Hubungan Keharmonisan Pernikahan dengan Kecemasan Menghadapi Masa Pensiun pada Karyawan BUMN

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Kecemasan Menghadapi Masa Pensiun
A. 1. Definisi kecemasan
Kecemasan adalah hal yang sering dihadapi individu berupa
perasaan tidak menentu, perasaan panik, takut, dan ketidakmampuan
untuk memahami sumber ketakutan (Darajat, 1990). Kecemasan
(anxiety)merupakan reaksi ketika seseorang menerima ancaman,
semakin berpengaruh dan semakin dekat ancaman tersebut maka akan
semakin tinggi kecemasannya (Salkovis dan Walwick dalan Furer,
2007).
Wright (2000) berpendapat bahwa kecemasan merupakan
ketidaknyamanan pikiran, perasaan yang menakutkan dan menyerang
sebagian peristiwa yang akan datang. Menurut Passer dan Smith
(2007), kecemasan adalah keadaan tegang dan takut sebagai reaksi
normal terhadap munculnya suatu ancaman, yanglebih banyak dipicu
oleh peristiwa eksternal spesifik daripada konflik internal. Kecemasan
mempengaruhi respon tubuh seperti berkeringat, otot menegang, detak
jantung serta nafas yang menjadi lebih cepat. Kecemasan juga
merupakan gangguan psikologis dengan ciri-ciri seperti ketegangan
motorik, pusing, jantung berdebar, adanya pikiran serta harapan yang

mencemaskan (Santrock, 2009).

12
Universitas Sumatera Utara

Darajat (1990) mengemukakan ada dua gejala kecemasan, yaitu; a)
Gejala fisik berupa ujung-ujung jari terasa dingin, pencernaan tidak teratur, detak
jantung cepat, keringat bercucuran, tidur tidak nyenyak, nafsu makan hilang, dan
gemetar; dan b) Gejala mental berupa perasaan sangat takut akan tertimpa bahaya,
tidak dapat memusatkan perhatian, rendah diri, tidak tentram dan ingin lari dari
kenyataan hidup, gelisah, dan perasaan tegang serta bingung. Menurut Aaron T.
Beck (2004), kecemasan berada pada garis kontinum yang sama dengan
pengalaman emosional lainnya, dan setiap semua pengalaman emosional
berkaitan dengan kognisi. Setiap emosi berhubungan dengan tema kognitif
tertentu, dan kecemasan dikaitkan dengan tema „ancaman‟, „bahaya‟ dan „mudah
diserang‟. Kecemasan merupakan hasil dari penafsiran yang berlebihan tentang
suatu bahaya atau kepercayaan yang terlalu rendah pada coping atau
kemampuannya.
Kemudian menurut Sue (2010), kecemasan merupakan emosi dasar
manusia yang menghasilkan reaksi tubuh mempersiapiapkan diri untuk “lawan”

atau “lari” terhadap situasi atau kejadian yang belum terjadi. Sue (2014) juga
menambahkan bahwa kecemasan merupakan kondisi psikologis dan fisiologis
yang dicirikan dengan adanya komponen somatik, emosi, kognitif, dan perilaku
sebagai reaksi normal dari stres. Kecemasan bisa menghasilkan perasaan takut,
khawatir, gelisah.
Kecemasan menurut Max Hamilton (McDowell, 2006) meliputi aspek
physic anxiety (agitasi mental, tekanan psikologis) dan somatic anxiety (gangguan
fisik berkaitan dengan kecemasan). Secara lebih luas, kecemasan menurut
13
Universitas Sumatera Utara

Hamilton meliputi 14 komponen yaitu: perasaan gelisah, ketegangan, takut, sulit
tidur, gangguan intelektual (daya ingat menurun), perasaan depresi, gejala
somatik, gejala sensorik, gejala kadiovaskuler, gejala pernapasan, gejala
pencernaan, gejala urogenital, gejala otonom, gejala yang dapat diamati langsung.
Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan
merupakan keadaan adanya ransangan internal dan eksternal yang mengancam
yang menimbulkan pengalaman emosional yang tidak jelas yang menyebabkan
ketidaknyamanan pikiran, dan perasaan takut akan tertimpa bahaya, sulit
memusatkan perhatian, rendah diri, tidak tentram, gelisah, bingung sehingga

mempengaruhi respon respon fisiologis seperti berkeringat, pusing, otot
menegang, jantung berdebar, dan nafas yang menjadi lebih cepat.
A. 2. Aspek-aspek Kecemasan
Empat komponen kecemasan menurut David Sue (2010) adalah:
a. Kognitif (pikiran)
Komponen kognitif dapat bervariasi, berupa khawatir yang ringan
hingga tinggi (panik). Seseorang terus mengkhawatirkan segala
masalah yang bisa terjadi, menjadi sulit untuk berkonsentrasi
maupun mengambil keputusan, mudah bingung, dan lupa.
b. Motorik (pergerakan tubuh)
Individu menunjukkan gerakan yang tidak beraturan, seperti
gemetar hingga guncangan tubuh yang berat.Perilaku yang
dimunculkan berupa gelisah, menggigit bibir, menggigit kuku atau
jari. Individu sering gugup, mengalami kesulitan dalam berbicara,
14
Universitas Sumatera Utara

meremas jari-jari, tangan gemetar, tidak dapat duduk diam atau
berdiri di tempat.
c. Somatik (reaksi fisik dan biologis)

Gangguan pada anggota tubuh, berupa; sesak napas, tangan dan
kaki menjadi dingin, mulut kering, diare, sering buang air kecil,
jantung berdebar, berkeringat, tekanan darah tinggi, gangguan
pencernaan, dan kelelahan fisik seperti pingsan.
d. Afektif (perasaan)
Individu mengalami ketegangan yang kronis. Individu terusmenerus mengalami perasaan gelisah tentang suatu bahaya, mudah
tersinggung, dan tidak tenang.

A. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan
Dibawah ini adalah faktor-faktor yang menyababkan kecemasan,
yaitu:
a. Frustasi (tekanan perasaan)
Menurut

Darajat

(1990)

frustasi


merupakan

proses

yang

menyebabkan orang merasa adanya hambatan terhadap terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhannya, atau menyangka akan terjadi suatu yang hal
mengalangi keinginannya.
b. Konflik
Adanya dua kebutuhan atau lebih yang berlawanan yang harus
dipenuhi disaat yang sama. Konflik adalah terdapatnya dua macam

15
Universitas Sumatera Utara

dorongan atau lebih yang berlawanan dan tidak mungkin dipenuhi
disaat yang sama (Darajat, 1990).
c. Ancaman
Adanya bahaya yang harus diperhatikan. Zain (1994) mengatakan

bahwa ancaman merupakan peringatan yang harus diperhatikan dan
dicegah agar tidak terjadi.
d. Harga diri
Harga diri merupakan suatu penilaian yang dibuat oleh individu
tentang dirinya sendiri dan dipengaruhi oleh interaksinya dengan
lingkungan.

Merupakan

faktor

yang

dibentuk

berdasarkan

pengalaman. Koeswara (1991) mengatakan bahwa terhambatnya
pemuasan kebutuhan harga diri mengakibatkan perasaan rendah diri,
tidak mampu, tidak pantas, tidak berguna, dan lemah.

e. Lingkungan sosial
Lingkungan di sekitar individu dapat mempengaruhi cara berpikir
individu tentang diri sendiri dan orang lain. Pengalaman yang tidak
menyenangkan

dengan

sahabat,

ataupun

rekan

kerja

bisa

memunculkan rasa tidak aman dan kecemasan (Ramaiah dalam Dewi,
2003). Sebaliknya, dukungan sosial dari lingkungan mampu
mengurangi dan mencegah kecemasan individu (Effendi, 1999).

f. Lingkungan keluarga
Menurut Musfir Az-Zahrani (dalam Dewi, 2003), keadaan rumah
dengan kondisi penuh dengan pertengkaran atau kesalahpahaman,

16
Universitas Sumatera Utara

serta adanya ketidakpedulian satu sama lain dapat menyebabkan
ketidaknyamanan serta kecemasan pada anggota keluarga saat berada
di rumah.
g. Emosi yang ditekan
Kecemasan bisa terjadi jika individu tidak mampu menemukan jalan
keluar atas perasaannya sendiri, terutama jika ia merasa marah atau
frustasi dalam jangka waktu yang lama (Ramaiah dalam Dewi, 2003).
h. Sebab-sebab fisik
Masih menurut Ramaiah (dalam Dewi, 2003), pikiran dan tubuh
saling berinteraksi dan dapat menyebabkan kecemasan. Selama
individu mengalami kondisi-kondisi baru, akan terjadi perubahan
yang menyebabkan timbulnya kecemasan.


B. Masa Pensiun
B. 1 Definisi Masa Pensiun
Pensiun merupakan masa seseorang tidak lagi bekerja secara
formal pada suatu perusahaan badan komersial yang terorganisasi
atau dalam pemerintahan karena telah mencapai usia maksimum
sebagai pekerja (Kimmel, 1991). Pensiun merupakan masa transisi ke
pola hidup yang baru sehingga berkaitan erat dengan perubahan
peran, perubahan keinginan dan nilai, serta perubahan pola hidup
(Schwartz dalam Hurlock, 1991).

17
Universitas Sumatera Utara

Menurut Cavanaugh dan Fields (2006), pensiun adalah proses
yang kompleks saat seseorang menarik diri dari partisipasi penuh dari
pekerjaan. Dengan demikian, pensiun adalah proses seseorang
berhenti bekerja pada perusahaan/organisasi/pemerintahan karena
telah mencapai usia maksimum serta menimbulkan perubahan peran,
nilai, dan pola hidup.
Soegino (dikutip oleh Respatiningsih, 2008), menyebutkan

aspek kehidupan masa pensiun yang perlu untuk ditelusuri dan diberi
perhatian untuk menjalankan masa pensiun yang memuaskan adalah:
a. Kegiatan. orang dewasa membutuhkan kegiatan agar tidak merasa
gelisah dan sebagai pengisi waktu di masa pensiunnya. Kegiatan
yang dapat dipertimbangkan adalah berjalan-jalan, bermasyarakat,
berpartisipasi dalam bidang pendidikan, bekerja kembali, dan
berekreasi.
b. Kesehatan. Kesehatan yang baik sangat diharapkan di masa ini. Di
sisi lain, individu pun tidak perlu mengeluarkan biaya yang
banyak untuk pengobatan hari tua.
c. Keuangan. Merencanakan keuangan di masa pensiun sangat
penting karena masa pensiun adalah masa yang sangat panjang,
uang pesangon untuk masa pensiun tidak akan cukup untuk
kehidupan keluarga.
d. Sikap positif. Sikap yang positif sangat berpengaruh pada
kesehatan, pertahanan diri, motivasi bagi diri sendiri untuk

18
Universitas Sumatera Utara


berbuat sesuatu yang positif. Mengeluarkan potensi diri, disiplin
dalam menjaga kesehatan, dan membuat hidup lebih bermakna.
e. Hubungan yang serasi terutama dengan pasangan hidup.
Hubungan yang baik dengan pasangan dan keluarga menjelang
pensiun sangat dibutuhkan untuk menciptakan dan menjaga
kesejahteraan masa tua.
B. 2 Jenis-Jenis Pensiun
Terdapat dua jenis pensiun menurut Hurlock (1991), yaitu:
a. Voluntary Retirement (pensiun secara sukarela)
Individu memutuskan untuk mengakhiri masa kerjanya secara
formal dan sukarela. Hal ini dilakukan dengan alasan kesehatan
atau keinginan untuk menghabiskan sisa hidupnya dengan
melakukan sesuatu yang lebih berarti jika dibandingkan dengan
pekerjaan selanjutnya.
b. Mandatory Retirement (pensiun berdasarkan peraturan dan
kewajiban)
Pensiun dilakukan berdasarkan adanya peraturan yang mengikat
karyawan di tempatnya bekerja tentang batasan usia yang
menandakan berakhirnya masa kerja secara formal.

19
Universitas Sumatera Utara

B. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Menghadapi Masa
Pensiun
Menurut Brill dan Hayer (dalam Imama, 2011) disebutkan faktor-faktor
yang mempengaruhi kecemasan menghadapi masa pensiun adalah:
a. Menurunnya pendapatan, termasuk gaji, tunjangan fasilitas yang
dulunya bisa ia dapatkan semasa bekerja, serta adanya anak yang
belum mandiri yang masih dalam tanggungan orang tuanya.
b. Hilangnya status atau jabatan seperti pangkat dan golongan
maupun status sosialnya, termasuk didalamnya adalah hilangnya
wewenang penghormatan orang lain atas dirinya.
c. Berkurangnya interaksi sosial dengan teman kerja. Kerja
memberikan kesempatan untuk bertemu orang-orang baru dan
mengembangkan persahabatan. Namun dengan tibanya masa
pensiun, individu tidak memiliki kesempatan yang sama untuk
berinteraksi dengan rekan kerjanya seperti saat ia masih bekerja.
d. Datangnya masa tua, terutama menurunnya kekuatan fisik dan
daya ingat menurun karena proses penuaan yang tidak bisa
dihindari, sehingga muncul perasaan tidak dibutuhkan lagi yang
bisa membuatnya semakin cemas.
Rini (dalam Pradono dan Purnamasari, 2010) menyebutkan faktor-faktor
yang mempengaruhi kecemasan menghadapi masa pensiun, berupa:

20
Universitas Sumatera Utara

a. Kepuasan kerja dan pekerjaan
Datangnya

masa

pensiun

menyebabkan

individu

merasa

kehilangan pekerjaan karena pekerjaan tersebut dapat memberikan
kepuasan bagi individu.
b. Usia
Asumsi ketika seseorang memasuki masa tua maka ia akan
semakin lemah, semakin banyak penyakit, cepat lupa, penampilan
tidak menarik, dan semakin banyak hambatan lain yang membuat
hidupnya semakin terbatas. Pensiun karena memasuki batasan usia
produktif kerja membuat individu merasa ia sudah tidak berguna
lagi.
c. Kesehatan
Kesehatan mental dan fisik merupakan kondisi yang mendukung
keberhasilan individu untuk beradaptasi terhadap masa pensiun.
Hal ini ditambah dengan persepsi individu tersebut terhadap kodisi
fisiknya. Jika ia menganggap kondisi fisiknya sebagai hambatan
besardan bersikap pesimistik terhadap hidup, maka ia akan
mengalami masa pensiun dengan penuh kesukaran.
d. Persepsi individu tentang bagaimana ia akan menyesuaikan diri
dengan masa pensiunnya. Persepsi negatif akan mendatangkan
kecemasan pada individu.
e. Status sosial sebelum pensiun

21
Universitas Sumatera Utara

Individu yang bekerja memiliki status sosial tertentu, jika tiba masa
pensiunnya maka ia akan melepas semua atribut dan fasilitas yang
menempel padanya. Hal ini dapat menimbulkan kecemasan bagi
sebagian orang.

C. Keharmonisan Pernikahan
C. 1. Definisi Keharmonisan Pernikahan
Keharmonisan

pernikahan menurut Walgito (1991)

adalah

berkumpulnya unsur fisik dan psikis yang berbeda antara pria dan wanita
sebagai pasangan suami istri yang dilandasi oleh berbagai unsur
persamaan; saling dapat memberi dan menerima cinta kasih yang tulus dan
memiliki nilai-nilai yang serupa. Keharmonisan ditandai dengan suasana
rumah yang teratur, tidak cenderung pada konflik, dan peka terhadap
kebutuhan rumah tangga (Suardiman, 1990).
Pernikahan yang harmonis merupakan keadaan ketika suami dan
istri merasakan kebutuhan emosional mereka terpenuhi, mereka saling
memahami dan menghargai nilai-nilai yang dianut serta latar belakang
budaya pasangannya (Matlin, 2008). Sedangkan menurut Lestari (2012),
pernikahan harmonis merupakan evaluasi afektif yang berupa perasaan
positif yang dimiliki oleh suami istri, yang maknanya lebih luas daripada
kenikmatan, kesenangan, dan kesukaan.
Pernikahan yang harmonis merupakan keadaan ketika suami dan
istri merasakan kebutuhan emosional mereka terpenuhi, mereka saling

22
Universitas Sumatera Utara

memahami dan menghargai nilai-nilai yang dianut serta latar belakang
budaya pasangannya (Matlin, 2008). Sedangkan menurut Lestari (2012),
pernikahan harmonis merupakan evaluasi afektif yang berupa perasaan
positif yang dimiliki oleh suami istri, yang maknanya lebih luas daripada
kenikmatan, kesenangan, dan kesukaan.
Pernikahan harmonis menurut Olson (1993), melakukan interaksi
pernikahan yang sangat baik, melakukan tugas sebagai orang tua dengan
baik, memiliki hubungan yang baik dengan keluarga besar dan teman,
suami dan istri saling berusaha untuk menjaga dan meningkatkan kualitas
hubungan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keharmonisan
pernikahan adalah keadaan yang menggambarkan adanya ketenangan lahir
batin pada suami dan istri karena puas dengan yang telah mereka capai dan
miliki, tidak cenderung pada konflik, peka terhadap kebutuhan rumah
tangga, terpenuhinya kebutuhan seksual, dan pergaulan yang baik antara
anggota keluarga dan masyarakat.
C. 2. Aspek-aspek Keharmonisan Pernikahan
Menurut David D. Olson dan Amy K. Olson (dalam Lestari, 2012),
terdapat sepuluh aspek keluarga harmonis:
a. Resolusi konflik
Aspek ini berkaitan dengan persepsi individu tentang keberadaan
dan upaya untuk menyelesaikan konflik dalam hubungan mereka.
Mencakup

keterbukaan

pasangan

untuk

mengenali

dan

23
Universitas Sumatera Utara

menyelesaikan masalah, strategi dan proses yang dilakukan untuk
mengakhiri konflik.
b. Komunikasi
Berfokus pada perasaan dan sikap berkaitan dengan komunikasi
dengan pasangan. Aspek ini memperhatikan tingkat kenyamanan
yang dirasakan oleh pasangan saat membagikan dan menerima
informasi emosional dan kognitif.
c. Pembagian peran yang seimbang
Aspek ini berfokus pada perasaan dan sikap individu mengenai
peran dalam pernikahan dan keluarga. Berkaitan dengan hal-hal
pekerjaan, tugas rumah tangga, seksualitas, dan peran sebagai
orang tua. Akan semakin baik jika pembagian peran sama-sama
disetujui oleh pasangan.
d. Kecocokan kepribadian
Aspek ini berfokus pada persepsi individu mengenai perilaku
pasangan dan tingkat kepuasannya tentang perilaku dan kebiasaan
pasangan. Sikap dan perilaku pasangan tidak berdampak atau
dipersepsi secara negatif oleh pasangan. Perbedaan yang ada tidak
akan

menimbulkan

masalah

selama

ada

penerimaan

dan

pengertian.
e. Pemanfaatan waktu luang
Aspek ini berfokus pada ketertarikan individu untuk menggunakan
waktu luangnya. Merefleksikan aktivitas sosial dan individu,

24
Universitas Sumatera Utara

bercerita tentang ketertarikan individu dan bersama, serta harapan
untuk menghabiskan waktu luang bersama sebagai pasangan.
f. Pengelolaan keuangan
Aspek ini berkaitan dengan sikap dan perhatian pasangan
mengenai pengaturan hal-hal financial, berupa pembelanjaan dan
pengambilan keputusan tentang keuangan.
g. Relasi seksual
Aspek ini berkaitan dengan perasaan pasangan mengenai kasih
sayang dan hubungan seksual, perilaku seksual, kontrol kelahiran,
dan sikap mengenai hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas.
h. Pengasuhan anak
Aspek ini berkaitan dengan sikap dan perasaan saat memiliki anak
dan mengasuh anak. Berfokus pada pengambilan keputusan
mengenai disiplin, harapan-harapan untuk anak dan pengaruh
keberadaan anak terhadap hubungan suami-istri.
i. Hubungan dengan keluarga dan teman
Menujukkan sikap dan perasaan mengenai hubungan dengan
keluarga, mertua dan saudara ipar, serta teman. Berkaitan dengan
harapan pada mereka dan kenyamanan saat menghabiskan waktu
bersama keluarga dan teman-teman.
j. Nilai-nilai dan kepercayaan keagaman
Aspek ini meliputi pemahaman individu mengenai nilai-nilai
keagamaan dan pelaksanaannya dalam pernikahan. Keharmonisan

25
Universitas Sumatera Utara

pernikahan semakin baik jika nilai-nilai agama mamiliki bagian
penting dalam pernikahan.

D. Karyawan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
D. 1 Definisi Karyawan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Menurut Pasal 87 Ayat 1 UU No. 19 Tahun 2003 (Hukum Online,
2015), karyawan BUMN merupakan pekerja BUMN dan pengangkatan,
pemberhentian, kedudukan, hak dan kewajibannya ditetapkan berdasarkan
perjanjian kerja bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang ketenagakerjaan. Menurut UU No. 19 Tahun 2003
Pasal 1 Ayat 1, Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut
BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan Negara yang dipisahkan.
D. 2 Masa Pensiun Karyawan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Berdasarkan keputusan Menteri

Tenaga

Kerja

RI Nomor:

PER.02/MEN/1993 Tentang Usia pensiun Maksimum Bagi Peserta
Peraturan Dana Pensiun (Portal HR, 2015) bahwa usia kerja ditetapkan
pada 55 hingga 60 tahun. Ketentuan lebih lanjut ditetapkan dalam
Perjanjian Kerja (PK), Peraturan Perusahaan (PP)/Perjanjian Kerja
Bersama (PKB) dengan perusahaan bersangkutan berdasarkan UU No. 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Hukum Online, 2015).

26
Universitas Sumatera Utara

E. Masa Dewasa Madya
E. 1 Definisi Masa Dewasa Madya
Masa dewasa madya dikenal dianggap sebagai tahapan hidup yang
berbeda dengan tahapan yang lainnya karena memiliki norma sosial,
aturan, peluang dan tantangannya sendiri (Papalia dkk, 2009). Definisi
kontekstual masa dewasa madya adalah jika seseorang memiliki anak yang
telah dewasa dan/atau dengan orang tua lanjut usia. Masa ini berada dalam
kisaran usia 40-65 tahun. Bagi beberapa orang periode usia dewasa madya
merupakan usia terbaik dalam hidupnya. Periode ini adalah suatu masa
seseorang merasa puas dengan keberhasilannya (Bernie Neugarten, dalam
Fatimah, 2014)
E. 2 Perkembangan pada Masa Dewasa Madya
Menurut Papalia dkk, (2009), dibawah ini adalah perkembangan
yang terjadi pada masa dewasa madya, yaitu: 1) Perkembangan Fisik:
kemunduran kemampuan sensoris, kesehatan, stamina, dan kekuatan,
perubahan hormonal bisa mengarah pada penurunan hasrat seksual,
perempuan mengalami
kemunduran

respon

menopause. 2) Perkembangan Neurologis:

terhadap

keterampilan

motorik

yang

rumit.

3) Perkembangan Kognitif: kemampuan mental mencapai puncaknya;
kapakaran dan keterampilan pemecahan masalah praktis tinggi, hasil
kreatif menurun, tapi meningkat dalam kualitas. keberhasilan karir bisa

27
Universitas Sumatera Utara

mencapai puncaknya; namun burnout dan perubahan karir bisa muncul. 4)
Perkembangan Bahasa: Crystallized intelligence meliputi pengetahuan
linguistic meluas. 5) Perkembangan Emosi: emosi negatif seperti marah
dan takut menjadi kurang intens. Kebanyakan merasa optimis akan masa
lalu, kini, dan masa depan. 6) Perkembangan Sosial: Jaringan sosial
cenderung mengecil namun lebih intim. Tanggung jawab ganda mengasuh
anak dan orang tua bisa menyebabkan stres. Anak-anak pergi dari rumah
menghasilkan keadaan empty-nest. 7) Perkembangan identitasdiri/gender:
Kesadaran identitas terus berkembang dan transisi usia madya dapat
muncul. 8) Perkembangan Moral: Penilaian moral bisa menjadi lebih
rumit.
E. 3 Tugas Perkembangan Masa Dewasa Madya
Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1991), tugas perkembangan
pada masa dewasa madya adalah: 1) Melakukan penyesuaian dengan
berbagai perubahan fisik yang normal terjadi pada masa ini. 2) Memenuhi
tanggung jawab sosial sebagai warga negara, mengembangkan minat pada
waktu luang yang berorientasi pada keluarga. 3) Memantapkan dan
memelihara standar hidup yang mapan. 4) Mempersiapkan diri memasuki
masa pensiun, dan 5) Menghubungkan diri sendiri dengan pasangan
sebagai individu, menyesuaikan diri dengan orang tua yang lanjut usia,
membantu anak remaja menjadi orang dewasa yang bertanggungjawab dan
bahagia.

28
Universitas Sumatera Utara

Tugas-tugas perkembangan ini mengarahkan individu untuk
menyesuaikan

diri

menuju

masa

tua.

Penguasaan

tugas-tugas

perkembangan pada masa ini penting untuk kesejahteraan di masa tua
(successful aging) hingga pada tahun-tahun terakhir kehidupan.
E. 4 Midlife Crisis (Krisis pada masa Dewasa Madya)
Pada masa ini terjadi berbagai perubahan dalam kepribadian dan
gaya hidup. Masa yang konon penuh stres ini dipicu oleh pengkajian dan
evaluasi kembali kehidupan seseorang (Papalia dkk, 2009). Krisis dewasa
madya dikonseptualisasikan sebagai sebuah krisis identitas, bahkan
disebut masa remaja kedua.
Beberapa orang bisa mengalami krisis dewasa madya, namun
beberapa yang lain justru berada di puncak kekuatan. Sebagian yang lain
berada diantara keduanya. Masa dewasa madya adalah satu titik balik
kehidupan, yang berupa transisi psikologis yang melibatkan perubahan
yang signifikan dalam makna, tujuan, arah kehidupan.

F. Dinamika

Kecemasan

Menghadapi

Masa

Pensiun

dengan

Keharmonisan Pernikahan pada Karyawan Badan Usaha Milik
Negara (BUMN)
Kerja

adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah

(KBBI, 2015). Bekerja merupakan cara yang bisa dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan dasar manusia (sandang/pakaian, pagan/makanan,
papan/tempat tinggal, dsb), pertemanan, kesehatan, dan keuangan

29
Universitas Sumatera Utara

(Hurlock, 1991). Selain itu, menurut Sarwono (2002) bekerja juga mampu
membuat seseorang memenuhi kebutuhan harga diri, yaitu pertama;
kebutuhan akan kekuatan, penguasaan, kompetensi, percaya diri,
kemandirian, dan kedua; kebutuhan akan penghargaan dari orang lain,
status, kepopuleran, dominasi, kebanggaan, perasaan dianggap penting,
dan diapresiai orang lain.
Jika seseorang bekerja pada sebuah perusahaan formal maka akan
dikenai peraturan mengenai batas usia masa kerja yang disebut dengan
istilah pensiun (Kimmel, 1991). Pensiun membawa banyak perubahan
diantaranya perubahan atau penghilangan sumber keuangan, hilangnya
status sosial, terjadinya pemutusan hubungan kerja dengan perusahaan dan
rekan kerja, serta munculnya banyak waktu luang, Banyaknya perubahan
yang terjadi pada masa ini membuat pensiun sering dianggap sebagai masa
krisis (penelitian Rachmad, dkk, 1991).
Menurut Unger dan Crawford (dalam Foster, 2008), sikap
mengenai pensiun terdiri dari dua, yaitu sikap positif dan sikap negatif.
Seseorang dianggap memiliki sikap positif terhadap pensiun jika ia
menganggap pensiun sebagai suatu kebebasan dari sekian tahun bekerja,
kesempatan yang baik untuk berpergian dan berlibur, melakukan hobi, dan
memanfaatkan waktu luang. Sebaliknya, seseorang yang memiliki sikap
negatif terhadap pensiun memaknai pensiun sebagai situasi yang
membosankan, melakukan penarikan diri dan muncul perasaan tidak
berguna. Sayangnya, sikap negatif terhadap pensiun diindikasikan sebagai

30
Universitas Sumatera Utara

faktor terkuat munculnya kecemasan menghadapi masa pensiun dalam diri
seseorang (Foster, 2008).
Kecemasan mengenai pensiun salah satunya disebabkan oleh
perihal keuangan(Santrock, 2009). Perubahan yang signifikan menurun
pada keuangan membuat calon pensiunan merasakan kecemasan tentang
kehidupannya dan keluarga setelah pensiun nanti (Gallo, Bradley, Siegel,
& Kasl, 2000). Dari populasi calon pensiunan dunia, seperempatnya lagi
gagal mengumpulkan tabungan yang signifikan memadai untuk masa tua
(Papalia dkk, 2009). Masalah keuangan besar kemungkinan akan dialami
oleh karyawan BUMN yang hanya memperoleh pesangon yang diberikan
satu kali saat ia pensiun (Fendisidy, 2015), dan juga akan lebih besar
dialami oleh suami sebagai orang yang wajib melindungi istrinya dan
memberikan segala keperluan ekonomi dan rumah tangga sesuai dengan
kemampuannya (UU No. 1 Tahun 1974 tentang Hak dan Kewajiban
suami-istri).
Selain itu, status sosial yang baik dan perasaan menjadi superior
merupakan salah satu aspek terbentuknya kesejahteraan individu yang
sebagian besar dipengaruhi oleh tempatnya bekerja. Keadaan pensiun akan
membuat seseorang kehilangan statusnya, semakin baik status seseorang
di lingkungan kerja dan masyarakat maka semakin besar pula
kemungkinan individu tersebut mengalami kecemasan jika kehilangan
statusnya (Solinge dan Henkens, 2005). Saat ini perusahaan-perusahaan
BUMN tumbuh dengan baik dan memuaskan, karena kualitas yang baik

31
Universitas Sumatera Utara

pada SDM, dan karyanya yang tidak kalah dengan perusahaan-perusahaan
internasional (Bamboe Doea Team, 2014).
Kinerja karyawan BUMN pun sangat dipengaruhi oleh hubungan
sosial dengan rekan kerja, karena pola kerja BUMN bersifat kolektif dan
mengerjakan tugas bersama-sama (Susilawati dan Widyasari, 2012).
Individu yang memiliki hubungan yang kuat dengan pekerjaan dan rekan
kerjanya akan mengalami kesulitan saat menghadapi pensiun (Taylor dan
Shore, 1995). Seperti yang sudah diketahui sebelumnya bahwa hilangnya
kontak dengan rekan kerja adalah salah satu faktor yang bisa
mendatangkan kecemasan menghadapi masa pensiun.
Kondisi yang stressful dan mencemaskan berakibat buruk pada
kesehatan (Santrock, 2009). Demikian halnya dengan pensiun yang berada
di peringkat ke-10 untuk kejadian-kejadian yang menimbulkan stress
(berdasarkan penelitian oleh Holmes & Rahe, dalam Foster, 2008). Stress
akan berakibat pada penurunan kesehatan fisik dan mental (Suardiman,
2011). Kecemasan dan kondisi mental yang buruk akan berdampak negatif
pada pernikahan dan sebaliknya (Papalia, dkk, 2009).
Penelitian The Cornell Retirement and Well Being Study(dalam
Foster 2008) menemukan bahwa keadaan sebelum dan sesudah pensiun
mengubah pola interaksi keluarga, membuat pasangan dan anggota
keluarga lain harus beradaptasi kembali untuk keselarasan kehidupan
mereka sehari-hari (dalam Newman & Newman, dalam Foster, 2008).
Penelitian oleh Henkens dan Solinge (2002) menunjukkan bahwa banyak

32
Universitas Sumatera Utara

pasangan menganggap keadaan pensiun akan meningkatkan kemungkinan
konflik diantara mereka karena munculnya terlalu banyak waktu
kebersamaan diantara pasangan, penurunan waktu untuk kebebasan
pribadi dan privasi, pembagian tugas rumah tangga yang baru bisa saja
tidak cocok bagi salah satu atau keduanya, penurunan finansial juga akan
berdampak negatif pada pasangan. Penelitian tersebut juga menunjukkan
bahwa pasangan dari individu yang akan pensiun mengalami kesulitan
yang lebih besar untuk beradaptasi dengan keadaan baru pasangannnya
kelak.
Hal diatas cukup mengkhawatikan karena berdasarkan penelitian
Psikologi

Kesehatan

pasangan

merupakan

sumber

penting

agar

pasangannya terhindar dari gangguan psikologis. Dukungan dari pasangan
sangat dibutuhkan untuk terhindar dari depresi dan perasaan kesepian
setelah terlepas dari lingkungan pekerjaan (Osborne, 2012). Hal ini tidak
didapatkan kecuali dari keadaan dan kualitas pernikahan yang baik.
Kualitas pernikahan dianggap berkontribusi bagi kemampuan
seseorang menghadapi masa pensiun (Solinge dan Henkens, 2005).
Kualitas pernikahan yang berkembang sebelum masa pensiun sangat
mempengaruhi terciptanya pernikahan yang memuaskan setelah masa
pensiun (Hurlock, 1991). Jika kualitas pernikahan yang dibangun sebelum
pensiun memuaskan maka keadaan pernikahan akan tetap memuaskan
setelah pensiun (Cavanaugh dan Fields, 2006).

33
Universitas Sumatera Utara

Penelitian oleh Fatima dan Ajmal pada tahun 2012 menemukan
bahwa kepuasan pernikahan merupakan salah satu faktor pembentuk
pernikahan yang harmonis. Menurut David H. Olson dan Amy K. Olson
(dalam Lestari, 2012) pernikahan yang harmonis ditandai dengan adanya
aspek-aspek berikut; komunikasi, fleksibilitas, kedekatan, kecocokan
kepribadian, resolusi konflik, relasi seksual, kegiatan di waktu luang,
keluarga dan teman, pengelolaan keuangan, dan keyakinan spiritual.
Dengan demikian pernikahan yang harmonis akan dibutuhkan untuk
menghadapi masa pensiun agar individu mendapatkan kesejahteraan di
masa tua.

G. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah ada hubunganantara keharmonisan pernikahan
dengan kecemasan menghadapi masa pensiun pada Karyawan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN).

34
Universitas Sumatera Utara