ASPEK-ASPEK HUKUM HARTA KEKAYAAN DAN KAITANNYA DENGAN HARTA AGAMAMENURUT HUKUM PERDATA INDONESIA | Alidar | Jurnal Dusturiah 1197 2315 1 SM
ASPEK-ASPEK HUKUM HARTA KEKAYAAN DAN
KAITANNYA DENGAN HARTA AGAMAMENURUT
HUKUM PERDATA INDONESIA
Oleh: EMK Alidar
Mahasiswa Program Doktor (S3) Ilmu Hukum USU Medan
Abstract
In principle, Indonesian Civil Law Code has managed comprehensively all
aspects of civil cases involving properties or objects. This study focuses on the
ownership of the property (wealth), both private, joint and public property.
Specifically, this paper also want to explore the religion’s treasures/property
(harta agama) in accordingto Indonesian Civil Law System. The concept of
ownership of religious property is specifically not known in the Civil Law
Code (KUHPdt). However, the existence of this religious treasure of muslims
is implicitly regulated by the Civil Law Code (KUHPdt). A number of
regulations in the Civil Law Code acknowledge the existence of religious
property and also have been included as a standard concept, for instanceUU
No. 11 Tahun 2006 on Aceh Governance, UU No. 48 Tahun 2007 on
Rehabilitation and Reconstruction of Aceh and Nias After Tsunami, Zakat Law,
WakafLaw, and Indonesian Islamic Compilation (KHI) and variety of other
legal regulations.
A. Pendahuluan
Harta kekayaan atau harta benda adalah hal yang tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan manusia, dalam mencapai kesejahteraan hidupnya di dunia dari
mulai lahirnya sampai dia meninggal selalu haris didampingi oleh kebutuhan
akan harta benda. Karenanya agar kepentingan dan kebutuhan manusia yang
satu dengan manusia lainnya akan benda tidak bersinggungan atau bertabrakan
satu sama lainnya maka diperlukanlah pengaturannya secara hukum.
Hukum harta kekayaan digolongkan ke dalam lapangan hukum perdata,
yang lingkup uraiannya mencakup segala aspek menyangkut harta kekayaan
atau benda secara komprehensif, mulai dari pengertian harta kekayaan/benda,
ciri, sifat, macamnya, pemilikannya, hak-hak yang dapat dilekatkan atasnya,
dan lain sebagainya.
Tulisan ini akan mencoba menguraikan beberapa aspek tentang harta
kekayaan tersebut menurut hukum perdata Indonesia, khususnya dari sudut
pandang peraturan perundang-undangan yang mengatur aspek-aspek harta
128
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
129
kekayaan/benda, dengan fokus kajian tentang kepemilikan dan kaitannya
dengan harta agama Islam di Indonesia, khususnya di Aceh.
B. Objek Kajian Hukum harta Kekayaan
Hukum harta kekayaan adalah peraturan-peraturan hukum yang
mengatur hak dan kewajiban yang bernilai uang atau peraturan-peraturan yang
mengatur hubungan hukum antara orang dengan benda atau sesuatu yang dapat
dinilai dengan uang.1 Pengertian tersebut memberi makna bahwa hukum harta
kekayaan mengatur hubungan hukum, yang dilakukan oleh dua orang subjek
hukum atau lebih terhadap sesuatu benda/barang atau hak yang dapat
dijadikan objek perikatan secara hukum, dimana objek tersebut mempunyai
manfaat bagi subjek dan dapat dinilai dengan uang.
Akibat dari pengertian yang demikian maka secara tersirat dapat
dikatakan bahwa hukum harta kekayaan dalam pembahasannya akan meliputi
dua lapangan hukum, yaitu; pertama, lapangan Hukum Benda, yaitu peraturanperaturan hukum yang mengatur hak-hak kebendaan yang bersifat mutlak,
artinya hak terhadap benda yang oleh setiap orang wajib diakui dan dihormati.
Kedua, lapangan Hukum Perikatan, yaitu peraturan-peraturan hukum yang
mengatur perhubungan yang bersifat kehartaan antara dua orang atau lebih,
dimana pihak pertama berhak atas sesuatu prestasi (pemenuhan sesuatu) dan
pihak lain wajib memenuhi sesuatu prestasi.2
Ketentuan di atas secara umum memperlihatkan bahwa hukum harta
kekayaan dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu: hukum harta kekayaan
mutlak, dan hukum harta kekayaan relatif. Hukum harta kekayaan mutlak
adalah ketentuan yang mengatur tentang hak-hak kebendaan baik terhadap
benda/barang yang berwujud atau yang tidak berwujud (hak immaterial).
Hukum harta kekayaan mutlak disebut juga dengan hukum kebendaan, yaitu
hukum yang mengatur tentang hubungan hukum antara seseorang (subjek
hukum) dengan benda (zakelijk recht). Hubungan hukum ini memberikan
kekuasaan langsung kepada seseorang untuk menguasai sesuatu benda di
dalam tangan siapapun benda itu berada.
Sedangkan hukum harta kekayaan relatif disebut juga dengan hukum
perikatan, yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum antara seseorang
dengan seseorang lainnya yang melahirkan hak perseorangan (persoonelijk
recht), yaitu hak yang memberikan kekuasaan kepada seseorang untuk
menuntut seseorang yang lain agar berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
1
Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional,
Jakarta, Kencana, 2008, hlm. 243.
2
CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Balai
Pustaka, 2000,hlm. 243
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
130
Menurut ilmu hukum, tanda-tanda pokok perbedaan antara hukum harta
kekayaan mutlak atau hukum hak kabendaan (zakelijk recht) dengan hukum
harta kekayaan relatif (hukum perikatan) atau hukum hak perorangan
(persoonelijk recht), adalah sebagai berikut:
1. Hak kebendaan adalah absolut, artinya pemegang hak ini dapat
mempertahankan haknya dan menuntut setiap orang yang mengganggu
haknya tersebut. Sedangkan hak perorangan itu bersifat relatif, artinya hak
ini hanya dapat dipertahankan terhadap debitur orang tertentu yang terikat
dalam perjanjian saja.
2. Hak kebendaan jangka waktunya tidak terbatas atau berlangsung lama.
Sedangkan hak perorangan jangka waktunya terbatas yaitu hanya sampai
dengan dilakukannya pemenuhan prestasi oleh debitur, jika prestasi ini telah
dilakukan dan dipenuhi debitur dengan sempurna sesuai perjanjian maka
berakhirlah hak perorangan tersebut.
3. Hak kebendaan mempunyai droit de suite, artinya hak itu mengikuti
bendanya di dalam tangan siapapun benda itu berada. Jika hak kebendaan
yang diletakkan atas suatu benda ada beberapa macam maka kekuatan hak
tersebut ditentukan oleh urutan waktunya. Sedangkan hak perorangan
mempunyai kekuatan yang sama, tanpa memperhatikan saat kelahirannya.
4. Hak kebendaan memberikan wewenang yang luas kepada pemiliknya, hak
itu dapat dialihkan, diletakkan sebagai jaminan, disewakan, atau
dipergunakan sendiri. Sedangkan hak perorangan memberikan wewenang
terbatas kepada pemiliknya. Pemilik hak perorangan hanya dapat menikmati
saja apa yang menjadi miliknya, hak ini hanya dapat dialihkan dengan
persetujuan pemilik.3
C. Pembagian Hak Atas Harta Kekayaan
Pada dasarnya hak atas harta kekayaan atau hak kebendaan dapat dibagi
menjadi 2 yaitu;
1 Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan (zakelijk genotsrecht),
Yaitu hak dari subjek hukum untuk menikmati suatu benda secara penuh.
Hak kebendaan ini dibagi menjadi 2 yaitu: (1) Hak kebendaan yang
memberikan kenikmatan atas bendanya sendiri, misalnya hak milik atas
tanah yang kesemuanya diatur dalam UUPA No. 5 Tahun 1960, dan hakhak atas benda bergerak yang diatur dalam KUH. Perdata seperti hak milik
dan bezit.4(2) Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan atas benda
3
Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H., Mencari Sistem Hukum Benda
Nasional, Jakarta, Alumni, Cet. 2, 1997, hlm. 30-31.
4
Menurut Pasal 529 KUH. Perdata, yang dimaksud dengan bezit adalah ”kedudukan
seseorang yang menguasai suatu kebendaan, baik dengan diri sendiri, maupun dengan
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
131
milik orang lain, misalnya hak guna usaha, hak guna bangunan, hak sewa,
hak memungut hasil dan hak pengelolaan atas tanah yang diatur dalam
UUPA No. 5 tahun 1960. Adapun hak yang diatur dalam KUH. Perdata
adalah hak atas benda bergerak misalnya, bezit, hak memungut hasil bezit,
hak pakai bezit, dan lain-lain.
2 Hak kebendaan yang memberikan jaminan (zakalijk zakerheidsrecht).Yaitu
hak kebendaan yang memberikan kepada yang berhak (kreditur) untuk
didahulukan mengambil pelunasan dari hasil penjualan barang yang
dibebani hak, misalnya hak tanggungan atas tanah dan hak fiducia,
sedangkan menurut KUH. Perdata misalnya hak gadai yang meletakkan
jaminannya bergerak, hipotek yang meletakkan jaminannya benda-benda
tetap dan sebagainya.5
D. Konsep Hak Milik Atas Harta Kekayaan
Hak milik bersumber pada kenyataan hidup manusia yang tidak
mungkin dapat dipisahkan dari kebutuhan-kebutuhannya sehari-hari, dalam
rangka meningkatkan taraf hidup dan kesejateraannya masing-masing. Untuk
sampai kepada itu semua, tentunya setiap orang harus memiliki harta kekayaan
berupa benda dan barang-barang tertentu. Kepemilikan seseorang atas benda
ini tentunya dibatasi oleh hukum, agar tidak merugikan orang lain.
Menurut ketentuan hukum perdata, hak milik adalah hak terkuat dan
paling sempurna atas harta kekayaan, hak milik memberikan kekuasaan kepada
setiap orang untuk menikmati sepenuhnya suatu benda dengan sebebasbebasnya, sejauh tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan
umum yang diadakan oleh kekuasaan yang mempunyai wewenang untuk itu,
dan asal tidak mengganggu hak orang lain (Pasal 570 KUH. Perdata).
Kepemilikan mempunyai sosok hukum yang lebih jelas dan pasti
dibandingkan dengan penguasaan atas benda, dalam penguasaan yang penting
adalah seseorang menguasai sesuatu barang secara nyata pada waktu itu, tanpa
perlu menunjuk kepada legitimmasi hukum lain kecuali barang itu di tangan
seseorang. Sedangkan kepemilikan memerlukan adanya legitimasi, sehingga
hubungan antara seseorang dengan objek yang menjadi sasaran kepemilikan
perantaraan orang lain, dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku orang yang
memiliki kebendaan itu”. Dari ketentuan Pasal 529 KUH. Perdata tersebut diketahui bahwa
pada dasarnya kedudukan berkuasa atau menguasai memberikan kepada pemegang kedudukan
berkuasa tersebut kewenangan untuk mempertahanka atau menikmati benda yang dikuasainya
sebagaimna layaknya seorang pemilik. Dengan demikian atas suatu benda yang tidak diketahui
pemiliknya secara pasti, seorang pemegang kedudukan berkuasa dapat dianggap sebagai
pemilik dari kebendaan tersebut. Kartini Mulyadi & Gunawan Widjaya, Kedudukan Berkuasa
dan Hak Milik Dalam sudut Pandang KUH. Perdata, Jakarta, Prenada Media, 2004, hlm. 138.
5
Salim, HS., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta, Sinar Grafika, hlm.
100.
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
132
terdiri atas suatu komplek hak-hak.6 Kepemilikan adalah suatu hak, bukan
suatu barang. Kepemilikan adalah tuntutan yang dapat dipaksakan dan
diciptakan oleh negara.7
Prof. Mariam Darus Badrulzaman mengistilahkan hak milik dengan
“hak kemilikan”, yaitu hak milik dalam arti umum (luas), tidak terbatas hanya
pada hak milik atas benda-benda berwujud, benda bergerak atau tidak bergerak
seperti tanah, bangunan, mobil, sepeda dan sebagainya. Akan tetapi mencakup
seluruh hak atas benda baik berupa barang ataupun hak, sepanjang hak
kemilikan tersebut mempunyai objek yang diperbolehkan hukum, yaitu benda
(berwujud dan tidak berwujud).8
Dalam konsep hukum Islam pengertian hak milik yang digambarkan
oleh ulama fiqh ada beberapa macam, namun keseluruhan dari definisi tersebut
secara esensial dapat dikatakan hampir sama. Untuk itu di sini hanya akan
dikemukakan salah satu konsep saja yang dianggap dapat mewakili kesemua
definisi tentang hak milik dalam Islam yang dikemukakan oleh Muhammad
Abu Zahra yaitu: Pengkhususan seseorang terhadap suatu benda yang
memungkinkannya untuk bertindak hukum terhadap benda itu (sesuai dengan
keinginannya), selama tidak ada halangan syara’.9 Artinya benda yang
dikhususkan kepada seseorang itu sepenuhnya berada dalam penguasaannya,
karena itu si pemilik harta bebas untuk melakukan perbuatan hukum atas
hartanya tersebut, seperti menjual, hibah, wakaf, wasiat, atau meminjamkannya
kepada orang lain selama tidak adanya halangan syara’. Contoh halangan
syara’ yang dapat membatasi kebebasan pemilik hak atas harta kekayaannya
seperti anak-anak yang belum dewasa (baligh), orang gila, orang yang jatuh
pailit, sehingga dalam hal-hal tertentu mereka tidak dapat bertindak terhadap
harta miliknya sendiri.10
Dari semua pengertian tentang hak milik yang telah dikemukakan di
atas, dapat diketahui bahwa hak milik mempunyai ciri tersendiri yang berbeda
dengan ciri hak lainnya. Menurut P. J. Fitgerald sebagaimana dikutip Satjipto
Rahardjo dalam bukunya Ilmu Hukum, ciri hak milik adalah sebagai berikut;
1. Pemilik mempunyai hak untuk memiliki barangnya, meskipun dia dalam
kenyataannyaa tidak memegang atau menguasai barang itu;
6
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, Cet. 5.,
2000, hlm. 62.
7
C. B. Machperson, Pemikiran Dasar tentang Hak Milik, Jakarta, Yayasan LBH
Indonesia, 1978, hlm. 234.
8
Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H., Mencari Sistem Hukum..., hlm. 43.
9
Muhammad Abu Zahra, al-Milkiyah wa Nazhariyah al-“aqd fi asy-Syari’ah alIslamiyah, Mesir, Dar al-Fikr al-Arabi, 1962, hlm 15-16
10
Mustafa Ahamad az-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqhi al-Am, Jilid III, Damaskus,
mathlabi Fata al-Arab, 1965, hlm. 241.
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
133
2. Pemilik mempunyai hak untuk menggunakan hak dan menikmati barang
yang dimilikinya secara merdeka;
3. Pemilik mempunyai hak untuk menghabiskan, merusak atau
memindahkan/menyerahkan
barangnya
kepada
siapapun
yang
dikehendakinya;
4. Kepemilikan mempunyai ciri tidak mengenal jangka waktu, oleh karena itu
secara teoritis hak milik berlaku untuk selamanya;
5. Kepemilikan mempunyai ciri yang bersifat sisa, maksudnya seorang pemilik
bisa memberikan hak kepada orang lain seperti hak sewa misalnya, namun
si pemilik tetap memiliki hak atas bendanya itu terdiri dari sisanya sesudah
hak-hak itu ia berikan kepada orang-orang lain.11
Sementara Titik Triwulan Tutik menyebutkan bahwa ciri-ciri hak milik
antara lain:
1. Merupakan hak pokok terhadap hak-hak kebendaan lain yang bersifat
terbatas;
2. Merupakan hak yang paling sempurna;
3. Bersifat tetap, artinya tidak akan lenyap oleh hak kebendaan yang lain.
Sedangkan hak kebendaan yang lain dapat lenyap oleh hak milik; dan
Merupakan inti dari hak-hak kebendaan.12
E. Landasan Hukum Hak Milik Atas Harta Kekayaan (Benda) Di
Indonesia
1 Undang-Undang Dasar 1945
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen, kita dapati bahwa
pengakuan terhadap hak milik sudah mendapat tempat tersendiri.Berbeda
halnya dengan UUD 1945 sebelum amandemen yang tidak menyebutkan
secara tersurat permasalahan lembaga hak milik ini, kendati secara tersirat
sebenarnya hal tersebut ada, yang dapat dijabarkan dari ketentuan Pasal 33
UUD 1945.
Lembaga hak milik dalam UUD 1945 hasil amandemen dimasukkan ke
dalam Bab XA tentang hak asasi manusia. Pada Pasal 28H ayat (4) dengan
tegas dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi
dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh
siapapun”. Selain itu, UUD 1945 hasil amandemen pada Pasal 28G juga
menjamin perlindungan terhadap setiap harta benda atau kekayaan yang
dimiliki oleh setiap orang.
11
12
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., Ilmu Hukum, hlm. 64.
Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Hukum Perdata..., hlm. 164.
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
134
Dengan adanya ketentuan tentang hak milik dan perlindungannya
dicantumkan langsung dalam UUD 1945, berarti bahwa hak milik sudah
mendapat pengakuan yang sangat kuat dan telah mendapat tempat
tersendiri dalam sistem hukum dan perundang-undangan di Indonesia, tidak
lagi hanya tersurat dalam peraturan perundang-undangan operasional
semata sepertu UUPA Nomor 5 Tahun 1960, UU Perkawinan Nomor 1
tahun 1974, atau UU Hak cipta Nomor 19 tahun 2002 saja misalnya.
2 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960
Pasal 20 UUPA mengatakan bahwa hak milik adalah hak turun temurun,
terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan
mengingat ketentuan dalam Pasal 6 (Semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial).
Penjelasan Pasal 20 ini menjelaskan tentang sifat-sifat hak milik yaitu hak
yang “terkuat” dan “terpenuh”, yang dapat dipunyai orang atas tanah. Sifat
terkuat dan terpenuh ini menjadi pembeda antara hak milik dengan hak-hak
lainnya atas tanah. Pemberian sifat yang demikian dalam UUPA tidak
berarti bahwa hak itu merupakan “hak yang mutlak” tak terbatas dan tidak
dapat diganggu gugat, sebagaimana hak eigendom menurut pengertian
yang asli pada masa dulu. Apabila sifat hak milik yang dimaksud UUPA
adalah seperti yang dimaksud hak eigendom pada masa lalu, tentu sifat
tersebut akan sangat bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi
sosial dari tiap-tiap hak.
Kata-kata terkuat dan terpenuh itu, bermaksud untuk membedakan hak
milik dari hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak lainnya
yaitu untuk menunjukkan bahwa di antara hak-hak atas tanah yang dapat
dipunyai orang, hak milik adalah hak yang “ter” (artinya: paling) kuat dan
terpenuh dibanding dengan hak-hak atas tanah lainnya.13
3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Pasal 570 KUH. Perdata mengatakan bahwa hak milik pada umumnya
adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa
dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan sepenuhnya, asal
tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang
ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkan dan tidak
mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tidak mengurangi
kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum
13
Prof. Dr. Mariam darus Badrulzaman, S.H., Mencari Sistem Hukum..., hlm. 45.
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
135
berdasarkan atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti
rugi.
4 Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002
UU nomor 19 Tahun 2002 mengakui adanya hak milik atas ciptaan,
pengertian yang diberikan oleh undang-undang ini tentang hak cipta dalam
Pasal 2 yaitu: “Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau
Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak
Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan
tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku”.
Selain itu, dalam Pasal 1 angka 4 juga disebutkan bahwa Pemegang Hak
Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang
menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih
lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.
Karena hak cipta digolongkan sebagai hak milik, maka hak cipta dapat
dialihkan kepemilikan baik seluh atau sebagiannya kepada orang lain,
seperti halnya benda pada umumnya. Ketentuan mengenai ini diatur dalam
Pasal 3 ayat (2) yaitu: Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan, baik
seluruhnya maupun sebagian karena
a. Pewarisan;
b. Hibah;
c. Wasiat;
d. Perjanjian tertulis; atau
e. Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
Kiranya penjelasan Pasal-pasal dari UU Hak Cipta di atas dapat
memberikan gambaran bahwa hak cipta adalah hak milik intelektual atas
benda bergerak.
5 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
juga meletakkan ketentuan mengenai harta kekayaan, khususnya
menyangkut tentang harta kekayaan anak di bawah perwalian, harta yang
diperoleh suami dan isteri selama dalam ikatan perkawinan (harta
bersama), dan mengenai harta bawaan atau harta yang diperoleh sebelum
perkawinan.
Pasal 35 ayat (1) UU No. 1/1974 menyatakan bahwa: Harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama. Sementara
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
136
KHI melalui Pasal 85 juga mengakui tentang adanya harta bersama,
meskipun tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing
suami isteri. Terhadap harta bersama ini UU No. 1 /1974 juga menentukan
bahwa suami isteri apabila ingin melakukan perbuatan hukum atas harta
bersama maka harus mendapat persetujuan dari pihak lainnya (Pasal 35
ayat (2)). Demikian pula KHI menentukan yang demikian dalam Pasal 92.
Berikutnya UU No. 1/1974 juga menentukan selain harta bersama, juga
dimungkinkan suami isteri mempunyai harta milik masing-masing yang
terpisah dari harta bersama dan berada di bawah penguasaan masingmasing. Pasal 35 ayat (2) mengatakan bahwa harta bawaan dari masingmasing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Senada dengan UU No. 1/1974, KHI dalam Pasal 87 ayat (1) juga
menyatakan hal yang sama. Harta bawaan dari masing-masing suami dan
isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan
adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak
menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Selanjutnya KHI dalam
Pasal 87 ayat (2) melanjutkan bahwa Suami isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing
berupa hibah, hadiah, shadaqah atau lainnya.
Selain itu, UU No. 1/1974 juga mengatur tentang pengurusan harta anak di
bawah umur, baik yang berada di bawah kekuasaan orang tua maupun anak
yang berada di bawah perwalian, ketentuan mengenai hal ini diatur dalam
Pasal 51 ayat (3) dan (4). Orang tua atau wali juga dilarang untuk
melakukan perbuatan hukum seperti memindahkan hak atau menggadaikan
harta anak di bawah umur, kecuali apabila kepentingan anak itu
menghendakinya (Pasal 48 dan 52). Wali juga bertanggung jawab tentang
harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang
ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya (Pasal 51 ayat (5)).
Mengenai hal ini, KHI juga mengaturnya dalam Pasal 110 ayat (1), (2), (3)
dan ayat (4), serta dalam Pasal 111 ayat (1).
F. Kepemilikan Bersama Menurut Hukum Perdata
Sebelumnya telah disinggung sepintas tentang kepemilikan bersama
atas benda atau harta kekayaan, yaitu kepemilikan harta bersama dalam
perkawinan. Berikutnya di sini akan diuraikan lebih lanjut tentang kepemilikan
bersama menurut ketentuan hukum perdata. KUH. Perdata secara konkrit tidak
mengatur ketentuan umum mengenai pemilikan bersama, karenanya yang
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
137
dianggap ketentuan umum dalam hal ini adalah ketentuan mengenai pemisahan
dan pembagian harta dalam hukum waris.
Hak milik bersama terjadi jika lebih dari seorang merupakan pemilik
dari suatu benda yang sama. Setiap pemilik peserta memiliki bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari benda itu. Pasal 573 KUH. Perdata menyatakan bahwa
“Membagi suatu kebendaan yang menjadi milik lebih dari satu orang, harus
dilakukan menurut aturan-aturan yanmg ditentukan tanggal pemisahan dan
pembagian harta peninggalan”.
Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu benda dapat
dimiliki oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, dan jika akan
diadakan pemisahan atau pembagian terhadap harta tersebut kepada para
pemegang hak milik bersama maka harus dilakukan menurut ketentuanketentuan yang berlaku dalam pemisahan dan pembagian harta peninggalan.14
Dengan penjelasan tersebut kiranya jelaslah bahwa meskipun KUH.
Perdata tidak menentukan mengenai harta bersama ini dalam ketentuan umum,
atau dalam salah satu pasalnya secara konkrit, namun sebenarnya hal itu ada
diatur kendati dalam bentuk yang memerlukan kepada penafsiran atau
penalaran lebih lanjut. Selain itu, hukum perdata juga telah menunjukkan
beberapa macam bentuk lembaga pemilikan bersama, yang secara ilmiah dan
praktiknya dapat diterima dalam pasal-pasalnya, baik dalam hukum kebendaan,
hukum perikatan, maupun dalam hukum warisnya.
Diantara contoh kepemilikan bersama yang dapat ditemukan dalam
KUH. Perdata adalah lembaga pemilikan bersama berikut ini:
1 Yang terjadi karena pembelian bersama;
2 Rumah susun;
3 Warisan yang belum dibagi;
4 Persekutuan/perseroan;
5 Firma; dan
6 Harta benda perkawinan.15
7
Hak milik bersama dapat terjadi melalui perjanjian atau karena undangundang. Hak milik bersama yang muncul dari perjanjian misalnya beberapa
orang bersepakat dan menghendaki untuk membeli suatu benda atau barang
seperti tanah, toko, gudang, atau lainnya secara bersama-sama (patungan).
Untuk menentukan hak masing-masing pihak atas benda yang dibeli bersama
tersebut ditentukan secara seimbang dengan jumlah pembayaran harga yang
mereka berikan masing-masing untuk membeli benda tersebut. Undang-undang
menetapkan bahwa harta warisan menjadi milik bersama dari para ahli waris,
14
15
Ibid., hlm., 54
Ibid., hlm., 55.
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
138
dan milik bersama ini dapat dipisahkan dengan melakukan pembagian warisan
tersebut (Pasal 1066 KUH. Perdata).
G. Kepemilikan Publik/Negara Atas Benda Menurut Hukum Perdata
Kepemilikan harta kekayaan selain hak milik pribadi, baik itu
pemilikan perorangan atau pemilikan secara bersama telah diuraikan dalam
bahasan sebelumnya. Berikutnya di sini akan dibahas tentang kepemilikan
publik atau kepemilikan masyarakat umum secara bersama-sama.
Konsep pemilikan publik atau pemilikan umum secara tegas tidak
didapati dalam KUH. Perdata, konsep ini dapat ditemukan dalam UndangUndang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960. Pasal 6 Undang-Undang Pokok
Agraria menjelaskan bahwa semua hak apapun atas tanah yang dimiliki
seseorang tidak boleh semata-mata digunakan untuk kepentingan pribadinya,
namun juga penggunaan tanah tersebut harus memberikan manfaat bagi
kepentingan masyarakat dan negara.
Di samping itu, tidak boleh dilupakan pula bahwa interpretasi asas
fungsi sosial hak atas tanah harus digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan
haknya, sehingga bermanfaat bagi si pemegang hak dan bagi masyarakat, dan
bahwa kepentingan perseorangan itu diakui dan dihormati dalam rangka
pelaksanaan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. 16 Dengan adanya
keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan umum, dalam
pemanfatan tanah dan harta kekayaan lainnya diharapkan akan tercapai
keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat.17
Lebih konkritnya tentang kepentingan umum disebutkan dalam Pasal 7
UUPA No. 5/1960 yaitu “Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka
pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”.
Kata “kepentingan umum” dalam UUPA ini dapat diartikan sebagai
kepentingan seluruh masyarakat, karenanya dapat pula ditafsirkan bahwa
apabila tanah atau benda lainnya sudah alihkan kepemilikannya dari milik
individu kepada kepentingan umum, berarti tanah atau benda tersebut telah
menjadi “milik publik” atau milik masyarakat umum yang dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan semua masyarakat secara bersama-sama. Kepemilikan
publik bila diinterpretasikan lebih jauh, pada dasarnya adalah “milik negara”
yang digunakan untuk kepentingan bersama seluruh warga masyarakat
(kepentingan umum).
16
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi,
Jakarta, Kompas, 2006, hal. 79
17
Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung, Alumni,
1984, hal 21
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
139
Pada beberapa tahun terakhir ini juga terlihat adanya kecenderungan
dalam perumusan peraturan perundang-undangan untuk memperluas makna
dan arti keuangan negara sebagai keuangan publik secara keseluruhan.18 Hal
ini tercermin setidaknya dalam beberapa produk perundang-undangan
misalnya; UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 19 tahun
2003 Tentang badan Usaha Milik Negara, UU No. 1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara, UU No. 15 Tahun 2006 Tentang Pemeriksaan,
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, UU No. 15 Tahun 2006
Tentang Badan pemeriksaan Keuangan Negara, UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU
No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan
Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum.
Peraturan perundang-undangan yang disebutkan di atas secara
gamblang menyebutkan dan mengakui tentang keberadaan hak milik publik,
yang pada hakikatnya merupakan milik negara yang digunakan untuk
kepentingan publik atau rakyatnya. seperti ketentuan Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara misalnya mengatakann
bahwa keuangan negara adalah: “Semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa
barang yang dapat dijadikan milik negara sehubungan dengan pelaksanaan hak
dan kewajiban tersebut”.
Definisi keuangan negara dalam Pasal 1 UU No. 17/2003 tersebut,
dengan jelas menyebutkan tentang adanya harta milik negara yang identik
dengan milik publik, meliputi uang maupun barang. Semua harta milik negara
tentunya harus digunakan untuk kepentingan umum negara, dan kepentingan
umum rakyatnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan.
H. Konsepsi Harta Agama Islam Menurut Fiqh dan Hukum Perdata
Islam Indonesia
Kataal-maldalam bahasa arab bermakna senang, condong atau
berpaling dari satu posisi kepada posisi yang lain.19 Sedangkan makna
terminologi, menurut Wahbah Zuhaili pengertian yang diberikan Mustafa
Ahamd az-Zarqa yang relatif sempurna, karena makna itu sesuai dengan yang
18
Prof. Dr. Arifin P. Soeria Atmaja, S. H., Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan
Negara dalam Implikasi Hukumnya Terhadap Risiko Fiskal, dalam Buku “Paradigma
Kebijakan Hukum Pasca reformasi” (dalam rangka ultah ke 80 Prof. Solly Lubis), Jakarta, PT.
Sofmedia, hlm. 252.
19
A. W. Munawwir,. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap, Pustaka
Progresif, Surabaya, 1997, hal. 1372.
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
140
dimaksudkan Alquran surat Al-Baqarah:29, yakni segala sesuatu yang
diciptakan-Nya di bumi adalah untuk dimanfaatkan umat manusia.
Secara teknis pembatasan makna harta dapat ditentukan dengan dua
cara: berdasarkan‘ainiyah, yaitu harta itu ada wujudnya dalam kenyataan
(a’yan) dan ‘urufiyah. Secara ’urufiyah, harta adalah segala sesuatu yang
dipandang harta oleh seluruh manusia atau sebagian manusia. Sementara
menurut i’ainiyah, manfaat sebuah rumah yang dipelihara seseorang tidak
disebut harta, tetapi dinamakan dengan hak. Dalam Alquran, istilah harta (almal/al-amwal) disebutkan dalam 87 ayat. Secara umum penyebutan itu ada tiga
tujuan diberikan Allah kepada makhlukNya.
Pertama, harta merupakan cobaan Allah kepada manusia dalam
menjalan kehidupan (2:155, 34:37, 9:55, 27:36, 9:85, 10:88, 26:88); Kedua,
harta sebagai kebutuhan hidup manusia sehari-hari (4:5, 33:27); Ketiga, harta
dipergunakan untuk masyarakat, agar tata kehidupan kebersamaan mereka
lebih baik (9:41, 49:15, 61:11). Dari ketiga tujuan itu dapat dipahami bahwa
harta lebih difungsikan sebagai alat yang presenden bagi kehidupan manusia
dalam bermasyarakat. Artinya, posisi harta dalam kehidupan memiliki wadah
pengikat antar individu dalam masyarakat. Oleh karena itu, harta lebih
diperuntukkan pada kepentingan sesama manusia daripada kepentingan
individu.20
Abi Abdul Qasim ibn Sallam menyebutkan bahwa pada awal Islam
harta dibagi kepada tiga kelompok: harta yang diberikan Allah kepada
RasulNya (fai’); ghanimah; dan, khumus ( 15 %). Ketiga bentuk harta ini
merupakan ketetapan Allah yang memiliki tujuan sebagai wadah membangun
kehidupan yang bermartabat di bawah panji-panji Islam. Kemudian, dalam
perkembangan selanjutnya, kepemilikan harta dibagi kepada tiga macam;
pemilikan individu (private property), pemilikan umum (collective property),
dan pemilikan negara (state property).21Kepemilikan umum dan negara
kemudian menjadi milik bersama (umat). Oleh sebab itu, dua kelompok ini
cenderung disatukan. Hanya saja, kepemilikan negara mencakup seluruh
masyarakat, sedangkan fasilitas umum kadang-kadang dibatasi pada
masyarakat tertentu.22
Harta umat dinamakan juga dengan harta agama, yakni milik Allah
yang diberikan kepada umat manusia secara kebersamaan. Peneyebutan harta
agama bagi negara Islam dimaknakan dengan harta yang mencakup seluruh
20
Isma’il Muhammad Syah (Ismuha), dkk.Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi
Aksara, 1999, hal. 189.
21
Didin Hafidhuddin, Agar Harta Berkah dan Bertambah, Jakarta: Gema Insani, 2007,
hal. 21.
22
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: Raja GrafindoPersada,
2002, hal. 20-30.
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
141
harta yang pemilikannya adalah umat, sementara dalam negara sekuler, harta
umat dikelompokkan kepada dua; yang berhubungan dengan agama dinamakan
dengan harta agama, dan di luar dari itu dinamakan dengan harta negara.Harta
agama itu pengelolaannya dilakukan negara secara adil untuk masyarakat,
sehingga mereka dapat memperoleh kebahagiaan dalam kehidupannya.
Lembaga yang dijadikan intrumen pengelolaan harta ini untuk dapat
dimanfaatkan dan difungsikannya adalah melalui Baitul Mal.23
Menurut al-Mawardi, Baitulmal merupakan tempat mendaftar,
mencatat tentang pengumpulan dan penyaluran harta agama. 24Jika dilihat
pengertian yang terdapat dalam Dictionary of Islam, Baitul Mal
dimaksudkan sebagai perbendaharaan negara yang menerima uang yang
dipungut oleh negara Islam dari berbagai sumber.25
Konsepsi harta agama di Indonesia, hanya dikenal sebagai harta
bersama yang dimiliki umat Islam melalui Baitul Mal, karenanya harta agama
ini hanya digunakan untuk kepentingan agama Islam saja, serta untuk
kepentingan umum yang tidak bertentangan dengan syari’at. Untuk melihat
lebih jauh tentang konsepsi harta agama yang dikenal di Indonesia, dapat
ditelusuri melalui beberapa peraturan hukum perdata Islam yang telah
dikeluarkan pemerintah Indonesia.
1 Kompilasi Hukum Islam Indonesia (Inpres No. 1 Tahun 1991)
Kompilasi Hukum Islam Indonesia (KHI), merupakan tonggak awal diakui
dan berlakunya hukum materil Islam khususnya dalam bidang keperdataan
tertentu di Indonesia, kendati kedudukan KHI sendiri dalam hirarkhi
perundang-undangan di Indonesia sanagat lemah dan sampai saat ini masih
terus diperdebatkan. KHI memang tidak secara tegas mendefinisikan dan
menyebut tentang harta agama, namun kandungan isi KHI dan menyangkut
aturan-aturan mengenai harta umat Islam ada di dalamnya.
Sebagai contoh dapat ditilik bunyi Pasal 191 KHI yang menyatakan bahwa
”Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau atau ahli
warisnya tidak diketahui ada tidaknya, maka harta tersebut atas putusan
Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk
kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum”.
Dari bunyi Pasal 191 KHI tersebut, dapat ditangkap makna bahwa harta
agama itu adalah harta umat Islam yang sumbernya dapat dari harta
warisan yang tidak ada ahli warisnya, atau dari sumber lain seperti zakat,
infaq, shadaqah, wakaf, hibah dan lain sebagainya yang dikelola oleh
Baitul Mal atau BAZIS. Di mana harta agama tersebut harus dimanfaatkan
23
Didin Hafidhuddin, Agar Harta...hal. 21-23.
A. W. Munawwir,. Kamus …, hal. 124.
25
Patrick Thomas Huges, Dictionary of Islam, London, 1964, hal. 35.
24
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
142
untuk kepentingan agama Islam, dan kepentingan masyarakat umum yang
tidak bertentangan dengan syara’.
Selain itu dalam buku ke III KHI tentang hukum perwakafan, pada Pasal
215 ayat (1) ketentuan umum, juga disebutkan bahwa ”Wakaf adalah
perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk
selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya
sesuai ajaran Islam”. Ketentuan ini memperlihatkan bahwa adanya harta
atau benda yang dimiliki umat Islam, yang kemudian diserahkan kepada
Baitul Mal atau lembaga terkait lainnya dan menjadikannya sebagai harta
agama, untuk digunakan demi kepentingan ibadah atau kepentingan umum
sesuai ajaran Islam.26
2 Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU No. 11 Tahun 2006)
Istilah ”harta agama” secara tegas diperkenalkan dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia melalui UU No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh. Dalam Pasal 191 ayat satu disebutkan bahwa ”Zakat,
harta wakaf, dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal
kabupaten/kota. Kendati undang-undang ini tidak menjelaskan secara rinci
maksud dari istilah harta agama tersebut, namun setidaknya istilah ini telah
baku digunakan dalam produk hukum di negeri ini.
3 Fatwa MPU Aceh (Fatwa No. 2 dan 3 Tahun 2005)
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, dengan mengeluarkan Fatwa Nomor 2 Tahun 2005 tanggal 7
Februari 2005, diantara isi fatwa tersebut adalah: ”Tanah dan harta benda
yang ditinggalkan korban gempa dan tsunami yang tidak meninggalkan ahli
waris, adalah menjadi milik umat Islam melalui Baitul Mal setelah
mendapatkan penetapan dari Mahkamah Syar’iyah”. Bunyi butir fatwa
tersebut kembali dipertegas dan diulangi dalam Fatwa Nomor 3 Tahun
2005 tanggal 17 April 2005.
4 Perpu Nomor 2 Tahun 2007 yang mejadi UU No. 48 Tahun 2007.
Dalam rangka memperlancar proses pelaksanaan rehabilitasi dan
rekonstruksi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias
Provinsi Sumatera Utara pasca tsunami, pemerintah pada tahun 2007 telah
pula mengeluarkan sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang26
Sebelumnya mengenai perwakafan ini telah diatur melalui PP No. 28 Tahun 1977
tentang Perwakafan Tanah Milik. Saat ini mengenai perwakafan ini telah diatur dalam UU No.
41 tentang Wakaf.
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
143
Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanganan Permasalahan
Hukum Dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah
dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan
Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, yang kemudian ditetapkan
menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007 pada tanggal 28
Desember 2007.
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2007 juga menyinggung tentang
keberadaan harta agama umat Islam ini. Pada Bab III tentang Kepemilikan
dan Pengelolaan ahli Tanah, Pasal 8 dinyatakan bahwa: “Tanah yang tidak
ada lagi pemilik dan ahli warisnya yang beragama Islam menjadi harta
agama dan dikelola oleh Baitul Mal”.
5 Qanun Aceh tentang Baitul Mal (Qanun No. 10 Tahun 2007)
Konsepsi yang lebih rinci dan jelas tentang harta agama di Indonesia
diberikan oleh Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal.
Dalam aturan umum qanun ini, angka 11 disebutkan bahwa ”Baitul Mal
adalah lembaga daerah non struktural yang diberi kewenangan untuk
mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, harta agama dengan tujuan
untuk kemaslahatan umat”.
Harta agama yang dimaksud dalam aturan ini dijelaskan lebih lanjut oleh
aturan umum angka 22 Qanun Baitul Mal yaitu: ”Sejumlah kekayaan umat
Islam yang bersumber dari zakat, wakaf, hibah, meurasa, harta wasiat, harta
warisan, dan lain-lain yang diserahkan kepada Baitul Mal untuk dikelola
dikembangkan sesuai dengan ketentuan syari’at”.
I. Penutup
Dari uraian di atas tergambar bahwa hukum harta kekayaan yang diatur
dalam KUH. Perdata Indonesia, pada prinsipnya sudah mencakup segala aspek
keperdataan mnyangkut harta kekayaan atau benda. Kajian ini telah
memfokuskan diri pada kepemilikan terhadap harta yang di atur dalam KUH.
Perdata, baik kepemilikan pribadi, kepemilikan bersama, maupun kepemilikan
publik/ masyarakat umum.
Konsep mengenai kepemilikan harta agama secara khusus memang
tidak dikenal dan diatur oleh KUH. Perdata, namun demikian pada hakikatnya
mengakui keberadaan harta agama ini terutama harta agama umat Islam,
sebagai sebuah bentuk kepemilikan publik/ kepemilikan umum dari umat Islam
Indonesia. Berbagai peraturan perundang-undangan yang lahir setelah KUH.
Perdata, telah mengakui tentang adanya harta agama, dan telah pula
dimasukkan sebagai konsep baku di dalamnya, seperti UU No. 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh, UU No. 48 Tahun 2007 tentang Rehabilitasi dan
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
144
Rekonstruksi Aceh dan Nias Pasca Tsunami, UU Zakat, UU Wakaf, Kompilasi
Hukum Islam Indonesia, dan berbagai peraturan hukum lainnya.
Kiranya konsep harta agama yang telah mendapat tempat dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia ini, terus dapat dikembangkan
sehingga melingkupi segala aspeknya secara keperdataan. Hal ini penting
dilakukan dalam rangka memantapkan keberadaan dan keberhasilan politik
hukum Islam di Indonesia di masa datang, sehingga keberadaan harta agama
ini kemudian hari dapat lebih bermanfaat dan terlindungi dengan baik.
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
145
DAFTAR PUSTAKA
Arifin P. Soeria Atmaja, Prof. Dr. S. H., Pengertian dan Ruang Lingkup
Keuangan Negara dalam Implikasi Hukumnya Terhadap Risiko Fiskal,
dalam Buku “Paradigma Kebijakan Hukum Pasca reformasi” (Dalam
Rangka Ultah ke 80 Prof. Solly Lubis), Jakarta: 2010, PT. Sofmedia.
A. W. Munawwir,.Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap, Surabaya,
1997: Pustaka Progresif.
CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta,
2000: Balai Pustaka.
C. B. Machperson, Pemikiran Dasar tentang Hak Milik, Jakarta, 1978:
Yayasan LBH Indonesia.
Didin Hafidhuddin, Agar Harta Berkah dan Bertambah, Jakarta, 2007: Gema
Insani, 2007,
Isma’il Muhammad Syah (Ismuha), dkk., Filsafat Hukum Islam, Jakarta: 1999,
Bumi Aksara.
Kartini Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: 2002, Raja
GrafindoPersada.
Mulyadi & Gunawan Widjaya, Kedudukan Berkuasa dan Hak Milik Dalam
sudut Pandang KUH. Perdata, Jakarta: 2004, Prenada Media.
Mariam darus Badrulzaman, Prof. Dr. S.H., Mencari Sistem Hukum Benda
Nasional, Jakarta; 1997, Cet. 2, Alumni.
Muhammad Abu Zahra, al-Milkiyah wa Nazhariyah al-“aqd fi asy-Syari’ah alIslamiyah, Mesir: 1962, Dar al-Fikr al-Arabi.
Mustafa Ahamad az-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqhi al-Am, Jilid III, Damaskus:
1965, Mathlabi Fata al-Arab.
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan
Implementasi, Jakarta: 2006, Kompas.
Patrick Thomas Huges, Dictionary of Islam, London: 1964.
Salim, HS.,Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: tt., Sinar
Grafika.
Satjipto Rahardjo, Prof. Dr. S.H., Ilmu Hukum, Bandung: 2000, Cet. 5, Citra
Aditya Bakti.
Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung: 1984,
Alumni.
Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Hukum Perdata dalam Sistem Hukum
Nasional,
Jakarta:
2008,
Kencana.
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
146
KAITANNYA DENGAN HARTA AGAMAMENURUT
HUKUM PERDATA INDONESIA
Oleh: EMK Alidar
Mahasiswa Program Doktor (S3) Ilmu Hukum USU Medan
Abstract
In principle, Indonesian Civil Law Code has managed comprehensively all
aspects of civil cases involving properties or objects. This study focuses on the
ownership of the property (wealth), both private, joint and public property.
Specifically, this paper also want to explore the religion’s treasures/property
(harta agama) in accordingto Indonesian Civil Law System. The concept of
ownership of religious property is specifically not known in the Civil Law
Code (KUHPdt). However, the existence of this religious treasure of muslims
is implicitly regulated by the Civil Law Code (KUHPdt). A number of
regulations in the Civil Law Code acknowledge the existence of religious
property and also have been included as a standard concept, for instanceUU
No. 11 Tahun 2006 on Aceh Governance, UU No. 48 Tahun 2007 on
Rehabilitation and Reconstruction of Aceh and Nias After Tsunami, Zakat Law,
WakafLaw, and Indonesian Islamic Compilation (KHI) and variety of other
legal regulations.
A. Pendahuluan
Harta kekayaan atau harta benda adalah hal yang tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan manusia, dalam mencapai kesejahteraan hidupnya di dunia dari
mulai lahirnya sampai dia meninggal selalu haris didampingi oleh kebutuhan
akan harta benda. Karenanya agar kepentingan dan kebutuhan manusia yang
satu dengan manusia lainnya akan benda tidak bersinggungan atau bertabrakan
satu sama lainnya maka diperlukanlah pengaturannya secara hukum.
Hukum harta kekayaan digolongkan ke dalam lapangan hukum perdata,
yang lingkup uraiannya mencakup segala aspek menyangkut harta kekayaan
atau benda secara komprehensif, mulai dari pengertian harta kekayaan/benda,
ciri, sifat, macamnya, pemilikannya, hak-hak yang dapat dilekatkan atasnya,
dan lain sebagainya.
Tulisan ini akan mencoba menguraikan beberapa aspek tentang harta
kekayaan tersebut menurut hukum perdata Indonesia, khususnya dari sudut
pandang peraturan perundang-undangan yang mengatur aspek-aspek harta
128
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
129
kekayaan/benda, dengan fokus kajian tentang kepemilikan dan kaitannya
dengan harta agama Islam di Indonesia, khususnya di Aceh.
B. Objek Kajian Hukum harta Kekayaan
Hukum harta kekayaan adalah peraturan-peraturan hukum yang
mengatur hak dan kewajiban yang bernilai uang atau peraturan-peraturan yang
mengatur hubungan hukum antara orang dengan benda atau sesuatu yang dapat
dinilai dengan uang.1 Pengertian tersebut memberi makna bahwa hukum harta
kekayaan mengatur hubungan hukum, yang dilakukan oleh dua orang subjek
hukum atau lebih terhadap sesuatu benda/barang atau hak yang dapat
dijadikan objek perikatan secara hukum, dimana objek tersebut mempunyai
manfaat bagi subjek dan dapat dinilai dengan uang.
Akibat dari pengertian yang demikian maka secara tersirat dapat
dikatakan bahwa hukum harta kekayaan dalam pembahasannya akan meliputi
dua lapangan hukum, yaitu; pertama, lapangan Hukum Benda, yaitu peraturanperaturan hukum yang mengatur hak-hak kebendaan yang bersifat mutlak,
artinya hak terhadap benda yang oleh setiap orang wajib diakui dan dihormati.
Kedua, lapangan Hukum Perikatan, yaitu peraturan-peraturan hukum yang
mengatur perhubungan yang bersifat kehartaan antara dua orang atau lebih,
dimana pihak pertama berhak atas sesuatu prestasi (pemenuhan sesuatu) dan
pihak lain wajib memenuhi sesuatu prestasi.2
Ketentuan di atas secara umum memperlihatkan bahwa hukum harta
kekayaan dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu: hukum harta kekayaan
mutlak, dan hukum harta kekayaan relatif. Hukum harta kekayaan mutlak
adalah ketentuan yang mengatur tentang hak-hak kebendaan baik terhadap
benda/barang yang berwujud atau yang tidak berwujud (hak immaterial).
Hukum harta kekayaan mutlak disebut juga dengan hukum kebendaan, yaitu
hukum yang mengatur tentang hubungan hukum antara seseorang (subjek
hukum) dengan benda (zakelijk recht). Hubungan hukum ini memberikan
kekuasaan langsung kepada seseorang untuk menguasai sesuatu benda di
dalam tangan siapapun benda itu berada.
Sedangkan hukum harta kekayaan relatif disebut juga dengan hukum
perikatan, yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum antara seseorang
dengan seseorang lainnya yang melahirkan hak perseorangan (persoonelijk
recht), yaitu hak yang memberikan kekuasaan kepada seseorang untuk
menuntut seseorang yang lain agar berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
1
Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional,
Jakarta, Kencana, 2008, hlm. 243.
2
CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Balai
Pustaka, 2000,hlm. 243
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
130
Menurut ilmu hukum, tanda-tanda pokok perbedaan antara hukum harta
kekayaan mutlak atau hukum hak kabendaan (zakelijk recht) dengan hukum
harta kekayaan relatif (hukum perikatan) atau hukum hak perorangan
(persoonelijk recht), adalah sebagai berikut:
1. Hak kebendaan adalah absolut, artinya pemegang hak ini dapat
mempertahankan haknya dan menuntut setiap orang yang mengganggu
haknya tersebut. Sedangkan hak perorangan itu bersifat relatif, artinya hak
ini hanya dapat dipertahankan terhadap debitur orang tertentu yang terikat
dalam perjanjian saja.
2. Hak kebendaan jangka waktunya tidak terbatas atau berlangsung lama.
Sedangkan hak perorangan jangka waktunya terbatas yaitu hanya sampai
dengan dilakukannya pemenuhan prestasi oleh debitur, jika prestasi ini telah
dilakukan dan dipenuhi debitur dengan sempurna sesuai perjanjian maka
berakhirlah hak perorangan tersebut.
3. Hak kebendaan mempunyai droit de suite, artinya hak itu mengikuti
bendanya di dalam tangan siapapun benda itu berada. Jika hak kebendaan
yang diletakkan atas suatu benda ada beberapa macam maka kekuatan hak
tersebut ditentukan oleh urutan waktunya. Sedangkan hak perorangan
mempunyai kekuatan yang sama, tanpa memperhatikan saat kelahirannya.
4. Hak kebendaan memberikan wewenang yang luas kepada pemiliknya, hak
itu dapat dialihkan, diletakkan sebagai jaminan, disewakan, atau
dipergunakan sendiri. Sedangkan hak perorangan memberikan wewenang
terbatas kepada pemiliknya. Pemilik hak perorangan hanya dapat menikmati
saja apa yang menjadi miliknya, hak ini hanya dapat dialihkan dengan
persetujuan pemilik.3
C. Pembagian Hak Atas Harta Kekayaan
Pada dasarnya hak atas harta kekayaan atau hak kebendaan dapat dibagi
menjadi 2 yaitu;
1 Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan (zakelijk genotsrecht),
Yaitu hak dari subjek hukum untuk menikmati suatu benda secara penuh.
Hak kebendaan ini dibagi menjadi 2 yaitu: (1) Hak kebendaan yang
memberikan kenikmatan atas bendanya sendiri, misalnya hak milik atas
tanah yang kesemuanya diatur dalam UUPA No. 5 Tahun 1960, dan hakhak atas benda bergerak yang diatur dalam KUH. Perdata seperti hak milik
dan bezit.4(2) Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan atas benda
3
Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H., Mencari Sistem Hukum Benda
Nasional, Jakarta, Alumni, Cet. 2, 1997, hlm. 30-31.
4
Menurut Pasal 529 KUH. Perdata, yang dimaksud dengan bezit adalah ”kedudukan
seseorang yang menguasai suatu kebendaan, baik dengan diri sendiri, maupun dengan
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
131
milik orang lain, misalnya hak guna usaha, hak guna bangunan, hak sewa,
hak memungut hasil dan hak pengelolaan atas tanah yang diatur dalam
UUPA No. 5 tahun 1960. Adapun hak yang diatur dalam KUH. Perdata
adalah hak atas benda bergerak misalnya, bezit, hak memungut hasil bezit,
hak pakai bezit, dan lain-lain.
2 Hak kebendaan yang memberikan jaminan (zakalijk zakerheidsrecht).Yaitu
hak kebendaan yang memberikan kepada yang berhak (kreditur) untuk
didahulukan mengambil pelunasan dari hasil penjualan barang yang
dibebani hak, misalnya hak tanggungan atas tanah dan hak fiducia,
sedangkan menurut KUH. Perdata misalnya hak gadai yang meletakkan
jaminannya bergerak, hipotek yang meletakkan jaminannya benda-benda
tetap dan sebagainya.5
D. Konsep Hak Milik Atas Harta Kekayaan
Hak milik bersumber pada kenyataan hidup manusia yang tidak
mungkin dapat dipisahkan dari kebutuhan-kebutuhannya sehari-hari, dalam
rangka meningkatkan taraf hidup dan kesejateraannya masing-masing. Untuk
sampai kepada itu semua, tentunya setiap orang harus memiliki harta kekayaan
berupa benda dan barang-barang tertentu. Kepemilikan seseorang atas benda
ini tentunya dibatasi oleh hukum, agar tidak merugikan orang lain.
Menurut ketentuan hukum perdata, hak milik adalah hak terkuat dan
paling sempurna atas harta kekayaan, hak milik memberikan kekuasaan kepada
setiap orang untuk menikmati sepenuhnya suatu benda dengan sebebasbebasnya, sejauh tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan
umum yang diadakan oleh kekuasaan yang mempunyai wewenang untuk itu,
dan asal tidak mengganggu hak orang lain (Pasal 570 KUH. Perdata).
Kepemilikan mempunyai sosok hukum yang lebih jelas dan pasti
dibandingkan dengan penguasaan atas benda, dalam penguasaan yang penting
adalah seseorang menguasai sesuatu barang secara nyata pada waktu itu, tanpa
perlu menunjuk kepada legitimmasi hukum lain kecuali barang itu di tangan
seseorang. Sedangkan kepemilikan memerlukan adanya legitimasi, sehingga
hubungan antara seseorang dengan objek yang menjadi sasaran kepemilikan
perantaraan orang lain, dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku orang yang
memiliki kebendaan itu”. Dari ketentuan Pasal 529 KUH. Perdata tersebut diketahui bahwa
pada dasarnya kedudukan berkuasa atau menguasai memberikan kepada pemegang kedudukan
berkuasa tersebut kewenangan untuk mempertahanka atau menikmati benda yang dikuasainya
sebagaimna layaknya seorang pemilik. Dengan demikian atas suatu benda yang tidak diketahui
pemiliknya secara pasti, seorang pemegang kedudukan berkuasa dapat dianggap sebagai
pemilik dari kebendaan tersebut. Kartini Mulyadi & Gunawan Widjaya, Kedudukan Berkuasa
dan Hak Milik Dalam sudut Pandang KUH. Perdata, Jakarta, Prenada Media, 2004, hlm. 138.
5
Salim, HS., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta, Sinar Grafika, hlm.
100.
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
132
terdiri atas suatu komplek hak-hak.6 Kepemilikan adalah suatu hak, bukan
suatu barang. Kepemilikan adalah tuntutan yang dapat dipaksakan dan
diciptakan oleh negara.7
Prof. Mariam Darus Badrulzaman mengistilahkan hak milik dengan
“hak kemilikan”, yaitu hak milik dalam arti umum (luas), tidak terbatas hanya
pada hak milik atas benda-benda berwujud, benda bergerak atau tidak bergerak
seperti tanah, bangunan, mobil, sepeda dan sebagainya. Akan tetapi mencakup
seluruh hak atas benda baik berupa barang ataupun hak, sepanjang hak
kemilikan tersebut mempunyai objek yang diperbolehkan hukum, yaitu benda
(berwujud dan tidak berwujud).8
Dalam konsep hukum Islam pengertian hak milik yang digambarkan
oleh ulama fiqh ada beberapa macam, namun keseluruhan dari definisi tersebut
secara esensial dapat dikatakan hampir sama. Untuk itu di sini hanya akan
dikemukakan salah satu konsep saja yang dianggap dapat mewakili kesemua
definisi tentang hak milik dalam Islam yang dikemukakan oleh Muhammad
Abu Zahra yaitu: Pengkhususan seseorang terhadap suatu benda yang
memungkinkannya untuk bertindak hukum terhadap benda itu (sesuai dengan
keinginannya), selama tidak ada halangan syara’.9 Artinya benda yang
dikhususkan kepada seseorang itu sepenuhnya berada dalam penguasaannya,
karena itu si pemilik harta bebas untuk melakukan perbuatan hukum atas
hartanya tersebut, seperti menjual, hibah, wakaf, wasiat, atau meminjamkannya
kepada orang lain selama tidak adanya halangan syara’. Contoh halangan
syara’ yang dapat membatasi kebebasan pemilik hak atas harta kekayaannya
seperti anak-anak yang belum dewasa (baligh), orang gila, orang yang jatuh
pailit, sehingga dalam hal-hal tertentu mereka tidak dapat bertindak terhadap
harta miliknya sendiri.10
Dari semua pengertian tentang hak milik yang telah dikemukakan di
atas, dapat diketahui bahwa hak milik mempunyai ciri tersendiri yang berbeda
dengan ciri hak lainnya. Menurut P. J. Fitgerald sebagaimana dikutip Satjipto
Rahardjo dalam bukunya Ilmu Hukum, ciri hak milik adalah sebagai berikut;
1. Pemilik mempunyai hak untuk memiliki barangnya, meskipun dia dalam
kenyataannyaa tidak memegang atau menguasai barang itu;
6
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, Cet. 5.,
2000, hlm. 62.
7
C. B. Machperson, Pemikiran Dasar tentang Hak Milik, Jakarta, Yayasan LBH
Indonesia, 1978, hlm. 234.
8
Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H., Mencari Sistem Hukum..., hlm. 43.
9
Muhammad Abu Zahra, al-Milkiyah wa Nazhariyah al-“aqd fi asy-Syari’ah alIslamiyah, Mesir, Dar al-Fikr al-Arabi, 1962, hlm 15-16
10
Mustafa Ahamad az-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqhi al-Am, Jilid III, Damaskus,
mathlabi Fata al-Arab, 1965, hlm. 241.
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
133
2. Pemilik mempunyai hak untuk menggunakan hak dan menikmati barang
yang dimilikinya secara merdeka;
3. Pemilik mempunyai hak untuk menghabiskan, merusak atau
memindahkan/menyerahkan
barangnya
kepada
siapapun
yang
dikehendakinya;
4. Kepemilikan mempunyai ciri tidak mengenal jangka waktu, oleh karena itu
secara teoritis hak milik berlaku untuk selamanya;
5. Kepemilikan mempunyai ciri yang bersifat sisa, maksudnya seorang pemilik
bisa memberikan hak kepada orang lain seperti hak sewa misalnya, namun
si pemilik tetap memiliki hak atas bendanya itu terdiri dari sisanya sesudah
hak-hak itu ia berikan kepada orang-orang lain.11
Sementara Titik Triwulan Tutik menyebutkan bahwa ciri-ciri hak milik
antara lain:
1. Merupakan hak pokok terhadap hak-hak kebendaan lain yang bersifat
terbatas;
2. Merupakan hak yang paling sempurna;
3. Bersifat tetap, artinya tidak akan lenyap oleh hak kebendaan yang lain.
Sedangkan hak kebendaan yang lain dapat lenyap oleh hak milik; dan
Merupakan inti dari hak-hak kebendaan.12
E. Landasan Hukum Hak Milik Atas Harta Kekayaan (Benda) Di
Indonesia
1 Undang-Undang Dasar 1945
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen, kita dapati bahwa
pengakuan terhadap hak milik sudah mendapat tempat tersendiri.Berbeda
halnya dengan UUD 1945 sebelum amandemen yang tidak menyebutkan
secara tersurat permasalahan lembaga hak milik ini, kendati secara tersirat
sebenarnya hal tersebut ada, yang dapat dijabarkan dari ketentuan Pasal 33
UUD 1945.
Lembaga hak milik dalam UUD 1945 hasil amandemen dimasukkan ke
dalam Bab XA tentang hak asasi manusia. Pada Pasal 28H ayat (4) dengan
tegas dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi
dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh
siapapun”. Selain itu, UUD 1945 hasil amandemen pada Pasal 28G juga
menjamin perlindungan terhadap setiap harta benda atau kekayaan yang
dimiliki oleh setiap orang.
11
12
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., Ilmu Hukum, hlm. 64.
Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Hukum Perdata..., hlm. 164.
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
134
Dengan adanya ketentuan tentang hak milik dan perlindungannya
dicantumkan langsung dalam UUD 1945, berarti bahwa hak milik sudah
mendapat pengakuan yang sangat kuat dan telah mendapat tempat
tersendiri dalam sistem hukum dan perundang-undangan di Indonesia, tidak
lagi hanya tersurat dalam peraturan perundang-undangan operasional
semata sepertu UUPA Nomor 5 Tahun 1960, UU Perkawinan Nomor 1
tahun 1974, atau UU Hak cipta Nomor 19 tahun 2002 saja misalnya.
2 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960
Pasal 20 UUPA mengatakan bahwa hak milik adalah hak turun temurun,
terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan
mengingat ketentuan dalam Pasal 6 (Semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial).
Penjelasan Pasal 20 ini menjelaskan tentang sifat-sifat hak milik yaitu hak
yang “terkuat” dan “terpenuh”, yang dapat dipunyai orang atas tanah. Sifat
terkuat dan terpenuh ini menjadi pembeda antara hak milik dengan hak-hak
lainnya atas tanah. Pemberian sifat yang demikian dalam UUPA tidak
berarti bahwa hak itu merupakan “hak yang mutlak” tak terbatas dan tidak
dapat diganggu gugat, sebagaimana hak eigendom menurut pengertian
yang asli pada masa dulu. Apabila sifat hak milik yang dimaksud UUPA
adalah seperti yang dimaksud hak eigendom pada masa lalu, tentu sifat
tersebut akan sangat bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi
sosial dari tiap-tiap hak.
Kata-kata terkuat dan terpenuh itu, bermaksud untuk membedakan hak
milik dari hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak lainnya
yaitu untuk menunjukkan bahwa di antara hak-hak atas tanah yang dapat
dipunyai orang, hak milik adalah hak yang “ter” (artinya: paling) kuat dan
terpenuh dibanding dengan hak-hak atas tanah lainnya.13
3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Pasal 570 KUH. Perdata mengatakan bahwa hak milik pada umumnya
adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa
dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan sepenuhnya, asal
tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang
ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkan dan tidak
mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tidak mengurangi
kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum
13
Prof. Dr. Mariam darus Badrulzaman, S.H., Mencari Sistem Hukum..., hlm. 45.
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
135
berdasarkan atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti
rugi.
4 Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002
UU nomor 19 Tahun 2002 mengakui adanya hak milik atas ciptaan,
pengertian yang diberikan oleh undang-undang ini tentang hak cipta dalam
Pasal 2 yaitu: “Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau
Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak
Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan
tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku”.
Selain itu, dalam Pasal 1 angka 4 juga disebutkan bahwa Pemegang Hak
Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang
menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih
lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.
Karena hak cipta digolongkan sebagai hak milik, maka hak cipta dapat
dialihkan kepemilikan baik seluh atau sebagiannya kepada orang lain,
seperti halnya benda pada umumnya. Ketentuan mengenai ini diatur dalam
Pasal 3 ayat (2) yaitu: Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan, baik
seluruhnya maupun sebagian karena
a. Pewarisan;
b. Hibah;
c. Wasiat;
d. Perjanjian tertulis; atau
e. Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
Kiranya penjelasan Pasal-pasal dari UU Hak Cipta di atas dapat
memberikan gambaran bahwa hak cipta adalah hak milik intelektual atas
benda bergerak.
5 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
juga meletakkan ketentuan mengenai harta kekayaan, khususnya
menyangkut tentang harta kekayaan anak di bawah perwalian, harta yang
diperoleh suami dan isteri selama dalam ikatan perkawinan (harta
bersama), dan mengenai harta bawaan atau harta yang diperoleh sebelum
perkawinan.
Pasal 35 ayat (1) UU No. 1/1974 menyatakan bahwa: Harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama. Sementara
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
136
KHI melalui Pasal 85 juga mengakui tentang adanya harta bersama,
meskipun tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing
suami isteri. Terhadap harta bersama ini UU No. 1 /1974 juga menentukan
bahwa suami isteri apabila ingin melakukan perbuatan hukum atas harta
bersama maka harus mendapat persetujuan dari pihak lainnya (Pasal 35
ayat (2)). Demikian pula KHI menentukan yang demikian dalam Pasal 92.
Berikutnya UU No. 1/1974 juga menentukan selain harta bersama, juga
dimungkinkan suami isteri mempunyai harta milik masing-masing yang
terpisah dari harta bersama dan berada di bawah penguasaan masingmasing. Pasal 35 ayat (2) mengatakan bahwa harta bawaan dari masingmasing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Senada dengan UU No. 1/1974, KHI dalam Pasal 87 ayat (1) juga
menyatakan hal yang sama. Harta bawaan dari masing-masing suami dan
isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan
adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak
menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Selanjutnya KHI dalam
Pasal 87 ayat (2) melanjutkan bahwa Suami isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing
berupa hibah, hadiah, shadaqah atau lainnya.
Selain itu, UU No. 1/1974 juga mengatur tentang pengurusan harta anak di
bawah umur, baik yang berada di bawah kekuasaan orang tua maupun anak
yang berada di bawah perwalian, ketentuan mengenai hal ini diatur dalam
Pasal 51 ayat (3) dan (4). Orang tua atau wali juga dilarang untuk
melakukan perbuatan hukum seperti memindahkan hak atau menggadaikan
harta anak di bawah umur, kecuali apabila kepentingan anak itu
menghendakinya (Pasal 48 dan 52). Wali juga bertanggung jawab tentang
harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang
ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya (Pasal 51 ayat (5)).
Mengenai hal ini, KHI juga mengaturnya dalam Pasal 110 ayat (1), (2), (3)
dan ayat (4), serta dalam Pasal 111 ayat (1).
F. Kepemilikan Bersama Menurut Hukum Perdata
Sebelumnya telah disinggung sepintas tentang kepemilikan bersama
atas benda atau harta kekayaan, yaitu kepemilikan harta bersama dalam
perkawinan. Berikutnya di sini akan diuraikan lebih lanjut tentang kepemilikan
bersama menurut ketentuan hukum perdata. KUH. Perdata secara konkrit tidak
mengatur ketentuan umum mengenai pemilikan bersama, karenanya yang
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
137
dianggap ketentuan umum dalam hal ini adalah ketentuan mengenai pemisahan
dan pembagian harta dalam hukum waris.
Hak milik bersama terjadi jika lebih dari seorang merupakan pemilik
dari suatu benda yang sama. Setiap pemilik peserta memiliki bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari benda itu. Pasal 573 KUH. Perdata menyatakan bahwa
“Membagi suatu kebendaan yang menjadi milik lebih dari satu orang, harus
dilakukan menurut aturan-aturan yanmg ditentukan tanggal pemisahan dan
pembagian harta peninggalan”.
Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu benda dapat
dimiliki oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, dan jika akan
diadakan pemisahan atau pembagian terhadap harta tersebut kepada para
pemegang hak milik bersama maka harus dilakukan menurut ketentuanketentuan yang berlaku dalam pemisahan dan pembagian harta peninggalan.14
Dengan penjelasan tersebut kiranya jelaslah bahwa meskipun KUH.
Perdata tidak menentukan mengenai harta bersama ini dalam ketentuan umum,
atau dalam salah satu pasalnya secara konkrit, namun sebenarnya hal itu ada
diatur kendati dalam bentuk yang memerlukan kepada penafsiran atau
penalaran lebih lanjut. Selain itu, hukum perdata juga telah menunjukkan
beberapa macam bentuk lembaga pemilikan bersama, yang secara ilmiah dan
praktiknya dapat diterima dalam pasal-pasalnya, baik dalam hukum kebendaan,
hukum perikatan, maupun dalam hukum warisnya.
Diantara contoh kepemilikan bersama yang dapat ditemukan dalam
KUH. Perdata adalah lembaga pemilikan bersama berikut ini:
1 Yang terjadi karena pembelian bersama;
2 Rumah susun;
3 Warisan yang belum dibagi;
4 Persekutuan/perseroan;
5 Firma; dan
6 Harta benda perkawinan.15
7
Hak milik bersama dapat terjadi melalui perjanjian atau karena undangundang. Hak milik bersama yang muncul dari perjanjian misalnya beberapa
orang bersepakat dan menghendaki untuk membeli suatu benda atau barang
seperti tanah, toko, gudang, atau lainnya secara bersama-sama (patungan).
Untuk menentukan hak masing-masing pihak atas benda yang dibeli bersama
tersebut ditentukan secara seimbang dengan jumlah pembayaran harga yang
mereka berikan masing-masing untuk membeli benda tersebut. Undang-undang
menetapkan bahwa harta warisan menjadi milik bersama dari para ahli waris,
14
15
Ibid., hlm., 54
Ibid., hlm., 55.
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
138
dan milik bersama ini dapat dipisahkan dengan melakukan pembagian warisan
tersebut (Pasal 1066 KUH. Perdata).
G. Kepemilikan Publik/Negara Atas Benda Menurut Hukum Perdata
Kepemilikan harta kekayaan selain hak milik pribadi, baik itu
pemilikan perorangan atau pemilikan secara bersama telah diuraikan dalam
bahasan sebelumnya. Berikutnya di sini akan dibahas tentang kepemilikan
publik atau kepemilikan masyarakat umum secara bersama-sama.
Konsep pemilikan publik atau pemilikan umum secara tegas tidak
didapati dalam KUH. Perdata, konsep ini dapat ditemukan dalam UndangUndang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960. Pasal 6 Undang-Undang Pokok
Agraria menjelaskan bahwa semua hak apapun atas tanah yang dimiliki
seseorang tidak boleh semata-mata digunakan untuk kepentingan pribadinya,
namun juga penggunaan tanah tersebut harus memberikan manfaat bagi
kepentingan masyarakat dan negara.
Di samping itu, tidak boleh dilupakan pula bahwa interpretasi asas
fungsi sosial hak atas tanah harus digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan
haknya, sehingga bermanfaat bagi si pemegang hak dan bagi masyarakat, dan
bahwa kepentingan perseorangan itu diakui dan dihormati dalam rangka
pelaksanaan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. 16 Dengan adanya
keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan umum, dalam
pemanfatan tanah dan harta kekayaan lainnya diharapkan akan tercapai
keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat.17
Lebih konkritnya tentang kepentingan umum disebutkan dalam Pasal 7
UUPA No. 5/1960 yaitu “Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka
pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”.
Kata “kepentingan umum” dalam UUPA ini dapat diartikan sebagai
kepentingan seluruh masyarakat, karenanya dapat pula ditafsirkan bahwa
apabila tanah atau benda lainnya sudah alihkan kepemilikannya dari milik
individu kepada kepentingan umum, berarti tanah atau benda tersebut telah
menjadi “milik publik” atau milik masyarakat umum yang dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan semua masyarakat secara bersama-sama. Kepemilikan
publik bila diinterpretasikan lebih jauh, pada dasarnya adalah “milik negara”
yang digunakan untuk kepentingan bersama seluruh warga masyarakat
(kepentingan umum).
16
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi,
Jakarta, Kompas, 2006, hal. 79
17
Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung, Alumni,
1984, hal 21
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
139
Pada beberapa tahun terakhir ini juga terlihat adanya kecenderungan
dalam perumusan peraturan perundang-undangan untuk memperluas makna
dan arti keuangan negara sebagai keuangan publik secara keseluruhan.18 Hal
ini tercermin setidaknya dalam beberapa produk perundang-undangan
misalnya; UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 19 tahun
2003 Tentang badan Usaha Milik Negara, UU No. 1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara, UU No. 15 Tahun 2006 Tentang Pemeriksaan,
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, UU No. 15 Tahun 2006
Tentang Badan pemeriksaan Keuangan Negara, UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU
No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan
Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum.
Peraturan perundang-undangan yang disebutkan di atas secara
gamblang menyebutkan dan mengakui tentang keberadaan hak milik publik,
yang pada hakikatnya merupakan milik negara yang digunakan untuk
kepentingan publik atau rakyatnya. seperti ketentuan Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara misalnya mengatakann
bahwa keuangan negara adalah: “Semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa
barang yang dapat dijadikan milik negara sehubungan dengan pelaksanaan hak
dan kewajiban tersebut”.
Definisi keuangan negara dalam Pasal 1 UU No. 17/2003 tersebut,
dengan jelas menyebutkan tentang adanya harta milik negara yang identik
dengan milik publik, meliputi uang maupun barang. Semua harta milik negara
tentunya harus digunakan untuk kepentingan umum negara, dan kepentingan
umum rakyatnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan.
H. Konsepsi Harta Agama Islam Menurut Fiqh dan Hukum Perdata
Islam Indonesia
Kataal-maldalam bahasa arab bermakna senang, condong atau
berpaling dari satu posisi kepada posisi yang lain.19 Sedangkan makna
terminologi, menurut Wahbah Zuhaili pengertian yang diberikan Mustafa
Ahamd az-Zarqa yang relatif sempurna, karena makna itu sesuai dengan yang
18
Prof. Dr. Arifin P. Soeria Atmaja, S. H., Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan
Negara dalam Implikasi Hukumnya Terhadap Risiko Fiskal, dalam Buku “Paradigma
Kebijakan Hukum Pasca reformasi” (dalam rangka ultah ke 80 Prof. Solly Lubis), Jakarta, PT.
Sofmedia, hlm. 252.
19
A. W. Munawwir,. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap, Pustaka
Progresif, Surabaya, 1997, hal. 1372.
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
140
dimaksudkan Alquran surat Al-Baqarah:29, yakni segala sesuatu yang
diciptakan-Nya di bumi adalah untuk dimanfaatkan umat manusia.
Secara teknis pembatasan makna harta dapat ditentukan dengan dua
cara: berdasarkan‘ainiyah, yaitu harta itu ada wujudnya dalam kenyataan
(a’yan) dan ‘urufiyah. Secara ’urufiyah, harta adalah segala sesuatu yang
dipandang harta oleh seluruh manusia atau sebagian manusia. Sementara
menurut i’ainiyah, manfaat sebuah rumah yang dipelihara seseorang tidak
disebut harta, tetapi dinamakan dengan hak. Dalam Alquran, istilah harta (almal/al-amwal) disebutkan dalam 87 ayat. Secara umum penyebutan itu ada tiga
tujuan diberikan Allah kepada makhlukNya.
Pertama, harta merupakan cobaan Allah kepada manusia dalam
menjalan kehidupan (2:155, 34:37, 9:55, 27:36, 9:85, 10:88, 26:88); Kedua,
harta sebagai kebutuhan hidup manusia sehari-hari (4:5, 33:27); Ketiga, harta
dipergunakan untuk masyarakat, agar tata kehidupan kebersamaan mereka
lebih baik (9:41, 49:15, 61:11). Dari ketiga tujuan itu dapat dipahami bahwa
harta lebih difungsikan sebagai alat yang presenden bagi kehidupan manusia
dalam bermasyarakat. Artinya, posisi harta dalam kehidupan memiliki wadah
pengikat antar individu dalam masyarakat. Oleh karena itu, harta lebih
diperuntukkan pada kepentingan sesama manusia daripada kepentingan
individu.20
Abi Abdul Qasim ibn Sallam menyebutkan bahwa pada awal Islam
harta dibagi kepada tiga kelompok: harta yang diberikan Allah kepada
RasulNya (fai’); ghanimah; dan, khumus ( 15 %). Ketiga bentuk harta ini
merupakan ketetapan Allah yang memiliki tujuan sebagai wadah membangun
kehidupan yang bermartabat di bawah panji-panji Islam. Kemudian, dalam
perkembangan selanjutnya, kepemilikan harta dibagi kepada tiga macam;
pemilikan individu (private property), pemilikan umum (collective property),
dan pemilikan negara (state property).21Kepemilikan umum dan negara
kemudian menjadi milik bersama (umat). Oleh sebab itu, dua kelompok ini
cenderung disatukan. Hanya saja, kepemilikan negara mencakup seluruh
masyarakat, sedangkan fasilitas umum kadang-kadang dibatasi pada
masyarakat tertentu.22
Harta umat dinamakan juga dengan harta agama, yakni milik Allah
yang diberikan kepada umat manusia secara kebersamaan. Peneyebutan harta
agama bagi negara Islam dimaknakan dengan harta yang mencakup seluruh
20
Isma’il Muhammad Syah (Ismuha), dkk.Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi
Aksara, 1999, hal. 189.
21
Didin Hafidhuddin, Agar Harta Berkah dan Bertambah, Jakarta: Gema Insani, 2007,
hal. 21.
22
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: Raja GrafindoPersada,
2002, hal. 20-30.
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
141
harta yang pemilikannya adalah umat, sementara dalam negara sekuler, harta
umat dikelompokkan kepada dua; yang berhubungan dengan agama dinamakan
dengan harta agama, dan di luar dari itu dinamakan dengan harta negara.Harta
agama itu pengelolaannya dilakukan negara secara adil untuk masyarakat,
sehingga mereka dapat memperoleh kebahagiaan dalam kehidupannya.
Lembaga yang dijadikan intrumen pengelolaan harta ini untuk dapat
dimanfaatkan dan difungsikannya adalah melalui Baitul Mal.23
Menurut al-Mawardi, Baitulmal merupakan tempat mendaftar,
mencatat tentang pengumpulan dan penyaluran harta agama. 24Jika dilihat
pengertian yang terdapat dalam Dictionary of Islam, Baitul Mal
dimaksudkan sebagai perbendaharaan negara yang menerima uang yang
dipungut oleh negara Islam dari berbagai sumber.25
Konsepsi harta agama di Indonesia, hanya dikenal sebagai harta
bersama yang dimiliki umat Islam melalui Baitul Mal, karenanya harta agama
ini hanya digunakan untuk kepentingan agama Islam saja, serta untuk
kepentingan umum yang tidak bertentangan dengan syari’at. Untuk melihat
lebih jauh tentang konsepsi harta agama yang dikenal di Indonesia, dapat
ditelusuri melalui beberapa peraturan hukum perdata Islam yang telah
dikeluarkan pemerintah Indonesia.
1 Kompilasi Hukum Islam Indonesia (Inpres No. 1 Tahun 1991)
Kompilasi Hukum Islam Indonesia (KHI), merupakan tonggak awal diakui
dan berlakunya hukum materil Islam khususnya dalam bidang keperdataan
tertentu di Indonesia, kendati kedudukan KHI sendiri dalam hirarkhi
perundang-undangan di Indonesia sanagat lemah dan sampai saat ini masih
terus diperdebatkan. KHI memang tidak secara tegas mendefinisikan dan
menyebut tentang harta agama, namun kandungan isi KHI dan menyangkut
aturan-aturan mengenai harta umat Islam ada di dalamnya.
Sebagai contoh dapat ditilik bunyi Pasal 191 KHI yang menyatakan bahwa
”Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau atau ahli
warisnya tidak diketahui ada tidaknya, maka harta tersebut atas putusan
Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk
kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum”.
Dari bunyi Pasal 191 KHI tersebut, dapat ditangkap makna bahwa harta
agama itu adalah harta umat Islam yang sumbernya dapat dari harta
warisan yang tidak ada ahli warisnya, atau dari sumber lain seperti zakat,
infaq, shadaqah, wakaf, hibah dan lain sebagainya yang dikelola oleh
Baitul Mal atau BAZIS. Di mana harta agama tersebut harus dimanfaatkan
23
Didin Hafidhuddin, Agar Harta...hal. 21-23.
A. W. Munawwir,. Kamus …, hal. 124.
25
Patrick Thomas Huges, Dictionary of Islam, London, 1964, hal. 35.
24
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
142
untuk kepentingan agama Islam, dan kepentingan masyarakat umum yang
tidak bertentangan dengan syara’.
Selain itu dalam buku ke III KHI tentang hukum perwakafan, pada Pasal
215 ayat (1) ketentuan umum, juga disebutkan bahwa ”Wakaf adalah
perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk
selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya
sesuai ajaran Islam”. Ketentuan ini memperlihatkan bahwa adanya harta
atau benda yang dimiliki umat Islam, yang kemudian diserahkan kepada
Baitul Mal atau lembaga terkait lainnya dan menjadikannya sebagai harta
agama, untuk digunakan demi kepentingan ibadah atau kepentingan umum
sesuai ajaran Islam.26
2 Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU No. 11 Tahun 2006)
Istilah ”harta agama” secara tegas diperkenalkan dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia melalui UU No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh. Dalam Pasal 191 ayat satu disebutkan bahwa ”Zakat,
harta wakaf, dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal
kabupaten/kota. Kendati undang-undang ini tidak menjelaskan secara rinci
maksud dari istilah harta agama tersebut, namun setidaknya istilah ini telah
baku digunakan dalam produk hukum di negeri ini.
3 Fatwa MPU Aceh (Fatwa No. 2 dan 3 Tahun 2005)
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, dengan mengeluarkan Fatwa Nomor 2 Tahun 2005 tanggal 7
Februari 2005, diantara isi fatwa tersebut adalah: ”Tanah dan harta benda
yang ditinggalkan korban gempa dan tsunami yang tidak meninggalkan ahli
waris, adalah menjadi milik umat Islam melalui Baitul Mal setelah
mendapatkan penetapan dari Mahkamah Syar’iyah”. Bunyi butir fatwa
tersebut kembali dipertegas dan diulangi dalam Fatwa Nomor 3 Tahun
2005 tanggal 17 April 2005.
4 Perpu Nomor 2 Tahun 2007 yang mejadi UU No. 48 Tahun 2007.
Dalam rangka memperlancar proses pelaksanaan rehabilitasi dan
rekonstruksi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias
Provinsi Sumatera Utara pasca tsunami, pemerintah pada tahun 2007 telah
pula mengeluarkan sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang26
Sebelumnya mengenai perwakafan ini telah diatur melalui PP No. 28 Tahun 1977
tentang Perwakafan Tanah Milik. Saat ini mengenai perwakafan ini telah diatur dalam UU No.
41 tentang Wakaf.
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
143
Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanganan Permasalahan
Hukum Dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah
dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan
Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, yang kemudian ditetapkan
menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007 pada tanggal 28
Desember 2007.
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2007 juga menyinggung tentang
keberadaan harta agama umat Islam ini. Pada Bab III tentang Kepemilikan
dan Pengelolaan ahli Tanah, Pasal 8 dinyatakan bahwa: “Tanah yang tidak
ada lagi pemilik dan ahli warisnya yang beragama Islam menjadi harta
agama dan dikelola oleh Baitul Mal”.
5 Qanun Aceh tentang Baitul Mal (Qanun No. 10 Tahun 2007)
Konsepsi yang lebih rinci dan jelas tentang harta agama di Indonesia
diberikan oleh Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal.
Dalam aturan umum qanun ini, angka 11 disebutkan bahwa ”Baitul Mal
adalah lembaga daerah non struktural yang diberi kewenangan untuk
mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, harta agama dengan tujuan
untuk kemaslahatan umat”.
Harta agama yang dimaksud dalam aturan ini dijelaskan lebih lanjut oleh
aturan umum angka 22 Qanun Baitul Mal yaitu: ”Sejumlah kekayaan umat
Islam yang bersumber dari zakat, wakaf, hibah, meurasa, harta wasiat, harta
warisan, dan lain-lain yang diserahkan kepada Baitul Mal untuk dikelola
dikembangkan sesuai dengan ketentuan syari’at”.
I. Penutup
Dari uraian di atas tergambar bahwa hukum harta kekayaan yang diatur
dalam KUH. Perdata Indonesia, pada prinsipnya sudah mencakup segala aspek
keperdataan mnyangkut harta kekayaan atau benda. Kajian ini telah
memfokuskan diri pada kepemilikan terhadap harta yang di atur dalam KUH.
Perdata, baik kepemilikan pribadi, kepemilikan bersama, maupun kepemilikan
publik/ masyarakat umum.
Konsep mengenai kepemilikan harta agama secara khusus memang
tidak dikenal dan diatur oleh KUH. Perdata, namun demikian pada hakikatnya
mengakui keberadaan harta agama ini terutama harta agama umat Islam,
sebagai sebuah bentuk kepemilikan publik/ kepemilikan umum dari umat Islam
Indonesia. Berbagai peraturan perundang-undangan yang lahir setelah KUH.
Perdata, telah mengakui tentang adanya harta agama, dan telah pula
dimasukkan sebagai konsep baku di dalamnya, seperti UU No. 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh, UU No. 48 Tahun 2007 tentang Rehabilitasi dan
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
144
Rekonstruksi Aceh dan Nias Pasca Tsunami, UU Zakat, UU Wakaf, Kompilasi
Hukum Islam Indonesia, dan berbagai peraturan hukum lainnya.
Kiranya konsep harta agama yang telah mendapat tempat dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia ini, terus dapat dikembangkan
sehingga melingkupi segala aspeknya secara keperdataan. Hal ini penting
dilakukan dalam rangka memantapkan keberadaan dan keberhasilan politik
hukum Islam di Indonesia di masa datang, sehingga keberadaan harta agama
ini kemudian hari dapat lebih bermanfaat dan terlindungi dengan baik.
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
145
DAFTAR PUSTAKA
Arifin P. Soeria Atmaja, Prof. Dr. S. H., Pengertian dan Ruang Lingkup
Keuangan Negara dalam Implikasi Hukumnya Terhadap Risiko Fiskal,
dalam Buku “Paradigma Kebijakan Hukum Pasca reformasi” (Dalam
Rangka Ultah ke 80 Prof. Solly Lubis), Jakarta: 2010, PT. Sofmedia.
A. W. Munawwir,.Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap, Surabaya,
1997: Pustaka Progresif.
CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta,
2000: Balai Pustaka.
C. B. Machperson, Pemikiran Dasar tentang Hak Milik, Jakarta, 1978:
Yayasan LBH Indonesia.
Didin Hafidhuddin, Agar Harta Berkah dan Bertambah, Jakarta, 2007: Gema
Insani, 2007,
Isma’il Muhammad Syah (Ismuha), dkk., Filsafat Hukum Islam, Jakarta: 1999,
Bumi Aksara.
Kartini Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: 2002, Raja
GrafindoPersada.
Mulyadi & Gunawan Widjaya, Kedudukan Berkuasa dan Hak Milik Dalam
sudut Pandang KUH. Perdata, Jakarta: 2004, Prenada Media.
Mariam darus Badrulzaman, Prof. Dr. S.H., Mencari Sistem Hukum Benda
Nasional, Jakarta; 1997, Cet. 2, Alumni.
Muhammad Abu Zahra, al-Milkiyah wa Nazhariyah al-“aqd fi asy-Syari’ah alIslamiyah, Mesir: 1962, Dar al-Fikr al-Arabi.
Mustafa Ahamad az-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqhi al-Am, Jilid III, Damaskus:
1965, Mathlabi Fata al-Arab.
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan
Implementasi, Jakarta: 2006, Kompas.
Patrick Thomas Huges, Dictionary of Islam, London: 1964.
Salim, HS.,Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: tt., Sinar
Grafika.
Satjipto Rahardjo, Prof. Dr. S.H., Ilmu Hukum, Bandung: 2000, Cet. 5, Citra
Aditya Bakti.
Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung: 1984,
Alumni.
Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Hukum Perdata dalam Sistem Hukum
Nasional,
Jakarta:
2008,
Kencana.
EMK Alidar
Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .
146