Analisis Sistem Kemitraan Dinas Kesehatan dengan PT.Exxon Mobil Indonesia terhadap Pemanfaatan Dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bidang Kesehatan di Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Implementasi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah khususnya di bidang kesehatan telah memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk merencanakan, melaksanakan dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan sesuai karakteristik daerahnya masing-masing. Upaya ini dilaksanakan dengan memberikan pelayanan kesehatan yang merata dan terjangkau demi terwujudnya derajat kesehatan bagi seluruh masyarakat. Desentralisasi di bidang kesehatan merupakan faktor penting dalam proses desentralisasi secara keseluruhan yang membutuhkan suatu hubungan kemitraan yang sinergis dalam bentuk kerjasama antara berbagai pihak baik pemerintah, perusahaan BUMN/Swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan seluruh masyarakat.

Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam Buckup (2012) mendefenisikan kemitraan sebagai hubungan kerjasama secara sukarela yang disepakati antara berbagai pihak untuk berpartisipasi secara bersama-sama. Kerjasama ini dilakukan melalui pembagian tugas dan tanggung jawab secara spesifik serta pemanfaatan sumber daya untuk mencapai tujuan dan keuntungan bersama.

America’s National Council on Public Private Partnership dalam Paskarina (2007) menyebutkan bahwa kemitraan pemerintah dan swasta atau Public Private Partnership (PPP) dapat diterjemahkan sebagai perjanjian kerjasama untuk


(2)

menggunakan keahlian dan kemampuan masing-masing demi meningkatkan pelayanan kepada publik. Kemitraan tersebut dibentuk untuk menyediakan kualitas pelayanan terbaik dengan biaya yang optimal untuk publik.

Sistem Kesehatan Nasional (SKN) Tahun 2012 menyebutkan bahwa pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan menggalang kemitraan yang dinamis dan harmonis antara pemerintah dan masyarakat termasuk swasta dengan mendayagunakan potensi yang dimiliki masing-masing. Kemitraan tersebut diwujudkan dengan mengembangkan jejaring yang berhasil guna dan berdayaguna agar diperoleh sinergisme yang baik dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat beserta lingkungannya. SKN akan berfungsi dengan baik dalam mencapai tujuannya apabila terjadi koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinergisme baik antar sistem atau subsistem lain di luarnya.

Peran serta pihak swasta dalam pembangunan daerah akan memberikan dampak terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik. Hal ini didukung oleh penelitian Paskarina (2007) yang menyebutkan bahwa pada prinsipnya, kemitraan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta adalah untuk meningkatkan pelayanan publik. Kemitraan ini dilatarbelakangi oleh adanya keterbatasan pendanaan dan rendahnya kualitas pelayanan (inefisien dan inefektif) dari pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik.

Pelibatan sektor swasta dalam pengembangan sarana prasarana akan memberikan keuntungan baik bagi pemerintah maupun swasta. Bagi sektor swasta


(3)

keuntungan yang diperoleh dengan mekanisme ini adalah profit. Adapun keuntungan bagi pemerintah, adalah mempermudah proses, waktu penyediaan serta meringankan beban pendanaan untuk memenuhi kebutuhan sarana prasarana perkotaan. Selain itu keuntungan yang diperoleh pemerintah adalah terciptanya transfer teknologi dan efesiensi manajerial dari pihak swasta yang dikombinasikan dengan rasa tanggung jawab serta kepedulian terhadap lingkungan (Paskarina, 2007).

Hasil penelitian Pramudho (2009) menyebutkan, ada beberapa manfaat kemitraan dalam pencapaian tujuan kesehatan antara lain meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap kesehatan (67%), meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan (65%) serta mempercepat pencapaian tujuan pembangunan (63%). Secara umum, program Corporate Social Responsibility (CSR) yang menggunakan sistem kemitraaan akan memiliki keunggulan-keunggulan tertentu. Adanya keterlibatan berbagai sektor, ketepatan program dan sasaran dapat dijamin, hubungan yang harmonis dengan masyarakat bisa dibina karena secara terus menerus perusahaan berinteraksi dengan masyarakat dalam aktivitas-aktivitas programnya. Kemitraan juga dapat menghindari terjadinya duplikasi program pembangunan oleh karena adanya unsur pemerintah daerah dalam kemitraan tersebut sebagai koordinator bagi upaya-upaya pembangunan di suatu wilayah. Apabila fungsi ini benar-benar berjalan, maka pemanfaatan sumberdaya dalam upaya pembangunan akan menjadi efisien dan efektif (Jalal, 2007).


(4)

Menurut panduan ISO 26000 (Ward, 2012) CSR adalah tanggung jawab perusahaan atas dampak aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan melalui perilaku transparan dan etis yang berkontribusi terhadap pembangunan yang berkelanjutan, terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat dimana perusahaan tersebut berdiri atau menjalankan usahanya. Pengertian tersebut dapat dipahami bahwa, perusahaan hanya bertanggung jawab terhadap aktivitasnya di dalam organisasi, dan yang kedua tanggung jawab tersebut bukan hanya bagi perusahaan saja tetapi juga bagi pemerintah dan organisasi masyarakat sipil yang berperan serta dalam upaya pembangunan berkelanjutan.

The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) dalam Holy (2009) mendefenisikan CSR sebagai komitmen terus-menerus dari pelaku bisnis untuk berlaku etis dalam memberikan kontribusi bagi perkembangan ekonomi melalui peningkatan kualitas hidup para pekerja dan keluarganya, dan juga bagi komunitas lokal serta masyarakat secara luas. Pengertian ini dapat dipahami bahwa komitmen terus-menerus (sustainability) merupakan faktor yang sangat penting karena dilakukan secara berkelanjutan dalam jangka waktu yang lama. Konsep ini mengandung makna bahwa selain memiliki tanggung jawab dalam memberikan keuntungan bagi perusahaan sesuai aturan yang berlaku, maka perusahaan juga memiliki tanggung jawab moral dan etika kepada pihak lain baik kepada karyawan,


(5)

Menurut Crowther (2008) CSR merupakan sebuah konsep perusahaan yang mengintegrasikan bisnis perusahaannya dengan lingkungan sosial dan interaksi dengan pihak-pihak terkait dilakukan atas dasar sukarela. Prinsip dasar CSR tersebut dapat dipahami sebagai bentuk kontrak sosial antar para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam suatu lingkungan yang menempatkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan individu.

Pengertian CSR dalam pembangunan kesehatan diartikan sebagai komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan kesehatan bersama karyawan, komunitas lokal dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup dan menanggulangi masalah kesehatan karyawan dan masyarakat. Komitmen ini dijalankan dengan prinsip keseimbangan, kerjasama dan komunikasi yang bermanfaat bagi pihak perusahaan dan masyarakat dalam upaya untuk meningkatkan kualitas hidup (Kemenkes RI, 2012).

Berdasarkan beberapa pengertian CSR yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa CSR adalah suatu konsep aktivitas yang menunjukkan komitmen secara berkesinambungan dari pihak swasta untuk meningkatkan taraf pendidikan dan kesehatan, mewujudkan kesejahteraan baik secara sosial dan ekonomi, bagi seluruh karyawan, keluarganya, masyarakat dan pemerintah di lingkungan tempat perusahaan tersebut beroperasional, dengan mempertimbangkan aspek etika dan moral.

Ada beberapa manfaat yang diperoleh bagi perusahaan dan masyarakat dari penerapan program CSR bidang kesehatan (Kemenkes RI, 2012). Manfaat bagi


(6)

perusahaan adalah : a) karyawan lebih sehat dan produktif, b) absensi karena sakit menurun, c) meningkatkan penjualan dan market share, d) memperkuat brand positioning, e) meningkatkan citra dan pengaruh perusahaan, f) meningkatkan kemampuan untuk memotivasi, dan mempertahankan karyawan, g) menurunkan biaya operasional, h) meningkatkan hasrat bagi investor untuk berinvestasi dan menjaga keberadaan dan kelangsungan perusahaan karena masyarakat lokal di ajak berkomunikasi dan merasakan manfaat CSR. Manfaat bagi masyarakat dan lingkungan : a) masyarakat lebih sehat, b) daya beli meningkat, c) lingkungan lebih sehat.

Berdasarkan penelitian Saidi (2004) dalam Tanudjaja (2006), sedikitnya ada 4 (empat) sistem atau model CSR yang diterapkan di Indonesia, antara lain melalui keterlibatan langsung, melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan, bermitra dengan pihak lain dan bergabung dalam suatu konsorsium. Praktek CSR oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia sudah mulai berkembang sejak tahun 1990an. Menurut Jalal (2010) dari Lingkar Studi CSR, di tahun 1990an kegiatan CSR di Indonesia lebih terbatas pada perusahaan-perusahaan ekstraktif (industri bahan baku) dan lebih berfokus pada kegiatan kesehatan, keselamatan kerja dan lingkungan hidup. Pada pertengahan tahun 1990an mulai terjadi pergeseran pendekatan pada kegiatan

community development, dan baru pada tahun 2000an, istilah CSR mulai populer di kalangan perusahaan besar di Indonesia


(7)

Penelitian Mapisangka (2009) mengutip Freemand (1984) mengungkapkan bahwa secara implementatif, perkembangan CSR di Indonesia masih membutuhkan banyak perhatian bagi semua pihak, baik pemerintah, masyarakat dan perusahaan. Terdapat ribuan perusahaan yang ada di Indonesia, namun diindikasikan belum semua perusahaan benar-benar menerapkan konsep CSR dalam kegiatan perusahaannya.Pada dasarnya sudah ada beberapa perusahaan yang menjalankan program CSR namun hanya sedikit yang menerapkan sistem kemitraan yang sinergis.

Berdasarkan penelitian Ma’arif (2013) pada tahun 2011 dan 2012 menyatakan bahwa di Indonesia hanya 10% perusahaan yang terkoordinasi dalam melakukan kegiatan CSR nya sedangkan 90% sisanya masih melaksanakan CSR secara sendiri-sendiri sehingga pemanfaatan kegiatan tersebut menjadi tidak jelas dan tidak tepat sasaran. Kondisi tersebut sesuai dengan hasil penelitian Asniwaty (2010) yang menyatakan bahwa upaya yang sudah dilakukan oleh suatu perusahaan bisa jadi tumpang tindih dengan pemerintah/perusahaan yang lain atau bisa juga hanya terfokus pada masalah tertentu saja. Akibatnya masalah yang menjadi fokus tidak mendapat perhatian karena kurangnya komunikasi dan tidak terbangunnya sistem kemitraan yang baik. Apabila aktivitas tersebut dilaksanakan dengan sinergis antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat maka dengan demikian penanggulangan berbagai masalah kesehatan serta kebutuhan sosial dapat diselesaikan.

Zandvlet (2008) dalam Jalal (2010) mengungkapkan bahwa bentuk kegiatan CSR yang dilakukan oleh perusahaan migas khususnya di Indonesia kebanyakan


(8)

gagal karena program tidak direncanakan dengan serius, kegiatan hanya didasarkan pada donasi dan pembangunan. Perusahaan migas enggan melakukan investasi pemetaan pemangku kepentingan serta penilaian terhadap kebutuhan masyarakat. Program yang lebih besar kemungkinan berhasilnya adalah program penguatan

softskill dan livelihoods yang mempersyaratkan bentuk-bentuk perencanaan yang detail, penekanan pada local content, konsultasi dengan pemangku kepentingan dan tata kelola perusahaan yang baik.

Berdasarkan penelitian Mapisangka (2009), penerapan program-program CSR tersebar pada berbagai aktivitas utama yaitu pendidikan, kesehatan, kemiskinan, sosial, agama, infrastruktur dan lingkungan hidup. Setiap aktivitas tersebut akan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kesejahteraan hidup masyarakat di lingkungan kawasan industri apabila dilaksanakan dengan memperhatikan aspek kemitraan yang sinergis.

Pemerintah Republik Indonesia sudah mewajibkan perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam dan lingkungan untuk menjalankan program CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan melalui Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Salah satu tujuan dibuatnya ketentuan ini adalah untuk tetap menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat.

Salah satu perusahaan yang bermitra dengan Dinas Kesehatan Aceh Utara adalah PT. Exxon Mobil Indonesia (EMOI). PT. EMOI merupakan salah satu


(9)

perusahaan minyak dan gas alam (migas) terbesar di dunia, perusahaan ini sudah ada di Indonesia sejak tahun 1898 dan mulai mengoperasikan Kontrak Kerja Sama (KKS) di Aceh sejak tahun 1968. Perusahaan ini menitikberatkan kepada aspek pendidikan, kesehatan dan pembangunan ekonomi kerakyatan dalam pelaksanaan upaya program kemitraan dan pengembangan masyarakat.

Tercatat bahwa ada sekitar 170 desa dan 8.000 KK yang tersebar di 12 kecamatan yang berada di sekitar perusahaan terlibat dalam program tersebut. Program ini bertujuan untuk memberikan kontribusi terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat, seperti program peternakan (bagi peternak lembu dan kambing), pertanian (petani coklat), perikanan (nelayan), penguatan skill dan ketrampilan masyarakat khususnya ibu-ibu dalam pengembangan industri rumah tangga (home industry). Pada sektor pembangunan infrastruktur khususnya pada saat terjadi bencana alam tsunami yang melanda Aceh, PT.EMOI juga memberikan bantuan dalam bentuk pembangunan jalan, sekolah, mesjid dan fasilitas umum lainnya, selain itu dukungan kemanusiaan tetap diprioritaskan bagi masyarakat yang menjadi korban agar kesejahteraan hidup mereka tetap terjamin.

PT. EMOI telah membangun sarana pelayanan kesehatan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat seperti klinik Pusat Kesehatan Paru Masyarakat (PKPM), klinik Pusat Kesehatan Jiwa Masyarakat (PKJM) bagi pasien gangguan mental dan pembangunan sarana air bersih (pembangunan sumur bor) melalui program sanitasi berbasis masyarakat. Upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak juga dilakukan


(10)

melalui program desa siaga dan ini merupakan salah satu upaya untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi dengan menjalin kerja sama lintas sektor yaitu swasta, pemerintah daerah dan masyarakat yang di wakili oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal yang ada di Aceh Utara. Adapun beberapa lembaga yang menjadi mitra PT.EMOI selama ini selain pemerintah daerah, antara lain LSM Internasional JHPIEGO (International Health Organization affiliated to John Hopkins University), Microsoft Foundation, Lembaga Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC) dan LSM lokal Bumoe Malikusaleh.

Berdasarkan Corporate Citizen Report, selama tahun 2012 PT. EMOI sudah mengalokasikan dana CSR khusus kesehatan di seluruh dunia sebesar $.25 Juta atau berkisar Rp 300 Milyar, sedangkan alokasi dana CSR kesehatan untuk seluruh Indonesia sekitar Rp 7 Milyar termasuk Kabupaten Aceh Utara yaitu sebesar Rp 3 Milyar. Alokasi anggaran kesehatan yang ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Utara pada tahun 2013 berjumlah Rp 137,3 Miliyar dari total APBK Aceh Utara yang berjumlah Rp 1,576 Triliun. Walaupun 70% dari total anggaran sudah di alokasikan untuk pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan program kesehatan namun derajat kesehatan masyarakat di Aceh Utara masih tergolong rendah di bandingkan kabupaten lainnya di propinsi Aceh.

Sebagian masyarakat di kabupaten Aceh Utara merasakan dampak adanya kemitraan Dinas Kesehatan dengan PT. EMOI yaitu akses masyarakat sangat mudah


(11)

untuk mendapatkan pelayanan sarana kesehatan secara langsung khususnya bagi masyarakat yang menderita gangguan kejiwaan dan penyakit paru karena lokasinya yang berdekatan dengan tempat tinggal masyarakat. Selain itu bagi tenaga kesehatan khususnya bidan diberikan pelatihan Asuhan Persalinan Normal (APN) untuk penguatan skill dan ketrampilannya. Masyarakat juga dilibatkan untuk berperan serta dalam mendukung upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak melalui pelatihan kader desa siaga agar mampu melakukan pendataan dan pencatatan ibu hamil, menyiapkan transportasi desa, melakukan pengecekan golongan darah dan membantu warga dalam menyiapkan sistem pendanaan secara bersama-sama dalam menangani pembiayaan persalinan bagi masyarakat yang kurang mampu. Upaya tersebut ternyata belum mampu memberikan dampak yang luas bagi seluruh masyarakat di Kabupaten Aceh Utara untuk meningkatkan derajat kesehatan setinggi-tingginya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 027 tahun 2012 tentang Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan (PDBK), Aceh Utara termasuk salah satu dari 15 Kab/Kota di Propinsi Aceh yang termasuk dalam kategori Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK). Hal ini berdasarkan dari penilain Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) dan Pendataan Status Ekonomi (PSE). Data menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Aceh tahun 2012 adalah 71,70 dan masih berada dibawah IPM Indonesia yaitu 72,27, sedangkan IPM kabupaten Aceh Utara adalah 69,52. Angka kemiskinan di Aceh Utara juga tergolong


(12)

tinggi yaitu 23,43 % dibandingkan dengan angka kemiskinan Aceh 20,98 % (BPS Aceh, 2012).

Angka kesakitan di Aceh juga tergolong tinggi yaitu 35,09% dibandingkan dengan angka kesakitan Indonesia yaitu 30,97%, selain itu angka kematian bayi di Aceh saat ini adalah 35/1000 KH sedangkan di Aceh Utara adalah 85/1000 KH. Angka kematian ibu di Provinsi Aceh juga masih tinggi yaitu 238/100.000 LH dibandingkan angka kematian ibu secara nasional yaitu 228/100.000 LH (Profil Kesehatan Provinsi Aceh, 2012).

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memberikan kewenangan kepada Dinas Kesehatan kabupaten/kota dalam proses penyusunan rencana strategis kesehatan daerah maupun penguatan kapasitas dan ketersediaan Sumber Daya Manusia di bidang kesehatan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Dinas Kesehatan Aceh Utara merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebagai unsur pelaksana Pemerintah Aceh di bidang kesehatan yang mempunyai tanggung jawab melaksanakan tugas umum pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat sesuai dengan peraturan perundangan, serta memiliki fungsi yang salah satunya adalah melaksanakan hubungan kerjasama dengan instansi pemerintah, swasta/BUMN dan organisasi kemasyarakatan (Qanun Aceh Utara, 2008).

Menurut Bergstrom (1996) dalam Jacob (2003) salah satu tingkatan dalam pelaksanaan kemitraan adalah kerjasama. Ada 5 (lima) tingkatan dalam upaya


(13)

pelaksanaan kemitraan yaitu ; (1) upaya menciptakan jaringan kerja (networking), (2) kerjasama (cooperation), (3) koordinasi (coordination), (4) koalisi (coalition) dan (5) kolaborasi (collaboration). Pelaksanaan kemitraan yang dijalankan oleh Dinas Kesehatan Aceh Utara selama ini khususnya dalam menjalin kerjasama dengan pihak swasta ataupun masyarakat masih sangat minim, hal ini terlihat dari tidak adanya pertemuan dan koordinasi yang dilakukan baik dengan pihak pihak swasta ataupun masyarakat, khususnya pada saat akan melakukan perencanaan program kesehatan. Kegiatan Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan (Musrenbang) baik di tingkat kecamatan atau kabupaten belum melibatkan berbagai sektor khususnya pihak swasta sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya tumpang tindih kegiatan dan program yang dilakukan terkadang menjadi kurang tepat sasaran.

Dinas Kesehatan Aceh Utara dalam upaya membangun kemitraan belum menunjukkan kontribusi yang positif untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan masyarakat di Aceh Utara, sehingga secara keseluruhan peningkatan terhadap derajat kesehatan masyarakat belum tercapai. Hal tersebut diduga terjadi karena selama ini tidak adanya tim atau kelompok kerja (Pokja) khusus yang mengkoordinir tentang pemanfaatan dan pengelolaan dana CSR di tingkat kabupaten. Pola pikir pemerintah kabupaten dalam melaksanakan kemitraan juga belum terbangun secara baik. Tidak adanya suatu model sistem kemitraan yang dijadikan acuan dalam menjalin hubungan antara pemerintah kabupaten dengan perusahaan. Dampak positif terhadap pencapaian tujuan pembangunan kesehatan belum terlihat apabila dibandingkan


(14)

dengan data-data diatas. Keterlibatan stakeholders dalam upaya pembangunan kesehatan juga belum optimal dilakukan. Berdasarkan kondisi yang dikemukakan di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti sistem kemitraan Dinas Kesehatan dengan PT.Exxon Mobil Indonesia terhadap pemanfaatan dana CSR bidang kesehatan di kabupaten Aceh Utara tahun 2013.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan dalam penelitian ini adalah “bagaimana pelaksanaan sistem kemitraan Dinas Kesehatan dengan PT.Exxon Mobil Indonesia terhadap pemanfaatan dana CSR bidang kesehatan di Kabupaten Aceh Utara tahun 2013”.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk menganalisis pelaksanaan sistem kemitraan Dinas Kesehatan dengan PT.Exxon Mobil Indonesia terhadap pemanfaatan dana CSR bidang kesehatan di Kabupaten Aceh Utara tahun 2013.

2. Memberikan rekomendasi model sistem kemitraan yang sesuai dengan karakteristik dan kondisi organisasi/masyarakat setempat kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara.


(15)

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai masukan bagi Dinas Kesehatan Aceh Utara dalam memanfaatkan dana CSR bidang kesehatan yang tepat sasaran dan berdampak positif bagi masyarakat melalui pelaksanaan sistem kemitraan yang sinergis dengan perusahaan swasta. 2. Sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya.


(1)

melalui program desa siaga dan ini merupakan salah satu upaya untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi dengan menjalin kerja sama lintas sektor yaitu swasta, pemerintah daerah dan masyarakat yang di wakili oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal yang ada di Aceh Utara. Adapun beberapa lembaga yang menjadi mitra PT.EMOI selama ini selain pemerintah daerah, antara lain LSM Internasional JHPIEGO (International Health Organization affiliated to John Hopkins University), Microsoft Foundation, Lembaga Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC) dan LSM lokal Bumoe Malikusaleh.

Berdasarkan Corporate Citizen Report, selama tahun 2012 PT. EMOI sudah mengalokasikan dana CSR khusus kesehatan di seluruh dunia sebesar $.25 Juta atau berkisar Rp 300 Milyar, sedangkan alokasi dana CSR kesehatan untuk seluruh Indonesia sekitar Rp 7 Milyar termasuk Kabupaten Aceh Utara yaitu sebesar Rp 3 Milyar. Alokasi anggaran kesehatan yang ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Utara pada tahun 2013 berjumlah Rp 137,3 Miliyar dari total APBK Aceh Utara yang berjumlah Rp 1,576 Triliun. Walaupun 70% dari total anggaran sudah di alokasikan untuk pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan program kesehatan namun derajat kesehatan masyarakat di Aceh Utara masih tergolong rendah di bandingkan kabupaten lainnya di propinsi Aceh.

Sebagian masyarakat di kabupaten Aceh Utara merasakan dampak adanya kemitraan Dinas Kesehatan dengan PT. EMOI yaitu akses masyarakat sangat mudah


(2)

untuk mendapatkan pelayanan sarana kesehatan secara langsung khususnya bagi masyarakat yang menderita gangguan kejiwaan dan penyakit paru karena lokasinya yang berdekatan dengan tempat tinggal masyarakat. Selain itu bagi tenaga kesehatan khususnya bidan diberikan pelatihan Asuhan Persalinan Normal (APN) untuk penguatan skill dan ketrampilannya. Masyarakat juga dilibatkan untuk berperan serta dalam mendukung upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak melalui pelatihan kader desa siaga agar mampu melakukan pendataan dan pencatatan ibu hamil, menyiapkan transportasi desa, melakukan pengecekan golongan darah dan membantu warga dalam menyiapkan sistem pendanaan secara bersama-sama dalam menangani pembiayaan persalinan bagi masyarakat yang kurang mampu. Upaya tersebut ternyata belum mampu memberikan dampak yang luas bagi seluruh masyarakat di Kabupaten Aceh Utara untuk meningkatkan derajat kesehatan setinggi-tingginya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 027 tahun 2012 tentang Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan (PDBK), Aceh Utara termasuk salah satu dari 15 Kab/Kota di Propinsi Aceh yang termasuk dalam kategori Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK). Hal ini berdasarkan dari penilain Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) dan Pendataan Status Ekonomi (PSE). Data menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Aceh tahun 2012 adalah 71,70 dan masih berada dibawah IPM Indonesia yaitu 72,27, sedangkan IPM kabupaten Aceh Utara adalah 69,52. Angka kemiskinan di Aceh Utara juga tergolong


(3)

tinggi yaitu 23,43 % dibandingkan dengan angka kemiskinan Aceh 20,98 % (BPS Aceh, 2012).

Angka kesakitan di Aceh juga tergolong tinggi yaitu 35,09% dibandingkan dengan angka kesakitan Indonesia yaitu 30,97%, selain itu angka kematian bayi di Aceh saat ini adalah 35/1000 KH sedangkan di Aceh Utara adalah 85/1000 KH. Angka kematian ibu di Provinsi Aceh juga masih tinggi yaitu 238/100.000 LH dibandingkan angka kematian ibu secara nasional yaitu 228/100.000 LH (Profil Kesehatan Provinsi Aceh, 2012).

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memberikan kewenangan kepada Dinas Kesehatan kabupaten/kota dalam proses penyusunan rencana strategis kesehatan daerah maupun penguatan kapasitas dan ketersediaan Sumber Daya Manusia di bidang kesehatan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Dinas Kesehatan Aceh Utara merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebagai unsur pelaksana Pemerintah Aceh di bidang kesehatan yang mempunyai tanggung jawab melaksanakan tugas umum pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat sesuai dengan peraturan perundangan, serta memiliki fungsi yang salah satunya adalah melaksanakan hubungan kerjasama dengan instansi pemerintah, swasta/BUMN dan organisasi kemasyarakatan (Qanun Aceh Utara, 2008).

Menurut Bergstrom (1996) dalam Jacob (2003) salah satu tingkatan dalam pelaksanaan kemitraan adalah kerjasama. Ada 5 (lima) tingkatan dalam upaya


(4)

pelaksanaan kemitraan yaitu ; (1) upaya menciptakan jaringan kerja (networking), (2) kerjasama (cooperation), (3) koordinasi (coordination), (4) koalisi (coalition) dan (5) kolaborasi (collaboration). Pelaksanaan kemitraan yang dijalankan oleh Dinas Kesehatan Aceh Utara selama ini khususnya dalam menjalin kerjasama dengan pihak swasta ataupun masyarakat masih sangat minim, hal ini terlihat dari tidak adanya pertemuan dan koordinasi yang dilakukan baik dengan pihak pihak swasta ataupun masyarakat, khususnya pada saat akan melakukan perencanaan program kesehatan. Kegiatan Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan (Musrenbang) baik di tingkat kecamatan atau kabupaten belum melibatkan berbagai sektor khususnya pihak swasta sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya tumpang tindih kegiatan dan program yang dilakukan terkadang menjadi kurang tepat sasaran.

Dinas Kesehatan Aceh Utara dalam upaya membangun kemitraan belum menunjukkan kontribusi yang positif untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan masyarakat di Aceh Utara, sehingga secara keseluruhan peningkatan terhadap derajat kesehatan masyarakat belum tercapai. Hal tersebut diduga terjadi karena selama ini tidak adanya tim atau kelompok kerja (Pokja) khusus yang mengkoordinir tentang pemanfaatan dan pengelolaan dana CSR di tingkat kabupaten. Pola pikir pemerintah kabupaten dalam melaksanakan kemitraan juga belum terbangun secara baik. Tidak adanya suatu model sistem kemitraan yang dijadikan acuan dalam menjalin hubungan antara pemerintah kabupaten dengan perusahaan. Dampak positif terhadap pencapaian tujuan pembangunan kesehatan belum terlihat apabila dibandingkan


(5)

dengan data-data diatas. Keterlibatan stakeholders dalam upaya pembangunan kesehatan juga belum optimal dilakukan. Berdasarkan kondisi yang dikemukakan di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti sistem kemitraan Dinas Kesehatan dengan PT.Exxon Mobil Indonesia terhadap pemanfaatan dana CSR bidang kesehatan di kabupaten Aceh Utara tahun 2013.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan dalam penelitian ini adalah “bagaimana pelaksanaan sistem kemitraan Dinas Kesehatan dengan PT.Exxon Mobil Indonesia terhadap pemanfaatan dana CSR bidang kesehatan di Kabupaten Aceh Utara tahun 2013”.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk menganalisis pelaksanaan sistem kemitraan Dinas Kesehatan dengan PT.Exxon Mobil Indonesia terhadap pemanfaatan dana CSR bidang kesehatan di Kabupaten Aceh Utara tahun 2013.

2. Memberikan rekomendasi model sistem kemitraan yang sesuai dengan karakteristik dan kondisi organisasi/masyarakat setempat kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara.


(6)

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai masukan bagi Dinas Kesehatan Aceh Utara dalam memanfaatkan dana CSR bidang kesehatan yang tepat sasaran dan berdampak positif bagi masyarakat melalui pelaksanaan sistem kemitraan yang sinergis dengan perusahaan swasta. 2. Sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Good Corporate Governance dan Corporate Social Responsibility Terhadap Tindakan Pajak Agresif Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2011 -2013

48 518 89

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) pada Perusahaan Manufaktur dan Pertambangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2011-2013

14 170 107

Pengaruh Corporate Social Performance Terhadap Corporate Financial PerformanceStudi Empiris Pada perusahaanyang terdaftar di National Center forSustainability Reporting 2010-2013

0 60 117

Pengaruh Sikap Konsumen Tentang Penerapan Program Corporate Social Responsibility (CSR) Terhadap Loyalitas konsumen Pesta Gigi Pepsodent Pada Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

0 30 128

Analisis Sistem Kemitraan Dinas Kesehatan dengan PT.Exxon Mobil Indonesia terhadap Pemanfaatan Dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bidang Kesehatan di Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013

4 147 145

Analisis Sistem Kemitraan Dinas Kesehatan dengan PT.Exxon Mobil Indonesia terhadap Pemanfaatan Dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bidang Kesehatan di Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013

0 0 17

Analisis Sistem Kemitraan Dinas Kesehatan dengan PT.Exxon Mobil Indonesia terhadap Pemanfaatan Dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bidang Kesehatan di Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013

0 0 2

Analisis Sistem Kemitraan Dinas Kesehatan dengan PT.Exxon Mobil Indonesia terhadap Pemanfaatan Dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bidang Kesehatan di Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013

1 6 30

Analisis Sistem Kemitraan Dinas Kesehatan dengan PT.Exxon Mobil Indonesia terhadap Pemanfaatan Dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bidang Kesehatan di Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013

0 0 4

Analisis Sistem Kemitraan Dinas Kesehatan dengan PT.Exxon Mobil Indonesia terhadap Pemanfaatan Dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bidang Kesehatan di Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013

0 0 2