harus bertindak berdasarkan makna subjektif dari tindakan pembentukan konstitusi yang tertuang dalam pernyataan/preskrepsi otoritas pembentukan konstitusi.

  13 Grundnorm adalah seseorang seharusnya bertindak (menaati)

  sebagaimana yang ditetapkan dalam konstitusi, artinya orang seharusnya berperilaku sebagaimana makna subjektif dari tindakan/kehendak/kemauan 11 Asshiddiqie, Teori Hans Keslen ..., 172-174. 12 Ibid. 13

  yang membentuk konstitusi. A. Hamid S Attamimi, grundnorm disebutnya sebagai norma tertinggi, mengatakan bahwa : “Suatu norma dibentuk oleh norma yang lebih tinggi, kemudian norma ini dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi dan demikian hal itu seterusnya sampai berhenti pada norma tertinggi yang tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, melainkan diperkirakan

  (presupposed, voorondersteld) atau ditetapkan terlebih dahulu (vorausgesetzt) keberadaannya oleh masyarakat atau rakyat sendiri.

  14 Kelsen menamakan norma yang tertinggi ini adalah Grundnorm.Grundnorm dalam pengertian Hans Kelsen merupakan norma yang

  paling tinggi yang tidak dapat ditelusuri lagi siapa pembentuknya, atau dari mana asalnya. Keberlakuannya tidak berdasar dan tidak bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, tetapi berlakunya secara presupposed yaitu diandaikan keberadaannya lebih dahulu oleh akal budi manusia. Dalam hubungannya dengan itu, Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa :

  “Semua hukum yang berada dalam kawasan rezim grundnorm harus bisa mengait kepadanya. Oleh karena itu, ia bisa juga dilihat sebagai induk yang melahirkan peraturan- peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu. Grundnorm ibarat mesin yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Dialah yang menjadi dasar mengapa hukum itu harus dipatuhi dan dia pula yang memberi pertanggungjawaban, mengapa hukum disitu harus dilaksanakan. Ia lebih merupakan dalil dari pada peraturan biasa. Dalil itu akan tetap menjadi tata hukum manakala yang mempercayai, mengakui dan mematuhinya. Tetapi apabila orang sudah mulai menggugat kebenaran dari dalil akbar tersebut, maka keseluruhan

  15

  bangunan hukumnya pun akan runtuh. Inilah yang disebut revolusi.” Berkaitan dengan masalah penelitian yang menganalisis tentang kepastian hukum dan kedudukan hukum tanah adat di Bali yang terkait dengan pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan, tidak akan terlepas dari sudut pandang 14 substansi dari undang-undang yang terbentuk dengan undang-undang yang membentuknya yakni dari tata susunan adalah tidak boleh suatu undang- undang bertentangan dengan perundangan di atasnya yaitu UUD NRI Tahun 1945. Dibuatnya suatu peraturan perundang-undangan bertujuan untuk kesejahteraan rakyat yang didasari atas suatu nilai-nilai dasar seperti kepastian hukum, keadilan dan kegunaan, serta kesahan berlakunya berdasarkan atas keberlakuan secara filosofi, yaitu kebijakan yang dibuat berdasarkan nilai suatu pandangan hidup suatu bangsa. Sedangkan keberlakuan secara sosiologis bahwa peraturan perundang-undangan dapat diterima dan diakui oleh masyarakat karena memberi manfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Untuk nilai kepastian hukum yang secara yuridis merupakan landasan hukum sesuai dengan hirarki peraturan perundang-undangan dan dibuat oleh lembaga yang berwenang. Hirarki peraturan perundang-undangan dalam pembentukan perundang-undangan di Republik Indonesia harus mengacu pada asas-asas hukum umum, yang oleh A. Hamid S Attamimi disebutkan “Pancasila, negara berdasarkan atas hukum, dan pemerintahan berdasarkan

  16

  sistem konstitusi.” Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 menjadi landasan filsafati tertinggi dalam pembentukan perundang-undangan di Indonesia, hal ini disebabkan bahwa Pancasila menjadi cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar yang tertulis maupun tidak tertulis. Sebagai cita hukum, nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila Pancasila menjadi acuan konstruksi berfikir lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan di tingkat pusat maupun di daerah yang mengarahkan atau memandu terbentuknya materi muatan perundang-undangan yang baik yakni yang berisi kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi terwujudnya masyarakat dan negara hukum Indonesia yang madani.

  Sebagai negara hukum pada hakekatnya memiliki empat elemen hukum, yakni : “(a) pemerintahan menurut hukum, (b) jaminan terhadap hak-hak asasi manusia, (c) pembagian kekuasaan dan (d) pengawasan yustisia terhadap

  17

  pemerintah.” Keempat elemen tersebut berfungsi untuk mengontrol perundang-undangan hingga memenuhi syarat baik. Secara yuridis elemen tersebut menjiwai :

  a. bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus berdasar pada peraturan yang lebih tinggi dan atau yang menjadi sumber aslinya; b. bahwa setiap perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dan hukum positif yang mengatur hak-hak asasi manusia termasuk hak warga negara dan masyarakat;

  c. bahwa setiap perundang-undangan dibuat harus berdasarkan hukum positif yang mendasarinya; d. bahwa setiap perundang-undangan memberi kesempatan untuk dilakukan yudicial review oleh lembaga peradilan kehakiman

  18 (Mahkamah Agung) yang berwenang untuk itu.

  Pendapat para sarjana tersebut mengenai teori perundang-undangan berlandaskan filosofi, sosiologis, yuridis dan idiologis yang temuat dalam suatu norma hukum, dimana norma hukum yang lebih rendah berpedoman pada norma hukum yang lebih tinggi, sehingga nantinya dapat terjadi harmonisasi hukum dalam peraturan tersebut. 17

B. Teori Harmonisasi Hukum

  Harmonisasi hukum secara filsafati dapat diartikan sebagai kerjasama antara berbagai faktor yang sedemikian rupa, sehingga faktor-faktor tersebut menghasilkan kesatuan yang luhur. Istilah harmonisasi berasal dari bahasa Yunani, asal kata “harmonia” yang artinya “terlibat secara serasi dan

  sesuai.” Dalam perspektif psikologi diartikan sebagai keseimbangan dan

  kesesuaian, segi-segi alam, perasaan, alam pikiran dan perbuatan individu,

  19

  sehingga tidak terjadi hal-hal ketegangan yang berlebihan. Harmonisasi hukum telah muncul dalam ilmu hukum di Jerman pada tahun 1902, penggagasnya adalah Rudolf Stammler (1856-1938). Perkembangan harmonisasi hukum dalam ilmu hukum digunakan untuk menunjukkan bahwa dalam dunia hukum, kebijakan pemerintah dan hubungan diantara keduanya terdapat keanekaragaman yang dapat mengakibatkan disharmoni.

  Rudolf Stammler mengemukakan suatu konsep fungsi hukum, bahwa tujuan atau fungsi hukum adalah harmonisasi berbagai maksud, tujuan dan kepentingan antara individu dengan individu dan antara individu dan masyarakat. Dikatakan oleh Rudolf Stammler “a just law aims at harmonizing

  20 individual purposes with that of society.

  Esensi pengertian dan makna harmonisasi hukum tersebut diatas, dikembangkan oleh para ahli dengan menghubungkan keterkaitannya dengan fungsi hukum dalam berbagai aspek kepentingan hukum antara individu dengan individu, individu dengan negara atau pemerintah, sehingga 19 20 Hasan Sadzilly, dkk, Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: Ihtiar Baru , 1995), 1262.

  menampakkan teori harmonisasi hukum. Pendapat para ahli tersebut memberikan konsepsi pemikirannya tentang harmonisasi hukum, diantaranya seperti :

  LM. Gandhi, memaknai harmonisasi hukum adalah mencakup penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan hakim, sistem hukum, dan asas-asas hukum, dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan dan kesebandingan, kegunaan dan

  21 kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralism hukum.

  Kusnu Goesniadhie. S, berpendapat bahwa harmonisasi hukum adalah upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan perbedaan, hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan dalam hukum. Upaya atau proses untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan, keseimbangan diantara norma-norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan sebagai sistem hukum dalam satu kesatuan kerangka sistem hukum nasional.

  Wicipto Setiadi, pengharmonisan adalah upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan dan membulatkan konsepsi suatu rancangan peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain, baik yang lebih tinggi, sederajat maupun yang lebih rendah dan hal-hal lain selain peraturan perundang-undangan sehingga tersusun secara sistematis,

  22 tidak saling bertentangan atau tumpang tindih (overlapping).

21 LM. Gandhi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum yang Responsif (Yogyakarta: Kansius, 1980), 88.

  22

  Juniarso Ridwan, merupakan suatu upaya atau proses melakukan pembatasan-pembatasan perbedaan yang berkenaan dengan adanya

  23 kejanggalan dan bertentangan dengan hukum-hukum.

  Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, memberikan pengertian harmonisasi hukum sebagai kajian ilmiah untuk menuju proses pengharmonisasian hukum tertulis yang mengacu baik pada

  24 nilai-nilai filosofi, sosiologis, ekonomis, maupun yuridis.

  Beberapa pendapat para ahli tersebut diatas tentang harmonisasi hukum, yang menjadi teori harmonisasi hukum untuk menghindari disharmoni hukum, maka tampak unsur-unsur yang membangun atau mengkonstruksi teori harmonisasi hukum seperti adanya : a. penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan hakim, sistem hukum, dan asas-asas hukum.

  b. dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, kesebandingan kegunaan dan keadilan.

  c. kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralism hukum.

  d. keseimbangan, kesesuaian, keselarasan, keserasian, dan kecocokan

  25 peraturan perundang-undangan secara vertikal dan horizontal.

  Disharmonis hukum terjadi jika terdapat ketidakselarasan antara satu norma hukum dengan norma hukum lainnya. Dapat dinyatakan bahwa sesungguhnya disharmonisasi biasanya terjadi dalam tataran normatif, norma atau kaidah adalah peraturan yang memiliki rumusan yang jelas untuk dijadikan pedoman perilaku. Jika terjadi disharmoni antara norma-norma 23 Juniarso Ridwan, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik,

  (Bandung: Nuansa, 2009), h.219-220 24 25 Ibid, 223.

  I Gede Artha, “Reformulasi Pengaturan Putusan Bebas dan Upaya Hukumnya bagi hukum, penyelesaiannya adalah dengan penerapan asas-asas hukum atau kembali pada asas hukumnya.

  Secara umum dalam instrumen penyelesaian disharmonisasi hukum dikenal pula metode penafsiran hukum yaitu metode interpretasi dan metode

  konstruksi. Menurut Burght dan Winkeman dimasa lalu memang telah

  diperjuangkan suatu pedoman yang kaku pada pemilihan metode-metode interpretasi, namun berlawanan dengan harapan itu, yang akhirnya diperoleh

  26 sekedar petunjuk yang kabur.

  Hubungan antara teori perundang-undangan dengan teori harmonisasi hukum sebagai kerangka teoritik dalam tesis ini, untuk dapat memberi analisis bahwa kebijakan suatu kepastian hukum uang giral, dan untuk mengetahuinya hanya dapat dilihat dalam sahnya berlaku kebijakan tersebut.

C. Teori Interpretasi Hukum

  Penafsiran hukum (interpretasi) adalah sebuah pendekatan pada penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Sebaliknya dapat terjadi juga hakim harus memeriksa dan mengadili perkara yang tidak ada peraturannya yang khusus. Di sini hakim menghadapi kekosongan atau ketidak-lengkapan undang-undang yang harus diisi atau dilengkapi, sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih tidak ada hukumnya atau tidak lengkap 26 Sidharta, “Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir

  Indonesia (Menuju Harmonisasi Sistem Hukum sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonersia)”, Kementrian Bappenas, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum hukumnya. Hakim menemukan hukum itu untuk mengisi kekosongan hukum tersebut.