Perbankan Syariah dan Permasalahan Riba

PENDAHALUAN
A. Latar Belakang
Pengakuan sekaligus penerapan sistem keuangan berbasis syariah dimulai dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, dimana UndangUndang ini secara eksplisit mengatur perihal Dual Banking System. Hal ini menunjukan bahwa
seluruh rakyat Indonesia telah bersepakat selain perbankan konvensional, perbankan syariah
juga harus mendapat tempat sebagai Lembaga Keuangan Syariah yang patut untuk
dikembangkan dan dioperasikan dalam sistem perbankan nasional. Pada tahun 1998 Dual
Banking System semakin mantap untuk diterapkan didalam sistem perbankan nasional

di

Indonesia karena pada tahun tersebut mulai diberlakukannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, yang
semakin menguatkan dan mengakui eksistensi lembaga keuangan (perbankan) syariah di
Indonesia.
Seiring berjalannya waktu dan dengan perkembangan zaman yang semakin cepat
masyarakat Indonesia terlihat semakin membutuhkan kehadiran perbankan syariah sebagai
alternatif atas dominasi perbankan konvensional. Maka dari itu pada tahun 2008 Pemerintah dan
Dewan Perwakilan Rakyat menegaskan eksistensi perbankan syariah dengan pengesahan dan
pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Lahirnya
Undang-Undang Perbankan Syariah dan adanya Undang-Undang Perbankan (Konvensional) di

Indonesia menunjukan adanya respon terhadap kebutuhan masyarakat dan percepatan
pembangunan di bidang ekonomi yang merupakan penggerak utama pembangunan.
Secara filosofis Perbankan Syariah sesuai denga labelnya adalah Institusi keuangan yang
berbasis syariah Islam. Hal ini berarti secara makro Bank Syariah adalah institusi keuangan yang
memposisikan dirinya sebagai pemain aktif dalam mendukung kegiatan investasi di masyarakat.
Di satu sisi (sisi pasiva atau liability), Bank Syariah adalah lembaga keuangan yang mendorong
dan mengajak masyarakat untuk ikut aktif berinvestasi melalui berbagai produknya, sedangkan
di sisi yang lain (sisi aktiva atau aset) Bank Syariah aktif untuk melakukan investasi di
masyarakat. Dalam kacamata mikro Bank Syariah adalah institusi keuangan yang menjamin
seluruh aktifitas investasi yang menyertainya telah sesuai dengan syariah.1
Penyebutan Bank Syariah sebagai Bank Islam telah menjadi istilah yang diapakai secara
luas. Bank Islam telah berkembang pesat pada dekade terakhir serta telah menjadi satu tren yang
sangat penting dalam dunia keuangan, dimana produk dan jasa keuangan yang ditawarkan harus
1. Muhamad Sadi Is, Konsep Hukum Perbankan Syariah, Setara Press, Malang, 2015, hlm.10.

1

sesuai dengan syariah atau hukum Islam. Dengan mengembangkan apalikasi syariah menjadi
alternatif lain dengan bank konvensional, dimana sekarang produk bank Islam mengakomodasi
kebutuhan jangka pendek, jangka panjang, dari keinginan konsumen. Bank Islam didasarkan

pada prinsip hukum Islam. Sistem Bank Islam menawarkan fungsi dan jasa yang sama dengan
sistem bank konvensional meskipun diikat oleh prinsip-prinsip Islam. Sistem operasi dari Bank
Islam berdasarkan prinsip pembagian keuntungan dan kerugian. Upaya mendirikan Bank Islam
(Syariah) didasarkan atas pemahaman bahwa bunga bank yang ditimbulkan dari transasksi
simpan pinjam dan kegiatan keuangan yang lainnya di bank konvensional adalah Riba,
sebagaimana yang dilarang dalam Islam. Allah SWT dalam Al-Quran secara tegas dan jelas
mengharamkan riba dalam berbagai jenis tambahan yang diambil dari pinjaman.2
Prinsip Bank Islam yang paling utama adalah mejauhi sekaligus menghilangkan unsur
riba (Bunga Bank) dengan cara yaitu :
1.

Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan di muka suatu hasil usaha, seperti
penetapan bunga simpanan atau bunga pinjaman yang dilakukan pada bank konvensional.

2.

Menghindari penggunaan sistem presentasi biaya terhadap utang atau imbalan terhadap
simpanan yang menngandung unsur melipatgandakan secara otomatis utang/simpanan
tersebut hanya karena berjalannya waktu.


3.

Menghindari penggunaan sistem perdagangan/penyewaan barang ribawi dengan imbalan
barang ribawi lainnya (barang yang sama dan sejenis, seperti uang rupiah dengan uang
rupiah yang masih berlaku) dengan memperoleh kelebihan baik kuantitas maupun kualitas.

4.

Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan di muka tambahan atas utang yang bukan
atas prakarsa yang mempunyai utang secara sukarela, seperti penetapan bunga pada bank
konvensional.3
Alasan diharamkannya Riba atau Bunga Bank menurut Abdul A’la Maududi yang diikuti

oleh Muhammad Netajullah Shiddiqi dalam bukunya yang berjudul Muslim Economic Thinking
yang diterjemahkan oleh A.M Saefuddin dengan judul Pemikiran Ekonomi Islam berpendapat
bahwa bunga bank merupakan salah satu sumber dari sekian banyak sumber keburukan ekonomi,
seperti depresi dan monopoli. Kemudian menurut Yusuf Al-Qardhawi dalam Fawaid al-Bunuuk,

2. Ibid.
3. Wirdyaningsih Dkk, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006, Hlm.16.


2

menjelaskan setiap pinjaman yang mensyaratkan di dalamnya tambahan adalah riba. Bunga dari
pinjaman tersebut adalah riba yang diharamkan Allah SWT di dalam Kitabnya yaitu Al-Quran.4
Prinsip utama Perbankan Syariah sesuai dengan penjelasan di atas adalah tidak adanya
unsur Riba dalam setiap aktivitas dan operasional Bank Syariah. Namun dalam praktik dan
kebiasaan yang berkembang pada Bank-Bank Syariah di Indonesia sering ditemukan aktifitas
yang menjurus dan cenderung disebut sebagai riba. Hal ini dikarenakan riba yang diterapkan
oleh sistem perbankan konvensional telah menggurita dan menjadi rujukan bagi operasional
bank syariah dalam mendapatkan keuntungan bisnisnya. Akibat dari praktek tersebut penerapan
kaidah-kaidah syariah Islam di Perbankan Syariah selama ini masih memunculkan keraguan bagi
sebagian besar umat, terutama mereka yang bermuamalah secara langsung. Sejatinya prinsip
keadilan dan transparansi menjadi dasar yang harus disepakati antara Bank Syariah dan
Masyarakat (Nasabah).
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, dapat dirumuskan permasalahan yaitu
Apakah di dalam Aktivitas Perbankan Syariah terdapat Unsur Riba?

PEMBAHASAN

A. Tinjauan Hukum Islam Tentang Perbankan Syariah
Sebagai Institusi Keuangan Syariah tentunya Perbankan Syariah haruslah dibentuk dan
dijalankan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur di dalam Hukum Islam. Hukum
4 . Muhamad Sadi Is, Op. Cit, Hlm. 12.

3

Islam sebagai core dari Perbankan Syariah telah sangat jelas mengatur batasan-batasan baik
tentang sistem jual-beli dan seluruh sistem transaksi keuangan lainnya. Dasar hukum normatif
perbankan syariah ditinjau dari hukum Islam bersumber dari Al-Quran, Sunnah dan Ijtihad.
Ketentuan ini akan dikeluarkan dalam bentuk Fatwa Dewan Syariah Nasional. Kekuatan
mengikat fatwa itu bersifat normatif, artinya fatwa itu hanya mengikat kepada yang
memfatwakan atau yang mengeluarkan fatwa dan bagi yang menerima atau menundukan diri
atas fatwa tersebut. Karena sifat dan kekuatannya seperti itu maka berlakunya belum secara
mutlak bagi seluruh umat Islam. Berbeda halnya jika ketentuan itu langsung dari Al-Quran dan
Sunnah, secara otomatis langsung mengikat bagi umat Islam di Indonesia.5
Falsafah dasar perbankan syariah merujuk kepada ajaran agama Islam yang bersumber
pada Wahyu Illahi dan Sunnaturasul adalah sebagai berikut :
1. Ibadah, berarti memperhambakan diri kepada Allah SWT. Dengan mentaati segala perintahNya serta dengan menjauhi segala larangan-Nya sebagaimana yang diatur dalam ketentuan
syariat. Sedangkan muammalah adalah ketentuan syariat yang mengatur hal-hal yang

berhubungan dengan tata cara hidup sesama umat manusia seperti jual beli/perdagangan,
perkongsian, sewa menyewa, pinjam meminjam dan sebagainya.
2. Syariat, adalah hukum atau peraturan yang ditentukan oleh Allah SWT untuk hambanya
sebagaimana yang terkandung dalam Al-Quran dan diterangkan oleh Rasul SAW dalam
bentuk sunnah Rasul. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Jaatsiyah (45) :
18 yang artinya “Kemudian kami jadikan kamu berada diatas suatu syariat dari urusan itu,
maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui”.
3. Sunnah Rasul, sebagaimana dijelaskan diatas adalah segala sesuatu yang dikatakan,
dilakukan, ditinggalkan dan/atau yang didiamkan berlaku/dibenarkan oleh Nabi Muhammad
SAW. Unsur lainnya dalam Islam di samping syariat adalah akidah dan akhlak.
4. Akidah, adalah segala sesuatu yang menyangkut keyakinan atau kepercayaan atau iman akan
adanya wujud Allah SWT. Akhlak adalah sikap mental atau watak yang terjabarkan dalam
bentuk cara berpikir, cara berbicara, cara bertingkah laku, sebagai ekspresi jiwa dari manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.

5 . Ibid. Hlm. 158.

4


5. Pola perilaku konsumsi, merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur pola perilaku
konsumsi seperti yang terdapat dalam Al-Quran dibawah ini memungkinkan umat Islam
mempunyai sisa dana untuk kegiatam ekonomi :
a) QS. Al-Baqarah (2) : 183, yang artinya “ Hai Orang-orang yang beriman diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu
bertakwa”.
b) QS, Al-Araf (7) : 31, yang artinya “Hei anak Adam pakailah pakaianmu yang indah di
setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.
c) QS. Al-Isra’ (17) : 26 yang artinya “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat
akan hak-Nya, kepada orang miskin, dan orang yang yang dalam perjalanan dan
janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”.
6. Pola perilaku simpanan, ketentuaan yang mengatur pola perilaku simpanan seperti yang
terdapat dalam Al-Quran tersebut, di bawah ini mengharuskan umat Islam untuk melakukan
investasi dan perdagangan :
a) QS. Al-Baqarah (2) : 275, yang artinya “ Orang-orang yang makan (mengambil) riba
tidak berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan stan lantaran (tekanan0
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat) sesungguhnya hjual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.

b) QS. Ali Imran (3) : 130, yang artinya “ Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan”.
c) QS. An-Nisa’ (4) : 161, yang artinya “Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal
sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dank arena mereka memakan harta
orang dengan cara yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di
antara mereka itu siksa yang pedih”.
7. Pola perilaku investasi, dibentuk sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadis, yaitu dana yang
telah terkumpul dari simpanan tidak boleh dibungakan, tetapi harus dilakukan hal berikut ini :
a) Dijadikan modal usaha perdagangan sebagaimana, disebutkan dalam Al-Quran, “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta se-samamu dengan jalan yang
5

batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara
kamu” (QS. An-Nisa’ (4) : 29). “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba” QS. Al-Baqarah (2) : 275).
b) Ditanamkan pada suatu usaha yang menghasilakan barang dan jasa atau dititipkan kepada
pengelola dengan sistem bagi hasil, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran, “…dan
orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagiana karunia Allah…” (QS. AlMuzzammil (73) : 20).6
Oleh karena berdasarkan Falsafah Dasar Perbankan Syariah yang bersumber dari AlQuran dan Sunnah Rasul tersebut maka didirikanlah bank Islam, karena secara umum sistem

perbankan konvensional berbasis kepada bunga (riba) serta memiliki beberapa kelemahan
sebagai berikut :
1. Transaksi berbasis bunga (riba) melanggar keadilan dalam Islam.
2. Tidak fleksibelnya sistem transaksi berbasis bunga (bunga) menyebabkan kebangkrutan.
3. Komitmen bank untuk menjaga keamanan uang deposan berikut bunganya membuat bank
cemas untuk mengembalikan pokok dan bunganya.
4. Sistem transasksi berbasis bunga (riba) menghalangi munculnya inovasi oleh usaha kecil.
5. Dalam sistem bunga (riba), bank tidak akan tertarik dalam kemitraan usaha kecuali bila ada
jaminan kepastian pengembalian modal dan pendapatan bunga mereka.7
Maka untuk menggantikan sistem bunga/riba sebagaimana yang diterapkan pada
perbankan konvensional, Perbankan Syariah menyediakan fasilitas di bidang keuangan yang
sesuai dengan hukum Islam sebagai berikut :
1. Wadiah, yaitu titipan uang, barang dan surat-surat berharga. Dalam operasinya, bank Islam
menghimpun dengan cara menerima deposito berupa uang benda dan surat berharga sebagai
amanat yang wajib dijaga keselamatannya oleh bank syariah. Bank syariah berhak
menggunakan dana tersebut tanpa harus membayar imbalannya. Namun bank harus menjamin
bahwa dana itu dapat dikembalikan tepat pada waktu pemilih deposito memerlukannya.
2. Mudharabah, yakni kerjasama antar pemilik modal dan pelaksana. Dengan mudharabah,
Bank syariah dapat memberikan tambahan modal kepada pengusaha untuk perusahannya
6. Wirdyaningsih Dkk, Op. Cit, Hlm.8.

7. Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta, Alfabeta, 2006, Hlm.39-40.

6

dengan perjanjian bagi hasil, baik untuk maupun rugi sesuai dengan perjanjian yang telah
ditentukan sebelumnya.
3. Musyarakah/syrkah, yakni persekutuan. Pihak bank dan pengusaha sama-sama mempunyai
andil (saham) pada usaha patungan. Kedua belah pihak andil dalam mengelola patungan itu
dan menanggung untung rugi bersama atas dasar perjanjian profit and loss sharing.
4. Murabahah, yakni jual beli barang dengan tambahan harga atas dasar harga pembelian yang
pertama secara jujur. Syarat murabahah antara lain bahwa pihak bank harus memberikan
informasi selengkapnya kepada pembeli tentang harga pembeliannya dan keuntungan
bersihnya dari cost plus-nya.
5. Qard Hasan, yakni pinjaman yang baik. Bank Syariah dapat memberikan pinjaman tanpa
bunga kepada para nasabah yang baik terutama para nasabah yang memiliki deposito di bank
syariah.
6. Bank Syariah boleh mengelola zakat di negara yang pemerintahnya tidak mengelola zakat
secara langsung. Bank Syariah juga dapat menggunakan sebagaian zakat yang terkumpul
untuk proyek-proyek yang produktif yang hasilnya untuk kepentingan agama dan umum.
Bank Syariah juga boleh menerima dan memungut pembayaran untuk mengganti biaya yang

langsung dikeluarkan oleh bank dalam melaksanakan pekerjaannya untuk melayani
kepentingan para nasabah misalnya materai dan telpon dalam memberitahukan rekening.
7. Membayar gaji para karyawan bank yang melakukan pekerjaan untuk kepentingan nasabah
untuk sarana dan prasarana yang disediakan oleh bank dan biaya administrasi pada
umumnya.8
Dalam falsafah pembiayaan di Perbankan Syariah kaitan antara bank dengan uang dalam
suatu unit bisnis adalah penting, namun di dalam pelaksanaannya harus menghilangkan adanya
ketidakadilan,

ketidakjujuran

dan

“penghisapan”

(penghisapan

pada

umumnya

bank

konvensional melakukan transasksi yang bersifat selalu untung dan tidak pernah rugi) dari satu
pihak ke pihak lain (bank dengan nasabahnya). Kedudukan Bank Syariah dengan para nasabah
adalah sebagai mitra investor dan pedagang sedangkan dalam hal bank pada umumnya
(konvensional) hubungannya adalah sebagai kreditor dan debitor. Dalam pelaksanaan
pembiayaan Bank Syariah harus memenuhi aspek syariah dan aspek ekonomi. Aspek syariah
berarti dalam setiap realisasi pembiayaan kepada para nasabah, bank syariah harus tetap
8 . Muhamad Sadi Is, Op.Cit, Hlm. 20-21

7

berpedoman pada syariat Islam (anatara lain tidak mengandung unsur maisir, gharar dan riba
serta bidang usahanya harus halal). Sedangkan aspek ekonomi berarti di samping
mempertimbangkan hal-hal syariah bank Islam tetap mempertimbangkan perolehan keuntungan
baik bagi Bank Syariah maupun bagi nasabah Bank Syariah.9
B. Pengertian Riba
Istilah riba berasal dari akar kata r-b-w, yang digunakan dalam Al-Quran sebanyak dua
puluh kali, di dalam Al-Quran term riba dipahami dalam delapan macam arti yaitu : pertumbuhan
(growing), peningkatan (increasing), bertambah (swelling), meningkat (rising), menjadi besar
(being big , besar (big), dan bukit kecil (hillock). Walaupun istilah riba tampak dalam beberapa
makna namun dapat diambil satu pengertian umum yaitu meningkat baik menyangkut kualitas
maupun kuantitasnya.10 Menurut Ensiklopedi Islam Indonesia yang disusun oleh Tim Penulis
Universitas Islam Syarif Hidayatullah :
Ar-Riba atau Ar-Rima makna asalnya ialah tambah, tumbuh dan subur. Adapun
pengertian tambah dalam konteks riba ialah tambahan uang atas modal yang diperoleh
dengan cara yang tidak dibenarkan syara ‘, apakah tambahan itu berjumlah sedikit
maupun berjumlah banyak seperti yang diisyaratkan dalam Al-Quran.11
Riba mencegah kebaikan dan meniadakan pengharapan orang-orang yang memiliki
kebutuhan terhadap orang lain. Riba mengambil keuntungan dan kebutuhan orang lain.
Sedangkan Islam menginginkan agar manusia berbuat baik terhadap sesamanya dalam
pemenuhan kebutuhan. Riba memutuskan keterkaitan antara kekayaan dan usaha. Orang yang
memperoleh manfaat dari harta, ia telah mendapatkan kekayaan tanpa usaha. Riba menjadi
sebab terpilahnya masyarakat ke dalam dua kelas yakni kelas produktif dan kelas non produktif.
Riba cenderung mengorbankan kelas produktif dan menjadikannya kelas non produktif. Pada
gilirannya hal ini melemahkan kelas produktif bahkan menghapuskannya sehingga menyebabkan
hilangnya kesejahteraan masyarakat.12 Istilah riba pertama kali diketahui berdasrkan wahyu
yang diturunkan pada masa awal risalah kenabiam Nabi Muhammad SAW di Makkah.
Pengharaman riba terdapat dalam Al-Quran yang disebutkan dalam ayat yang berbeda-beda
yakni sebagai berikut :
1. QS. Ar-Rum (30) : 39
9. Ibid. Hlm 22.
10. Abdullah Saeed ,Bank Islam dan Bunga, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008, Cet III, Hlm.34.
11. Wirdyaningsih Dkk, Op. Cit, Hlm.21.
12. Murtadha Muthahhari, Asuransi Dan Riba, Bandung, Pustaka Hidayah, 1995, Hlm.15-17.

8

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia,
maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah,dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah itu, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang – orang yang melipatgandakan (pahalanya)”.
2. QS. An-Nisa (4) : 161
“…dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan batil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”.
3. QS. Ali-Imran
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan”.
4. QS. Al-Baqarah (2) : 275, 276
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli
itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah, Orang yang mengulangi (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
“Allah memusnakan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tak menyukai setiap orang
yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa”.

5. QS. Al-Baqarah (2) : 278, 279
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah
dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka
bagimu pokok hartamu,kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

9

Praktik membungakan uang (riba) biasa dilakukan oleh orang-orang secara pribadi atau
oleh lembaga keuangan (termasuk bank). Orang atau badan hukum yang meminjamkan uang
kepada perorangan atau menyimpan uangnya di lembaga keuangan biasanya akan memperoleh
imbalan bunga atau disebut bunga meminjamkan atau bunga simpanan. Sebaliknya orang atau
badan hukum yang meminjam uang dari perorangan atau lembaga keuangan diharuskan
mengembalikan uang yang dipinjam ditambah bunganya, bunga ini disebut bunga pinjaman.
Dari peristiwa tersebut di atas dicatat beberapa hal sebagai berikut :
1. Bungan adalah tambahan terhadap bunga yang disimpan apada lemabag keuangan atau yang
dipinjamnkan.
2. Besarnya bunga yang harus dibayar ditetapkan di muka tanpa melihat apakah lembaga
keuangan penerima simpanan atau peminjam berhasil dalam usahanya atau tidak.
3. Besarnya bunga yang harus dibayar dicantumkan dalam angka presentase atau angka
perseratus dalam setahun yang artinya apabila utang tidak dibayar atau simpanan tidak
diambil dalam beberapa tahun dapat terjadi utang itu atau simpanan itu menjadi berlipat ganda
jumlahnya.
Dari ketiga hal tersebut diatas tampak jelas bahwa praktik membungakan uang adalah
supaya untuk memperoleh tambahan uang atas uang semula dengan cara :
1. Pembayaran tambahan uang itu prakarsanya tidak datang dari yang meminjam
2. Dengan jumlah uang tambahan itu besarnya ditetapkan di muka
3. Peminjam sebenarnya tidak mengetahui dengan pasti apakah usahanya akan berhasil atau
tidak dan apakah ia akan sanggup membayar tambahan dari peminjamnya itu
4. Pembayaran tambahan uang itu dihitung dengan presentase sehingga tidak tertutup
kemungkinan suatu saat jumlah seluruh kewajiban yang harus di bayar menjadi berlipat
ganda.
Dengan memahami secara lengkap mekanisme operasional perbankan konvensional
maka akan terungkap secara jelas sejauh mana ktiteria riba dapat dipenuhi, seperti dalam
penentuan besarnya tingkat bunga simpanan sampai kepada penggeseran biaya bunga pinjaman
kepada penanggung yang terakhir. Hal ini tentunya harus dapat dihilangkan pada praktek
perbankan syariah.
C. Riba Dalam Praktek Perbankan Syariah
10

Dalam praktek perbankan syariah yang dijalankan belakangan ini banyak menimbulkan
perdebatan tentang konsistensi penerapan hukum Islam terkait kegiatan bisnis bank syariah.
Seperti konsep mudharabah ternyata dalam praktek tidak sesuai dengan pengertian syariah
namun sebenarnya adalah akad utang-piutang yang dikalaim sebagai bagi hasil adalah
sebenarnya riba.13 Praktek produk mudharabah di bank syariah mengandung persyaratan kurang
sesuai dengan syariah. Yaitu pihak mudharib (pengelola dana) diharuskan menjamin dana yang
diberikan bank dari segala kerugian. Produk ini itjtihad baru mudharabah yang belum ada
sebelumnya. Produk ini diberi nama mudharabah musytarakah, gabungan mudharabah dan
musytarakah.
Mudharabah adalah transaksi penanaman dana oleh pemilik dana (shahibul mal) kepada
pengelola dana (mudharib) untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian hasil berdasarkan
nisbah (hitungan berbasis angka/ prosentasi) yang disepakati kedua pihak sedangkan kerugian
modal hanya ditanggung pemilik dana. Musytarakah berarti serikat, persekutuan, gabungan atau
perkumpulan. Jadi mudharabah musytarakah hakikatnya mudharabah biasa yang dimodifikasi
menjadi produk perbankan syariah dewasa ini. 14 Majma’ Al-Fiqh Al Islami (Divisi Fikih
Organisasi Konfrensi Islam/OKI) mendefinisikan Mudharabah Musytarakah sebagaimana
keputusan muktamar No 123 (5/13) 2001, Mudharabah Musytrakah adalah mudharabah dengan
para pemilik dana terdiri atas orang banyak yang memberikan dananya untuk dikembangkan
pihak kedua (bank) di sektor yang dianggap mendatangkan laba. Para pemilik dana mengizinkan
pengelola menggabungkan dananya menjadi satu termasuk dana pengelola. Pengelola
mengizinkan para pemilik dana menarik seluruh dananya atau sebagaian berdasarkan persyaratan
tertentu.
Dalam keputusan muktamar itu juga dijelaskan hubungan pihak terkait dalam
mudharabah musytarakah adalah gabungan para investor (shahibul mal) dan hubungan mereka
satu dengan lainnya termasuk pengelola jika menggabungkan dananya juga adalah musytarakah.
Penanggung jawab pengembangan dana adalah mudharib (pengelola) perorangan atau perseroan
seperti bank dan lembaga keuangan syariah. Hubungan antara mudharib dan shahibul mal adalah
mudharabah. Pihak pengelola dipercaya mengambil kebijakan serta mengatur investasi. Apabila
mudharib mempercayakan ke pihak ketiga untuk mengembangkan dana, kebijakan tersebut
13. Erwandi Tarmizi, Mudharabah di Bank Syariah ; Berbagi Riba, Berkedok Syariah, Majalah Pengusaha
Muslim Edisi 25 tanggal 25 Maret 2015, Hlm.28-30.
14. Ibid.

11

merupakan mudharabah kedua antara mudharib pertama (bank) dan pihak ketiga, dan status
bank bukan perantara antara pihak ketiga dan pemilik dana melainkan pemilik rekening investasi
mudharabah.
Pada dasarnya hukum mudharabah musytarakah adalah mubah (boleh). Akan tetapi
setelah mudharabah musytarakah diakui sebagai produk bank syariah, beberapa peneliti
ekonomi syariah menambahkan persyaratan bahwa dana yang diserahkan oleh nasabah ke bank
syariah untuk dikembangkan dalam akad mudharabah mendapatkan jaminan mudharib (sebagai
bank pengelola dana nasabah), sebagaimana halnya diterapkan bank konvensional. Bahkan
bukan hanya pokok dana tabungan yang dijamin karena termasuk juga bunga atau bonusnya.
Para peneliti ekonomi syariah itu berpendapat dengan dalih mengqiyaskan mudharabah
musytarakah dengan ajir musytarak (orang upahan yang bekerja memberikan jasanya untuk
orang banyak, seperti penjahit yang menerima jahitan dari banyak orang).15
Ajir musytarak berbeda hukumnya dengan ajir khas (Orang upahan yang bekerja
memberikan jasanya untuk orang tertentu, seperti supir pribadi). Ajir khas tidak diwajibkan
mengganti kerugian pada barang yang digunakannya jika terjadi kerusakan/lenyap tanpa ada
unsur kelalaiannya. Seperti kerusakan mobil ketika kecelakaan lalu lintas di luar kehendak supir
pribadi. Pada kasus ini, supir pribadi tidak wajib mengganti kerusakan mobil. Berbeda dengan
ajir musytarak, dia diharuskan menjamin semua barang para pengguna jasanya dalam kondisi
bagaimanapun juga. Kecuali jika terjadi musibah umum seperti kebakaran yang menimpa took
penjahit akibat jalaran api dari toko yang lain. Hal ini bertujuan agar ajir musytarak tidak
semena-mena terhadap harta para pengguna jasanya. Dengan demikian mudharabah
musytarakah dapat diqiyaskan (dianalogikan) dengan ajir musytarak, karena mudharib dalam hal
ini (bank) menerima dana dari orang banyak. Agar bank tidak semena-mena terhadap dana
masyarakat banyak bank diwajibkan menjamin pokok dana yang diterima masyarakat. Namun
dalih yang digunakan peneliti ekonomi syariah ini tidaklah kuat karena tidak memenuhi
persyaratan qiyas diantaranya :
1. Hukum al-maqis alaihi (hukum untuk kasus ajir musytarak) disyaratkan harus disepakati
mustadil (ulama yang setuju) dan mu’taridh (ulama yang tidak setuju). Dalam kasus ajir
musytarak tidak disepakati ulama bahwa ia wajib menjamin barang pelanggan. Karena dalam
mazhab para ulama lain ajir musytakah tidak wajib mengganti barang pelanggan jika rusak di
15. Ibid

12

luar kehendakya. Sehingga bagaimana mungkin kasus ajir musytarak dapat dijadikan acuan
qiyas, sementara statusnya masih diperselisihkan.
2. Qiyas semacam itu dinamakan qiyas ma’al fariq (analogi dua kasus yang hakekatnya
berbeda), karena terdapat perbedaan antara ajir musytarak dan mudharabah musytarakah.
Ajir musytarak mendapat imbalan yang disepakati di awal, adapun dalam mudharabah
musytarakah pengelola mungkin mendapat laba dan mungkin tidak. Karena jika mudharib
(bank) juga harus menjamin dana shahibul mal dapat dipastikan dia akan rugi berlipat ganda
saat usaha mudharabah merugi.16
Dengan demikian, dalil yang dikemukakan para peneliti ekonomi syariah tersebut tidak
dapat dipegang. Dan persyaratan bahwa bank syariah wajib menjamin dana nasabah pada
kontrak mudharabah musytarakah ditentang keras para ulama. Sehingga Majma’ Al-Fiqh AlIslami mengel;uarkan keputusan dalam muktamar ke-13 di Kuwait No 123 (5/3) 2001 yang
menyatakan, “mudharib (pengelola) adalah pihak yang menerima amanah dia tidak menjamin
dana bila terjadi kerugian atau dana hilang, kecuali dia melalaikan amanah atau ia melanggar
peraturan syariah atau peraturan investasi. Hukum ini berlaku untuk mudharabah fardiyyah
(perorangan) dan mudharabah musytarakah. Dan hukum ini tidak berubah dengan dalih
mengqiyaskan dengan ajir musytara. Karena jika mudharib disyaratkan menjamin dana yang
diterimanya dari kerugian, akad mudharabah berubah menjadi qardh (kredit). Dan ketika pihak
pemberi dana menerima bagi hasil sesungguhnya dia menerima bunga (riba), karena akad
mudharabahnya telah berubah menjadi akad pinjaman berbunga tidak tetap. Hal ini disepakati
keharamannya oleh para ulama karena termasuk riba dayn. Dengan demikian jelas bahwa
persyaratan menjamin dana dalam akad mudaharabah yang diterapkan oleh bank syariah
merupakan sebuah persyaratan yang mengubah bagi hasil mudharabah menjadi riba.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perbankan syariah dalam menjalankan aktivitas dibidang keuangan dewasa ini telah
banyak mendapatkan keparcayaan dari masyarakat Indonesia. Hukum Islam sebagai dasar
operasional perbankan syariah menjadikan bank syariah sebagai lembaga keuangan yang tidak
hanya menjadi milik umat Islam tetapi bank syariah pun mampu mengakomodir kepentingan
keuangan seluruh umat. Namun dalam menjalankan kegiatannya bank syariah tidak terlepas dari
16. Ibid.

13

perdebatan tentang masih adanya praktek yang mengandung riba di bank Islam ini. Al-Quran
secara tegas dan jelas telah melarang praktek riba dan sangat diharapkan kegiatan perbankan
syariah agar harus benar-benar besih dari praktek riba tersebut. Mudharabah musytarakah adalah
salah satu produk bank syariah yang kehalalannya masih diragukan dikalangan peneliti dan
ulama serta disebut sebagi produk yang mengandung riba dalam praktek perbankan syariah.
B. Saran
Diharapkan untuk kedepannya dilakukan penelitian serta pengkajian kembali terhadap
seluruh produk perbankan syariah yang diyakini masih belum bersih dari adanya praktek riba.
Pengujian secara terbuka (Uji Publik) yang melibatkan Ilmuawan, Ulama dan Masyarakat
terhadap seluruh produk perbankan syariah menurut penulis penting kiranya dimasukan sebagai
salah satu tahapan sebelum produk-produk bank syariah tersebut di launching di tengah-tengah
masyarakat. Sebagai negara dengan mayoritas umat Islam, Indonesia diharapkan dapat dijadikan
lahan subur bagi tumbuh kembangnya perekonomian yang berbasis syariah terutama pada sektor
lembaga keuangan (perbankan). Namun jika terdapat produk perbankan syariah yang tidak sesuai
dengan kaidah Hukum Islam maka ini akan menjadi salah satu kelemahan yang bukan tidak
mungkin menjadikan bank syariah gagal mendapatkan tempat di hati umat pada umumnya dan
masyarakat Indonesia pada khususnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Saeed ,Bank Islam dan Bunga, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008
Erwandi Tarmizi, Mudharabah di Bank Syariah ; Berbagi Riba, Berkedok Syariah, Majalah
Pengusaha Muslim Edisi 25 tanggal 25 Maret 2015
Muhamad Sadi Is, Konsep Hukum Perbankan Syariah, Setara Press, Malang, 2015
Murtadha Muthahhari, Asuransi Dan Riba, Bandung, Pustaka Hidayah, 1995
Wirdyaningsih Dkk, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006
14

Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta, Alfabeta, 2006

15