Globalisasi Dalam Perspektif Sosial dan

Globalisasi Dalam Perspektif Sosial dan Budaya di Indonesia;
Antara Peluang dan Tantangan
Slamet1

Abstract
The dialectic's process of global and local culture is an historic
certainty, as a result of the globalization. Globalization has “invaded” all
spheres of life. Beginning from economic, politic, and social-culture. One
of the impacts of it’s changes in the socio-culture structure in the society.
So, there is a new challenges for the local cultures in the developing
countries. They have to choose between be “The Net” and “The Self”, or
between change local culture into global culture and maintain of local
culture.
Muller said that the every political development which is not
consider of local wisdom surely would fail, but it’s not for globalization.
Because it’s a process of making cultures in the world as a global culture
through information technology (IT). Media produced a reality in its self
perspective as a reality in the world, after that young generation follow it
and make it as a new reality. So they have to follow that. This media
construction is a part of globalization impacts.
Now, young generation in Indonesia didn’t feel about interest of

keeping for local culture. So, it’s our responsibility to keep it. People have
to aware that culture is vital unsure of democracy for this country. And the
differences between one culture and another culture in the world is
certainty. For that, God has been said in His holly book, so all human
being in the universe may learn about that differences.
Key Word: Globalization, Democracy, Social-Culture

1

Penulis lahir di Batang, 09 Juni 1990. Saat ini penulis merupakan Wakil Sekretaris
Jenderal Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP.IPNU) Periode 2012-2015 dan
mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Beberapa
karya penulis yang pernah dipublikasikan antara lain; Anggaran yang Masih Wajar (Kompas,
2010), Selebrasi Tanpa Refleksi (Kompas, 2010), Bukan Ilmu Laduni (NU Online, 2012), Wanita
Senja (NU Online, 2012), Jadzab Gus Nasr (NU Online, 2013), Putra Mahkota Kiai Fatwa
(Harian Satelit Post, 2013), Pesona Kiai Jalal (NU Online, 2013), dan lain-lain.

Pendahuluan
Membincang Indonesia dan kekayaan budayanya, tak ubahnya membahas
garam di lautan. Pernyataan itu—dalam hemat penulis—kiranya tidak berlebihan

untuk mengibaratkan betapa Indonesia memiliki kekayaan yang tak ternilai
harganya. Kekayaan khasanah kebudayaan tersebut merupakan konsekuensi logis
dari wilayah-wilayah di Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke.
Alhasil, Indonesia sangatlah kaya dengan budayanya.
Namun, kebudayaan yang telah terbangun lama ternyata belum
sepenuhnya terpatri dalam sistem kehidupan sosial masyarakatnya. Budaya yang
diwariskan oleh nenek moyang kian lama kian menghilang dari peredarannya.
Salah satu sebabnya adalah mewabahnya arus globalisasi yang telah mengikis
sendi-sendi kehidupan masyarakat, terutama dalam hal perubahan sistem sosial
dan kebudayaan. Akhirnya, kebudayaan Indonesia yang sebelumnya mengakar di
masyarakat sebagai sebuah sistem, semakin lama semakin tergerus dan
meninggalkan kemajuan zaman.
Indonesia sebagai negara dunia ketiga—istilah lain dari negara
berkembang yang digagas oleh Alfred Sauvy (1952)—memiliki ketergantungan
yang sangat besar terhadap negara-negara maju. Johannes Müller mengatakan
bahwa negara-negara berkembang memiliki ketergantungan terhadap negara maju
dalam tiga hal besar, yaitu; ketergantungan politik, ekonomi, dan sosial-budaya.2
Dalam hal ketergantungan sosial-budaya, negara dunia ketiga lebih banyak
mengadopsi budaya-budaya barat yang dianggapnya lebih maju dan jauh
meninggalkan kebudayaan “primitiv”. Terlebih ketika barat telah menguasai dunia

informasi maka pertukaran kebudayaan seperti tanpa batas, dan sayangnya
masyarakat dunia ketiga tak mampu memfilternya. Akibatnya, budaya-budaya asli
yang bersumber dari warisan leluhur semakin lama semakin ditinggalkan oleh
masyarakatnya. Jika hal itu terjadi, maka tidak bisa dipungkiri generasi muda
yang akan datang tidak akan mengenal lagi kebudayaan, nilai-nilai dan sistem
sosial masyarakat yang “otentik Indonesia”.
Interpretasi Globalisasi
Globalisasi merupakan proses integrasi karakteristik lokal kepada arus
global, yang sebagian besar dilakukan melalui teknologi komunikasi dan
informasi. Meskipun awalnya dipandang sebagai suatu proses mengintegrasikan
perekonomian lokal ke dalam ekonomi dunia, namun pada akhirnya globalisasi
merujuk kepada ruang di mana terjadi proses interaksi global melalui sarana

2

Johannes Müller, Perkembangan Masyarakat Lintas Ilmu, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2006), hal, 50-58.

teknologi komunikasi.3 Interaksi global yang dimaksud dalam kerangka ini adalah
interaksi yang melibatkan seluruh masyarakat dunia, baik dalam hal ekonomi,

sosial-politik maupun budaya.
Secara historis, globalisasi bukanlah fenomena baru, akan tetapi
perubahannya dapat diteliti baik dalam hal skala, kecepatan dan kognisinya.
Dalam kerangka skala, hubungan ekonomi, politik dan sosial antar negara telah
menjadi lebih dari sebelumnya. Globalisasi telah mengalami semacam kompresi
temporal dan spasial dalam hal kecepatan yang tidak pernah terjadi pada masa
sebelumnya. Dalam kerangka kognisi, globalisasi telah berhasil mendefinisikan
dunia sebagai ruang kecil, di mana setiap fenomena dan peristiwa memiliki
beberapa konsekuensi pada kehidupan ekonomi, sosial dan politik.4 Konsekuensi
tersebut tentunya disebabkan oleh lahirnya teknologi informasi yang mampu
meniadakan skat geografis antar negara.
Akhirnya, dengan adanya globalisasi ini seluruh masyarakat dunia menjadi
“haus” informasi. Hingga menempatkan informasi sebagai kebutuhan primer.
Bahkan manusia saat ini tidak bisa (baca: sangat susah) untuk dipisahkan dengan
keberadaan teknologi informasi dalam kehidupan sehari-harinya dan media telah
3

H. Tapper, “The Potential Risks of the Local in the Global Information society”,
Journal of Social Philosophy, 31, April 2000, hal, 524-434. Akhir abad ke-20 dan memasuki abad
ke-21 ditandai dengan perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi. Potensi internet

dan telepon seluler untuk menyediakan akses ke informasi dan pengetahuan, dan rekor yang telah
mereka catat untuk menyediakan cara-cara baru bagi orang-orang yang terpisah secara geografis
untuk membentuk komunitas-komunitas berdasarkan ketertarikan akan hal yang sama, untuk
berkomunikasi, dan membuat suara mereka didengar, merupakan hal yang telah diakui secara luas,
khususnya di negara-negara berkembang, di mana masyarakat memposisikan media sebagai alat
pemberi informasi, penganalisis, dan memungkinkan mereka untuk memahami dunia mereka dan
berperan dalam lingkungan mereka. lihat Ardian Alhadath, “Media Massa dan Transformasi
Sosial; Sebuah Pengantar”, Jurnal CIVIC 1, (2003), hal, 11-26.
4
Hassan Danaeefard dan Tayebeh Abbasi, “Globalization and Global Innovation”,
(2011), hal, 67-80. Banyak karya para intelektual yang menggambarkan persepsi globalisasi
sebagai segela hal berasal dari Praktek-praktek Barat. Benjamin Barber Jihad vs McWorld (1995)
menggambarkan globalisasi sebagai steam roller budaya yang mengubah dunia secara global. Di
mana ia memfokuskan—secara eksklusif—pada Barat sebagai sumber globalisasi. Lihat Ronald
Lukens-Bull, Amanda Pandich, John P. Woods, “Islamization as Part of Globalization: Some
Southeast Asian Examples”, Journal of International and Global Studies, Vol. 3, hal, 32-46.
Senada dengan Benjamin Barber, Rahhalah Haqq, dalam Petter G. Ridell mendefinisikan
bahwa globalisasi adalah eufemisme untuk Westernisasi, (lebih khusus lagi, Amerikanisasi), dan
bahwa media Barat telah meyakinkan sebagian besar dunia bahwa globalisasi tidak bisa dihindari
dan bahwa setiap orang harus menerima dan menyesuaikan diri dengan itu. Lihat Petter G. Ridell,

“Globalisation, Western and Islamic, into the 21st Century: Perspectives from Southeast Asia and
Beyond”, Journal Asian Christian Review , 2, (2008), hal, 128-152. Sementara itu, Ronald
Robertson dalam Mohd Abbad Abdul Razak, memberikan definisi globalisasi sebagai fenomena
deterirorialisasi yang sudah dimulai sejak abad kelima belas. Lebih singkatnya Robertson
memaknai globalisasi sebagai kolonialisasi. Melalui kolonialisme negara-negara adidaya
kemudian mencoba memperluas kekuasaan dan pengaruh mereka melalui sarana telekomunikasi
modern, kepada negara-negara terbelakang di dunia. Lihat, Mohd Abbas Abdul Razak,
“Globalization and its Impact on Education and Culture”, World Journal of Islamic History and
Civilization,1, (2011), hal, 59-69.

menjadi kebutuhan vital bagi kehidupan manusia modern. McQuail—dalam
Henry Subiakto—setidaknya memberikan pandangan tentang peran utama media
bagi kehidupan manusia modern. Peran-peran tersebut adalah sebagai berikut;
Pertama, media massa sebagai window on events and experience. Media
dipandang sebagai jendela yang memungkinkan khalayak melihat apa yang
sedang terjadi di luar sana ataupun pada diri mereka sendiri.
Kedua, media juga sering dianggap sebagai a mirror of events in society
and the world, impliying a faithfull reflection (cermin dari berbagai peristiwa yang
terjadi di masyarakat dan dunia). Secara lebih ringkas, media dianggap sebagai
refleksi atas realitas yang ada. Ketiga, media massa juga dianggap sebagai filter

atau gate kepper yang menyeleksi berbagai macam hal untuk diberi perhatian atau
tidak. Keempat, media massa seringkali dianggap sebagai penunjuk jalan atau
interpreter, yang menerjemahkan dan menunjukkan arah atas ketidak pastian atau
alternatif yang beragam.
Kelima, media dipandang sebagai sebuah forum untuk mempresentasikan
berbagai informasi, gagasan, dan ide-ide kepada khayalak, sehingga
memungkinkan terjadinya tenggapan dan umpan balilk (feedback). Dan keenam,
media massa dipandang sebagai interlocutor , yang tidak hanya sekadar tempat
berlalu lalangnya informasi, tetapi juga partner komunikasi yang memungkinkan
terjadinya komunikasi yang interaktif.5
Terkait peran utama media—sebagaimana dijelaskan McQuail diatas—
tentunya dapat dipahami secara ringkas bahwa media telah mendapatkan posisi
yang sangat kuat dalam kehidupan masyarakat saat ini. Ketergantungan terhadap
media ini dibaca dengan baik oleh negara-negara barat sebagai produsen teknologi
informasi untuk melakukan proses transfer budaya dan sebagainya. dalam kondisi
seperti ini, negara yang menguasai teknologi informasi dengan mudah dapat
menguasai negara-negara yang “memposisikan” dirinya sebagai konsumen.
Masyarakat yang demikian cenderung mengalami sebuah proses yang disebut
dengan objektivitas manusia, yaitu terperangkapnya manusia ke dalam kerangka
sistem budaya dan teknologi sedemikian rupa, sehingga dirinya menjadi

komponen yang amat tergantung pada sistem tersebut.6
Indonesia; Be The Self or The Net?
Istilah “The Self” diartikan sebagai masyarakat yang mempertahankan
nilai-nilai asli (lokal), sedangkan “The Net” didefinisikan sebagai sekelompok
masyarakat yang melebur pada jaringan global. Perubahan dari The Self menuju
5

Henry Subiakto dan Rachmah Ida, Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi, (Jakarta:
Kencana, 2012), hal, 106.
6
Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan Dakwah; Episod Kehidupan M. Natsir
dan Azhar Basyir, (Jogjakarta: Sipress, 1996), 210.

The Net biasanya diawali dengan persinggungan melalui teknologi informasi,
kemudian tercipta semua interaksi yang masiv antar dua kebudayaan yang
berbeda. Manuel Castell—dalam A. Safril Mubah—menyatakan bahwa:
meluasnya jejaring komunikasi yang menyebabkan hubungan antar masyarakat di
seluruh dunia berjalan secara cepat dan dekat, menimbulkan dilema antara tetap
bertahan dalam identitas asli (the self) atau ikut melebur dalam identitas
masyarakat yang mengidentifikasi diri sebagai masyarakat jaringan global (the

net). Castell menambahkan, kuatnya penetrasi budaya yang terglobalkan
menyebabkan sebagian orang merasa identitas aslinya telah usang karena tidak
sejalan dengan globalisasi. Mereka lantas mengalami krisis identitas dan
akibatnya meninggalkan the self untuk bergabung dalam the net.7

The Net memaksa masyarakat dunia untuk menyatukan kebudayaan antar
bangsa yang berbeda kepada istilah kebudayaan global (Global Culture). Hal ini
sebagai akibat dari persinggunggan antara negara barat dengan negara-negara
berkembang, khususnya Indonesia. Di satu sisi, negara barat terus melakukan
penetrasi kebudayaan kepada negara Indonesia. Namun di sisi lain, kenyataan
yang ada Indonesia belum mampu menguasai teknologi informasi. Problem yang
muncul kemudian adalah melunturnya warisan identitas kultural bangsa yang
menjadi ciri khas pembeda antara Indonesia dengan negara-negara barat. Hal ini
sebenarnya tidak hanya dirasakan oleh Indonesia, termasuk negara-negara
berkembang lainnya yang dijadikan sebagai target potensial bagi persebaran
identitas kultural negara-negara maju.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah Quo vadis Indonesia; Be The
Self or The Net? Pertanyaan tersebut merupakan refleksi atas kebudayaan
Indonesia yang kian lama kian tercerabut dari akarnya. Problem masyarakat yang
sangat mudah mengadopsi kebudayaan baru menjadi salah satu faktor sulitnya

mempertahankan kebudayaan Indonesia. Masyarakat kini telah melebur kepada
komunitas masyarakat global yang menganggap kebudayaan barat lebih sesuai
dengan kondisi masyarakat dunia saat ini. Serta memberikan stigma negatif atas
budaya bangsa sendiri sebagai budaya yang tertinggal dari istilah maju. Perubahan
sikap yang sangat terasa dalam kehidupan sosial masyarakat saat ini adalah
tumbunya budaya individualis yang mengalahkan semangat gotong royong dan
kekeluargaan yang telah dibangun sejak dahulu.
Jika problem ini terus terjadi maka Indonesia benar-benar hanya menjadi
komunitas The Net yang tak bisa menampakkan jatidirinya dalam percaturan
global. jika pun harus menjadi komunitas jaringan global, setidaknya identitas
bangsa Indonesia tetaplah ada. Dalam hal kebudayaan, mestinya masyarakat
Indonesia tidak perlu malu untuk menunjukkan identitasnya. Menjadi problem
jika identitas suatu bangsa hilang dan menyatu ke dalam identitas global yang
7

A. Safril Mubah, Revitalisasi Identitas Kultural Indonesia di Tengah Upaya
Hegemonisasi Global, dalam Jurnal Global & Strategies, Edisi Khusus, Desember 2011, hal, 252.

berkiblat kepada dunia barat. Jika hal itu terjadi maka tidak ada bedanya antara
cabai yang kehilangan rasa pedasnya gula yang kehilangan rasa asinnya.

Perbedaan tersebut merupakan sebuah keniscayaan, sehingga ketika perbedaan
tersebut disatukan dalam persamaan global sebenarnya telah mencidrai hakikat
dari fitrah manusia sebagai makhluk yang memiliki karakteristik berbeda antara
satu komunitas dengan komunitas lainnya.
Dalam perspektif teologis, Tuhan sejak awal telah mendesain kehidupan
manusia dengan penuh perbedaan. Mulai dari penciptaan laki-laki dan perempuan,
kemudian menjadikan mereka berbeda-beda bangsa dan suku. Konsekuensi dari
perbedaan tersebut adalah perbedaan pada sistem sosial, adat istiadat, agama,
bahasa, dan nilai-nilai sosial yang berlaku di tiap-tiap komunitas masyarakat.
Dalam ayat tersebut secara jelas diungkapkan bahwa tujuan dari perbedaanperbedaan yang diciptakan itu adalah agar umat manusia di dunia ini saling
mengenal dan belajar dari sebuah keragaman (interaksi sosial).8
Jika masalah perbedaan budaya ini dipahami dari pendekatan teologis,
maka seharusnya hal ini bisa dijadikan sebagai fenomena yang tidak perlu
dipersatukan, karena pluralitas adalah sebuah keniscayaan. Namun sayang,
pemahaman problem pluralitas ini belum sepenuhnya dimengerti oleh generasi
muda saat ini. Mereka masih beranggapan bahwa realitas yang disampaikan oleh
media sebagai realitas yang sebenarnya. Bukan realitas semu. Alhasil, melalui
intensitas persinggungan pada media serta kurangnya kemampuan untuk
melakukan penyaringan pada arus informasi yang masuk, media dengan begitu
mudahnya menguasai paradigma generasi muda untuk meninggalkan identitas
lokal menuju identitas global.
Problem semacam ini, akan terus menggerus generasi muda selama
mereka belum mampu membuat titik balik atas fenomena globalisasi. Artinya,
globalisasi dipahami sebagai sebuah peluang untuk mengenalkan kebudayaankebudayaan bangsa kepada dunia bukan sebaliknya, menghilangkan budaya lokal
kemudian menggantinnya dengan budaya-budaya yang berkembang.
Proteksi Kebudayaan Nasional
Indonesia merupakan negara yang memiliki penduduk lebih dari 250 juta
jiwa dan tersebar di seluruh wilayah geografis Indonesia yang sangat luas. Tidak
kurang dari 450 suku dan semuanya mengaku sebagai bangsa Indonesia. sukusuku tersebut hidup dan berkembang dalam kondisi kemasyarakatan yang
berbeda-beda. Kondisi yang memperlihatkan keanekaragaman ekspresi
kehidupan yang berupa produk-produk budaya.9Budaya adalah hasil budi dan
8

Lihat Q.S 49: 13.
9
Hasan Muarif Ambari, Menemukan Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam di
Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2008), 264-266.

daya yang berupa cipta, karsa dan rasa yang didalamnya mengandung kebiasaan
manusia sebagai anggota masyarakat. Menurut Bronislow Malinowsky,
kebudayaan di dunia memiliki tujuh unsur universal, yaitu bahasa, religi, sistem
pengetahuan, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem teknologi dan
kesenian.10
Sebagaimana dijelaskan oleh Malinowsky, organisasi sosial merupakan
salah satu “pilar” kebudayaan. Artinya, sebagai bagian dari kebudayaan, ia juga
memiliki kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan kebudayaan yang
berkembang di masyarakat sebagai warisan peradaban masa lampau. Oleh karena
itu, dalam menghadapi tantangan globalisasi yang kian menjamur ke seluruh
level kehidupan masyarakat organisasi sosial harus menjadi garda terdepan dalam
pelestarian budaya nasional.
Namun—terkadang—peran organisasi sosial tersebut tidak diimbangi
dengan perhatian dari generasi muda untuk berpartisipasi aktif dalam pelestarian
warisan kebudayaan nasional. Sebut saja batik. Saat ini pemerintah melalui
kebijakannya telah menetapkan hari batik nasional dan hari wajib batik yang
diberlakukan di instansi-instansi pemerintah. Tapi di kalangan anak muda, batik
hanya sekadar “fashion”. Lagi-lagi bukan mempelajari bagaimana
memproduksi—atau lebih tepat menjaga—warisan batik tersebut, yang terjadi
justru daya konsumtifnya yang semakin meningkat.
Budaya sebagai salah satu pilar demokrasi di Indonesia kini tengah
mendapatkan tantangan serius. Ia tidak hanya mulai kehilangan penerusnya, tapi
pengakuan terhadap identitas lokal semakin lama semakin hilang. Sebagaiman
diketahui bahwa pilar demokrasi di Indonesia mensyaratkan Bhineka Tunggal Ika
sebagai salah unsure kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, negeri ini
mengakui adanya pluralitas sekaligus menempatkannya ke dalam unsur vital
keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, perbedaan budaya
inilah yang seharusnya ditekankan sebagai pembeda antara demokrasi di
Indonesia dan negara-negara lainnya di dunia. Sehingga nilai-nilai kebudayaan
yang telah berkembang di masyarakat dan telah mengakar dalam sistem
kehidupan mereka harus dijaga demi keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
Mulai pudarnya kebudayaan di Indonesia sebagai akibat dari globalisasi
ini, sudah tak perlu lagi menyalahkan satu pihak atau menyudutkan pihak
lainnya. Tugas berat menjaga warisan nenek moyang bangsa Indonesia ada pada
semua lapisan masyarakat, tanpa terkecuali pemerintah. Keberpihakan para
petinggi negeri terhadap pelestarian budaya-budaya di Indonesia memiliki
peranan penting. Karena masyarakat tanpa pemerintah akan pincang, begitu pula
10

M. Munandar Sulaeman, Ilmu Buaya Dasar Suatu Pengantar, (Bandung: Rafika
Aditama, 1998), 14.

sebaliknya. Keberadaan masyarakat dengan segenap asset kebudayaan yang
dimilikinya memiliki andil besar dalam menjaga keberlangsungan demokrasi
Indonesia.
Proteksi terhadap pelestarian kebudayaan tidak hanya dilakukan melalui
event-event sebagaimana yang sering dilaksanakan saat ini. pameran
kebudayaan—terlepas dari sisi positifnya—lebih mendekati pada proses
komersialisasi kebudayaan yang bersumber dari para pemodal dan berimbas pada
dunia industri. Bukan pada pelestarian nilai-nilai yang ada pada kebudayaan
tersebut.
Kesimpulan
Globalisasi merupakan sebuah perjalanan peradaban dunia yang tidak
mungkin dapat dihindari. Hal itu sebagai akibat dari lahirnya teknologi informasi
yang dengan mudah dapat memenuhi “kebutuhan” seluruh aspek kehidupan
manusia. Media melakukan konstruksi kepada masyarakat global agar realitas
yang diciptakan sebagai realitas yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan
nyata. Alhasil, informasi yang berkembang melalui media diyakini begitu saja
tanpa melakukan proses filterisasi terlebih dahulu.
Indonesia sebagai negara dunia ketiga—istilah lain dari negara
berkembang yang digagas oleh Alfred Sauvy (1952)—memiliki ketergantungan
yang sangat besar terhadap negara-negara maju. Johannes Müller mengatakan
bahwa negara-negara berkembang memiliki ketergantungan terhadap negara maju
dalam tiga hal besar, yaitu; ketergantungan politik, ekonomi, dan sosial-budaya.11
Dalam hal ketergantungan sosial-budaya, negara dunia ketiga lebih banyak
mengadopsi budaya-budaya barat yang dianggapnya lebih maju dan jauh
meninggalkan kebudayaan “primitiv”.
Oleh karena itu, tanpa bisa terlepas dari arus globalisasi, kebudayaan yang
telah berkembang di masyarakat sebagai warisan nenek moyang harus dijaga
keberlangsungannya. Hal ini penting sebagai upaya mempertahankan identitas
bangsa. Karena pada dasarnya setiap bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda
dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia ini. fenomena ini secara empiris dapat
dibuktikan dari pendekatan teologis maupun sosiologis. Oleh karena itu,
perbedaan budaya adalah sebuah keniscayaan yang harus dijaga oleh setiap
komponen bangsa dalam rangka menjaga pilar Bhineka Tunggal Ika sebagai salah
satu pilar demokrasi Indonesia[]

11

Johannes Müller, Perkembangan Masyarakat Lintas Ilmu, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2006), hal, 50-58.

Daftar Pustaka
Alhadath, Ardian, 2003, “Media Massa dan Transformasi Sosial; Sebuah
Pengantar”, Jurnal CIVIC 1, 2003.
Ambari, Hasan Muarif, 2008, Menemukan Peradaban, Jejak Arkeologis dan
Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Mubah, A. Safril, 2011, “Revitalisasi Identitas Kultural Indonesia di Tengah
Upaya Hegemonisasi Global”, Jurnal Global & Strategies, Edisi Khusus,
Desember 2011.
Mulkhan, Abdul Munir, 1996, Ideologisasi Gerakan Dakwah; Episod Kehidupan
M. Natsir dan Azhar Basyir, Jogjakarta: Sipress.
Muridan, 2007, “Dakwah Islam dalam Konteks Pluralitas Budaya Lokal”, Jurnal
Komunika, Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2007.
Müller, Johannes, 2006, Perkembangan Masyarakat Lintas Ilmu, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Lukens, Ronald -Bull, Amanda Pandich, John P. Woods, “Islamization as Part of
Globalization: Some Southeast Asian Examples”, Journal of International
and Global Studies, Vol. 3.
Razak, Mohd Abbas Abdul, 2011, “Globalization and its Impact on Education and
Culture”, World Journal of Islamic History and Civilization, 1.
Ridell, Petter G., 2008, “Globalisation, Western and Islamic, into the 21st
Century: Perspectives from Southeast Asia and Beyond”, Journal Asian
Christian Review , 2, 2008.
Ridwan, 2005, “Dialektika Islam dengan Budaya Jawa”, Jurnal Ibda` Vol. 3 No.
1, Januari-Juni 2005.
Subiakto, Henry dan Rachmah Ida, 2012, Komunikasi Politik, Media, dan
Demokrasi, Jakarta: Kencana.
Sulaeman, M. Munandar, 1998, Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar, Bandung:
Rafika Aditama.
Tapper, H., 2000, “The Potential Risks of the Local in the Global Information
society”, Journal of Social Philosophy, 31, April 2000.