Kajian Permasalahan Tata Ruang dan Lingk

PERMASALAHAN TATA RUANG DAN LINGKUNGAN HIDUP
DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Perencanaan Tata Ruang dan Lingkungan Hidup

Program Studi Magister Ilmu Lingkungan

Oleh :
ZUMRODI

NPM. : 250120150017

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2015

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kabupaten Lima Puluh Kota terletak pada bagian timur Provinsi Sumatera Barat dan

berbatas langsung dengan Provinsi Riau, terletak antara 0 o25’28,17” dan 0o22’14,52” LS
serta antara 100o50’47,80” BT, dengan luas wilayah 3.354,30 Km 2. Kabupaten Lima Puluh
Koa diapit oleh empat kabupaten dan satu provinsi yaitu Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah
Datar, Kabupaten Sijunjung, dan Kabupaten Pasaman serta Provinsi Riau melalui Kabupaten
Kampar. Secara administratif Kabupaten Lima Puluh Kota beribukota di Sarilamak yang
berjarak 133 km dari Padang, Ibukota Sumatera Barat dan 178 km dari Pekanbaru Propinsi
Riau.

Gambar 1.1 Lembah Harau dan Kelok Sembilan, ikon Kabupaten Lima Puluh Kota

Kabupaten Lima Puluh Kota memiliki iklim tropis basah dengan curah hujan cukup
tinggi. Curah hujan rata-rata bulanan berkisar 124,20 mm sampai 546,60 mm, selama tahun
2009 curah hujan paling tinggi terjadi pada bulan maret dan yang terendah terjadi pada bulan
mei. Sedangkan untuk suhu rata-rata berkisar 28oC sampai dengan 33oC. Curah hujan tahunan
mencapai 3,759 mm pada tahun 2013 turun menjadi 1.834 mm pada tahun 2014. Pada kurun
waktu tersebut hari hujan berjumlah 144 (tahun 2014) dan 162 (pada tahun) 2013, dan secara
umum tidak ada batasan yang tegas antara musim kemarau dan musim penghujan di

Kabupaten Lima Puluh Kota.
Kondisi topografi daerah Kabupaten Lima Puluh Kota bervariasi antara datar,
bergelombang, dan berbukit-bukit dengan ketinggian dari permukaan laut antara 110 meter
sampai dengan 791 meter. Terdapat tiga gunung yang tidak aktif yaitu Gunung Sago (2.261 m
dpl) menjadi gunung tertinggi diikuti Gunuang Sanggul (1.495 m dpl) dan terakhir Gunung
Bungsu (1.253 m dpl). Kabupaten Lima Puluh Kota mengalir 14 sungai besar dan kecil yang
mengalir dan telah banyak dimanfaatkan untuk perairan, irigasi, dan keperluan masyarakat
2

lainnya. Beberapa sungai/anak sungai yang cukup besar di Kabupaten Lima Puluh Kota
antara lain Batang/Sungai Mahat (75 km), Batang Mongan (72 km), Batang Kapur (40 km)
dan Batang Paiti (31 km). Sungai tersebut berada pada dua daerah aliran sungai penting yaitu
DAS Indragiri Akuaman dan DAS Kampar yang merupakan DAS prioritas nasional, dengan
Waduk PLTA Koto Panjang yang memiliki peran strategis dalam menggerakkan
perekonomian kawasan.
Waduk PLTA Koto Panjang berada pada DAS Kampar dengan luas genangan
mencapai 124 km2 dari berada pada ketinggian 85 mspl. Pembangungan waduk ini dilakukan
pada tahun 1997 dengan memindahkan penduduk yang meiputi 8 desa di Propinsi Riau dan 2
desa di Propinsi Sumatera Barat dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 4.886. Untuk
membuat waduk diperlukan bangunan beton setinggi 58 meter dengan panjang 257,5 meter.

Dengan debit maksimum operasi 348 m3/detik dan kapasitas genangan waduk 1.545 juta m3.
Proyek PLTA koto panjang memindahkan jalan nasional sepanjang 40,1 km dan jalan
propinsi sepanjang 20,1 km.Pembangunan waduk ini juga menenggelamkan sebagian areal
kawasan sejarah Candi Muara Takus di Kabupaten Kampar Propinsi Riau. Bendungan PLTA
Koto Panjang setinggi 58 meter berada di Desa Merangu, Kabupaten Kampar Propinsi Riau,
dengan kapasitas pembangkit daya maksimu 114 MW atau 542 GWh pertahun. Bendungan
ini berjarak sekitar 87 km dari pekanbaru atau 46 km dari sarilamak ibu kota kabupaten lima
puluh kota.
I.2

Wilayah Administratif dan Kependudukan

Penduduk Kabupaten Lima Puluh Kota berjumlah 331.647 jiwa dengan tingkat
kepadatan penduduk 99 jiwa per km2, menempati luas daratan sebesar 3.354,30 km2. Secara
administratif Lima Puluh Kota terbagi menjadi 13 Kecamatan dengan Kecamatan Kapur IX
dan Kecamatan Pangkalan menjadi dua kecamatan terluas. Dari aspek jumlah penduduk,
Kecamatan Harau menjadi kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar. Dilihat dari aspek
keppadatan penduduk, Kecamatan Luak menjadi kecamatan terpadat dengan tingkat
kepadatan penduduk mencapai 380 jiwa per km2. Kecamatan Kapur IX merupakan
kecamatan dengan kepadatan paling rendah sebesar 36 jiwa per km2.

Pusat Pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota berada di Kota Sarilamak yang terletak
di Kecematan Harau. Kota Sarilamak dengan luas wilayah 177 km 2 menjadi tempat tinggal
bagi 17.853 penduduk. Dengan posisinya yang strategis, Kota Sarilamak menjadi ibu kota
yang sangat ideal bagi Kabupaten Lima Puluh Kota. Terletak dijalur jalan nasional yang
menghubungkan Sumbar dan Riau, Kota Sarilamak juga didukung dan diramaikan dengan
hadirnya perguruan tinggi negeri bernama Politeknik Pertanian Payakumbuh di Kota ini.
Sebagai sebuah pusat pemerintah bagi Kabupaten Lima Puluh Kota, Kota Sarilamak
3

berpotensi mengalami hal yang sama dengan kota-kota lain di Indonesia yang menghadapi
masalah besar dalam pengelolaan perkotaan terkait dengan belum terintegrasinya
perencanaan, pelaksanaan serta pengawasan kebijakan seperti sarana transportasi,
perumahan, pengelolaan sampah, penyediaan air bersih dan timbulnya pencemaran.

Gambar 1.2. Peta administratif Kabupaten Lima Puluh kota

I.3

Potensi Sumber daya alam


Sebagai sebuah daerah agraris, Kabupaten Lima Puluh Kota menghasilkan beragam
produk pertanian unggulan seperti padi, palawija, gambir, karet,ikan darat telur dan ayam
pedaging. Selain padi, Lima Puluh Kota juga menghasilkan jagung serta ubi kayu dalam
jumlah besar. Untuk jenis buah-buahan, hasil terbanyak adalah pisang, manggis serta
rambutan. Produk sayur-mayur yang dominan antara lain cabe, jamur, ketimun, buncis serta
terung.
Dari produk peternakan, ayam pedaging menjadi produk paling menonjol diikuti
dengan produksi telur ayam ras, telur itik serta telur puyuh. Produk perikanan Kabupaten
Lima Puluh Kota menghasilkan ikan mas, nila, gurami serta ikan lele. Produk perkebunan
terbesar adalah gambir disusul karet, kelapa dan kakao. Data berasal dari Dinas Tanaman
Pangan dan Holtikultura Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2008.
4

I.4

Penduduk dan Pola Aktivitas masyarakat

Penduduk di Kabupaten Lima Puluh Kota pada tahun 2010 berjumlah 374.987 jiwa
dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 112 jiwa / km 2. Menurut data per kecamatan,
jumlah penduduk terbanyak di Kecamatan Harau dengan penduduk sebanyak 47.378 jiwa,

dan kecamatan dengan penduduk paling sedikit di Kecamatan Gunuang Omeh dengan jumlah
penduduk 14.261 jiwa, kepadatan penduduk tertinggi di Kecamatan Guguak, dengan tingkat
kepadatan mencapai 356 jiwa / km2 dan kecamatan dengan kepadatan paling rendah adalah di
Kecamatan Kapur IX yaitu 38 jiwa / km2.
Peningkatan jumlah penduduk yang tidak disertai dengan berbagai kebijakan yang
bagus rawan menimbulkan berbagai masalah baik sosial, ekonomi maupun aspek lainnya.
Masalah yang mungkin timbul antara lain :


Meningkatnya jumlah pengangguran karena semakin tingginya tingkat persaingan
di barbagai sektir lapangan kerja.



Meningkatnya limbah domestik rumah tangga dan berkurangnya tingkat kesadaran
masyarakat karena keterbatasan sarana dan prasaran.



Berubah fungsinya berbagai lahan produktif terutama untuk pemukiman dan saran

prasaran lainnya. Berubahnya sikap dan prilaku masyarakat individualisme.

Penduduk Kabupaten Lima Puluh Kota menurut angkatan kerja berjumlah 161.663
yang terbagi menjadi beberapa jenis lapangan kerja yang dominan. Sebagai sebuah kawasan
agraris, sebagian besar penduduknya (56%) bekerja disektor pertanian dengan jumlah 90.864
orang. Penduduk yang bekerja di sektir industri mencapai 22.120 orang (14%). Selanjutnya
penduduk yang bekerja di sektor jasa sebanyak 48.697 orang atau sekitar 30% dari jumlah
penduduk keseluruhan. Persebaran kegiatan masyarakat yang tercermin dari jenis pekerjaan
yang digeluti berpengaruh besar kepada pola produksi sampah di masyarakat Kabupaten
Lima Puluh Kota.
Pada tahun 2010 jumlah rumah tangga miskin tercatat sebanyak 17.817 KK. Jumlah
rumah tangga miskin ini terbanyak di Kecamatan Lareh sago Halaban sebanyak 2.042 KK,
kemudian di Kecamatan Harau sebanyak 1.889 KK dan yang paling kecil berada di
Kecamatan Gunuang Omeh sebanyak 917 KK. Untuk kondisi tempat tinggal sendiri
masyarakat di Kabupaten Lima Puluh Kota sebanyak 30.085 KK, tinggal di lokasi dalam
kategori sederhana, sementara penduduk yang tinggal di lokasi pemukiman menengah dan
mewah adalah masing-masing sebenyak 15.043 KK dan 5.014 KK.

II.


PERMASALAHAN
5

2.1

Lima Puluh Kota dalam Pola Pemanfaatan Ruang Propinsi Sumatera Barat

Ruang merupakan komponen lingkungan hidup yang bersifat terbatas dan tidak
terbaharui, sehingga perlu dikelola secara bijaksana dan dimanfaatkan secara berkelanjutan
untuk kepentingan generasi sekarang dan generasi masa datang. Pembangunan melalui
pemanfaatan ruang di Kabupaten Lima Puluh Kota dan Propisnis Sumatera Barat umumnya,
diselenggarakan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan
potensi, sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sumber daya manusia dengan tetap
memperhatikan daya dukung, daya tampung dan kelestarian lingkungan hidup.
Perkembangan pemanfaatan ruang melalui penyelenggaraan kebijakan pembangunan
dalam skala besar, rentan menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan di Kabupaten Lima
Puluh Kota. Untuk itu penyelenggaraan penataan ruang wilayah harus dilakukan dengan tetap
mempehatikan lingkungan sebagai satu kesatuan dinamis. Penyelengaraan penataan ruang ini
juga harus berlandaskan kondisi fisik, sosial budaya, dan ekonomi masyarakat.


Gambar 1.3 Peta infrastruktur Kabupaten Lima Puluh Kota
Salah satu bentuk pemanfaatan ruang di Kabupaten Lima Puluh Kota adalah jaringan
transporasi. Limapuluh Kota melalui Kota Sarilamak berperan penting dalam jaringan arteri
primer. Sitem jaringan jalan sebagai trasnportasi darat melalui jalan arteri primer yang
menghubungkan Padang-Bukittinggi-Payakumbuh-Batas Sumbar Riau. Selain itu juga
6

terdapat rencana pengembangan jaringan jalan bebas hambatan yang menghubungkan
Padang-Bukittinggi-Payakumbuh-Sarilamak-Batas Sumbar Riau. Pengembangan jalan arteri
primer baru di Buluk Kasok Kecamatatan Harau-Propinsi Riau dan pengembangan jembatan
Kelok Sembilan. Pengembangan sarana kereta api sebagai revitalisasi jalur yang sudah ada
antara Padang-Payakumbuh. Selain itu terdapat rencana pengembangan bandara udara baru
di Kabupaten Lima Puluh kota, yang bersama Bandar di Kabupaten Pasaman dan Kepulauan
mentawai menjadi simpul “three in one” bandara menghadapi situasi darurat seperti
bencana/gempa/tsunami/ perang selain untuk penerbangan umum dan penerbangan perintis.
Table 2.1 Luas Kawasan Hutan Kabupaten Lima Puluh Kota

Hutan
Cagar alam


Luas (Ha)
27.060

Persentase (%)
13,35

Hutan lindung

142.738

70,41

Hutan produksi

6.236

3,08

HPT


8.223

4,06

18.418
202.738

9,12
100

HPTK
Total

Sumber : Kabupaten Lima Puluh Kota Dalam Angka 2008/2009

Dalam rencana pemanfaatan ruang propinsi Sumatera Barat juga dikaji penentuan
kawasan lindung di Kabupaten Lima Puluh Kota. Kawasan lindung meliputi Cagar Alam Aair
Putih, Cagar Alam Lembah Harau dan Hutan Suaka Alam Wisata Lembah Harau. Selain itu,
lembah harau juga dalam rencana pola ruang ditetapkan sebagai cagar alam geologi.
Kawasan lindung lainnya yang diakui dalam rencana pola ruang sumaterta barat adalah
adanya lubuk larangan (ikan larangan) sebagai sebuah manifestasi nilai lokal dalam
perlindungan lingkungan. Beberapa tempat di Kabupaten Lima Puluh Kota juga melalui
mitigasi diperkirakan mengalami bencana gerakan tanah dan berada pada zona patahan aktif
sesar semangko. Dalam rencana pola ruang Sumatera Barat, Kabupaten Lima puluh Kota
juga berada pada zona bencana yang berada di jalur bahaya longsor dan banjir terutama pada
daerah perbatasan Sumbar Riau.
Dalam pengembangan kawasan budidaya, kabupaten lima puluh kota berperan dalam
pengembangan kawasan hutan produksi terbatas (HPT), hutan produksi tetap (HP) hutan
produksi yang dapat dikonversi (HPK) dan juga rencana pengembangan kawasan
perkebunan, kawasan lahan kering dan holtikultura dan kawasan agropolitan serta
minapolitan. Kabupaten lima puluh kota juga menjadi pusat destinasi wisata (destinasi
pengembangan pariwisata/DPP I) yang meliputi koridor Kota Bukittinggi, Agam, pasaman,
Kabupaten Lima puluh kota dan kota payakumbuh. Dengan menu budaya, belanja, MICE,
kerajinan, kesenian, peninggalan sejarah, danau, pegunungan, flora fauna.
7

Selain itu kawasan PLTA Koto Panjang melalui koridor Bukittinggi-PLTA Koto
Panjang telah ditetapkan sebagai kawasan andalan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah
nasional nasional. Kawasan andalah ini merupakan kawasan budidaya yang dalam
pengembangannnya diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan tersbut dan
kawasan disekitarnya.
2.2. Kebijakan Pembangunan
Sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota Nomor 10 Tahun 2011
Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota,
kegiatan pembangunan di Kabupaten Lima Puluh Kota dibagi kedalam 4 (empat) wilayah
pembangunan yaitu :
1.

Wilayah Pembanguan I (WP Selatan) dengan daerah-daerah meliputi kecamatan :
Harau, Luak, Situjuah Limo Nagari, Lareh Sago Halaban dan Payakumbuh dengan
menempatkan Kota Sarilamak sebagai pusat pertumbuhan.

2.

Wilayah Pembangunan II (WP Utara) dengan daerah-daerah meliputi kecamatan :
Kapur IX dan Pangkalan Koto Baru dengan menempatkan Kota Pangkalan Koto
Baru yang berada di jalur lintas jalan nasional sebagai pusat pertumbuhan.

3.

Wilayah Pembangunan II (WP Barat) dengan daerah-daerah meliputi kecamatan :
Gunung Omeh, Bukit Barisan dan Suliki dengan Kota Suliki sebagai kota pusat
pertumbuhan.

4.

Wilayah Pembanguna IV (WP Tengah) dengan daerah-daerah meliputi kecamatan :
Guguk, Mungka dan Akabiluru dengan kota Dangung-Danguang sebagai kota
pusat pertumbuhan.

Pusat-pusat pertumbuhan yang terbesar di Kabupaten Lima Puluh Kota telah memiliki
fungsi dan penekanan masing-masing. Diantara fungsi dan penekanan pengembangan pusat
pusat pertumbuhan tersebut adalah :
1.

Kota pusat layanan, yaitu kota yang berfungsi memberikan palayanan ekonomi dan
pelayanan sosial bagi daerah sekitarnya sesuai dengan strata layanan yang
diberikan. Kota dalam kategori ini antara lain Sarilamak, Danguang-Danguang,
Suliki dan Pangkalan Koto Baru.

2.

Kota penghubung, yaitu kota yang berfungsi sebagai pusat transportasi dan
infrastruktur lainnya yang menghubungkan antar daerah dalam kabupaten maupun
dengan kota/propinsi lain.

3.

Kota pusat pemukiman, yaitu kota yang berfungsi sebagai pusat konsentrasi
perumahan penduduk. Kota dalam ketegori ini misalnya adalah Kota Sarilamak.
8

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2005-2025
tertuang dalam 8 (delapan) misi Pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota untuk
pembangunan dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun kedepan. Poin terpenting dari misi
tersebut menyebutkan satu upaya meningkakan pemanfaatan potensi sumber daya alam
secara terarah dan terkendali untuk memacu peningkatan pendapatan masyarakat dan
pendapatan asli daerah untuk memperkuat keuangan dan pembangunan daerah.

Gambar 2.1 Peta wilayah pembangunan Kabupaten Lima Puluh Kota

Penekanan pemanfaatan sumber daya alam dalam memompa pendapatan masyarakat
serta pendapatan asli daerah rentan menimbulkan efek negatif dengan timbulnya berbagai
masalah lingkungan hidup seperti pencemaran perairan, penurunan kualitas udara, degradasi
dan perubahan peruntukan lahan. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan secara eksplisit dalam
pengelolaan pemanfaatan sumber daya alam serta perencanaan infrastruktur sesuai dengan
norma, standar, prosedur dan kriteria sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan itu
sendiri. Kebijakan yang dilaksanakan juga harus bersifat antisipatif dalam artian berorientasi
dan memandang dampak apa yang akan terjadi dimasa mendatang tanpa terkungkung pada
hal baku yang berlaku dan sudah ada. Selain itu kebijakan yang dibuat juga harus bersifat
komprehensif, meninjau perkara dan persoalan tidak hanya satu sisi saja tetapi secara
menyeluruh.
9

Sebagai sebuah daerah peranian, Kabupaten Lima Puluh Kota masih menggantungkan
pembangunan pada ekploitasi sumber daya alam yang dimilik. Pemerintah Kabupaten Lima
puluh Kota melalui Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2006 telah menentukan arah kebijakan
pengelolaan sumber daya alam dan pengelolaan sarana dan prasarana. Diantara
kebijakanyang telah dan akan dibuat antara lain :
1.

Optimalisasi penataan ruang dan kawasan pengembangan sumber daya alam dan
ekonomi daerah.

2.

Pelestarian fungsi dan tatanan lingkungan hidup alam, lingkungan hidup sosial dan
lingkungan hidup buatan untuk meningkatkan kualitas dan keseimbangan antar
kawasan.

3.

Peningkatan fungsi pusat kegiatan lokal (Rencana Ibu Kota Kabupaten/IKK
Sarilamak) secara serasi, seimbang antara perkembangan lingkungan dengan tata
kehidupan masyarakat.

4.

Penataan dan pengembangan kawasan budidaya dan kawasan tertentu yang
meliputi penyediaan sistem pemukiman, jaringan transportasi serta jaringan sarana
dan prasarana lainnya dengan mengutamakan kawasan-kawasan tertentu yang
dapat berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan sekitarnya.

5.

Penataan dan pengembangan kawasan perumahan, pemukiman, kawasan pedasaan
dak kawasan belum tumbuh.

III. PEMBAHASAN
3.1

Pola Penggunaan Lahan

Menurut data tahun 2009 peruntukan lahan di Kabupaten Lima Puluh Kota terdiri dari
lahan non pertanian 8.256 Ha, sawah 22.286 Ha, lahan kering 36.648 Ha, perkebunan 38.250
Ha, hutan 202.738 Ha, dan untuk peruntukan lainnya seluas 27.525 Ha. Berdasarkan data
tersebut tersebut dapat dilihat bahwa peruntukan lahan yang dominan di Kabupaten Lima
Puluh Kota adalah untuk kawasan hutan (60,39 %), perkebunan (11,40%) dan lahan kering
(10,93%). Dari lahan hutan tersebut, sebanyak 27.060 Ha (13,35%) berfungsi sebagai cagar
alam, 142.738 Ha (70,41%) merupakan hutan lindung, 6.236 Ha (3,08%) hutan produksi,
seluas 8.223 Ha(4,06%) hutan produksi terbatas, dan 18.418 Ha (9,12%) merupakan hutan
produksi yang dapat konservasi.
Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk
kelangsungan hidup manusia karena diperlukan dalam setiap kegiatan manusia, seperti untuk
pertanian, industri, pemukiman, transportasi, daerah rekreasi atau daerah-daerah yang
dipelihara kondisi alamnya untuk tujuan ilmiah. Sumberdaya lahan sebagai lingkungan fisik
10

terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada diatasnya sepanjang ada
pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Oleh karena itu sumberdaya lahan dapat dikatakan
sebagai ekosistem karena adanya hubungan yang dinamis antara organisme yang ada di atas
lahan dengan lingkungannya.
Table 3.1 Penggunaan Lahan di Kabupaten Lima Puluh Kota

Peruntukan
Non Pertanian

Luas (Ha)
8.256

Persentase (%)
2,46

Sawah

22.286

6,64

Lahan Kering

36.648

11,40

Perkebunan

38.250

10,93

Hutan

202.738

60,39

Lainnya
Total

27.525
335.430

8,21
100

Sumber : Kabupaten Lima Puluh Kota Dalam Angka 2008/2009

Peningkatan kebutuhan lahan sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan
ekonomi, dimana kebutuhan lahan untuk untuk aktifitas pembangunan juga akan ikut
meningkat. Namun dilain pihak ketersediaan luas lahan yang relative tetap

sehingga

mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan yang berlangsung secara cepat dan dalam jumlah
besar bahkan kadang tanpa memperhatikan dampak yang akan ditimbulkan dari kegiatan
tersebut, baik dampak terhadap lingkungan, tata ruang, serta konservasi tanah.
3.2

Pengelolaan kawasan Hutan

Bila dibandingkan data tahun sebelumnya (tahun 2008), berdasarkan data yang ada
tidak terjadi perubahan dalam tata guna, maupun alih fungsi kawasan hutan di Kabupaten
Lima Puluh Kota. Namun masih dihadapkan pada berbagai tantangan antara lain cukup
banyaknya ditemukan lahan kritis yang disebabkan oleh berbagai macam faktor yang pada
dasarnya merupakan tekanan dalam pemenuhan kebutuhan hidup bagi masyarakat di dalam
dan sekitar hutan.
Tabel 3.2 Realisasi penghijauan dan reboisasi sangat minimalis pada tahun 2013.

Realisasi Penghijauan
Kabupaten
Lima Puluh Kota

325

Jumlah
Pohon
130.000

Total

325

130.000

Luas (Ha)

Realisasi Reboisasi

1.750

Jumlah
Pohon
70.,000

1.750

700.,000

Luas (Ha)

Berdasarkan data yang ada di kabupaten Lima Puluh Kota ditemukan lahan kritis baik
yang berada di luar kawasan hutan maupun di dalam hutan yang menyebar di 13 kecamatan
seluas 56.023 Ha, dimana hamparan lahan kritis yang luas terdapat di tiga kecamatan yaitu
11

Kecamatan Harau seluas 8.700,10 Ha, Kecamatan Gunuang Omeh seluas 8.223,70 Ha, dan
Kecamatan Suliki seluas 7.589,90 Ha. Sedangkan yang paling sedikit ada di Kacamatan
payakumbuh seluas 610,10 Ha. Selain adanya lahan kritis yang cukup luas kerusakan hutan
juga akan menimbulkan dampak terhadap ekosistem hutan, termasuk kelangsungan hidup
berbagai flora dan fauna di dalamnya, Adapun kerusakan hutan di kabupaten Lima Puluh
Kota dikerenakan oleh kebakaran hutan, dari data yang ada seluas 222,6 Ha hutan rusak
akibat kebakaran.
Tabel 3.3 Luasan Penutupan Lahan pada Wilayah KPHL

Hutan Kabupaten Lima Puluh Kota
Hutan Lahan Kering Pimer
Hutan Lahan Kering Sekunder
Perkebunan
Semak Belukar
Pemukiman
Lahan Terbuka
Tubuh Air
Pertanian Kering
Pertanian Semak
Total

Kawasan Hutan (Ha)
6,174
68,691
694
17,985
4
76
93
2,108
21,817
117,552

Sumber : Hasil Inventarisasi Tata Hutan BPKH Wilayah I Medan Tahun 2013

Tingginyai angka lahan kritis di Kabupaten Lima Puluh Kota tidak dibarengi dengan
usaha penanganan yang setimpal melalui kegiatan penghijauan maupun upaya reboisasi.
Dalam artian upaya penanggualangan lahan kritis yang dilakukan sangat terbatas dan dalam
satu tahun hanya mencapai luasan 1.750 hektar.
Sebagaimana uraian sebelumnya bahwa kabupaten Lima puluh Kota lebih dari separoh
dari luas wilayah adalah hutan yang didalamnya memiliki kekayaan yang banyak seperti flora
dan fauna. Juga memiliki kawasan cagar alam yang cukup baik untuk dinikmati para turis.
Selain flora dan fauna yang telah dibudidayakan jga terdapat flora dan fauna liar (jenis flora
dan fauna yang belum dikenal oleh banyak orang atau belum dibudidayakan) dan jenis flora
dan fauna langka lainnya.Mengingat bahwa kebutuhan manusia akan flora dan fauna semakin
hari semakin meningkat, baik jenis, varietes, kuantitas maupun kualitas. Maka sangat penting
untuk selalu menjaga kelangsungan dan kelestarian keanekaragaman hayati yang ada. Selain
itu juga perlu diingat bahwa ulah manusia sendiri kalau tidak hati-hati dan dikendalikan
dengan baik, keanekaragaman jenis flora dan fauna tersebut akan berkurang dan musnah.
Tabel 3.4. Lahan kritis di Kabupaten Lima Puluh Kota

Kabupaten/Kota
Payakumbuh

Kritis (Ha)
2.778,20

Sangat
Kritis (Ha)
32,40

Jumlah Total
(Ha)
2.810,60
12

Akabiluru

1.882,90

819,20

2.702,10

Luak

4.201,20

638,80

4.840,00

Lareh Sago Halaban

7.409,80

391,50

7.801,30

Situjuah Limo Nagari

943,60

1.416,10

2.404,70

Harau

12.801,10

343,40

13.144,50

Guguak

5.897,10

0,00

5.897,10

Mungka

9.365,90

167,50

9.533,40

Suliki

5.416,30

0,00

5.416,30

Bukik Barisan

12.638,50

101,00

12.739,50

Gunuang Omeh

9.236,50

466,00

9.702,50

Kapur IX
Pangkalan Koto Baru

28.312,00

1.765,00

30.077,00

29.807,00

291,00

30.098,00

Total

130.690,10

6.476,90

137.167,00

Sumber :SLHD Kab. Lima Puluh kota, 2011

III.2 Pembangunan Sektor Pertanian
Sektor pertanian terutama subsektor pertanian tanaman pangan dan palawija merupakan
sektor andalan dalam pemenuhan kebutuhan bahan pangan (swasembada) dan pemenuhan
gizi masyarakat di Kabupaten Lima Puluh Kota. Pengembangan sektor ini akan sangat
bergantung pada ketersediaan lahan dan kesesuaian jenis komoditas, salah satunya adalah
komoditas beras. Perkembangan sektor pertanian tanaman padi sawah di Kabupaten Lima
Puluh Kota pada tahun 2009 mengalami kenaikan. Hal ini ditunjukan oleh besar hasil panen
padi tahun 2009 yang mencapai rata-rata 4,80 ton per hektarnya dengan luas panen 42.904 Ha
dan produksi 205.850,86 ton, sedangkan pada tahun 2008 hanya mencapai 4,66 ton per
hektarnya dengan luas panen 43.441,00 Ha dan produksi 202.531,01 ton artinya terjadi
kenaikan hasil panen per hektar sebesar 2,96% dan kenaikan produksi secara keseluruhan
3.219,85 ton (1,64 %) Kecamatan yang paling tinggi hasil panen padi sawaha adalah adalah
Kecamatan Harau sebesar 33.542,88 ton dari lahan panen seluas 3.418 Ha.
Pada tahun 2009 hasil produksi tanaman pangan selain padi yang ada di kabupaten
Lima Puluh Kota terjadi penurunan. Untuk tanaman jagung dari 14.730,10 turun menjadi
12.431,86 ton. Begitu juga hal nya dengan tanaman ubi kayu di tahun 2009 produksi nya
sebanyak 20.122,56 ton sedangkan pada tahun 2008 mencapai 21.144 ton. Penurunan
produksi yang cukup tajam juga terjadi pada ubi jalar yakni dari 2.280 ton (tahun 2008)
menjadi 1.333,60 ton ( tahun 2009).

13

Selain pertanian berupa tanaman pangan dan palawija, potensi lahan di Kabupaten
Lima Puluh Kota lainnya adalah pada sektor perkebunan. Diantara komoditi perkebunan yang
berkembang di Kabupaten Lima Puluh Kota adalah perkebunan karet, kelapa, kelapa sawit,
kopi, cokelat, cengkeh, tembakau, kayu manis dan gambir. Komoditi dengan nila perdangan
terbesar di kabupaten Lima puluh kota dihasilkan oleh gambir, selanjutnya karet, dan kelapa.
Untuk komoditi gambir, Kabupaten Lima Puluh Kota merupakan penyumbang terbesar di
Propinsi Sumatera Barat, dimana hampir 70 persen dari produksi gambir Sumatera Barat
dihasilkan di Kabupaten Lima Puluh Kota. Perkebunan gambir ini terdapat hampir disetiap
kecamatan berupa perkebunan rakyat dengan

luasan terbesar di Kecamatan Pangkalan,

Kapur IX dan Kecamatan Bukit Barisan.
Kegiatan pertanian akan memberikan tekana terhadap penyediaan lahan yang akan
memicu perubahan atau alih fungsi lahan. selain itu tekanan lainnya berasal dari penggunaan
pupuk pada kegiat pertanian. Penggunaan pupuk di sektor pertanian ternyata dapat
meningkatkan emisi gas CO2. Hal ini bersumber dari pemakaian pupuk Urea. Dari data yang
didapatkan, pemakaian pupuk Urea di bidang pertanian digunakan untuk padi sawah,
tanaman palawija seperti jagung, kacang tanah, ubi kayu dan ubi jalar. Selain tanaman padi
dan palawija urea juga digunakan untuk pemupukan pada tanaman perkebunan.
Sektor pertanian dapat memberikan tekanan terhadap lingkungan melalui emisi gas
rumah kca penggunaan lahan. Seperti perkiraan adanya emisi gas metan (CH4)

dari

keberadaan lahan sawah dan kegiatan peternakan. Gas Metan ini berasal dari pemanfaatan
lahan sawah yang tergantung dari luas tanam sawah. Selain itu juga pemanfaatan lahan untuk
kawasan ternak dan unggas yang nilainya dipengaruhi oleh jumlah ternak dan unggas yang
ada dipeternakan tersebut.
III.3 Pembangunan sektor peternakan
Disamping subsektor tanaman pangan dan perkebunan yang telah diuraikan di atas,
subsektor peternakan sangat besar potensinya di Kabupaten Lima Puluh Kota. Jenis ternak
yang ada dan berkembang di Kabupaten Lima Puluh Kota adalah sapi perah, sapi potong,
kerbau, kuda, kambing dan domba. Dari data yang ada usaha ternak di Kabupaten Lima
Puluh Kota dari tahun ke tahun mengalami perkembangan bila dilihat dari segi jumlah
populasi ternak yang semakin bertambah. Diantara jenis ternak yang sangat berkembang
adalah sapi potong dengan jumlah populasi 63.214 ekor yang tersebar di semua kecamatan
yang ada di Kabupaten Lima Puluh Kota. Selain sapi potong ternak kambing dan kerbau juga
memiliki popiulasi yang banyak.
Tabel 3.5 Populasi Hewan Ternak di Kabupaten Lima Puluh Kota

No

Jenis ternak

Populasi (ekor)
14

1
2
3
4
5
6

Sapi Perah
Sapi Potong
Kerbau
Kuda
Kambing
Domba

93
63.214
21.560
195
23.768
11

Sumber :SLHD Kab. Lima Puluh kota, 2011

Pada sektor peternakan jenis unggas yang berkembang di Kabupaten Lima Puluh Kota
adalah ayam petelur, ayam pedaging, ayam kampung, dan itik. Usaha yang paling
berkembang adalah peternakan ayam petelur dimana populasinya mencapai 4.734.598 ekor,
disusul peternakan ayam pedaging dengan populasi 3.463.800 ekor, ayam kampung 882.498
ekor dan yang paling kecil populasinya adalah ternak itik yaitu 181.410.
Tabel 3.6 Populasi Hewan Ternak

No
1
2
3
4

Jenis Unggas
Ayam kampung
Ayam ras petelur
Ayam ras padaging
Itik

Populasi (ekor)
882.498
4.734.598
3.463.800
181.410

Sumber :SLHD Kab. Lima Puluh kota,2011

Sektor peternakan berpotensi memberikan pengaruh kepada lingkungan dari limbah dan
emisi gas rumah kaca yang dihasilkan. Emisi gas Metan dari kegiatan peternakan juga
tergantung dari jumlah ternak yang ada di daerah tersebut. Sama halnya dengan luas lahan
sawah tadi, jumlah ternak

juga berbanding lurus dengan gas Metan yang dihasilkan.

Kecamatan Luhak sebagai daerah dengan hewan ternak terbanyak, maka otomatis menjadi
penyumbang gas Metan terbanyak. Demikian juga dengan emisi gas CH4 yang dihasilkan
dari ternak unggas, dimana jumlah unggas akan berbanding lulus dengan besarnya perkiraan
Emisi gas metanan yang dihasilkan. Dari gambar di atas dapat dilihat bahwak yang paling
banyak menyumbangkan emisi gas metan adalah Kecamatan Payakumbuh karena merupakan
daerah dengan jumlah unggas terbanyak di Kabupaten Lima Puluh Kota.

III.4 Pengelolaan sumber daya air dan kualitas air
Sebagai sebuah daerah yang memiliki akar budaya yang kuat dalam perairan, nyatanya
perhatian terhadap sumber daya air sebagai komponen penting pembangunan masih sangat
minim Kabupaten Lima Puluh Kota memiliki tidak kurang dari 14 sungai besar dan kecil
serta beberapa embung. Akan tetapi keberadaanya belum dimanfaatkan secara maksimal
demi kesejahteraan masyarakat.
Tabel 3.7 Inventarisasi Sungai di kabupaten Lima Puluh Kota

15

No

Sungai/Batang

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14.

Sinamar
Lampasi
Agam
Namang
Balubuih
Mahat
Harau
Sanipan
Kapur
Mungo
Liki
Mongan
Paiti
Mangilang

Panjang
(km)
68,63
41,14
24,72
8,40
11,69
75,13
16,80
8,61
40,00
18,41
11,00
72,00
31,00
20,00

Lebar (m)
41,0
30,0
35,0
7,2
10,0
47,5
20,0
25,0
60,0
35,0
-

Kedalama
n (m)
6,0
3,0
4,0
1,0
1,0
2,5
3,5
1,0
1,5
1,0
-

Debit (m3/dtk)
Maks
Min
675,0
3,0
264,0
0,8
425,0
1,5
50,0
0,2
25,0
0,1
508,0
15,0
125,0
0,3
310,0
0,4
475,0
10,0
910,0
0,7
-

Sumber :SLHD Kab. Lima Puluh kota, 2011

Sebahagian besar dari sungai-sungai di atas dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai
sumber air untuk pengairan sawah, perikanan dan juga dimanfaatkan untuk kegiatan rumah
tangga dan usaha air mineral. Pemanfaatan air sungai sebagai sumber Energi di Kabupaten
Lima Puluh Kota yaitu pada PLTA Koto Panjang yang menghasilkan energi listrik dengan
memanfaatkan aliran sungai Batang Mahat, Batang Mongan, dan Batang Kanpar. Disamping
itu sungai juga digunakan sebagai sarana perhubungan air.
Perubahan tata guna lahan pada daerah tangkapan air berpengaruh besar kepada
terjadinya fluktuasi debit sungai sungai besar di Kabupaten Lima Puluh Kota. Hal ini terlihat
pada tabel diatas. Misalnya Batang Mahat, mempunyai debit maksimal sebesar 508 m3 per
detik pada musim hujan, akan tetapi pada musim kemarau debit turun hingga mencapai 15
m3 per detik. Hal sama juga terjadi pada Batang Kapur yang mempunyai debit maksimal 475
m3 per detik dan debit minimal 10 m3 per detik. Perbedaan yang besar ini menandakan
bahwa alam telah rusak. Akibat yang terjadi dari keadaan ini adalah tidak maksimalnya,
produksi listrik pada PLTA Koto Panjang akibat kekurangan pasokan air. PLTA Koto Panjang
memiliki kapasitas terpasang 3 x 38 megawatt (114 MW). Pada musim kemarau,
kemampuannya menyusut hanya menghasilkan 60 MW. Hal ini disebabkan terbatasnya debit
air sungai tersebut. Turunnya produksi listrik ini akan berpengaruh terhadap roda
perekonomian kawasan lainnya.
Daerah tangkapan air Waduk PLTA Koto Panjang dengan membendung Sungai
Kampar. Di Kabupaten Lima Puluh Kota Sungai Kampar mengalir melalui beberapa anak
sungainya yaitu Batang/Sungai Mahat (75 km), Batang Mongan (72 km), Batang Kapur (40
km) dan Batang Paiti (31 km). Secara administratif daerah aliran sungai Kampar meliputi tiga
16

kecamatan yaitu Kecamatan Bukik Barisan, Kecamatan Kapur IX dan Kecamatan Pangkalan
Koto Baru. Waduk PLTA koto panjang terletak di pebatasan propinsi sumatera barat dan Riau
mulai digenangi semenjak tahun 1997.
Permasalahan penggunaan lahan yang mengemuka dalah terjadinya alih guna lahan dan
degradasi lahan. alih guna lahan meliputi perubahan huatan untuk pengembangan perkebunan
(gambir, karet dan sawit) dan perubahn lahan pertanian menjadi area terbangun lainnya
(pemukiman, sarana prasarana). Kerusakan lahan di lima puluh kota tergambar dari data luas
lahan kritis yang mencapai luasan 56.023 Ha pada tahun 2012 dan aktivitas penambangan
Galian C (pasir, batu, kerikil) di sempadan sungai.
Tabel 3.8 Kualitas Air Batang Kapur Tahun 2010

Parameter

Satuan

Hasil

Baku Mutu

mg/L

31

1000

pH

-

7,5

6-9

DO

mg/L

4,2

4

Residu terlarut

Sumber : SLHD Kabupaten Lima Puluh Kota

Secara umum, Hampir semua bantaran sungai yang terdapat di Kabupaten Lima Puluh
Kota kondisinya mulai mengkhawatirkan, dimana dapat dilihat sudah banyaknya pinggiran
sungai yang terban dan longsor, dan terdapatnya beberapa pondasi jembatan yang mengalami
kerusakan oleh aliran sungai. Kondis ini akibat dari banyaknya penambangan galian C,
banyaknya masyarakat yang membuka areal persawahan dekat dengan bantaran sungai, dan
masih kurangnya penanaman pohon disepanjang bantaran sungai.
Alam memiliki kemampuan untuk mengembalikan kondisi air yang telah tercemar
dengan proses pemurnian atau purifikasi alami dengan jalan pemurnian tanah, pasir, bebatuan
dan mikro organisme yang ada di alam sekitar kita. Jumlah pencemaran yang sangat masal
oleh manusia membuat alam tidak mampu mengembalikan kondisi ke seperti semula. Alam
menjadi kehilangan kemampuan untuk memurnikan pencemaran yang terjadi. Sampah dan
zat seperti plastik, deterjen dan sebagainya yang tidak ramah lingkungan akan semakin
memperparah kondisi pengrusakan alam yang kian hari kian bertambah parah.
Ada beberapa yang menjadi penyebab terjadinya pencemaran lingkungan di air antara
lain : 1) Terjadinya erosi dan curah hujan yang tinggi, 2) Banyaknya sampah dari rumah
-rumah atau pemukiman penduduk, dan 3) menyebarnya zat kimia dari lokasi rumah
penduduk, pertanian, industri, dan sebagainya. Berdasarkan klasifikasi mutu air menurut
Peraturan Pemerintah

Nomor 82 tahun 2001 tentang pengelolaan Kwalitas Air dan

Pengendalian Pencemaran Air. Air yang terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota tergolong
pada kelas satu dan kelas dua.
17

Golongan air kelas satu peruntukannya untuk sumber air minum dan peruntukan lain
yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut, seperti Batang Harau
yang dimanfaatkan untuk sumber air PDAM. Air dengan termasuk kepada golongan kelas
dua sendiri merupakan air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/ dan sarana
rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, perternakan, air untuk mengairi tanaman, dan atau
untuk peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
Seperti pada Batang Mahat, Batang Kapur, Batang Agam, dan lainnya.
Tabel 3.9 data Kualitas Air Batang Sinamar

Parameter
pH
BOD
COD
NO3 sebagai N
Minyak dan lemak

Satuan
mg/L
mg/L
mg/L
µg/L

Hasil
6,67
8,17
32,1
ttd