Pembajakan Kapal Di Laut Lepas Ditinjau Dari Hukum Internasional (Studi Kasus Kapal Mv Jahan Moni)

BAB II
PENGATURAN PEMBAJAKAN DI LAUT LEPAS BERDASARKAN
HUKUM INTERNASIONAL

A. Sejarah Pembajakan di laut lepas

Sejarah menunjukkan bahwa pembajakan di laut lepas sudah ada sejak
awal manusia melakukan perjalanan melalui laut. Pembajakan di laut lepas
memiliki umur yang sama dengan kapal dan kodrat manusia. Para pembajak laut
lepas pada awalnya hanya memiliki tujuan untuk memperkaya diri. 24Dalam
berbagai situasi pembajakan juga melakukan pembunuhan, penculikan dan
meminta tebusan.Sejarah tercatat menunjukkan bahwa sejak zaman Yunani Kuno
dan Kekaisaran Romawi, pembajakan di laut lepas menjadi beban dari
perdagangan maritim. Salah satu tindakan pembajakan di laut lepas yang disertai
dengan penculikan pada masa ini terjadi pada tahun 75 S.M, dimana kapal Julius
Caesar diserang dan sang Kaisar itu sendiri diculik dan dimintai tebusan. Para
pembajak kemudian mendapatkan tebusannya atas pelepasan Julius Caesar namun
mereka ditangkap dan dihukum kemudian. 25
Pada abad ke-16 pembajakan digunakan oleh Negara-negara untuk
menambah kekuatan maritim mereka. Para pembajakan ini disebut sebagai
privateer, yaitu “Pembajakan” yang diizinkan atau disahkan oleh Negara untuk

bertindak atas nama negara tersebut melalui surat yang disebutSuratMarquee.
Tujuan utama para privateers ini adalah merusak sumber daya negara musuh,
24

Alfred S., Bradford, Flying the Black Flag- A Brief History of Piracy, Westport,
Connecticut: Praeger, 2007, hlm 4
25
Thaine Lennox Gentele, Piracy, Sea Robbery and Terrorism: Enforcing Laws to Deter
Ransom Payments and Hijacking, Transportation law Journal, Vol. 37:199, 2010, hlm 202-203

Universitas Sumatera Utara

melatih kapten angkatan laut yang baru, bahkan menyulut peperangan. Ratu
Elizabeth

sendiri

bahkan

menyatakan


bahwa

penggunaan

negaradisponsoriterorisme seperti privateering merupakan cara ideal untuk
memukul mundur musuh dan menyembunyikan diri kemudian. 26
Setelah perang Spanyol usai, Inggris dan Spanyol menyimpulkan bahwa
tidak diperlukan lagi para privateers.Raja James kemudian mencabut seluruh
Letter of Marquee dan mengkriminalisasikan pembajak di Laut Lepas.Tindakan
ini menyebabkan ratusan privateer kehilangan pekerjaan dan mencari pekerjaan
sebagai pembajak secara penuh. Tanpa adanya negara yang mengasuh atau
menyewa privateers ini, maka mereka melakukan tindakannya berupa menyerang
dan membajak semua negara-negara tanpa diskriminasi. 27 Pada tahun 1856
mayoritas negara-negara yang memiliki kekuatan maritim besar menandatangani
Deklarasi Paris 1856 menyatakan penghapusan terhadap pembajakan di laut lepas
dalam bentuk apapun, termasuk privateering dan pembajakan di laut lepas yang
disponsori oleh negara. Sejak Deklarari Paris 1856 ini, timbul konsep bahwa
pembajakan di laut lepas merupakan hostis humani generis atau musuh dari
seluruh umat manusia. 28Pembajakan laut lepas dalam wilayah barat tidak hanya

mempengaruhi Yunani, Spanyol dan Inggris.Tercatat pula berbagai pembajakan di
laut lepas dalam kawasan Eropa Utara dan Amerika.
Dalam kawasan Asia, pembajakan di Laut Lepas terjadi mayoritas pada
kawasan Timur dan Tenggara.Pada wilayah Asia Timur, pembajakan di Laut

26

Ibid
Ibid
28
Ibid
27

Universitas Sumatera Utara

Lepas paling awal tercatat terjadi pada Dinasti Han (106 SM -220 M), namun
pembajakan di Laut Lepas diyakini sudah ada sebelum zaman ini.Pembajakan di
Laut Lepas pada masa ini timbul saat ada kesempatan.Pada awal abad ke 17,
pembajakan di Laut Lepas kembali meningkatkan pada masa peperangan Dinasti
Ming dan Qing. Hal ini terjadi karena lemahnya pengawasan di pantai, sehingga

para pembajakan di laut lepas juga terjadi akibat berbagai pemberontakan antara
lain oleh Taiwan dan Vietnam, setia disusul terjadinya Perang Opium pada tahun
1839-1842. Pada abad ke 20, terjadi perang saudara di China antara penganut
paham nasionalis dengan komunis, sehingga kembali memberikan kesempatan
yang baik bagi pembajakan untuk beraksi. 29
Bisa dikatakan bahwa sejarah pembajakan Laut Lepas terjadi secara
bersamaan dengan sejarah navigasi.Di mana terdapat kapal-kapal yang
mengangkut dagangan, muncul bajak laut yang siap memilikinya secara
paksa.Telah dikenal terjadinya pembajakan Laut Lepas sejak zaman Yunani
kuno.Termasuk dalam zaman republikRomawi mengalami pembajakan Laut
Lepas oleh para perampok laut.Sejak itu mereka membajak semua kapal yang saat
ini terapung di lautan dekat Borneo dan Sumatra.Namun demikian, yang terbaik
pada sejarahnya yang panjang tertulis pada abad ke-16 dan 17, zaman keemasan
bajak laut.
Kekejaman bajak Laut Lepas sangat terkenal, salah satunya adalah
penyeretan seseorang oleh baja rangka kapal (kerangka kapal yang dimulai dari

29

Ari triwibowo Yudhoatmojo, Penerapan Yuridiksi universal untuk menanggulangi

dan mengadili pembajakan di laut berdasarkan resolusi dewan keamanan perserikatan bangsabangsa dalam kasus pembajakan di Teluk Aden, Fakultas Hukum Program Ilmu Hukum,
Universitas Indonesia, Tesis tidak diduplikasikan, Jakarta, 2010

Universitas Sumatera Utara

bagian depan kapal sampai akhir). Di bagian atas kapal, seorang tahanan diikat di
salah satu ujung kerangka. Di ujung kerangka yang lain dimasukkan ke dalam laut
dan dibawa ke arah berlawanan di bawah kerangka kapal. Ketika ujung yang
dibawa ini sampai ke bagian atas kapal (bagian belakang kapal tepatnya), si
tahanan diikat lagi oleh tali ini.Untuk menghindari masuknya air laut ke mulut
tahanan, mulutnya disumpal oleh lemak. Ketika perintah eksekusi diberikan,
tahanan ditarik ke atas pada bagian kakinya, lalu dibiarkan jatuh ke Laut Lepas,
sementara beberapa orang menarik ujung yang lain ke arah berlawanan, sehingga
tahanan terseret di bawah perahu sampai saat ia diangkat dari ujung kapal yang
berlawanan. 30
Operasi ini dilakukan beberapa kali.Selain ketakutan yang amat sangat
yang dialami tahanan, hukuman ini bertambah parah diakibatkan oleh penyeretan
tahanan di bawah kapal yang ditutupi oleh moluscos dan kepala-kepala paku yang
menyakiti badan tahanan itu.Hukuman yang berat lainnya adalah marron. Ini
terdiri dari meninggalkan seseorang di sebuah pulau padang pasir yang terpisah

dari rute-rute navigasi. Orang tersebutakan ditinggalkan dengan sedikit air, senjata
api dan sedikit peluru. Orang itu akan pasti mati kelaparan atau terluka akibat
peluru (mencoba bunuh diri) ataupun terbenam saat air laut pasang bilamana ia
diturunkan di sebuah pulau kecil. Tidak dikenal siapa yang memberikan namaLa
Cofradía de los Hermanos de la Costa (persaudaraan) dan tidak juga diketahui
siapa yang mendirikannya. Yang dapat diketahui hanyalah, mereka ada sejak para
bucanneers diusir dari wilayah Spanyol tahun 1620.Sama halnya dengan

30

https://id.wikipedia.org/wiki/Perompakan diakses 6 Juni 2013

Universitas Sumatera Utara

perkumpulan lainnya, mereka mempunyai hukum-hukum, namun tidak tertulis.Ini
lebih mengarah kepada persetujuan secara umum di mana semua berada di bawah
hukum itu tepatnya untuk melindungi kebebasannya secara perorangan.Tidak
terdapat hakim maupun pengadilan, hanya sebuah dewan yang dibentuk oleh para
filbusteros paling tua. 31
Pada wilayah Asia tenggara pembajakan di laut lepas marak terjadi pada

abad ke 19 dimana para pembajak mencoba membajak kapal-kapal perdagangan
milik Eropa.Pembajakan di laut lepas dalam kawasan ini dilakukan berdasarkan
komunitas yang terorganisasi dan bahkan melibatkan elit-elit lokal.Para pembajak
ini mayoritas beraksi di perairan selat Malaka dan perairan Riau Lingga dan
tercatat pula hingga sampai Kalimantan Utara. 32
Bila aksi perompakan terjadi di perairan sebuah negara hukum, maka
secara teknik bukanlah aksi pembajakan tapi sebuah tindakan perampokan
bersenjata atau perampokan di laut dan yang digunakan adalah hukum negara
tersebut di sepanjang garis pantai dan menurut keamanan internasional.Bila terjadi
perompakan, UNCLOS mewajibkan setiap negara bekerjasama sekuat tenaga
dalam membasmi atau menekan pembajakan.Hal itu sesuai dengan pasal 100
UNCLOS.Pasal 100 UNCLOS menjelaskan bahwa yang dimaksud sebagai
perompakan adalah ketika terjadi diatas perairan atau di tempat lainnya yang
berada di luar wilayah hukum negara manapun. 33

31

Ibid
Ger Tetlier, Piracy in Southeast Asia A Historical Comparasion, hlm 70-71
33

http://www.suarapembaruan.com , diakses 6 Juni 2013
32

Universitas Sumatera Utara

Pembajakan di Laut Lepas dalam kawasan Asia Pasifik bukanlah
merupakan fenomena yang baru. Wilayah timur Puntland di Somalia sejak dahulu
merupakan wilayah maritim yang strategis, sehingga kegiatan pelayaran dan
perdagangan telah beroperasi di wilayah ini. Pada abad ke-18, Eropa mengunjungi
wilayah ini dan merekrut para pelaut setempat yang dikenal dengan nama pelaut
laut merah dan kelompok marjerteen dan Hyobo.
pembajakan

di

Laut

Lepas,

Internasional


34

Sehubungan

Maritime

Bureau

dengan
(IMB)

menggolongkan kegiatan pembajakan di Laut Lepas dalam tiga kelompok yaitu
: 35
1. Low level armed robbery, yakni kegiatan pembajakan di Laut Lepas
berskala kecil yang biasanya beroperasi di pelabuhan dan dermaga akibat
lemahnya pengawasan oleh petugas keamanan pelabuhan. Para pembajak
umumnya tertarik pada harta kekayaan para awak atau perlengkapan yang
ada di kapal. 36
2. Medium level armed assault and robbery, yakni tipe bajak laut berskala

menengah yang beroperasi di perairan laut lepas maupun territorial.
Biasanya mereka sudah terorganisasi (organized piracy).
3. Major criminal hijack atau yang sering dikenal sebagai fenomena “kapal
siluman” (phantom ship). Mereka biasanya sudah berskala besar karena
sangat terorganisasi memiliki kekerasan yang tinggi, dan bahkan telah
34

Lucas Bento, “Toward and International Law of Piracy Sui Generis: How the Dual
Nature of Maritime Piracy to Flourish”, Berkeley Journal of International Law, Vol.29.2,2011,
hlm 405
35
Peter Chalik, Grey Area Phenomena in South East Asia : Piracy, Penerbit Drag
Trafficking and Asians Studies, ANU, 1997, hlm 24-25
36
Ilias Bantekas and Susan Nash, Internasional Criminal Law, Penerbit Cavendish
Publishing, London, 2003, hlm 94

Universitas Sumatera Utara

melibatkan jaringan organisasi kejahatan internasional dengan anggotaanggotanya yang telah terlatih untuk menggunakan senjata api. Modus

operandi dilakukan dengan cara menguasai kapal, awaknya dibunuh atau
diceburkan di laut, kemudian kapal di cat ulang, dimodifikasi, diganti
nama dan diregistrasi ulang. Kargo atau muatan kapal di jual di pasar
bebas kepada penadah. Sertifikat registrasi sementara diperoleh melalui
kantor konsulat. Mereka mendapatkannya baik melalui menyuap atau
dokumen-dokumen yang dipalsukan. Motif dari pembajakan di laut lepas
ini umumnya tidak hanya sekedar motif ekonomi, dapat juga berlatar motif
politis atau terorisme. 37
Meskipun

para

pembajak

Somalia

masih

dapat

di

kategorikan

sebagaitingkatmenengahbersenjatapenyerangan danperampokan, namun karena
jumlahnya yang sangat banyak, terlatih, terorganisasi dan diduga terkait dengan
suatu kelompok teroris maka tidak dipungkiri bahwa pembajakan di laut lepas
dalam kawasan Teluk Aden digolongkan menjadi suatu major criminal
hijack(kejahatan besarmembajak).

B. Pengaturan Hukum Internasional mengenai pembajakan di laut lepas

Peranan penting dari wilayah negara dalam hukum internasional
tercermin dalam prinsip penghormatan terhadap integritas kewilayahan (territorial
integrity) yang dimuat dalam pelbagai instrumen internasional, misalnya dalam
bentuk larangan untuk melakukan intervensi terhadap masalah-masalah internal

37

Melda Kamil Ariadno, Hukum Internasional Hukum yang hidup, Penerbit Diadit
Media, Jakarta, 2007, hlm 169

Universitas Sumatera Utara

dari suatu negara.Meskipun demikian, sebagai akibat dari perkembangan
teknologi dan ekonomi sewasa ini, dalam hubungan antar negara tampak adanya
kecenderungan untuk mengurangi peran eksklusif dari wilayah negara, khususnya
dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan hak untuk
menentukan nasib sendiri (self determination).Namun, hingga saat ini kedaulatan
teritorial tetap merupakan suatu konsep penting dalam hukum internasional dan
telah melahirkan berbagai ketentuan hukum tentang perolehan dan hilangnya
wilayah negara. Dalam hukum internasional perolehan dan hilangnya wilayah
negara akan menimbulkan dampak terhadap kedaulatan negara atas wilayah itu.
Oleh karena itu, hukum internasional tidak hanya sekedar mengatur perolehan
atau hilangnya wilayah negara itu, tetapi yang lebih penting adalah dampak
hukum terhadap kedaulatan negara dan penduduk yang tinggal di wilayah
tersebut.Kedaulatan negara atas wilayahnya memiliki dua aspek baik positif
maupun negatif. 38
Setiap kehidupan bermasyarakat membutuhkan suatu tatanan perilaku
yang diakui sebagai kuat dan mengikat.Adakalanya itu hanya merupakan suatu
adat-istiadat atau dapat juga berupa norma-norma hukum, baik tertulis maupun
tidak tertulis.Tatanan perilaku itu merupakan pedoman sikap tindak dan batasanbatasan

perilaku

yang

harus

dipatuhi,

dengan

adanya

untuk

tidak

mematuhinya.Sanksi tersebut dapat datang dari masyarakat maupun dari pihak
yang mempunyai kekuasaan atas masyarakat tersebut.Sistem hukum adalah salah
satu tatanan kehidupan yang diterapkan dalam masyarakat, jika sistem tersebut
38

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT.
Alumni, Bandung, 2010, hlm 161-162

Universitas Sumatera Utara

dijalankan di suatu lingkup negara, maka disebut sistem hukum nasional.
Sebaliknya jika sistem hukum itu berlaku diantara negara-negara, maka ia disebut
sebagai sistem hukum internasional. 39
Pada dasarnya hukum internasional adalah hukum yang mengatur
hubungan antara bangsa-bangsa (“the law of nations”) atau hubungan antara
negara-negara. Dengan demikian subjek hukum internasional yang paling pokok
adalah negara, setelah itu baru ada subyek-subyek yang lain seperti organisasi
internasional, pergerakan politik/pemberontakan (“belligerent”) ataupun individu.
Masalah yang patut disoroti adalah bagaimana hubungan antara hukum
internasional ini dengan hukum nasional dari masing-masing negara tersebut.Hal
ini seringkali menimbulkan masalah, terutama jika timbul pertentangan
kepentingan antara kedua sistem hukum tersebut.
Sudah sejak lama konsep hubungan antara kedua sistem ini menimbulkan
pertentangan di antara para sarjana hukum.Kita mengenal dua aliran besar yang
memandang hal tersebut secara berbeda.Masing-masing aliran mengemukakan
pendapat dan alasan-alasan pendukungnya.Kedua aliran ini saling mengemukakan
kelebihannya masing-masing untuk dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat
internasional.Tentunya kedua aliran tersebut tidak terlepas dari kelemahankelemahan yang dapat teridentifikasi dari argumentasi yang mereka kedepankan.
Secara umum, negara-negara di dunia dapat digolongkan ke dalam kedua
aliran tersebut, walaupun masing-masing negara memiliki praktik kenegaraan
yang berbeda-beda bekenaan dengan penerimaan hukum internasional dalam
39

Melda Kamil Ariadno, Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Hukum
Nasional, Volume 5 Nomo5 3 April 2008, hlm 505

Universitas Sumatera Utara

sistem hukum mereka. Hal ini dapat kaji lebih lanjut jika kita melihat proses
pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum internasional dalam negara tersebut, baik
dalam hal penerapannya di tatanan kehidupan masyarakat maupun di lembagalembaga peradilan negara-negara tersebut. 40
Dewasa ini kedudukan hukum internasional dalam sistem hukum nasional
cukup berwibawa.Hukum nasional tidak dapat begitu saja mengenyampingkan
hukum internasional, bahkan pada dasarnya hukum nasional itu tunduk kepada
hukum internasional (monisme dengan primat hukum internasional).
Dengan demikian jelaslah bahwa pada umumnya negara-negara mentaati
kewajiban-kewajiban yang bersumber dari perjanjian dengan negara-negara lain.
Ketentuan-ketentuan hukum internasional lain juga mempunyai kewibawaan
dalam hukum nasional adalah ketentuan mengenai kekebalan dan hak-hak
istimewa diplomatik serta perlakukan terhadap orang asing dan hal milik orang
asing.
Tidak ada cabang hukum internasional yang lebih banyak mengalami
perubahan secara revolusioner selama empat dekade terakhir, dan khususnya
selama satu setengah dekade terakhir, selain daripada hukum laut dan jalur-jalur
maritim. Penandatangan akhir tahun 1982 di Jamaica oleh sejumlah besar negara
yang terwakili dalam konferensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS) guna
menyusun suatu ketentuan hukum internasional yang komprehensif berkaitan
dengan hukum laut, mungkin merupakan perkembangan paling penting dalam
keseluruhan sejarah ketentuan hukum internasional berkenaan dengan Laut Lepas.

40

Ibid, hlm 506

Universitas Sumatera Utara

Sebagian besar dari konvensi yang memuat ketentuan-ketentuan hukum yang
cukup penting di dalamnya, meskipun hukum yang lama banyak yang berubah
karenanya, saat ini tampaknya menuntut konsensus umum dari masyarakat
internasional. 41
Berlawanan dengan prinsip kedaulatan maritim, prinsip “kebebasan Laut
Lepas” atau kebebasan laut terbuka, sesuai dengan kepentingan-kepentingan
bersama dan nyata dari negara-negara maritim.Disadari bahwa demikian
seringnya terjadi, dan besarnya kesulitan yang menimpa semua negara yang
mengajukan, klaim-klaim yang bertentangan terhadap bagian laut terbuka. 42
Kebebasan Laut Lepas dengan demikianlah haruslah dilihat dalam
kaitannya dengan kepentingan umum semua negara, khususnya menyangkut
kebebasan saling hubungan antar bangsa.Barangkali perkataan “kebebasankebebasan” lebih tepatnya daripada “kebebasan” Laut Lepas, karena selain dari
kebebasan-kebebasan tidak terbatas untuk pelayaran dan penangkapan ikan, laut
pun dapat dimanfaatkan secara bebas untuk tujuan-tujuan lainnya oleh semua
negara. Meskipun demikian kebebasan Laut Lepas ini tidak membenarkan suatu
negara membiarkan suatu keadaan kacaunya peraturan-peraturan maritim dan
peraturan-peraturan aturan tertentu untuk melaksanakan yurisdiksi atas kapalkapal di Laut Lepas menjadi demikian pentingnya guna menghindarkan keadaankeadaan anarki. Sebagai suatu pegangan untuk tindakan pengawasan yang
diperlukan, mulanya ditentukan bahwa semua kapal, milik negara maupun swasta

41

J. G. Storge, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, hlm 322
42
Ibid, hlm 324

Universitas Sumatera Utara

di Laut Lepas tunduk pada yurisdiksi dan berhak atas perlindungan dari negara
bendera kapal itu yang memungkinkan melakukan pelayaran. 43
Kapal-kapal

yang berlayar di bawah satu bendera tidak sah

bertanggungjawab terhadap penangkapan dan penyitaan oleh negara yang
benderanya dikibarkan secara tidak sah/melawan hukum dan kapal-kapal perang
dari

suatu

negara

benderanya.Andaikata

memerintahkan
ada

agar

kecurigaan

menduga/mencurigai sebuah kapal terlibat

kapal-kapal
yang

masuk

memperlihatkan
akal

untuk

dalam kegiatan pembajakan,

perompakan atau perdagangan budak, kapal tersebut boleh dinaiki dan apabila
perlu dilakukan penggeledahan. 44
Pengaturan Laut Lepas (high seas) terdapat dalam Konvensi-Konvensi
Jenewa yangmerupakan hasil dari Konferensi PBB tentang Hukum Laut
(UNCLOS) I tanggal 24 Februari-27 April 1958. Pasal 1 Konvensi Jenewa 1958
tersebut memberikan pengertian Laut Lepasyang berbunyi : “the term high seas
means all parts of the sea that are not included in theterritorial sea or in the
internal waters of a State”, bahwa Laut Lepas adalah semua bagianlaut yang tidak
termasuk laut teritorial atau perairan pedalaman suatu Negara. KonvensiJenewa
1958 ini sudah tidak berlaku lagi karena ada yang baru, yaitu Konvensi Hukum
Laut 1982.Pengertian Laut Lepas menurut Konvensi Jenewa 1958 tersebut sangat
jauh dengan pengertian Laut Lepas menurut Konvensi Hukum Laut 1982. 45

43

Ibid, hlm 324
Ibid, hlm 324
45
Abdul Alim Salam, Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Hukum Laut
Internasional (Unclos 1982) Di Indonesia, Departemen Kelautan dan Perikanan Sekretariat
Jenderal Satuan Kerja Dewan Kelautan Indonesia, Jakarta, 2008,hlm 45
44

Universitas Sumatera Utara

Konvensi Hukum Laut 1982 dalam Pasal 86 menyatakan pengertian Laut
Lepas adalah semua bagian laut yang tidak termasuk Zona Ekonomi Eksklusif,
Laut Territorial atau Perairan Pedalaman suatu negara dan Perairan Kepulauan
dalam Negara Kepulauan. Pengertian Laut Lepas menurut Konvensi Hukum Laut
1982 ini sangat jauh statusnya dengan pengertian Laut Lepas menurut Konvensi
Jenewa 1958. Laut Lepas menurut Konvensi Jenewa 1958 adalah hanya 3 mil dari
Laut Territorial, sedangkan Laut Lepas menurut Konvensi Hukum Laut 1982
adalah dimulai dari Zona Ekonomi Eksklusif yang berarti dimulai dari 200 mil.
Menurut Konvensi Hukum Laut 1982, laut territorial yang sejauh 12 mil itu
tunduk pada kedaulatan penuh suatu Negara, sedangkan Zona Ekonomi Eksklusif
yang sejauh itu mempunyai status sui generic, yaitu bahwa sifat khusus yang
bukan bagian dari kedaulatan Negara, tetapi juga tidak tunduk pada rejim
internasional. Dalam zona ekonomi eksklusif, setiap Negara mempunyai hak-hak
berdaulat dan jurisdiksi sebagaimana dijelaskan di atas.
Setiap kapal yang berlayar di laut lepas harus ada kebangsaannya karena
ada ikatan antara kapal dengan Negara (genuine link) dan apabila kapal
menggunakan dua negara atau lebih bendera Negara karena ingin mendapat
kemudahan (flag of convenience) dianggap sebagai kapal tanpa kebangsaan.
Pendaftaran kapal kepada negaranya menurut Konvensi Hukum Laut 1982 ini
tidak berlaku bagi kapal-kapal yang digunakan untuk pelaksanakan tugas
Perserikatan Bangsa-Bangsa, badan-badan dan lembaga khususnya atau bagi

Universitas Sumatera Utara

Badan Energi Atom Dunia (the International Atomic Energy Agency)
sebagaimana diatur oleh Pasal 93 Konvensi Hukum Laut 1982. 46
Laut Lepas sepenuhnya terbuka bagi semua negara, baik yang
berpantaimaupun tidak.Kebebasan diberikan bagi pelayaran, penerbangan
diatasnya,pemasangan kabel-kabel dan pipa-pipa bawah laut, pembangunan
pulau-pulau buatandan instalasi lainnya, penangkapan ikan serta riset ilmiah.
Namun

demikian

semuakebebasan

tersebut

harus

dilaksanakan

dengan

memperhatikan kepentingan Negara lainnya dalam melaksanakan kebebasankebebasan yang sama. 47
Selanjutnya Laut Lepasakan diperuntukkan bagi tujuan-tujuan damai dan
tidak ada bagian dari Laut Lepas dapat tunduk pada klaim kedaulatan negara
manapun. Dengan demikian setiap negara memiliki hak untuk melayarkan kapal
dibawah benderanya diLaut Lepas. 48
“Dibandingan dengan keadaan pada waktu sebelum dihasilkannya
Konvensi Hukum laut 1982, luas perairan Laut Lepas kini menjadi
berkurang karena Konvensi telah mengakui batas terluar Laut Territorial
menjadi 12 mil.Demikian juga dengan kebebasan-kebebasan di Laut
Lepas sebagaimana diatur dalam Konvensi Jenewa tentang Laut Lepas
1958, juga telah dikurangi karena lahirnya konsep-konsep baru. 49Di Laut
Lepas, setiap negara baik negara pantai atau negara tidak berpantai
(land-locked) dapat menikmati kebebasan-kebebasan di Laut Lepas
(freedom of the high seas), yang meliputi antara lain kebebasankebebasan untuk berlayar, melakukan penerbangan, memasang kabel dan
pipa di bawah laut, membangun pulau buatan, instalasi lainnya,
menangkap ikan dan melakukan riset ilmiah kelautan. Kebebasan untuk
menangkap ikan di bagian Laut Lepas dihapuskan sampai dengan batas
200 mil laut dari garis pangkal yang sekarang diberi status sebagai Zona
Ekonomi Eksklusif.Setiap negara wajib untuk bekerja sama dengan
46

Ibid, hlm 45
Pasal 87 Persetujuan UNCLOS 1982
48
Pasal 88,89 dan 90 Persetujuan UNCLOS 1982
49
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit
PT. Alumni, Bandung, 2010, hlm 188
47

Universitas Sumatera Utara

negara-negara lain untuk menetapkan tindakan-tindakan pengelolaan dan
konservasi sumber daya hayati.” 50
“Kebebasan-kebebasan ini tidak membenarkan suatu negara membiarkan
aturan tertentu untuk melaksanakan yurisdiksi atas kapal-kapal di Laut
Lepas menjadi demikian pentingnya guna menghindarkan keadaankeadaan anarki. Sebagai suatu pegangan untuk tindakan pengawasan
yang diperlukan, mulanya ditentukan bahwa semua kapal, milik negara
maupun swasta. Di Laut Lepas tunduk pada yurisdiksi (pada umumnya,
eksklusif) dan berhak atas perlindungan dari negara bendera kapal itu
yang memungkinkan mereka melakukan pelayaran.Andaikata ada
kecurigaan yng masuk akal untuk menduga/mencurigai sebuah kapal
terlibat dalam kegiatan pembajakan, kapal tersebut boleh dinaiki dan
apabila perlu dilakukan penggeledahan.” 51
Laut Lepas merupakan wilayah perairan yang lepas dari kedaulatan negara
manapun, sehingga setiap kejahatan yang berada di Laut Lepas berada
sepenuhnya di bawah yurisdiksi negara bendera. Hal itu didasarkan pada hukum
kebiasaan internasional, yaitu bahwa jika suatu delik terjadi diatas kapal
yangsedang berlayar di atas Laut Lepas, maka negara benderalah yang dianggap
berwenang untuk melaksanakan yurisdiksi pidananya .Dalam hal ini negara
bendera memang diakui mempunyai hak yang ekslusif untuk melaksanakan
yurisdiksinya, sebagaimana yang dikatakan oleh RR. Churchill bahwa : 52“ In
general , the flag State , that is, the State which has granted to a ship the right to
sail under its flag, has the exclusive right to exercice legeslative and enforcement
jurisdiction over its ships on the high seas”. (Secara umum,Negara Berbendera,
yaituNegara
bawahbendera,

yang

telahdiberikan

kepadakapalhak

memiliki

hak

untukberlayar

di

eksklusif

50

Ibid, hlm 189
J.G. Starke, Op.Cit, hlm 324
52
Churchill. R R and Lowe.A.V, The Law of the Sea, Manchester University Press,
Manchester, UK, l983, hlm. l48.
51

Universitas Sumatera Utara

untukexerciceyurisdiksilegislatifdanpenegakan hukum terhadapkapal-kapaldi laut
lepas).
Setiap negara, baik berpantai atau tidak berpantai, mempunyai hak untuk
melayarkan kapal dibawah benderanya di laut lepas. 53 Negara-negara pada
umumnya memandang kapal-kapal mereka yang terdaftar sama seperti wilayah
negara tersebut dan memiliki nasionalitet dari negara itu, sehingga negara
bersangkutan dapat melakukan yurisdiksinya atas kapal-kapal mereka dilaut
lepas. 54
Konvensi hukum laut 1982 Pasal 92 ayat 2 menetapkan bahwa kapal
harus berlayar dibawah bendera suatu negara saja dan kecuali dalam hal-hal luar
biasa yang dengan jelas ditentukan dalam perjanjian internasional atau dalam
konvensi ini, harus tunduk pada yurisdiksi eksklusif negara itu di laut lepas. Suatu
kapal tidak boleh merobah bendera kebangsaannya sewaktu dalam pelayaran atau
sewaktu berada di suatu pelabuhan yang disinggahinya, kecuali dalam hal adanya
suatu perpindahan pemilikan yang nyata atau perubahan pendaftaran.
Pendaftaran kapal kepada negaranya menurut Konvensi Hukum Laut
1982 ini tidak berlaku bagi kapal-kapal yang digunakan untuk pelaksanakan tugas
Perserikatan Bangsa-Bangsa, badan-badan dan lembaga khususnya atau bagi
Badan Energi Atom Dunia (the International Atomic Energy Agency)
sebagaimana diatur oleh Pasal 93 Konvensi Hukum Laut 1982. 55

53

Pasal 90 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982
Chairul Anwar.Op.Cit. hal 66
55
Pasal 94 ayat 1 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982

54

Universitas Sumatera Utara

Pasal 94 Konvensi Hukum Laut 1982 (Duties of the flag State) yang
berbunyi :Every State shall effectively exercise its jurisdiction and control in
administrative, technical and social matters over ships flying its flag, yang berarti
adalah bahwa bahwa setiap negara harus melaksanakan secara efektif
jurisdiksinya dan mengendalikannya di bidang administratif, teknis, dan sosial di
atas kapal yang mengibarkan benderanya. Di laut lepas, kapal perang dan kapal
untuk dinas pemerintah memiliki kekebalan penuh terhadap jurisdiksi negara
mana pun kecuali negara benderanya sebagaimana diatur oleh Pasal 95-96
Konvensi.
Pasal 95 Konvensi Hukum Laut 1982 (Duties of the flag State) yang
berbunyi :Kapal perang memiliki kekebalan penuh terhadap yurisdiksi negara
manapun selain negara bendera. Sedangkan pasal 96 yakni kapal yang dimiliki
atau dioperasikan oleh suatu negara dan hanya untuk dinas pemerintah, memiliki
kekebalan penuh terhadap yurisdiksi negara lain kecuali negara bendera.
Hilangnya kewarganegaraan si pembajak akan lebih memudahkan bagi
setiap negara untuk melaksanakan hukum internasional terhadap pelaku
pembajakan di Laut Lepas.Berkaitan dengan adanya perbedaan yurisdiksi
kriminal di wilayah perairan tersebut, maka penegakan yurisdiksi negara pantai
harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional, khususnya
Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982, serta ketentuan-ketentuan internasional
lainnya yang relevan. Di tingkat regional ASEAN telah disepakati ASEAN Plan
Action of Combat Transnational Crime tahun 1999 untuk penanggulangan
kejahatan transnasional di lingkungan ASEAN.Pembajakan laut (piracy)

Universitas Sumatera Utara

merupakan salah satu jenis kejahatan yang menjadi prioritas untuk diupayakan
penanggulangannya.
Selama ini presepsi secara umum mengenai tindak kekerasan di laut
selalu diidentikkan dengan istilah pembajakan laut (piracy), meskipun dalam
kenyataannya terdapat beberapa kasus yang merupakan tindak kejahatan
perompakan di laut (sea robbery). Kedua istilah tersebut dapat dikatakan sama
hakekatnya, dan kadang secara bersamaan digunakan untuk menyebutkan suatu
peristiwa tindak kekerasan di laut, tetapi sebenarnya mempunyai perbedaan
mengenai wilayah yurisdiksi tempat terjadinya (locus delicti) tindak kekerasan di
laut tersebut.
Pembajakan di laut mempunyai dimensi internasional karena biasanya
digunakan untuk menyebutkan tindak kekerasan yang dilakukan di Laut
Lepas.Sedangkan perompakan di laut lebih berdimensi nasional karena
merupakan tindak kekerasan di laut yang dilakukan di bawah yurisdiksi suatu
negara, dengan tujuan yang berbeda pula, meskipun juga dapat mencakup lingkup
transnasional. Dengan demikian penanganan kedua jenis tindak kekerasan dilaut
tersebut dapat berbeda ruang lingkup pengaturan hukumnya, meskipun dapat
dilakukan dalam bentuk satu rangkaian tindakan yang sama, oleh aparat penegak
hukum yang sama pula.
Laut Lepas adalah merupakan res nullius, dan kecuali apabila terdapat
aturan-aturan dan batasan-batasan yang diterapkan untuk kepentingan negaranegara, Laut Lepas tidak merupakan wilayah negara manapun.Doktrin laut bebas
(Freedom of the seas) berarti bahwa kegiatan-kegiatan di laut dapat dilakukan

Universitas Sumatera Utara

dengan bebas dengan mengindahkan penggunaan laut untuk keperluan
lainnya.Istilah Laut Lepas (high seas) pada mulanya berarti seluruh bagian laut
yang tidak termasuk Perairan Pedalaman dan Laut Teritorial dari suatu negara.
Pada Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 atas prakarsa Liga BangsaBangsa walaupun disetujui mempertimbangkan Laut Teritorial sebagai bagian
dari wilayah negara pantai, dan perairan di luarnya adalah Laut Lepas, tetapi
konferensi tersebut mengalami kegagalan dalam menentukan lebar Laut Teritorial.
Kemudian konsepsi laut bebas ini lebih jelas terlihat di dalam Pasal 2 dari
Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas, yang menyatakan bahwa laut lepas
adalah terbuka untuk semua bangsa, tidak ada suatu negarapun secara sah dapat
melakukan pemasukan bagian dari Laut Lepas ke daerah kedaulatannya. Laut
Lepas dimaksudkan untuk kepentingan perdamaian dan tidak suatu negarapun
yang dapat melakukan klaim kedaulatannya atas bagian Laut Lepas.
Kebebasan di Laut Lepas dilaksanakan di bawah syarat-syarat yang
ditentukan oleh Pasal-Pasal ini (dari konvensi) dan oleh aturan-aturan hukum
internasional. Negara pantai maupun bukan negara pantai memiliki kebebasan
yang terdiri dari :
1. Kebebasan berlayar
2. Kebebasan menangkap ikan
3. Kebebasan menempatkan kabel-kabel dan pipa bawah laut.
4. Kebebasan untuk terbang di atas Laut Lepas.
Kebebasan-kebebasan ini dan hal-hal lainnya yang dikenal oleh asas-asas
umum hukum internasional, akan dilaksanakan oleh semua negara dengan

Universitas Sumatera Utara

memperhatikan kepentingan negara-negara lain dalam melaksanakan kebebasan di
laut.
Di dalam Konvensi Hukum Laut 1982, terlihat beberapa perubahan atas
konsep Laut Lepas seperti yang didefinisikan oleh Konvensi Jenewa 1958 tentang
Laut Lepas. Keempat kebebasan yang disebutkan oleh Pasal 2 Konvensi Jenewa
1958 tentang Laut Lepas tetap diakui dalam Pasal 87 dari konvensi baru dan
ditambahkan dengan dua macam kebebasan di Laut Lepas lainnya, yaitu
1. Kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi lainnya yang
diizinkan hukum internasional, sesuai dengan ketentuan Bab VI.
2. Kebebasan riset ilmiah, sesuai ketentuan-ketentuan Bab VI dan XIII.
Perubahan lainnya adalah munculnya rejim baru Zona Ekonomi Eksklusif
dengan luas 200 mil laut (Bab V, Pasal 55 – 75 ) serta rejim sumber-sumber
kekayaan alam dasar laut dan tanah di bawahnya di luar batas yurisdiksi nasional
di bawah Otorita Dasar Laut Internasional. Laut Lepas tunduk pada rejim yang
berbeda-beda, menyangkut perikanan dan sumber daya alamnya termasuk fungsi
Zona Ekonomi Eksklusif, sedangkan dasar laut dan tanah di bawahnya adalah di
bawah rejim Landas Kontinen, serta wilayah laut di atasnya adalah rejim Laut
Lepas.
Di dalam Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas, dijumpai adanya
definisi tentang Laut Lepas.Pasal 1 mengandung suatu definisi negatif dari pada
pengertian laut lepas dan mengartikannya sebagai “…….segala bagian laut yang
tidak termasuk laut teritorial atau perairan pedalaman suatu negara.Akan tetapi
Konvensi Hukum Laut 1982 tidak menyebutkan suatu defenisi tentang Laut

Universitas Sumatera Utara

Lepas. Dalam hal ini Konvensi Hukum Laut 1982 hanya menyatakan bahwa
ketentuan-ketentuan dari Laut Lepas diterapkan terhadap semua bagian dari laut
yang tidak termasuk di dalam Zona Ekonomi Eksklusif, Laut Teritorial, atau
Perairan Pedalaman dari suatu negara atau di dalam perairan kepulauan dari
negara kepulauan.
Apabila kita membandingkan kedua Pasal dari kedua konvensi di atas
maka akan kita temukan perbedaan, yaitu dalam definisi Pasal 1 Konvensi
Jenewa 1958 hanya menyebutkan Laut Teritorial dan Perairan Pedalaman
sebagai bagian laut yang tidak termasuk Laut Lepas. Hal ini adalah masuk akal,
karena pada waktu berlakunya konvensi ini belum diatur tentang Zona Ekonomi
Eksklusif dan diakuinya prinsip Negara Kepulauan, sedangkan kedua rejim yang
disebutkan terakhir sudah diatur dalam Konvensi Hukum Laut 1982.
Pada umumnya pengertian Landas Kontinen tersebut akan mempunyai
kedalamanan 130-500 meter, di sambung dengan lereng kontinen (continental
Slope) dengan kedalaman 1200-3500 meter, dan di terakhir adalah tanjakan
kontinen (continental rise) dengan kedalaman 3500-5500 meter. Ketiga Kontinen
tersebut membentuk continental margin atau pinggiran kontinen. 56Semua
ketentuan tentang Landas Kontinen menurut Konvensi Jenewa 1958 diubah oleh
Konvensi Hukum Laut 1982. Pengertian Landas Kontinen menurut Pasal 76
Konvensi Hukum Laut 1982 adalah sebagai berikut:

56

Departemen Kelautan dan Perikanan.Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi
Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) Di Indonesia. Laporan Akhir, hlm 29

Universitas Sumatera Utara

a) dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di luar laut teritorialnya
sepanjang adanya kelanjutan ilmiah dari wilayah daratannya sampai ke
pinggiran tepi kontinen; atau
b) dasar laut dan tanah di bawahnya sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal
di mana laut teritorial diukur;
c) landas kontinen dimungkinkan mencapai 350 mil laut dari garis pangkal di
mana laut teritorial diukur; atau
d) tidak melebihi 100 mil laut dari kedalaman (isobath) 2500 meter.
Negara pantai menjalankan hak berdaulat di landas kontinen untuk tujuan
mengeksplorasinya dan mengeksploitasinya sumber kekayaan alamnya. 57 Tetapi
di samping itu Indonesia mempunyai kewajiban untuk menetapkan batas terluar
landas kontinen sejauh 350 mil dan menyampaikan kepada Komisi Landas
Kontinen (Commission on the Limits of the Continental Shelf) yang selanjutnya
diatur oleh Lampiran (Annex) II Konvensi Hukum Laut 1982. Penentapan batasbatas landas kontinen baik sejauh 200 mil maupun 350 mil tersebut wajib
disampaikan salinannya kepada Sekretaris Jenderal PBB yang di dalamnya
memuat informasi yang relevan seperti data geodetik dan peta-peta lainnya. 58
Hak tersebut dalam ayat 1 diatas adalah eksklusifnya dalam arti bahwa
apabila negara pantai tidak mengekplorasi landas kontinen atau mengekploitasi
sumber kekayaan alamnya, tiada seorangpun dapat melakukan kegiatan itu tanpa
persetujuan tegas negara pantai. 59Hak suatu negara pantai atas landas kontinen

57

Pasal 77 ayat 1 United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982
Ibid
59
Pasal 77 ayat 2 United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982
58

Universitas Sumatera Utara

tidak tergantung pada pendudukan (okupasi), baik efektif atau tidak tetap
(national), atau pada proklamasi secara jelas apapun. 60
Hak negara pantai atas Landas Kontinen tidak boleh mempengaruhi status
hukum perairan di atasnya atau ruang udara di atas perairan tersebut.61
Pelaksanaan hak negara pantai atas Landas Kontinen tidak boleh mengurangi, atau
mengakibatkan gangguan apapun yang tak beralasan terhadap pelayaran dan hak
serta kebebasan lain yang dimiliki negara lain. 62
Semua negara berhak untuk meletakkan kabel dan pipa bawah laut di atas
Landas Kontinen. 63Dengan tunduk pada haknya untuk mengambil tindakan yang
patut untuk mengeksplorasi Landas Kontinen, mengekploitasi sumber kekayaan
alamnya dan untuk pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran yang
berasal dari pipa, negara pantai tidak boleh menghalangi pemasangan atau
pemeliharaan kabel atau pipa demikian. 64 Penentuan arah jalannya pemasangan
pipa laut demikian di atas Landas Kontinen harus mendapat persetujuan dari
negara pantai 65 oleh karena di Landas Kontinen negara pantai memiliki
Penguasaan penuh dan hak eksklusif atas kekayaan alam di Landas Kontinen
Indonesia serta pemilikannya ada pada Negara. 66
Setiap perbuatan dan peristiwa yang terjadi pada, diatas atau dibawah
instalasi-instalasi, alat-alat lainnya atau kapal-kapal yang berada di Landas
Kontinen dan/atau diatasnya, untuk keperluan eksplorasi dan/atau eksploitasi
60

Pasal 77 ayat 3 United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982
Pasal 78 ayat 1 United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982
62
Pasal 78 ayat 2 United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982
63
Pasal 79 ayat 1 United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982
64
Pasal 79 ayat 2 United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982
65
Pasal 79 ayat 3 United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982
66
Pasal 2 Undang-Undang No 1 Tahun 1973 Tentang Landas Kontinen
61

Universitas Sumatera Utara

kekayaan alam di landas kontinen atau daerah terlarang dan daerah terbatas dari
instalasi-instalasi dan/atau alat-alat lainnya atau kapal-kapal yang bersangkutan,
berlaku hukum dan segala peraturan perundang-undangan Indonesia. 67
Commission on the Limits of the Continental Shelf (komisi tentang Batasbatas Landas kontinen) di luar 200 mil laut harus dibentuk. Komisi harus terdiri
dari 21 anggota yang merupakan ahli-ahli dalam bidang geologi, geofisika atau
hydrografi, yang dipilih oleh negara-negara peserta konvensi ini dari antara para
warganegaranya, dengan memperhatikan kebutuhan untuk menjamin perwakilan
geografis yang adil, yang harus menjabat dalam kapasitas pribadi. 68
Pengaturan Laut Lepas (high seas) terdapat dalam Konvensi-Konvensi
Jenewa yang merupakan hasil dari Konferensi PBB tentang Hukum Laut
(UNCLOS) I tanggal 24 Februari-27 April 1958. Pasal 1 Konvensi Jenewa 1958
tersebut memberikan pengertian Laut Lepas yang berbunyi bahwa laut lepas
adalah semua bagian laut yang tidak termasuk Laut Teritorial atau Perairan
Pedalaman suatu Negara. Konvensi Jenewa 1958 ini sudah tidak berlaku lagi
karena ada yang baru, yaitu Konvensi Hukum Laut 1982.Pengertian Laut Lepas
menurut Konvensi Jenewa 1958 tersebut sangat jauh dengan pengertian Laut
Lepas menurut Konvensi Hukum Laut 1982. 69
Konvensi Hukum Laut 1982 dalam Pasal 86 menyatakan pengertian laut
lepas sebagai Berikut yaitu bahwa Laut Lepas adalah semua bagian laut yang
tidak termasuk Zona Ekonomi Eksklusif, Laut Territorial atau Perairan Pedalaman

67

Pasal 9 ayat 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1973 Tentang Landaas Kontinen
Pasal 2 ayat 1 United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982
69
Pasal 2 ayat 1 United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982

68

Universitas Sumatera Utara

suatu negara dan perairan kepulauan dalam Negara kepulauan. Pengertian Laut
Lepas menurut Konvensi Hukum Laut 1982 ini sangat jauh statusnya dengan
pengertian laut lepas menurut Konvensi Jenewa 1958. Laut Lepas menurut
Konvensi Jenewa 1958 adalah hanya 3 mil dari Laut Territorial, sedangkan Laut
Lepas menurut Konvensi Hukum Laut 1982 adalah dimulai dari Zona Ekonomi
Eksklusif yang berarti dimulai dari 200 mil. Menurut Konvensi Hukum Laut
1982, laut territorial yang sejauh 12 mil itu tunduk pada kedaulatan penuh suatu
Negara, sedangkan Zona Ekonomi Eksklusif yang sejauh itu mempunyai status sui
generic, yaitu bahwa sifat khusus yang bukan bagian dari kedaulatan Negara,
tetapi juga tidak tunduk pada rejim Internasional. Dalam Zona Ekonomi
Eksklusif,

setiap

Negara mempunyai

hak-hak

berdaulat

dan

jurisdiksi

sebagaimana dijelaskan di atas.
Konvensi hukum laut 1982 Pasal 92 ayat 2 menetapkan bahwa kapal harus
berlayar dibawah bendera suatu negara saja dan kecuali dalam hal-hal luar biasa
yang dengan jelas ditentukan dalam perjanjian internasional atau dalam konvensi
ini, harus tunduk pada yurisdiksi eksklusif negara itu di laut lepas. Suatu kapal
tidak boleh merobah bendera kebangsaannya sewaktu dalam pelayaran atau
sewaktu berada di suatu pelabuhan yang disinggahinya, kecuali dalam hal adanya
suatu perpindahan pemilikan yang nyata atau perubahan pendaftaran.
Pasal 94 Konvensi Hukum Laut 1982 (Duties of the flag State) yang
berbunyi :Every State shall effectively exercise its jurisdiction and control in
administrative, technical and social matters over ships flying its flag, yang berarti
adalah bahwa bahwa setiap negara harus melaksanakan secara efektif

Universitas Sumatera Utara

jurisdiksinya dan mengendalikannya di bidang administratif, teknis, dan sosial di
atas kapal yang mengibarkan benderanya. Di Laut Lepas, kapal perang dan kapal
untuk dinas pemerintah memiliki kekebalan penuh terhadap jurisdiksi negara
mana pun kecuali negara benderanya sebagaimana diatur oleh Pasal 95-96
Konvensi.
Ketentuan-ketentuan tentang pembajakan laut diatur oleh konvensikonvensi hukum laut 1982, mulai dari Pasal 101 sampai dengan Pasal 107.Di Laut
Lepas atau setiap tempat diluar yurisdiksi negara manapun setiap negara dapat
menyita kapal atau pesawat udara perompak atau suatu kapal atau pesawat udara
yang telah diambil oleh perompak dan berada dibawah pengendalian perompak
dan menangkap orang-orang yang menyita barang yang ada dikapal. Pengadilan
negara yang telah melakukan tindakan penyitaan itu dapat menetapkan hukuman
yang akan dikenakan, dan juga dapat menetapkan tindakan yang akan diambil
berkenaan dengan kapal-kapal, pesawat udara atau barang-barang, dengan tunduk
pada hak-hak pihak ketiga yang telah bertindak dengan itikad baik. 70
Apabila penangkapan terhadap suatu kapal atau pesawat terbang dilakukan
tanpa alasan yang layak, negara yang menangkap kapal atau pesawat terbang
tersebut bertanggung jawab kepada negara nasionali kapal atau pesawat terbang
atas kerugian yang ditimbulkan oleh penangkapan tersebut. 71
Sesungguhnya persoalan yang sebagian merupakan hukum kebiasaan
internasional dan sebagian terdiri atas beberapa konvensi dan traktat, negara
maritim mendapat beberapa hak berkaitan dengan kapal-kapal yang tidak berlayar
70

Pasal 105 United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982
Chairul Anwar. Hukum Internasional Horizon Baru Hukum Laut Internasional
Konvensi Hukum Laut 1982, hlm 68
71

Universitas Sumatera Utara

di bawah bendera mereka. Sejumlah besar hak yang penting, yang semula sifatnya
sebagai kebiasaan, yaitu apa yang disebut “pengejaran seketika”, yang berarti
bahwa apabila negara pantai terkait mempunyai alasan yang tepat untuk percaya
bahwa sebuah kapal asing telah melakukan pelanggaran hukum dan peraturan
perundang-undangan negara tersebut pada saat melintas melalui jalur maritim,
kapal itu boleh dikejar dan ditahan demikian pula tertangkap di Laut Lepas
dengan ketentuan:
1. Pengejaran demikian dilakukan segera pada saat kapal yang diduga
keras melakukan pelanggaran hukum itu atau perahu-perahu motor
tambahannya masih berada di dalam perairan pedalaman negara
pantai atau di jalur maritimnya.
2. Pengejaran itu berlangsung secara tidak terputus dan terus menerus.
3. Telah diberikan tanda-tanda visual atau melalui pengeras suara
untuk memberhentikan dari jarak sedemikian rupa sehingga terlihat
atu terdengar oleh kapal buronan tersebut, dalam hal ini terlihat saja
tidak cukup, dan
4. Pihak pengejar adalah kapal-kapal perang atau kapal pemerintah
lainnya yang secara khusus berwenang untuk melakukan tindakan
demikian, meskipun kapal yang melakukan penangkapan tidak harus
yang memulai pengejaran tersebut. Hak pengejaran seketika tersebut
berakhir segera setelah kapal yang dikejar memasuki jalur maritime
negara asalnya, atau jalur maritime negara ketiga. 72

Kemudian dalam hal pemberian kebangsaan pada kapal-kapal yang berlayar di
laut lepas diatur dalam Pasal 19 UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa, “setiap
negara harus menetapkan persyaratan bagi pemberian kebangsaannya pada kapal,
untuk pendaftaran kapal dalam wilayah dan untuk hakmengibarkan benderanya”.
Pasal tersebut menegaskan bahwa harus ada suatu kaitan yang sungguh-sungguh
antara negara dan kapal itu.

72

J. G. Starke, Op.Cit, hlm 326

Universitas Sumatera Utara

C. Ketentuan Pembajakan laut lepas berdasarkan konvensiJenewa 1958 dan

Konvensi Hukum laut PBB 1982
Pembajakan di Laut Lepas ini telah diatur berdasarkan hukum
kebiasaaninternasional, karena dianggap telah mengganggu kelancaran
pelayaran dan negara memiliki hak untuk melaksanakan yurisdiksi
berdasarkan hukum yang berlaku dalam negaranya.
Konvensi Roma 1988, Pasal 6 ayat (1) dan (2) berbunyi sebagai berikut,
1. Each State Party shall take such measures as may be necessary to establish
its jurisdiction over the offences set forth in article 3 when the offence is
committed:(a) against or on board a ship flying the flag of the State at the
time the offence iscommitted; or (b) in the territory of that State, including its
territorial sea; or (c)by a national of that State.(S et i a p n e ga r a pi ha k
ha ru s m e n gam bi l t i nd ak an ya n g di pe rl uk an u nt u k menetapkan
yurisdiksi atas tindak pidana yang ditetapkan dalam pasal 3 ketikakejahatan
dilakukan: (a) melawan untuk mengibarkan bendera negara pada
waktukejahatan dilakukan di atas kapal; (b) dalam wilayah negara yang
bersangkutan,termasuk laut teritorial; (c) dilakukan oleh seorang warga
negara dari negaratersebut).
2. A State Party may also establish its jurisdiction over any such offence when:
(a)it is committed by a stateless person whose habitual residence is in that
State;(b) during its commission a national of that State is seized, threatened,
injured or killed; or (c) it is committed in an attempt to compel that State to
do or abstain from doing any act.(Setiap negara pihak juga dapat menerapkan
yurisdiksinya atas suatu pelanggaran jika: (a) tindakan itu dilakukan oleh
seseorang yang berkewarganegaraan darinegara yang bersangkutan; (b)
selama pelaku dari negara tersebut, mengancamuntuk membunuh atau
melukai orang lain; (c) tindakan tersebut dilakukansebagai upaya
untuk memaksa negara yang bersangkutan untuk melakukan atautidak
melakukan suatu tindakan)
Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap negara pihak harus mengambil
tindakanuntuk menetapkan yurisdiksi atas tindak pidana sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam Pasal 3 konvensi di atas dan juga dapat menerapkan
yurisdiksinya atas suatu pelanggaran seperti yang ditetapkan dalam konvensi

Universitas Sumatera Utara

tersebut.Dalam pelaksanaan yurisdiksi sebagaimana yang dimaksud di atas,
negara-negarayang berhasil menangkap para pelaku pembajakan boleh saja
mengirimkan para pelaku tersebut ke negara lain yang memiliki peraturan
hukum tentang hal itu untuk diadili di negara tersebut, sebagai contoh,
Inggris pernah menangkap pelaku pembajakan di Somalia, namun pelaku
tersebut diserahkan kepada pengadilanKenya. Hal ini dilakukan apabila suatu
negara tidak memiliki aturan nasionalmengenai kejahatan demikian, maka
negara yang bersangkutan boleh menyerahkan pelaku tersebut kepada negara lain
untuk diadili, dengan syarat bahwa negara ituharus memiliki ketentuan hukum
mengenai hal tersebut. Terkait masalah ini diatur dalam Pasal 8 konvensi Roma 1988
ayat (1),“The master of a ship of a State Party (the "flag State") may
deliver to theauthorities of any other State Party (the "receiving State") any
person who he hasreasonable grounds to believe has committed one of the
offences set forth in article.”( Pemilik kapal suatu negara bendera dapat
menyerahkan setiap orang yang dicurigaitelah melakukan salah satu tindak
pidana yang ditetapkan dalam Pasal 3 kepada pihak yang berwenang dari
negara pihak lainnya (negara penerima).Konvensi Jenewa 1988 di atas sejalan
dengan

prinsip/asas

hukum

universal

yangterdapat

dalam

hukum

internasional, yang menyatakan bahwa, “Semua negaratanpa terkecuali
dapat mengklaim dan menyatakan kewenangannya atas suatutindak pidana
yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. 73

73

http://www.scribd.com/doc/95714549/Bab-I-sampai-Bab-V diakses 6 Juni 2013

Universitas Sumatera Utara

Dalam hukum positif internasional, definisi atau batasan pengertian
pembajakan di laut telah ditentukan berdasarkan perumusan dalam Konvensi
Jenewal958 dan Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Konvensi Jenewa l958 dalam
Pasal l5 merumuskan pembajakan di laut yaitu bahwa : 74
Pembajakanterdiri darisalah satu tindakanberikut:
1) Setiaptindaka