Pembajakan Kapal Di Laut Lepas Ditinjau Dari Hukum Internasional (Studi Kasus Kapal Mv Jahan Moni)

(1)

PEMBAJAKAN KAPAL DI LAUT LEPAS DITINJAU DARI

HUKUM INTERNASIONAL

(Studi Kasus Kapal MV Jahan Moni)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

YUDI TRIANANTHA

NIM: 070200298

DEPARTEMEN :HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PEMBAJAKAN KAPAL DI LAUT LEPAS DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS KAPAL MV JAHAN MONI)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dan Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Rangka Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

YUDI TRI ANANTHA NIM: 070200298

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Internasional

NIP. 196403301993031002 Arif, S.H.,M.H.

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Arif, S.H.,M.H.

NIP. 196403301993031002 NIP. 196808022003121002 Deni Purba, S.H.LLM


(3)

KATA PENGANTAR

Segala Hormat dan Puji dan Syukur hanya bagi-Nya. Yang menciptakan segala yang ada di bumi dan di surga dan memampukan penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas skripsi ini dengan baik . Didalam Kasih Anugerah-Nya yang begitu besar, yang sama sekali tidak terpikirkan oleh akal budi Penulis, membuat Penulis selalu bersyukur dan menyadari bahwa semuanya adalah karena Penulis begitu berharga sebagai ciptaan-nya

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengakui dengan sadar bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan.Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pihak manapun demi kesempurnaan skripsi ini.

Skrips ini berjudul “PEMBAJAKAN KAPAL DI LAUT LEPAS DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS KAPAL MV JAHAN MONI ) terlepas dari pihak-pihak yang membantu penulis dalam pengerjaan skripsi ini serta membantu penulis dalam menghadapi masa-masa kuliah di Fakultas Hukum USU baik dengan dukungan moril maupun materil sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Teristimewa buat kedua orang tuaku yang selama ini telah mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih dan sabar. Terima Kasihku kepada Ayah dan Ibuku yang selalu mendoakanku.

2. Bapak Prof.Dr.Runtung Sitepu, S.H.,M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.s

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum.,selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.Hum, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak M. Husni, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

6. Bapak Arif, S.H.,M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Universitas Sumatera Utara dan Dosen Pembimbing I yang sangat banyak membantu penulis dan meluangkan waktunya untuk membaca, memeriksa serta membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Deni Purba. S.H.,LLM.selaku Dosen Pembimbing I yang sangat banyak membantu penulis dan meluangkan waktunya untuk membaca, memeriksa serta membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Bapak Dr.Jelly Leviza, S.H.,M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Internasional Universitas Sumatera Utara.

9. Serta seluruh staf pengajar dan staf pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10.Kepada Bang Dedi, selaku asisten di Departemen Hukum Internasional yang turut membantu dan menemani penulis dalam mengurus skripsi. 11.Dan kepada semua pihak yang membantu penulis selama menjalani masa

kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini dan tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu.

Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tanpa dukungan dan bantuan dari semua pihak maka penulis tidak akan mungkin mampu menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan dan kekurangan selama ini, baik itu kata-kata maupun perbuatan.

Semoga yang penulis sajikan dalam skripsi ini dapat membawa manfaat bagik kita semua.

Medan, Juli 2013 Hormat Penulis,


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

F. Metode Penelitian ... 18

G. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II : PENGATURAN PEMBAJAKAN DI LAUT LEPAS BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL A. Sejarah Pembajakan di laut lepas ... 22

B. Pengaturan Hukum Internasional mengenai pembajakan di laut lepas... 28

C. Ketentuan Pembajakan laut lepas berdasarkan konvensiJenewa 1958 dan Konvensi Hukum laut PBB 1982 ... 47

BAB III PEMBAJAKAN KAPAL MV JAHAN MONI A. Pembajakan terhadap Kapal MV Jahan Moni ... .... 61

B. Penyebab terjadinya pembajakan kapal MV Jahan Moni ... .... 65


(6)

BAB IV : Upaya-Upaya dalam Menangani Permasalahan Pembajakan Di laut Lepas pada kasus Kapal MV Jahan Moni

A. Pengamanan atau penangkapan terhadap pembajakan kapal di

laut lepas ... .... 74

B. Kerjasama pesisir Indian Ocean Region (IOR) atau Wilayah

Samudera India dalam penanganan Pembajakan kapal laut lepas .. 81 C. Solusi Pembajakan Kapal MV Jahan Moni ... .... 84

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... .... 91 B. Saran ... .... 92


(7)

ABSTRAK

Pembajakan di laut lepas baik yang dilakukan oleh kapal-kapal asing, maupun oleh kapal-kapal domestik di wilayah perairan internasional akhir-akhir ini telah menimbulkan keresahan bagi pelayaran internasional.Penindakan kejahatan pembajakan laut lepas tersebut, didasarkan pada berlakunya hukum internasional yang berkaitan dengan pembajakan laut lepas.Sebuah kapal M.V. Jahan Moni berbendera Bangladesh di lepas pantai India di Laut Arab dibajak oleh orang Somalia.Para pembajakan Somalia mulai naik kapal setelah mengejar M.V. Jahan Moni di Laut Arab.

Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimanapengaturan pembajakan di laut lepas berdasarkan hukum internasional, bagaimana pembajakan kapal MV Jahan Moni dan bagaimanaupaya-upaya dalam menangani permasalahan pembajakan di laut lepas pada kasus kapal MV Jahan Moni?

Adapun metode penelitian dilakukan dengan Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan, dan Penelitian hukum empiris. Penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau disebut juga dengan studi kepustakaan (library research) dengan perolehan data sekunder yang bersumber sari majalah, buku-buku, jurnal, surat kabar, website online, dan dokumen pustaka lainnya.

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikutAksi pembajakan di laut lepas tersebut pada awalnya dan pada umumnya adalah dilatarbelakangi oleh faktor-faktor ekonomi.Namun pada perkembangannya dan dalam situasi dewasa ini, fenomena pembajakandalam konteks tindakan kekerasan di Laut Lepas yang lebih luas.Hal ini mengingat semakin dimungkinkannya ancaman aksi terorisme di kedua Selat ini yang dilatarbelakangi masalah non ekonomi (ideologi), dimana sangat dimungkinkan bahwa aksi-aksi tersebut juga dilakukan di Laut Lepas, serta kapal-kapal di laut.Pengaturan pembajakan di Laut Lepas berdasarkan hukum internasional yakni berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Konvensi Jenewa juga senada dengan Pasal 105 UNCLOS yang menyatakan Di Laut Lepas, atau disetiap tempat lain di luar yurisdiksi Negara manapun setiap Negara dapat menyita suatu kapal atau pesawat udara pembajakan atau suatu kapal atau pesawat udara yang telah diambil oleh pembajakan dan berada di bawah pengendalian pembajakan dan menangkap orang-orang yang menyita barang yang ada di kapal. Perubahan atau peninjauan ulang (revisi) dapat dilakukan dengan cara memperluas yurisdiksi internasional dengan protocol tambahan, menambah protocol dalam United Nations Convention On Law of the Sea (UNCLOS 1982) mengenai mekanisme untuk mengadili para perompak, amandemen UNCLOS 1982 melalui ketentuan pasal 311 menambahkan pembajakan di laut sebagai salah satu tindak pidana yang dapat diadili dalam Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) dan membentuk pengadilan khusus yang menangani pembajakan di laut.


(8)

ABSTRAK

Pembajakan di laut lepas baik yang dilakukan oleh kapal-kapal asing, maupun oleh kapal-kapal domestik di wilayah perairan internasional akhir-akhir ini telah menimbulkan keresahan bagi pelayaran internasional.Penindakan kejahatan pembajakan laut lepas tersebut, didasarkan pada berlakunya hukum internasional yang berkaitan dengan pembajakan laut lepas.Sebuah kapal M.V. Jahan Moni berbendera Bangladesh di lepas pantai India di Laut Arab dibajak oleh orang Somalia.Para pembajakan Somalia mulai naik kapal setelah mengejar M.V. Jahan Moni di Laut Arab.

Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimanapengaturan pembajakan di laut lepas berdasarkan hukum internasional, bagaimana pembajakan kapal MV Jahan Moni dan bagaimanaupaya-upaya dalam menangani permasalahan pembajakan di laut lepas pada kasus kapal MV Jahan Moni?

Adapun metode penelitian dilakukan dengan Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan, dan Penelitian hukum empiris. Penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau disebut juga dengan studi kepustakaan (library research) dengan perolehan data sekunder yang bersumber sari majalah, buku-buku, jurnal, surat kabar, website online, dan dokumen pustaka lainnya.

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikutAksi pembajakan di laut lepas tersebut pada awalnya dan pada umumnya adalah dilatarbelakangi oleh faktor-faktor ekonomi.Namun pada perkembangannya dan dalam situasi dewasa ini, fenomena pembajakandalam konteks tindakan kekerasan di Laut Lepas yang lebih luas.Hal ini mengingat semakin dimungkinkannya ancaman aksi terorisme di kedua Selat ini yang dilatarbelakangi masalah non ekonomi (ideologi), dimana sangat dimungkinkan bahwa aksi-aksi tersebut juga dilakukan di Laut Lepas, serta kapal-kapal di laut.Pengaturan pembajakan di Laut Lepas berdasarkan hukum internasional yakni berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Konvensi Jenewa juga senada dengan Pasal 105 UNCLOS yang menyatakan Di Laut Lepas, atau disetiap tempat lain di luar yurisdiksi Negara manapun setiap Negara dapat menyita suatu kapal atau pesawat udara pembajakan atau suatu kapal atau pesawat udara yang telah diambil oleh pembajakan dan berada di bawah pengendalian pembajakan dan menangkap orang-orang yang menyita barang yang ada di kapal. Perubahan atau peninjauan ulang (revisi) dapat dilakukan dengan cara memperluas yurisdiksi internasional dengan protocol tambahan, menambah protocol dalam United Nations Convention On Law of the Sea (UNCLOS 1982) mengenai mekanisme untuk mengadili para perompak, amandemen UNCLOS 1982 melalui ketentuan pasal 311 menambahkan pembajakan di laut sebagai salah satu tindak pidana yang dapat diadili dalam Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) dan membentuk pengadilan khusus yang menangani pembajakan di laut.


(9)

BAB I PENDAHULUAN A.Latar belakang Masalah

Laut pada umumnya merupakan wilayah yang berbatasan dengan suatu negara, sehingga seringkali kejahatan yang dilakukan di wilayah laut lepas dapat menimbulkan konflik yurisdiksi antara Negara pantai dengan Negara bendera kapal.Konflik yurisdiksi ini timbul berkaitan dengan adanya yurisdiksi ekstra territorial yang dimiliki oleh Negara bendera kapal yang dimiliki oleh Negara pantai.Oleh karena itu kewenangan Negara pantai untuk menerapkan yurisdiksi kriminal di wilayah perairan yang berada di bawah yurisdiksinya terhadap kejahatan-kejahatan, khususnya yang dilakukan oleh kapal asing, harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional.Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum internasional, akan menimbulkan kemungkinan bahwa Negara pantai dapat diajukan ke Mahkamah Internasional.

Pembajakan di laut lepas baik yang dilakukan oleh kapal-kapal asing, maupun oleh kapal-kapal domestik di wilayah perairan internasional akhir-akhir ini telah menimbulkan keresahan bagi pelayaran internasional.Penindakan kejahatan pembajakan laut lepas tersebut, didasarkan pada berlakunya hukum internasional yang berkaitan dengan pembajakan laut lepas.

“Hukum internasional yang harus dipatuhi oleh setiap negara, untuk pelayaran di laut lepas baik negara berpantai maupun negara tidak berpantai harus mengibarkan bendera satu saja, tidak diperkenankan untuk dilepas mengganti benderanya selama dalam perjalanan atau di pelabuhan yang singgahi, kecuali ada hal-hal lain. Dan ditegaskan bagi kapal yang berlayar memakai dua bendera dari dua negara atau lebih dengan sesuka hatinya atau dalam pelayaran berganti-ganti bendera, maka mereka tidak boleh menuntut suatu kebangsaan yang dimaksud


(10)

terhadap suatu negara dan kapal itu dapat disamakan dengan sebuah kapal tanpa kebangsaan.Kecuali pada keadaanyang luar biasa dan dicantumkan dalam perjanjian internasional.Bagi kapal-kapal di laut lepas mempunyai kekuasaan penuh terhadap kekuasaan hukum (jurisdiksi) suatu negara selain dari negara yang benderanya dipakai oleh kapal tersebut.”1

Usaha untuk merintis pembakuan norma tersebut secara sitematis dan teratur melalui usaha kodifikasi telah ditempuh yaitu dengan diadakannya Konperensi Kodifikasi Den Haag 1930 oleh Liga Bangsa-Bangsa. Pengaturan mengenai pembajakan di laut lepas dimasukkan dalam pengaturan tentang hak pengejaran (the right of hot pursuit).Usaha untuk mengkodifikasikan pengaturan tersebut gagal karena konperensi tidak menghasilkan suatu konvensi.Meskipun demikian usaha ini sudah dapat dikatakan merupakan langkah awal terhadap praktek pengaturan pembajakan di laut lepas.

Pembajakan di laut lepas mempunyai dimensi internasional karena biasanya digunakan untuk menyebutkan tindak kekerasan yang dilakukan di laut lepas.Pembajakan di laut lepas sejak dahulu telah diatur berdasarkan hukum kebiasaan internasional karena dianggap mengganggu kelancaran pelayaran dan perdagangan antar bangsa.Pengaturan oleh hukum kebiasaan internasional tersebut terbukti dari praktek yang terus menerus dilakukan oleh sebagian besar Negara-negara di dunia.

2

Dalam perkembangannya kemudian pembajakan di laut lepas telah dikategorikan sebagai “delict jure gentium” atau bertentangan dengan hukum

1

P.Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, Edisi baru, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta 2002, hlm 23-24

2

Judarwanto. Perompak Somalia, Kriminal Internasional Masalah Dunia.


(11)

dunia. Hal itu didasarkan kembali dari kesimpulan Pasal 19 Konvensi Jenewa 1958, yang dirumuskan kembali dalam Pasal 105 Konvensi Hukum Laut PBB 1982, yang mengatakan bahwa setiap Negara dapat menahan, merampas, menyita serta mengadili terhadap pelaku pembajakan di laut lepas dimanapun pelaku berada.

Sebagai hukum positif internasional, pengaturan pembajakan dilaut lepas berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB 1982 telah memperlihatkan adanya perkembangan dalam dalam hal pembajakan, tindakan yang dikategorikan sebagai pembajakan, pelaku pembajakan dan sarana yang digunakan untuk melakukan pembajakan. Perkembangan tersebut memang mencerminkan kebutuhan masyarakat internasional yang sesuai dengan kondisi dan situasi saat ini.

Dengan demikian pembajakan di laut, khususnya di laut lepas merupakan kejahatan internasional berdasarkan kriterianya, diantaranya yaitu bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan atau kejahatan yang dilarang dalam:

1. Hukum kebiasaan Internasional

2. Perjanjian internasional yang mengatur secara khusus tentang kejahatan internasional

3. Konvensi lain yang tidak secara khusus mengatur tentang kejahatan internasional (Konvensi Hukum Laut 1982 yang mengatur pembajakan di laut lepas)

Bagi Negara kepulauan perairan seperti Somalia, tindak kekerasan di laut baik berupa pembajakan sudah merupakan bagian dari dinamika kehidupan dilaut


(12)

yang perlu untuk mendapatkan penanganan yang serius.Apabila terjadi suatu pembajakan laut lepas yang ditujukan kepada awak atau penumpang kapal maka tidak berarti telah terjadi sebuah tindakan pembajakan di laut lepas. Salah satu contoh adalah Pembajakan yang beroperasi di lepas pantai Somalia meningkatkan serangan pembajakan terhadap kapal-kapal di Lautan India dan Teluk Aden meski angkatan laut asing digelar di lepas pantai negara Tanduk Afrika itu sejak 2008.Kapal-kapal perang asing berhasil menggagalkan sejumlah pembajakan dan menangkap puluhan pembajakan, namun serangan masih terus berlangsung.

Perairan di lepas pantai Somalia merupakan tempat paling rawan pembajakan di dunia.Biro Maritim Internasional melaporkan 24 serangan di kawasan itu antara April dan Juni tahun 2008.Angka tidak resmi menunjukkan 2009 sebagai tahun paling banyak pembajakan di Somalia, dengan lebih dari 200 serangan termasuk 68 pembajakan yang berhasil dan uang tebusan diyakini melampaui 50 juta dolar US. Kelompok-kelompok bajak laut Somalia, yang beroperasi di jalur pelayaran strategis yang menghubungkan Asia dan Eropa, memperoleh uang tebusan jutaan dolar US dari pembajakan kapal-kapal di Lautan India dan Teluk Aden.Patroli angkatan laut multinasional di jalur pelayaran strategis yang menghubungkan Eropa dengan Asia melalui Teluk Aden tampaknya hanya membuat pembajakan memperluas operasi serangan mereka semakin jauh ke Lautan India.3

Dewan Keamanan PBB telah menyetujui operasi penyerbuan di wilayah perairan Somalia untuk memerangi perompakan, namun kapal-kapal perang yang

diakses 30 Maret 2013


(13)

berpatroli di daerah itu tidak berbuat banyak.Pemerintah transisi lemah Somalia, yang saat ini menghadapi pemberontakan berdarah, tidak mampu menghentikan aksi pembajakan yang membajak kapal-kapal seperti kasus kapal MV Jahan Moni dan menuntut uang tebusan bagi pembebasan kapal-kapal itu dan awak.

Pembajakan, yang bersenjatakan granat roket dan senapan otomatis, menggunakan kapal-kapal cepat untuk memburu sasaran mereka.Somalia dilanda pergolakan kekuasaan dan anarkisme sejak panglima-panglima perangmenggulingkan diktator militer Mohamed Siad Barre pada 1991.Selain pembajakan, penculikan dan kekerasan mematikan juga melanda negara tersebut.4

Seperti kasus sebuah kapal M.V. Jahan Moni berbendera Bangladesh di lepas pantai India di Laut Arab dibajak oleh orang Somalia. Para pembajakan Somalia mulai naik kapal setelah mengejar M.V. Jahan Moni di Laut Arab.Kapal dengan 16 awak milik sebuah perusahaan pelayaran Bangladesh itu sedang menuju ke arah Eropa dengan barang dagangan dari Singapura.Para pembajakan Somalia telah mengumpulkan puluhan juta US dolar uang tebusan dari membajak kapal M.V. Jahan Moni di Lautan India, meskipun pembajakan itu terjadi sekitar 3.000 kilometer di timur Somalia.5

Bangladesh meminta bantuan dari kelompok anti pembajakan di Dubai dan Singapura serta penjaga pantai India segera setelah peristiwa pembajakan. Bajak laut Somalia yang telah menghasilkan sepuluh juta dollar dari hasil pembajakan kapal M.V. Jahan Moni, termasuk tanker dan kapal pengangkut


(14)

barang, di Samudra India dan Teluk Aden serta menahan kapal M.V. Jahan Moni itu untuk uang tebusan, walaupun angkatan laut asing terus berupaya menangkal penyergapan semacam itu.6

B. Perumusan Masalah

Untuk itu dilakukan penelitian dengan mengangkat tema mengenai bagaimana solusi pembajakan kapal di laut lepas ditinjau dari hukum internasional.Oleh karena itu, judul yang diajukan adalah Pembajakan kapal di Laut Lepas ditinjau dari hukum internasional (studi kasus kapal MV Jahan Moni).

Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang dihadapi dan harus diselesaikan dalam penelitian. Dengan adanya perumusan masalah maka akan dapat ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga tidak mengarah pada hal-hal diluar permasalahan.

Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanapengaturan pembajakan di laut lepas berdasarkan hukum internasional?

2. Bagaimana pembajakan kapal MV Jahan Moni?

3. Bagaimanaupaya-upaya dalam menangani permasalahan pembajakan di laut lepas pada kasus kapal MV Jahan Moni?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian


(15)

Tujuan utama dari penulisan skripsi ini secara umum adalah untuk menempatkan Studi Analisa Hubungan Internasional sebagai bidang yang menarik dalam ilmu Hubungan Internasional. Suatu penulisan biasanya dilakukan untuk memberikan gambaran obyektif terhadap fenomena tertentu. Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain:

a. Untuk mengetahuipengaturan pembajakan di laut lepas berdasarkan hukum internasional.

b. Untuk mengetahui pembajakan kapal MV Jahan Moni.

c. Untuk mengetahuiupaya-upaya dalam menangani permasalahan pembajakan di laut lepas pada kasus kapal MV Jahan Moni.

2. Manfaat penelitian

Adapun manfaat penelitian skripsi yang akan penulis lakukan adalah: a. Penelitian ini sangat penting untuk memperoleh data yang dapat di percaya

dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah sebagai bahan penyusunan skripsi dan bahan pembinaan serta memperkaya khasanah perbendaharaan ilmu hukum khususnya Hukum Internasional.

b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dipergunakan sebagaisumber kajian bagi yang berkepentingan.

D. Keaslian Penelitian

Adapun judul tulisan ini adalahpembajakan kapal di laut lepas ditinjau dari hukum internasional (studi kasus kapal MVJahan Moni). Judul skripsi ini belum pernah ditulis dan diteliti dalam bentuk yang sama, sehingga tulisan ini asli, atau dengan kata lain tidak ada judul yang sama dengan mahasiswa fakultas hukum


(16)

USU. Dengan demikian ini keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E.Tinjauan Kepustakaan

Perkembangan kedaulatan suatu negara dilaut dapat ditelusuri melalui sejarahhukum laut internasional itu sendiri, dimana terdapat pertarungan antara dua asashukum laut, yaitu Res Nullius dan Res Communis.Menurut penganut asas ResNullius, laut itu tidak ada yang memilikinya, oleh karena itu dapat dimiliki setiapnegara yang menginginkannya. Sedangkan penganut asas Res Communisberpendapat bahwa laut itu adalah milik bersama masyarakat dunia, oleh karena itu

tidak dapat dimiliki oleh setiap negara. Dalam praktik negara-negara tepi laut tengah

sejak zaman kuno asas Res Communis inilah yang dijalankan oleh kerajaan-kerajaanRhodia, Persia, Yunani dan Romawi.7

Penguasaan negara terhadap laut berdasarkan kepada suatu konsepsi hukum,diawali dengan keluarnya peraturan-peraturan Hukum Laut Rodhia abad ke-2sebelum Masehi, yang diterima dengan baik oleh semua negara di tepi Laut Tengah.8

7

Hasyim Djalal, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Penerbit BPHN danBinacipta, Bandung, 1979, hlm. 11-19

8

Syamsumar Dam, Politik kelautan, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 2010, hlm. 12

Kerajaan Romawi sebagai kerajaan yang menguasai seluruh wilayah Laut Tengah padaabad ke-7 masih merujuk pada aturan-aturan Rodhia itu, sehingga Laut Tengahmenjadi laut yang aman dan bebas dari gangguan para bajak laut serta semua orangdapat melintasiya dengan aman. Pemikiran hukum yang


(17)

melandasi sikap bangsaRomawi terhadap laut itu adalah diakuinya asas hak bersama seluruh umat manusia(Res Communis Omnium) dalam bentuk kebebasan berlayar dan menangkap ikan,dimana negara bertindak sebagai pelindung dari penggunaan asas tersebut.Selain itu,muncul pula pemikiran bahwa laut itu tidak ada yang memiliki, oleh karena itu lautdapat dimiliki dengan mendudukinya yang didasarkan atas konsepsi occupatio yangterdapat didalam hukum perdata Romawi.Walaupun asas ini dapat memberikepastian, tetapi pada akhirnya menjadi sumber persengketaan karena tidakmemberikan suatu penyelesaian yang baik.

Setelah runtuhnya kerajaan Romawi, pada abad pertengahan muncul negara-

negara tepi laut tengah yang baru yang masing-masing menuntut sebagian dari lautberbatasan dengan pantainya dengan alasan masing-masing. Hal ini telahmenimbulkan bahwa laut tidak lagi menjadi milik bersama (res communis). Para ahli

hukum Romawi pada abad pertengahan seperti Bartolus dan Baldus mengemukakan

teori yang membagi wilayah laut menjadi dua bagian yaitu laut yang berada dibawah

kekuasaan negara pantai, dan laut lepas yang bebas dari kekuasaan dan kedaulatansiapa pun.9

Mengenai laut lepas, Grotius seorang berkebangsaan Belanda dalam bukunyaMare Liberum atau Kebebasan di Laut berpendapat bahwa laut susah

9

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Penerbit Binacipta, Bandung, 1978, hlm. 2


(18)

diukur,sehingga laut tidak dapat digabungkan dengan milik suatu bangsa atau laut tidakboleh ada yang memilikinya karena akan mengganggu kebebasan bangsa lain untukmemanfaatkannya. Bahkan menurutnya laut merupakan sumber kekayaan yang tidakterhabiskan (inexhaustable), oleh karenanya semua bangsa bebas untukmemanfaatkannya.10

Dilaut lepas sesama negara mempunyai hak untuk melakukan kewajiban untuk menciptakan atau bekerjasama dengan negara berbatasan, agar tidak terjadi benturan kepentingan dan menjaga keadaan Laut Lepas sebagai sumber ekonomi bagi negara-negara pada umumnya. Laut Lepas merupakan milik seluruh negara bangsa di dunia ini, maka semua negara ikut menjaga kelestarian akan sumber alam hayati maupun non hayatinya, sehingga dengan tetap mempertahankannya kondisi lingkungan laut dalam artian luas, akan dapat menjamin kelestarian fungsinya pula.11

“Pengaturan tentang kedaulatan dan yuridiksi negara di laut secara konperhensif mulai dilakukan oleh empat konvensi-konvensi Jenewa tahun 1958 yang mengatur tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan, perikanan dan konservasi sumber daya hayati di Laut Lepas. Sampai dengan sekitar tahun 1970-an keempatkonvensi tersebut masih dianggap cukup memadai untuk mengatur segala kegiatanmanusia di laut. Tuntuan untuk melakukan peninjauan kembali terhadap konvensi-konvensi tersebut muncul seiring dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi penambangan didasar laut serta menurunnya persediaan-persediaan sumber dayahayati laut.Disamping itu pesatnya teknologi perkapalan juga merupakan salah satufaktor penting yang menyebabkan konvensi-konvensi itu dianggap sudah tidakmemadai lagi. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah bertambahnya jumlahnegara yang baru merdeka, sehngga menimbulkan tuntutan-tuntutan baru terhadaplaut.”12

10

Ibid, hlm. 12

11

P. Joko Subagyo, Op.Cit, hlm 24

12

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoe, Pengantar HukumInternasional, Penerbit Alumni, Bandung, 2003, hlm. 170


(19)

Sejak pembagian laut atas LautLepas dan Laut Teritoral, maka rejimhukum yang berlaku atas kedua bagian itu berbeda.Pada Laut Lepas terbuka digunakanbagi semua negara, sedangkan pada Laut Teritorial berada di bawah kedaulatan suatuNegara pantai, meskipun harus memperhatikan kepentingan internasionaldalambentuk pelayaran. Agar kedua kepentingan itu dapat berlangsung selaras terciptalahapa yang dikenal dengan dalam Hukum Laut Internasional dengan “The Right ofInnocent Passage” atau Hak Lintas Damai.

Dalam kepustakaan HukumInternasional, Hak Lintas Damai telah melembagadalam Konvensi Hukum Internasional, yaitu Konvensi Den Haag 1930.Namunpengaturan lebih lengkap dirumuskan dalam Konvensi Hukum Laut 1958 dalamperkembangan selanjutnya dimuat dalam Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982)yang banyak mengalami perkembangan dalam pengaturan lintas damai ini.

Dalam tulisan ini membatasi pengaturan menangani lintas damai yangdiatur dalam Konvensi Hukum Laut (KHL) 1982.Karena pada umumnya ketentuan-ketentuan menangani di Laut Teritorial dalam Konvensi Hukum Laut (KHL) 1958 banyak mengutip dari Konvensi terdahulu, yaituKonvensi HukumLaut (KHL 1958).Terdapat beberapa perkembangan dalampengaturan lintas damai di laut teritorial dan juga terdapat pengaturan baru menganilintas damai di Selat yang digunakan untuk pelayaran Internasional dan juga diperairan Kepulauan atau lintas alur Kepulauan.

Pembajakan adalah sebuah tindakan perang seperti yang dilakukan oleh pihak swast


(20)

dalam tinda digunakan untuk merujuk pada serangan lintas batas tanah oleh agen-agen non-negara.Istilah ini juga dapat mencakup tindakan yang dilakukan di air atau di tahun 1982, terdiri dari setiap tindak pidana kekerasan, penahanan, pemerkosaan, atau penyusutan berkomitmen untuk kepentingan pribadi oleh awak atau penumpang kapal pribadi atau pesawat yang diarahkan di laut tinggi terhadap lain kapal, pesawat, atau terhadap orang atau properti di papan sebuah kapal atau pesawat udara. Pembajakan juga dapat dilakukan terhadap kapal, pesawat, orang, atau properti di tempat di luar yurisdiksi negara mana pun.

Pembajakan merupakan salah satu bentuk kejahatan pelayaran yang telah lama ada.Pembajakan berkembang seiring dengan perkembangan perdagangan.Sejak abad ke-18 masyarakat bangsa-bangsa telah mengenal dan mengakui kejahatan pembajakan terhadap kapal-kapal dagang di laut sebagai kejahatan internasional (piracy de jure gentium).Pada masa itu hubungan perdagangan sangat penting sehingga tindakan pembajakan dipandang sebagai musuh bangsa-bangsa karena sangat merugikan kepentingan kesejahteraan bangsa-bangsa.13

Pembajakan di laut memiliki karakteristik sebagai berikut:14

14Victor Situmorang, Sketsa Azas Hukum LautInternasional, Penerbit PT. Bina Aksara,


(21)

1. Diakui oleh masyarakat internasional sebagai kejahatan jure gentium karena dianggap sebagai hostis humani generic (musuh bersama umat manusia); 2. Tindakan yang memiliki dampak atas lebih dari satu negara;

3. Melibatkan lebih dari satu kewarganegaraan;

4. Penggunaaan sarana dan prasarana yang cukup canggih;

5. Merupakan golongan tindak pidana internasional yang berasal dari kebiasaan hukum internasional.

Dalam "pembajakan maritim" terdiri dari:

1. Tindakan illegal kekerasan atau penahanan, atau setiap tindakan pembinasaan, berkomitmen untuk kepentingan pribadi oleh awak atau penumpang kapalpribadi atau pesawat pribadi, dan diarahkan:

a. Di Laut Lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain, atau terhadap orang atau properti di kapal seperti kapal atau pesawat udara;

b. terhadap sebuah kapal, pesawat, orang atau properti di suatu tempat di luar wilayah hukum dari setiap Negara;

2. Setiap tindakan partisipasi sukarela dalam pengoperasian kapal atau pesawat dengan pengetahuan tentang fakta-fakta membuat kapal bajak laut atau pesawat udara;


(22)

3. Setiap tindakan menghasut atau sengaja memfasilitasi tindakan yang diuraikan dalam sub ayat (a) atau (b).15

The

adalahtindakan naik kapal apapun dengan maksud untuk melakukan pencurian atau kejahatan lain, dan dengan maksud atau kemampuan untuk menggunakan kekuatan sebagai kelanjutan dari tindakan itu.16

Laut lepas adalah res nullius, dan kecuali apabila terdapat aturan-aturan pengecualian dan batasan-batasan yang diterapkan untuk kepentingan negara-negara, laut lepas tidak merupakan wilayah negara manapun.Dokrin laut bebas (freedom of the sea) berarti bahwa kegiatan-kegiatan di laut dapat dilakukan dengan bebas dengan mengindahkan penggunaan laut untuk keperluan lainya. Kemudian konsep laut bebas ini lebih jelas terlihat didalam Pasal 2 Konvensi Jenewa tentang Laut Lepas 1958, yang menyatakan bahwa Laut Lepas adalah terbuka untuk semua bangsa, tidak ada suatu negaramanapun secara sah dapat melakukan pemasukan bagian daripadanya kebawah kedaulatannya.

Didalam Konvensi Hukum laut 1982 terlihat beberapa perubahan atas konsep Laut Lepas seperti yang didefinisikan oleh konvensi tentang Laut Lepas tahun 1958. Keempat kebebasan yang disebutkan oleh Pasal 2 konvensi tentang Laut Lepas 1958, tetap terlihat dalam Pasal 87 dari konvensi baru dan tambahan dengan dua macam kebebasan laut lainnya yaitu :

2013


(23)

a) Kebebasan untuk membangun pulau buatan dan nistalasi lainya yang di izinkan hukum internasional, sesuai dengan ketentuan Bab VI dan XII.

b) Kebebasan riset ilmiah, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bab VI dan XIII. Kebebasan di Laut Lepas harus memperhatikan kepentingan Negara lain dalam melaksanakan kebebasan yang sama karena untuk tujuan-tujuan damai (peaceful purposes). Konvensi Hukum Laut 1982 Pasal 88-89 ditegaskan bahwa bajak laut sebagai sebuah tindakan menaiki atau berusaha menaiki kapal apapun dengan maksud melakukan pencurian atau bentuk kejahatan lain dan dengan usaha atau kemampuan menggunakan kekerasan dalam aksinya. Definisi tersebut tidak membedakan antara penyerangan di laut bebas dan di dalam perairan teritorial sehingga mencakup penyerangan terhadap kapal di wilayah perairan teritorial.Definisi tersebut termasuk tidak hanya serangan terhadap kapal-kapal yang sedang berlayar saja, namun juga serangan terhadap kapal-kapal yang sedang berlabuh di pelabuhan atau sedang menurunkan jangkar.Selain itu, keharusan pelibatan dua kapal juga tidak digunakan, yang berarti bahwa penyerangan dari sebuah rakit atau bahkan dari dermaga dapat dikategorikan sebagai aksi bajak laut.

Pembajakan Somaliaakhir-akhir ini telah menjadi sorotan di dunia Internasional karena yang terjadi adalah pembajaksomaliasering membajak kapal dan menyandera para awak maupun penumpang kapal di Samudra Hindia, kemudian membawa mereka ke pantai Somaliauntuk meminta uang tebusan.

Aktivitas pembajakan Somaliatelah menjadi ancaman serius bagi dunia pelayaran Internasional sejak abad 21. Kegiatan pembajakan yang telah


(24)

berlangsung selama ini telah menjadi suatu ancaman yang menakutkan bagi kapal-kapal dari berbagai negara di belahan dunia yang melintasi Somalia, sehingga melambungkan nama perompak Somalia di mata internasional. Pembajak Somalia atau bajak laut Somalia merupakan sebutan bagi para bajak laut yang beroperasi di wilayah perairan Somalia yang meliputi kawasan Samudera Hindia hingga lepas pantai timur Somalia, Laut Arab dan teluk Aden yang merupakan jalur utama pelayaran dunia.

Pembajakan yang terjadi diSomaliajelas merupakan persoalan internasional. Berdasarkan Piagam PBB Bab 1 Pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa tugas pokok berdirinya PBB adalah untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Perompakan tergolong sebagai tindakan ilegal berupa kekerasan dan penjarahan terhadap kapal komersial. Kapal perompak juga menghalangi bantuan kemanusiaan yang masuk untuk mengatasi krisis pangan di Somalia. Oleh sebab itu, tindakan tersebut merupakan tindakan yang mengancam keamanan internasional dan kepentingan kemanusiaan secara luas. Salah satu Hukum Internasional yang mengatur mengenai penanganan terhadap pembajakan Somalia adalah UNCLOS (United Nations Convention Law of the Sea) 1982. Hukum tersebut memuat pasal yang berisi pengertian pembajakan dan aturan penangkapan terhadappembajakan. Secara substansi, ketetapan dalam hukum tersebut seharusnya dapat menyelesaikan permasalahan pembajakan. Tetapi tindakan pelanggaran hukum tersebut masih terus menerus terjadi hingga kini. Masalah tersebut menjadi menarik untuk diteliti karena seharusnya secara substansi, hukum dibuat untuk menindak tindakan pelanggaran hukum. Tetapi


(25)

justru lemah dalam menyelesaikan persoalan pembajakan. Masalah tersebut menjadi menarik untuk diteliti. Secara teoritis, masalah tersebut dapat dianalisis melalui ketetapan yuridiksi hukum yang dimuat di dalam aturan UNCLOS 1982 untuk mengetahui mekanisme hukum yang digunakan untuk mengatasi kasus tersebut.

Para pembajak laut di lepas pantai Somalia sangat brutal dan berani membajak kapal-kapal besar walaupun mereka menggunakan peralatan tradisional, yakni menggunakan kapal boat kecil.Hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam dunia maritim Internasional.Beberapa negara-negara dunia saat ini ambil bagian dalam upaya menjaga keamanan laut dari para perompak.Banyak negara-negara dunia mengirimkan armada kapal perangnya untuk menjaga wilayah lepas pantai Somalia yang paling ditakuti tersebut.

Bajak laut menyita banyak kapal dagang besar dan menggunakannya sebagai kapal induk untuk menempatkan perahu-perahu kecil untuk tujuan mempermudah operasi di lepas pantai dan di luar jangkauan pasukan internasional. Pertama kalinya perompak menggunakan kapal jarahan yang tak di tebus untuk tujuan jahat.Pembajak Somalia mempunyai jaringan yang sangat terorganisir dan rapi untuk menghidari dari tangkapan pasukan internasional yang rutin berpatroli di wilayah tersebut.Pasukan internasional yang bekerja sama di wilayah tersebut meliputi pasukan Uni Eropa, aliansi militer NATO, dan gugus tugas militer gabungan yang menyatukan bangsa-bangsa dari seluruh dunia untuk menangani masalah-masalah keamanan, termasuk pembajakan.


(26)

Kerjasama antar Negara-negara menyelidiki dan menangkappembajakan di Laut Lepas tersebut sampai ke akar-akarnya dan meneliti sumber-sumber pendanaan, peralatan, relasi dan pihak di belakang para pembajak tersebut.17

a. Merupakan tindak kekerasan yangtidak sesuai hukum.

Menurut Pasal 101 UNCLOS III 1982,dijelaskan bahwa perompakan di laut dapat disebut piracy apabila memenuhi unsur-unsur:

b. Untuk tujuan pribadi.

c. Yang dilakukan kepada awak ataupenumpang dari private shipatau privateaircraft.

d. Terjadi di laut bebas (high seas) atau ditempat lain di luar yurisdiksinasional suatu negara.

Layaknya fenomena sosial lainnya,pembajakan laut (sea piracy) memiliki definisi yang beragam.Keberagaman ini menunjukkan beragam kepentingan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya mengingat sebuah definisi memiliki implikasi hukum, politik dan ekonomi yang mengikat, termasuk implikasi dalam interaksi antar negara.

Pembajakan di laut (“piracy”) merupakan kejahatan internasional (“international crime”) yang memberikan yurisdiksi kepada Negara manapun untuk mengambil langkah tegas terhadapnya. Konvensi Hukum Laut Tahun 1982 (1982 UNCLOS) mendefinisikan “piracy” sebagai pembajakan laut yang dilakukan di luar yurisdiksi Negara pantai, sehingga kemudian praktek Negara membedakan antara pembajakan laut yang terjadi di luar yurisdiksi Negara yang

17

http://securityexpose.com/pembajak-laut-somalia-tantangan-keamanan-laut-dunia/di akses 29 Maret 2013


(27)

disebut sebagai pembajakan di laut (“piracy”) dimana yurisdiksinya bersifat universal (“universal jurisdiction”) dan pembajakan laut yang terjadi di dalam wilayah satu Negara yang lebih dikenal dengan istilah “perampokan di laut” (“sea armed robbery”) dimana yurisdiksinya berada di bawah Negara pantai.18

sah yang dilakukan tidak saja terhadap kapal-kapal di laut tetapi juga terhadap kota-kota di sekitar pelabuhan.

Pembajakan sudah ada sejak3000 tahun yang lalu.Kapan persisnya kegiatan pembajakan ada atau dimulai sangat tergantung pada bagaimana kata “pembajakan”.Pada tahun 2000 SM, para saudagar bangsa Phoenesia, selain usaha berdagang mengarungi laut, tidak jarang menyerang kapal-kapal dagang lain, bahkan kadang kala juga menyerang kota-kota di sekitar pantai/pelabuhan.

Kata “pembajakan” pertamakali digunakan oleh sejarawan Roma, Polybius, pada sekitar tahun 140 SM. Sejarawan Yunani, Plutarch tercatat sebagai orang yang pertama yang memberikan definisi mengenai pembajakan, yaitu serangan yang tidak

19

Meskipun demikian, upaya itu tetap tidak memberikan kejelasan terhadap kata ”pembajakan”. Para pelaut yang dikenal dengan sebutan “Viking” tidak pernah dianggap sebagai pembajak, meski melakukan tindakan yang sulit dibedakan dengan pembajak lainnya.20

F. Metode Penelitian

20 Ibid


(28)

Penelitian ini termasuk dalam penelitian kepustakaan yang bersifat normatif, yaitu penelitian yang menggunakan data sekunder. Data sekunder tersebut meliputi :

1. Tipe Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif.21

2. Data dan Sumber Data

Langkah pertama dilakukan penelitian normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hukum internasional. Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif konflik hukum internasional.

Bahan atau data yang dicari berupa data sekunder yang terdiri dari 22

a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan mengikat. Dalam penelitian ini bahan hukum primer : subjek hukum internasional dan kejahatan pelayaran laut yang terkait dengan pembahasan.

:

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang isinya menjelaskan mengenai bahan hukum primer. Dalam penelitian ini adalah buku-buku, makalah, artikel dari surat kabar, majalah, dan artikel dari internet. 3. Teknik Pengumpulan Data

21

Soejano Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit UI Press, Jakarta, 1986, hlm 9-10.

22


(29)

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka digunakan metode pengumpulan data dengan cara23

4. Analisis Data

:Studi Kepustakaan, yaitu mempelajari dan menganalisis secara digunakan sistematis buku-buku, surat kabar, makalah ilmiah, majalah, internet, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian dikemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif dilakukan guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif analistis, yaitu data-data yang akan diteliti dan dipelajari sesuatu yang utuh.

G.Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab berbagi atas beberapa sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat digambarkan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN, bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan,

23


(30)

Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : PENGATURAN PEMBAJAKAN DI LAUT LEPAS

BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL. Dalam bab ini berisi tentangSejarah Pembajakan di laut lepas, Pengaturan Hukum Internasional mengenai pembajakan di laut lepas dan Ketentuan Pembajakan Laut Lepas berdasarkan Konvensi Jenewa 1958 dan Konvensi Hukum Laut PBB 1982.

BAB III : PEMBAJAKAN KAPAL MV JAHAN MONI. Bab ini berisikan tentangPembajakan terhadap Kapal MV Jahan Moni, Penyebab terjadinya pembajakan kapal MV Jahan Moni dan Pembebasan sandera kapal MV Jahan Moni di Perairan Somalia.

BAB IV : UPAYA-UPAYA DALAM MENANGANI PERMASALAHAN

PEMBAJAKAN DI LAUT LEPAS PADA KASUS KAPAL MV JAHAN MONI. Bab ini berisi tentangPengamanan atau penangkapan terhadap pembajakan kapal di Laut Lepas, Kerjasama pesisir Indian Ocean Region (IOR) atau Wilayah Samudera India dalam penanganan Pembajakan kapal Laut Lepas dan Solusi Pembajakan Kapal MV Jahan Moni.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN. Merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya, yang berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini, yang dilengkapi dengan saran-saran


(31)

BAB II

PENGATURAN PEMBAJAKAN DI LAUT LEPAS BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL

A. Sejarah Pembajakan di laut lepas

Sejarah menunjukkan bahwa pembajakan di laut lepas sudah ada sejak awal manusia melakukan perjalanan melalui laut. Pembajakan di laut lepas memiliki umur yang sama dengan kapal dan kodrat manusia. Para pembajak laut lepas pada awalnya hanya memiliki tujuan untuk memperkaya diri.24Dalam berbagai situasi pembajakan juga melakukan pembunuhan, penculikan dan meminta tebusan.Sejarah tercatat menunjukkan bahwa sejak zaman Yunani Kuno dan Kekaisaran Romawi, pembajakan di laut lepas menjadi beban dari perdagangan maritim. Salah satu tindakan pembajakan di laut lepas yang disertai dengan penculikan pada masa ini terjadi pada tahun 75 S.M, dimana kapal Julius Caesar diserang dan sang Kaisar itu sendiri diculik dan dimintai tebusan. Para pembajak kemudian mendapatkan tebusannya atas pelepasan Julius Caesar namun mereka ditangkap dan dihukum kemudian.25

Pada abad ke-16 pembajakan digunakan oleh Negara-negara untuk menambah kekuatan maritim mereka. Para pembajakan ini disebut sebagai privateer, yaitu “Pembajakan” yang diizinkan atau disahkan oleh Negara untuk bertindak atas nama negara tersebut melalui surat yang disebutSuratMarquee. Tujuan utama para privateers ini adalah merusak sumber daya negara musuh,

24

Alfred S., Bradford, Flying the Black Flag- A Brief History of Piracy, Westport, Connecticut: Praeger, 2007, hlm 4

25

Thaine Lennox Gentele, Piracy, Sea Robbery and Terrorism: Enforcing Laws to Deter Ransom Payments and Hijacking, Transportation law Journal, Vol. 37:199, 2010, hlm 202-203


(32)

melatih kapten angkatan laut yang baru, bahkan menyulut peperangan. Ratu Elizabeth sendiri bahkan menyatakan bahwa penggunaan negaradisponsoriterorisme seperti privateering merupakan cara ideal untuk memukul mundur musuh dan menyembunyikan diri kemudian.26

Setelah perang Spanyol usai, Inggris dan Spanyol menyimpulkan bahwa tidak diperlukan lagi para privateers.Raja James kemudian mencabut seluruh Letter of Marquee dan mengkriminalisasikan pembajak di Laut Lepas.Tindakan ini menyebabkan ratusan privateer kehilangan pekerjaan dan mencari pekerjaan sebagai pembajak secara penuh. Tanpa adanya negara yang mengasuh atau menyewa privateers ini, maka mereka melakukan tindakannya berupa menyerang dan membajak semua negara-negara tanpa diskriminasi.27 Pada tahun 1856 mayoritas negara-negara yang memiliki kekuatan maritim besar menandatangani Deklarasi Paris 1856 menyatakan penghapusan terhadap pembajakan di laut lepas dalam bentuk apapun, termasuk privateering dan pembajakan di laut lepas yang disponsori oleh negara. Sejak Deklarari Paris 1856 ini, timbul konsep bahwa pembajakan di laut lepas merupakan hostis humani generis atau musuh dari seluruh umat manusia.28

Dalam kawasan Asia, pembajakan di Laut Lepas terjadi mayoritas pada kawasan Timur dan Tenggara.Pada wilayah Asia Timur, pembajakan di Laut Pembajakan laut lepas dalam wilayah barat tidak hanya mempengaruhi Yunani, Spanyol dan Inggris.Tercatat pula berbagai pembajakan di laut lepas dalam kawasan Eropa Utara dan Amerika.

26 Ibid 27

Ibid 28


(33)

Lepas paling awal tercatat terjadi pada Dinasti Han (106 SM -220 M), namun pembajakan di Laut Lepas diyakini sudah ada sebelum zaman ini.Pembajakan di Laut Lepas pada masa ini timbul saat ada kesempatan.Pada awal abad ke 17, pembajakan di Laut Lepas kembali meningkatkan pada masa peperangan Dinasti Ming dan Qing. Hal ini terjadi karena lemahnya pengawasan di pantai, sehingga para pembajakan di laut lepas juga terjadi akibat berbagai pemberontakan antara lain oleh Taiwan dan Vietnam, setia disusul terjadinya Perang Opium pada tahun 1839-1842. Pada abad ke 20, terjadi perang saudara di China antara penganut paham nasionalis dengan komunis, sehingga kembali memberikan kesempatan yang baik bagi pembajakan untuk beraksi.29

Bisa dikatakan bahw

bersamaan dengan sejar mengangkut dagangan, muncul bajak laut yang siap memilikinya secara paksa.Telah dikenal terjadinya pembajakan Laut Lepas sejak zam kuno.Termasuk dalam zama Lepas oleh para perampok laut.Sejak itu mereka membajak semua kapal yang saat ini terapung di lautan dekat pada sejarahnya yang panjang tertulis pada bajak laut.

Kekejaman bajak Laut Lepas sangat terkenal, salah satunya adalah penyeretan seseorang oleh baja rangka kapal (kerangka kapal yang dimulai dari

29

Ari triwibowo Yudhoatmojo, Penerapan Yuridiksi universal untuk menanggulangi dan mengadili pembajakan di laut berdasarkan resolusi dewan keamanan perserikatan bangsa-bangsa dalam kasus pembajakan di Teluk Aden, Fakultas Hukum Program Ilmu Hukum, Universitas Indonesia, Tesis tidak diduplikasikan, Jakarta, 2010


(34)

bagian depan kapal sampai akhir). Di bagian atas kapal, seorang tahanan diikat di salah satu ujung kerangka. Di ujung kerangka yang lain dimasukkan ke dalam laut dan dibawa ke arah berlawanan di bawah kerangka kapal. Ketika ujung yang dibawa ini sampai ke bagian atas kapal (bagian belakang kapal tepatnya), si tahanan diikat lagi oleh tali ini.Untuk menghindari masuknya air laut ke mulut tahanan, mulutnya disumpal ole tahanan ditarik ke atas pada bagian kakinya, lalu dibiarkan jatuh ke Laut Lepas, sementara beberapa orang menarik ujung yang lain ke arah berlawanan, sehingga tahanan terseret di bawah perahu sampai saat ia diangkat dari ujung kapal yang berlawanan.30

Operasi ini dilakukan beberapa kali.Selain ketakutan yang amat sangat yang dialami tahanan, hukuman ini bertambah parah diakibatkan oleh penyeretan

tahanan di bawah kapal yang ditutupi ole

menyakiti badan tahanan itu.Hukuman yang berat lainnya adalah marron. Ini terdiri dari meninggalkan seseorang di sebuah pula dari rute-rute navigasi. Orang tersebutakan ditinggalkan dengan sediki peluru (mencoba diturunkan di sebuah pulau kecil. Tidak dikenal siapa yang memberikan namaLa Cofradía de los Hermanos de la Costa (persaudaraan) dan tidak juga diketahui siapa yang mendirikannya. Yang dapat diketahui hanyalah, mereka ada sejak para bucanneers diusir dari wilayah Spanyol tahun 1620.Sama halnya dengan


(35)

perkumpulan lainnya, mereka mempunyai hukum-hukum, namun tidak tertulis.Ini lebih mengarah kepada persetujuan secara umum di mana semua berada di bawah hukum itu tepatnya untuk melindungi kebebasannya secara perorangan.Tidak terdapat filbusteros paling tua.31

Pada wilayah Asia tenggara pembajakan di laut lepas marak terjadi pada abad ke 19 dimana para pembajak mencoba membajak kapal-kapal perdagangan milik Eropa.Pembajakan di laut lepas dalam kawasan ini dilakukan berdasarkan komunitas yang terorganisasi dan bahkan melibatkan elit-elit lokal.Para pembajak ini mayoritas beraksi di perairan selat Malaka dan perairan Riau Lingga dan tercatat pula hingga sampai Kalimantan Utara.32

Bila aksi perompakan terjadi di perairan sebuah negara hukum, maka secara teknik bukanlah aksi pembajakan tapi sebuah tindakan perampokan bersenjata atau perampokan di laut dan yang digunakan adalah hukum negara tersebut di sepanjang garis pantai dan menurut keamanan internasional.Bila terjadi perompakan, UNCLOS mewajibkan setiap negara bekerjasama sekuat tenaga dalam membasmi atau menekan pembajakan.Hal itu sesuai dengan pasal 100 UNCLOS.Pasal 100 UNCLOS menjelaskan bahwa yang dimaksud sebagai perompakan adalah ketika terjadi diatas perairan atau di tempat lainnya yang berada di luar wilayah hukum negara manapun.33

31 Ibid 32

Ger Tetlier, Piracy in Southeast Asia A Historical Comparasion, hlm 70-71

33


(36)

Pembajakan di Laut Lepas dalam kawasan Asia Pasifik bukanlah merupakan fenomena yang baru. Wilayah timur Puntland di Somalia sejak dahulu merupakan wilayah maritim yang strategis, sehingga kegiatan pelayaran dan perdagangan telah beroperasi di wilayah ini. Pada abad ke-18, Eropa mengunjungi wilayah ini dan merekrut para pelaut setempat yang dikenal dengan nama pelaut laut merah dan kelompok marjerteen dan Hyobo. 34 Sehubungan dengan pembajakan di Laut Lepas, Internasional Maritime Bureau (IMB) menggolongkan kegiatan pembajakan di Laut Lepas dalam tiga kelompok yaitu :35

1. Low level armed robbery, yakni kegiatan pembajakan di Laut Lepas berskala kecil yang biasanya beroperasi di pelabuhan dan dermaga akibat lemahnya pengawasan oleh petugas keamanan pelabuhan. Para pembajak umumnya tertarik pada harta kekayaan para awak atau perlengkapan yang ada di kapal.36

2. Medium level armed assault and robbery, yakni tipe bajak laut berskala menengah yang beroperasi di perairan laut lepas maupun territorial. Biasanya mereka sudah terorganisasi (organized piracy).

3. Major criminal hijack atau yang sering dikenal sebagai fenomena “kapal siluman” (phantom ship). Mereka biasanya sudah berskala besar karena sangat terorganisasi memiliki kekerasan yang tinggi, dan bahkan telah

34

Lucas Bento, “Toward and International Law of Piracy Sui Generis: How the Dual Nature of Maritime Piracy to Flourish”, Berkeley Journal of International Law, Vol.29.2,2011, hlm 405

35

Peter Chalik, Grey Area Phenomena in South East Asia : Piracy, Penerbit Drag Trafficking and Asians Studies, ANU, 1997, hlm 24-25

36

Ilias Bantekas and Susan Nash, Internasional Criminal Law, Penerbit Cavendish Publishing, London, 2003, hlm 94


(37)

melibatkan jaringan organisasi kejahatan internasional dengan anggota-anggotanya yang telah terlatih untuk menggunakan senjata api. Modus operandi dilakukan dengan cara menguasai kapal, awaknya dibunuh atau diceburkan di laut, kemudian kapal di cat ulang, dimodifikasi, diganti nama dan diregistrasi ulang. Kargo atau muatan kapal di jual di pasar bebas kepada penadah. Sertifikat registrasi sementara diperoleh melalui kantor konsulat. Mereka mendapatkannya baik melalui menyuap atau dokumen-dokumen yang dipalsukan. Motif dari pembajakan di laut lepas ini umumnya tidak hanya sekedar motif ekonomi, dapat juga berlatar motif politis atau terorisme.37

Meskipun para pembajak Somalia masih dapat di kategorikan sebagaitingkatmenengahbersenjatapenyerangan danperampokan, namun karena jumlahnya yang sangat banyak, terlatih, terorganisasi dan diduga terkait dengan suatu kelompok teroris maka tidak dipungkiri bahwa pembajakan di laut lepas dalam kawasan Teluk Aden digolongkan menjadi suatu major criminal hijack(kejahatan besarmembajak).

B. Pengaturan Hukum Internasional mengenai pembajakan di laut lepas

Peranan penting dari wilayah negara dalam hukum internasional tercermin dalam prinsip penghormatan terhadap integritas kewilayahan (territorial integrity) yang dimuat dalam pelbagai instrumen internasional, misalnya dalam bentuk larangan untuk melakukan intervensi terhadap masalah-masalah internal

37

Melda Kamil Ariadno, Hukum Internasional Hukum yang hidup, Penerbit Diadit Media, Jakarta, 2007, hlm 169


(38)

dari suatu negara.Meskipun demikian, sebagai akibat dari perkembangan teknologi dan ekonomi sewasa ini, dalam hubungan antar negara tampak adanya kecenderungan untuk mengurangi peran eksklusif dari wilayah negara, khususnya dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination).Namun, hingga saat ini kedaulatan teritorial tetap merupakan suatu konsep penting dalam hukum internasional dan telah melahirkan berbagai ketentuan hukum tentang perolehan dan hilangnya wilayah negara. Dalam hukum internasional perolehan dan hilangnya wilayah negara akan menimbulkan dampak terhadap kedaulatan negara atas wilayah itu. Oleh karena itu, hukum internasional tidak hanya sekedar mengatur perolehan atau hilangnya wilayah negara itu, tetapi yang lebih penting adalah dampak hukum terhadap kedaulatan negara dan penduduk yang tinggal di wilayah tersebut.Kedaulatan negara atas wilayahnya memiliki dua aspek baik positif maupun negatif.38

Setiap kehidupan bermasyarakat membutuhkan suatu tatanan perilaku yang diakui sebagai kuat dan mengikat.Adakalanya itu hanya merupakan suatu adat-istiadat atau dapat juga berupa norma-norma hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis.Tatanan perilaku itu merupakan pedoman sikap tindak dan batasan-batasan perilaku yang harus dipatuhi, dengan adanya untuk tidak mematuhinya.Sanksi tersebut dapat datang dari masyarakat maupun dari pihak yang mempunyai kekuasaan atas masyarakat tersebut.Sistem hukum adalah salah satu tatanan kehidupan yang diterapkan dalam masyarakat, jika sistem tersebut

38

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, 2010, hlm 161-162


(39)

dijalankan di suatu lingkup negara, maka disebut sistem hukum nasional. Sebaliknya jika sistem hukum itu berlaku diantara negara-negara, maka ia disebut sebagai sistem hukum internasional.39

Secara umum, negara-negara di dunia dapat digolongkan ke dalam kedua aliran tersebut, walaupun masing-masing negara memiliki praktik kenegaraan yang berbeda-beda bekenaan dengan penerimaan hukum internasional dalam Pada dasarnya hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antara bangsa-bangsa (“the law of nations”) atau hubungan antara negara-negara. Dengan demikian subjek hukum internasional yang paling pokok adalah negara, setelah itu baru ada subyek-subyek yang lain seperti organisasi internasional, pergerakan politik/pemberontakan (“belligerent”) ataupun individu. Masalah yang patut disoroti adalah bagaimana hubungan antara hukum internasional ini dengan hukum nasional dari masing-masing negara tersebut.Hal ini seringkali menimbulkan masalah, terutama jika timbul pertentangan kepentingan antara kedua sistem hukum tersebut.

Sudah sejak lama konsep hubungan antara kedua sistem ini menimbulkan pertentangan di antara para sarjana hukum.Kita mengenal dua aliran besar yang memandang hal tersebut secara berbeda.Masing-masing aliran mengemukakan pendapat dan alasan-alasan pendukungnya.Kedua aliran ini saling mengemukakan kelebihannya masing-masing untuk dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat internasional.Tentunya kedua aliran tersebut tidak terlepas dari kelemahan-kelemahan yang dapat teridentifikasi dari argumentasi yang mereka kedepankan.

39

Melda Kamil Ariadno, Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Hukum Nasional, Volume 5 Nomo5 3 April 2008, hlm 505


(40)

sistem hukum mereka. Hal ini dapat kaji lebih lanjut jika kita melihat proses pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum internasional dalam negara tersebut, baik dalam hal penerapannya di tatanan kehidupan masyarakat maupun di lembaga-lembaga peradilan negara-negara tersebut.40

Tidak ada cabang hukum internasional yang lebih banyak mengalami perubahan secara revolusioner selama empat dekade terakhir, dan khususnya selama satu setengah dekade terakhir, selain daripada hukum laut dan jalur-jalur maritim. Penandatangan akhir tahun 1982 di Jamaica oleh sejumlah besar negara yang terwakili dalam konferensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS) guna menyusun suatu ketentuan hukum internasional yang komprehensif berkaitan dengan hukum laut, mungkin merupakan perkembangan paling penting dalam keseluruhan sejarah ketentuan hukum internasional berkenaan dengan Laut Lepas.

Dewasa ini kedudukan hukum internasional dalam sistem hukum nasional cukup berwibawa.Hukum nasional tidak dapat begitu saja mengenyampingkan hukum internasional, bahkan pada dasarnya hukum nasional itu tunduk kepada hukum internasional (monisme dengan primat hukum internasional).

Dengan demikian jelaslah bahwa pada umumnya negara-negara mentaati kewajiban-kewajiban yang bersumber dari perjanjian dengan negara-negara lain. Ketentuan-ketentuan hukum internasional lain juga mempunyai kewibawaan dalam hukum nasional adalah ketentuan mengenai kekebalan dan hak-hak istimewa diplomatik serta perlakukan terhadap orang asing dan hal milik orang asing.

40


(41)

Sebagian besar dari konvensi yang memuat ketentuan-ketentuan hukum yang cukup penting di dalamnya, meskipun hukum yang lama banyak yang berubah karenanya, saat ini tampaknya menuntut konsensus umum dari masyarakat internasional.41

Berlawanan dengan prinsip kedaulatan maritim, prinsip “kebebasan Laut Lepas” atau kebebasan laut terbuka, sesuai dengan kepentingan-kepentingan bersama dan nyata dari negara-negara maritim.Disadari bahwa demikian seringnya terjadi, dan besarnya kesulitan yang menimpa semua negara yang mengajukan, klaim-klaim yang bertentangan terhadap bagian laut terbuka.42

Kebebasan Laut Lepas dengan demikianlah haruslah dilihat dalam kaitannya dengan kepentingan umum semua negara, khususnya menyangkut kebebasan saling hubungan antar bangsa.Barangkali perkataan “kebebasan-kebebasan” lebih tepatnya daripada ““kebebasan-kebebasan” Laut Lepas, karena selain dari kebebasan-kebebasan tidak terbatas untuk pelayaran dan penangkapan ikan, laut pun dapat dimanfaatkan secara bebas untuk tujuan-tujuan lainnya oleh semua negara. Meskipun demikian kebebasan Laut Lepas ini tidak membenarkan suatu negara membiarkan suatu keadaan kacaunya peraturan-peraturan maritim dan peraturan-peraturan aturan tertentu untuk melaksanakan yurisdiksi atas kapal-kapal di Laut Lepas menjadi demikian pentingnya guna menghindarkan keadaan-keadaan anarki. Sebagai suatu pegangan untuk tindakan pengawasan yang diperlukan, mulanya ditentukan bahwa semua kapal, milik negara maupun swasta

41

J. G. Storge, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hlm 322

42


(42)

di Laut Lepas tunduk pada yurisdiksi dan berhak atas perlindungan dari negara bendera kapal itu yang memungkinkan melakukan pelayaran.43

Kapal-kapal yang berlayar di bawah satu bendera tidak sah bertanggungjawab terhadap penangkapan dan penyitaan oleh negara yang benderanya dikibarkan secara tidak sah/melawan hukum dan kapal-kapal perang dari suatu negara memerintahkan agar kapal-kapal memperlihatkan benderanya.Andaikata ada kecurigaan yang masuk akal untuk menduga/mencurigai sebuah kapal terlibat dalam kegiatan pembajakan, perompakan atau perdagangan budak, kapal tersebut boleh dinaiki dan apabila perlu dilakukan penggeledahan.44

Pengaturan Laut Lepas (high seas) terdapat dalam Konvensi-Konvensi Jenewa yangmerupakan hasil dari Konferensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) I tanggal 24 Februari-27 April 1958. Pasal 1 Konvensi Jenewa 1958 tersebut memberikan pengertian Laut Lepasyang berbunyi : “the term high seas means all parts of the sea that are not included in theterritorial sea or in the internal waters of a State”, bahwa Laut Lepas adalah semua bagianlaut yang tidak termasuk laut teritorial atau perairan pedalaman suatu Negara. KonvensiJenewa 1958 ini sudah tidak berlaku lagi karena ada yang baru, yaitu Konvensi Hukum Laut 1982.Pengertian Laut Lepas menurut Konvensi Jenewa 1958 tersebut sangat jauh dengan pengertian Laut Lepas menurut Konvensi Hukum Laut 1982.45

43

Ibid, hlm 324

44

Ibid, hlm 324

45

Abdul Alim Salam, Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Hukum Laut Internasional (Unclos 1982) Di Indonesia, Departemen Kelautan dan Perikanan Sekretariat


(43)

Konvensi Hukum Laut 1982 dalam Pasal 86 menyatakan pengertian Laut Lepas adalah semua bagian laut yang tidak termasuk Zona Ekonomi Eksklusif, Laut Territorial atau Perairan Pedalaman suatu negara dan Perairan Kepulauan dalam Negara Kepulauan. Pengertian Laut Lepas menurut Konvensi Hukum Laut 1982 ini sangat jauh statusnya dengan pengertian Laut Lepas menurut Konvensi Jenewa 1958. Laut Lepas menurut Konvensi Jenewa 1958 adalah hanya 3 mil dari Laut Territorial, sedangkan Laut Lepas menurut Konvensi Hukum Laut 1982 adalah dimulai dari Zona Ekonomi Eksklusif yang berarti dimulai dari 200 mil. Menurut Konvensi Hukum Laut 1982, laut territorial yang sejauh 12 mil itu tunduk pada kedaulatan penuh suatu Negara, sedangkan Zona Ekonomi Eksklusif yang sejauh itu mempunyai status sui generic, yaitu bahwa sifat khusus yang bukan bagian dari kedaulatan Negara, tetapi juga tidak tunduk pada rejim internasional. Dalam zona ekonomi eksklusif, setiap Negara mempunyai hak-hak berdaulat dan jurisdiksi sebagaimana dijelaskan di atas.

Setiap kapal yang berlayar di laut lepas harus ada kebangsaannya karena ada ikatan antara kapal dengan Negara (genuine link) dan apabila kapal menggunakan dua negara atau lebih bendera Negara karena ingin mendapat kemudahan (flag of convenience) dianggap sebagai kapal tanpa kebangsaan. Pendaftaran kapal kepada negaranya menurut Konvensi Hukum Laut 1982 ini tidak berlaku bagi kapal-kapal yang digunakan untuk pelaksanakan tugas Perserikatan Bangsa-Bangsa, badan-badan dan lembaga khususnya atau bagi


(44)

Badan Energi Atom Dunia (the International Atomic Energy Agency) sebagaimana diatur oleh Pasal 93 Konvensi Hukum Laut 1982.46

Laut Lepas sepenuhnya terbuka bagi semua negara, baik yang berpantaimaupun tidak.Kebebasan diberikan bagi pelayaran, penerbangan diatasnya,pemasangan kabel-kabel dan pipa-pipa bawah laut, pembangunan pulau-pulau buatandan instalasi lainnya, penangkapan ikan serta riset ilmiah. Namun demikian semuakebebasan tersebut harus dilaksanakan dengan memperhatikan kepentingan Negara lainnya dalam melaksanakan kebebasan-kebebasan yang sama.

47

Selanjutnya Laut Lepasakan diperuntukkan bagi tujuan-tujuan damai dan tidak ada bagian dari Laut Lepas dapat tunduk pada klaim kedaulatan negara manapun. Dengan demikian setiap negara memiliki hak untuk melayarkan kapal dibawah benderanya diLaut Lepas.48

“Dibandingan dengan keadaan pada waktu sebelum dihasilkannya Konvensi Hukum laut 1982, luas perairan Laut Lepas kini menjadi berkurang karena Konvensi telah mengakui batas terluar Laut Territorial menjadi 12 mil.Demikian juga dengan kebebasan-kebebasan di Laut Lepas sebagaimana diatur dalam Konvensi Jenewa tentang Laut Lepas 1958, juga telah dikurangi karena lahirnya konsep-konsep baru.49

46

Ibid, hlm 45

47

Pasal 87 Persetujuan UNCLOS 1982 48

Pasal 88,89 dan 90 Persetujuan UNCLOS 1982 49

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2010, hlm 188

Di Laut Lepas, setiap negara baik negara pantai atau negara tidak berpantai (land-locked) dapat menikmati kebebasan-kebebasan di Laut Lepas (freedom of the high seas), yang meliputi antara lain kebebasan-kebebasan untuk berlayar, melakukan penerbangan, memasang kabel dan pipa di bawah laut, membangun pulau buatan, instalasi lainnya, menangkap ikan dan melakukan riset ilmiah kelautan. Kebebasan untuk menangkap ikan di bagian Laut Lepas dihapuskan sampai dengan batas 200 mil laut dari garis pangkal yang sekarang diberi status sebagai Zona Ekonomi Eksklusif.Setiap negara wajib untuk bekerja sama dengan


(45)

negara-negara lain untuk menetapkan tindakan-tindakan pengelolaan dan konservasi sumber daya hayati.”50

“Kebebasan-kebebasan ini tidak membenarkan suatu negara membiarkan aturan tertentu untuk melaksanakan yurisdiksi atas kapal-kapal di Laut Lepas menjadi demikian pentingnya guna menghindarkan keadaan-keadaan anarki. Sebagai suatu pegangan untuk tindakan pengawasan yang diperlukan, mulanya ditentukan bahwa semua kapal, milik negara maupun swasta. Di Laut Lepas tunduk pada yurisdiksi (pada umumnya, eksklusif) dan berhak atas perlindungan dari negara bendera kapal itu yang memungkinkan mereka melakukan pelayaran.Andaikata ada kecurigaan yng masuk akal untuk menduga/mencurigai sebuah kapal terlibat dalam kegiatan pembajakan, kapal tersebut boleh dinaiki dan apabila perlu dilakukan penggeledahan.”51

Laut Lepas merupakan wilayah perairan yang lepas dari kedaulatan negara manapun, sehingga setiap kejahatan yang berada di Laut Lepas berada sepenuhnya di bawah yurisdiksi negara bendera. Hal itu didasarkan pada hukum kebiasaan internasional, yaitu bahwa jika suatu delik terjadi diatas kapal yangsedang berlayar di atas Laut Lepas, maka negara benderalah yang dianggap berwenang untuk melaksanakan yurisdiksi pidananya .Dalam hal ini negara bendera memang diakui mempunyai hak yang ekslusif untuk melaksanakan yurisdiksinya, sebagaimana yang dikatakan oleh RR. Churchill bahwa :52

50

Ibid, hlm 189

51

J.G. Starke, Op.Cit, hlm 324

52

Churchill. R R and Lowe.A.V, The Law of the Sea, Manchester University Press, Manchester, UK, l983, hlm. l48.

In general , the flag State , that is, the State which has granted to a ship the right to sail under its flag, has the exclusive right to exercice legeslative and enforcement jurisdiction over its ships on the high seas”. (Secara umum,Negara Berbendera, yaituNegara yang telahdiberikan kepadakapalhak untukberlayar di


(46)

untukexerciceyurisdiksilegislatifdanpenegakan hukum terhadapkapal-kapaldi laut lepas).

Setiap negara, baik berpantai atau tidak berpantai, mempunyai hak untuk melayarkan kapal dibawah benderanya di laut lepas.53 Negara-negara pada umumnya memandang kapal-kapal mereka yang terdaftar sama seperti wilayah negara tersebut dan memiliki nasionalitet dari negara itu, sehingga negara bersangkutan dapat melakukan yurisdiksinya atas kapal-kapal mereka dilaut lepas.54

Pendaftaran kapal kepada negaranya menurut Konvensi Hukum Laut 1982 ini tidak berlaku bagi kapal-kapal yang digunakan untuk pelaksanakan tugas Perserikatan Bangsa-Bangsa, badan-badan dan lembaga khususnya atau bagi Badan Energi Atom Dunia (the International Atomic Energy Agency) sebagaimana diatur oleh Pasal 93 Konvensi Hukum Laut 1982.

Konvensi hukum laut 1982 Pasal 92 ayat 2 menetapkan bahwa kapal harus berlayar dibawah bendera suatu negara saja dan kecuali dalam hal-hal luar biasa yang dengan jelas ditentukan dalam perjanjian internasional atau dalam konvensi ini, harus tunduk pada yurisdiksi eksklusif negara itu di laut lepas. Suatu kapal tidak boleh merobah bendera kebangsaannya sewaktu dalam pelayaran atau sewaktu berada di suatu pelabuhan yang disinggahinya, kecuali dalam hal adanya suatu perpindahan pemilikan yang nyata atau perubahan pendaftaran.

55

53

Pasal 90 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982 54

Chairul Anwar.Op.Cit. hal 66

55


(47)

Pasal 94 Konvensi Hukum Laut 1982 (Duties of the flag State) yang berbunyi :Every State shall effectively exercise its jurisdiction and control in administrative, technical and social matters over ships flying its flag, yang berarti adalah bahwa bahwa setiap negara harus melaksanakan secara efektif jurisdiksinya dan mengendalikannya di bidang administratif, teknis, dan sosial di atas kapal yang mengibarkan benderanya. Di laut lepas, kapal perang dan kapal untuk dinas pemerintah memiliki kekebalan penuh terhadap jurisdiksi negara mana pun kecuali negara benderanya sebagaimana diatur oleh Pasal 95-96 Konvensi.

Pasal 95 Konvensi Hukum Laut 1982 (Duties of the flag State) yang berbunyi :Kapal perang memiliki kekebalan penuh terhadap yurisdiksi negara manapun selain negara bendera. Sedangkan pasal 96 yakni kapal yang dimiliki atau dioperasikan oleh suatu negara dan hanya untuk dinas pemerintah, memiliki kekebalan penuh terhadap yurisdiksi negara lain kecuali negara bendera.

Hilangnya kewarganegaraan si pembajak akan lebih memudahkan bagi setiap negara untuk melaksanakan hukum internasional terhadap pelaku pembajakan di Laut Lepas.Berkaitan dengan adanya perbedaan yurisdiksi kriminal di wilayah perairan tersebut, maka penegakan yurisdiksi negara pantai harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional, khususnya Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982, serta ketentuan-ketentuan internasional lainnya yang relevan. Di tingkat regional ASEAN telah disepakati ASEAN Plan Action of Combat Transnational Crime tahun 1999 untuk penanggulangan kejahatan transnasional di lingkungan ASEAN.Pembajakan laut (piracy)


(48)

merupakan salah satu jenis kejahatan yang menjadi prioritas untuk diupayakan penanggulangannya.

Selama ini presepsi secara umum mengenai tindak kekerasan di laut selalu diidentikkan dengan istilah pembajakan laut (piracy), meskipun dalam kenyataannya terdapat beberapa kasus yang merupakan tindak kejahatan perompakan di laut (sea robbery). Kedua istilah tersebut dapat dikatakan sama hakekatnya, dan kadang secara bersamaan digunakan untuk menyebutkan suatu peristiwa tindak kekerasan di laut, tetapi sebenarnya mempunyai perbedaan mengenai wilayah yurisdiksi tempat terjadinya (locus delicti) tindak kekerasan di laut tersebut.

Pembajakan di laut mempunyai dimensi internasional karena biasanya digunakan untuk menyebutkan tindak kekerasan yang dilakukan di Laut Lepas.Sedangkan perompakan di laut lebih berdimensi nasional karena merupakan tindak kekerasan di laut yang dilakukan di bawah yurisdiksi suatu negara, dengan tujuan yang berbeda pula, meskipun juga dapat mencakup lingkup transnasional. Dengan demikian penanganan kedua jenis tindak kekerasan dilaut tersebut dapat berbeda ruang lingkup pengaturan hukumnya, meskipun dapat dilakukan dalam bentuk satu rangkaian tindakan yang sama, oleh aparat penegak hukum yang sama pula.

Laut Lepas adalah merupakan res nullius, dan kecuali apabila terdapat aturan-aturan dan batasan-batasan yang diterapkan untuk kepentingan negara-negara, Laut Lepas tidak merupakan wilayah negara manapun.Doktrin laut bebas (Freedom of the seas) berarti bahwa kegiatan-kegiatan di laut dapat dilakukan


(49)

dengan bebas dengan mengindahkan penggunaan laut untuk keperluan lainnya.Istilah Laut Lepas (high seas) pada mulanya berarti seluruh bagian laut yang tidak termasuk Perairan Pedalaman dan Laut Teritorial dari suatu negara.

Pada Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 atas prakarsa Liga Bangsa-Bangsa walaupun disetujui mempertimbangkan Laut Teritorial sebagai bagian dari wilayah negara pantai, dan perairan di luarnya adalah Laut Lepas, tetapi konferensi tersebut mengalami kegagalan dalam menentukan lebar Laut Teritorial. Kemudian konsepsi laut bebas ini lebih jelas terlihat di dalam Pasal 2 dari Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas, yang menyatakan bahwa laut lepas adalah terbuka untuk semua bangsa, tidak ada suatu negarapun secara sah dapat melakukan pemasukan bagian dari Laut Lepas ke daerah kedaulatannya. Laut Lepas dimaksudkan untuk kepentingan perdamaian dan tidak suatu negarapun yang dapat melakukan klaim kedaulatannya atas bagian Laut Lepas.

Kebebasan di Laut Lepas dilaksanakan di bawah syarat-syarat yang ditentukan oleh Pasal-Pasal ini (dari konvensi) dan oleh aturan-aturan hukum internasional. Negara pantai maupun bukan negara pantai memiliki kebebasan yang terdiri dari :

1. Kebebasan berlayar

2. Kebebasan menangkap ikan

3. Kebebasan menempatkan kabel-kabel dan pipa bawah laut. 4. Kebebasan untuk terbang di atas Laut Lepas.

Kebebasan-kebebasan ini dan hal-hal lainnya yang dikenal oleh asas-asas umum hukum internasional, akan dilaksanakan oleh semua negara dengan


(50)

memperhatikan kepentingan negara-negara lain dalam melaksanakan kebebasan di laut.

Di dalam Konvensi Hukum Laut 1982, terlihat beberapa perubahan atas konsep Laut Lepas seperti yang didefinisikan oleh Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas. Keempat kebebasan yang disebutkan oleh Pasal 2 Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas tetap diakui dalam Pasal 87 dari konvensi baru dan ditambahkan dengan dua macam kebebasan di Laut Lepas lainnya, yaitu

1. Kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi lainnya yang diizinkan hukum internasional, sesuai dengan ketentuan Bab VI.

2. Kebebasan riset ilmiah, sesuai ketentuan-ketentuan Bab VI dan XIII.

Perubahan lainnya adalah munculnya rejim baru Zona Ekonomi Eksklusif dengan luas 200 mil laut (Bab V, Pasal 55 – 75 ) serta rejim sumber-sumber kekayaan alam dasar laut dan tanah di bawahnya di luar batas yurisdiksi nasional di bawah Otorita Dasar Laut Internasional. Laut Lepas tunduk pada rejim yang berbeda-beda, menyangkut perikanan dan sumber daya alamnya termasuk fungsi Zona Ekonomi Eksklusif, sedangkan dasar laut dan tanah di bawahnya adalah di bawah rejim Landas Kontinen, serta wilayah laut di atasnya adalah rejim Laut Lepas.

Di dalam Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas, dijumpai adanya definisi tentang Laut Lepas.Pasal 1 mengandung suatu definisi negatif dari pada pengertian laut lepas dan mengartikannya sebagai “…….segala bagian laut yang tidak termasuk laut teritorial atau perairan pedalaman suatu negara.Akan tetapi Konvensi Hukum Laut 1982 tidak menyebutkan suatu defenisi tentang Laut


(51)

Lepas. Dalam hal ini Konvensi Hukum Laut 1982 hanya menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dari Laut Lepas diterapkan terhadap semua bagian dari laut yang tidak termasuk di dalam Zona Ekonomi Eksklusif, Laut Teritorial, atau Perairan Pedalaman dari suatu negara atau di dalam perairan kepulauan dari negara kepulauan.

Apabila kita membandingkan kedua Pasal dari kedua konvensi di atas maka akan kita temukan perbedaan, yaitu dalam definisi Pasal 1 Konvensi Jenewa 1958 hanya menyebutkan Laut Teritorial dan Perairan Pedalaman sebagai bagian laut yang tidak termasuk Laut Lepas. Hal ini adalah masuk akal, karena pada waktu berlakunya konvensi ini belum diatur tentang Zona Ekonomi Eksklusif dan diakuinya prinsip Negara Kepulauan, sedangkan kedua rejim yang disebutkan terakhir sudah diatur dalam Konvensi Hukum Laut 1982.

Pada umumnya pengertian Landas Kontinen tersebut akan mempunyai kedalamanan 130-500 meter, di sambung dengan lereng kontinen (continental Slope) dengan kedalaman 1200-3500 meter, dan di terakhir adalah tanjakan kontinen (continental rise) dengan kedalaman 3500-5500 meter. Ketiga Kontinen tersebut membentuk continental margin atau pinggiran kontinen.56

56

Departemen Kelautan dan Perikanan.Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi

Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) Di Indonesia. Laporan Akhir, hlm 29

Semua ketentuan tentang Landas Kontinen menurut Konvensi Jenewa 1958 diubah oleh Konvensi Hukum Laut 1982. Pengertian Landas Kontinen menurut Pasal 76 Konvensi Hukum Laut 1982 adalah sebagai berikut:


(52)

a) dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang adanya kelanjutan ilmiah dari wilayah daratannya sampai ke pinggiran tepi kontinen; atau

b) dasar laut dan tanah di bawahnya sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal di mana laut teritorial diukur;

c) landas kontinen dimungkinkan mencapai 350 mil laut dari garis pangkal di mana laut teritorial diukur; atau

d) tidak melebihi 100 mil laut dari kedalaman (isobath) 2500 meter.

Negara pantai menjalankan hak berdaulat di landas kontinen untuk tujuan mengeksplorasinya dan mengeksploitasinya sumber kekayaan alamnya.57 Tetapi di samping itu Indonesia mempunyai kewajiban untuk menetapkan batas terluar landas kontinen sejauh 350 mil dan menyampaikan kepada Komisi Landas Kontinen (Commission on the Limits of the Continental Shelf) yang selanjutnya diatur oleh Lampiran (Annex) II Konvensi Hukum Laut 1982. Penentapan batas-batas landas kontinen baik sejauh 200 mil maupun 350 mil tersebut wajib disampaikan salinannya kepada Sekretaris Jenderal PBB yang di dalamnya memuat informasi yang relevan seperti data geodetik dan peta-peta lainnya.58

Hak tersebut dalam ayat 1 diatas adalah eksklusifnya dalam arti bahwa apabila negara pantai tidak mengekplorasi landas kontinen atau mengekploitasi sumber kekayaan alamnya, tiada seorangpun dapat melakukan kegiatan itu tanpa persetujuan tegas negara pantai.59

57

Pasal 77 ayat 1 United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982 58

Ibid 59

Pasal 77 ayat 2 United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982


(53)

tidak tergantung pada pendudukan (okupasi), baik efektif atau tidak tetap (national), atau pada proklamasi secara jelas apapun.60

Hak negara pantai atas Landas Kontinen tidak boleh mempengaruhi status hukum perairan di atasnya atau ruang udara di atas perairan tersebut.61 Pelaksanaan hak negara pantai atas Landas Kontinen tidak boleh mengurangi, atau mengakibatkan gangguan apapun yang tak beralasan terhadap pelayaran dan hak serta kebebasan lain yang dimiliki negara lain.62

Semua negara berhak untuk meletakkan kabel dan pipa bawah laut di atas Landas Kontinen.63Dengan tunduk pada haknya untuk mengambil tindakan yang patut untuk mengeksplorasi Landas Kontinen, mengekploitasi sumber kekayaan alamnya dan untuk pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran yang berasal dari pipa, negara pantai tidak boleh menghalangi pemasangan atau pemeliharaan kabel atau pipa demikian.64 Penentuan arah jalannya pemasangan pipa laut demikian di atas Landas Kontinen harus mendapat persetujuan dari negara pantai65 oleh karena di Landas Kontinen negara pantai memiliki Penguasaan penuh dan hak eksklusif atas kekayaan alam di Landas Kontinen Indonesia serta pemilikannya ada pada Negara.66

Setiap perbuatan dan peristiwa yang terjadi pada, diatas atau dibawah instalasi-instalasi, alat-alat lainnya atau kapal-kapal yang berada di Landas Kontinen dan/atau diatasnya, untuk keperluan eksplorasi dan/atau eksploitasi

60

Pasal 77 ayat 3 United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982 61

Pasal 78 ayat 1 United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982 62

Pasal 78 ayat 2 United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982 63

Pasal 79 ayat 1 United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982 64

Pasal 79 ayat 2 United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982 65

Pasal 79 ayat 3 United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982 66


(1)

3. Upaya-Upaya dalam Menangani Permasalahan Pembajakan Di laut Lepas pada kasus Kapal MV Jahan Moni yaitu melakukan kerjasama internasional maupun regional, melalui penerapan system penggunaan dan perlindungan kapal yang memadai, melalui perbaikan komprehensif di negara Somalia yang merupakan salah satu solusi jangka panjang dalam permasalahan pembajakan laut lepas, dan melalui perubahan atau peninjauan ulang (revisi) terhadap hukum internasionalyang berlaku saat ini. Perubahan atau peninjauan ulang (revisi) dapat dilakukan dengan cara memperluas yurisdiksi internasional dengan protocol tambahan, menambah protocol dalam United Nations Convention On Law of the Sea (UNCLOS 1982) mengenai mekanisme untuk mengadili para perompak, amandemen UNCLOS 1982 melalui ketentuan pasal 311 menambahkan pembajakan di laut sebagai salah satu tindak pidana yang dapat diadili dalam Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) dan membentuk pengadilan khusus yang menangani pembajakan di laut.

B. Saran

Dalam penulisan skripsi ini, diberikan beberapa saran yang berkaitan dengan peristiwa pembajakan di laut lepas, antara lain:

1. Perlu adanya kepastian hukum terlebih dahulu dari pemerintahSomalia untuk mewujudkan stabilitas keamanan dalamnegerinya, serta pembangunan dan sistem peradilan pidana yang efektif di negara ini terutama yang berkaitan dengan kejahatanpelayaran yang berupa pembajakan dan perompakan di laut


(2)

2. Perlu dibentuk sebuah peradilan/tribunal internasional yangkhusus mengadili para pelaku tindak kejahatan di Laut Lepasdan bagi negara-negara maju dan memiliki persenjataan yangcanggih, hendaknya bersatu untuk melawan kejahatan pelayarantersebut mengingat tindakan ini sangat mengganggu keamananpelayaran internasional.

3. Perlu adanya tekanan dan ancaman yang keras dari organisasi-organisasi internasional terutama PBB dalam pemberantasan pembajakan di Laut Lepas tersebut, serta memboikot penyaluran peralatansenjata bagi para pelaku kejahatan pembajakan di Laut Lepas.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Abdul Alim Salam, Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Hukum Laut Internasional (Unclos 1982) Di Indonesia, Departemen Kelautan dan Perikanan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Dewan Kelautan Indonesia, Jakarta, 2008

Alfred S., Bradford, Flying the Black Flag- A Brief History of Piracy, Westport, Connecticut: Praeger, 2007

Apriadi Tamburaka. 47 Hari dalam Sandera PerompakSomalia, Drama Upaya Pebebasan Kapal dan ABK MV.Sinar Kudus. Jakarta:PT Bhuana Populer, Kompas Gramedia Group

Boer Mauna, 2000, Hukum Internasional, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Alumni Bandung

Churchill. R R and Lowe. A.V, The Law of the Sea, Manchester University Press, Manchester, UK, l983

Dimiyati Hartono, Hukum Laut Internasional, Penerbit Bhratara Karya Aksara, Yogyakarta, 1987

Douglas Guilfoyle, Shipping Interdiction and law of the Sea, Cabridge: Cambridge University Press, 2009

Hasyim Djalal, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Bandung : BPHN dan Binacipta,1979

Hasyim Djalal, Piracy in South East Asia : Indonesia & Regional Responses, Jurnal Hukum Internasional, Volumer 1 No.3 April 2004, Depok : Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004

Hengky Supit, Penegakan Hukum di Bidang Keselamatan, Keamanan dan Perlindungan Lingkungan Laut/Maritim, Penerbit: Badan Koordinasi Keamanan Laut, Jakarta, 2009

Ilias Bantekas and Susan Nash, Internasional Criminal Law, London : Cavendish Publishing, 2003

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Penerjemah Bambang Iriana Djajaatmadja, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2008


(4)

Kusumaatmadja, Mochtar & Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional.PT Alumni. 2003. Bandung

Lazarus, Pokok-pokok Hukum Laut Internasional. Semarang: Pusat Studi Hukum Laut, 2005

Lucas Bento, The Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy Somalia, Dordrecht, Martinus Nijhoff Publishers, 1993

Melda Kamil Ariadno, Hukum Internasional Hukum yang hidup, Penerbit Diadit Media, Jakarta, 2007

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Bandung :Binacipta,1978 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional,

Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2010

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoe, Pengantar HukumInternasional, Bandung:Alumni, 2003

P.Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, Edisi baru, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta 2002

Peter Chalik, Grey Area Phenomena in South East Asia : Piracy, Drag Trafficking and Asians Studies, ANU, 1997

Retno Windari, Hukum Laut,Zona-zona Maritim sesuai Unclos 1982 dan konvensi-konvensi Bidang maritim, Penerbit: Badan Koordinasi Keamanan Laut, Jakarta,2009

Soejano Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986 Syamsumar Dam, Politik kelautan, Jakarta:Bumi Aksara, 2010

II. Makalah, Majalah dan Koran

James Kraska, Contemporary, Maritime Piracy-International law, Strategi and Diplomacy at Sea Bangladesh, Santa Barbara, Clio Spanyol, 2011

Josep. M. Isanga, Somalia Piracy : Juridiction Issues Enforcement Problems and Potential Solutions Geogetown Journal of Internation law, Vol 4,2010 Lucas Bento, “Toward and International Law of Piracy Sui Generis: How the

Dual Nature of Maritime Piracy to Flourish”, Berkeley Journal of International Law, Vol.29.2,2011


(5)

Tempo Interaktif, Kronologi Pembajakan kapal laut Lepas, Minggu 17 Oktober

Thaine Lennox Gentele, Piracy, Sea Robbery and Terrorism: Enforcing Laws to Deter Ransom Payments and Hijacking, Transportation law Journal, Vol. 37:199, 2010

Wirjono Prodjodikoro, R., Hukum Laut Bagi Internasional, Penerbit Sumur, Bandung, 1983

III. Website

http://pajarr.blogspot.com/2011/09/hukum-pidana-internasional.html di akses 28 Maret 2013

di akses 30 Maret 2013

diakses 30 Maret 2013


(6)

diakses 30 Maret 2013

http://lelemp07.blogspot.com/ di akses 30 Maret 2013

http://apdforum.com/id/article/rmiap/articles/print/features/2012/10/01/feature-pr-9 di akses 30 Maret 2013

akses 30 Maret 2013

http://www.klikheadline.com/ di akses 30 Maret 2013

http://securityexpose.com/pembajak-laut-somalia-tantangan-keamanan-laut-dunia/ di akses 30 Maret 2013

Judarwanto.Perompak Somalia, Kriminal Internasional Masalah Dunia.