T1 712012050 Full text

SASANDU
Tinjauan Sosio-Teologis terhadap Makna Simbol Sasandu dalam Panca
Tugas Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT)
Srian Angyulin Ukat (712012050)
Dosen pembimbing:
Dr. David Samiyono
Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana

ABSTRAK
Penelitian ini mengambil fokus pada makna simbol sasandu dalam panca
tugas GMIT. Sasandu adalah alat musik tradisonal dari pulau Rote dan memiliki
lima nada (pentatonik). Alat musik sasandu digunakan oleh GMIT sebagai simbol
dalam himne dan logo. Tulisan ini diharapkan agar seluruh jemaat GMIT dapat
mengetahui dan memahami makna simbol sasandu dalam panca tugas GMIT.
Fokus penelitian ini adalah makna penggunaan simbol sasandu dalam himne
GMIT. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam
dan observasi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori simbol,
teori kebudayaan dan teori identitas.


Kata Kunci: Sasandu, Himne GMIT, Panca Tugas Pelayanan.

1

SASANDU
Tinjauan Sosio-Teologis terhadap Makna Simbol Sasandu dalam Panca
Tugas Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT)

1. Pendahuluan
1.1.Latar belakang
Gereja merupakan persekutuan orang beriman. Gereja memiliki fungsi
sebagai alat untuk mewartakan tanda-tanda Kerajaan Allah. Gereja adalah salah
satu komunitas yang di dalamnya pemerintahan Allah sebagai Raja dinyatakan,
karena gereja harus bersaksi tentang pemerintahan Allah. Gereja adalah buahbuah sulung dari kemanusiaan yang ditebus (Yak. 1:18). Gereja hidup dengan
nilai-nilai dan standar baru dan hubungan-hubungannya sudah ditransformasikan
oleh kasih.1 Selain itu, bangunan gereja dan berbagai alat yang ada di dalamnya
mempunyai makna dan sejarah yang panjang serta melambangkan persekutuan
yang berlangsung dari dahulu hingga saat ini.
Gereja biasanya menyelenggarakan ibadah untuk menghayati iman mereka
kepada Yesus Kristus sebagai Kepala Gereja. Ibadah adalah kata yang umum dan

inklusif bagi berbagai peristiwa (ritual) yang menegaskan kehidupan ketika gereja
menyelenggarakan pertemuan bersama guna mengekspresikan iman mereka
(liturgi) dalam pijian-pujian, mendengarkan firman Allah, dan merespons kasih
Allah dengan berbagai karunia dari kehidupan mereka.2 Dalam gereja, jemaat
mengekpresikan iman mereka bukan hanya dengan pujian-pujian dan khotbah
tetapi juga simbol-simbol yang ada dalam gereja, misalnya; simbol salib, altar,
dan warna liturgi. Setiap simbol memiliki makna teologis dan makna sosiologis
yang ingin disampaikan sebagai wujud dari identitas gereja.3 Contohnya,
1

J.I. Packer dan Thomas C. Oden, Satu Iman: Konsensus Injili (Jakarta: Gunung Mulia,
2011), 144.
2
David R. Ray, Gereja yang Hidup: Ide-Ide Segar Menjadikan Ibadah Lebih Indah
(Jakarta: Gunung Mulia, 2009), 9.
3
Widdwissoeli M. Saleh, Hari Raya dan Simbol Gerejawi (Jogyakarta: Taman Pustaka
Kristen, 2008), 65.

2


Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia memakai lambang bahtera dengan arti
bahwa gereja menjadi seperti persekutuan yang menghadapi badai di samudera.
Karena itulah di dalam gereja, simbol-simbol ini menunjang dalam pemaknaan
iman jemaat terhadap Yesus Kristus.
Gereja Masehi Injili di Timor adalah salah satu anggota Persekutuan Gerejagereja di Indonesia yang dibentuk pada 31 Oktober 1947. Gereja di Timor
memperoleh kedudukan sebagai gereja yang berdiri sendiri dengan nama Gereja
Masehi Injili di Timor (GMIT).4 Dalam ibadah, GMIT menggunakan nyanyiannyanyian

jemaat yang dengannya teks lagu itu berguna agar jemaat dapat

menghayati imannya kepada Tuhan. Instrumen syair lagu tersebut dapat diambil
dari budaya lokal yang dimiliki oleh masyarakat setempat seperti kata “sasandu”
sebagai salah satu syair teks lagu yang digunakan dalam persekutuan di GMIT.
Lagu dan alat musik beserta bunyi-bunyian yang dihasilkan tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya. Sebuah lagu yang akan dinyanyikan
memerlukan alat-alat yang ada hubunganya dengan tujuan untuk bernyanyi.
Melalui lagu atau musik dapat dicapai nilai-nilai yang berguna bagi pembentukan
pribadi yang disentuh oleh keindahan bunyi, misalnya lagu yang mengajak umat
untuk mengabdi kepada Ilahi, mencintai tanah air, orang tua, kekasih dan

sebagainya.5
Himne GMIT yang juga memakai kata sasandu adalah suatu hasil karya seni
lagu atau komposisi musik, yang mengungkapkan pikiran dan perasaan
penciptanya melalui unsur-unsur musik, yaitu irama, melodi, harmoni,
bentuk/struktur lagu, dan ekspresi sebagai satu kesatuan. Karena lagu atau
komposisi musik itu baru merupakan hasil karya seni jika diperdengarkan dengan
menggunakan suara (nyanyian) atau dengan alat-alat musik.6 Di dalam tradisi

4

http://sinodegmit.or.id/hal-sejarah-gmit.html. Diunduh tanggal 17 November 2015 pukul
12:39 WIB.
5
Paul A. Haning, Sasandu: Alat Musik Tradisonal Masyarakat Rote Ndao (Kupang: Kairos,
2009), 2.
6
Jamalus, Pengajaran Musik Melalui Pengalaman Musik (Jakarta: P2LPTK Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1988), 1-2.

3


Kristen, nyanyian tidak dapat dipisahkan dari ibadah.7 Terkait dengan syair lagu
yang memuat kekhasan budaya, GMIT juga memiliki himne dalam syair lagunya
yang mencantumkan kata sasandu dan bahkan Himne GMIT tersebut, kadang
diiringi dengan alat musik sasandu.
Himne ini merupakan nyanyian pujian yang diberikan kepada Tuhan.
Himne secara garis besar adalah sebuah pernyataan identitas dari satu persekutuan
yang dikemas dalam bentuk berirama. Dalam himne GMIT terdapat kalimat
Sasandu Panca Tugas Kita Petiklah Bagi-NYA. Sasandu adalah alat musik
tradisional dari kebudayaan Rote, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat suku Rote
menyebutnya (sasandu), artinya alat “ yang bergetar atau berbunyi”. Dalam dialek
Kupang, alat ini sering disebut sasando, alat musik berdawai yang dimainkan
dengan cara memetik dengan jari-jemari tangan. Konon sasandu telah digunakan
di kalangan masyarakat Rote sejak abad ke-7.8 Sekilas bentuk sasandu mirip alat
musik

petik

lainnya,


seperti

gitar,

biola,

dan

kecapi.

Namun,

uniknya sasandu memiliki bunyi khas merdu dan berbeda. Sasandu terbuat dari
daun lontar dan bambu. Sedangkan dawainya terbuat dari kawat halus seperti
senar string. Sasandu adalah alat musik tradisional yang perlu dirawat secara
rutin. Setiap 5 (lima) tahun sekali, daun lontar harus diganti, karena daun ini
mudah berjamur.9 Selain sasandu muncul di himne GMIT, sasandu juga muncul
dalam logo GMIT. Hal ini tentu memiliki pesan penting di baliknya, yaitu tentang
identitas gereja secara teologis maupun sosiologis.
Penelitian ini berfokus pada makna simbol sasandu dalam panca tugas

GMIT. Alasan GMIT dipilih sebagai fokus penelitian ini karena GMIT adalah
gereja yang bercorak nasional tetapi memiliki akar budaya yang kuat seperti
7

Liturgi adalah kegiatan ibadah, baik bentuk seremonial maupun praktis. Ibadah praktis
adalah yang sejati yang tidak terbatas pada perayaan di gereja melalui selebrasi, tetapi terwujud
pula di dalam sikap hidup orang percaya melalui aksi. Sifat liturgi adalam respon umat akan karya
Allah di dalam sejarah dunia. Respons umat atau respons gereja mengandung nilai kebersamaan.
Rasid Rachman. Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 1-9.
8
http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/872/sasando-alat-musik-tradisional-dari-rote.
Diunduh tanggal 21 Februari 2015 pukul 20.40 WIB.
9
http://www.kidnesia.com/Kidnesia2014/Indonesiaku/Teropong-Daerah/Nusa-TenggaraTimur/Seni-Budaya/Alat-Musik-Tradisional-Sasando. Diunduh tanggal 21 Februari 2015 pukul
20.46 WIB.

4

dalam adat sasandu ini. Selain itu terdapat wilayah pelayanan yang cukup luas.
Hal ini kemudian memunculkan ide yang menarik untuk didalami mengingat

Himne ini berlaku umum dalam seluruh wilayah Pelayanan di GMIT sebagai
suatu komunitas gereja yang besar di Nusa Tenggara Timur.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah uraikan di atas maka yang menjadi
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Apa makna simbol
sasandu dalam panca tugas GMIT ditinjau secara sosio-teologis?”

1.3.Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk
Mendeskripsikan makna simbol sasandu dalam panca tugas GMIT ditinjau secara
sosio-teologis.

1.4.Manfaat
Melalui penelitian ini diharapkan agar warga jemaat GMIT dapat
mengetahui dan memahami makna simbol Sasandu dalam panca tugas GMIT.
Manfaat yang kedua melalui penelitian ini ialah agar Gereja dapat memahami
bahwa kebudayaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Gereja sehingga
perlu untuk dipakai dalam tugas pelayanan GMIT.

1.5.Metode

Pada sebuah penelitian, terdapat metode-metode atau pendekatan penelitian
yang dapat digunakan oleh seorang peneliti dalam menggali dan mencari tahu
data, informasi, dan apapun yang dibutuhkan dalam sebuah penelitian. Metode
penelitian tersebut terdiri dari cara berpikir induksi (metode kualitatif) dan cara
berpikir deduksi (metode kuantitatif).10 Peneliti menggunakan jenis metode
10

David Samiyono, Pengantar kedalam Matakuliah Metode Penelitian Sosial, (Salatiga,

2004), 9.

5

kualitatif. Terdapat beberapa alasan yang mendorong peneliti menggunakan
metode kualitatif, karena metode kualitatif sangat efektif untuk mengkaji suasana
sikap dan perilaku yang bersifat samar-samar serta proses sosial pada suatu
masyarakat atau komunitas tertentu. Alasan ini memungkinkan peneliti dapat
melihat dan mengetahui secara langsung apa yang ingin diteliti serta
mempermudah peneliti dalam memperoleh informasi dalam pengambilan data di
lapangan. Penggunaan metode ini dalam rangka dapat mengeksplorasi di mana

dan mengapa suatu kebijakan, kearifan lokal, dan tindakan bisa atau tidak bisa
dilakukan.11
Pengumpulan data dapat menggunakan data primer adalah sumber data yang
langsung dilakukan dengan cara mewawancarai nara sumber sedangkan untuk
data sekunder merupakan sumber yang tidak langsung namun akan didukung oleh
buku-buku, jurnal, maupun artikel yang berkaitan dengan pokok bahasan.
Wawancara dipilih karena cukup menggambarkan peran seorang peneliti
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban
yang relevan dengan masalah penelitian. Wawancara dapat dilakukan secara
terstruktur maupun tidak terstruktur dan dapat dilakukan melalui tatap muka
(Face to face) maupun melalui telepon.12 Dengan metode wawancara ini penulis
menentukan informan kunci terlebih dahulu yang mengalami atau memahami
persoalan penelitian yang telah dirumuskan dan selanjutnya dilakukan tanya
jawab secara mendalam untuk menjawab persoalan penelitian yang telah
dirumuskan. Wawancara tersebut dilakukan dengan tidak terstruktur yang
dimaksudkan untuk menanyakan secara mendalam maksud dan penjelasan dari
informan atau nara sumber.13
Wawancara mendalam dipandang sangat tepat dalam penelitian ini untuk
mendapatkan data secara lengkap dan mendalam untuk mendapatkan maknamakna simbol Sasandu tersebut. Informan yang akan diwawancarai adalah para


11
12

David Samiyono, Pengantar kedalam Matakuliah Metode Penelitian Sosial, 9.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2012).

138
13

Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga (Jakarta:
Gramedia, 1997), 129.

6

pendeta GMIT yang bekerja di Kantor Majelis Sinode GMIT. Adapun informan
dalam penelitian ini adalah Majelis Sinode Harian GMIT, Badan Pembantu
Pelayanan dalam lingkup sinode dan salah satu pendeta GMIT.
1.6.Garis besar Penulisan
Bagian Pertama, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat,
metode dan sistematika penulisan. Bagian Kedua, teori simbol, teori kebudayaan
dan teori identitas. Bagian Ketiga, hasil penelitian. Bagian Keempat, analisis
berdasarkan teori yang digunakan dan hasil temuan dari penelitian ini. Bagian
Terakhir, adalah kesimpulan dan saran.

2. Simbol dalam Masyarakat
2.1.Simbol
Simbol dapat berupa kata atau tindakan atau gambaran atau drama. Dengan
kata-kata yang lebih umum, sebuah simbol menghubungkan usaha manusia
dengan realitas yang lebih besar, bahkan yang tertinggi. 14 Dengan demikian
simbol membuat manusia lebih mudah untuk memahami realitas yang lebih tinggi
dari mereka. Simbol tidak hanya memungkinkan adanya hubungan, tetapi juga
adanya masyarakat. Tanpa simbol kita tidak dapat mengkoordinasikan tindakan
kita dengan tindakan orang lain.15 Simbol bukan hanya tentang individu tetapi
juga tentang masyarakat, simbol digunakan untuk kepentingan manusia dalam
berkomunikasi dengan sesamanya. Simbol-simbol diberi makna oleh masyarakat
yang mempergunakan simbol tersebut. Bisa saja sebuah simbol yang dipakai oleh
suatu masyarakat tidak dimengerti atau diberi arti berbeda oleh masyarakat lain.
Simbol dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu simbol verbal dan simbol nonverbal. Simbol verbal adalah semua simbol yang menggunakan kata. Simbol ini
merupakan unsur penting dalam berkomunikasi. Kedua simbol non-verbal isyarat
bukan kata yang kita pertukarkan dalam komunikasi kita. Simbol non-verbal ini

14
15

F.W.Dillistone, The Power of Symbols (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 28.
James M. Henslin, Sosiologi dengan Pendekatan Membumi (Jakrta: Erlangga, 2007), 15.

7

juga dimaknai menurut budaya.16 Simbol sendiri tidak pernah menunjukan pada
dirinya sendiri tetapi senantiasa menunjukan realitas yang lain, yang dalam
perayaan liturgi adalah peristiwa perjumpaan umat beriman dengan Allah sendiri.
Menurut Nathan Mitchell, hakikat simbol menunjuk pada segi tindakan yang
mengundang kita masuk ke dalam realitas yang disimbolkan. Simbol-simbol dan
tata ritual dalam perayaan liturgi pertama-tama berciri komunal atau lebih tepat
lagi eklesial. Simbol dan tata ritual selalu ada dalam konteks masyarakat atau
komunitas. Artinya, simbol dan tata ritual tersebut hanya mempunyai arti sejauh
dimengerti atau diakui oleh komunitas. Lepas dari komunitas simbol tidak
memiliki arti apapun.17
Sebuah pembedaan yang senantiasa muncul, tetapi yang tidak tegas-jelas
sepenuhnya, adalah pembedaan antara tanda dan simbol. Tanda harus bersifat
tidak ambigu (mendua), definitive, sesuai, sedekat-dekatnya dengan barang atau
peristiwa khusus. Dalam konteks ini kata-kata dan gambar-gambar adalah tanda,
yang digunakan dalam proses komunikasi manusia untuk menggambarkan
setepat-tepatnya unsur-unsur yang termaksud dalam pengalaman umum
(bersama). Simbol, dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata dalam bahasa
Yunani symbolon dan tetap mempunyai cita rasa Yunani. Maka dari itu, sebuah
simbol dapat berfungsi untuk menggabungkan dan membangun sebuah
keseluruhan yang organis (dapat dibandingkan dengan cara anggota-anggota yang
tidak terhitung jumlahnya membentuk satu badan). Simbol itu dapat berfungsi
untuk menggabungkan dengan cara yang mengherankan unsur-unsur pengalaman
yang tampak tidak saling bersesuaian atau bahkan bertentangan. 18 Simbol terus
hidup hanya sepanjang simbol memperkuat pengertian kita tentang realitas ilahi
yang, menurut maksud semula digambarkan atau dihadirkan oleh simbol itu. 19
Terkait dengan simbol terdapat empat pemahaman tenttang simbol menurut
para ahli antropologi sosial. Pertama, Raymond Firth dalam bukunya symbols:
16

Fredian Tonny Nasdian, Sosiologi Umum (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
2015), 241-242.
17
Ignatius Suharyo, Gereja yang Melayani dengan Rendah Hati (Yogyakarta: Kanisius,
2009), 42-43
18
Dillistone, The Power of Symbols, 223-224.
19
Dillistone, The Power of Symbols, 209.

8

Public and Private ia menulis “hakikat simbolisme” terletak dalam pengakuan
bahwa hal yag satu mengacu kepada (mewakili) hal yang lain dan hubungan
antara keduanya pada hakikatnya adalah hubungan hal yang konkret dengan yang
abstrak hal yang sama dengan yang umum. Sesungguhnya, menurut Firth sebuah
simbol dapat menjadi sarana untuk menegakan tatanan sosial atau untuk
menggungah kepatuhan-kepatuhan sosial; selain itu, sebuah simbol kadangkadang dapat memenuhi suatu fungsi yang lebih bersifat privat dan individual,
meskipun tidak mudah mengakui adanya nilai dalam sebuah simbol yang tidak
mempunyai suatu acuan kepada pengalaman yang lebih luas.

20

Kedua, Mary

Douglas menulis tentang Natural symbols yang memberikan kesaksian tentang
nilai dari corak tertentu bentuk-bentuk ritual dalam membawakan koherensi dan
stabilitas kepada masyarakat: kedudukan dan batas disimbolkan dengan tepat oleh
ciri-ciri tubuh.

21

Ketiga, Victor Turner simbol-simbol yang dominan menduduki

tempat yang penting dalam sistem sosial mana pun, sebab makna simbol –simbol
itu pada umumnya tidak berubah dari zaman ke zaman dan “dapat dikatakan
merupakan kristalisasi pada aliran tata cara yang dipimpinnya”.

22

Keempat dan

terakhir adalah Clifford Geertz “kebudayaan” menurutnya berarti suatu pola
makna yang ditularkan secara historis, yang diejawantahkan ke dalam simbolsimbol, suatu sistem konsep yang diwarisi, terungkap dalam bentuk-bentuk
simbolis yang menjadi sarana manusia untuk menyampaikan, mengabadikan, dan
mengembangkan pengetahuan mereka tentang serta sikap-sikap mereka terhadap
hidup. Simbol-simbol keagamaan adalah simbol-simbol yang mensintesiskan dan
mengintegrasikan

“dunia

sebagaimana

dihayati

dan

dunia

sebagaimana

dibayangkan” dan simbol-simbol ini berguna untuk menghasilkan dan
memperkuat keyakinan keagamaan.23
Dengan demikian simbol merupakan ekspresi yang mewakili atau menanda
sesuatu hal yang lain. Salah satu karekteristik simbol yang harus diingat adalah
bahwa simbol itu tidak mempunyai hubungan langsung dengan apa yang
20

Dillistone, The Power of Symbols, 103.
Dillistone, The Power of Symbols, 109.
22
Dillistone, The Power of Symbols, 114.
23
Dillistone, The Power of Symbols, 115-116.
21

9

diwakilinya, sehingga dapat berubah-ubah. Kita menggunakan simbol untuk
memberikan makna. Kita menyuruh orang untuk menjadi papan gema, supaya kita
dapat mengklarifikasi pemikiran kita, menggambarkan apa arti sesuatu,
memperluas perspektif kita, memeriksa persepsi kita, dan menamai perasaan kita,
sehingga menjadi nyata. Dengan cara ini, kita secara aktif memberi arti melalui
pengunaan simbol. Gudykunst dan Kim, menulis “ hal penting yang harus diingat
adalah bahwa suatu simbol menjadi simbol ketika sejumlah orang sepakat
menjadikannya suatu simbol. Tidak ada hubungan budaya antara simbol dan
artinya; hubunganya berubah dan bervariasi pada semua budaya. Maksudnya
adalah meskipun semua budaya menggunakan simbol, biasanya masing-masing
mempunyai arti tersendiri.24 Hubungan antara budaya dan simbol menjadi jelas
ketika Ferraro menuliskan,. “simbol mengikat orang yang mungkin saja bukanlah
bagian dari suatu kelompok yang bersatu. 25
2.2.Kebudayaan
Kebudayaan, seperti yang secara umum dikatakan oleh banyak ahli
merupakan terminologi yang paling “rumit” dalam sebuah bahasa. Rumitnya
menafsir dan memahami kata tersebut disebabkan adanya keterlibatan prasangka
yang kuat sebagai paradigma kebudayaan.26 kata kebudayaan berasal dari
terjemahan kata kultur. Kata kultur dalam bahasa latin cultura berarti memelihara,
mengola dan mengerjakan. Kebudayaan dapat digolongkan menjadi tujuh hal
yaitu kebudayaan sebagai keseluruhan hidup manusia yang kompleks,
kebudayaan sebagai warisan tradisi, kebudayaan dianggap sebagai cara dan aturan
hidup manusia, kebudayaan sebagai langkah penyesuaian diri manusia kepada
lingkungan sekitarnya, kebudayaan dipandang sebagai sturuktur, kebudayaan
sebagai hasil perbuatan atau kecerdasan, kebudayaan yang tidak lengkap dan tidak
bersistem.27 Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa sanskerta buddhayah, ialah
24

McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya, 18-20.
McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya, 45.
26
Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, teori-teori Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius,
2005), 19.
27
Suwardi Endraswara, Metode,Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan:Ideologi,epistemologi
dan Aplikasi (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006),20-21.
25

10

bentuk jamak dari buddih yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian
kebudayaan itu dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan budi akal.28
Kebudayaan adalah sebuah keutuhan yang didalamnya terkandung unsur-unsur
yang populer dan tidak.29
Adapun pengertian kebudayaan pada bangsa Yunani Kuno diungkapkan
dengan perkataan paideia, yang berarti pendidikan. Pangkal kebudayaan orang
romawi

terletak

pada

cultura.

Artinya

“mencurahkan

perhatian”

atau

“Penggemar”, sehingga orang Romawi berbicara baik tentang cultura Dei
kebaktian kepada Tuhan, maupun tentang agri-cultura atau memelihara tanah. 30
Ada berbagai macam persepsi kebudayaan ialah, kebudayaan adalah hasil
objektif yang telah diperoleh manusia dalam sejarah perkembangannya dari
generasi ke generasi. Artinya kebudayaan telah ada sejak dulu kala dan
diwariskan kepada keturunanan untuk di teruskan dan dilestarikan. Kebudayaan
terlihat dalam dinamika serta proses realisasinya menuju kedewasaan manusia.
Dengan demikian kebudayaan merupakan sebuah proses yang dilalui oleh
manusia untuk mencapai tujuannya. Kebudayaan adalah penilaian terhadap proses
perkembangannya

sendiri

dengan

membuka

jalan

baru,

menjalankan

pembaharuan dan perbaikan kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu kebudayaan
akan selalu berubah dengan seiringnya perubahan masyarakat. 31 Kebudayaan
menunjukan suatu pengertian yang luas dan kompleks. Didalamnya tercakup baik
segala sesuatu yang terjadi dalam dan dialami oleh manusia secara personal dan
secara kolektif, maupun bentuk-bentuk yang dimanifestasikan sebagai ungkapan
pribadi seperti yang dapat kita saksikan dalam sejarah kehidupannya. 32 Sehingga
Kebudayaan mencakup seluruh kehidupan manusia secara individu maupun
masyarakat. Kebudayaan adalah alam kodrat sendiri sebagai miliki manusia,

28

Koentjaraningrat, Bungai Rampai Kebudayaan, mentalitas dan Pembangunan (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), 9.
29
Hikmat Budiman, Lubang Hitam kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 211.
30
J.W.M. Bakker, Filsafat Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1984), 34.
31
Soerjanto Poespowardojo, strategi kebudayaan suatu Pendekatan Filosofis (Jakarta:
Gramedia, 1989), 64-65.
32
Poespowardojo, strategi kebudayaan, 110.

11

sebagai ruang lingkup realisasi diri.33 Jadi Kebudayaan merupakan milik manusia
sekaligus tempat bagi manusia merealisasikan dirinya. kedudukan manusia dalam
kebudayaan adalah sentral, bukan manusia sebagai orang melainkan sebagai
pribadi.34 Sehingga manusia menjadi pusat dari kebudayaan itu sendiri. Sejumlah
ahli kebudayaan membedakan antara kebudayaan, subjektif dan objektif, yang
disebutnya batin dan lahir. Kedua aspek kebudayaan, subjektif dan objektif,
membawa serta suatu deretan binomia lain yang menyiratkan kedua korelasi itu
lebih lanjut, yaitu batin-lahir, pribadi-sosial, tersembunyi-tampak, rohani-jasmani,
jiwa-lembaga, etos-peraturan, dan lain sebagainya, yang semuanya digerakan oleh
hubungan dialektis yang sama.

35

Dipandang dari aspirasi fundamental yang ada

pada manusia, nilai-nilai batin dalam kebudayaan subjektif terdapat dalam
perkembangan

kebenaran,

kebajikan

dan

keindahan.

Nilai-nilai

yang

direalisasikan secara batin, sekali diproyeksi secara serupa, merupakan landasan
untuk perkembangan batin lebih lanjut dan demikian terus-menerus dalam sarang
yang semakin kompleks.

36

Unsur-unsur kebudayaan dapat dibagi menjadi

beberapa prinsip bagian yaitu ilmu pengetahuan, teknologi, kesosialan, ekonomi,
kesenian dan agama.
Kebudayaan dalam arti gaya hidup suatu masyarakat khusus, dapat
dilukiskan dan didefenisikan oleh karena keterkaitannya dengan seluruh konsep
tatanan atau tata tertib. Dimana ada perpecahan dan pertentangan serta benturan
ideologi-ideologi, di situ tidak dapat ada kebudayaan bersama. Akan tetapi
kebutuhan untuk hidup dalam lingkungan yang teratur rupanya merupakan hasrat
kuat kodrat manusia sendiri. 37

33

Bakker, Filsafat Kebudayaan, 15.
Bakker, Filsafat Kebudayaan, 17.
35
Bakker, Filsafat Kebudayaan, 25.
36
Bakker, Filsafat Kebudayaan, 37-38.
37
Dillistone, The Power of Symbols, 193.
34

12

2.3.Identitas
Kata identitas berasal dari bahasa inggris, identity, ia berakar dari bahasa
latin, “idem” yang berarti sama dan “identidem” yang berarti “berulang-ulang atau
berkali-kali”. Kedua istilah ini membentuk kata baru identitas yang berarti sebelah
menyebelah dengan mereka yang serupa (likeness) dan satu (oneness). Ini artinya
identitas secara harafiah maknanya sama, baik sama dalam bentuk maupun isi.
Identitas mencerminkan suatu kelompok mempunyai kesamaan yang diwujudkan
dalam atribut sosial yang mengikat isi, yakni karakteristik nilai dan cita-cita sosial
yang sama.

38

Identitas merupakan hal yang abstrak, konsep beraneka segi yang

berperan penting dalam interaksi komunikasi antarbudaya. Pemahaman mengenai
identitas juga merupakan aspek penting dalam pembelajaran dan praktik
komunikasi antarbudaya.39 Istilah identitas menunjuk keseperangkat ciri dari
suatu objek tertentu yang membedakan dengan objek lain. Kamus besar bahasa
indonesia mengartikan identitas sebagai ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang.40
Pengertian identitas dari beberapa ahli ilmu komunikasi, Fong berpendapat bahwa
“budaya dan identitas budaya dalam pembelajaran hubungan antarbudaya menjadi
payung untuk menggolongkan identitas ras dan etnik”. Ia menjelaskan identitas
budaya sebagai identifikasi komunikasi dari sistem perilaku simbolis verbal dan
non-verbal yang memiliki arti dan yang dibagikan diantara anggota kelompok
yang memiliki rasa saling memiliki dan membagi tradisi, warisan, bahasa, dan
norma-norma yang sama. Identitas merupakan konstruksi sosial.41
Lustig dan Koester melihat identitas budaya sebagai “ rasa kepemilikan
seseorang terhadap budaya atau kelompok etnik tertentu”. Ting-Toomey dan
Chung melihat identitas budaya sebagai “signifikansi emosi yang kita tambahkan
pada rasa kepemilikan kita atau afiliasi dengan budaya yang lebih besar.
Klyukanov, mengatakan “identitas budaya dapat dilihat sebagai keanggotaan
38

Masroer, Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi: studi pada komunitas Masjid
Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 2015), 120.
39
Larry A. Samovar, Richard E. Porter, Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya
(Jakarta: Salemba Humanika, 2010), 182-183.
40
Weinata Sairin, Identitas dan Ciri Khas Pendidikan Kristen di Indonesia antara
konseptual dan oprasional (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 87.
41
McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya, 184.

13

dalam suatu kelompok dimana semua orang menggunakan sistem simbol yang
sama”. Turner menawarkan tiga kategori untuk mengklarifikasi identitas: identitas
manusia, identitas sosial, dan identitas pribadi. Identitas manusia merupakan
pandangan yang menghubungkan anda dengan seluruh manusia dan memisahkan
anda dari bentuk kehidupan yang lain. Identitas sosial merupakan perwakilan dari
kelompok dimana anda bergabung seperti ras, etnisitas, pekerjaan, umur,
kampung halaman dan lain-lain. Identitas pribadi timbul dari hal-hal yang
membedakan anda dari yang lainnya dan menandakan anda sebagai pribadi yang
special dan unik. 42
Identitas sosial adalah konsep diri pribadi ketika berinteraksi sosial.
Identitas sosial berperan dalam hubungan antar kelompok, yang tergantung dari
dimensi psikis yang dapat diterima (aman atau tidak aman). Ketika identitas aman
memiliki derajat yang tinggi, individu cenderung mengevaluasi out-group, dan
persepsi sedikit pada homogenitas in-group. Sebaliknya identitas tidak aman
dengan derajat yang tinggi, berhubungan dengan evaluasi yang sangat negatif
terhadap in-group, bias lebih besar dalam membandingkan in-group dan outgroup, dan persepsi homogenitas in-group lebih besar.43 identitas sosial terdiri
dari: identitas rasial, menjelaskan bahwa ras merupakan konsepsi sosial yang
timbul dari usaha untuk mengelompokan orang kedalam kelompok-kelompok
yang berbeda. Identitas etnis, etnistas atau identitas etnis berasal dari warisan,
sejarah, tradisi, nilai, kesamaan perilaku, asal daerah, dan bahasa yang sama.
Identitas gender, merujuk pada pengertian dan interpretasi yang kita miliki yang
berhubungan dengan gambaran pribadi dan gambaran lain yang diharapkan dari
laki-laki dan perempuan. Identitas nasional, merujuk pada kewarganegaraan anda.
Mayoritas orang mengasosiasikan identitas nasional mereka dengan Negara di
mana mereka lahir. Identitas regional penduduk di daerah tersebut menggunakan
satu atau lebih karakteristik tersebut menunjukan identitas regional mereka.
Identitas organisasi, dalam beberapa budaya keanggotaan seseorang dalam
organisasi dapat menjadi sumber penting identitas. Hal ini benar dalam budaya
42
43

McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya, 185.
Masroer, Identitas Komunitas, 122-123.

14

kolektif dan tidak demikian dalam budaya individualistis. Identitas pribadi, terdiri
atas karakteristik yang membuat seseorang berbeda dari yang lain dikelompoknya,
karakteristik yang membuatnya unik dan bagaimana seseorang memandang
dirinya

sendiri.

Identitas

dunia

maya

dan

identitas

khyalan,

internet

memungkinkan seseorang untuk memilih dan mempromosikan apa yang mereka
pikirkan mengenai sisi positif dari identitas mereka dan menghilangkan sisi
negative atau bahkan membentuk identitas yang baru. 44
3. Tinjauan Sosio-Teologis terhadap Makna Simbol Sasandu dalam Panca
Tugas GMIT
3.1.Himne
Dalam KBBI, “himne” diartikan sebagai nyanyian yang berisi pujian
untuk Tuhan/ dewa; sekarang juga untuk lembaga atau instansi tertentu. 45 Harvey
B. Mark berpendapat bahwa himne merupakan suatu bentuk syair sakral yang
ekspresif, yang berbicara mengenai pengabdian, pengalaman spiritual maupun
kebenaran religious. Ester Nasrani menyatakan bahwa himne mulai dinyanyikan
pertama kalinya oleh jemaat gereja mula-mula semenjak peristiwa Pentakosta.
Fungsi himne bagi jemaat adalah untuk memberikan kesempatan kepada jemaat
untuk mengidentifikasikan dirinya dengan pengalaman iman, untuk menikmati
pengalaman spiritual serta untuk mengalami bimbingan kasih Allah.46 Sama
dengan gereja-gereja lainnya GMIT juga memiliki himne, yang didalamnya
terdapat kata sasandu. Fungsi himne GMIT sebagai pengungkapan pujian dan
pujaan rasa hormat kepada GMIT sebagai persekutuan orang percaya (pokokpokok eklesiologi mengaku GMIT sebagai familia dei) keluarga Allah.
Persekutuan milik orang percaya (1 Pet 2:9).47
3.2.Alat musik sasandu

44

McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya, 187-193.
J. S Badudu dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Besar Bahasa Indonesia Cetakan
1(Jakarta: PT Inteegrafika, 1998), 512.
46
Agastya Rama Listya, Nyanyian Jemaat dan Perkembangannya, (Salatiga: Universitas
Kristen Satya Wacana, 1999), 8-10.
47
Hasil wawancara dengan bapak Yance Nayoan, pada tanggal 20 februari 2017 pukul
06.00 WITA
45

15

Alat musik sasandu adalah salah satu alat musik yang khas di NTT.
Sasandu berasal dari pulau Rote Nusa Tenggara Timur (NTT) dan dapat dikatakan
sebagai alat musik yang sudah mendunia.48 Perkembangan sasando terhitung
pesat, berawal dari sasando berdawai 7 (pentatonik) dengan sebutan sasando
gong, karena biasanya dimainkan dengan irama gong, kemudian sasando gong
berkembang menjadi alat musik petik pentatonik dengan 11 (sebelas) dawai.
Sasando gong sangat populer di kepulauan Rote. Diperkirakan pada akhir abad ke
18 sasando mengalami perubahan, dari sasando gong ke sasando biola. Sasando
biola lebih berkembang di Kupang. Dinamai „sasando biola‟ karena nada-nada
yang ada pada sasando meniru nada pada biola. Nadanya diatonis dan bentuknya
mirip sasando gong tetapi bentuk bambu dan diameternya lebih besar dari sasando
gong dan jumlah dawai pada sasando biola lebih banyak, awalnya 30 nada
kemudian berkembang menjadi 32 hingga 36 dawai.
Ada dua bentuk sasando biola yaitu sasando dengan bentuk ruang
resonansinya terbuat dari daun lontar/haik dan sasando biola dengan bentuk ruang
resonansinya terbuat dari bahan kayu maupun multiplex (kotak/box/peti) seperti
yang sering kita lihat pada uang kertas lima ribuan edisi tahun 1992. Di tahun
1958, sasando elektrik mulai dibuat hingga pada tahun 1960 berhasil
dirampungkan dan mendapatkan bunyi yang sempurna sama dengan suara aslinya.
Bentuk sasando elektrik ini dibuat sebanyak 30 dawai. Pembuat pertamanya
adalah Arnoldus Edon. Sasando elektrik ini termasuk dalam salah satu jenis
sasando biola yang mengalami perkembangan teknologi. Sasando tradisional
mempunyai beberapa kekurangan dan kelemahan antara lain, daun lontar mudah
pecah dan pada saat musim hujan sering timbul jamur di atas permukaan daun,
dan suara sasando ketika dipetik suaranya sangat kecil.49
Sasandu pada mulanya menggunakan tangga nada pentatonis (lima tangga
nada). Lima tangga nada tersebut adalah mi, sol, la, do, re. Nada-nada sasandu

48

Hasil wawancara dengan bapak Jhony Riwu Tadu, pada tanggal 26 april 2016 pukul
11.05 WITA
49

http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/872/sasando-alat-musik-tradisional-dari-rote.
Diunduh tanggal 21 Februari 2015 pukul 20.40 WIB.

16

dari yang terendah sampai yang tertinggi, dalam bahasa Rote adalah sebagai
berikut: Ina Makamu (mi), Ina Taladak (sol), Ina Tataik (la), Nggasa Laik (do),
Nggasa Daek (re), Leko Laik (mi), Leko Daek/Paisele (sol), Ana Laik (la), Ana
Daek (do), dan Ana Do‟o Dea (re).50 Hal ini yang membuat sasandu menjadi alat
musik yang unik dibandingkan dengan alat musik lain (gitar, piano dan kecapi).
Ada beberapa versi ceritra rakyat yang mengisahkan tentang awal
mulanya sasandu/sasando. Pada zaman dahulu ada seorang pemuda bernama
Sangguana tinggal di Oetefa-Thie (Kecamatan Rote Barat Daya). Suatu ketika,
dalam perjalanan mencari ikan dengan perahu, ia terdampar di pulau Ndana. Ia di
temukan oleh penduduk sekitar dan ia dibawa ke hadapan Raja Takalaa yang
berdiam di istana raja yang bernama Nusaklain. Kebiasaan pada istana tersebut
pada malam hari sering diadakan permainan kebak (kebalai), yaitu semacam
tarian masal muda-mudi dengan cara bergandengan tangan bentuk lingkaran. Pada
tarian ini salah satu bertindak menjadi manahelo (pemain syair), dan manahelo
biasanya berada di tengah lingkaran. Dalam permainan ini Sangguana yang
mempunyai bakat seni selalu menjadi tumpuan perhatian di antara sesama
mereka. Tanpa disadari putri raja jatuh hati pada Sangguana, sehingga pada suatu
ketika putri raja meminta kepada Sangguana untuk menciptakan suatu bentuk
kesenian yang belum pernah ada. Apabila permintaan ini dapat dikabulkan maka
Sangguana berhak mengawininya.
Suatu malam Sangguana bermimpi sedang memainkan satu alat musik
yang indah bentuknya dan juga suaranya. Mimpi tersebut mengilhami Sangguana
untuk menciptakan alat musik, yang kemudian alat musik itu diberi nama sandu
(yang berarti bergetar) ketika putri raja menemui Sangguana yang sedang
memainkan apa nama lagu itu, maka jawab Sangguana sari sandu. Dengan senang
hati putri raja menerima sandu dari tangan Sangguana, dan seraya menyatakan,
karena alat ini sudah menjadi milik saya maka alat ini diberi nama sesuai dengan
bahasa saya yaitu hitu (tujuh) karena pada alat tersebut terdapat tujuh dawai, dan

50

Haning, Sasandu, 20.

17

lagu yang dimainkan melaui alat itu dinamai depo hitu yang artinya sekali
dimainkan ketujuh dawai bergeser.51
Sasandu ini adalah alat musik tradisional orang Rote. Orang Rote dalam
tugas keseharian dalam bidang pertanian pada saat tertentu mereka berhenti untuk
memetik sasandu, merenungkan jalan hidup mereka. Alat musik tradisional ini
dipercaya dapat memulihkan kondisi fisik atau untuk didengarkan pada saat
orang berhenti bekerja di sawah, di ladang, mereka memetik sasandu sebagai
upaya menyegarkan kembali. Pada saat itu mereka juga menyanyikan lagu-lagu
daerah Rote asli yang masih dihiasi dengan nuansa yang kental dengan makna
sosial budaya. Lalu mereka memakai itu sebagai simbol musik tradisonal orang
rote.52 Alat musik sasandu juga dimainkan saat kematian, perkawinan, pesta
rumah baru, hari raya, upacara adat, dan pengiring tari. Musik ini merupakan
salah satu sarana hiburan yang sangat penting.53 Di Rote hampir setiap desa
terdapat pemain sasandu gong, sedangkan pemain sasandu biola sangat langka.

54

Tidak ada syarat atau ritual khusus untuk dapat memainkanya, sebab siapa pun
dapat belajar untuk memainkannya alat musik sasandu.
Saat ini sasandu bukan hanya alat musik milik Rote Ndao semata namun
telah dipromosikan di luar negeri. Banyak turis mancanegara selalu menjadikan
alat musik ini sebagai buah tangan untuk mereka bawa ke negara asal mereka.

55

Selain alat musik yang khas, sasandu juga indah, dan sedap didengar bahkan
berbeda dari alat musik yang lain. Alat musik ini juga melambangkan kedaerahan
masyarakat NTT, karena alat musik ini terbuat dari daun lontar yang dibuat
menyerupai tempat pengisi air atau gula di Rote.56

51

Djony L.K Theedens, Musik Tradisional Nusa tenggara Timur, (kupang: Cv.Pengharapan
Karya Abadi, 2002), 19-20.
52
Hasil wawancara dengan bapak Yudas Hawu Haba, pada tanggal 26 april 2016 pukul
10.00 WITA
53
Haning, Sasandu, 24.
54
Haning, Sasandu, 18.
55
Hasil wawancara dengan Ibu Fredrika Polhaupessy, istri dari alm penulis hymne GMIT,
pada tanggal 11 mei 2016 pukul 09.15 WITA
56
Hasil wawancara dengan bapak Yance Nayoan, pada tanggal 20 februari 2017 pukul
06.00 WITA

18

3.3.Alat Musik Sasandu dalam Himne GMIT
Himne GMIT berjudul “Yesus Kristus Tiang Induk Rumah Allah” adalah
ciptaan Pdt Dr. Benyamin Fobia (almarhum meninggal tahun 1999). ketika itu pak
Fobia menjabat sebagai Ketua Sinode GMIT periode 1991-1995 dan 1995-1999.
Pada masa kepemimpinannya Himne dan Mars GMIT mulai diperkenalkan pada
tahun 1991 dalam sidang sinode ke 27 di GMIT Imanuel Oepura dan sidang
sinode ke 28 di Gereja Syalom Airnona pada tahun 1995, lagu-lagu itu mulai
diperkenalkan dan dinyanyikan kepada peserta sidang. Pak Fobia mengedarkan
lagu ini dalam persidangan.57 Dalam syair Himne GMIT “ sasandu panca tugas
kita petiklah bagi-Nya” terdapat kata sasandu yang merupakan salah satu alat
musik tradisional NTT. Alat musik sasandu gong yang memiliki lima nada
(pentatonik) inilah yang di gunakan oleh GMIT untuk dijadikan sebagai simbol
dari panca tugas GMIT.
Sejak sidang sinode ke 28 pada tahun 1995 di Gereja Syalom Airnona,
GMIT mulai mengambil alih sasandu dan digunakan dalam himne GMIT.58 Pdt
Dr. Benyamin Fobia memasukan sasandu karena merupakaan akar budaya dari
GMIT. Bagaimaapun kekristenan juga harus masuk dalam budaya, begitu pun
budaya harus digunakan untuk mengembangkan kekristenan. Kemudian dari segi
kepentingan pengenalan, semua masyarakat NTT mengenal sasandu sehingga
ketika sasandu masuk dalam himne GMIT memudahkan semua masyarakat NTT
untuk memaknai sasandu sebagai bagian keberadaan diri mereka. Saasandu
dikembangkan menjadi dorongan, pemicu, kekuatan dan semangat untuk mereka
terus melayani pekerjaan Tuhan.59

57

Hasil wawancara dengan bapak Yance Nayoan, pada tanggal 20 februari 2017 pukul
18.00 WITA
58
Hasil wawancara dengan bapak Yance Nayoan, pada tanggal 20 februari 2017 pukul
18.00 WITA
59
Hasil wawancara dengan bapak Jhony Riwu Tadu, pada tanggal 26 april 2016 pukul
11.05 WITA

19

Sasandu yang merupakan budaya Rote digunakan GMIT menjadi simbol
utama dalam keseluruhan pelayanan GMIT. GMIT menggunakan Sasandu bukan
hanya pada Himne GMIT saja tetapi juga digunakan pada logo dan cap GMIT.
sasandu dalam logo GMIT diciptakan oleh Alm. Thertus Tanghana, pegawai
kantor sinode GMIT.
Berikut ini gambar Logo GMIT:

Penggunaan sasandu ini menggambarkan keseriusan GMIT dalam berdialog
dengan budaya dan adat istiadat masyarakat, bukan hanya untuk mendiskripsikan
luasnya lingkup pelayanan dari tritugas gereja menjadi panca tugas gereja.
Dengan menggunakan sasandu GMIT mau menunjukan bahwa ia hadir dalam
dunia sebagai musik milik Tuhan yang menyegarkan jiwa dan membangkitkan
semangat. Dengan memakai sasandu dalam logo dan himne GMIT, di dalam
himne ini GMIT mau menampilkan diri sebagai musik bagi dunia yang
menunjukan sukacita, pengharapan, ekpresi kebahagiaan dan pujian

kepada

Tuhan, serta menjukan sikap komprehensif dan holistic dari keberadaan gereja.
Jadi musik tidak hanya ditujukan untuk org yg bersekutu tetapi juga untuk tugastugas penataan organisasi dan oikonomia dengan menunjukn sukacita. 60

60

Hasil wawancara dengan bapak Ebenhaizer Nuban Timo pada tanggal 19 Mei 2016 pukul 11.25
WIB

20

3.4.Makna Sasandu dalam Himne GMIT

Himne GMIT di atas menyentuh tugas gereja karena syairnya menunjuk
pada tugas gereja yang merupakan bagian dari kehidupan gereja untuk
dilaksanakan secara menyeluruh. Dalam syair “petiklah baginya” merupakan
tanggung jawab pelayanan yang diembani Tuhan kepada kita.61 Syair himne
GMIT “sasandu panca tugas kita” mempunyai idealisme bukan hanya tiga tugas
gereja tetapi lima tugas gereja yaitu koinonia, diakonia, marturia liturgia, dan
oikonomia. Sehingga dari ke tiga tugas gereja maka jadilah lima tugas gereja
yang digunakan oleh GMIT hingga saat ini. Sasandu merupakan alat musik
61

Hasil wawancara dengan bapak Jhony Riwu Tadu, pada tanggal 26 april 2016 pukul
11.05 WITA

21

pentatonik atau sasandu itu memiliki lima nada. Karena sasandu pada aslinya
hanya memiliki lima nada, lima nada sasandu itu sesuai dengan panca tugas gereja
sehingga dipakailah sasandu sebagai lambang dari panca tugas gereja. Sehingga
dari panca nada menjadi panca tugas, yang mana alat musik sasandu ternyata
sejalan senada dengan pikiran panca tugas.62
Gereja-gereja dalam tugas pelayanan memiliki tritugas yaitu koinonia,
marturia dan diakonia. Namun, GMIT menambahkan dua tugas gereja untuk
melengkapi tritugas yang ada. GMIT menggunakan panca tugas pelayanan yaitu
koinonia, marturia, diakonia, liturgia dan oikonomia. Dua tugas gereja yang
ditambahkan oleh GMIT dengan alasan GMIT tidak ingin meng-copy paste
pemahaman eklesiologi dari luar, tetapi GMIT menginginkan eklesiologi itu
berakar dari masyarakat. Eklesiologi yang ramah terhadap budaya menentang atau
berlawanan dengan eklesiologi masa lampau yang menolak budaya dan
pengalaman-pengalaman masyarakat. Di sisi lain tritugas gereja menurut Calvin,
oleh GMIT dipandang belum cukup untuk menampung seluruh gagasan tentang
panggilan yang dipercayakan kepada gereja. Karena itu pada tahun 1991 pada
sidang sinode ke 27 di Imanuel Oepura ditambahkan satu bidang tugas dan
dicantumkan dalam Rencana Induk Pelayanan (RIP) GMIT tahun 1991-2011
yaitu bidang tugas liturgi. Dalam pergumulan kemudian di antara kedua sidang
sinode yaitu sidang sinode ke 27 tahun 1991 dan sidang sinode ke 28 tahun
1995, dilakukan revitalisasi RIP GMIT 1991-2011 dengan menambahkan satu
bidang tugas gereja yaitu bidang tugas oikonomia sehingga menjadi 5 bidang
tugas gereja. Lima tugas gereja inilah yang di cantumkan ke dalam himne GMIT.
Dua bidang tugas tambahan ini sesungguhnya dapat menjadi bagian dari ketiga
bidang tugas yang terdahulu tetapi GMIT menyadari bahwa kedua bidang tugas
yang baru itu perlu mendapat perhatian secara khusus, karena itu dibedakan dari
tiga bidang tugas terdahulu.63

62

Hasil wawancara dengan Ibu Fredrika Polhaupessy, istri dari alm penulis hymne GMIT,
pada tanggal 11 mei 2016 pukul 09.15 WITA
63
Hasil wawancara dengan bapak Yance Nayoan, pada tanggal 20 februari 2017 pukul
18.00 WITA

22

3.4.1. Makna Simbol Sasandu dalam Persekutuan (Koinonia)
Dalam konteks masyarakat yang di dalamnya GMIT hidup dan melayani
dicirikan oleh keberagaman (suku/etnis, bahasa, agama, afilisasi, politik,
almamater, ddl.) Lapis-lapis koinonia yaitu koinonia yang berbasis pada setiap
keluarga Kristen, koinonia berjemaat, koinonia semua manusia dan berbagai
agama, serta koinonia seluruh ciptaan.64 Hal ini mengindikasikan bahwa
koinonia merupakan wadah persekutuan yang tidak terbatas pada suatu agama.
Tetapi koinonia mencakup seluruh ciptaan tanpa terkecuali.
Tanpa simbol kita tidak dapat mengkoordinasikan tindakan kita dengan
tindakan orang lain.65 simbol bukan hanya tentang individu tetapi juga tentang
masyarakat, simbol digunakan untuk kepentingan manusia dalam berkomunikasi
dengan sesamanya. Menurut masyarakat Rote sasandu merupakan suatu simbol
yang digunakan sebagai pemersatu. Hal ini di karenakan sasandu dimainkan saat
kematian, perkawinan, pesta rumah baru, hari raya, upacara adat, dll. 66
Sasandu digunakan dalam persekutuan karena ia mempersatukan orangorang dalam Lapis-lapis koinonia yaitu keluarga Kristen, koinonia berjemaat,
koinonia semua manusia dan berbagai agama, serta koinonia seluruh ciptaan.
kebudayaan adalah hasil objektif yang telah diperoleh manusia dalam
sejarah perkembangannya dari generasi ke generasi.67 Jadi sasandu merupakan
alat musik yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Sasandu juga diwariskan
oleh Alm. Bapak Fobia kepada seluruh jemaat GMIT. Melalui syair himne GMIT
“sasandu panca tugas kita petiklah baginya” ini menunjuk pada sebuah
persekutuan bekerjasama dalam melaksanakan tugas pelayanan.
Klyukanov, mengatakan “identitas budaya dapat dilihat sebagai keanggotaan
dalam suatu kelompok di mana semua orang menggunakan sistem simbol yang
sama”.68 Dengan demikian sasandu merupakan identitas bagi masyarakat Rote
Ndao. Inilah alasan mengapa sasandu dipakai dalam syair himne GMIT. Secara
64

Majelis Sinode GMIT, Tata Gereja Gereja Masehi Injili di Timor 2010 (Kupang: Sinode
GMIT, 2015), 33.
65
James M. Henslin, Sosiologi dengan Pendekatan Membumi (Jakrta: Erlangga, 2007), 15.
66
Haning, Sasandu, 24.
67
Poespowardojo, strategi kebudayaan, 64.
68
McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya, 185.

23

khusus dalam tugas persekutuan sasandu dipandang sebagai identitas bagi
anggotanya yang adalah jemaat GMIT.

3.4.2. Makna Simbol Sasandu dalam Kesaksian (Marturia)
Kesaksian (marturia) adalah tugas memberitakan kabar baik kepada dunia,
untuk menyaksikan kuasa pembebasan Allah di dalam Yesus Kristus, secara
dialogis, jujur, dan terbuka.69 Sasandu sebagai alat musik petik yang dapat
mengeluarkan bunyi yang sangat indah. Orang-orang yang mendengar alat musik
dari sasandu merasa tenang, syahdu, tersentuh dengan nada yang terdengar.
Melalui syair himne GMIT “sasandu panca tugas kita petiklah baginya” sang
pencipta lagu hendak menyampaikan kepada jemaat GMIT bahwa tugas kesaksian
ini haruslah dilaksanakan. Secara khusus melalui syair “petiklah baginya”, ingin
disampaikan bahwa kesaksian gereja haruslah memberi dampak positif bagi
semua orang sama seperti indahnya alunan sasandu.
Sasandu diambil sebagai simbol dari panca tugas GMIT, salah satunya
adalah tugas kesaksian. Oleh karena itu sasandu digunakan sebagai simbol yang
mewakili panca tugas GMIT yang juga mewakili tugas kesaksian ketika ia dipetik
atau dimainkan.
Identitas sosial adalah konsep diri pribadi ketika berinteraksi sosial.70
Sasandu merupakan identitas sosial dan juga merupakan identitas bagi masyarakat
Rote Ndao dan jemaat GMIT. Identitas inilah yang digunakan untuk memberi
kesaksian kepada semua orang tentang Yesus Kristus.
3.4.3. Makna Simbol Sasandu dalam Pelayanan Kasih (Diakonia)
Pelayanan kasih (diakonia) adalah keberpihakan dan solidaritas GMIT
terhadap kaum lemah, orang miskin, orang tertindas, orang asing dan kaum
terpinggirkan lainnya dalam gereja dan masyarakat.71 Sebuah simbol dapat
berfungsi untuk menggabungkan dan membangun sebuah keseluruhan yang
organis (dapat dibandingkan dengan cara anggota-anggota yang tidak terhitung
69

Majelis Sinode GMIT, Tata Gereja, 33.
Masroer, Identitas Komunitas, 122.
71
Majelis Sinode GMIT, Tata Gereja, 34.
70

24

jumlahnya membentuk satu badan). Atau simbol itu dapat berfungsi untuk
menggabungkan dengan cara yang mengherankan unsur-unsur pengalaman yang
tampak tidak saling bersesuaian atau bahkan bertentangan.72 Sasandu berfungsi
untuk mempersatukan persekutuan orang percaya dengan masyarakat sekitar.
Sasandu yang adalah alat musik orang Rote, ingin menyatuhkan pemahaman
bahwa dalam kehidupan masyarakat tidak ada yang lebih suci atau mulia tetapi
semua yang ada dipandang sebagai satu yang tidak memilik perbedaan dari sisi
manapun.
Kebudayaan sebagai langkah penyesuaian diri manusia kepada lingkungan
sekitarnya. GMIT melakukan penyesuaian kepada budaya Rote melalui alat musik
sasandu. Dengan demikian GMIT dapat melakukan pelayanan tanpa adanya
hambatan dari masyarakat setempat.

3.4.4. Makna Simbol Sasandu dalam Ibadah (Liturgia)
Liturgia dimasukan ke dalam panca tugas karena masyarakat di NTT di
mana lingkup GMIT hadir adalah masyarakat yang selalu hidup dalam semangat
penyembahan. Liturgi merupakan suatu pelayanan ibadah yang dilakukan untuk
penyembahan kepada Tuhan. Bagi masyarakat NTT Ibadah adalah sesuatu yang
tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan mereka, ritus-ritus mulai dari hamil,
melahirkan, ulang tahun anak-anak, remaja hingga dewasa, nikah, dan mati.
Semua dilakukan dalam suatu bentuk ibadah. Sehingga dapat dikatakanan bahawa
masyarakat NTT adalah masyarakat yang berliturgi. Apabila GMIT hanya
memakai tritugas gereja maka aspek liturgia dengan sendiri akan hilang.
Ibadah (liturgia) menekankan dimensi vertikal pelaksanaan misi gereja.
Gereja yang mengabaikan kehidupan spiritualnya akan kehilangan daya dalam
melaksanakan misinya. Misi adalah aksi kontemplatif dan kontemplasi yang aktif
pada saat yang bersamaan. Pengalaman bersama Allah dalam doa dan
penyembahan menentukan keberhasilan kita dalam misi gereja ini.73 Sebagai
bentuk penyembahan kepada Allah sang kepala gereja, dalam ibadah sasandu
72
73

Dillistone, The Power of Symbols, 223-224.
Majelis Sinode GMIT, Tata Gereja, 34.

25

dapat dijadikan alat yang dapat melengkapi atau menyempurnakan ibadah
tersebut.
Simbol sendiri tidak pernah menunjukan pada dirinya sendiri tetapi
senantiasa menunjukan realitas yang lain, yang dalam perayaan liturgi adalah
peristiwa perjumpaan umat beriman dengan Allah sendiri.74 Dalam ibadah musik
merupakan alat yang melengkapi pujian dan penyembahan kepada Tuhan.
Sasandu sebagai salah satu alat musik yang digunakan GMIT, merupakan simbol
yang cukup penting untuk menaikan pujian kepada Tuhan.
Identitas mencerminkan suatu kelompok mempunyai kesamaan yang
diwujudkan dalam atribut sosial yang mengikat isi, yakni karakteristik nilai dan
cita-cita sosial yan