TUGAS KELOMPOK HUKUM EKONOMI ISLAM GADAI

TUGAS KELOMPOK HUKUM EKONOMI ISLAM
GADAI SYARIAH
Dosen Pengampu: Ro’fah Setyowati, SH, MH, PhD

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 8
ISMA LEONITA (11010111140481)
ALIS NINDY RAIHANAH (11010111140509)
ADHITYAS RIZKA ANDHINI (11010111140516)
ANISA SOLEKHA (11010111140562)
DIAH NUZUL PERMATASARI (11010111140570)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Dalam realitas social ekonimo masyarakat kerap ditemukan kondisi masyarakat yang

memiliki harta dalam bentuk selain uang tunai dan pada saat yang sama, yang bersangkutan
mengalami kesulitan likuiditas sehingga membutuhkan dana dalam bentuk tunai. Pilihan
transaksi yang sering digunakan oleh masyarakat yang menghadapi masalah ini adalah
menggadaikan barang-barang yang berharga. Istilah gadai barang nampaknya sudah sangat akrab
di masyarakat kita, terutama kalangan masyarakat yang membutuhkan dana tunai saat kondisi
likuiditasnya kurang baik. Karena masyarakat yang membutuhkan dana tunai dengan model
gadai permintaannya cenderung besar, pegadaian sebagai lembaga yang merespon kebutuhan
masyarakat pun akhirnya dapat eksis dan berkembang pesat. Pegadaian lahir dari interaksi
permintaan dan penawaran terhadap dana tunai dalam waktu yang cepat dengan barang berharga
sebagai jaminannya. Selama ini, bisnis pegadaian relative tumbuh dan berkembang, baik yang
dilaksanakan oleh swasta maupun pemerintah. Tingginya permintaan terhadap praktik gadai,
bahkan menyebabkan munculnya pelaku bisnis gadai dalam berbagai skala dengan beragam
model dan bentuk transaksi. Tidak jarang karena masyarakat membutuhkan dana tunai dengan
cepat, gadai barang menjadi salah satu modus rentenir dalam menjalankan operasinya.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Apa Pengertian Gadai Syariah?
1.2.2 Bagaimana sejarah Gadai Syariah?
1.2.3 Apa saja yang menjadi dasar hukum Gadai Syariah?
1.2.4 Apa saja rukun, akad dan syarat-syarat Gadai Syariah?
1.2.5 Hal-hal apa saja yang berkaitan dengan Gadai Syariah?

1.2.6 Apa saja yang menjadi hak dan kewajiban penerima dan pemberi Gadai Syariah?
1.2.7 Bagimana operasional Gadai?
1.2.8 Bagaimana perbedaan Gadai Syariah dengan Gadai Konvensional?
1.3 TUJUAN
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk mempelajari tentang dan meninjau
lebih lanjut tentang pegadaian syariah sebagaimana adanya rumusan-rumusan masalah yang
sudah disebutkan diatas yang akan dibahas lebih lanjut.

Tujuan utama usaha pegadaian adalah mengatasi agar masyarakat yang sedang
membutuhkan uang tidak jatuh kepada rentenir dengan bunga yang sangat tinggi. Perusahaan
pegadaian menyediakan pinjaman uang dengan jaminan barang-barang berharga. Jika seseorang
membutuhkan dana, ia dapat mengajukan ke berbagai sumber dana, seperti meminjam uang di
bank dan lembaga keuangan lain. Sementara kendala utamanya adalah prosedur yang rumit dan
memakan waktu yang relative lama, disamping persyaratan yang lebih sulit. Begitu pula dengan
jaminan barang-barang tertentu karena tidak semua barang dapat dijadikan jaminan di bank.
Adapun di perusahaan pegadaian, prosesnya sangat mudah. Masyarakat cukup dating ke
kantor pegadaian terdekat dengan membawa jaminan barang tertentu sehingga uang pinjaman
pun dapat dalam waktu singkat terpenuhi sesuai dengan nilai barang-barang yang untuk apa uang
tersebut digunakan dan hal ini tentu bertolak belakang dengan perbankan yang harus dibuat
serinci mungkin tentang penggunaan dananya. Begitu pula dengan transaksi yang diberikan

relatif ringan, apabila tidak dapat melunasi dalam waktu tertentu. Sanski yang paling berat
adalah pelelangan barang jaminan untuk menutupi kekurangan pinjaman.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Gadai Syariah

Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah suatu jenis
perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. Pengertian ar-rahn dalam
bahasa Arab adalah ats-tsubut wa ad-dawan, yang berarti “tetap” dan “kekal”, seperti dalam
kalimat maun rahin, yang berarti air yang tenang. Hal itu, berdasarkan firman Allah SWT dalam
QS. Al-Muddatstsir (74) ayat 38 sebagai berikut:

Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.
Pengertian “tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan makna yang tercakup dalam kata
al-habsu, yang berarti menahan. Kata ini merupakan makna yang bersifat materiil. Karena itu,
secara bahasa kata ar-rahn berarti “menjadikan sesuatu barang yang bersifat materi sebagai
pengikat utang”.
Pengertian gadai (rahn) secara bahasa seperti diungkapkan di atas adalah tetap, kekal dan
jaminan; sedangkan dalam pengertian istilah adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan

sebagai jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah
ditebus. Namun, pengertian gadai yang terungkap dalam Pasal 1150 KUHPER adalah suatu hak
yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yaitu barang
bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh orang yang mempunyai utang
atau orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Karena itu, makna gadai (ar-rahn)
dalam bahasa hukum perundang-undangan disebut sebagai barang jaminan, agunan, dan
rungguhan. Sedangkan pengertian gadai (rahn) dalam hukum Islam (syara’) adalah:

Menjadikan seuatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai
jaminan utang, yanag memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari
barang tersebut.
Selain pengertian gadai (rahn) yang dikemukakan diatas, penulis mengungkapkan pengertian
gadai (rahn) yang diberikan oleh para ahli hukum Islam sebagai berikut.

a. Ulama Syafi’iyah mendefinisikan sebagai berikut.

Menjadikan suatu barang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari
harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.
b. Ulama Hanabilah mengungkapkan sebagai berikut.


Suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya,
bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.
c. Ulama Malikiyah mendefinisikan sebagai berikut.

Sesuatu yang bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk
dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat).
d. Ahmad Azhar Bayir
Rahn adalah perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang, atau
menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan
marhum bih, sehingga dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagian utang
dapat diterima.

e. Muhammad Syafi’I Antonio
Gadai syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai
barang jaminan (marhun) atas utang/pinjaman (marhun bih) yang diterimanya. Marhun
tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan atau penerima
gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau
sebagian piutangnya.
Berdasarkan pengertian gadai yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam diatas,
penulis berpendapat bahwa gadai (rahn) adalah menahan barang jaminan yang bersifat materi

milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, dan barang yang
diterima tersebut bernilai ekonomis, sehingga pihak yang menahan (murtahin) memperoleh
jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud,
bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan.
Karena itu, tampak bahwa gadai syariah merupakan perjanjian antara seseorang untuk
menyerahkan harta benda berupa emas/perhiasan/kendaraan dan/ atau harta benda lainnya
sebagai jaminan dan/ atau agunan kepada seseorang dan/ atau lembaga penggadaian syariah
berdasarkan hukum gadai syariah; sedangkan pihak lembaga penggadaian syariah menyerahkan
uang sebagai tanda terima dengan jumlah maksimal 90% dari nilai taksir terhadap barang yang
diserahkan oleh penggadai. Gadai dimaksud, ditandai dengan mengisi dan menandatangani Surat
Bukti Gadai (rahn).
Jika memperhatikan pengertian gadai (rahn) diatas, maka tampak bahwa fungsi dari akad
perjanjian antara pihak peminjam dengan pihak yang meminjam uang adalah untuk memberikan
ketenangan bagi pemilik uang dan/ atau jaminan keamanan utang yang dipinjamkan. Karena itu,
rahn pada prinsipnya merupakan suatu kegiatan utang piutang yang murni berfungsi social,
sehingga dalam bukti fiqh mu’amalah akad ini merupakan akad tabarru’ atau akad derma yang
tidak mewajibkan imbalan.

2.2 Sejarah Gadai Syariah


Sejarah pengadilan syariah di Indonesia tidak dapat di ceraipisahkan dari kemauan warga
masyarakat islam untuk melaksanakan transaksi akad gadai berdasarkan prinsip syariah dan
kebijaka pemerintah dalam pengembangan praktik ekonomi dan lembaga keuangan yang sesuai
dengan nilai dan prinsip hukum islam. Hal ini dimaksud, dilatarbelakangi oleh maraknya aspirasi
warga masyarakat islam di berbagai daerah yang menginginkan pelaksanaan hukum islam dalam
berbagai aspeknya termasuk pegadaian syariah. Selain itu semakin populernya praktik bisnis
ekonomi syariah dan mempunyai peluang yang cerah untuk dikembangkan.
Berdasarkan hal di atas, pihak pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undanga
untuk melegitimasi secara hukum positif pelaksanaan praktik bisnis sesuian dengan syariah yang
termasuk gadai syariah. Karena itu, pihak pemerintah bersama DPR merumuskan rancangan
peraturan perundang-undangan yang kemudian disahkan pada bulan Mei menjadi UU No. 10
Tahun 1998 tentang Perbankan. Undang-undang dimaksud, memberikan peluang untuk
diterapkan praktik perekonomian sesuai syariah di bawah perlindungan hukum positif.
Berdasarkan undang-undang tersebut maka terwujud lembaga-lembaga keuangan syariah
(LKS). Pada awalnya, muncul lembaga perbankan syariah, yaitu Bank Mualamat menjadi
pionirnya, dan seterusnya bermunculan lembaga pegadaian syariah, dan lain-lainnya.
Besarnya permintaan warga masyarakat terhadap jasa Perum Pegadaian membuat
lembaga-lembaga keuangan syariah juga melirik kepada sektor pegadaian, sektor yang dapat
dikatakan agak tertinggal dari sekian banyak lembaga keuangan syariah lainnya. Padahal dalam
diskursus ekonomi islam, pegadaian juga merupakan salah satu praktik transaksi sosial dan

keuangan yang pernah dipraktikkan di masa Nabi Muhammad saw. Yang amat menjajikan
mengayomi perekonomian rakyat untuk dikembangkan.
Melihat semakin berkembang permintaan warga masyarakat dan pola bisnis berbasis
syarian di indonesia, Perum Pegadaian tertarik untuk menerapkan pola ini. Apalagi, pola
pegadaian syariah memungkinkan perusahaan untuk dapat proaktif dan lebih produktif untuk
menghasilkan berbagai produk jasa keuangan modern, seperti jasa piutang dan jasa sewa beli.
Pada lembaga gadai model dimaksud, nilai-nilai dan prinsip-prinsip syariah dalam hal gadai
dapat diimplementasikan. Selain itu, mempertimbangkan fungsinya sebagai lembaga
intermediasi bagi warga masyarakat terhadap sektor keuangan.

Usaha lembaga keuangan syariah dimaksud, dimulai oleh PT Bank Muamalat Indonesia
(BMI), ysng merupakan salah satu lembaga perbankan syariah pertama di Indonesia, beraliansi
dengan Perum Pegadaian. Bentuk kerjasama kedua pihak, yaitu Perum Pegadaian bertindak
sebagai kontributor sistem gadai dan BMI sebagai pihak kontibutor muatan sistem syariah dan
dananya. Aliansi kedua pihak dimaksud, melahirkan Unit Layanan Gadai Syariah (kini, Cabang
Pegadaian Syariah). Selain aliansi kedua lembaga dimaksud, gadai syariah juga dilakukan oleh
bank-bank umum syariah, seperti BANK Syariah Mandiri (BSM) dan bank-banki umum lainnya
yang membuka unit usaha syariah (UUS).
Melihat adanya peluang dalam mengimplementasikan praktik gadai berdasarkan prnsip
syariah, Perum Pegadaian yang telah bergelut dengan bisnis pegadaian konvensional selama

beratus-ratus tahun lebih, berinisiatif untuk mengadakan kerjasama dengan PT Bank Muamalat
Indonesia (BMI) dalam mengusahakan praktik gadai syariah sebagai diversifikasi usaha gadai
yang sudah dilakukannya sehingga pada bulan Mei tahun 2002, ditandatangani sebuah kerjasama
antara keduanya untuk meluncurkan gadai syariah, yaitu BMI sebagai penyandang dana.
Untuk mengelola kegiatan dimaksud, dibentuklah Unit Layanan Gadai Syariah sebagai
gerai layanan tersendiri namun masih dalam satu atap pada cabang-cabang Perum Pegadaian.
Cabang pertama yang terpilih ketika itu adalam Perum Pegadaian Cabang Dewi Sartika, yang
menerima pembiayaan modal dari BMI sebesar Rp. 1.550.000.000,00 dan sejumlah uang sebesar
Rp. 24.435.000,00 yang diperuntukkan bagi perluasan jarinhan Unit Layanan Gadai Syariah
(kini, Cabang Pegadaian Syariah). Kerja sama dimaksud, menggunakan skim musyarakah
( kerjasama investasi bagi hasil). Nisbah bagi hasil yang disepakati oleh BMI dengan Perum
Pegadaian adalah 50:50, yang ditinjau setiap 6 bulan sekali dengan cara pembayaran bulanan.
Realisasi kerjasama strategis tersebut, sebenarnya sudah pernah direncanakan sejak awal
tahun 1998 ketika beberapa General Manager (GM) Perum Pegadaian melakukan studi banding
ke Malaysia, yang selanjutnya diadakan penggodokan rencana pendirian pegadaian syariah.
Hanya saja dalam proses selanjutnya, hasil studi banding yang didapatkan hanya ditumpuk dan
dibiarkan, karena terhambat oleh permasalahan internal perusahaan.
Sebelum Perum Pegadaian membuka unit Gadai Syariah, pelayanan jasa serupa telah
dimulai oleh Bank Syariah Mandiri (BSM) dengan meluncurkan sebuah produk Gadai Syariah


yang disebut Gadai Emas Syariah Mandiri (BSM), pada tangal 1 November 2001 atau bertepatan
dengan ulang tahun kedua BSM. Dalam pelaksanaan Gadai Syariah ini, BSM menerapkan
konsep transaksi (akad), yaitu gadai sebagai prinsip dan akad sebagai tambahan terhadap produk
lain, seperti dalam pembiayaan bai’al-murabahah, yaitu (a) bank dapat menahan barang nasabah
sebagai konsekuensi dari akad yang dilakukannya. Namun bank tidak menahan jaminan fisik,
kecuali surat-suratnya saja (secara fiducia), (b) gadai sebagai produk, yaitu bank dapat menerima
dan menahan barang jaminan untuk pinjaman yang diberikan dalam jangka waktu pendek.
Gadai Emas Banik Syariah Mandiri ketika itu, masih menerapkan fee terhadap jumlah
pinjaman yang diberikan sebesar 4% , yang dialokasikan sebagai pendapatan yang dibagikan
kepada para deposan dan biaya administrasi bank, yang didalamnya juga termasuk asuransi.
Pelaksanaan gadai dimaksud, mendapat reaksi dari Dewan Syariah Nasional (DSN) yang
menganggapnya tidak lebih sebagai praktis bisnis ribawi dan menyalahi prinsip dan nilai hukum
islam, yang membungakan pinjaman. Oleh karena itu, mulai bulan Juli 2002, BSM tidak lagi
menerapkan praktik gadai konvensional dan menggantinya dengan skim pembebanan biaya pada
penyimpanan barang gadai, (deposit box) yang ditentukan oleh besar dan kecilnya terhadap
risiko barang gadai (marhum), bukan pada besarnya pinjaman. Hal dimaksud, sesuai fatwa DSN
No. 26/DSN/MUI/2002.
Berdasarkan perubahan status pegadaian, maka lembaga syariah mulai melirik
pegadaian . Bank Muamalat dalam salah satu langkah aliansinya telah menggandeng Perum
Pegadaian. Bentuk kerjasama Bank Muamalat dengan Perum Pegadaian , yaitu memberikan

kontribusi dalam sistem gadainya, sedangkan Bank Muamalat memberi muatan sistem syariah.
Lain halnya pihak Bank Syariah Mandiri, yaitu mengembangkan sendiri sebagai salah satu
produk yang cukup diandalkan.
Apabila pegadaian dibanding dengan perbankan secara umum dapat dikatakan
mempunyai kelebihan dalam hal kemudahan dan kecepatan prosedur pencairan dana pinjaman.
Pegadai (nasabah) tinggal membawa barang yang cukup berharga, kemudian ditaksir nilainya,
dan uang akan ditetima oleh pemilik barang sehingga sangat menguntungkan buat warga
masyarakat yang membutuhkan dana cepart. Namun bila perbedaan gadai syariah dengan
konvensional hanya dalam hal pengenaan bunga. Pegadaian syariah menerapkan beberapa sistem
pembiayaan, antara lain qardhul hasan (pinjaman kebajikan), dan mudharabah (bagi hasil).

Bukanlah tanpa alasan bagi warga masyarakat yang tertarik untuk menggarap gadai ini.
Disamping alasan rasional, bahwa gadai ini memiliki potensi pasar yang besar, sistem
pembiayaan ini memang memiliki landasan syariah. Apalagi terbukti, di negara-negara yang
mayoritas penduduk muslim, seperti Timur Tengah dan Malaysia, pegadaian syariah telah
berkembang pesat.
Pengertian gadai atau ar-rahn seperti yang telah diuraikan adalah menyimpan sementara
harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman uang yang diberikan oleh yang
meminjamkan. Berarti, barang yang dititipkan pada si peminjam uang dapat diambil kembali
dalam jangka waktu tertentu.
Dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 283:

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang).
Pengertian ayat tersebut, secara eksplisit menyebutkan barang tanggungan yang dipegang
oleh orang yang berpiutang. Dalam dunia finansial dan perbankan, barang tanggungan bisa
dikenal sebagai objek gadai atau jaminan (kolateral). Selain itu istilah ar-rahnu juga disebut
dalam salah satu hadis Nabi Muhammad saw. Yang artinya : Apabila ada ternak digadaikan,
punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan
biaya (menjaga) nya.......kepada orang yang naik ia harus mengeluarkan biaya perawatannya.
(HR. Al-Jamaah kecuali Muslim dan An-Nasa’i, Al-Bukhari no. 2329, kitab Ar-Rahn).\

Karena itu, secara teknis gadai syariah dapat dilakukan oleh suatu lembaga tersendiri
seperti Perum Pegadaian, perusahaan swasta dan pemerintah, atau merupakan bagian dari
produk-produk finansial yang ditawarkan oleh pihak bank.
Dalam hal perbankan syariah, kontak rahn digunakan pada 2 (dua) hal sebagai berikut :
1. Sebagai produk pelengkap, yakni sebagai akad tambahan (jaminan) bagin produk lain
misalnya pembiayaan murabahah.
2. Sebagai produk tersendiri. Bedanya dengan pegadaian biasa, pada rahn nasabah tidak
dikenai bunga, yang dipungut dari nasabah adalah biaya penaksiran (valuation),
penitipan, pemeliharaan, penjagaan dan administrasi.
Mekanismenya biasa saja: barang yang digadaikan ditaksir (tentu pemilik barang harus
dapat membuktikan bahwa itu barang miliknya secara sah) kemudian nasabah memperoleh
pembiayaan dalam jumlah tertentu, yang bisa dicover oleh nilai barang yang digadaikan
dimaksud. Prosesnya cepat dan praktis. Dewan Syariah Nasional telah menetapkan bahwa
lembaga gadai diperkenankan mengambil biasa yang memang diperlukan, tanpa ada unsur
mengambil keuntungan berlebihan
Praktik gadai syariah ini sangat strategis mengingat citra pegadaian memang telah
berubah sejak enam-tujuh tahun terakhir ini. Pegadaian, kini bukan lagi dipandang tempatnya
masyarakat kalangan bawah mencari dana di kala anaknya sakit atau butuh biaya sekolah.
Lembaga pegadaian saat ini juga tempat para pengusaha mencari dana segar untuk kelancaran
bisnisnya. Sebagai ilustrasi seorang eksportir produk kerajinan membutuhkan dana cepat untuk
memberikan modal kerja bagi para pengerajin binaannya. Maka bisa saja ia menggadaikan
mobilnya untuk memperoleh dana segar beberapa puluh juta rupiah. Setelah produk kerajinannya
jadi dan diekspor, ia pun mendapat bayaran dari mitra luar negerinya, selekas itu pula ia menebus
mobil yang digadaikannya. Bisnis tetap jalan, likuiditas lancar, dan yang penting kepercayaan
dari mitra bisnis di luar negeri tetap terjaga.

2.3 Dasar Hukum Gadai Syariah

Dasar hukum yang menjadi landasan gadai syariah adalah ayat-ayat Al-quran, hadis Nabi
Muhammad saw., ijma’ ulama, dan fatwa MUI. Hal dimaksud, diungkapkan sebagai berikut.
1. Al-quran
QS. Al-Baqarah (2) ayat 283 yang digunakan sebagai dasar dalam membangun konsep gadai
adalah sebagai berikut.

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan dipegang (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan
barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kammu kerjakan.
Syaikh Muhammad ‘Ali As-Sayis berpendapat, bahwa ayat Al-quran di atas adalah
petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian bila seseorang hendak melakukan traksaksi
utang-piutang yang memakai jangka waktu dengan orang lain, dengan cara menjaminkan sebuah
barang kepada orang yang berpiutang (rahn).
Selain itu, Syaikh Muhammad ‘Ali As-Sayis mengungkapkan bahwa rahn dapat
dilakukan ketika dua pihak yang bertransaksi demikian ini harus dicatat dalam sebuah berita
acara (ada orang yang menuliskannya) dan ada orang yang menjadi saksi terhadapnya. Bahkan

‘Ali As-Sayis menganggap bahwa dengan rahn, prinsip kehati-hatian sebenarnya lebih terjamin
ketimbang bukti tertulis ditambah dengan persaksian seseorang. Sekalipun demikian, penerima
gadai (murtahin) juga diperbolehkan tidak menerima barang jaminan (marhun) dari pemberi
gadai (rahin), dengan alas an bahwa ia meyakini pemberi gadai (rahin) tidak akan menghindari
kemudaratan yang diakibatkan oleh berkhianatnya salah satu pihak atau kedua belah pihak ketika
keduanya melakukan traksaksi utang-piutang.
Fungsi barang gadai (marhun) pada ayat diatasn adalah untuk menjaga kepercayaan
masing-masing pihak, sehingga penerima gadai (murtahin) meyakini bahwa pemberi gadai
(rahin) beritikad baik untuk mengembalikan pinjamannya (marhum bih) dengan cara
menggadaikan barang atau benda yang dimilikinya (marhun), serta tidak melalaikan jangka
waktu pengembalian utangnya itu.
Sekalipun ayat tersebut, secara literal mengindikasian bahwa rahn dilakukan oleh
seseorang ketika dalam keadaan musafir. Hal ini, bukan berarti dilarang bila dilakukan oleh
orang yang menetap dan/atau bermukim. Sebab, keadaan musafir ataupun menetap bukanlah
merupakan suatu persyaratan keabsahan transaksi rahn. Apalagi, terdapat sebuah hadis yang
mengisahkan bahwaRaulullah saw, menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi, untuk
mendapatkan makanan bagi keluarganya, pada saat beliau tidak melakukan perjalanan.

2. Hadis Nabi Muhammad saw
Dasar hukum yang kedua untuk dijadikan rujukan dalam mebuat rumusan gadai syariah
adalah hadis Nabi Muhammad saw, yang antara lain diungkapkan sebagai berikut.
A. Hadis A’isyah ra. Yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang berbunyi:

Telah meriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al-Hanzhali dan Ali bin Khasyram
berkata: keduanya mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus bin ‘Amasy dari Ibrahim dari
Aswad dari ‘Aisyah berkata: bahwasannya Rasulullah saw, membeli makanan dari seorang
Yahudi dengan menggadaikan baju besinya. (HR. Muslim)
B. Hadis dari Anas bin Malik ra. Yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang berbunyi:

Telah meriwayatkan kepada kami Nahr bin Ali Al-Jahdhami, ayahku telah meriwayatkan
kepadaku, meriwayatkan kepada kami Hisyam bin Qatadah dari Anas berkata: Sungguh
Rasulullah saw. Menggadaikan baju besinya kepada seseorang Yahudi di Madinah dan
menukarnya dengan gandum untuk keluarganya.

C. Hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, yang berbunyi:

Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad bun Muqatil, mengabarkan kepada kami
Abdullah bin Mubarak, mengabarkan kepada kami Zakariyah dari Sya,bi dari Abu
Hurairah, dari Nabi saw, bahwasannya beliau bersabda: Kendaraan dapat digunakan dan
hewan ternak dapat pula diambil manfaatnya apabila digadaikan. Penggadaian wajib
memberikan nafkah dan penerima gadai boleh mendapatkan manfaatnya. (HR. Al-Bukhari)
D. Hadis riwayat Abu Humairah ra, yang berbunyi:

Barang gadai tidak boleh disembunyikan dari pemilik yang menggadaikan, baginya risiko
dan hasilnya (HR. Asy-Syafi’I dan Ad-Daruqutni)
3. Ijma’ Ulama
Jumhur ulama menyepakati kebolehan status hukum gadai. Hal dimaksud, berdasarkan pada
kisah Nabi Muhammad saw, yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari
seorang Yahudi. Para ulama juga mengambil indikasi dari contoh Nabi Muhammad saw, tersebut,
ketika beliau berakih dari yang biasanya bertraksaksi kepada para sahabat yang kaya kepada
seorang Yahudi, bahwa hal itu tidak lebih sebagai sikap Nabi Muhammad saw, yang tidak mau
memberatkan para sahabat yang biasanya enggan mengambil ganti ataupun harga yang diberikan
oleh Nabi Muhammad saw, kepada mereka.

4. Fatwa Dewan Syariah Nasional
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) menjadi salah satu
rujukan yang berkenaan gadai syariah, diantaranya dikemukakan sebagai berikut.
a. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 25/DSN-MUI/III/2002,
tentang Rahn;
b. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 26/DSN-MUI/III/2002,
tentang Rahn Emas;
c. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 09/DSN-MUI/IV/2000,
tentang Pembiayaan Ijarah;
d. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 10/DSN-MUI/IV/2000,
tentang Wakalah;
e. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 43/DSN-MUI/VII/2002,
tentang Ganti Rugi.

2.4

Rukun, Akad dan Syarat-syarat Gadai Syariah

Rukun Gadai (rahn) meliputi:
1. Rahin (yang menggadaikan), dalam konteks perbankan, yaitu: gadai emas syariah adalah
2.
3.
4.
5.

nasabah.
Murtahin (yang menerima gadai), yaitu bank
Marhun (barang yang digadaikan), yaitu emas dan berlian.
Marhun bih (utang), yaitu pembiayaan.
Sighat (ijab-kabul), yaitu akad kontrak yang dilakukan antara nasabah dan pihak bank
atau pihak yang menggadaikan dengan yang menerima gadai.

Syarat-syarat Gadai:
1. Rahin dan Muntahin
a. Cakap bertindak hukum, menurut jumhur ulama adalah orang-orang yang telah baligh
dan berakal. Oleh karena itu, tidak sah rungguhan anak kecil dan orang gila. Menurut,
ulama Hanafiyah, kedua belah pihak yang berakad tidak disyaratkan baligh, tetapi

cukup berakal. Oleh sebab itu, menurut mereka, anak kecil yang mumayyiz boleh
melakukan akad rahn, dengan syarat mendapatkan persetujuan dari walinya.
b. Layak untuk melakukan transaksi pemilikan. Setiap orang yang sah melakukan jual
beli, juga sah untuk melakukan gadai karena gadai seperti jual beli merupakan
pengelolaan harta.
2. Sighat (ijab-kabu)
a. Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan wktu-waktu pada
masa depan.
b. Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian utang, seperti halnya akad jual
beli. Oleh karena itu, tidak boleh diikat dengan syarat tertentu atau dengan suatu
waktu pada masa depan.
3. Marhun bih (utang)
a. Merupakan hak yang wajib diberikan/diserahkan kepada pemiliknya.
b. Memungkinkan pemanfaatannya. Apabila sesuatu yang menjadi utang tidak bisa
dimanfaatkan, tidak sah hukumnya.
c. Dapat dikuantifikasikan atau dapat dihitung jumlahnya. Apabila tidak dapat diukur
atau tidak dapat dikuantifikasikan, tidak sah.
d. Utang boleh dilunasi dengan anggunan itu.
4. Marhun (barang yang digadaikan)
Aturan pokok dalam mahzab Maliki tentang barang yang digadaikan bahwa gadai dapat
dilakukan pada semua jenis harga dan semua jenis jual beli, kecuali pada jual beli mata
uang (sharf) dan pokok modal salam yang berkaitan dengan tanggungan. Karena pada
sharf diisyaratkan tunai (yaitu kedua belah pihak saling menerima), tidak boleh terjadi
akad gadai, begitu pula pada harta modal gadai salam.
Menurut ulama Syafi,iyah, gadai dapat dikatakan sah dengan dipenuhinya tiga syarat.
Pertama, harus berupa barang karena utangg tidak bisa digadaikan. Kedua, penetapan
kepemilikian penggadai atas barang yang digadaikan tidak terhalang. Ketiga, barang yang
digadaikan bisa dijual saat sudah lewat masa pelunasan utang gadai.
Secara umum, barang gadai harus memenuhi beberapa syarat, antara lain:
1.
2.
3.
4.

Harus diperjualbelikan,
Harus berupa harta yang bernilai,
Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah,
Harus diketahui keadaan fisiknya sehingga piutang tidak sah untuk digadaikan harus

berupa barang yang diterima secara langsung,)
5. Harus memilkik rahin (peminjaman atau penggadai), setidaknya harus seizin pemiliknya,

Disamping syarat-syarat diatas, para ulama sepakat menyatakan bahwa rahn baru
dianggap sempurna apabila barang yang di rahn kan secara hukum sudah berada ditangan
pemberi utang, dan utang yang dibutuhkan telah diterima peminjam uang. Syarat terakhir
(kesempurnaan rahn) oleh para ulama disebut qabdh al-marhun (barang jaminan dikuasai
secara hukum oleh pemberi utang/kreditur).
Akad Gadai
Dalam transaksi gadai terdapat empat akad untuk mempermudah mekanisme
perjanjianya, yaitu sebagai berikut:
1. Qard al-Hasan
Akad ini digunakan nasabah untuk tujuan konsumtif. Oleh karena itu, nasabah (rahin)
dikenakan biaya perawatan dan penjagaan barang barang gadaian (marhun) kepada
pengadaian (murtahin). Ketentuan transaksi pada akad qarad al hasan adalah:
a. Barang gadai hanya dapat dimanfaatkan dengan jalan menjual,
b. Karena bersifat sosial, tidak ada pembagian hasil. Pengadaian hanya diperkenankan
untuk mengenakan biaya administrasi kepada rahin.
2. Mudharabah
Akad ini diberikan bagi nasabah yang ingin memperbesar modal usahanya atau untuk
pembiayaan lain yang bersifat produktif. Ketentuan transaksi pada akad mudharabah
ialah:
a. Barang gadai dapat berupa barang bergerak dan barang tidak bergerak seperti emas,
elektronik, kendaraan bermotor, tanah, rumah, bangunan, dan lain-lain.
b. Keuntungan dibagi setelah dikurangi dengan biaya pengelolaan marhun.
3. Ba’i Muqayyadah
Akad ini diberikan bagi nasabah untuk keperluan yang bersifat produktif, seperti
pembelian alat kantor dan modal kerja. Dalam hal ini, murtahin juga dapat menggunakan
akad jual-beli untuk barang atau modal kerja yang diinginkan oleh rahin. Barang gadai
adalah barang yang dapat dimanfaatkan oleh rahin dan murtahin.
4. Ijarah
Objek dari akad ini adalah pertukaran manfaat tertentu. Bentuknya adalah murtahin
menyewakan tempat penyimpanan barang.

2.5

Hal-hal yang berkaitan dengan Gadai Syariah

2.5.1 Status Barang Gadai
Status gadai terbentuk saat terjadinya akad atau kontrak utang pitang bersama dengan
penyerahan jaminan. Misalnya, ketika seorang penjual meminta pembeli menyerahkan
jaminan seharga tertentu untuk pembelian barang dan kredit. Status gadai sah setelah
terjadinya utang. Para ulama pun menilai hal ini sah karena utang tetap menuntut
pengambilan jaminan. Oleh karena itu, dibolehkan mengambil sesuatu sebagai jaminan.
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa gadai berkaitan dengan keseluruhan hak barang yang
digadaikan dan bagian lainnya, yaitu jika seseorang mengadaikan jumlah barang tertentu,
kemudian ia melunasi sebagiannya, keseluruhan barang gadai masih tetap berada ditangan
penerima gadai. Sebagaian fuqaha berpendapat bahwa barang yang masih tetap berada
ditangan penerima gadai hanya sebagaiannya, yaitu sebesar hak yang belum dilunasi.
2.5.2 Jenis – jenis Barang Gadai
Jenis barang gadai (marhun) adalah barang yang dijadikan agunan oleh rahin sebagai
pengikat utang, dan dipegang oleh murtahin sebagai jaminan utang. Menurut ukama Hnafi,
barang-barang yang dapat digadaikan adalah barang-barang yang memenuhi katagori:
1. Barang-barang yang dapat dijual. Karena itu, barang-barang yang tidak berwujud tidak
dapat dijadikan barang gadai, misalnya menggadaikan buah dari sebuah pohon yang
belum berbuah, menggadaikan binatang yang belum lahir, menggadaikan burung yang
ada di udara.
2. Barang gadai harus berupa harta menurut pandangan syara’ , tidak sah menggadaikan
sesuatu yang bukan harta, seperti bangkai, hasil tangkapan di Tanah Haram, arak, aning,
serta babi. Semua barang ini tidak diperbolehkan oleh syara’ dikarenakan berstatus
haram.
3. Barang gadai tersebut harus diketahui, tidak boleh menggadaikan sesuatu yang majhul
(tidak dapat dipastikan ada atau tidaknya).
4. Barang tersebut milik si rahin.
Menurut kesepakatan para ulama fikih, menggadaikan manfaat tidak sah, seperti seseorang
yang menggadaikan manfaat rumahnya untuk waktu satu bulan dan/atau lebih. Pendapat ini

mengikuti pendapat Imam Abu Hanafi seperti yang dikutip oleh Wahbah Zuhaily, yang
mengatakan bahwa manfaat tidak termasuk dalam katagori harta. Alasannya, karena ketika akad
dilakukan, manfaat belum berwujud.
2.5.3 Pemanfaatan Barang Gadai
Para ulama mempunyai perbedaan pendapat berkenaan dengan pemanfaatan barang gadai,
yaitu sebagai berikut :
1. Pendapat Ulama Syafi’iyah
Menurut ulama Syafi’iyah seperti yang dikutip oleh Chuzaimah T Yanggo Hafiz Anshari
bahwa yang mempunyai hak atas manfaat harta benda gadai (marhun) adalah pemberi gadai
(rahin) walaupun marhun itu berada di bawah kekuasaan penerima gadai (murtahin). Dasar
hukum hal dimaksud adalah hadist Nabi Muhammad saw, sebagai berikut :
Pertama, hadist Nabi Muhammad saw, sebagai berikut,

Dari Abu Hurairah ra. Berkata bahwasannnya Rasullullah saw. Bersabda : Barang jaminan itu
dapat air susunya dan ditunggangi/ dinaiki.
Kedua, hadist Nabi Muhammad saw, yang artinya:
Dari Abi Huraira Nabi Muhammad saw. Bersabda : Gadaian itu tidak menutup hak yang punya
dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib mempertanggungjawabkan
segalanya (kerusakan dan biaya). (HR. Asy-Syafi’i dan Ad-Daruqutni).
Ketiga, hadist Nabi Muhammad saw, yang artinya :
Dari Umar bahwasannya Rasullulah saw bersabda : Hewan seseorang tidak boleh diperah tanpa
seizin pemiliknya. (HR. Al-Bukhari).

Berdasarkan ketiga dasar hukum tersebut, dapat disimpulkan bahwa marhun itu hanya
sebagai jaminan atau kepercayaan atas murtahin. Kepemilikan marhun tetap melekat pada rahin.
Oleh karena itu manfaat atau hasil dari murtahin itu tetap berada pada rahin kecuali manfaat
atau hasil dari marhun itu diserahkan kepada murtahin. Selain itu, perlu diungkapkan bahwa
pemanfaatan

marhun oleh

murtahin yang mengakibatkan turun kualitas marhun tidak

dibolehkan kecuali diizinkan oleh rahin.
2. Pendapat Ulama Malikiyah
Ulama Malikiyah berpendapat seperti yang dikutip oleh Muhammad dan Sholikhul Hadi
bahwa penerima harta benda gadai (murtahin) hanya dapat memanfaatkan harta benda barang
gadaian atas izin dari pemberi gadai dengan persyaratan berikut :
A. Utang disebabkan dari jual beli, bukan karena mengutangkan. Hal itu terjadi seperti orang
menjual barang dengan harta yang tangguh, kemudian orang itu meminta gadai dengan
suatu barang sesuai dengan utangnya maka hal ini diperbolehkan.
B. Pihak murtahin mensyaratkan bahwa manfaat dari harta benda gadaian diperuntukkan
pada dirinya.
C. Jika waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan harus ditentukan apabila tidak
ditentukan batas waktunya maka menjadi batal.
Pendapat di atas, berdasarkan hadist Rasullullah saw, sebagai berikut,
Pertama, hadist Nabi Muhammad saw :

Dari Abu Hurairah ra. Berkata, bahwasannya Rasulullah saw, bersabda : Barang jaminan itu
dapat ditunggangi dan diperah susunya.
Kedua, hadist Nabi Muhammad saw, yang artinya :

“Dari Umar bahwasannya Rasullullah bersabda : Hewan seseorang tidak boleh diperas tanpa
seizin pemiliknya”. (HR. Al-Bukhari).
3. Pendapat Ulama Hanabillah
Menurut pendapat ulama Hanabilah, persyaratan bagi murtahin untuk mengambil manfaat
harta benda gadai yang bukan berupa hewan adalah (a) Ada izin dari pemilik barang, (b) Adanya
gadai bukan karena mengutangkan.
Apabila harta benda gadai berupa hewan yang tidak dapat diperah dan tidak dapat
ditunggangi, maka boleh menjadikannya sebagai khadam. Akan tetapi, apabila harta benda gadai
itu berupa rumah, sawah, kebun dan semacamnya maka tidak boleh mengambil manfaatnya.
Hal ini berdasarkan dalil hukum sebagai berikut :

Barang gadai (marhun dikendarai) oleh sebab nafkahnya apabila digadaikan dan atas yang
mengendarai dan meminum susunya wajib nafkahnya. (HR. Al-Bukhari).
Hadist Nabi Muhammad saw, tersebut dijadikan dasar hukum kebolehan murtahin
mengambil manfaat dari barang gadai (marhun).
Dari Muhammad bin Salamah bahwa Rasulullahsaw, bersabda : Apabila

seekor

kambing digadaikan maka yang menerima gadai boleh meminum susunya sesuai dengan kadar
memberi makannya, apabila ia meminum susu itu melebihi harga memberi nafkahnya maka ia
termasuk riba.
Kebolehan murtahin memanfatkan harta benda gadai atas seizin pihak rahin, dan nilai
pemanfatannya

harud disesuaikan dengan biaya yang telah dikeluarkannya untuk marhun

didasarkan atas hadist Nabi Muhammad saw. Yang artinya sebagai berikut :

Dari Abu Hurairah ra. berkata bahwasannya Rasulullah saw. bersabda : barang jaminan
itu dapat ditunggangi dan diperah susunya.
Dari Umar bahwasannya Rasulullah saw. bersabda : Hewan seseorang tidak boleh
diperah tanpa seijin pemiliknya. (HR. Al-Bukhari).
4. Pendapat Ulama Hanafiyah
Menurut ulama Hanafiyah, tidak ada perbedaan antara pemanfatan barang gadai yang
mengakibatkan kurangnya harga atau tidak. Alasannya adalah hadist Muhammad saw, sebagai
berikut :

Dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ra. berkata, bahwasannya Rasulullah saw. bersabda :
Barang jaminan utang (gadai) dapat ditunggangi dan diperah susunya, serta atas

dasar

menunggangi dan memerah susunya, wajib menafkahi. (HR. Al-Bukhari)
Menurut ulama Hanafiyah, sesuai dengan fungsi dari barang gadai (marhun) sebagai
barang jaminan dan kepercayaan bagi penerima gadai (murtahin). Apabila barang tersebut tidak
dimanfaatkan oleh penerima gadai (murtahin) maka berarti menghilangkan manfaat dari barang
tersebut, padahal barang itu memerlukan biaya untuk pemeliharaan. Hal itu dapat mendatangkan
kemudharatan bagi kedua belah pihak, terutama bagi pemberi gadai (rahin).
Lain halnya pendapat Sayyid Sabiq, memanfaatkan barang gadai tidak diperbolehkan
meskipun sering orang yang menggadaikan. Tindakan orang yang memanfaatkan barang gadai
tidak ubahnya qiradh, dan setiap bentuk qiradh yang mengalir manfaat adalah riba. Kecuali
barang yang diagadaikan adalah hewan ternak yang bisa diambil susunya. Pemilik barang

memberikan izin untuk memanfaatkan barang tersebut, maka penerima gadai boleh
memanfaatkannya.
Dari beberapa pendapat ulama yang diungkapkan diatas mempunyai dasar hukum yang
sama. Namun mempunyai penafsiran yang berbeda-beda, oleh karena itu penulis mempunyai
pendapat yang lain, tetapi tetap menjadikan dasar hukum pada hadist yang dikemukakan oleh
para ulama, yaitu fungsi dari barang gadai (marhun) sebagai barang jaminan dan kepercayaan
bagi penerima gadai (murtahin) sehingga barang tersebut dapat dimanfaatkan oleh penerima
gadai (murtahin). Namun, bila rahin ingin memanfaatkan marhun harus seiring murtahin. Dari
hal tersebut dapat disimpulkan kekuasaan pemanfaatan marhun berada pada murtahin selama
utang rahin belum dilunasi kepada murtahin. Pendapat penulis tersebut menjadi kenyataan
hukum dalam praktek pelaksanaan gadai pada umumnya baik gadai kendaraan bermotor,
rumah, toko, empang, sawah maupun kebun maupun yang lainnya.

2.5.4 Sengketa Barang Gadai
Ada beberapa kondisipersengketaan yang terjadi antara pihak pemberi gadai (rahin)
dengan pihak penerima gadai (murtahin). Persengketaan dimaksud, bisa menyangkut besaran
uang pinjaman (marhun bih) dan status serta kondisi barang gadai (marhun). Beberapa
kondisi yang dapat terjadi adalah sebagai berikut:
a. Jika dalam peristiwa gadai, pihak pemberi gadai (rahin) menjaminkan barang
gadainya (marhun) kemudian menyebut sejumlah uang yang hendak dipinjamnya
kepada pihak penerima gadai (murhin), katakanlah Rp1.000,00 , sedangkan murtahin
menghargainya sebesar Rp20.000,00 maka patokan harga yang dipakai adalah
patokan harga yang diutarakan oleh pemberi gadai (rahin). Pendapat ini dikemukakan
oleh mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Sedangkan Mahzab Malikiyah
memperbolehkan penetapan harga dan pihak murtahin, meskipun mayoritas ulama
berpendapat bahwa jarang sekali harga atau nilai pinjaman (marhun bih) bisa lebih
besar dari nilai barang jaminannya (marhun).
b. Jika rahin dan murtabin beselisih mengenai musnahnya marhun, sementara murtahin
mengatakan bahwa ia tidak memahami apa sebabnya maka keterangan murtahin

dapat dipercaya kebenerannya. Keterangan murtahin juga bisa dipercaya ketika ia
menakar kisaran marhun setelah terjadi cacat atau rusak. Hal ini mengingat bahwa ia
adalah pihak yang memberikan pinjaman. Akan tetapi, jika kerusakan tersebut terjadi
pada waktu awal terjadinya rahn, maka keterangan rahin lah yang dapat dipercaya.
c. Jika rahin dan murtahin bersengketa dalam harga penjualan marhun, maka pendapat
yang diambil adalah harga yang diberikan oleh murtahin
d. Jika rahin dan murtahin berselisih mengenai cara penyimpanan marhun, maka apa
yang diminta oleh rahin yang dianggap benar. Sebagai contoh dapat diungkapkan
misalnya rahin meminta agar marhunnya disimpan pada tempat tertentu, maka
murtahin harus mengikutinya.
2.5.5 Musnahnya Barang Gadai
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan fuqaha tentang barang gadai yang rusak atau
hilang ditangan penerima gadai. Sebagian fuqaha, yaitu Imam Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur,
dan kebanyakan ahli hadis berpendapat bahwa barang gadai adalah barang titipan (amanat),
dan merupakann barang dari orang yang menggadaikan. Pemegang gadai sebagai pemengang
amanat, tidak dapat mengambil tanggung jawab atas kehilangan tanggungan. Jika terjadi
pemusnahan ditangan murtahin diikuti dengan sumpahnya bahwa dia tidak melalaikan dan
tidak menganiaya barang tersebut. Secara jelas, menurut pendapat ini barang gadaian sebagai
titipan yang tidak hars ditanggung oleh murtahin.
Sebagai fuqaha seperti Imam Abu Hanifah dan jumhur fuqaha Kufah berpendapat bahwa
murtahin bertanggung jawab jika barang gadai rusak atau musnah ditangan murtahin.
Mereka beralasan bahwa barang tersebut merupakan jaminan atas utang sehingga jika barang
itu hilang atau rusak, kewajiban melunasi utang juga hilang.

2.6

Hak dan Kewajiban Penerima dan Pemberi Gadai
1. Hak dan Kewajiban Penerima Gadai
a. Penerima gadai berhak menjual marhun apabilla rahin tidak dapat memenuhi
kewajibannya pada saat jatuh tempo. Hasil penjualan harta benda gadai (marhun)

dapat digunakan untuk melunasi pinjaman (marhun bih) dan sisanya dikembalikan
kepada rahin.
b. Penerima gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk
menjaga keselamatan harta benda gadai (marhun).
c. Selama peminjaman belum dilunasi maka pihak pemegang gadai berhak menahan
harta benda gadai yang diserahkan oleh pemberi gadai (nasabah/rahin).
Berdasarkan hak penerima gadai dimaksud, muncul kewajiban yang harus
dilaksanakannya, yaitu sebagai berikut:
a. Penerima gadai bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya harta benda gadai
bila hal itu disebabkan oleh kelalaiannya.
b. Penerimagadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk kepentingan pribadinya.
c. Penerima gadai berkewajiban memberitahukan kepada pemberi gadai sebelum
diadakan pelelangan harta benda gadai.
2. Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai (Rahin)
Hak Pemberi Gadai (Rahin)
a. Pemberi gadai (rahin) berhak mendapatkan pengembalian harta benda yang digadaikan
sesudah melunasi pinjaman utangnya
b. Pemberi gadai berhak menuntut ganti rugi atau kerusakan dan/atau hilangnua harta benda
yang digadaikan, bila hal itu disebabkan oleh kelalaian penerima gadai.
c. Pemberi gadai berhak menerima sisa hasil penjualan harta benda gadai sesudah dikurangi
biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya.
d. Pemberi gadai berhak meminta kembali harta benda gadai bila penerima gadai diketahui
menyalahgunakan harta benda gadainya.
Berdasarkan hak-hak pemberi gadai diatas maka muncul kewajiban yang harus
dipenuhinya, yaitu:
a. Pemberi gadai berkewajban melunasi pinjaman yang telah diterimanya dalam
tenggang waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya-biaya yang ditentukan oleh
penerima gadai.

b. Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan harta benda gadaiannya, bila dalam
jangka waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak dapat melunasi uang
pinjamannya.

2.7

Operasional Gadai
Salah satu bentuk jasa pelayanan lembaga keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat

adalah pembiayaan dengan menggadaikan barang sebagai jaminan. Landasan akad yang
digunakan dalam operasional perusahaan dalam pegadaian syariah adalah rahn. Berlakunya rahn
adalah bersifat mengikuti (tabi’iyah) terhadap akad tertentu yang dijalankan secara tidak tunai
(dayn) sebagai jaminan untuk mendapatkan kepercayaan. Adapun secara teknis, implementasi
akad rahn dalam lembaga pegadaian adalah sebagai berikut :
Skema : Operasional Pegadaian Syariah

1. Nasabah

menjaminkan

barang

(marhun)

kepada

pegadaian

syariah

untuk

mendapatkan pembiayaan. Kemudian pegadaian menaksir barang jaminan tersebut
untuk dijadikan dasar dalam memberikan pembiayaan.
2. Pegadaian syariah dan nasabah menyepakati akad gadai. Akad ini meliputi jumlah
pinjaman, pembebanan biaya jasa simpanan dan biaya administrasi. Jatuh tempo
pengembalian yaitu 120 hari (4 bulan).
3. Pegadaian syariah memberikann pembiayaan atau jasa yang dibutuhkan nasabah
sesuia kesepakatan.
4. Nasabah menembus barang yang digadaikan setelah jatuh tempo. Apabbila pada saat
jatuh tempo belum dapat mengembalikan uang pinjaman, dapat diperpanjang 1 (satu)
kali masa jatuh tempo, demikian seterusnya. Apabila nasabah tidak dapat
mengembalikan uang pinjaman dan tidak memperpanjang akad gadai,maka pegadaian
dapat melakukan kegiatan pelelangan dengan menjual barang tersebut untuk melunasi
pinjaman.
5. Pegadaian (murtahin) mengembalikan harta benda yang digadai (marhun) kepada
pemiliknya (nasabah).
Pemaparan diatas merupakan ilustrasi cara kerja pegadaian syarian secara umum. Dengan
mendasarkan pada prinsip tersebut, di pegadaian syariah sekarang ini telah dikenal beberapa jasa
pelayanan yang ditawarkan kepada masyarakat, yaitu :
1. Pemberian pembiayaan atas dasar hukum gadai syariah (rahn), yaitu berupa
penyerahan barang gadai oleh nasabah (rahin) untuk mendapatkan pinjaman yang
jumlahnya ditentukan oleh nilai barang yang digadaikan.
2. Penaksiran nilai barang , yaitu bahwa pegadaian syariah memberikan jasa penaksiran
atas nilai suatu barang yang dilakukan oleh calon nasabah (rahin). Jasa ini diberikan
karena biasanya lembaga pegadaian mempunyai alat penaksir yang keakuratannya
dapat dihandalkan.
3. Pegadaian syariah juga menyelenggarakan jasa penyewaan (ijarah) tempat penitipan
barang untuk alasan keamanan. Usaha ini dapat di jalankan karena pegadaian syariah
menyediakan tempat atau gudang penyimpanan yang memadai.
4. Gerai Emas (Gold Counter), yaitu tempat penjualan emas yang menawarkan
keunggulan kualitas dan keaslian. Emas yang dijual di gerai ini di lengakapi sertifikat
jaminan, sehingga lebih dipercaya masyarakat.

Lembaga pegadaian dimaksudkan sebagai suatu lembaga yang memberikan fasilitas bagi
warga masyarakat untuk dapat memperoleh pembiayaan secara praktis. Pembiayaan yang
dimaksud biasanya lebih mudah diperoleh bagi calon nasabah karena menjaminkan barangbarang yang sudah dimiliki. Kemudahan ini membuat lembaga pegadaian diminati oleh kalangan
masyarakat yang membutuhkan dana pembiayaan. Karena itu lembaga pegadaian secara relatif
mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya, yaitu sebagai
berikut :
1. Hanya memerlukan waktu yang relatif singkat untuk mencairkan uang pembiayaan
tepat pada hari yang dibutuhkan karena adanya prosedur yang tidak berbelit-belit.
2. Persyaratan yang ditentukan bagi konsumen untuk mendapatkan pembiayaan sangat
sederhana.
3. Tidak ada ketentuan dari pihak pegadaian mengenai keperuntukan pembiayaan,
sehingga nasabah dengan bebas untuk menggunakan uangnya.
Disamping uang tunai, pegadaian juga menyediakan jasa lainnya seperti penitipan dan
taksiran. Jasa penitipan menyangkut layanan penitipan barang berharga seperti perhiasan, surat
berharga dan/ atau barang bernilai lainnya. Sedangka yang dimaksud jasa taksiran meliputi
layanan dalam bentuk penilaian barang berharga ditinjau dari segi kualitas, kuantitas, dan
spesifikasi lainnya yang bermanfaat bagi warga masyarakat.

2.8

Perbedaan Gadai Syariah dan Gadai Konvensional

No

Pengadaian Syariah

Pengadaian Konvensional

1.

Biaya administrasi berdasarkan barang

Biaya administrasi berupa prensentase

2.

1 hari dihitung 5 hari

yang didasarkan pada golongan barang.
1 hari dihitung 15 hari.

3.

Jasa simpanan berdasarkan simpanan

Sewa modal berdasarkan uang pinjaman

4.

Apabila pinjaman tidak dilunasi, barang Apabila pinjaman tidak dilunasi, barang
jaminan

5.

akan

masyarakat.
Jasa simpanan
konstanta x taksiran.

dijuak
dihitung

kepada jaminan dilelang kepada masyarakat.
dengan Sewa modal dihitung dengan presentase x
uang jaminan

6.

Maksimal jangka waktu 3 bulan.

Maksimal jangka waktu 4 bulan

7.

Kelebihan uang hasil dari penjualan Kelebihan uang hasil lelang tidak diambil
barang tidak diambil oleh nasabah, oleh

nasabah,

tetpi

menjadi

milik

tetapi diserahkan kepada Lembaga ZIS pengadaian.
(Badan Amil Zakat)

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Lembaga Pegadaian Syariah dibentuk untuk kemudahan dalam mengatasi
masalah yang ada pada masyarakat yang sedang membutuhkan uang dengan segera tetapi
mempunyai kendala tertentu, maka dengan cara menggadaikan barang-barang sebagai

jaminan dari pinjaman uang yang diajukan pada pegadaian diharapkan mampu untuk
mengurangi beban dan kesulitan dalam memperoleh uang tunai.
Terdapat bebrbagai keuntungan yang didapat dari lembaga pegadaian yang
dibandingkan dengan lembaga keuangan bank dan nonbank lainnya, yaitu:
1. Waktu yang relative singkat untuk memperoleh uang, yaitu ppada hari yang
sama karena prosedur yang sederhana
2. Persyaratan yang sederhana dan memudahkan konsumen
3. Pihak pegadaian tidak mempermasalahkan peruntukan dana yang dipinjam
akan digunakan untuk apa dan juga adanya sanksi yang relative ringan
Selain dapat menguntungkan pihak nasabah, perusahaan pegadaian juga
memperoleh keuntungan yaitu:
1.
penghasilan yang bersumber dari sewa modal yang dibayarkan oleh
2.

peminjam dana
penghasilan yang bersumber dari ongkos yang dibayarkan oleh nasabah
memperoleh produk gadai syariah dapat mendapat keuntungan dari
pembebanan biaya administrasi dan biaya sewa tempat penyimpanan

3.

emas.
Pelaksanaan misi perum pegadaian sebagai BUMN yang bergerak di
bidang pembiayaan berupa pemberuan bantun kepada masyarakat yang

4.

memerlukan dana dengan prosedur yang relaitf se