Transformasi Wacana Pembangunan Manusia pdf
PROSIDING
SIMPOSIUM KEBUDAYAAN DAN KERJASAMA
INDONESIA – MALAYSIA 2015
(SKIM XIV 2015)
“Universiti untuk Komuniti ASEAN : Kemakmuran,
Keharmonian dan Kelestarian Berteraskan Ilmu”
PENERBIT
Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan
Universiti Kebangsaan Malaysia
Bangi
2015
PROSIDING
SIMPOSIUM KEBUDAYAAN DAN KERJASAMA INDONESIA –
MALAYSIA 2015 (SKIM XIV 2015)
© Sekretariat SKIM XIV 2015,
Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan
Universiti Kebangsaan Malaysia
MALAYSIA.
2015
Hak Cipta Terpelihara
Tidak dibenarkan mengeluar ulang mana-mana bahagian artikel, ilustrasi dan isi
kandungan buku ini dalam apa jua bentuk dan dengan cara apa pun sama ada
secara elektronik, fotokopi, mekanik, rakaman atau cara lain sebelum mendapat
keizinan bertulis daripada Sekretariat SKIM XIV 2015, Fakulti Sains Sosial dan
Kemanusiaan, Universiti Kebangsaan Malaysia, 43600 UKM Bangi, Selangor,
Malaysia.
Perpustakaan Negara Malaysia
Cataloguing-in-Publication Data
SIMPOSIUM KEBUDAYAAN DAN KERJASAMA INDONESIA –
MALAYSIA 2015 (SKIM XIV 2015)
Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan
Universiti Kebangsaan Malaysia. MALAYSIA.
25 - 27 November 2015 / Noraini et.al.
ISBN: 978-983-2795-33-9
1. Kemakmuran
2. Keharmonian
3. Kelestarian
4. Komuniti ASEAN
Type Setting: Mansor Ab. Samad
Text Type: Times New Roman Font Size: 11pt, 10pt, 9pt
SIMPOSIUM KEBUDAYAAN DAN KERJASAMA
INDONESIA – MALAYSIA 2015
(SKIM XIV 2015)
“Universiti untuk Komuniti ASEAN : Kemakmuran, Keharmonian
dan Kelestarian Berteraskan Ilmu”
Anjuran:
Universiti Kebangsaan Malaysia
Dengan Kerjasma:
Kementerian Pembangunan Wanita, Keluarga dan Masyarakat, MALAYSIA.
Institut Sosial Malaysia (ISM), MALAYSIA
Universitas Padjadjaran, INDONESIA
25- 27 November 2015
The Everly Hotel, Putrajaya, MALAYSIA.
PENERBIT
Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan
Universiti Kebangsaan Malaysia
Bangi
2015
EDITOR
Noraini Md Yusof
Esmaeil Zeiny Jelodar
Khazriyati Salehuddin
Mohd. Nazlie Syahzeer Salleh
Amirul Asyraf Johar
Transformasi Wacana Pembangunan Manusia di
Indonesia dan Perubahan Cara Kerja
Birokrasi dalam Pembangunan
Caroline Paskarina
Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Padjadjaran, Bandung, INDONESIA
[email protected]
ABSTRACT
Human development discourse begun from the idea to put human as focus in welfare
creation. In a further development, the practice of human development even further highlight
the achievement of the Human Development Index (HDI) as a measure of success. Efforts to
improve the performance of HDI requires mastery of the knowledge and ability to manage a
variety of information systematically as a basis for development planning. This condition is a
basic argument for encouraging changes in the bureaucracy as an institution that is
authorized to allocate the resources to be able to work in an innovative way to manage data
and information for decision making. The entry of knowledge management regimes in
human development practices produce various standards that must be adhered to bureaucracy
in the management of development, which includes the standardization mechanisms of
program planning, budgeting management standardization, and standardization of
documentation and archiving. These standardizations become technology of power that are
reshaping the work mechanism in bureaucracy, disciplining bureaucracy to adhere to the new
technocratic regime that requires practice and objectively measured development. On the
other hand, this practice is also trapped bureaucracy in rigidity of knowledge management
procedures, that ignore the essential meaning of human development as welfare creation, not
just a score achievement.
Key words: human development, knowledge management, bureaucracy subjection
PENDAHULUAN
Diskursus pembangunan bukan hal baru, baik di dunia maupun di Indonesia. Sejak
awal kemerdekaan Indonesia, hasrat untuk membangun sudah mulai tumbuh
meskipun lebih banyak mengarah pada dimensi politik (Philpott, 2003).
Pembangunan pada masa itu merupakan proses untuk menciptakan identitas baru
Indonesia sebagai negara merdeka, terbebas dari bentukan identitas masa kolonial
sebagai bangsa yang terbelakang, malas, dan miskin. Karena itu, modernisasi
menjadi kata kunci dari praktik pembangunan di awal kemerdekaan. Dalam konteks
global, modernisasi memperoleh pembenaran melalui produksi pengetahuan tentang
industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi, yang bahkan didukung oleh jargon
tentang misi kemanusiaan untuk mengatasi ‘keterbelakangan’ di negara-negara yang
baru merdeka (Escobar, 1995).
Universiti untuk Komuniti ASEAN : Kemakmuran, Keharmoniandan
Kelestarian Berteraskan Ilmu
522
Modernisasi menjadi teks hegemonik selama rentang waktu yang sangat
panjang karena didukung oleh produksi pengetahuan secara berkelanjutan oleh para
pendukungnya, bukan hanya melalui hasil-hasil penelitian dan pengajaran yang
dilakukan oleh jejaring ilmuwan yang bergabung dalam komunitas epistemik, tapi
juga oleh lembaga-lembaga internasional di mana para ilmuwan tersebut juga
menduduki posisi strategi dalam struktur organisasinya (Mas’oed, 2001). Produksi
pengetahuan tidak hanya menciptakan klaim kebenaran tapi juga menentukan arah
kebijakan pembangunan di negara-negara yang menjadi mitra dari lembaga-lembaga
tersebut. Dalam konteks ini, modernisasi tidak hanya menciptakan pemilahan ke
dalam kategori negara maju dan negara berkembang, tapi juga memposisikan
kondisi kehidupan di negara maju sebagai normalitas yang harus ditiru oleh negaranegara berkembang.
Konstruksi kekuasaan tersebut berulang kembali dalam diskursus
neoliberalisme yang berkembang pada dekade 1980-an. Perbedaannya terletak pada
peran negara, yang perlu semakin diminimalkan untuk memberi akses yang lebih
luas bagi bekerjanya pasar bebas (Peet, Richard dan Elaine Hartwick, 2009). Asumsi
ini diperkuat melalui kesepakatan global antara lembaga-lembaga internasional
dengan negara-negara yang mengikuti skema penyesuaian struktural tersebut.
Kesepakatan yang tertuang dalam Konsensus Washington menjadi teks kuasa yang
melegitimasi intervensi lembaga-lembaga internasional (World Bank, International
Monetary Fund, dan World Trade Organization) ke dalam penyusunan kebijakan
ekonomi di negara-negara tersebut. Selain penyesuaian pada kebijakan ekonomi
makro, diskursus neoliberalisme juga membawa serta pengetahuan tentang tata
kepemerintahan yang baik (good governance) yang ditujukan untuk merombak
struktur dan cara kerja institusi politik di negara-negara yang menjalankan
kesepakatan tersebut. Good governance memberikan pembenaran bagi pembentukan
tata kepemerintahan yang berpihak pada kepentingan pasar (Abrahamsen, 2000).
Meskipun demikian, proses diskursif tidak pernah berlangsung linear. Selalu
ada upaya perlawanan yang muncul dari kondisi paradoks yang menciptakan
peluang bagi diskursus tandingan. Seiring meluasnya diskursus good governance,
iklim demokratisasi membuka peluang bagi munculnya berbagai gagasan tentang
pembangunan, salahsatunya adalah gagasan pembangunan manusia (human
development) yang juga bersumber dari lembaga internasional, yakni United Nations
Development Programme (UNDP) bersama agensi-agensi lain dalam Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB), kementerian pembangunan di negara-negara sedang
berkembang, dan lembaga-lembaga kerjasama pembangunan. Gagasan
pembangunan manusia mengkritik pembangunan yang terlampau bertumpu pada
pencapaian pertumbuhan ekonomi, dan menawarkan konsep kapabilitas sebagai
prasyarat bagi manusia untuk dapat mencapai kesejahteraan dengan memanfaatkan
potensi yang dimilikinya (Sen, 1999).
Pertarungan di antara kedua gagasan yang berbeda orientasi ini menarik
dianalisis bukan hanya karena masing-masing diwacanakan oleh lembaga
internasional yang berpengaruh, tapi juga karena keduanya didukung oleh klaim
kebenaran yang terus-menerus diproduksi oleh sistem pengetahuan tertentu.
Produksi pengetahuan yang dihasilkan oleh kedua gagasan pembangunan tersebut
523
Simposium Kebudayaan Dan Kerjasama Indonesia–Malaysia 2015 (SKIM XIV 2015)
25 - 27 November 2015, The Everly Hotel, Putrajaya, MALAYSIA
merupakan upaya sistemik karena dilakukan melalui dukungan berbagai komunitas,
baik komunitas epistemik (jaringan ilmuwan), birokrat di negara-negara yang
bersangkutan, maupun lembaga-lembaga internasional yang berperan sebagai donor
maupun konsultan.
Interaksi di antara aktor-aktor berpengetahuan ini menjadikan produksi
pengetahuan semakin kompleks, sehingga memahami alasan di balik pilihan suatu
kebijakan pembangunan perlu mengungkap pula proses diskursus di balik interaksi
konteks, subjek, dan teks tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan tidak
pernah menjadi proses yang mengandung makna tunggal, sebaliknya, ia menjadi
arena pertarungan diskursus untuk menentukan ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ manusia
harus diatur untuk mencapai kondisi kehidupan yang lebih baik.
Dalam perspektif tersebut, pembangunan ditempatkan sebagai arena
pertarungan kekuasaan untuk membentuk realitas. Pembangunan bukan proses
ekonomi semata, apalagi proses yang bebas nilai. Sebaliknya, pembangunan
senantiasa terkait dengan kekuasaan, baik relasi kekuasaan, operasi kekuasaan
maupun teknologi kekuasaan. Sebagai praktik kekuasaan, kesejahteraan menjadi
arena tempat kekuasaan dipertarungkan, merefleksikan wujud kekuasaan, dan
memiliki keterkaitan dengan wujud kekuasaan yang lainnya. Dengan menggunakan
perspektif ini, para aktor ditempatkan sebagai subjek kuasa, pembangunan sebagai
teks kekuasaan, dan konteks sosial-politik yang melatarbelakangi gagasan-gagasan
pembangunan menjadi konteks kekuasaan. Keterkaitan di antara ketiganya
membentuk diskursus tentang pembangunan.
Diskursus atau sistem pernyataan tentang pembangunan tidak terlepas dari
pengetahuan-pengetahuan yang membentuk klaim kebenaran tentang realitas
pembangunan. Sepanjang sejarah pembangunan, manusia ditempatkan sebagai
sasaran yang terus-menerus dibentuk untuk menghasilkan sosok yang dikehendaki
oleh diskursus pembangunan. Dalam konsep pembangunan yang berbasis negara,
misalnya, manusia dibentuk sebagai individu yang patuh pada kewenangan institusi
negara untuk menjamin distribusi kesejahteraan secara merata. Dalam konsep
pembangunan yang berbasis pada pasar, manusia dibentuk sebagai individu yang
otonom, mampu mengambil keputusan sendiri, dan memiliki produktivitas tinggi
untuk mengelola sumber-sumber daya dalam rangka akumulasi kapital. Di antara
kedua konsep mainstream tersebut, juga ada gagasan alternatif yang mencoba
memadukan peran negara dan mekanisme pasar dalam penciptaan kesejahteraan. Di
sini, manusia dibentuk sebagai individu yang kreatif dan inovatif agar mampu
mengatasi persoalan-persoalan akibat kegagalan bekerjanya negara dan pasar. Pada
setiap sistem pengetahuan tersebut, manusia dibentuk untuk memenuhi kriteria
tertentu, sehingga pembangunan menjadi teknologi kekuasaan untuk membentuk
pola pikir dan perilaku manusia.
Berangkat dari cara berpikir seperti di atas, tulisan ini ingin menganalisis
pembangunan sebagai praktik kekuasaan. Untuk itu, konsepsi Foucault tentang
kekuasaan produktif akan digunakan sebagai kerangka pemikiran untuk membangun
argumentasi dalam tulisan ini. Foucault (dalam Burcell, Graham, Colin Gordon, dan
Peter Miller, 1991) menawarkan cara pandang alternatif terhadap kekuasaan. Dalam
konsepsinya, kekuasaan berkait erat dengan pengetahuan. Tidak ada pengetahuan
Universiti untuk Komuniti ASEAN : Kemakmuran, Keharmoniandan
Kelestarian Berteraskan Ilmu
524
tanpa kekuasaan dan tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan. Kekuasaan produktif
bertujuan mengungkapkan praktik-praktik diskursif di balik pembentukan batasan
tentang normalitas melalui kategori-kategori yang menentukan bagaimana subjek
diperlakukan. Dalam praktik ini, identitas dan kepatuhan subjek dibentuk atas dasar
rezim kebenaran yang berlaku dalam suatu sistem pengetahuan.
Dengan menggunakan konsepsi Foucault, tulisan ini ingin mengungkapkan
bagaimana pilihan terhadap suatu konsep pembangunan mengarah pada
pendisiplinan, pembentukan, dan penundukan manusia terhadap tata aturan yang
berlaku dalam cara itu. Fokus analisis dari tulisan ini adalah konsep pembangunan
manusia yang saat ini menjadi basis pembangunan di Indonesia. Masuknya gagasan
pembangunan manusia ke dalam agenda kebijakan pembangunan di Indonesia
merupakan bagian dari proses diskursus pembangunan global yang mempengaruhi
praktik pembangunan di tingkat lokal. Menariknya, penerapan gagasan
pembangunan manusia di Indonesia cenderung memprioritaskan pencapaian Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) sebagai ukuran keberhasilan pembangunan.
Kecenderungan ini tampak sejak Human Development Report (HDR) tahun 1996
mempublikasikan peringkat Indonesia di posisi ke-102 dari 174 negara. Meskipun
termasuk dalam kategori negara dengan capaian IPM menengah, tapi peringkat ini
memicu perhatian Pemerintah Republik Indonesia untuk mulai memperhatikan
capaian pembangunan manusia dan tidak hanya berfokus pada pertumbuhan
ekonomi. Seperti halnya ukuran-ukuran pertumbuhan ekonomi yang membentuk
kemapanan capaian kesejahteraan, IPM juga memainkan peran yang sama. Tulisan
ini ingin mengungkapkan bagaimana IPM mendekonstruksi cara kerja birokrasi
sebagai pelaksana pembangunan, bahkan menjadikan tubuh-tubuh aparat birokrasi
sebagai lokus kekuasaan dengan membentuk ulang perilakunya mengacu pada
normalitas versi pembangunan manusia.
Pembangunan Manusia sebagai Sistem Pengetahuan
Gagasan Foucault (1991) tentang kekuasaan produktif menjadi kerangka konseptual
dalam menganalisis perubahan birokrasi karena menawarkan pendekatan alternatif
untuk mengungkapkan perubahan bukan sebagai proses yang alamiah, tapi proses
yang diarahkan oleh sistem pengetahuan tertentu. Sistem pengetahuan ini bukan
semata produk bahasa, tapi produk kekuasaan yang lahir dari proses diskursif.
Dalam kaitan dengan pembangunan manusia sebagai suatu sistem pengetahuan,
maka pembangunan manusia ini lahir melalui proses diskursif yang menentukan
batasan tentang realitas pembangunan yang harus ditangani, siapa yang menjadi
sasarannya, dan dengan teknologi apa subjek dibentuk untuk memenuhi kategori
normal tersebut. Untuk memahami bekerjanya pembangunan manusia sebagai sistem
pengetahuan, penting untuk mengungkap perkembangan pemikiran di balik gagasan
ini, tidak secara historis tapi sebagai praktik kekuasaan yang ditandai oleh interaksi
antara konteks, subjek, dan teks.
Konsep pembangunan manusia yang sekarang berkembang merupakan hasil
pemikiran Amartya Sen dan Mahbub ul Haq. Sen mengembangkan kerangka
konseptual pembangunan manusia yang berbasis pada pendekatan kapabilitas,
525
Simposium Kebudayaan Dan Kerjasama Indonesia–Malaysia 2015 (SKIM XIV 2015)
25 - 27 November 2015, The Everly Hotel, Putrajaya, MALAYSIA
sedangkan Ul Haq mengembangkan lebih lanjut pemikiran Sen ke dalam kerangka
kebijakan global yang disebarkan melalui UNDP.
Sen (1999) menggagas pembangunan sebagai the expansion of the
'capabilities' of people to lead the kind of lives they value - and have reason to value.
Perluasan kapabilitas bergantung pada penghapusan berbagai bentuk penindasan dan
penyediaan fasilitas dasar sebagai prakondisi untuk mencapai kualitas hidup yang
diinginkan (Sen, 1999). Dalam konsep ini, kebebasan menjadi hal penting bagi
kesejahteraan karena kebebasan adalah tujuan sekaligus alat untuk mencapai
lingkungan yang kondusif tersebut. Kebebasan menjadi tujuan karena pembangunan
hakikatnya adalah membebaskan manusia dari berbagai kondisi keterbatasan dan
penindasan, sedangkan kebebasan sebagai alat karena kebebasan dipakai untuk
menciptakan berbagai fasilitas bagi peningkatan kesejahteraan.
Kerangka konseptual ini selanjutnya dikembangkan oleh UNDP dengan
merumuskan ulang pembangunan manusia sebagai a process of enlarging people’s
choice (Human Development Report, 1990). Perluasan pilihan-pilihan ini dilakukan
melalui penciptaan lingkungan yang kondusif bagi manusia untuk hidup lebih lama,
lebih sehat, dan lebih kreatif, termasuk juga penciptaan kebebasan politik, jaminan
hak asasi manusia, dan pengakuan akan identitas manusia. Ketika konsep
pembangunan manusia diterjemahkan sebagai kerangka kebijakan, maka diperlukan
ukuran-ukuran untuk menentukan keberhasilan pelaksanaan gagasan tersebut.
Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
kemudian menjadi alat ukur yang dikembangkan UNDP untuk merefleksikan
peningkatan kualitas hidup manusia dari sisi pendidikan, kesehatan, dan daya beli.
Dalam proses diskursif, pelembagaan gagasan pembangunan manusia
didukung oleh Human Development Report (HDR) dan HDI yang berperan penting
sebagai teknologi kekuasaan i untuk meluaskan penyebaran wacana pembangunan
manusia. HDR yang diterbitkan sejak tahun 1990 berperan sebagai media strategis
untuk memproduksi berbagai pengetahuan tentang pembangunan manusia, bahkan
cukup berpengaruh untuk membentuk realitas tentang permasalahan pembangunanii.
Tema-tema yang diusung dalam setiap terbitan tahunan HDR memunculkan isu baru
dalam penyelenggaraan pembangunan, memancing perhatian global terhadap hal-hal
yang dianggap penting bagi peningkatan kualitas hidup manusia, sekaligus
menumbuhkan kepekaan terhadap persoalan-persoalan yang semula terabaikan.
Penerbitan HDR memunculkan problematisasi baru terhadap hal-hal yang
semula dipandang sebagai suatu normalitas. Dengan mengkritisi praktik
pembangunan yang semula dianggap normal, pembangunan manusia menawarkan
cara pandang baru dalam mengelola sumber-sumber daya, yakni yang berbasis pada
pendekatan kapabilitasiii. Inti dari pendekatan kapabilitas berfokus pada apa yang
secara efektif dapat dilakukan atau diwujudkan oleh individu berdasarkan
kapabilitasnya. Dengan demikian, pendekatan ini tidak berfokus pada pencapaian
hasil atau kondisi, seperti kebahagiaan, pendapatan, pengeluaran, atau konsumsi tapi
pada proses untuk mencapai kondisi tersebut. Tema-tema yang dibahas dalam HDR
mencerminkan hal-hal yang dianggap penting untuk mendukung proses peningkatan
kapabilitas, karena itu, HDR sebenarnya bagian dari teknologi kekuasaan untuk
Universiti untuk Komuniti ASEAN : Kemakmuran, Keharmoniandan
Kelestarian Berteraskan Ilmu
526
mereproduksi pengetahuan-pengetahuan yang memperluas khazanah teorisasi
pembangunan manusia.
Selain HDR, UNDP juga menerbitkan laporan-laporan khusus yang
membahas isu-isu penting di level nasional, regional, dan global iv . Penerbitan
publikasi ini berperan untuk menciptakan pengetahuan-pengetahuan baru tentang
praktik pembangunan yang memungkinkan berlangsunya pembelajaran horisontal
antarnegara. Pemilahan isu-isu tersebut ke dalam lingkup kawasan juga menjadi teks
hegemonik yang dipakai sebagai patokan perumusan kebijakan, program, dan
kegiatan pembangunan yang seragam bagi negara-negara di kawasan tersebut.
Dengan demikian, terjadi pembesaran skala pembangunan (scalling up) sekaligus
memperbesar jangkauan diskursus pembangunan manusia. Pembesaran diskursus
menambah kekuatan hegemonik pembangunan, sehingga klaim bahwa
pembangunan menjadi jalan terbaik untuk mengatasi persoalan-persoalan
kemasyarakatan memperoleh pembenaran yang semakin kuat. Penyelesaian
masalah-masalah sosial dan ekonomi di luar pembangunan menjadi abnormalitas
yang harus didisiplinkan. Pembangunan dalam praktik ini tidak hanya menjadi cara
untuk mencapai kesejahteraan, tapi juga instrumen utama untuk memerintah.
Teknologi kekuasaan yang lain adalah HDI atau IPM, yang awalnya
dirumuskan untuk mengukur tingkat pencapaian kapabilitas dasar yang diperlukan
bagi peningkatan kualitas hidup manusia. Kapabilitas dasar yang dimaksud terdiri
dari 3 (tiga) dimensi, yakni usia harapan hidup, pendidikan, dan standar hidup
(Human Development Report, 1990). Ketiga dimensi ini selanjutnya
dioperasionalisasikan ke dalam 4 (empat) indikator, yakni usia harapan hidup (life
expectancy at birth), angka melek huruf (adult literacy rate), angka partisipasi
sekolah (gross enrolment for primary, secondary, and tertiary education), dan daya
beli (purchasing power parity). Penggunaan keempat indikator ini menuai kritik
karena dianggap terlampau menyederhanakan kompleksitas pembangunan manusia
(Murray, 1993, Srinivasan, 1994). Sebagai respon, UNDP kemudian
mengembangkan alat ukur pelengkap, yakni Gender-related Development Index
(GDI), Gender Empowerment Measure (GEM), dan Human Poverty Indices (HPI)
yang masing-masing dipakai untuk mengukur kemiskinan di negara-negara
berkembang. Meskipun demikian, alat ukur yang hingga sekarang lebih banyak
dipakai tetap indeks pendidikan, indeks kesehatan, dan indeks daya beli yang sejak
awal dikembangkan UNDP.
Pilihan terhadap alat ukur yang dipakai memang mengundang perdebatan
tersendiri, terutama karena alat ukur ini menentukan batasan-batasan dimensi yang
diukur dan cara yang dipakai untuk mengukurnya. Tapi, peran sebagai teknologi
kekuasaan lebih kuat ketika IPM dimaknai sebagai pemeringkatan negara-negara.
Pemeringkatan ini tidak hanya menciptakan situasi kompetisi di antara negaranegara di dunia, tapi yang jauh lebih penting, pemeringkatan ini menghasilkan
sistem kategorisasi baru yang memilah-milah negara berdasarkan kemampuan
pencapaian IPM-nyav. Sistem ini selanjutnya mempengaruhi strategi kebijakan yang
diambil suatu negara untuk memperbaiki penyelenggaraan pembangunan, sekaligus
juga menentukan bentuk-bentuk intervensi dunia terhadap negara-negara yang
termasuk kategori IPM menengah dan rendah.
527
Simposium Kebudayaan Dan Kerjasama Indonesia–Malaysia 2015 (SKIM XIV 2015)
25 - 27 November 2015, The Everly Hotel, Putrajaya, MALAYSIA
Di dalam berbagai ukuran tersebut terkandung informasi yang dibentuk atas
dasar sistem pengetahuan bahkan ideologi tertentu. Bagi para pembuat kebijakan,
ukuran kesejahteraan yang bersifat statistikal tidak hanya membantu dalam proses
perencanaan program, tapi juga menjadi alat untuk menjustifikasi pilihan kebijakan
yang dibuatnya dan memperkuat legitimasi kinerja pemerintahan manakala berhasil
mencapai target yang telah ditetapkan (Stiglitz, Sen, dan Fitoussi, 2011). Manfaat
politis dari ukuran kesejahteraan inilah yang membuat IPM jauh lebih populer
ketimbang gagasan pembangunan sebagai kebebasan yang sesungguhnya menjadi
rasionalitas di balik pembangunan manusia.
Penundukkan Birokrasi melalui Standarisasi
Proses diskursif untuk melembagakan pembangunan manusia tidak dapat dilepaskan
dari dukungan sistem pengetahuan yang dibentuk melalui ketersediaan data yang
memadai. Dalam konteks ini, gagasan pembangunan manusia bertemu dengan
gagasan knowledge management yang berfokus pada pengelolaan pengetahuan
untuk memperkuat keunggulan kompetitif (Blacker, Frank, Norman Crump, dan
Seonaidh McDonald, 1998). Gagasan knowledge management telah lama dipakai di
sektor swasta untuk mengembangkan nilai-nilai penting bagi keberlanjutan
organisasinya (Villela dan Muniz, 2010). Tapi, praktik ini baru mulai dikembangkan
di lingkup pemerintahan pada awal tahun 2000-an seiring berkembangnya kajiankajian tentang pembaharuan tata kelola pemerintahan, inovasi dalam
penyelenggaraan urusan publik, dan sejenisnya yang salahsatunya menempatkan
manajemen pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi kinerja
administrasi melalui penyediaan informasi yang lebih akurat (Sarabia, et.al., 2012).
Pengetahuan menjadi sumber daya untuk membentuk pemahaman baru
tentang berbagai hal dan menerapkannya pada teknologi, produk, atau proses
tertentu. Kapabilitas intelektural dan keterampilan mental menjadi semakin penting
bagi penciptaan kesejahteraan, menggantikan keterampilan-keterampilan fisik dan
kontrol birokratis atas sumber-sumber daya. Intelektualitas juga menjadi prasyarat
penting untuk merespon secara kreatif berbagai kondisi ketidakpastian. Kreativitas
ini dihasilkan melalui manajemen pengetahuan, yang pada dasarnya mencakup
aktivitas-aktivitas penciptaan, penyebaran, dan pemanfaatan pengetahuan (Wikstrom
dan Norman dalam Blacker, et.al., 1998: 70). Karena itu, sumber daya manusia yang
dapat melakukan fungsi ini adalah mereka yang mampu menggunakan semaksimal
mungkin keunggulan kompetitif dari pengetahuan yang dimilikinya untuk
menghasilkan sesuatu yang baru atau berbeda dari yang sudah ada sebelumnya vi.
Dengan demikian, manajemen pengetahuan tidak hanya mencakup aktivitas
pengelolaan data, tapi juga pembentukan subjek yang dapat melakukan aktivitasaktivitas tersebut.
Masuknya knowledge management dalam konteks pembangunan manusia
menjadikan pembangunan manusia sebagai bentuk performativitas, di mana tubuh
subjek dilatih untuk melakukan aktivitas-aktivitas pengelolaan data dan melalui
proses inilah sesungguhnya subjektivasi atau penundukan sebagai operasi kekuasaan
berlangsung. Ketika gagasan pembangunan manusia masuk dengan membawa
kerangka demokratisasi pembangunan, peran negara diubah dengan melibatkan
Universiti untuk Komuniti ASEAN : Kemakmuran, Keharmoniandan
Kelestarian Berteraskan Ilmu
528
aktor-aktor lain dalam pembangunan, sehingga melalui proses ini, masuk pula
pengetahuan-pengetahuan dari luar negara. Kendati demikian, institusi birokrasi
masih menjadi aktor strategis dalam penerapan pembangunan manusia di Indonesia
karena kewenangan yang dimilikinya untuk merencanakan pembangunan.
Pembangunan manusia masuk ke Indonesia sebagai alat advokasi untuk
mengubah praktik pembangunan ke arah yang lebih demokratis. Jadi ada
kepentingan politik yang sangat kuat di balik masuknya gagasan ini, yakni untuk
mengaitkan demokrasi dengan kesejahteraan. Tapi, ketika kepentingan ini masuk ke
ranah birokrasi sebagai pelaksana kebijakan, terjadi pergeseran pemahaman.
Birokrasi yang bekerja dengan logika instrumental lebih berfokus pada pencapaian
IPM sebagai indikator pelaksanaan pembangunan manusia. Di sisi lain, publikasi
capaian IPM turut berpengaruh untuk meningkatkan legitimasi pemerintah di mata
publik dan dunia internasional, sehingga memberikan manfaat politik yang lebih
langsung bagi pemerintah. Ketika pembangunan manusia dimaknai sekedar
pencapaian target IPM untuk memperbaiki peringkat Indonesia, maka proses yang
ditempuh menjadi proses yang bersifat teknis. Tapi, di balik proses teknis ini ada
pembentukan ulang cara kerja birokrasi.
Perubahan cara kerja birokrasi ini dilakukan melalui pembentukan standarstandar baru dalam pengelolaan pembangunan. Penundukkan birokrasi dilakukan
melalui penciptaan standarisasi pengelolaan program, yang meliputi: pertama,
standarisasi mekanisme perencanaan program. Standar baru dirumuskan untuk
mendekonstruksi mekanisme perencanaan lama yang mengalokasikan anggaran
berdasarkan rutinitas, sehingga program-program yang dibuat cenderung mengulang
program-program yang ada sebelumnya. Inovasi tidak akan muncul jika perencanaan
berbasis rutinitas karena rutinitas inilah yang menolak munculnya perubahan yang
dianggap dapat mengganggu normalitas. Model perencanaan semacam ini
menekankan pada pentingnya peran data sebagai bahan dasar bagi penyusunan
program, termasuk kemampuan untuk menganalisis dan memaknai data sebagai
informasi bagi pengambilan keputusan. Dalam praktik perencanaan yang berbasis
rutinitas, data tidak menjadi kebutuhan penting, yang diutamakan adalah
kesinambungan dari perencanaan pada masa sebelumnya. Praktik ini rentan dengan
pengulangan yang selanjutnya mengarah pada pemapanan suatu cara kerja. Karena
terbiasa dengan rutinitas, pilihan terhadap program didasarkan kebiasaan, bukan
pada pengolahan data sebagai bagian dari manajemen pengetahuan.
Konsep pembangunan manusia berfokus pada identifikasi ketersediaan
kapabilitas-kapabilitas dasar bagi peningkatan kualitas hidup manusia, yang
tercermin dari tolok ukur IPM. Untuk memenuhi tolok ukur ini, basis data
pembangunan mengalami perubahan, tidak sekedar mencakup tolok ukur ekonomi
makro, seperti laju pertumbuhan ekonomi, tingkat investasi, tingkat pengangguran,
dan sejenisnya, tapi juga mencakup angka usia harapan hidup, angka partisipasi
sekolah, angka kematian ibu, daya beli, bahkan data yang terkait gender untuk
menghitung GDI dan GEM. Pengumpulan jenis data yang telah distandarisasikan ini
menjadi dasar bagi pembentukan klaim kebenaran untuk membuktikan bahwa
konsep pembangunan manusia dapat mengarah pada penciptaan kesejahteraan yang
lebih substantif.
529
Simposium Kebudayaan Dan Kerjasama Indonesia–Malaysia 2015 (SKIM XIV 2015)
25 - 27 November 2015, The Everly Hotel, Putrajaya, MALAYSIA
Kedua, standarisasi pengelolaan penganggaran. Dalam Laporan
Pembangunan Manusia Indonesia (LPMI) tahun 2004, pembiayaan pembangunan
menjadi isu penting yang perlu segera dibenahi untuk mengoptimalkan
pembangunan manusia. Pencapaian IPM dengan demikian, juga bergantung pada
sistem pengelolaan anggaran yang berlaku. Dekonstruksi ini dilakukan dengan
menerapkan pengaturan secara ketat proporsi anggaran untuk setiap komponen
pembiayaan serta pengukuran kinerja program sebagai prasyarat pencairan dana.
Mekanisme ini mengubah hubungan antara sistem penganggaran dan sistem
pengendalian program yang sebelumnya berorientasi pada pertanggungjawaban
administratif, menjadi berorientasi pada kinerja. Melalui standarisasi ini, birokrasi
didorong untuk mengubah dirinya menjadi organisasi yang lebih berorientasi pada
pencapaian hasil (output) dan luaran (outcome) dengan mengelola berbagai masukan
(input), termasuk mempertimbangkan manfaat (benefit) dan dampak (impact) yang
dapat diperoleh melalui proses tersebut. Paradigma new public management
mengadopsi model organisasi privat, yang bekerja atas dasar biaya dan manfaat dari
setiap kegiatan. Model ini lebih banyak berorientasi pada pencapaian manfaat
seoptimal mungkin dengan biaya seminimal mungkin, seperti pada rasionalitas
ekonomi, sehingga instrumen-instrumen yang dikembangkan dari sistem
pengetahuan tersebut mengarah pada pencapaian efisiensi dan efektivitas.
Instrumen-instrumen tersebut misalnya, penyederhanaan prosedur, pemotongan
rantai komando melalui pelimpahan kewenangan, pengenalan pola organisasi
jejaring, pengembangan kapasitas sumber daya manusia untuk kepentingan
pengambilan keputusan secara partisipatif, dan sistem pengawasan yang
memungkinkan bekerjanya organisasi secara akuntabel. Keseluruhan instrumen
tersebut mengarah pada kepentingan untuk menciptakan organisasi yang dikelola
dengan seminimal mungkin intervensi secara langsung. Prinsip tersebut serupa
dengan yang digunakan dalam sistem pertukaran atau sistem pasar, sehingga
paradigma new public management selalu dikaitkan dengan gagasan liberalisme
yang masuk ke dalam organisasi publik (Mok dan Forrest, 2009).
Ketiga, standarisasi dokumentasi dan pengarsipan sebagai bagian dari
pengelolaan data. Dokumentasi dan pengarsipan merupakan upaya penting untuk
menjamin keberlanjutan dari pengaturan baru. Aparat birokrasi pelaksana program
diwajibkan menyerahkan laporan database dinamis program/kegiatan, juga
rekapitulasi fisik dan keuangan, serta laporan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan
format yang telah ditentukan. Penyeragaman format laporan ini tidak semata
bertujuan demi efektivitas dan efisiensi monitoring dan evaluasi, tapi juga untuk
menjamin kepatuhan birokrasi terhadap batasan-batasan kategori yang telah
ditentukan. Aktivitas pengumpulan data diarahkan untuk menjamin keberlanjutan
penciptaan pengetahuan (knowledge creation). Pengetahuan diciptakan melalui
konstruksi realitas dan untuk dapat melakukan hal ini, perlu ada pasokan data untuk
diinterpretasikan sebagai realitas dan perlu keahlian tertentu untuk mengubah data
menjadi pengetahuan. Kemampuan intelektual menggantikan kontrol birokrasi yang
berbasis kewenangan dalam menentukan pengelolaan sumber-sumber daya (Blacker,
et.al., 1998: 69). Kemampuan intelektual dalam mengelola data dibentuk melalui
proses pembelajaran horisontal yang berlangsung di antara para aparat birokrasi
Universiti untuk Komuniti ASEAN : Kemakmuran, Keharmoniandan
Kelestarian Berteraskan Ilmu
530
pelaksana program maupun melalui kegiatan ekspos atau paparan yang dilaksanakan
secara bergiliran pada rapat-rapat koordinasi pelaksana program. Pemaparan
pengetahuan-pengetahuan teknis tersebut penting untuk menyelaraskan cara kerja
rezim manajemen pengetahuan dengan cara kerja yang biasa dipakai dalam
pelaksanaan program rutin. Jadi, kendati rezim manajemen pengetahuan menjadi hal
yang baru tapi cara kerja ini ternyata masih perlu menyesuaikan dengan mekanisme
rutin yang biasa berlangsung dalam birokrasi, khususnya yang berkaitan dengan
aspek normatif dari suatu kegiatan. Ketersediaan dasar hukum serta petunjuk
pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) sebagai instrumen kerja yang
lazim dipakai oleh birokrasi masih tetap penting bagi keberlanjutan program.
Rezim manajemen pengetahuan tidak berarti sangat bebas karena pada
kenyataannya, rezim ini kemudian melahirkan banyak standar yang harus dipenuhi
agar proses produksi dan reproduksi pengetahuan dapat dimanfaatkan dengan
optimal. Penetapan standar data yang diwajibkan memunculkan kompleksitas yang
berbeda bagi cara kerja birokrasi yang mendorongnya untuk mulai memikirkan soal
data sebagai basis dalam perencanaan, pelaksanaan, penganggaran, monitoring dan
evaluasi program. Di sinilah dekonstruksi identitas menjadi praktik kekuasaan
karena dalam proses ini ada upaya untuk mengontrol pola pikir dan perilaku subjek
dengan mengacu pada rezim tertentu.
PENUTUP
Diskursus pembangunan manusia sebagai paradigma baru dalam pembangunan di
Indonesia ternyata tetap memunculkan praktik pembangunan yang teknokratis
meskipun teknokratisme ini muncul dengan wajah baru. Dengan menggunakan
rezim manajemen pengetahuan, pengelolaan pembangunan diarahkan sebagai proses
pengelolaan data untuk menghasilkan informasi bagi perencanaan pembangunan.
Birokrasi menjadi institusi yang tersubjektivasi oleh rezim manajemen pengetahuan
ini karena terjadi perubahan dalam cara kerja birokrasi. Basis kewenangan yang
semula mendasari cara kerja birokrasi dalam mengelola pembangunan, tergantikan
oleh berbagai standar, yang tidak hanya menentukan target yang harus dicapai tapi
juga kualitas proses pembangunan.
Standar-standar ini menjadi teknologi kekuasaan yang membentuk ulang
cara kerja birokrasi, mendisiplin birokrasi untuk patuh pada rezim teknokratis baru
yang mensyaratkan praktik pembangunan secara obyektif dan serba terukur.
Penundukan birokrasi ini menyingkapkan wajah hegemonik dari wacana
pembangunan manusia. Tapi di sisi lain, juga menunjukkan terjadinya pembajakan
makna pembangunan manusia yang berpotensi memunculkan dampak yang
bertentangan dengan yang diharapkan. Ketika pembangunan manusia direduksi
sekedar pencapaian IPM dan seluruh agenda kebijakan diarahkan untuk
memperbaiki peringkat negara dalam Laporan Pembangunan Manusia, maka praktik
pembangunan manusia kembali terjebak dalam formalisme pembangunan.
Karena itu, penting untuk tetap memelihara keberlanjutan proses diskursif
dalam memaknai ulang gagasan pembangunan manusia. Instrumentasi terhadap
gagasan pembangunan manusia tidak cukup dilakukan melalui penerbitan laporan
531
Simposium Kebudayaan Dan Kerjasama Indonesia–Malaysia 2015 (SKIM XIV 2015)
25 - 27 November 2015, The Everly Hotel, Putrajaya, MALAYSIA
pembangunan manusia dan pengukuran IPM setiap tahun. Perlu ada perluasan arena
diskursif di luar birokrasi pemerintahan, sehingga kendati birokrasi tersubjektivasi
oleh cara kerja yang instrumentalis dan teknokratis, tapi pelibatan aktor-aktor lain
memungkinkan munculnya pengetahuan-pengetahuan baru yang dapat
menerjemahkan gagasan pembangunan manusia sesuai dengan konteksnya.
Kontekstualisasi pembangunan manusia tetap diperlukan agar pembakuan standar
tersebut tidak menjebak pembangunan manusia ke dalam penyeragaman praktik
pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
Abrahamsen, R. (2000). Disciplining Democracy: Development Discourse and Good
Governance in Africa. New York: Zed Books.
Burcell, Graham, Colin Gordon, dan Peter Miller. (1991). The Foucault Effect:
Studies in Governmentality. Chicago: The University of Chicago Press.
BPS, Bappenas, dan UNDP. (2004). Laporan pembangunan manusia Indonesia:
Hitungan sebuah demokrasi: Pembiayaan pembangunan manusia di
Indonesia.
Blacker, Frank, Norman Crump, dan Seonaidh McDonald. (1998). Knowledge,
organizations, and competition. Dalam J. R. Georg vo Krogh, Knowing in
Firms: Understanding, Managing, and Measuring Knowledge (hal. 67-86).
London: Sage Publications Ltd.
Chaniago, A. (2001). Gagalnya Pembangunan: Kajian Ekonomi Politik terhadap
Akar Krisis Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Escobar, A. (1995). Encountering Development: The Making and Unmaking of the
Third World. Princeton: Princeton University Press.
Foucault, M. (1982). The Subject and Power. Dalam H. L. (eds.), Michel Foucault:
Beyond Structuralism and Hermeneutics. 2nd edition. Chicago: University
of Chicago.
Foucault, M. (2002). Power/Knowledge: Wacana Kuasa/Pengetahuan. (Y. Santosa,
Penerj.) Yogyakarta: Bentang Budaya.
Kompas. (1996, Juli 23). Peringkat HDR belum memuaskan. Kompas. Dipetik
Oktober
15,
2013,
dari
http://www.kompas.com/967/23/EKONOMI/peri.htm
Mas’oed, M. (2001). Resep itu Bernama Washington Consensus. Dalam A.
Chaniago, Gagalnya Pembangunan, Kajian Ekonomi Politik terhadap Akar
Krisis Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Murray, J.L. (1993). Development data constraints and the Human Development
Index. Dalam D.G. Westerndorff dan D. Ghai (eds.). Monitoring social
progress in the 1990s, hal. 40-64.
Mok, Ka-Ho dan Ray Forrest. (2009). Changing governance and public policy in
East Asia: Comparative development and policy in Asia Series. London dan
New York: Taylor and Francis Routledge.
Nussbaum, Martha C. (1988). Women and human development: The capabilities
approach. Cambridge: Cambridge University Press.
Universiti untuk Komuniti ASEAN : Kemakmuran, Keharmoniandan
Kelestarian Berteraskan Ilmu
532
Peet, Richard dan Elaine Hartwick. (2009). Theories of Development: Contentions,
Arguments, Alternatives (Second ed.). New York: The Guilford Press.
Philpott, S. (2003). Meruntuhkan Indonesia: Politik postkolonial dan otoritarianisme.
Yogyakarta: LkiS.
Sarabia, Maria, Maria Obeso, Marta Guijarro, dan Carmen Trueba. (2012). Human
development and knowledge management: A fresh look. African Journal of
Business Management. Vol. 6 (11), hal. 4255-4266.
Sen, A. (1999). Development as freedom. New York: Alfred A. Knopf.
Srinivasan, T.N. (1994). Human development: A new paradigm or reinvention of the
wheel?. The American Economic Review. Vol. 84, No. 2, hal. 238-243.
Stiglitz, Joseph E., Amartya Sen, dan Jean-Paul Fitoussi. (2011). Mengukur
kesejahteraan. Jakarta: Marjin Kiri.
Villela, Dantas dan Farias Muniz. (2010). Conceptual navigation in knowledge
management environments using NavCon. Information Process
Management, 46: hal. 413-425.
i
ii
iii
iv
Foucault (dalam Philpott, 2003) menjelaskan teknologi kekuasaan sebagai teknologi
yang memungkinkan semua individu, dengan kemampuan mereka sendiri atau
bantuan orang lain, menjalankan operasi kekuasaan atas tubuh, jiwa, pikiran, dan
perilaku mereka sendiri serta mentransformasikan mereka agar mencapai tingkat
kebahagiaan tertentu, kemurnian, kebijaksanaan, kesempurnaan, atau keabadian.
Istilah teknologi kekuasaan dipakai untuk merefleksikan karakter kekuasaan sebagai
suatu modalitas, yang terdiri dari keseluruhan sarana, teknik, prosedur, tingkat-tingkat
penerapan, dan sasaran-sasaran yang dipakai untuk memproduksi kebenaran.
Sejak tahun 1990, HDR telah terbit dengan sejumlah tema yang menandai isu-isu
penting bagi pembangunan, antara lain tentang konsep pembangunan manusia;
pembiayaan sosial bagi pembangunan; partisipasi politik; keamanan manusia;
kesetaraan gender; pertumbuhan ekonomi; kemiskinan; konsumsi; globalisasi dan
glokalisasi; hak asasi manusia; teknologi; demokrasi; Millenium Development Goals;
kebebasan kultural; donor dalam pembangunan; perdagangan dan keamanan; sumber
daya air; dan berbagai isu lain.
Pendekatan kapabilitas yang dikembangkan Sen (1999) menekankan agar evaluasi dan
kebijakan pembangunan berfokus pada apa yang dapat dilakukan dan diwujudkan
individu untuk mencapai kualitas hidup yang mereka inginkan serta mengatasi
hambatan-hambatan yang mereka hadapi agar dapat memiliki kebebasan untuk
menjalani kehidupan sebagaimana mereka cita-citakan. Konsepsi ini kemudian
dikembangkan lagi oleh Martha Nussbaum (1988) yang menggunakan pendekatan
kapabilitas sebagai landasan untuk membangun teorisasi keadilan.
Selain HDR, UNDP juga menerbitkan Annual Report, Featured Reports, dan
Newletters yang memuat tema-tema penting sebagai prioritas pembangunan manusia.
Tema-tema ini kemudian disusun sebagai kluster isu yang menjadi wilayah aktivitas
UNDP, yakni mencakup: pengentasan kemiskinan (poverty reduction), tata
kepemerintahan yang demokratis (democratic governance), pencegahan dan
pemulihan krisis (crisis prevention and recovery), lingkungan dan energi (environment
and energy), penanganan HIV/AIDS, pemberdayaan perempuan (women’s
empowerment), dan pengembangan kapasitas (capacity development). Pada tahun
533
v
vi
Simposium Kebudayaan Dan Kerjasama Indonesia–Malaysia 2015 (SKIM XIV 2015)
25 - 27 November 2015, The Everly Hotel, Putrajaya, MALAYSIA
2000, isu-isu pembangunan tersebut diwadahi dalam kesepakatan global bertajuk
Millenium Development Goals (MDGs) yang berpusat pada 8 (delapan) sasaran, yakni
pengentasan kemiskinan dan kelaparan, akses pendidikan dasar bagi semua warga,
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, penurunan angka kematian bayi,
peningkatan kualitas kesehatan ibu, penanganan HIV/AIDS, malaria dan penyakitpenyakit lainnya, keberlanjutan kelestarian lingkungan hidup, serta pengembangan
kemitraan global bagi pembangunan. Kendati mengusung tema yang sejalan dengan
pembangunan manusia, MDGs lebih merupakan bentuk kesepakatan global untuk
mengatasi problem-problem pembangunan secara berjejaring.
Terdapat 3 (tiga) kategori yang dipakai HDR untuk mengklasifikasi negara-negara di
dunia, yakni: 1) negara-negara dengan status pembangunan manusia tinggi adalah
negara-negara yang berhasil mencapai nilai IPM lebih besar dari atau sama dengan 80;
2) negara-negara dengan status pembangunan manusia menengah adalah negaranegara yang nilai IPM-nya berada antara 50 sampai dengan 80; dan 3) negara-negara
dengan status pembangunan manusia rendah adalah yang nilai IPM-nya di bawah 50
(HDR, 1990).
Drucker (1993) menjelaskan bahwa dinamika ekonomi di negara-negara Barat pada
masa sekarang telah bergeser dari ketergantungan pada keterampilan teknis menjadi
kemampuan kreatif dari para knowledge workers, yakni people who are able to exploit
the competitive advantage that their specialized insights provide (dalam Blacker,
et.al., 1998: 69).
SIMPOSIUM KEBUDAYAAN DAN KERJASAMA
INDONESIA – MALAYSIA 2015
(SKIM XIV 2015)
“Universiti untuk Komuniti ASEAN : Kemakmuran,
Keharmonian dan Kelestarian Berteraskan Ilmu”
PENERBIT
Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan
Universiti Kebangsaan Malaysia
Bangi
2015
PROSIDING
SIMPOSIUM KEBUDAYAAN DAN KERJASAMA INDONESIA –
MALAYSIA 2015 (SKIM XIV 2015)
© Sekretariat SKIM XIV 2015,
Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan
Universiti Kebangsaan Malaysia
MALAYSIA.
2015
Hak Cipta Terpelihara
Tidak dibenarkan mengeluar ulang mana-mana bahagian artikel, ilustrasi dan isi
kandungan buku ini dalam apa jua bentuk dan dengan cara apa pun sama ada
secara elektronik, fotokopi, mekanik, rakaman atau cara lain sebelum mendapat
keizinan bertulis daripada Sekretariat SKIM XIV 2015, Fakulti Sains Sosial dan
Kemanusiaan, Universiti Kebangsaan Malaysia, 43600 UKM Bangi, Selangor,
Malaysia.
Perpustakaan Negara Malaysia
Cataloguing-in-Publication Data
SIMPOSIUM KEBUDAYAAN DAN KERJASAMA INDONESIA –
MALAYSIA 2015 (SKIM XIV 2015)
Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan
Universiti Kebangsaan Malaysia. MALAYSIA.
25 - 27 November 2015 / Noraini et.al.
ISBN: 978-983-2795-33-9
1. Kemakmuran
2. Keharmonian
3. Kelestarian
4. Komuniti ASEAN
Type Setting: Mansor Ab. Samad
Text Type: Times New Roman Font Size: 11pt, 10pt, 9pt
SIMPOSIUM KEBUDAYAAN DAN KERJASAMA
INDONESIA – MALAYSIA 2015
(SKIM XIV 2015)
“Universiti untuk Komuniti ASEAN : Kemakmuran, Keharmonian
dan Kelestarian Berteraskan Ilmu”
Anjuran:
Universiti Kebangsaan Malaysia
Dengan Kerjasma:
Kementerian Pembangunan Wanita, Keluarga dan Masyarakat, MALAYSIA.
Institut Sosial Malaysia (ISM), MALAYSIA
Universitas Padjadjaran, INDONESIA
25- 27 November 2015
The Everly Hotel, Putrajaya, MALAYSIA.
PENERBIT
Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan
Universiti Kebangsaan Malaysia
Bangi
2015
EDITOR
Noraini Md Yusof
Esmaeil Zeiny Jelodar
Khazriyati Salehuddin
Mohd. Nazlie Syahzeer Salleh
Amirul Asyraf Johar
Transformasi Wacana Pembangunan Manusia di
Indonesia dan Perubahan Cara Kerja
Birokrasi dalam Pembangunan
Caroline Paskarina
Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Padjadjaran, Bandung, INDONESIA
[email protected]
ABSTRACT
Human development discourse begun from the idea to put human as focus in welfare
creation. In a further development, the practice of human development even further highlight
the achievement of the Human Development Index (HDI) as a measure of success. Efforts to
improve the performance of HDI requires mastery of the knowledge and ability to manage a
variety of information systematically as a basis for development planning. This condition is a
basic argument for encouraging changes in the bureaucracy as an institution that is
authorized to allocate the resources to be able to work in an innovative way to manage data
and information for decision making. The entry of knowledge management regimes in
human development practices produce various standards that must be adhered to bureaucracy
in the management of development, which includes the standardization mechanisms of
program planning, budgeting management standardization, and standardization of
documentation and archiving. These standardizations become technology of power that are
reshaping the work mechanism in bureaucracy, disciplining bureaucracy to adhere to the new
technocratic regime that requires practice and objectively measured development. On the
other hand, this practice is also trapped bureaucracy in rigidity of knowledge management
procedures, that ignore the essential meaning of human development as welfare creation, not
just a score achievement.
Key words: human development, knowledge management, bureaucracy subjection
PENDAHULUAN
Diskursus pembangunan bukan hal baru, baik di dunia maupun di Indonesia. Sejak
awal kemerdekaan Indonesia, hasrat untuk membangun sudah mulai tumbuh
meskipun lebih banyak mengarah pada dimensi politik (Philpott, 2003).
Pembangunan pada masa itu merupakan proses untuk menciptakan identitas baru
Indonesia sebagai negara merdeka, terbebas dari bentukan identitas masa kolonial
sebagai bangsa yang terbelakang, malas, dan miskin. Karena itu, modernisasi
menjadi kata kunci dari praktik pembangunan di awal kemerdekaan. Dalam konteks
global, modernisasi memperoleh pembenaran melalui produksi pengetahuan tentang
industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi, yang bahkan didukung oleh jargon
tentang misi kemanusiaan untuk mengatasi ‘keterbelakangan’ di negara-negara yang
baru merdeka (Escobar, 1995).
Universiti untuk Komuniti ASEAN : Kemakmuran, Keharmoniandan
Kelestarian Berteraskan Ilmu
522
Modernisasi menjadi teks hegemonik selama rentang waktu yang sangat
panjang karena didukung oleh produksi pengetahuan secara berkelanjutan oleh para
pendukungnya, bukan hanya melalui hasil-hasil penelitian dan pengajaran yang
dilakukan oleh jejaring ilmuwan yang bergabung dalam komunitas epistemik, tapi
juga oleh lembaga-lembaga internasional di mana para ilmuwan tersebut juga
menduduki posisi strategi dalam struktur organisasinya (Mas’oed, 2001). Produksi
pengetahuan tidak hanya menciptakan klaim kebenaran tapi juga menentukan arah
kebijakan pembangunan di negara-negara yang menjadi mitra dari lembaga-lembaga
tersebut. Dalam konteks ini, modernisasi tidak hanya menciptakan pemilahan ke
dalam kategori negara maju dan negara berkembang, tapi juga memposisikan
kondisi kehidupan di negara maju sebagai normalitas yang harus ditiru oleh negaranegara berkembang.
Konstruksi kekuasaan tersebut berulang kembali dalam diskursus
neoliberalisme yang berkembang pada dekade 1980-an. Perbedaannya terletak pada
peran negara, yang perlu semakin diminimalkan untuk memberi akses yang lebih
luas bagi bekerjanya pasar bebas (Peet, Richard dan Elaine Hartwick, 2009). Asumsi
ini diperkuat melalui kesepakatan global antara lembaga-lembaga internasional
dengan negara-negara yang mengikuti skema penyesuaian struktural tersebut.
Kesepakatan yang tertuang dalam Konsensus Washington menjadi teks kuasa yang
melegitimasi intervensi lembaga-lembaga internasional (World Bank, International
Monetary Fund, dan World Trade Organization) ke dalam penyusunan kebijakan
ekonomi di negara-negara tersebut. Selain penyesuaian pada kebijakan ekonomi
makro, diskursus neoliberalisme juga membawa serta pengetahuan tentang tata
kepemerintahan yang baik (good governance) yang ditujukan untuk merombak
struktur dan cara kerja institusi politik di negara-negara yang menjalankan
kesepakatan tersebut. Good governance memberikan pembenaran bagi pembentukan
tata kepemerintahan yang berpihak pada kepentingan pasar (Abrahamsen, 2000).
Meskipun demikian, proses diskursif tidak pernah berlangsung linear. Selalu
ada upaya perlawanan yang muncul dari kondisi paradoks yang menciptakan
peluang bagi diskursus tandingan. Seiring meluasnya diskursus good governance,
iklim demokratisasi membuka peluang bagi munculnya berbagai gagasan tentang
pembangunan, salahsatunya adalah gagasan pembangunan manusia (human
development) yang juga bersumber dari lembaga internasional, yakni United Nations
Development Programme (UNDP) bersama agensi-agensi lain dalam Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB), kementerian pembangunan di negara-negara sedang
berkembang, dan lembaga-lembaga kerjasama pembangunan. Gagasan
pembangunan manusia mengkritik pembangunan yang terlampau bertumpu pada
pencapaian pertumbuhan ekonomi, dan menawarkan konsep kapabilitas sebagai
prasyarat bagi manusia untuk dapat mencapai kesejahteraan dengan memanfaatkan
potensi yang dimilikinya (Sen, 1999).
Pertarungan di antara kedua gagasan yang berbeda orientasi ini menarik
dianalisis bukan hanya karena masing-masing diwacanakan oleh lembaga
internasional yang berpengaruh, tapi juga karena keduanya didukung oleh klaim
kebenaran yang terus-menerus diproduksi oleh sistem pengetahuan tertentu.
Produksi pengetahuan yang dihasilkan oleh kedua gagasan pembangunan tersebut
523
Simposium Kebudayaan Dan Kerjasama Indonesia–Malaysia 2015 (SKIM XIV 2015)
25 - 27 November 2015, The Everly Hotel, Putrajaya, MALAYSIA
merupakan upaya sistemik karena dilakukan melalui dukungan berbagai komunitas,
baik komunitas epistemik (jaringan ilmuwan), birokrat di negara-negara yang
bersangkutan, maupun lembaga-lembaga internasional yang berperan sebagai donor
maupun konsultan.
Interaksi di antara aktor-aktor berpengetahuan ini menjadikan produksi
pengetahuan semakin kompleks, sehingga memahami alasan di balik pilihan suatu
kebijakan pembangunan perlu mengungkap pula proses diskursus di balik interaksi
konteks, subjek, dan teks tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan tidak
pernah menjadi proses yang mengandung makna tunggal, sebaliknya, ia menjadi
arena pertarungan diskursus untuk menentukan ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ manusia
harus diatur untuk mencapai kondisi kehidupan yang lebih baik.
Dalam perspektif tersebut, pembangunan ditempatkan sebagai arena
pertarungan kekuasaan untuk membentuk realitas. Pembangunan bukan proses
ekonomi semata, apalagi proses yang bebas nilai. Sebaliknya, pembangunan
senantiasa terkait dengan kekuasaan, baik relasi kekuasaan, operasi kekuasaan
maupun teknologi kekuasaan. Sebagai praktik kekuasaan, kesejahteraan menjadi
arena tempat kekuasaan dipertarungkan, merefleksikan wujud kekuasaan, dan
memiliki keterkaitan dengan wujud kekuasaan yang lainnya. Dengan menggunakan
perspektif ini, para aktor ditempatkan sebagai subjek kuasa, pembangunan sebagai
teks kekuasaan, dan konteks sosial-politik yang melatarbelakangi gagasan-gagasan
pembangunan menjadi konteks kekuasaan. Keterkaitan di antara ketiganya
membentuk diskursus tentang pembangunan.
Diskursus atau sistem pernyataan tentang pembangunan tidak terlepas dari
pengetahuan-pengetahuan yang membentuk klaim kebenaran tentang realitas
pembangunan. Sepanjang sejarah pembangunan, manusia ditempatkan sebagai
sasaran yang terus-menerus dibentuk untuk menghasilkan sosok yang dikehendaki
oleh diskursus pembangunan. Dalam konsep pembangunan yang berbasis negara,
misalnya, manusia dibentuk sebagai individu yang patuh pada kewenangan institusi
negara untuk menjamin distribusi kesejahteraan secara merata. Dalam konsep
pembangunan yang berbasis pada pasar, manusia dibentuk sebagai individu yang
otonom, mampu mengambil keputusan sendiri, dan memiliki produktivitas tinggi
untuk mengelola sumber-sumber daya dalam rangka akumulasi kapital. Di antara
kedua konsep mainstream tersebut, juga ada gagasan alternatif yang mencoba
memadukan peran negara dan mekanisme pasar dalam penciptaan kesejahteraan. Di
sini, manusia dibentuk sebagai individu yang kreatif dan inovatif agar mampu
mengatasi persoalan-persoalan akibat kegagalan bekerjanya negara dan pasar. Pada
setiap sistem pengetahuan tersebut, manusia dibentuk untuk memenuhi kriteria
tertentu, sehingga pembangunan menjadi teknologi kekuasaan untuk membentuk
pola pikir dan perilaku manusia.
Berangkat dari cara berpikir seperti di atas, tulisan ini ingin menganalisis
pembangunan sebagai praktik kekuasaan. Untuk itu, konsepsi Foucault tentang
kekuasaan produktif akan digunakan sebagai kerangka pemikiran untuk membangun
argumentasi dalam tulisan ini. Foucault (dalam Burcell, Graham, Colin Gordon, dan
Peter Miller, 1991) menawarkan cara pandang alternatif terhadap kekuasaan. Dalam
konsepsinya, kekuasaan berkait erat dengan pengetahuan. Tidak ada pengetahuan
Universiti untuk Komuniti ASEAN : Kemakmuran, Keharmoniandan
Kelestarian Berteraskan Ilmu
524
tanpa kekuasaan dan tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan. Kekuasaan produktif
bertujuan mengungkapkan praktik-praktik diskursif di balik pembentukan batasan
tentang normalitas melalui kategori-kategori yang menentukan bagaimana subjek
diperlakukan. Dalam praktik ini, identitas dan kepatuhan subjek dibentuk atas dasar
rezim kebenaran yang berlaku dalam suatu sistem pengetahuan.
Dengan menggunakan konsepsi Foucault, tulisan ini ingin mengungkapkan
bagaimana pilihan terhadap suatu konsep pembangunan mengarah pada
pendisiplinan, pembentukan, dan penundukan manusia terhadap tata aturan yang
berlaku dalam cara itu. Fokus analisis dari tulisan ini adalah konsep pembangunan
manusia yang saat ini menjadi basis pembangunan di Indonesia. Masuknya gagasan
pembangunan manusia ke dalam agenda kebijakan pembangunan di Indonesia
merupakan bagian dari proses diskursus pembangunan global yang mempengaruhi
praktik pembangunan di tingkat lokal. Menariknya, penerapan gagasan
pembangunan manusia di Indonesia cenderung memprioritaskan pencapaian Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) sebagai ukuran keberhasilan pembangunan.
Kecenderungan ini tampak sejak Human Development Report (HDR) tahun 1996
mempublikasikan peringkat Indonesia di posisi ke-102 dari 174 negara. Meskipun
termasuk dalam kategori negara dengan capaian IPM menengah, tapi peringkat ini
memicu perhatian Pemerintah Republik Indonesia untuk mulai memperhatikan
capaian pembangunan manusia dan tidak hanya berfokus pada pertumbuhan
ekonomi. Seperti halnya ukuran-ukuran pertumbuhan ekonomi yang membentuk
kemapanan capaian kesejahteraan, IPM juga memainkan peran yang sama. Tulisan
ini ingin mengungkapkan bagaimana IPM mendekonstruksi cara kerja birokrasi
sebagai pelaksana pembangunan, bahkan menjadikan tubuh-tubuh aparat birokrasi
sebagai lokus kekuasaan dengan membentuk ulang perilakunya mengacu pada
normalitas versi pembangunan manusia.
Pembangunan Manusia sebagai Sistem Pengetahuan
Gagasan Foucault (1991) tentang kekuasaan produktif menjadi kerangka konseptual
dalam menganalisis perubahan birokrasi karena menawarkan pendekatan alternatif
untuk mengungkapkan perubahan bukan sebagai proses yang alamiah, tapi proses
yang diarahkan oleh sistem pengetahuan tertentu. Sistem pengetahuan ini bukan
semata produk bahasa, tapi produk kekuasaan yang lahir dari proses diskursif.
Dalam kaitan dengan pembangunan manusia sebagai suatu sistem pengetahuan,
maka pembangunan manusia ini lahir melalui proses diskursif yang menentukan
batasan tentang realitas pembangunan yang harus ditangani, siapa yang menjadi
sasarannya, dan dengan teknologi apa subjek dibentuk untuk memenuhi kategori
normal tersebut. Untuk memahami bekerjanya pembangunan manusia sebagai sistem
pengetahuan, penting untuk mengungkap perkembangan pemikiran di balik gagasan
ini, tidak secara historis tapi sebagai praktik kekuasaan yang ditandai oleh interaksi
antara konteks, subjek, dan teks.
Konsep pembangunan manusia yang sekarang berkembang merupakan hasil
pemikiran Amartya Sen dan Mahbub ul Haq. Sen mengembangkan kerangka
konseptual pembangunan manusia yang berbasis pada pendekatan kapabilitas,
525
Simposium Kebudayaan Dan Kerjasama Indonesia–Malaysia 2015 (SKIM XIV 2015)
25 - 27 November 2015, The Everly Hotel, Putrajaya, MALAYSIA
sedangkan Ul Haq mengembangkan lebih lanjut pemikiran Sen ke dalam kerangka
kebijakan global yang disebarkan melalui UNDP.
Sen (1999) menggagas pembangunan sebagai the expansion of the
'capabilities' of people to lead the kind of lives they value - and have reason to value.
Perluasan kapabilitas bergantung pada penghapusan berbagai bentuk penindasan dan
penyediaan fasilitas dasar sebagai prakondisi untuk mencapai kualitas hidup yang
diinginkan (Sen, 1999). Dalam konsep ini, kebebasan menjadi hal penting bagi
kesejahteraan karena kebebasan adalah tujuan sekaligus alat untuk mencapai
lingkungan yang kondusif tersebut. Kebebasan menjadi tujuan karena pembangunan
hakikatnya adalah membebaskan manusia dari berbagai kondisi keterbatasan dan
penindasan, sedangkan kebebasan sebagai alat karena kebebasan dipakai untuk
menciptakan berbagai fasilitas bagi peningkatan kesejahteraan.
Kerangka konseptual ini selanjutnya dikembangkan oleh UNDP dengan
merumuskan ulang pembangunan manusia sebagai a process of enlarging people’s
choice (Human Development Report, 1990). Perluasan pilihan-pilihan ini dilakukan
melalui penciptaan lingkungan yang kondusif bagi manusia untuk hidup lebih lama,
lebih sehat, dan lebih kreatif, termasuk juga penciptaan kebebasan politik, jaminan
hak asasi manusia, dan pengakuan akan identitas manusia. Ketika konsep
pembangunan manusia diterjemahkan sebagai kerangka kebijakan, maka diperlukan
ukuran-ukuran untuk menentukan keberhasilan pelaksanaan gagasan tersebut.
Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
kemudian menjadi alat ukur yang dikembangkan UNDP untuk merefleksikan
peningkatan kualitas hidup manusia dari sisi pendidikan, kesehatan, dan daya beli.
Dalam proses diskursif, pelembagaan gagasan pembangunan manusia
didukung oleh Human Development Report (HDR) dan HDI yang berperan penting
sebagai teknologi kekuasaan i untuk meluaskan penyebaran wacana pembangunan
manusia. HDR yang diterbitkan sejak tahun 1990 berperan sebagai media strategis
untuk memproduksi berbagai pengetahuan tentang pembangunan manusia, bahkan
cukup berpengaruh untuk membentuk realitas tentang permasalahan pembangunanii.
Tema-tema yang diusung dalam setiap terbitan tahunan HDR memunculkan isu baru
dalam penyelenggaraan pembangunan, memancing perhatian global terhadap hal-hal
yang dianggap penting bagi peningkatan kualitas hidup manusia, sekaligus
menumbuhkan kepekaan terhadap persoalan-persoalan yang semula terabaikan.
Penerbitan HDR memunculkan problematisasi baru terhadap hal-hal yang
semula dipandang sebagai suatu normalitas. Dengan mengkritisi praktik
pembangunan yang semula dianggap normal, pembangunan manusia menawarkan
cara pandang baru dalam mengelola sumber-sumber daya, yakni yang berbasis pada
pendekatan kapabilitasiii. Inti dari pendekatan kapabilitas berfokus pada apa yang
secara efektif dapat dilakukan atau diwujudkan oleh individu berdasarkan
kapabilitasnya. Dengan demikian, pendekatan ini tidak berfokus pada pencapaian
hasil atau kondisi, seperti kebahagiaan, pendapatan, pengeluaran, atau konsumsi tapi
pada proses untuk mencapai kondisi tersebut. Tema-tema yang dibahas dalam HDR
mencerminkan hal-hal yang dianggap penting untuk mendukung proses peningkatan
kapabilitas, karena itu, HDR sebenarnya bagian dari teknologi kekuasaan untuk
Universiti untuk Komuniti ASEAN : Kemakmuran, Keharmoniandan
Kelestarian Berteraskan Ilmu
526
mereproduksi pengetahuan-pengetahuan yang memperluas khazanah teorisasi
pembangunan manusia.
Selain HDR, UNDP juga menerbitkan laporan-laporan khusus yang
membahas isu-isu penting di level nasional, regional, dan global iv . Penerbitan
publikasi ini berperan untuk menciptakan pengetahuan-pengetahuan baru tentang
praktik pembangunan yang memungkinkan berlangsunya pembelajaran horisontal
antarnegara. Pemilahan isu-isu tersebut ke dalam lingkup kawasan juga menjadi teks
hegemonik yang dipakai sebagai patokan perumusan kebijakan, program, dan
kegiatan pembangunan yang seragam bagi negara-negara di kawasan tersebut.
Dengan demikian, terjadi pembesaran skala pembangunan (scalling up) sekaligus
memperbesar jangkauan diskursus pembangunan manusia. Pembesaran diskursus
menambah kekuatan hegemonik pembangunan, sehingga klaim bahwa
pembangunan menjadi jalan terbaik untuk mengatasi persoalan-persoalan
kemasyarakatan memperoleh pembenaran yang semakin kuat. Penyelesaian
masalah-masalah sosial dan ekonomi di luar pembangunan menjadi abnormalitas
yang harus didisiplinkan. Pembangunan dalam praktik ini tidak hanya menjadi cara
untuk mencapai kesejahteraan, tapi juga instrumen utama untuk memerintah.
Teknologi kekuasaan yang lain adalah HDI atau IPM, yang awalnya
dirumuskan untuk mengukur tingkat pencapaian kapabilitas dasar yang diperlukan
bagi peningkatan kualitas hidup manusia. Kapabilitas dasar yang dimaksud terdiri
dari 3 (tiga) dimensi, yakni usia harapan hidup, pendidikan, dan standar hidup
(Human Development Report, 1990). Ketiga dimensi ini selanjutnya
dioperasionalisasikan ke dalam 4 (empat) indikator, yakni usia harapan hidup (life
expectancy at birth), angka melek huruf (adult literacy rate), angka partisipasi
sekolah (gross enrolment for primary, secondary, and tertiary education), dan daya
beli (purchasing power parity). Penggunaan keempat indikator ini menuai kritik
karena dianggap terlampau menyederhanakan kompleksitas pembangunan manusia
(Murray, 1993, Srinivasan, 1994). Sebagai respon, UNDP kemudian
mengembangkan alat ukur pelengkap, yakni Gender-related Development Index
(GDI), Gender Empowerment Measure (GEM), dan Human Poverty Indices (HPI)
yang masing-masing dipakai untuk mengukur kemiskinan di negara-negara
berkembang. Meskipun demikian, alat ukur yang hingga sekarang lebih banyak
dipakai tetap indeks pendidikan, indeks kesehatan, dan indeks daya beli yang sejak
awal dikembangkan UNDP.
Pilihan terhadap alat ukur yang dipakai memang mengundang perdebatan
tersendiri, terutama karena alat ukur ini menentukan batasan-batasan dimensi yang
diukur dan cara yang dipakai untuk mengukurnya. Tapi, peran sebagai teknologi
kekuasaan lebih kuat ketika IPM dimaknai sebagai pemeringkatan negara-negara.
Pemeringkatan ini tidak hanya menciptakan situasi kompetisi di antara negaranegara di dunia, tapi yang jauh lebih penting, pemeringkatan ini menghasilkan
sistem kategorisasi baru yang memilah-milah negara berdasarkan kemampuan
pencapaian IPM-nyav. Sistem ini selanjutnya mempengaruhi strategi kebijakan yang
diambil suatu negara untuk memperbaiki penyelenggaraan pembangunan, sekaligus
juga menentukan bentuk-bentuk intervensi dunia terhadap negara-negara yang
termasuk kategori IPM menengah dan rendah.
527
Simposium Kebudayaan Dan Kerjasama Indonesia–Malaysia 2015 (SKIM XIV 2015)
25 - 27 November 2015, The Everly Hotel, Putrajaya, MALAYSIA
Di dalam berbagai ukuran tersebut terkandung informasi yang dibentuk atas
dasar sistem pengetahuan bahkan ideologi tertentu. Bagi para pembuat kebijakan,
ukuran kesejahteraan yang bersifat statistikal tidak hanya membantu dalam proses
perencanaan program, tapi juga menjadi alat untuk menjustifikasi pilihan kebijakan
yang dibuatnya dan memperkuat legitimasi kinerja pemerintahan manakala berhasil
mencapai target yang telah ditetapkan (Stiglitz, Sen, dan Fitoussi, 2011). Manfaat
politis dari ukuran kesejahteraan inilah yang membuat IPM jauh lebih populer
ketimbang gagasan pembangunan sebagai kebebasan yang sesungguhnya menjadi
rasionalitas di balik pembangunan manusia.
Penundukkan Birokrasi melalui Standarisasi
Proses diskursif untuk melembagakan pembangunan manusia tidak dapat dilepaskan
dari dukungan sistem pengetahuan yang dibentuk melalui ketersediaan data yang
memadai. Dalam konteks ini, gagasan pembangunan manusia bertemu dengan
gagasan knowledge management yang berfokus pada pengelolaan pengetahuan
untuk memperkuat keunggulan kompetitif (Blacker, Frank, Norman Crump, dan
Seonaidh McDonald, 1998). Gagasan knowledge management telah lama dipakai di
sektor swasta untuk mengembangkan nilai-nilai penting bagi keberlanjutan
organisasinya (Villela dan Muniz, 2010). Tapi, praktik ini baru mulai dikembangkan
di lingkup pemerintahan pada awal tahun 2000-an seiring berkembangnya kajiankajian tentang pembaharuan tata kelola pemerintahan, inovasi dalam
penyelenggaraan urusan publik, dan sejenisnya yang salahsatunya menempatkan
manajemen pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi kinerja
administrasi melalui penyediaan informasi yang lebih akurat (Sarabia, et.al., 2012).
Pengetahuan menjadi sumber daya untuk membentuk pemahaman baru
tentang berbagai hal dan menerapkannya pada teknologi, produk, atau proses
tertentu. Kapabilitas intelektural dan keterampilan mental menjadi semakin penting
bagi penciptaan kesejahteraan, menggantikan keterampilan-keterampilan fisik dan
kontrol birokratis atas sumber-sumber daya. Intelektualitas juga menjadi prasyarat
penting untuk merespon secara kreatif berbagai kondisi ketidakpastian. Kreativitas
ini dihasilkan melalui manajemen pengetahuan, yang pada dasarnya mencakup
aktivitas-aktivitas penciptaan, penyebaran, dan pemanfaatan pengetahuan (Wikstrom
dan Norman dalam Blacker, et.al., 1998: 70). Karena itu, sumber daya manusia yang
dapat melakukan fungsi ini adalah mereka yang mampu menggunakan semaksimal
mungkin keunggulan kompetitif dari pengetahuan yang dimilikinya untuk
menghasilkan sesuatu yang baru atau berbeda dari yang sudah ada sebelumnya vi.
Dengan demikian, manajemen pengetahuan tidak hanya mencakup aktivitas
pengelolaan data, tapi juga pembentukan subjek yang dapat melakukan aktivitasaktivitas tersebut.
Masuknya knowledge management dalam konteks pembangunan manusia
menjadikan pembangunan manusia sebagai bentuk performativitas, di mana tubuh
subjek dilatih untuk melakukan aktivitas-aktivitas pengelolaan data dan melalui
proses inilah sesungguhnya subjektivasi atau penundukan sebagai operasi kekuasaan
berlangsung. Ketika gagasan pembangunan manusia masuk dengan membawa
kerangka demokratisasi pembangunan, peran negara diubah dengan melibatkan
Universiti untuk Komuniti ASEAN : Kemakmuran, Keharmoniandan
Kelestarian Berteraskan Ilmu
528
aktor-aktor lain dalam pembangunan, sehingga melalui proses ini, masuk pula
pengetahuan-pengetahuan dari luar negara. Kendati demikian, institusi birokrasi
masih menjadi aktor strategis dalam penerapan pembangunan manusia di Indonesia
karena kewenangan yang dimilikinya untuk merencanakan pembangunan.
Pembangunan manusia masuk ke Indonesia sebagai alat advokasi untuk
mengubah praktik pembangunan ke arah yang lebih demokratis. Jadi ada
kepentingan politik yang sangat kuat di balik masuknya gagasan ini, yakni untuk
mengaitkan demokrasi dengan kesejahteraan. Tapi, ketika kepentingan ini masuk ke
ranah birokrasi sebagai pelaksana kebijakan, terjadi pergeseran pemahaman.
Birokrasi yang bekerja dengan logika instrumental lebih berfokus pada pencapaian
IPM sebagai indikator pelaksanaan pembangunan manusia. Di sisi lain, publikasi
capaian IPM turut berpengaruh untuk meningkatkan legitimasi pemerintah di mata
publik dan dunia internasional, sehingga memberikan manfaat politik yang lebih
langsung bagi pemerintah. Ketika pembangunan manusia dimaknai sekedar
pencapaian target IPM untuk memperbaiki peringkat Indonesia, maka proses yang
ditempuh menjadi proses yang bersifat teknis. Tapi, di balik proses teknis ini ada
pembentukan ulang cara kerja birokrasi.
Perubahan cara kerja birokrasi ini dilakukan melalui pembentukan standarstandar baru dalam pengelolaan pembangunan. Penundukkan birokrasi dilakukan
melalui penciptaan standarisasi pengelolaan program, yang meliputi: pertama,
standarisasi mekanisme perencanaan program. Standar baru dirumuskan untuk
mendekonstruksi mekanisme perencanaan lama yang mengalokasikan anggaran
berdasarkan rutinitas, sehingga program-program yang dibuat cenderung mengulang
program-program yang ada sebelumnya. Inovasi tidak akan muncul jika perencanaan
berbasis rutinitas karena rutinitas inilah yang menolak munculnya perubahan yang
dianggap dapat mengganggu normalitas. Model perencanaan semacam ini
menekankan pada pentingnya peran data sebagai bahan dasar bagi penyusunan
program, termasuk kemampuan untuk menganalisis dan memaknai data sebagai
informasi bagi pengambilan keputusan. Dalam praktik perencanaan yang berbasis
rutinitas, data tidak menjadi kebutuhan penting, yang diutamakan adalah
kesinambungan dari perencanaan pada masa sebelumnya. Praktik ini rentan dengan
pengulangan yang selanjutnya mengarah pada pemapanan suatu cara kerja. Karena
terbiasa dengan rutinitas, pilihan terhadap program didasarkan kebiasaan, bukan
pada pengolahan data sebagai bagian dari manajemen pengetahuan.
Konsep pembangunan manusia berfokus pada identifikasi ketersediaan
kapabilitas-kapabilitas dasar bagi peningkatan kualitas hidup manusia, yang
tercermin dari tolok ukur IPM. Untuk memenuhi tolok ukur ini, basis data
pembangunan mengalami perubahan, tidak sekedar mencakup tolok ukur ekonomi
makro, seperti laju pertumbuhan ekonomi, tingkat investasi, tingkat pengangguran,
dan sejenisnya, tapi juga mencakup angka usia harapan hidup, angka partisipasi
sekolah, angka kematian ibu, daya beli, bahkan data yang terkait gender untuk
menghitung GDI dan GEM. Pengumpulan jenis data yang telah distandarisasikan ini
menjadi dasar bagi pembentukan klaim kebenaran untuk membuktikan bahwa
konsep pembangunan manusia dapat mengarah pada penciptaan kesejahteraan yang
lebih substantif.
529
Simposium Kebudayaan Dan Kerjasama Indonesia–Malaysia 2015 (SKIM XIV 2015)
25 - 27 November 2015, The Everly Hotel, Putrajaya, MALAYSIA
Kedua, standarisasi pengelolaan penganggaran. Dalam Laporan
Pembangunan Manusia Indonesia (LPMI) tahun 2004, pembiayaan pembangunan
menjadi isu penting yang perlu segera dibenahi untuk mengoptimalkan
pembangunan manusia. Pencapaian IPM dengan demikian, juga bergantung pada
sistem pengelolaan anggaran yang berlaku. Dekonstruksi ini dilakukan dengan
menerapkan pengaturan secara ketat proporsi anggaran untuk setiap komponen
pembiayaan serta pengukuran kinerja program sebagai prasyarat pencairan dana.
Mekanisme ini mengubah hubungan antara sistem penganggaran dan sistem
pengendalian program yang sebelumnya berorientasi pada pertanggungjawaban
administratif, menjadi berorientasi pada kinerja. Melalui standarisasi ini, birokrasi
didorong untuk mengubah dirinya menjadi organisasi yang lebih berorientasi pada
pencapaian hasil (output) dan luaran (outcome) dengan mengelola berbagai masukan
(input), termasuk mempertimbangkan manfaat (benefit) dan dampak (impact) yang
dapat diperoleh melalui proses tersebut. Paradigma new public management
mengadopsi model organisasi privat, yang bekerja atas dasar biaya dan manfaat dari
setiap kegiatan. Model ini lebih banyak berorientasi pada pencapaian manfaat
seoptimal mungkin dengan biaya seminimal mungkin, seperti pada rasionalitas
ekonomi, sehingga instrumen-instrumen yang dikembangkan dari sistem
pengetahuan tersebut mengarah pada pencapaian efisiensi dan efektivitas.
Instrumen-instrumen tersebut misalnya, penyederhanaan prosedur, pemotongan
rantai komando melalui pelimpahan kewenangan, pengenalan pola organisasi
jejaring, pengembangan kapasitas sumber daya manusia untuk kepentingan
pengambilan keputusan secara partisipatif, dan sistem pengawasan yang
memungkinkan bekerjanya organisasi secara akuntabel. Keseluruhan instrumen
tersebut mengarah pada kepentingan untuk menciptakan organisasi yang dikelola
dengan seminimal mungkin intervensi secara langsung. Prinsip tersebut serupa
dengan yang digunakan dalam sistem pertukaran atau sistem pasar, sehingga
paradigma new public management selalu dikaitkan dengan gagasan liberalisme
yang masuk ke dalam organisasi publik (Mok dan Forrest, 2009).
Ketiga, standarisasi dokumentasi dan pengarsipan sebagai bagian dari
pengelolaan data. Dokumentasi dan pengarsipan merupakan upaya penting untuk
menjamin keberlanjutan dari pengaturan baru. Aparat birokrasi pelaksana program
diwajibkan menyerahkan laporan database dinamis program/kegiatan, juga
rekapitulasi fisik dan keuangan, serta laporan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan
format yang telah ditentukan. Penyeragaman format laporan ini tidak semata
bertujuan demi efektivitas dan efisiensi monitoring dan evaluasi, tapi juga untuk
menjamin kepatuhan birokrasi terhadap batasan-batasan kategori yang telah
ditentukan. Aktivitas pengumpulan data diarahkan untuk menjamin keberlanjutan
penciptaan pengetahuan (knowledge creation). Pengetahuan diciptakan melalui
konstruksi realitas dan untuk dapat melakukan hal ini, perlu ada pasokan data untuk
diinterpretasikan sebagai realitas dan perlu keahlian tertentu untuk mengubah data
menjadi pengetahuan. Kemampuan intelektual menggantikan kontrol birokrasi yang
berbasis kewenangan dalam menentukan pengelolaan sumber-sumber daya (Blacker,
et.al., 1998: 69). Kemampuan intelektual dalam mengelola data dibentuk melalui
proses pembelajaran horisontal yang berlangsung di antara para aparat birokrasi
Universiti untuk Komuniti ASEAN : Kemakmuran, Keharmoniandan
Kelestarian Berteraskan Ilmu
530
pelaksana program maupun melalui kegiatan ekspos atau paparan yang dilaksanakan
secara bergiliran pada rapat-rapat koordinasi pelaksana program. Pemaparan
pengetahuan-pengetahuan teknis tersebut penting untuk menyelaraskan cara kerja
rezim manajemen pengetahuan dengan cara kerja yang biasa dipakai dalam
pelaksanaan program rutin. Jadi, kendati rezim manajemen pengetahuan menjadi hal
yang baru tapi cara kerja ini ternyata masih perlu menyesuaikan dengan mekanisme
rutin yang biasa berlangsung dalam birokrasi, khususnya yang berkaitan dengan
aspek normatif dari suatu kegiatan. Ketersediaan dasar hukum serta petunjuk
pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) sebagai instrumen kerja yang
lazim dipakai oleh birokrasi masih tetap penting bagi keberlanjutan program.
Rezim manajemen pengetahuan tidak berarti sangat bebas karena pada
kenyataannya, rezim ini kemudian melahirkan banyak standar yang harus dipenuhi
agar proses produksi dan reproduksi pengetahuan dapat dimanfaatkan dengan
optimal. Penetapan standar data yang diwajibkan memunculkan kompleksitas yang
berbeda bagi cara kerja birokrasi yang mendorongnya untuk mulai memikirkan soal
data sebagai basis dalam perencanaan, pelaksanaan, penganggaran, monitoring dan
evaluasi program. Di sinilah dekonstruksi identitas menjadi praktik kekuasaan
karena dalam proses ini ada upaya untuk mengontrol pola pikir dan perilaku subjek
dengan mengacu pada rezim tertentu.
PENUTUP
Diskursus pembangunan manusia sebagai paradigma baru dalam pembangunan di
Indonesia ternyata tetap memunculkan praktik pembangunan yang teknokratis
meskipun teknokratisme ini muncul dengan wajah baru. Dengan menggunakan
rezim manajemen pengetahuan, pengelolaan pembangunan diarahkan sebagai proses
pengelolaan data untuk menghasilkan informasi bagi perencanaan pembangunan.
Birokrasi menjadi institusi yang tersubjektivasi oleh rezim manajemen pengetahuan
ini karena terjadi perubahan dalam cara kerja birokrasi. Basis kewenangan yang
semula mendasari cara kerja birokrasi dalam mengelola pembangunan, tergantikan
oleh berbagai standar, yang tidak hanya menentukan target yang harus dicapai tapi
juga kualitas proses pembangunan.
Standar-standar ini menjadi teknologi kekuasaan yang membentuk ulang
cara kerja birokrasi, mendisiplin birokrasi untuk patuh pada rezim teknokratis baru
yang mensyaratkan praktik pembangunan secara obyektif dan serba terukur.
Penundukan birokrasi ini menyingkapkan wajah hegemonik dari wacana
pembangunan manusia. Tapi di sisi lain, juga menunjukkan terjadinya pembajakan
makna pembangunan manusia yang berpotensi memunculkan dampak yang
bertentangan dengan yang diharapkan. Ketika pembangunan manusia direduksi
sekedar pencapaian IPM dan seluruh agenda kebijakan diarahkan untuk
memperbaiki peringkat negara dalam Laporan Pembangunan Manusia, maka praktik
pembangunan manusia kembali terjebak dalam formalisme pembangunan.
Karena itu, penting untuk tetap memelihara keberlanjutan proses diskursif
dalam memaknai ulang gagasan pembangunan manusia. Instrumentasi terhadap
gagasan pembangunan manusia tidak cukup dilakukan melalui penerbitan laporan
531
Simposium Kebudayaan Dan Kerjasama Indonesia–Malaysia 2015 (SKIM XIV 2015)
25 - 27 November 2015, The Everly Hotel, Putrajaya, MALAYSIA
pembangunan manusia dan pengukuran IPM setiap tahun. Perlu ada perluasan arena
diskursif di luar birokrasi pemerintahan, sehingga kendati birokrasi tersubjektivasi
oleh cara kerja yang instrumentalis dan teknokratis, tapi pelibatan aktor-aktor lain
memungkinkan munculnya pengetahuan-pengetahuan baru yang dapat
menerjemahkan gagasan pembangunan manusia sesuai dengan konteksnya.
Kontekstualisasi pembangunan manusia tetap diperlukan agar pembakuan standar
tersebut tidak menjebak pembangunan manusia ke dalam penyeragaman praktik
pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
Abrahamsen, R. (2000). Disciplining Democracy: Development Discourse and Good
Governance in Africa. New York: Zed Books.
Burcell, Graham, Colin Gordon, dan Peter Miller. (1991). The Foucault Effect:
Studies in Governmentality. Chicago: The University of Chicago Press.
BPS, Bappenas, dan UNDP. (2004). Laporan pembangunan manusia Indonesia:
Hitungan sebuah demokrasi: Pembiayaan pembangunan manusia di
Indonesia.
Blacker, Frank, Norman Crump, dan Seonaidh McDonald. (1998). Knowledge,
organizations, and competition. Dalam J. R. Georg vo Krogh, Knowing in
Firms: Understanding, Managing, and Measuring Knowledge (hal. 67-86).
London: Sage Publications Ltd.
Chaniago, A. (2001). Gagalnya Pembangunan: Kajian Ekonomi Politik terhadap
Akar Krisis Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Escobar, A. (1995). Encountering Development: The Making and Unmaking of the
Third World. Princeton: Princeton University Press.
Foucault, M. (1982). The Subject and Power. Dalam H. L. (eds.), Michel Foucault:
Beyond Structuralism and Hermeneutics. 2nd edition. Chicago: University
of Chicago.
Foucault, M. (2002). Power/Knowledge: Wacana Kuasa/Pengetahuan. (Y. Santosa,
Penerj.) Yogyakarta: Bentang Budaya.
Kompas. (1996, Juli 23). Peringkat HDR belum memuaskan. Kompas. Dipetik
Oktober
15,
2013,
dari
http://www.kompas.com/967/23/EKONOMI/peri.htm
Mas’oed, M. (2001). Resep itu Bernama Washington Consensus. Dalam A.
Chaniago, Gagalnya Pembangunan, Kajian Ekonomi Politik terhadap Akar
Krisis Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Murray, J.L. (1993). Development data constraints and the Human Development
Index. Dalam D.G. Westerndorff dan D. Ghai (eds.). Monitoring social
progress in the 1990s, hal. 40-64.
Mok, Ka-Ho dan Ray Forrest. (2009). Changing governance and public policy in
East Asia: Comparative development and policy in Asia Series. London dan
New York: Taylor and Francis Routledge.
Nussbaum, Martha C. (1988). Women and human development: The capabilities
approach. Cambridge: Cambridge University Press.
Universiti untuk Komuniti ASEAN : Kemakmuran, Keharmoniandan
Kelestarian Berteraskan Ilmu
532
Peet, Richard dan Elaine Hartwick. (2009). Theories of Development: Contentions,
Arguments, Alternatives (Second ed.). New York: The Guilford Press.
Philpott, S. (2003). Meruntuhkan Indonesia: Politik postkolonial dan otoritarianisme.
Yogyakarta: LkiS.
Sarabia, Maria, Maria Obeso, Marta Guijarro, dan Carmen Trueba. (2012). Human
development and knowledge management: A fresh look. African Journal of
Business Management. Vol. 6 (11), hal. 4255-4266.
Sen, A. (1999). Development as freedom. New York: Alfred A. Knopf.
Srinivasan, T.N. (1994). Human development: A new paradigm or reinvention of the
wheel?. The American Economic Review. Vol. 84, No. 2, hal. 238-243.
Stiglitz, Joseph E., Amartya Sen, dan Jean-Paul Fitoussi. (2011). Mengukur
kesejahteraan. Jakarta: Marjin Kiri.
Villela, Dantas dan Farias Muniz. (2010). Conceptual navigation in knowledge
management environments using NavCon. Information Process
Management, 46: hal. 413-425.
i
ii
iii
iv
Foucault (dalam Philpott, 2003) menjelaskan teknologi kekuasaan sebagai teknologi
yang memungkinkan semua individu, dengan kemampuan mereka sendiri atau
bantuan orang lain, menjalankan operasi kekuasaan atas tubuh, jiwa, pikiran, dan
perilaku mereka sendiri serta mentransformasikan mereka agar mencapai tingkat
kebahagiaan tertentu, kemurnian, kebijaksanaan, kesempurnaan, atau keabadian.
Istilah teknologi kekuasaan dipakai untuk merefleksikan karakter kekuasaan sebagai
suatu modalitas, yang terdiri dari keseluruhan sarana, teknik, prosedur, tingkat-tingkat
penerapan, dan sasaran-sasaran yang dipakai untuk memproduksi kebenaran.
Sejak tahun 1990, HDR telah terbit dengan sejumlah tema yang menandai isu-isu
penting bagi pembangunan, antara lain tentang konsep pembangunan manusia;
pembiayaan sosial bagi pembangunan; partisipasi politik; keamanan manusia;
kesetaraan gender; pertumbuhan ekonomi; kemiskinan; konsumsi; globalisasi dan
glokalisasi; hak asasi manusia; teknologi; demokrasi; Millenium Development Goals;
kebebasan kultural; donor dalam pembangunan; perdagangan dan keamanan; sumber
daya air; dan berbagai isu lain.
Pendekatan kapabilitas yang dikembangkan Sen (1999) menekankan agar evaluasi dan
kebijakan pembangunan berfokus pada apa yang dapat dilakukan dan diwujudkan
individu untuk mencapai kualitas hidup yang mereka inginkan serta mengatasi
hambatan-hambatan yang mereka hadapi agar dapat memiliki kebebasan untuk
menjalani kehidupan sebagaimana mereka cita-citakan. Konsepsi ini kemudian
dikembangkan lagi oleh Martha Nussbaum (1988) yang menggunakan pendekatan
kapabilitas sebagai landasan untuk membangun teorisasi keadilan.
Selain HDR, UNDP juga menerbitkan Annual Report, Featured Reports, dan
Newletters yang memuat tema-tema penting sebagai prioritas pembangunan manusia.
Tema-tema ini kemudian disusun sebagai kluster isu yang menjadi wilayah aktivitas
UNDP, yakni mencakup: pengentasan kemiskinan (poverty reduction), tata
kepemerintahan yang demokratis (democratic governance), pencegahan dan
pemulihan krisis (crisis prevention and recovery), lingkungan dan energi (environment
and energy), penanganan HIV/AIDS, pemberdayaan perempuan (women’s
empowerment), dan pengembangan kapasitas (capacity development). Pada tahun
533
v
vi
Simposium Kebudayaan Dan Kerjasama Indonesia–Malaysia 2015 (SKIM XIV 2015)
25 - 27 November 2015, The Everly Hotel, Putrajaya, MALAYSIA
2000, isu-isu pembangunan tersebut diwadahi dalam kesepakatan global bertajuk
Millenium Development Goals (MDGs) yang berpusat pada 8 (delapan) sasaran, yakni
pengentasan kemiskinan dan kelaparan, akses pendidikan dasar bagi semua warga,
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, penurunan angka kematian bayi,
peningkatan kualitas kesehatan ibu, penanganan HIV/AIDS, malaria dan penyakitpenyakit lainnya, keberlanjutan kelestarian lingkungan hidup, serta pengembangan
kemitraan global bagi pembangunan. Kendati mengusung tema yang sejalan dengan
pembangunan manusia, MDGs lebih merupakan bentuk kesepakatan global untuk
mengatasi problem-problem pembangunan secara berjejaring.
Terdapat 3 (tiga) kategori yang dipakai HDR untuk mengklasifikasi negara-negara di
dunia, yakni: 1) negara-negara dengan status pembangunan manusia tinggi adalah
negara-negara yang berhasil mencapai nilai IPM lebih besar dari atau sama dengan 80;
2) negara-negara dengan status pembangunan manusia menengah adalah negaranegara yang nilai IPM-nya berada antara 50 sampai dengan 80; dan 3) negara-negara
dengan status pembangunan manusia rendah adalah yang nilai IPM-nya di bawah 50
(HDR, 1990).
Drucker (1993) menjelaskan bahwa dinamika ekonomi di negara-negara Barat pada
masa sekarang telah bergeser dari ketergantungan pada keterampilan teknis menjadi
kemampuan kreatif dari para knowledge workers, yakni people who are able to exploit
the competitive advantage that their specialized insights provide (dalam Blacker,
et.al., 1998: 69).