Artikel Wahana Dedi Baru

“KULDESAK” PENULISAN SEJARAH SRIWIJAYA DALAM MATA
PELAJARAN SEJARAH DI SEKOLAH: SEBUAH WACANA AWAL
Oleh: Dedi Irwanto

Abstrak
Kajian ini sebagai wacana untuk mendesak perlunya sebuah penulisan sejarah yang
luas tentang sejarah Sriwijaya. Maka permsalahan utama dalam kajian ini adalah
mengapa perlu diadakan pelurusan sejarah Sriwijaya tentang lokalitas pusat
Sriwijaya tersebut? Bagaimana contoh tulisan tentang lokalitas Sriwijaya yang perlu
ada dalam buku teks sejarah di sekolah dengan sebuah pendekatan baru. Kuldesak
dalam penulisan tersebut disebabkan karena munculnya narasi “mengambang”
tentang pusat Sriwijaya. Oleh karena itu, perlu wacana yang ditawarkan dalam
tulisan ini menggunakan pendekatan dekonstruksi kota ritual keagamaan atau kota
suci, konsep-konsep kota suci tersebut perlu digunakan karena Sriwijaya indetik
sebagai kerajaan Buddha.
Kata Kunci: Penulisan Sejarah, Sejarah Sriwijaya, Kuldesak, Lokasi Pusat.

A. Pendahuluan
Berdasarkan bukti arkeologis
dan sumber asing, layaknya kebesaran
Sriwijaya tidak dapat terelakkan, dapat

dikatakan Sriwijaya ”ada di manamana”, karena memang temuan
jejaknya dapat ditelusuri, mulai dari
Jawa, Pulau Sumatera, Semenanjung
Malaya, hingga daratan India. Di
bidang
perdagangan,
Kerajaan
Sriwijaya
mempunyai
hubungan
perdagangan yang sangat baik dengan
saudagar dari Cina, India, maupun
Arab. Hal itu bisa dipastikan dari
temuan mata uang Cina yang berasal
dari periode mulai dari Dinasti Song
(960-1279 M) sampai Ming (abad 1417 M).
Kebesaran
Sriwijaya
juga
terlacak dari peninggalan di India dan

Jawa. Prasasti Dewapaladewa dari
Nalanda, India, abad ke-9 Masehi
menyebutkan, Raja Balaputradewa dari

Swarnadipa (Sriwijaya) membuat
sebuah biara. Prasasti Rajaraja I tahun
1046 mengisahkan pula, Raja Kataha
dan
Sriwiyasa
Marawijayottunggawarman
dari
Sriwijaya menghibahkan satu wilayah
desa
pembangunan
biara
Cudamaniwarna, nama ayahnya, di
kota Nagipattana, India. Manuskrip
sejarah, seperti Kitab Sejarah Dinasti
Song dan Dinasti Ming, berada di
Cina.

Raja Sriwijaya juga mendukung
penuh pembangunan Candi Borobudur
di Pulau Jawa yang terbuat dari batu
gunung.
Sedangkan
candi-candi
peninggalan Sriwijaya di Sumatra,
karena lokasinya jauh dari gunung
semuanya terbuat dari batu bata yang
cepat aus dimakan zaman.
Munculnya
narasi
sejarah
”mengambang” tentang lokalitas pusat

Nomor 12 Tahun VIII Januar i 2008 ------------------------------------------------ ( 56 )

Sriwijaya
tersebut,
melahirkan

kebingungan
tersendiri,
baik
dikalangan pendidik maupun peserta
didik ataupun juga ”mantan” peserta
didik.
Sebagai contoh,
penulis
melakukan sedikit observasi terhadap
sepuluh sampel yang terdiri dari
pendidik, peserta didik, mulai dari
tingkat
sekolah
dasar,
sekolah
menengah, perguruan tinggi dan
mantan siswa serta alumni mahasiswa.
Menariknya, ternyata hasil dari
observasi dengan pertanyaan tunggal,
“di mana pusat Sriwijaya?” , justru

menghasilkan jawaban yang sama
mengambangnya, bahkan sampel guru
menceritakan, ia mengalami kesulitan
menjelaskan pusat Sriwijaya karena
narasi dibeberapa buku teks dan
pegangan sekolah tentang pusat
Sriwijaya tersebut sangat samar dan
tidak jelas.
Dengan keadaan seperti ini,
mestinya penulisan sejarah Sriwijaya,
meminjam istilah Asvi (2006), perlu
diadakan pelurusan kembali, terutama
untuk memperjelas lokasi pusat
Sriwijaya pada buku-buku ajar sejarah
di sekolah.
Berdasarkan uraian di atas,
maka muncul dua permasalahan, yakni
mengapa perlu diadakan pelurusan
sejarah Sriwijaya tentang lokalitas
pusat Sriwijaya tersebut? Serta, meski

masih terlalu dini, singkat dan belum
terlalu tajam narasinya, bagaimana
contoh konstruksi tentang lokalitas
Sriwijaya yang perlu ada dalam buku
teks sejarah di sekolah.

B “Kuldesak” Dalam (Pelurusan
Kembali)
Penulisan
Sejarah
Sriwijaya
Pascakolonial, bukan saja mulai
banyak diselipi oleh ahli sejarah
Indonesia diantara sarjana sejarah
asing, tetapi pembantahan teori
penulisan sejarah Sriwijaya dengan
lokasi pusatnya di Palembang,
kemudian mengalir deras. Mula-mula
Poerbatjaraka (1952) menyimpulkan
bahwa pusat Sriwijaya ada di Jawa.

Yang
menarik
dari
uraian
Poerbatjaraka adalah penyebutan yang
berbeda-beda tentang raja Sriwijaya
dalam prasastinya. Satu piagam
menyebutnya dengan gelar punta
(dapunta hyang) dan yang lain dengan
sebutan maharaja.
Poerbatjaraka
berkeyakinan
bahwa penyebutan maharaja dilakukan
setelah Sriwijaya menyerang Pulau
Jawa, dan Raja Jawa, Sanjaya,
melarikan diri ke daerah pegunungan
Dieng, dengan demikian Jawa dapat
dikalahkan oleh Sriwijaya. Namun,
Sanjaya dari pegunungan ini kemudian
dapat mempersiapkan diri untuk

membalas dan berhasil mengalahkan
Sriwijaya, dan keturunannya nanti
yang memakai gelar Sailendra
dinobatkan di Sriwijaya dengan
memakai gelar Maharaja, Rakai
Panangkaran. Panangkaran kemudian
menyerang Jawa kembali dengan
menaklukan
saudaranya,
yaitu
Dewashimha yang melarikan diri ke
Dinayah (Malang).
Rakai Panangkaran menjadi
raja Sriwijaya yang berkedudukan di
Jawa. Tafsir Poerbatjaraka tersebut,
berdasarkan cerita Aji Saka, namun

Nomor 12 Tahun VIII Januar i 2008 ------------------------------------------------ ( 57 )

oleh beberapa sejarawan peristiwa

dalam narasi Aji Saka belum banyak
memuat pembuktian yang kuat, karena
penuh dengan mitos.
Soekmono (1958), kemudian
memberi tafsir tentang lokalisasi
Sriwijaya yang berbeda dengan ahli
sejarah lainnya dengan pendekatan
baru yang digunakan juga berbeda.
Soekmono
dengan
pendekatan
geomorfologi,
pada
intinya,
menyangkal pusat Kerajaan Sriwijaya
di Palembang, ia melokasikannya di
Jambi.
Soekmono untuk memperkuat
teorinya mula-mula menyamakan Sanfo-tsi dengan toponim Tembesi. Ia
beranggapan, pusat Sriwijaya harus

berada ditempat yang strategis, di
mana tempat tersebut harus menguasai
sepenuhnya jalur lalu lintas pelayaran
dari Cina ke India dan sebaliknya.
Soekmono, yang kemudian diperkuat
dengan tulisan keduanya, Sekali Lagi
Tentang
Lokalisasi
Sriwijaya
menyimpulkan bahwa pusat Sriwijaya
di Jambi dengan statemen:
... tidak ada pendapat yang
menyokong
Moens
untuk
melokalisasikan Sriwijaya di
Muara Takus... maka kiranya
dapat
disimpulkan
bahwa

kedudukan Jambi semakin kuat
.....(Soekmono, 1979: 82)
Sebenarnya
pendapat
Soekmono tersebut, dengan sendirinya
diantam oleh Muljana (1960), dengan
bukunya yang berjudul Sriwijaya.
Muljana dalam buku tersebut berbicara
panjang lebar dengan sekali lagi
memperkuat pendapat Coedes tahun

1900-an. Pendapat Muljana pada tahun
1960 tersebut, kemudian mengalami
perubahan signifikan ketika ia menulis
buku keduanya Kuntala, Sriwijaya dan
Suwarnabhumi.
Pendapatnya pada tahun 1960an sebelumnya, yang nampaknya
sedikit meredakan pendapat kepastian
lokasi Sriwijaya di Palembang, ia
bongkar sendiri dengan reinterpretasi
baru dan berbeda dengan sebelumnya.
Buku kedua Muljana (1981) tersebut
yang merevisi buku pertamanya
kembali mengangatkan dan semakin
“mengambangkan” narasi tentang
lokasi pusat Sriwijaya.
Yang menarik dari buku kedua
Muljana ini adalah pertama, tafsirnya
atas periode Sriwijaya yang berbeda
dengan pendapat-pendapat ahli sejarah
sebelumnya.
Menurut
Coedes,
periodesasi Sriwijaya membentang
mulai abad ke-7 sampai awal abad ke14 Masehi, namun Muljana berdasar
rekonstruksi atas berita Cina, membagi
masa Sriwijaya dalam tiga babak,
sesuai dengan judul bukunya. Periode
pertama, zaman Kuntala sebagai masa
awal Sriwijaya yang membentang
sebelum abad ke 7, bahkan ditarik
sampai abad ke-3-4 Masehi. Periode
kedua, zaman Sriwijaya sebagai
perkembangan
pertamanya,
dan
periode ketiga zaman Suwarnabhumi
sebagai perkembangan keduanya.
Yang kemudian ditutup, narasi zaman
Samudera yang dianggap sebagai masa
awal kerajaan Islam di Sumatera.
Yang menarik kedua dari
pendapat Muljana di buku keduanya
ini adalah apa yang semula diyakini
sebagai pengertian sama atas tafsir

Nomor 12 Tahun VIII Januar i 2008 ------------------------------------------------ ( 58 )

antara Shih-li-fo-shih dan San-fo-ts’i
sebagai terjemahan Sriwijaya dari
tulisan Cina, kemudian dibongkar
konstruksinya oleh Muljana sebagai
tafsir baru yakni Shih-li-fo-shih
sebagai terjemahan Sriwijaya sendiri
dan San-fo-ts’i sebagai terjemahan
baru dengan pengertian yang mengacu
ke kata Kerajaan Suwarnabhumi yang
tidak pernah muncul sebelumnya.
Dus, tafsir atas toponim ini
lebih jauh kemudian berpengaruh pada
pengertian lokasinya, di mana ia
melokalisasikan Sriwijaya tetap di
Palembang, tetapi Suwarnabhuminya
diletakkannya di Jambi. Jadi, berdasar
tafsir baru Muljana tersebut, boleh
dikatakan setengah pendapatnya tetap
berpihak pada teori Coedes, namun
setengahnya lagi ia palingkan pada
pembenaran untuk teori Soekmono,
yang sebelumnya ia bantah.
Inilah yang menyebabkan,
semakin
mengentalnya
narasi
“mengambang” tentang lokasi pusat
Sriwijaya. Oleh karena itu, tampaknya
persoalan ini perlu dibutuhkan sebuah
kata “kuldesak” untuk pelurusan
kembali penulisan sejarah Sriwijaya.
Kuldesak berkenaan dengan “sesuatu”
yang mesti mengalami perubahan yang
mendesak, dalam hal ini demi sebuah
kata “mencari kepastian” tentang
sebuah lokasi pusat Sriwijaya.
Menariknya,
pada tingkat
lokal, Ismail (2003) kemudian menulis
buku tentang Sriwijaya dengan judul
Periodesasi Sejarah Sriwijaya, dalam
bukunya
ini
tanpa
bermaksud
mengesampingkan
keilmuan
penulisnya dalam bidang sejarah, ia
kemudian meletakkan titik pusat

masalahnya pada persoalan toponim
“Minanga”, sebagai asal usul tempat
pusat Sriwijaya yang terbaitkan dalam
prasasti Kedukan Bukit. Posisi
Minanga tersebut diposisikannya pada
suatu
daerah
Minanga,
Ogan
Komering Ulu Timur sekarang ini.
Ismail
(2003)
melihatnya
dengan pendekatan kemiripan dan
keserupaan nama dalam prasasti
Kedukan
Bukit
tersebut
serta
menganggap bahwa pada zaman purba
daerah ini terletak di tepi pantai
ditambah kedudukan bahasa Komering
sebagai cikal bakal bahasa Melayu
Kuno atau Proto Melayu, tetapi
sayangnya tafsirnya tidak diikuti
dengan pembuktian secara ilmiah.
Pendapatnya
tersebut
cenderung
bermuatan kronik mitologi, sebagian
pendapatnya dikutip sebagai berikut:
Dalam pertapaannya Jaya
Naga meminta restu dan
memohon
petunjuk
dan
kekuatan dari sang Ghaib di
Gunung Seminung untuk
menaklukkan tempat-tempat
yang strategis agar dapat
menguasai jalur pelayaran di
Laut Cina Selatan.... Untuk
mewujudkan
cita–citanya
tersebut Dapunta Hyang Sri
Jaya
Naga
melakukan
konsolidasi dengan daerah
belakang yang satu rumpun
yaitu rumpun Sakala Bhra
(Purba)...
Sepulang
dari
penaklukan daerah belakang
makin
kuatlah
pasukan
kerajaan Sriwijaya yang di
dukung
oleh
pasukan
tambahan dari satu rumpun,

Nomor 12 Tahun VIII Januar i 2008 ------------------------------------------------ ( 59 )

pasukan atau laskar sriwijaya
terkenal akan keberanian, dan
kekuatannya
mulai
melakukan
expansi
pertamanya yaitu dia harus
menaklukan
Tanjung
Palembang dan menunjuk
Mukha Upang (Kedukan
Bukit) di daerah Palembang
sebagai titik temu...dengan
membawa 20.000 (duapuluh
ribu) pasukannya dengan
1.312 berjalan kaki melalui
daratan atau hutan belantara
dan sebagian lagi membawa
perahu mengikuti perairan...
Pada tanggal 16 Juni 683
Masehi atau sekitar tujuh hari
perjalanan
sampailah
rombongan pasukan yang di
pimpin Dapunta Hyang Sri
Jaya Naga di Muka Uphang.
Perjalanan pasukan Sriwijaya
mendapat kemenangan besar
sehingga
memberikan
kepuasan bagi Sang Raja
Dapunta Hyang Sri Jaya
Naga, kemudian Sang Raja
memerintahkan
untuk
membuat bangunan atau
rumah (barak) untuk tempat
para laskar Sriwijaya yang
berjumlah 2 laksa laskar
Sriwijaya,
untuk
mengabadikan kemenangan
tersebut di pahatlah Prasati
Kedukan Bukit...
Sekali lagi tampaknya, karena
kelamahan
dalam
pembuktian
ilmiahnya tafsir dari Ismail tersebut,
kembali kurang mendapat respon

dalam memposisikan
Sriwijaya.

lokasi

pusat

C. (Mencoba) Rintisan (Mencari)
Tafsir Baru Atas Lokasi Pusat
Sriwijaya
Jika berbagai pendekatan, baik
arkeologis, epigrafi, geologis, dan
geomorfologis di atas tampaknya
semakin mengusutkan benang merah
tentang lokasi pusat Sriwijaya, maka
pertanyaan yang pantas dilontarkan
adalah pendekatan bagaimana dan apa
lagi yang setidaknya “menyembati”
berbagai
persepsi
berbeda
ini,
sehingga
narasi
“mengambang”
tentang lokasi pusat Sriwijaya dan
kebingungan para penggemar sejarah
Sriwijaya di sekolah dapat sedikit
berkurang.
Dalam tulisan ini, ada sebuah
pendekatan yang ingin dituangkan,
namun pendekatan ini baru pada
tataran wacana dan untuk itu perlu
ditindaklanjuti
dengan
sebuah
penelitian luas. Pendekatan ini adalah
pendekatan dekonstruksi keruangan
kota Sriwijaya, pendekatan ini berawal
dari konstruksi ruang kota ritual
keagamaan. Pendekatan ini penting,
karena Sriwijaya adalah sebuah
kerajaan beragama Buddha, dengan
demikian di atas dapat diterapkan
sebuah konstruksi ruang ritual
keagamaan Buddha itu sendiri.
Pendekatan baru ini, selanjutnya akan
berujung pada suatu kesimpulan dalam
memahami kota manakah yang lebih
layak sebagai pusat Sriwijaya.
Pendekatan konstruksi ruang
kota
ritual
mencoba
melihat
bagaimana masyarakat atau penguasa

Nomor 12 Tahun VIII Januar i 2008 ------------------------------------------------ ( 60 )

kota, dalam hal ini kota zaman
Sriwijaya tersebut,
mereproduksi
bentuk kosmos di muka bumi.
Sriwijaya sebagai pusat agama Buddha
tidak dapat disangsikan lagi, baik dari
bukti arkeologis maupun berita asing.
Konstruksi dalam agama Buddha
menyakini dan memandang makna
keberadaan ordo manusia sebagai hasil
ciptaan manusia itu sendiri secara
natural. Akibatnya, pada konsep
agama seperti ini, menurut Isaac
(1961: 12ff) banyak dianut di Asia,
ruang sakral sebagai legitimasi
reproduksi bentuk kosmos, diciptakan
dengan mengimitasi tata bentuk
kosmos, maka yang terlihat di kota
agama tipe seperti ini dampak
pengaruh konsep agama terhadap
penciptaan lanskap bisa sangat besar.
Berdasarkan hal ini, nantinya
akan terindikasi bagaimana kota-kota,
kuil-kuil dan monumen-monumen
dibuat sebagai tiruan kosmos, yang
disana juga tampaknya ada tempattempat tertentu yang diyakini sebagai
tempat
yang
secara
instrinsik
diciptakan “Tuhan” lebih suci dari
yang lain. Nilai kesucian tempat
tersebut, pertama-tama harus disebar
luaskan, kemudian ditetapkan sebagai
titik pusat yang abadi, dari sini, titik
tersebut, kesucian akan menyebar ke
segala penjuru. Jadi, nantinya memalui
titik inilah poros dunia bermula, dan
poros dunia ini biasanya dilambangkan
sebagai pilar dunia, misalnya dalam
bentuk sekuntum bunga matahari atau
gunung atau bentuk lainnya yang
sakral. Yang menjadi pertanyaan,
kalau dekonstruksinya seperti ini,
dimanakah pilar dunia kota Sriwijaya

tersebut, walau harus dijabarkan lebih
panjang lebar dan ini memang suatu
keharusan nantinya jika ditindaklanjuti
menjadi sebuah penelitian, pilar dunia
kota Sriwijaya berdasar literatur yang
dibaca dapat dikatakan terletak di
“Bukit Siguntang”, tidak ada tempat
lain dalam literatur tentang Sriwijaya
yang dibaca mendekati kesempurnaan
bentuk poros dunia bermula seperti ini,
misalnya di Jambi, Riau, Perak,
Malaysia, atau Ligor dan Ca’iya di
Tahiland Selatan yang selama ini
diperdebatkan sebagai pusat Sriwijaya.
Menariknya, menurut Eliade
(1986: 22), jika tempat, sebagai poros
dunia ini, tidak menunjukkan tandatanda kesucian intriksik yang nyata,
yang biasanya dianggap “liar” atau
terjadi
“chaos”,
maka
proses
penciptaan dunia harus diulangi secara
simbolis. Maka dapat dipahami
misalnya dalam isi Prasasti Kedukan
Bukit terdapat sebuah kata Sriwijaya
jayasiddhayatra subhiksa, perjalanan
atau arak-arakan jaya Sriwijaya
memuaskan. Jadi, pencarian pilar
dunia kota Sriwijaya dilakukan dengan
sebuah perjalanan jaya yang munkin
saja dilakukan dari poros dunia yang
telah terjadi chaos sebelumnya.
Jadi dalam tata konsep kota
agama tersebut, sebuah kota dibangun
dibangun dengan meniru tata bentuk
arketipe
kosmos,
simbolisme
arsitektural yang memiliki kaitan
dengan titik pusat. Dalam tata kota
suci seperti itu, menurut Eliade (1986:
25), ada tiga simbol utama yang
berhubungan dengan dan dimiliki oleh
suatu pusat, yakni pertama sebuah
gunung, biasanya gunung suci tempat

Nomor 12 Tahun VIII Januar i 2008 ------------------------------------------------ ( 61 )

terartikulasikannya surga dan dunia.
Kedua, kuil, istana atau monumen
ritual yang dipandang sebagai gunung
suci dan dengan demikian merupakan
pusatnya. Ketiga, kota suci atau kuil
suci yang merupakan pilar dunia dan
dengan demikian merupakan artikulasi
antara surga, dunia, dan dunia arwah.
Kalau
ini
dibaca
dan
dicocokkan dengan literatur yang ada,
tampaknya tidak ada penciptaan
lanscap simbolisme kota suci tersebut
yang terdapat di Jambi, Riau, Perak,
Malaysia, atau Ligor dan Ca’iya di
Tahiland
Selatan,
kecuali
di
Palembang. Lanscap gunung suci
tampaknya di Bukit Siguntang, Istana
di daerah Taman Purbakala Kerajaan
Sriwijaya (TPKS) sekarang ini, yang
membentang mulai dari Padang Kapas,
Kambang Unglen sampai ketepian
Musi, Kuil Suci dapat dilokasikan di
Telaga Batu, Sabukingking sekarang
ini.
Meskipun
ini
merupakan
penafsiran kasar dan awal, namun jika
diteliti lebih jauh konstruksi lanscap
seperti ini dapat dijelaskan dengan
baik. Hal ini sebenarnya, cocok
dengan pendapat Pierre-Yves Manguin
yang pada tahun 1992 dan 1993
membuktikan bahwa pusat Sriwijaya
berada di Sungai Musi antara Bukit
Siguntang dan Sabokingking.
Jadi, dengan tata konsep kota
agama tersebut, tampak sebuah kota
kayangan, dimana terdapat sebuha
tempat
berkomunikasi
sehingga
dianggap sebagai artikulasi antara
surga dan bumi. Artinya, kota sebelum
dibentuk awalnya merupakan tempattempat upacara ritual, yang menurut
(Wheatley, 1967; 25-26), kemudian

berubah menjadi pusat kota dan
lingkungannya
terus
menerus
mengalami
urbanisasi.
Menurut
literatur yang dibaca, tempat seperti ini
tidak dapat diilustrasikan di kota
manapun yang dianggap dan dicap
sebagai kota pusat Sriwijaya, selain di
Palembang.
Lebih
jauh
Wheatley
berpendapat, bahwa dari titik kesucian
tempat-tempat suci tersebutlah, pada
peringkat apapun, akan memnacar
empat cakrawala ke empat penjuru
mata angin sehingga teritorialnya,
yang bersifat kuasa dapat terakumulasi
dengan
susunan
kosmos
dan
menciptakan sebuah ruang suci atau
habitabilis. Ruang suci ini membingkai
ruang dimensi tempat penyelenggaraan
ritual-ritual penting untuk memastikan
keselarasan antara makro-kosmos dan
mikro-kosmos, yang bertujuan demi
terciptanya kemakmuran di dunia
manusia.
Berdasarkan hal ini, dapat
dipahami jika dalam beberapa literatur
dan bukti arkeologis, jika Sriwijaya
adalah sebuah kerajaan berbentuk
mandala. Menurut Utomo ada tiga
prasasti yang bisa dijadikan pijakan
kuat untuk menyimpulkan pusat
Kerajaan Sriwijaya di Palembang,
yakni Kedukan Bukit, Telaga Batu dan
Talang Tuo yang terletak di
Palembang serta cakrawala empat
penjuru anginnya yang terdiri dari
utara Parasasti Karang Birahi di Jambi,
Selatan ada Prasasti Palas Pasemah di
Lampung dan Timur ada Prasasti Kota
Kapur di Pulau Bangka.
Konstruksi ritual kota agama
Buddha di Sriwijaya tersebut, dalam

Nomor 12 Tahun VIII Januar i 2008 ------------------------------------------------ ( 62 )

konsep ini, bercirikan dualisme etika,
buka dualisme kosmos. Menurut Evers
(1972: 104), dualisme etika, biasanya
akan berhadapan antara konsep
lokottara dan laukika.
Lokottara,
dunia lain terkait dengan dunia nanti
setelah
kelahiran
kembali
dan
berhadapan dengan laukika atau dunia
ini, yang terkait dengan dunia manusia
sekarang.
Dalam konteks Chough (1982:
544), ada pertalian antara sang Buddha
dan para dewa melalui kedua orientasi
tata nilai yang berlawanan ini. Artinya,
raja memiliki posisi, secara teoritis ia
berada didunia lokottara sebab
berkaitan dengan unsur uttara,
kedigdayaan, kedaulatan tertinggi tetap
dalam prakteknya, raja pasti terlibat
dalam urusan duniawi, laukika. Ketika
berada di dunia lokottara, ia menjadi
Bodhisatwa, sang Buddha dan ketika
berada di laukika ia menjelma menjadi
Chakkravarthin, penakluk dunia, ingat
epiteton “pembunuh atau penggempur
musuh-musuh”, dalam prasasti Ligor
B.
Menurut konsep Evers (1969),
dalam tataran seperti itu, raja sebagai
pelindung Sangha dalam agama
Buddha, maka dari itu ia mendirikan
biara-biara dan ia memberikan tanahtanah yang luas. Maka hal ini dapat
dilihat dalam isi-isi prasasti raja-raja
Sriwijaya: ... Laghu mudita datang
maruwuat wanua, “dengan lega
gembira datang membuat wanua”...
wiara ini di wanua ini (bait ke-9
Prasasti Kedukan Bukit) ... dgan tawad
talaga sawanyaknya yang wuatku
sucarita
parawis
prayojanakan
punyanya sarwwasatwa sacaracara

ware payanya tmu, “demikian pula
taman-taman lainnya dengan tebat dan
telaganya yang kubuat semuanya itu
dimaksudkan
demi
kebahagiaan
segenap makhluk, baik yang bergerak
maupun tidak bergerak” (bait ke-4
Prasasti Talang Tuwo) ... Raja
memegang peranan penting karena
dianggap sebagai mediator antara
laukika dan lokattara, antara Buddha
dan dewa.
Oleh karena itu, teori mengenai
gelar Dapunta Hyang dapat dipahami,
Dapunta dianggap sebagai gelar orang
yang berkedudukan tinggi di biara dan
dianggap agak aneh oleh Muljana
(1960: 152) jika kepala biara ikut
campur dengan urusan ketentaraan
serta agak aneh jika kepala biara
memberikan hadiah taman, tidak
hanya satu, kepada masyarakat, karena
menurut Muljana justru kebalikannya
kepala biaralah yang mendapat hadiah.
Sebaliknya menurut konsep di atas
sangatlah wajar raja Sriwijaya bergelar
Dapunta Hyang Sri Jayanaga, Dapunta
Hyang
gelar
lokattaranya,
Bodhisatwa, titisan sang Buddha, raja
adalah dewaraja agama Buddha, jadi
raja tidak dipandang sebagai dewa
karena bertentangan dengan agama
Buddha, raja setengah dewa dan Sri
Jayanaga gelar laukikanya, raja
penguasa yang adil, keadialan dan
karmanya membawa kemakmuran
bagi kerajaan, ia menjadi raja karena
karma dan kebajikannya.
Legitimasi
atas
kawasan
muncul dari raja sendiri, baik ia
sebagai
penguasa
yang
suci,
dharmaraja, atau sebagai penakluk
dunia,
chakkravadin.
Sebagai

Nomor 12 Tahun VIII Januar i 2008 ------------------------------------------------ ( 63 )

dharmaraja ia menjadi pemimpin ritual
suci, dan sebagai chakkravadin,
keberhasilannya dalam seranganserangan
militer
mencerminkan
kedigdayaan dan prestasi sang raja.
Jadi, kekuasaannya sebagai penakluk
dilegitimasi lewat agama. ...Dapunta
Hyang berangkat dari Minanga
Tamwa membawa dua laksa orang,
dua ratus orang di perahu, yang
berjalan seribu, 312 orang banyaknya,
datang dari matadanau (bait ke-4-7
Prasasti Kedukan Bukit)... tentara
Sriwijaya berangkat ke Bhumi Jawa,
karena Bhumi Jawa tidak berbakti
(bait terakhir Prasasti Kota Kapur)....
Jadi, berdasarkan uraian-uraian
sebagian dari konsep kota suci di atas,
dengan laukika dan lokottara, seperti
itu mestinya dapat dilacak di mana
kota lokasi pusat Sriwijaya, harusnya
kota pusat
Sriwijaya memiliki
konsepsi kota suci dengan dunia
laukika dan lokottara yang menjembati
sang rajanya dalam dunia, surga dan
dunia arwah. Maka dari semua litelatur
kota yang dianggap sebagai lokasi
pusat
Sriwijaya,
sekali
lagi
Palembanglah yang dapat dan bisa
serta memiliki semua landscap dengan
ekspresi sempurna seperti itu.
Tambahan lagi dalam sebuha
konsep kota ritual, biasanya selalu
diiringi dengan munculnya konsep
kota yang menyerupai kota-kota di
India, yang terbentuk berdasarkan
susunan berlapis teridir dari kota raja
yang ditopang sekelilingnya oleh
struktur kota pengrajin, seniman dan
seterusnya. Maka sekali lagi konsep
kota India seperti ini, tentang kota

pusat Sriwijaya hanya cocok untuk
kota Palembang.
Demikian
wacana
ini
diuraikan, meskipun ini hanya
merupakan narasi singkat dan pendek,
tetapi kalau diikuti dan ditindaklanjuti
dengan sebuah penelitian luas, maka
sebuah
keyakinan
akan
dapat
diharapkan, nantinya tulisan ini dapat
menjadi sebuah referensi simbolik kota
Sriwijaya dengan sebuah pendekatan
baru,
yang
dapat
menjembati
pendekatan
terdahulu
tentang
penulisan sejarah Sriwijaya, sehingga
narasi “mengambang” tentang pusat
Sriwijaya paling tidak menemukan
titik terangnya. Meskipun tampaknya
masih terburu-buru tetapi paling tidak
dapat membawa pada kepastian,
sehingga
tidak
menimbulkan
kebingungan, terutama di mata
pelajaran sekolah.
Pendekatan
ini,
tidak
mengenyampingkan sumber-sumber
terdahulu, namun sekali lagi misalnya
kalau sumber asing sebelumnya telah
dikonstruksikan oleh ahli sejarah
zaman neerlandosentrisme (kolonial),
kemudian direkonstruksikan zaman
Indonesiasentrisme
(sejarawan
nasional tahun 1950-akhir abad 20-an,
maka
sumber
tersebut
dapat
didekonstruksikan oleh penulis sejarah
zaman kini (pascakolonial).
D. Penutup
Wacana
yang
ditawarkan
dalam tulisan ini menggunakan
pendekatan konstruksi kota ritual
keagamaan
atau
kota
suci.
Berdasarkan konsep-konsep kota suci,
karena Sriwijaya indetik sebagai

Nomor 12 Tahun VIII Januar i 2008 ------------------------------------------------ ( 64 )

kerajaan Buddha, yang ditawarkan
dalam tulisan ini maka dari semua
literatur yang diacuh, terindikasi
konstruksi, landschap dan bentuk kota
suci ini ternyata tidak terdapat di kotakota lain yang dijadikan bahan
perdebatan mulai dari Jambi, Muara
Takus, Muara Inderagiri, Teluk
Kuantan, Perak di Malaysia, Ligor dan
Ca’iya di Tahiland Selatan, kecuali
kota Palembang sendiri.
Oleh karena itu, berdasar
pendekatan ini dapat dikatakan dan
disimpulkan meskipun tampaknya
kasar dan terburu-buru, Palembang
tidak diragukan lagi adalah Lokasi
Pusat Sriwijaya. Persfektif penulisan
baru sejarah Sriwijaya yang bertujuan
mencoba
meluruskan
kembali
penulisan sejarah Sriwijaya dengan
multiapproach
ini
diharapkan
menyembati pendekatan-pendekatan
lain, sekaligus dapat melokasikan
dengan pasti di mana pusat kerajaan
Sriwijaya.

Clough, B. 1982. Sinhalese-English
Dictionary.
Colombo:
Wesleyan Missions Press.
Coedes, George. 1919. “le Royaume
de Crivijaya”,. B.E.F.E.O.
XVIII. Termuat juga dalam
Kumpulan Coedes dan L. Ch.
Damais.
1989.
terj.
“Kedatuan
Sriwijaya:
Penelitian
Tentang
Sriwijaya”.
Jakarta:
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Eliade,

M. 1986. Kosmos und
Geschichte: Der Mythos der
ewigen Wiederkehr. Frankfurt
a. M.: Suhrkamp.

Evers, Hans-Dieter. 1967. “Monastic
Landlordism in Ceylon: a
Traditional System in a
Modern Setting”, dalam
Journal of Asian Studies,
Volume 28, Nomor 3, 1969,
hlm. 685-692.
Ferrand, Gabriel. 1922. “L’empire
Sumatranais de Srivijaya:
Relations de Voyages et
Textes Geographiques”. J.A.
tome CCII, 1922, h. 1-35.

DAFTAR PUSTAKA

Asvi, Warman Adam. 2006. Pelurusan
Sejarah
Indonesia.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Garraghan, Gilbert J. A Guide to
Historical Method. New
York: Fordham University
Press. 1963.

Beals, S. 1886. “The Situation of the
country called Shi-li-fo-shai”,
NBG, 24, 1886, I-V bijlage I.

Gottchalk, Louis. Mengerti Sejarah,
Terj. Nugroho Notosusanto.
Jakarta: UI Press. 1986.

Blagden, C.O. 1920. “The Empire of
the Maharadja, King of the
Mountains and Lord of the
Isles”. JMBRAS, Volume II,
p.t. 3, h. 258-263.

Groeneveldt, W.P. 1876. “Notes on the
Malay
Archipelago
and
Malacca, Compiled from
Chinese
Sources”,
VBG
XXXIX, 1876.

Nomor 12 Tahun VIII Januar i 2008 ------------------------------------------------ ( 65 )

Isaac, E. 1961. “The Act and the
Covenant: The Impact of
Religion on the Landscape”,
dalam Landscape Volume 11,
Nomor 2, Hlm. 12-17.
Ismail, Arlan. 2003. Periodesasi
Sejarah Sriwijaya.
Palembang: Unanti Press
Ivans,

Ivor H.N. 1932. “Cri
Visnuvarmasya”,
dalam
majalah Federated Malay
States Museums Vol. XV part
3. 1932.

Kartodirdjo,
Sartono.
1993.
Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial
dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Kern, H. 1913. “Insripties van de
Indischen
Archipel,
Verspeide Geschriften VI,
VII, ‘s Gravenhage.
Krom, N.J. 1926. De Sumatraansche
periode der Javaaneche
Geschiedenis. Leiden.
Krom, N.J. 1930. Les incriptions
Malaises de Crivijaya. TBG.
LIX, 1930, h. 426-431.
Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
1994.
Majumdar, R. C. 1933. “les Rois de
Cailendra de Suvarnadvipa.
B.E.F.E.O. XXXIII.

Moens, J.L. 1938. Crivijaya, Yava en
Kataha. T.B.G. LXXVII, afl.
3. 1938. dan disalin dalam
jurnal bahasa Inggris Journal
of the Malayan Branch No.
XVII.
Notosusanto, Nugroho. 1987. Masalah
Penelitian
Sejarah
Kontemporer.
Jakarta:
Yayasan Idayu.
Poerbatjaraka.
1952.
Riwajat
Indonesia. Jilid I. Jakarta:
Jambatan.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan
Notosusanto, Nugroho. 1993.
Sejarah Nasional Indonesia
II. Jakarta: Balai Pustaka.
S. Sartono. 1979. Pusat-pusat Kerajaan
Sriwijaya
berdasarkan
Interpretasi
Paleogeografi,
Pra
Seminar
Penelitian
Sriwijaya. Jakarta.
Soekmono. 1958. Tentang Lokasi
Sriwijaya. Laporan Kongres
Ilmu Pengetahuan Nasional I.
Jakarta : MIPI.
Soekmono. 1979. Sekali Lagi Tentang
Lokasi
Sriwijaya.
Pra
Seminar Penelitian Sriwijaya.
Jakarta.
Stutterheim, W.F. 1929. “A Javanese
Period in Sumatran History”.
Surakarta. TBG LXIX, 1929,
h. 135-156.
Yamin,

Muljana, Slamet. 1960. Sriwijaya.
Yogyakarta: LkiS.
Muljana, Slamet. 1981. Kuntala,
Sriwijaya dan
Suwarnabhumi. Jakarta:
Yayasan Idayu.

Moh. 1958. Penjelidikan
Sejarah ttg Negara Sriwijaya
dan Rajakula Sailendra dlm
Kerangka
Kesatuan
Ketatanegaraan
Indonesia.
dalam Laporan Kongres Ilmu
Pengetahuan Nasional I.

Nomor 12 Tahun VIII Januar i 2008 ------------------------------------------------ ( 66 )

Vogel, J. Ph. 1919. “Het koninkrijk
Crivijay”. BKI LXXXIV, h.
167-232.
Wales,

Quaritch.
1940.
“Archaeological researches”.
Indian Art and Letters vol. IX
no.1. 1940

Wheatley, P. 1967. The City a Symbol.
London: University College
London.
www. pemkot pagaralam. co. id.
Kerajaan Basemah sebagai
Pendahulu
Kerajaan
Sriwijaya,
diakses
dari
Internet tanggal 28 Agustus
2009
www. Situs Kerajaan Sriwijaya di
Kaur akan Teliti. Diakses dari
Internet tanggal 28 Agustus
2009

Nomor 12 Tahun VIII Januar i 2008 ------------------------------------------------ ( 67 )