Perbedaan Persepsi Mahasiswa Akuntansi Senior dan Junior di Program S-1 Akuntansi FEB USU dan Mahasiswa Swasta STIE Harapan Medan Mengenai Profesi Akuntan

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Persepsi

2.1.1 Pengertian Persepsi

Menurut Rakhmat (2000:49) “persepsi ialah proses pemberian makna pada sensasi sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru. Dengan kata lain, persepsi mengubah sensasi menjadi informasi”.

Persepsi (dari bahasa Latin perceptio, percipio) adalah tindakan menyusun, mengenali, dan menafsirkan informasi sensoris guna memberikan gambaran dan pemahaman tentang lingkungan. Persepsi meliputi semua sinyal dalam organ pengindra. Seperti misalnya penglihatan yang merupakan cahaya yang mengenai retina pada mata, pencium yang memakai media molekul bau (aroma), dan pendengaran yang melibatka penerimaan isyarat secara pasif, tetapi dibentuk oleh pembelajaran, ingatan, harapan, dan perhatian. Persepsi bergantung pada fungsi kompleks sistem saraf, tetapi tampak tidak ada karena terjadi di luar kesadaran.

Sejak ditemukannya psikologi eksperimen pada abad ke-19, pemahaman psikologi terhadap persepsi telah berkembang melalui penggabungan berbagai teknik. Dalam bidang psikofisika telah dijelaskan secara kuantitatif hubungan antara sifat-sifat fisika dari suatu rangsangan dan persepsi mempelajari tentang mekanisme otak yang mendasari persepsi. Sistem persepsi


(2)

juga bisa dipelajari melalui komputasi, dari informasi yang diproses oleh sistem tersebut. Persepsi dalam suara, aroma, atau warna ada dalam realitas objektif, bukan dalam pikiran perseptor.

Walgito (1993) mengemukakan bahwa persepsi seseorang merupakan proses aktif yang memegang peranan, bukan hanya stimulus yang mengenainya tetapi juga individu sebagai satu kesatuan dengan pengalaman-pengalamannya, motivasi serta sikapnya yang relevan dalam menanggapi stimulus. Individu dalam hubungannya dengan dunia luar selalu melakukan pengamatan untuk dapat mengartikan rangsangan yang diterima dan alat indera dipergunakan sebagai penghubungan antara individu dengan dunia luar. Agar proses pengamatan itu terjadi, maka diperlukan objek yang diamati alat indera yang cukup baik dan perhatian merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam mengadakan pengamatan. Persepsi dalam arti umum adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu yang akan membuat respon bagaimana dan dengan apa seseorang akan bertindak.

Berdasarkan dari landasan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud persepsi adalah sesuatu yang menyangkut hubungan manusia dengan lingkungannya, bagaimana orang yang bersangkutan mengerti dan dapat menginterprestasikan stimulus yang ada di lingkungan, kemudian orang tersebut memproses hasil penginderaannya itu sehingga timbullah makna tentang obyek pada dirinya. Persepsi juga dapat diartikan sebagai suatu proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan


(3)

informasi dan pengalaman-pengalaman yang ada dan kemudian menafsirkannya untuk menciptakan keseluruhan gambaran yang berarti.

Untuk persepsi mahasiswa akuntansi pada penelitian ini, penulis berpedoman dari persepsi yang berkaitan dengan profesi akuntan dengan menggunakan Accountant Attitude Scale (AAS) yang dikembangkan oleh Nelson dari aspek/dimensi:

a. Akuntan Sebagai Profesi.

Bidang akuntansi melahirkan profesi akuntan profesional. Profesi ini lahir karena anggapan bahwa penyaji laporan keuangan yang tidak akan dapat berlaku adil dan objektif dalam melaporkan hasil prestasinya. Oleh karena itu diperlukan pihak independen yang dapat menilai seberapa jauh laporan yang disusun manajemen sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang ada.

b. Akuntansi Sebagai Bidang Ilmu.

Disiplin ilmu sebagai suatu cabang ilmu, akuntansi mempelajari proses penyusunan dan pelaporan informasi akuntansi yang ditujukan bagi pihak-pihak yang membutuhkan sebagai dasar pengambilan keputusan.

2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi

Faktor-faktor yang memengaruhi persepsi bisa terletak dalam diri pembentuk persepsi, dalam diri objek atau target yang diartikan, atau dalam konteks situasi di mana persepsi tersebut dibuat. Asumsi yang didasarkan pada pengalaman masa lalu dan persepsi-persepsi yang dipengaruhi oleh asumsi-asumsi yang didasarkan pada pengalaman masa lalu.


(4)

Faktor yang mempengaruhi persepsi antara lain harapan pengalaman masa lalu, dan keadaan psikologis yang mana menciptakan kumpulan perseptual. Selain hal tersebut masih ada beberapa hal yang mempengaruhi persepsi, yaitu:

a. Yang paling berpengaruh terhadap persepsi adalah perhatian, karena perhatian adalah proses mental ketika stimulus atau rangkaian stimulus menjadi menonjol dalam kesadaran, pada saat stimulus lainya melemah. Dalam stimulus mempunyai sifat-sifat yang menonjol, antara lain intensitas dan pengulangan. Apabila seseorang melihat sesuatu dan berusaha memberikan interpretasi tentang apa yang dilihatnya itu, ia dipengaruhi oleh karateristik individual yang turut berpengaruh seperti sikap kepentingan, minat, kebutuhan, pengalaman, harapan dan kepribadian.

b. Stimulus yang berupa obyek maupun peristiwa tertentu. Stimulus yang dimaksud mungkin berupa orang, benda atau peristiwa. Sifat-sifat sasaran itu biasanya berpengaruh terhadap persepsi orang yang melihatnya.

c. Faktor situasi dimana pembentukan persepsi itu terjadi baik tempat, waktu, suasana dan lain-lain.

Dijelaskan oleh Robbins (2002) bahwa meskipun individu-individu memandang pada satu benda yang sama, mereka dapat mempersepsikannya berbeda-beda. Ada sejumlah faktor yang bekerja untuk membentuk dan terkadang memutar-balikkan persepsi, yaitu:


(5)

1. Pelaku persepsi (perceiver)

2. Objek atau yang dipersepsikan

3. Konteks dari situasi dimana persepsi itu dilakukan

Berbeda dengan persepsi terhadap benda mati seperti meja, mesin atau gedung, persepsi terhadap individu adalah kesimpulan yang berdasarkan tindakan orang tersebut. Persepsi dan penilaian individu terhadap seseorang akan cukup banyak dipengaruhi oleh pengandaian-pengadaian yang diambil mengenai keadaan internal orang itu (Robbins, 2002).

Persepsi individu dipengaruhi oleh faktor fungsional dan struktural. Faktor fungsional ialah faktor-faktor yang bersifat personal. Misalnya kebutuhan individu, usia, pengalaman masa lalu, kepribadian, jenis kelamin, dan hal-hal lain yang bersifat subjektif. Faktor struktural adalah faktor di luar individu, misalnya lingkungan, budaya, dan norma sosial sangat berpengaruh terhadap seseorang dalam mempresepsikan sesuatu.

Dalam Jalaludin Rahmat(2000:55) faktor-faktor yang menentukan persepsi dibagi menjadi dua yaitu :

1. Faktor Fungsional

Faktor fungsional adalah faktor yang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk apa yang kita sebut sebagai


(6)

faktor-faktor personal. Faktor fungsional yang menentukan persepsi adalah obyek-obyek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi.

2. Faktor Struktural

Faktor struktural adalah faktor-faktor yang berasal semata-mata dari sifat stimulus fisik terhadap efek-efek syaraf yang ditimbulkan pada sistem saraf individu. Faktor-faktor struktural yang menentukan persepsi menurut teori Gestalt bila kita ingin memahami suatu peristiwa kita tidak dapat meneliti faktor-faktor yang terpisah tetapi memandangnya dalam hubungan keseluruhan. Tertarik tidaknya individu untuk memperhatikan stimulus dipengaruhi oleh dua faktor yaitu:

a. Faktor eksternal

1) Gerakan, seperti organisme lain, bahwa manusia secara visual tertarik pada obyek-obyek yang bergerak. Contohnya kita senang melihat huruf dalam display yang bergerak menampilkan nama barang yang diiklankan.

2) Intensitas stimuli, dimana kita akan memperhatikan stimuli yang lebih menonjol dari stimuli yang lain.

3) Kebaruan, bahwa hal-hal baru, yang luar biasa, yang berbeda akan lebih menarik perhatian.


(7)

4) Perulangan, hal-hal yang disajikan berkali-kali, bila disertai dengan sedikit variasi, akan menarik perhatian. Perulangan juga mengandung unsur sugesti yang mempengaruhi bawah sadar kita.

b. Faktor internal

1) Kebiasaan, kecenderungan untuk mempertahankan pola berpikir tertentu, atau melihat masalah hanya dari satu sisi saja, atau kepercayaan yang berlebihan dan tanpa kritis pada pendapat otoritas. 2) Minat, suatu kondisi yang terjadi apabila seseorang melihat ciri-ciri

atau arti sementara situasi yang dihubungkan dengan keinginan-keinginan atau kebutuhannya sendiri.

3) Emosi, sebagai manusia yang utuh, kita tidak dapat mengesampingkan emosi, walaupun emosi bukan hambatan utama. Tetapi bila emosi itu sudah mencapai intensitas yang begitu tinggi akan mengakibatkan stress, yang menyebabkan sulit berpikir efisien.

4) Keadaan biologis, misalnya keadaan lapar, maka seluruh pikiran didominasi oleh makanan. Sedangkan bagi orang yang kenyang akan menaruh perhatian pada hal-hal lain. Kebutuhan biologis menyebabkan persepsi yang berbeda.

Dari uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa persepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal, yaitu faktor pemersepsi (perceiver), obyek yang dipersepsi dan konteks situasi dimana persepsi dilakukan.


(8)

2.1.3 Jenis-jenis persepsi

Proses pemahaman terhadap rangsang at menyebabkan persepsi terbagi menjadi beberapa jenis

1. Persepsi visual

Persepsi visual didapatkan dari persepsi yang paling awal. Persepsi visual merupakan topik utama dari bahasan persepsi secara umum, sekaligus persepsi yang biasanya paling sering dibicarakan dalam konteks sehari-hari. Persepsi visual merupakan hasil dari apa yang kita lihat baik sebelum kita melihat atau masih membayangkan dan sesudah melakukan pada objek yang dituju.

2. Persepsi auditori

Persepsi auditori didapatkan dari indera

3. Persepsi perabaan

Persepsi pengerabaan didapatkan dari indera 4. Persepsi penciuman

Persepsi penciuman atau olfaktori didapatkan dari indera hidung.

5. Persepsi pengecapan

Persepsi pengecapan atau rasa didapatkan dari inder lidah.


(9)

2.1.4 Proses Persepsi

Dalam Walgito (1993) menyatakan bahwa proses terjadinya persepsi merupakan suatu yang terjadi dalam tahap-tahap berikut:

1. Tahap pertama

Merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses kealaman atau proses fisik, merupakan proses ditangkapnya suatu stimulus oleh alat indera manusia.

2. Tahap kedua

Merupakan tahap yang dikenal dengan proses fisiologis, merupakan proses diteruskannya stimulus yang diterima oleh reseptor (alat indera) melalui saraf-saraf sensoris.

3. Tahap ketiga

Merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses psikologik, merupakan proses timbulnya kesadaran individu tentang stimulus yang diterima reseptor.

4. Tahap keempat

Merupakan hasil yang diperoleh dari proses persepsi yaitu berupa tanggapan dan perilaku.


(10)

Berdasarkan pendapat para ahli yang telah dikemukakan, bahwa proses persepsi melalui tiga tahap, yaitu:

1. Tahap penerimaan stimulus, baik stimulus fisik maupun stimulus sosial melalui alat indera manusia, yang dalam proses ini mencakup pula pengenalan dan pengumpulan informasi tentang stimulus yang ada.

2. Tahap pengolahan stimulus sosial melalui proses seleksi serta pengorganisasian informasi.

3. Tahap perubahan stimulus yang diterima individu dalam menanggapi lingkungan melalui proses kognisi yang dipengaruhi oleh pengalaman, cakrawala, serta pengetahuan individu.

2.1.5 Aspek-aspek Persepsi

Pada hakekatnya sikap adalah merupakan suatu interelasi dari berbagai komponen, dimana komponen-komponen tersebut dalam Mar’at (1991) ada tiga yaitu:

1. Komponen kognitif

Yaitu komponen yang tersusun atas dasar pengetahuan atau informasi yang dimiliki seseorang tentang obyek sikapnya. Dari pengetahuan ini kemudian akan terbentuk suatu keyakinan tertentu tentang obyek sikap tersebut.


(11)

2. Komponen Afektif

Afektif berhubungan dengan rasa senang dan tidak senang. Jadi sifatnya evaluatif yang berhubungan erat dengan nilai-nilai kebudayaan atau sistem nilai yang dimilikinya.

3. Komponen Konatif

Yaitu merupakan kesiapan seseorang untuk bertingkah laku yang berhubungan dengan obyek sikapnya.

Baron dan Byrne, juga Myers (dalam Gerungan, 1996) menyatakan bahwa sikap itu mengandung tiga komponen yang membentuk struktur sikap, yaitu:

1. Komponen kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap objek sikap.

2. Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang negatif.

3. Komponen konatif (komponen perilaku, atau action component), yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar


(12)

kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap.

(Walgito, 1993) memberikan pengertian bahwa dalam persepsi terkandung komponen kognitif dan juga komponen konatif, yaitu sikap untuk merespons dan untuk berperilaku. Ini berarti bahwa sikap berkaitan dengan perilaku, sikap merupakan predisposisi untuk berbuat atau berperilaku.

Dari bahasan ini juga dapat dikemukakan bahwa persepsi mengandung komponen kognitif, komponen afektif, dan juga komponen konatif, yaitu merupakan kesediaan untuk bertindak atau berperilaku. Sikap seseorang pada suatu obyek merupakan komponen yang saling berinteraksi untuk memahami, merasakan dan berperilaku terhadap obyek sikap. Ketiga komponen itu saling berinteraksi dan konsisten satu dengan lainnya. Jadi, terdapat pengorganisasian secara internal diantara ketiga komponen tersebut.

2.2 Mahasiswa Akuntansi

Pengertian mahasiswa dalam peraturan pemerintah RI No.30 tahun 1990 adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu. Menurut Sarwono (1978) mahasiswa adalah setiap orang yang secara resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan batas usia sekitar 18-30 tahun.

Pengertian Mahasiswa menurut Knopfemacher (dalam Suwono, 1978) adalah merupakan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan


(13)

tinggi (yang makin menyatu dengan masyarakat), dididik dan di harapkan menjadi calon-calon intelektual.

Dari pendapat di atas bisa dijelaskan bahwa mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena hubungannya dengan perguruan tinggi yang diharapkan menjadi calon-calon intelektual.

Akuntansi adalah seni pencatatan dan pengikhtisaran transaksi keuangan dan penafsiran akibat suatu transaksi terhadap suatu kesatuan ekonomi. Jadi yang dimaksud dengan mahasiswa akuntansi dalam penelitian ini adalah mahasiswa jurusan akuntansi yang sedang belajar/telah menempuh mata kuliah pengantar akuntansi untuk mahasiswa semester awal/junior, dan yang sedang/telah menempuh mata kuliah pengantar akuntansi dan auditing untuk mahasiswa semester akhir/senior. Persyaratan ini didasarkan pada asumsi bahwa para mahasiswa akuntansi untuk mahasiswa semester akhir/senior telah mempunyai pemahaman tentang prinsip - prinsip etika dalam Kode Etik IAI. Dan mahasiswa swasta STIE Harapan Medan.

2.3 Profesi

2.3.1 Pengertian Profesi

Schein, E.H (1962) “Profesi adalah suatu kumpulan atau set pekerjaan yang membangun suatu set norma yang sangat khusus yang berasal dari perannya yang khusus di masyarakat”.


(14)

Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dan sebagainya)”.

Siti Nafsiah, “Profesi adalah suatu pekerjaan yang dikerjakan sebagai sarana untuk mencari nafkah hidup sekaligus sebagai sarana untuk mengabdi kepada kepentingan orang lain (orang banyak) yang harus diiringi pula dengan keahlian, keterampilan, profesionalisme, dan tanggung jawab”.

Good’s Dictionary of Education mendefinisikan “profesi sebagai “suatu pekerjaan yang meminta persiapan spesialisasi yang relatif lama di Perguruan Tinggi dan dikuasai oleh suatu kode etik yang khusus”. Dalam pandangan Vollmer seorang ahli sosiologi melihat makna profesi dari tinjauan sosiologis. Ia mengemukakan bahwa “profesi menunjuk kepada suatu kelompok pekerjaan dari jenis yang ideal, yang sebenarnya tidak ada dalam kenyataan, tetapi menyediakan suatu model status pekerjaan yang bisa diperoleh bila pekerjaan itu telah mencapai profesionalisasi dengan penuh”.

Dapat disimpulkan bahwa profesi merupakan suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian atau keterampilan dari pelakunya. Biasanya sebutan “profesi” selalu dikaitkan dengan pekerjaan atau jabatan yang dipegang oleh seseorang, akan tetapi tidak semua pekerjaan atau jabatan dapat disebut profesi karena profesi menuntut keahlian para pemangkunya. Hal ini mengandung arti bahwa suatu pekerjaan atau jabatan yang disebut profesi tidak dapat dipegang oleh sembarang orang, akan tetapi memerlukan suatu persiapan melalui pendidikan dan pelatihan yang dikembangkan khusus untuk itu. Pekerjaan tidak


(15)

sama dengan profesi. sebuah profesi sudah pasti menjadi sebuah pekerjaan, namun sebuah pekerjaan belum tentu menjadi sebuah profesi. Profesi memiliki mekanisme serta aturan yang harus dipenuhi sebagai suatu ketentuan, sedangkan kebalikannya, pekerjaan tidak memiliki aturan yang rumit seperti itu. Hal inilah yang harus diluruskan di masyarakat, karena hampir semua orang menganggap bahwa pekerjaan dan profesi adalah sama.

Secara terminologis, definisi profesi banyak diungkap secara berbeda-beda, tetapi untuk melengkapi definisi tersebut, berikut ini tulisan Muchtar Luthfi, yang dikutip dan disempurnakan Ahmad Tafsir, bahwa disebut profesi bila memenuhi 10 kriteria, yaitu:

1. Profesi harus memiliki keahlian khusus. Keahlian itu tidak dimiliki oleh profesi lain. Artinya, profesi itu mesti ditandai oleh adanya suatu keahlian yang khusus untuk profesi itu. Keahlian itu diperoleh dengan mempelajarinya secara khusus dan profesi itu bukan diwarisi.

2. Profesi dipilih karena panggilan hidup dan dijalani sepenuh waktu. Profesi dipilih karena dirasakan sebagai kewajiban. Sepenuh waktu maksudnya bukan part-time. Sebagai panggilan hidup, maksudnya profesi itu dipilih karena dirasakan itulah panggilan hidupnya, artinya itulah lapangan pengabdiannya.

3. Profesi memiliki teori-teori yang baku secara universal. Artinya, profesi ini dijalani menurut aturan yang jelas, dikenal umum, teorinya terbuka. Secara universal pegangannya diakui.


(16)

4. Profesi adalah untuk masyarakat, bukan untuk dirinya sendiri. Profesi merupakan alat dalam mengabdikan diri kepada masyarakat bukan untuk kepentingan diri sendiri, seperti untuk mengumpulkan uang atau mengejar kedudukan. Jadi profesi merupakan panggilan hidup.

5. Profesi harus dilengkapi kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif. Kecakapan dan kompetensi ini diperlukan untuk meyakinkan peran profesi itu terhadap kliennya.

6. Pemegang profesi memiliki otonomi dalam menjalankan tugas profesinya. Otonomi ini hanya dapat dan boleh diuji oleh rekan-rekan seprofesinya. Tidak boleh semua orang bicara dalam semua bidang.

7. Profesi hendaknya mempunyai kode etik, ini disebut kode etik profesi. Gunanya ialah untuk dijadikan sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas profesi. Kode etik ini tidak akan bermanfaat bila tidak diakui oleh pemegang profesi dan juga masyarakat.

8. Profesi harus mempunyai klien yang jelas yaitu orang yang dilayani.

9. Profesi memerlukan organisasi untuk keperluan meningkatkan kualitas profesi itu.

10.Mengenali hubungan profesinya dengan bidang-bidang lain. Sebenarnya tidak ada aspek kehidupan yang hanya ditangani oleh satu profesi. Hal ini mendorong seseorang memiliki spesialisasi.


(17)

2.3.2 Karakteristik Profesi

Profesi adalah pekerjaan, namun tidak semua pekerjaan adalah profesi. Profesi mempunyai karakteristik sendiri yang membedakannya dari pekerjaan lainnya. Karakteristik profesi:

1. Keterampilan yang berdasar pada pengetahuan teoretis: Profesional diasumsikan mempunyai pengetahuan teoretis yang ekstensif dan memiliki keterampilan yang berdasar pada dalam praktik.

2. Asosiasi profesional: Profesi biasanya memiliki badan yang diorganisasi oleh para anggotanya, yang dimaksudkan untuk meningkatkan status para anggotanya. khusus untuk menjadi anggotanya.

3. Pendidikan yang ekstensif: Profesi yang prestisius biasanya memerlukan

4. Ujian kompetensi: Sebelum memasuki organisasi profesional, biasanya ada persyaratan untuk lulus dari suatu tes yang menguji terutama pengetahuan teoretis.

5. Pelatihan institutional: Selain ujian, juga biasanya dipersyaratkan untuk mengikuti pelatihan istitusional dimana calon profesional mendapatkan pengalaman praktis sebelum menjadi anggota penuh organisasi. Peningkatan keterampilan melalui pengembangan profesional juga dipersyaratkan.


(18)

6. Lisensi: Profesi menetapkan syarat pendaftaran dan proses sertifikasi sehingga hanya mereka yang memiliki lisensi yang dianggap bisa dipercaya.

7. Otonomi kerja: Profesional cenderung mengendalikan kerja dan pengetahuan teoretis mereka agar terhindar adanya intervensi dari luar. 8. Kode etik: Organisasi profesi biasanya memiliki kode etik bagi para

anggotanya dan prosedur pendisiplinan bagi mereka yang melanggar aturan.

9. Mengatur diri: Organisasi profesi harus bisa mengatur organisasinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Profesional diatur oleh mereka yang lebih senior, praktisi yang dihormati, atau mereka yang berkualifikasi paling tinggi.

10.Layanan publik dan altruisme: Diperolehnya penghasilan dari kerja profesinya dapat dipertahankan selama berkaitan dengan kebutuhan publik, seperti layanan dokter berkontribusi terhadap kesehatan masyarakat.

11.Status dan imbalan yang tinggi: Profesi yang paling sukses akan meraih status yang tinggi, prestise, dan imbalan yang layak bagi para anggotanya. Hal tersebut bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap layanan yang mereka berikan bagi


(19)

2.3.3 Ciri-Ciri dan Prinsip Etika Profesi

Ciri-ciri profesi menurut Kiki Nugraha adalah:

• Memiliki pengetahuan khusus

• Adanya kaidah dan standar moral yang tinggi • Mengabdi kepada kepentingan orang banyak

• Memiliki izin khusus untuk menjalankan suatu profesi • Dihuni oleh orang yang profesional

Prinsip Etika Profesi menurut Ghilman Azim Nugraha:

1) Tanggung jawab: terhadap pelaksanaan pekerjaan dan hasilnya, termasuk dampaknya bagi kehidupan orang lain

2) Keadilan: mengandung nilai kapan, dimana, siapa saja wajib diberikan

3) Otonomi: kaum profesional memiliki dan diberi kebebasan dalam menjalankan profesinya

Syarat Suatu Profesi menurut Kiki Nugraha:

1.Melibatkan intelektual

2.Mengeluti satu batang tubuh yang khusus

3.Persiapan profesional yang alami bukan sekedar latihan


(20)

5.Menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen

6.Layanan umum di atas pribadi

7.Mempunyai

8.Menentukan standarnya sendiri seperti kode etik

2.4 Akuntan

2.4.1 Pengertian Akuntan

Akuntan adalah sebutan dan gelar profesional yang diberikan kepada seorang sarjana yang telah menempuh pendidikan di fakultass ekonomi jurusan akuntansi pada suatu universitas atau perguruan tinggi dan telah lulus Pendidikan Profesi Akuntansi (PPAk).

Profesi Akuntan dapat dibedakan menjadi 4 :

1. Akuntan Perusahaan (Internal) adalah akuntan yang bekerja pada suatu unit organisasi atau perusahaan. Akuntan ini disebut juga akuntan perusahaan atau akuntan manajemen. Jabatan tersebut dapat diduduki mulai dari staf biasa sampai dengan Kepala Bagian Keuangan atau Direktur Keuangan. Tugas akuntan perusahaan antara lain menyusun sistem akuntansi, menyusun laporan akuntansi untuk pihak luar perusahaan, menyusun anggaran dan menangani masalah pajak.

2. Akuntan Publik (Eksternal) adalah akuntan yang bekerja memberikan layanan kepada masyarakat yang memerlukan jasa akuntan. Tugas akuntan


(21)

publik antara lain pemerikasaan laporan keuangan, penyusunan sistem akuntansi, penyusunan laporan keuangan untuk kepentingan perpajakan dan konsultasi manajemen.

3. Akuntan Pemerintah adalah akuntan yang bekerja pada lembaga-lembaga pemerintahan. Tugas akuntan pemerintah antara lain pemeriksaan dan pengawasan terhadap aliran keuangan negara, melakukan perancangan sistem akuntansi untuk pemerintah.

4. Akuntan Pendidik adalah akuntan yang bekerja pada lembaga pendidikan. Tugas akuntan pendidik antara lain menyusun kurikulum pendidikan akuntansi, mengajar akuntansi di berbagai lembaga pendidikan dan melakukan penelitian untuk pengembangan ilmu akuntansi.

2.4.2 Tujuan Profesi Akuntan

Tujuan profesi akuntan adalah memenuhi tanggungjawabnya dengan standar profesionalisme tertinggi, mencapai tingkat kinerja tertinggi, dengan orientasi kepada kepentingan publik. Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat empat kebutuhan dasar yang harus dipenuhi:

• Kredibilitas; Masyarakat membutuhkan kredibilitas informasi dan sistem informasi.

• Profesionalisme; Diperlukan individu yang dengan jelas dapat diidentifikasikan oleh pemakai jasa akuntan sebagai profesional di bidang akuntansi.


(22)

• Kualitas Jasa; Terdapatnya keyakinan bahwa semua jasa yang diperoleh dari akuntan diberikan dengan standar kinerja tertinggi.

• Kepercayaan; Pemakai jasa akuntan harus dapat merasa yakin bahwa terdapat kerangka etika profesional yang melandasi pemberian jasa oleh akuntan.

2.4.3 Kode Etik Akuntan Indonesia

Menurut Mulyadi (2001: 53), Kode etik akuntan Indonesia memuat delapan prinsip etika, yaitu :

1. Tanggung Jawab profesi

Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya.

2. Kepentingan Publik

Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukan komitmen atas profesionalisme. Profesi akuntan memegang peran yang penting di masyarakat, dimana publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya bergantung kepada obyektivitas dan integritas akuntan dalam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib. Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.

3. Integritas

Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan bagi anggota dalam menguji keputusan yang diambilnya. Integritas mengharuskan seorang anggota untuk bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.


(23)

Obyektivitasnya adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka serta bebas dari benturan kepentingan atau dibawah pengaruh pihak lain. Setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya. Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menunjukkan obyektivitas mereka dalam berbagai situasi. 5. Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional

Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan berhati-hati, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional dan teknik yang paling mutakhir. Hal ini mengandung arti bahwa anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya, demi kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung jawab profesi kepada publik.

6. Kerahasiaan

Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya. Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan informasi tentang klien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui jasa profesional yang diberikannya. Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antar anggota dan klien atau pemberi jasa berakhir.

7. Perilaku Profesional

Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan masyarakat umum.

8. Standar Teknis

Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas. Standar teknis dan standar professional yang harus ditaati anggota adalah standar yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Internasional Federation of Accountants, badan pengatur, dan pengaturan perundang-undangan yang relevan.

Etika profesi akuntan di Indonesia diatur dalam Kode Etik Akuntan Indonesia. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan


(24)

bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggungjawab profesionalnya. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari tiga bagian:

1. Prinsip Etika

Prinsip Etika memberikan kerangka dasar bagi Aturan Etika, yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip Etika disahkan oleh Kongres dan berlaku bagi seluruh anggota.

2. Aturan Etika

Aturan Etika disahkan oleh Rapat Anggota Himpunan dan hanya mengikat anggota himpunan yang bersangkutan.

3. Interpretasi Aturan Etika

Interpretasi Aturan Etika merupakan interpretasi yang dikeluarkan oleh badan yang dibentuk oleh himpunan setelah memperhatikan tanggapan dari anggota, dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya, sebagai panduan dalam penerapan aturan etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan penerapannya.

2.5 Penelitian Terdahulu

Beberapa hasil penelitian terdahulu yang dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini. Marriott dan Marriott (2003) mengukur persepsi umum mahasiswa


(25)

akuntansi terhadap profesi akuntan dengan menggunakan kuesioner sebagaimana digunakan oleh Nelson (1991) pada Universitas di Inggris dan menemukan bahwa terjadi perubahan persepsi mahasiswa akuntansi dari sejak awal masa kuliah mereka sampai ke senior.

Penelitian Fitriany dan Yulianti (2007) mengukur persepsi mahasiswa junior dan senior mengenai profesi akuntan menemukan bahwa terdapat perbedaan persepsi antara mahasiswa junior dan senior mengenai profesi akuntan, semakin senior mereka (semakin lama mereka mengikuti pendidikan akuntansi), mahasiswa semakin tidak ingin berkarir dan berprofesi sebagai akuntan.

Ekayani dan Putra (2003) melakukan penelitian mengenai persepsi akuntan pada mahasiswa Bali terhadap etika bisnis dengan mengambil sampel dari mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Bali. Dalam penelitiannya tersebut menemukan bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara persepsi akuntan pada mahasiswa Bali terhadap etika bisnis. Hasil lainnya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara persepsi mahasiswa tingkat pertama dan mahasiswa tingkat akhir terhadap etika bisnis. Dan mahasiswa tingkat akhir memiliki persepsi yang lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa tingkat pertama.

Pangestuti (2008) membandingkan persepsi mahasiswa akuntansi S1 Reguler dan Ekstensi di FE UNS terhadap etika profesi akuntan dan menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi antara mahasiswa akuntansi S1 Reguler dan Ekstensi di FE UNS terhadap permasalahan etika profesi akuntan. Kemudian dari hasil penelitian melalui kuesioner mengenai pemahaman mahasiswa


(26)

akuntansi S1 Reguler dan Ekstensi di FE UNS diperoleh bahwa ternyata sebagian besar responden dari kedua kelompok belum sepenuhnya memahami permasalahan etika profesi akuntan dari mata kuliah pengauditan yang pernah mereka ikuti karena materi dan pembahasan mengenai permasalahan etika profesi akuntan kurang memadai.

Icuk,dkk (2006) menguji tentang persepsi mahasiswa akuntansi baik reguler, ekstensi dan mahasiswa PPAk tentang profesi akuntan. Hasil penelitian menunjukkan mahasiswa S1 akuntansi reguler dan ekstensi fakultas ekonomi perguruan tinggi negeri dan swasta di Purwokerto mempunyai persepsi yang positif mengenai Pendidikan Profesi Akuntansi (PPAk). Berarti Mahasiswa S1 Akuntansi reguler dan ekstensi fakultas ekonomi perguruan tinggi negeri dan swasta di Purwokerto telah memiliki persepsi bahwa dengan Pendidikan Profesi Akuntansi (PPAk) kompetensi dan profesionalisme sumber daya akuntan lebih berkualitas. Dan terdapat perbedaan persepsi di antara mahasiswa akuntansi S1 reguler dengan mahasiswa S1 ekstensi fakultas ekonomi perguruan tinggi negeri dan swasta di Purwokerto tentang Pendidikan Profesi Akuntansi (PPAk).

Penelitian Setyawardani (2009) menguji antara persepsi mahasiswa junior dan senior terhadap profesi akuntan menunjukkan bahwa pada program S1, mahasiswa senior memiliki persepsi yang lebih rendah dibandingkan dengan mahasiswa junior mengenai akuntan sebagai profesi. Jika persepsi mengenai akuntan rendah maka minat mahasiswa untuk menjadi akuntan semakin rendah, maka dikhawatirkan kualitas akuntan di masa yang akan datang akan turun karena


(27)

kurangnya minat mahasiswa menjadi seorang akuntan. Untuk lebih jelasnya, hasil-hasil penelitian terdahulu di atas diringkas dalam tabel 2.1 berikut ini:

Tabel 2.1

Ringkasan Penelitian Terdahulu No Penelitian

Terdahulu

Judul Penelitian Variabel Penelitian Hasil Penelitian

1 Marriott & Marriott (2003) Perbedaan persepsi mahasiswa akuntansi junior dan senior mengenai profesi akuntan di Universitas Inggris. Independen: persepsi mahasiswa akuntansi junior dan senior di Universitas Inggris Dependen: profesi akuntan Ditemukan bahwa terjadinya perubahan persepsi mahasiswa akuntansi sejak awal masa kuliah sampai ke senior. Pendidikan akuntansi justru menyebabkan menurunnya persepsi positif mahasiswa akuntansi terhadap profesi akuntan

2 Fitriany & Yulianty (2007) Perbedaan persepsi mahasiswa akuntansi junior dan senior mengenai profesi akuntan pada S1 Ekstensi, dan Program Diploma 3 Universitas Indonesia Jakarta. Independen: persepsi mahasiswa akuntansi junior dan senior pada S1 Ekstensi dan program Diploma 3

Universitas Indonesia Jakarta

Dependen: profesi akuntan

Pada Program S1 Reguler dan S1 Ekstensi, mahasiswa senior memiliki persepsi yang lebih

rendah dibandingkan dengan mahasiswa junior. Dan pada Program Diploma 3, tidak ada perbedaan yang signifikan antara mahasiswa senior dan junior.

3 Ekayani dan Putra (2003) Perbedaan persepsi mengenai profesi akuntan antara mahasiswa junior dan mahasiswa senior studi empiris pada perguruan tinggi Independen: persepsi mahasiswa akuntansi junior dan senior pada perguruan tinggi negeri dan swasta di Bali Dependen: profesi akuntan Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara persepsi

mahasiswa tingkat pertama dan mahasiswa tingkat akhir terhadap profesi akuntan. Dan


(28)

negeri dan swasta di Bali

mahasiswa tingkat akhir memiliki persepsi yang lebih baik

dibandingkan dengan mahasiswa tingkat pertama.

4 Pangestuti (2008) Persepsi mahasiswa akuntansi S1 reguler dan ekstensi terhadap etika profesi akuntan di FE UNS Independen: persepsi mahasiswa akuntansi S1 reguler dan ekstensi di FE UNS

Dependen: profesi akuntan Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi antara mahasiswa akuntansi S1 Reguler dan Ekstensi di FE

UNS terhadap permasalahan etika profesi akuntan.

5 Icuk,dkk (2006)

Persepsi mahasiswa akuntansi

reguler, ekstensi tentang profesi akuntan di universitas negeri dan swasta di Purwokerto Independen: persepsi mahasiswa akuntansi reguler, ekstensi di universitas negeri dan swasta di Purwokerto Dependen: profesi akuntan Hasil penelitian menunjukkan mahasiswa S1

akuntansi reguler dan ekstensi fakultas ekonomi

perguruan tinggi negeri dan swasta di Purwokerto

mempunyai persepsi yang positif mengenai Pendidikan Profesi Akuntansi (PPAk)

6 Setyaward ani (2009)

Persepsi mahasiswa junior dan senior terhadap profesi akuntan pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia Surabaya Independen: persepsi mahasiswa junior dan senior pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia

Surabaya

Dependen: profesi akuntan

Menunjukkan bahwa pada program S1, mahasiswa senior memiliki persepsi yang lebih rendah dibandingkan dengan mahasiswa junior mengenai akuntan sebagai profesi.


(29)

2.6 Kerangka Konseptual

H1

H2

H3

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

2.7 Hipotesis

Menurut Sugiyono (2008:68) hipotesis diartikan sebagai jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Kebenaran dari hipotesis itu harus dibuktikan melalui data yang terkumpul. Secara statistik hipotesis diartikan sebagai pernyataan mengenai keadaan populasi yang akan diuji kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh dari sampel penelitian. Berdasarkan data-data diatas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah :

H1 : Terdapat perbedaan persepsi mahasiswa akuntansi senior pada program S1 akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara mengenai profesi akuntan.

Persepsi mahasiswa akuntansi senior FEB USU (X1)

Persepsi mahasiswa akuntansi junior FEB USU (X2)

Profesi akuntan (Y):

- Akuntan sebagai profesi - Akuntansi sebagai

bidang ilmu

Persepsi mahasiswa akuntansi STIE Harapan Medan (X3)


(30)

H2 : Terdapat perbedaan persepsi mahasiswa akuntansi junior pada program S1 akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara mengenai profesi akuntan.

H3: Terdapat perbedaan persepsi mahasiswa akuntansi STIE Harapan Medan mengenai profesi akuntan.


(1)

akuntansi terhadap profesi akuntan dengan menggunakan kuesioner sebagaimana digunakan oleh Nelson (1991) pada Universitas di Inggris dan menemukan bahwa terjadi perubahan persepsi mahasiswa akuntansi dari sejak awal masa kuliah mereka sampai ke senior.

Penelitian Fitriany dan Yulianti (2007) mengukur persepsi mahasiswa junior dan senior mengenai profesi akuntan menemukan bahwa terdapat perbedaan persepsi antara mahasiswa junior dan senior mengenai profesi akuntan, semakin senior mereka (semakin lama mereka mengikuti pendidikan akuntansi), mahasiswa semakin tidak ingin berkarir dan berprofesi sebagai akuntan.

Ekayani dan Putra (2003) melakukan penelitian mengenai persepsi akuntan pada mahasiswa Bali terhadap etika bisnis dengan mengambil sampel dari mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Bali. Dalam penelitiannya tersebut menemukan bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara persepsi akuntan pada mahasiswa Bali terhadap etika bisnis. Hasil lainnya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara persepsi mahasiswa tingkat pertama dan mahasiswa tingkat akhir terhadap etika bisnis. Dan mahasiswa tingkat akhir memiliki persepsi yang lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa tingkat pertama.

Pangestuti (2008) membandingkan persepsi mahasiswa akuntansi S1 Reguler dan Ekstensi di FE UNS terhadap etika profesi akuntan dan menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi antara mahasiswa akuntansi S1 Reguler dan Ekstensi di FE UNS terhadap permasalahan etika profesi akuntan. Kemudian dari hasil penelitian melalui kuesioner mengenai pemahaman mahasiswa


(2)

akuntansi S1 Reguler dan Ekstensi di FE UNS diperoleh bahwa ternyata sebagian besar responden dari kedua kelompok belum sepenuhnya memahami permasalahan etika profesi akuntan dari mata kuliah pengauditan yang pernah mereka ikuti karena materi dan pembahasan mengenai permasalahan etika profesi akuntan kurang memadai.

Icuk,dkk (2006) menguji tentang persepsi mahasiswa akuntansi baik reguler, ekstensi dan mahasiswa PPAk tentang profesi akuntan. Hasil penelitian menunjukkan mahasiswa S1 akuntansi reguler dan ekstensi fakultas ekonomi perguruan tinggi negeri dan swasta di Purwokerto mempunyai persepsi yang positif mengenai Pendidikan Profesi Akuntansi (PPAk). Berarti Mahasiswa S1 Akuntansi reguler dan ekstensi fakultas ekonomi perguruan tinggi negeri dan swasta di Purwokerto telah memiliki persepsi bahwa dengan Pendidikan Profesi Akuntansi (PPAk) kompetensi dan profesionalisme sumber daya akuntan lebih berkualitas. Dan terdapat perbedaan persepsi di antara mahasiswa akuntansi S1 reguler dengan mahasiswa S1 ekstensi fakultas ekonomi perguruan tinggi negeri dan swasta di Purwokerto tentang Pendidikan Profesi Akuntansi (PPAk).

Penelitian Setyawardani (2009) menguji antara persepsi mahasiswa junior dan senior terhadap profesi akuntan menunjukkan bahwa pada program S1, mahasiswa senior memiliki persepsi yang lebih rendah dibandingkan dengan mahasiswa junior mengenai akuntan sebagai profesi. Jika persepsi mengenai akuntan rendah maka minat mahasiswa untuk menjadi akuntan semakin rendah, maka dikhawatirkan kualitas akuntan di masa yang akan datang akan turun karena


(3)

kurangnya minat mahasiswa menjadi seorang akuntan. Untuk lebih jelasnya, hasil-hasil penelitian terdahulu di atas diringkas dalam tabel 2.1 berikut ini:

Tabel 2.1

Ringkasan Penelitian Terdahulu No Penelitian

Terdahulu

Judul Penelitian Variabel Penelitian Hasil Penelitian

1 Marriott & Marriott (2003) Perbedaan persepsi mahasiswa akuntansi junior dan senior mengenai profesi akuntan di Universitas Inggris. Independen: persepsi mahasiswa akuntansi junior dan senior di Universitas Inggris Dependen: profesi akuntan Ditemukan bahwa terjadinya perubahan persepsi mahasiswa akuntansi sejak awal masa kuliah sampai ke senior. Pendidikan akuntansi justru menyebabkan menurunnya persepsi positif mahasiswa akuntansi terhadap profesi akuntan

2 Fitriany & Yulianty (2007) Perbedaan persepsi mahasiswa akuntansi junior dan senior mengenai profesi akuntan pada S1 Ekstensi, dan Program Diploma 3 Universitas Indonesia Jakarta. Independen: persepsi mahasiswa akuntansi junior dan senior pada S1 Ekstensi dan program Diploma 3

Universitas Indonesia Jakarta

Dependen: profesi akuntan

Pada Program S1 Reguler dan S1 Ekstensi, mahasiswa senior memiliki persepsi yang lebih

rendah dibandingkan dengan mahasiswa junior. Dan pada Program Diploma 3, tidak ada perbedaan yang signifikan antara mahasiswa senior dan junior.

3 Ekayani dan Putra (2003) Perbedaan persepsi mengenai profesi akuntan antara mahasiswa junior dan mahasiswa senior studi empiris pada perguruan tinggi Independen: persepsi mahasiswa akuntansi junior dan senior pada perguruan tinggi negeri dan swasta di Bali Dependen: profesi akuntan Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara persepsi

mahasiswa tingkat pertama dan mahasiswa tingkat akhir terhadap profesi akuntan. Dan


(4)

negeri dan swasta di Bali

mahasiswa tingkat akhir memiliki persepsi yang lebih baik

dibandingkan dengan mahasiswa tingkat pertama.

4 Pangestuti (2008) Persepsi mahasiswa akuntansi S1 reguler dan ekstensi terhadap etika profesi akuntan di FE UNS Independen: persepsi mahasiswa akuntansi S1 reguler dan ekstensi di FE UNS

Dependen: profesi akuntan Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi antara mahasiswa akuntansi S1 Reguler dan Ekstensi di FE

UNS terhadap permasalahan etika profesi akuntan.

5 Icuk,dkk (2006)

Persepsi mahasiswa akuntansi

reguler, ekstensi tentang profesi akuntan di universitas negeri dan swasta di Purwokerto Independen: persepsi mahasiswa akuntansi reguler, ekstensi di universitas negeri dan swasta di Purwokerto Dependen: profesi akuntan Hasil penelitian menunjukkan mahasiswa S1

akuntansi reguler dan ekstensi fakultas ekonomi

perguruan tinggi negeri dan swasta di Purwokerto

mempunyai persepsi yang positif mengenai Pendidikan Profesi Akuntansi (PPAk)

6 Setyaward ani (2009)

Persepsi mahasiswa junior dan senior terhadap profesi akuntan pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia Surabaya Independen: persepsi mahasiswa junior dan senior pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia

Surabaya

Dependen: profesi akuntan

Menunjukkan bahwa pada program S1, mahasiswa senior memiliki persepsi yang lebih rendah dibandingkan dengan mahasiswa junior mengenai akuntan sebagai profesi.


(5)

2.6 Kerangka Konseptual

H1

H2

H3

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

2.7 Hipotesis

Menurut Sugiyono (2008:68) hipotesis diartikan sebagai jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Kebenaran dari hipotesis itu harus dibuktikan melalui data yang terkumpul. Secara statistik hipotesis diartikan sebagai pernyataan mengenai keadaan populasi yang akan diuji kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh dari sampel penelitian. Berdasarkan data-data diatas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah :

H1 : Terdapat perbedaan persepsi mahasiswa akuntansi senior pada program S1 akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara mengenai profesi akuntan.

Persepsi mahasiswa akuntansi senior FEB USU (X1)

Persepsi mahasiswa akuntansi junior FEB USU (X2)

Profesi akuntan (Y):

- Akuntan sebagai profesi - Akuntansi sebagai

bidang ilmu

Persepsi mahasiswa akuntansi STIE Harapan Medan (X3)


(6)

H2 : Terdapat perbedaan persepsi mahasiswa akuntansi junior pada program S1 akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara mengenai profesi akuntan.

H3: Terdapat perbedaan persepsi mahasiswa akuntansi STIE Harapan Medan mengenai profesi akuntan.


Dokumen yang terkait

Perbedaan Persepsi Mahasiswa Akuntansi Senior Dan Junior Di Program S-1 Ekstensi Akuntansi Mengenai Profesi Akuntan, Studi Empiris Di Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

7 82 91

Perbedaan Persepsi Mahasiswa Akuntansi Senior dan Junior di Program S-1 Akuntansi FEB USU dan Mahasiswa Swasta STIE Harapan Medan Mengenai Profesi Akuntan

3 58 88

PERBEDAAN PERSEPSI MENGENAI PROFESI AKUNTAN PADA Perbedaan Persepsi Mengenai Profesi Akuntan Pada Mahasiswa Akuntansi Senior Dan Junior Dilihat Dari Segi Gender Di Surakarta.

0 1 14

PENDAHULUAN Perbedaan Persepsi Mengenai Profesi Akuntan Pada Mahasiswa Akuntansi Senior Dan Junior Dilihat Dari Segi Gender Di Surakarta.

0 2 10

PERBEDAAN PERSEPSI MENGENAI PROFESI AKUNTAN ANTARA MAHASISWA SENIOR DAN JUNIOR PERBEDAAN PERSEPSI MENGENAI PROFESI AKUNTAN ANTARA MAHASISWA SENIOR DAN JUNIOR JURUSAN AKUNTANSI PROGRAM S-1 REGULER DI SURAKARTA (Studi Kasus pada Universitas Sebelas Maret,

0 0 14

PERBEDAAN PERSEPSI ANTARA MAHASISWA SENIOR DAN JUNIOR JURUSAN AKUNTANSI PROGRAM S-1 REGULER DAN S-1 EKSTENSI Perbedaan Persepsi Antara Mahasiswa Senior Dan Junior Jurusan Akuntansi Program S-1 Reguler Dan S-1 Ekstensi Terhadap Profesi Akuntan (Studi Kas

0 0 15

Perbedaan Persepsi Mahasiswa Akuntansi Senior dan Junior di Program S-1 Akuntansi FEB USU dan Mahasiswa Swasta STIE Harapan Medan Mengenai Profesi Akuntan

0 0 12

Perbedaan Persepsi Mahasiswa Akuntansi Senior dan Junior di Program S-1 Akuntansi FEB USU dan Mahasiswa Swasta STIE Harapan Medan Mengenai Profesi Akuntan

0 0 2

Perbedaan Persepsi Mahasiswa Akuntansi Senior dan Junior di Program S-1 Akuntansi FEB USU dan Mahasiswa Swasta STIE Harapan Medan Mengenai Profesi Akuntan

0 0 7

PERBEDAAN PERSEPSI ANTARA MAHASISWA SENIOR DAN JUNIOR MENGENAI PROFESI AKUNTAN PADA PROGRAM S-1 REGULER DAN STRANSFER PTS “X

0 0 9