Neo Liberalisme Institusional dan Neo Ko
Neoliberal-Institusionalisme
Perdebatan besar (great debate) ketiga dalam ilmu hubungan
internasional terjadi antara paradigma neorealisme dan neoliberalinstitusionalisme. Adapun perdebatan tersebut lahir dari argumentasi
kaum liberal yang berasumsi bahwa ditengah konstelasi dunia yang
semakin terglobalisasi, maka potensi kerjasama perlahan-lahan akan
menggeser situasi dunia yang konfliktual (seperti yang diasumsikan oleh
realisme).1
Deretan
pemikir
liberal-institusionalis
ini
mengkritik
pemikiran realisme yang terlalu menganggap serius sifat dunia yang
anarki sehingga relasi negara akan selalu diwarnai saling curiga. Liberalinstitusional tidak menafikkan bahwa dunia adalah anarki, namun
ditengah ke-anarki-annya, sangat dimungkinkan terjadinya kerjasama
dalam hubungan antar negara, sehingga anarki sejatinya dapat diatur
(di-manage) sedemikian rupa agar menjadi situasi yang kooperatif.2
Debat
pertama
dalam
ilmu
hubungan
internasional
yang
berlangsung pasca-Perang Dunia II, yakni antara idealisme (liberalismeutopian) dengan realisme pertama-tama harus diuraikan terlebih dahulu
untuk melihat sisi paradigmatik yang coba dilampaui pada perdebatan
yang ketiga (dalam neorealisme vs. neoliberal-institusionalisme). Debat
pertama ini diawali dengan munculnya gagasan untuk mendirikan suatu
struktur yang melampaui entitas negara. Masa setelah Perang Dunia I ini
membuat Presiden Woodrow
mendirikan
Liga
Wilson (Amerika Serikat) berinisiatif
Bangsa-Bangsa
(LBB)
yang
bertujuan
mencegah
peperangan berulang kembali. Pemikiran Wilson ini kemudian disambut
oleh berbagai pemikir liberal lain seperti Norman Angell dan David
Held.3 Deretan pemikir ini pada dasarnya merupakan awal lahirnya
neoliberal-institusionalisme itu sendiri. Norman Angell berasumsi bahwa
1 Martin Ceadel (2009) Living the Great Illusion: Sir Norman Angell, 1872-1967. New
York: Oxford University, hlm. 1-3
2 Robert O. Keohane and Lisa L. Martin. (1995)The Promise of Institusionalist Theory.
International Security, Vol. 20, N0. 1 (Summerr: 1995), hlm. 42
3 Martin Griffiths (1999) Fifty Key Thinkers in International Relations. London:
Routledge, hlm. 53, 75
pasca-perang (PD I) situasi dunia akan berubah drastis dari konfliktual
menjadi kooperatif. Asumsi ini lahir dari berbagai perkembangan
teknologi yang lahir pada masa itu, serta komoditas finansial dan
perdagangan yang semakin terhubung satu sama lain. Sedangkan David
Held berasumsi bahwa norma dan keadilan akan tercipta seiring lahirnya
organisasi internasional.
Namun kenyataan mengatakan sebaliknya. Perang Dunia II meletus
dan LBB dibubarkan. Pada masa ini dua pemikir paling berpengaruh
yang langsung mengambil langkah akademik untuk menumbangkan
asumsi idealisme adalah Edward H. Carr dan Hans Morgenthou. 4 Kedua
pemikir ini mematahkan argumen para idealis bahwa situasi dunia akan
berubah setelah Perang Dunia I. Carr dan Morgenthau lebih lanjut
mengatakan bahwa damai hanyalah jeda di antara dua perang, sehingga
setelah perang, akan ada masa tak ada peperangan dan akan terjadi
perang lagi, dan seterusnya. Dengan demikian dunia tak ayal adalah
sebuah hutan belantara dimana hukum rimba yang menjadi tatanan dan
aturan. Yang berhasil menang di medan pertempuran akan menjadi
pengatur yang kalah.
Pemikiran ini lalu mendominasi studi hubungan internasional
selama kurang lebih dua dekade. Baru pada 1970, Robert Keohane dan
Joseph Nye mengadaptasi pemikiran fungsionalisme dan menerapkannya
pada operasi rezim internasional dan organisasi internasional.5 Pemikiran
ini berakar pada sistem internasional sebagai tubuh yang dapat bekerja
dengan mekanisme tersendiri dan mampu menjadi pusat bersatunya
kepentingan
negara-negara
anggota.
Dengan
adanya
organisasi
internasional, situasi dunia yang anarki dapat di-manage sehingga konflik
antar-negara
dapat
institusionalisme
diminimalisir.
berasumsi
bahwa
Oleh
relasi
karenanya
neo-liberal
antar-negara
adalah
4 Time Dunne, Michael Cox, dan Ken Booth. (1998) The Eghty Years’ Crisis. New York:
Cambridge University Press, hlm. xiii
5 Robert Powell (1994) Anarchy in International Relations Theory: The NeorealistNeoliberal Debate. International Organization, Vol. 48, No. 2 (Spring), hal. 313-315
berdasarkan kepentingan nasional yang hanya dapat tercapai jika
dilakukan kerjasama.
Keohane
dan
Nye
kemudian
memformulasikan
Complex
Interdependence Theory (CIT) untuk menggambarkan relasi tersebut.6
Dengan perkembangan teknologi dan informasi serta meningkatnya
ekonomi global, maka terjadilah interdependensi. Tidak ada negara yang
mampu memenuhi kebutuhan domestiknya sendiri sehingga negara
harus
melakukan
kerjasama.
Kerjasama
menurut
CIT
maknanya
sangatlah luas. Kerjasama tidak hanya dapat dilakukan oleh aktor
negara, melainkan juga aktor non-negara dan individu dalam negara
tersebut, sehingga interaksi global tidak lagi terdikotomi dalam istilah
high politics yang diwakili oleh isu-isu politik dan keamanan, dan low
politics yang didominasi isu ekonomi dan lingkungan, melainkan semua
isu tersebut menjadi sama derajatnya dalam interaksi antar-negara.
Dengan kata lain isu lingkungan, ekonomi, sosial-budaya, bahkan seni
telah menjadi isu yang semakin penting.
Pemikiran neoliberal-institusionalisme sejatinya adalah salah satu
pemikiran yang lahir dari kritik terhadap perkembangan paradigma
neorealisme. Dalam bukunya yang berjudul Neorealism and its Critics,
Keohane berbicara tentang anarki, preferensi, keuntungan absolut dan
relatif, dan persoalan distribusi dan koordinasi. 7
Ketika berbicara
tentang anarki, kedua pemikiran ini sepakat bahwa dunia terdiri dari
negara-negara yang berdiri mandiri dan tidak bisa diatur oleh satu
kekuatan manapun, sehingga tidak ada otoritas yang bisa melakukan
intervensi terhadapnya. Namun keduanya berpisah pada bagaimana
melihat interaksi internasional dalam situasi yang anarki tersebut.
Realisme melihat bahwa dunia tak ubahnya adalah sebuah hutan
belantara
dimana
hukum
rimba
yang
berlaku.
Selama
sistem
internasional bersifat anarki, maka negara dengan kekuatan besarlah
6 John Bayliss dan Steve Smith. (2001) The Globalization of World Politics: An
Introduction in International Relations. London: Oxford University Press, hlm. 212-214
7 Robert Powell (1994) Anarchy in International Relations Theory: The NeorealistNeoliberal Debate. International Organization, Vol. 48, No. 2 (Spring), hal. 313-315
yang akan terus mendominasi/menghegemoni negara lain. Namun tidak
bagi liberal. Dunia bersifat kooperatif karena tidak ada satu negara pun
yang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri-sendiri tanpa peran
negara lain. Oleh karena itu dalam pemikiran liberal dikenal istilah
keuntungan absolut dan dalam realisme dikenal dengan keuntungan
relatif.
Keuntungan absolut (absolute gain) adalah keuntungan yang dapat
diperoleh setiap negara dalam melakukan interaksinya dengan negara
lain dengan bentuk kerjasama. Hanya dengan kerjasama negara dapat
meraih hasil yang pasti (absolut). 8 Pemikiran liberal memandang
keuntungan dari kerjasama tersebut absolut didapat setiap negara meski
tidak mungkin kedua negara mendapatkan keuntungan yang sama besar.
Namun liberal memastikan setidaknya keuntungan akan diraih bagi
negara yang dapat melakukan kerjasama. Tidak seperti realisme yang
berpendapat bahwa interaksi negara dengan negara lain dalam kondisi
apapun akan berujung pada pola permainan zero sum game
atau
menang-kalah. Pemikiran liberal ini yang lalu akan dikritik oleh pemikir
konstruktivisme, bahwa keuntungan yang merata sebenarnya dapat
dicapai
asal
melalui
proses
konstruksi
yang
mengarah
pada
kesamarataan keuntungan.9
Sifat kerjasama yang mampu menghasilkan keuntungan absolut ini
tidak datang dengan sendirinya. Ada prakondisi yang harus dipenuhi
dalam mencapai keuntungan tersebut. Karena pada dasarnya liberal juga
mengakui natur negara yang anarki dan memiliki kecenderungan
konfliktual.
Para
pemikir
liberal
mensyaratkan
adanya
organisasi
internasional (institusi internasional) yang harus berperan sebagai
pengorganisasi dan pengatur interaksi antar negara tersebut. Dengan
membentuk organisasi di luar institusi negara, pemikir liberal percaya
8 Robert Powell (1991) Absolute and Relative Gains in International Relations Theory.
The American Political Science Rewiew, Vol. 85, No. 4 (December), hlm. 1303-1305
9 Alexander Wendt (1992) Anarchy is What States Make of It: The Social Construction
of Power Politics. International Organization, Vol.42, No.2, (Spring), hlm.403
perilaku curang (cheat) dapat diminimalisir bahkan dihilangkan (dengan
mekanisme peraturan dan hukum internasional).
Peran organisasi internasional dengan demikian berada dalam
posisi
utama
dalam
menjaga
kesinambungan
situasi
kooperatif.
Bagaimana jika situasi ini sewaktu-waktu berubah menjadi situasi
perang? Pemikir liberal tidak menutup sama sekali kemungkinan
terjadinya hal ini. John Dugard, dalam International Terrorism and the
Just War menjelaskan bahwa perang dapat dilakukan dengan berbagai
mekanisme tertentu dan dengan mempertimbangkan etika perang. 10
Etika ini disebut dalam bahasa latin yaitu jus ad bellum yang dijabarkan
dalam buku tersebut diantaranya, perang (jika benar-benar harus
dilakukan)
haruslah
menjadi
jalan
terakhir
(last
resort)
setelah
mengalami kebuntuan pada upaya-upaya sebelumnya seperti diplomasi
(preventive diplomacy, peace diplomacy, dll), negosiasi, dan pendekatan
non-militer lainnya. Kemudian perang harus dideklarasikan terlebih
dahulu agar dua atau lebih negara yang akan berperang dapat
melakukan persiapan. Persiapan tersebut bukan hanya dalam hal
persenjataan,
melainkan
juga
penyediaan
tempat
berperang,
perelokasian warga sipil, dan perlindungan infrastruktur. Oleh karenanya
dalam jus ad bellum diharuskan adanya aspek diskriminatif terhadap
kaum non-kombatan atau pihak yang tidak boleh diserang seperti warga
sipil dan anak-anak.
Perdebatan selanjutnya yang terjadi antara neorealisme dan
neoliberalisme
adalah
dalam
hal
memandang
preferensi
negara.
Preferensi adalah pertimbangan yang diambil negara ketika melakukan
proses perumusan kebijakan hingga implementasinya. Menurut neorealis
neoliberalis, preferensi negara
sudah ada
(exogenously
dalam
negosiasi
given).11
yang
Namun
dilakukan
di
sejak adanya
proses
organisasi
interaksi
perundingan
internasional
tidak
hingga
akan
10 John Dugard, International Terrorism and the Just War
11 Alexander Wendt (1992) Anarchy is What States Make of It: The Social Construction
of Power Politics. International Organization, Vol.42, No.2, (Spring), hlm.403
mengubah secara fundamental preferensi masing-masing negara. Lain
halnya bagi neoliberalis, preferensi dapat diubah menurut kebutuhan
bersama. Jika komunitas dalam lingkup organisasi internasional atau
rezim tersebut merasa harus membentuk kepentingan bersama, maka
yang terbentuk adalah kepentingan bersama. Sehingga preferensi negara
dapat disesuaikan (adjustable) sesuai kepentingan bersama dalam
organisasi internasional. Karenanya, organisasi internasional harus
mampu memenuhi kepentingan semua negara yang tergabung di
dalamnya. Jika tidak, maka organisasi dianggap gagal dan patut
dibubarkan (digantikan dengan organisasi baru). Berbeda dengan
pemikiran
konstruktivisme,
bahwa
preferensi ada
ketika
interaksi
berlangsung (endogenously given).
Neokonservatisme Amerika Serikat: Rasionalitas Politik dalam
Kehidupan Pasca-Amerika, Tinjauan terhadap Buku The Post
American World
“The Post American World”
adalah salah satu buku Amerikanis
yakni Fareed Zakaria. Fareed Zakaria adalah seorang imigran asal India
yang kini telah menjadi warga negara Amerika Serikat. Ia bekerja
sebagai jurnalis pada salah satu majalah terkenal di negara adidaya
tersebut. Namanya terus dikenal sebagai salah satu pemikir politik
internasional
kontemporer
Amerika
dan
sebagai
editor
majalah
Newsweek Internasional, dengan bukunya yang terkenal “The Future of
Freedom” yang diterbitkan New York Times. Zakaria juga menulis
berbagai artikel mengenai islam, terorisme dan demokrasi yang dimuat
pada salah satu buku terkenal di kalangan akademik HI Indonesia, yakni
“Amerika dan Dunia.”
Dalam
“The
Post
American
World”,
Fareed
Zakaria
ingin
menunjukkan fenomena-fenomena terbaru yang merupakan bagian
berantai dari apa yang ia sebut “Pergeseran Tektonik Kekuatan Dunia”.
Peregeseran yang ia maksud, pertama, adalah saat dunia barat mulai
mengambil alih kepemimpinan dunia dari kerajaan-kerajaan kuno masa
lampau. Kedua adalah saat Amerika Serikat muncul sebagai satu-satunya
superpower setelah keruntuhan Uni Soviet. Dan yang ketiga adalah apa
yang Zakaria sebut sebagai The Rise of the Rest- kebangkitan kekuatan
lain. Hal yang pertanyakan oleh Fareed Zakaria, yakni apa artinya hidup
di dunia pasca-Amerika? Bagaimana posisi dominan Amerika dilihat dari
segi perang dan damai, ekonomi dan bisnis, serta budaya dalam
menghadapi kenyataan The Rise of the Rest yang ia paparkan dalam
bukunya tersebut?
Zakaria ingin menunjukkan bahwa meski Amerika Serikat masih
menjadi kekuatan politik nomor satu di dunia, namun terdapat fakta
bahwa kekuatan ekonomi kini dikendalikan oleh China, Rusia, Jepang,
dan Eropa, bahkan India. Fenomena kebangkitan kekuatan-kekuatan
besar
(greatpowers)
ini
menurut
Zakaria
merupakan
paradoks
globalisasi. Globalisasi ternyata sukses mengantarkan berbagai negaranegara berkembang bahkan sampai level yang hampir menyaingi
Amerika Serikat dan negara maju lain. Kebanggaan terhadap fakta ini
membuat nasionalisme di negara-negara greatpowers bahkan negara
dunia
ketiga
semakin
tinggi.
Pada
titik
inilah
menurut
Zakaria,
neokonservatisme (paham yang ingin mengembalikan nilai-nilai luhur
yang sempat tenggelam akibat neoliberalisasi) semakin tumbuh di
berbagai belahan dunia tersebut. Oleh karenanya Amerika Serikat
menurutnya harus segera mengakui bahwa dirinya sedang mengalami
ketertinggalan dan semakin meningkatkan nilai-nilai luhur juga, serta
meng-impose nilai-nilainya seperti demokrasi, kebebasan, HAM, dst.,
kepada negara lain. Era ini menurut Zakaria, bukanlah era anti-Amerika,
melainkan era pasca-Amerika.
Fenomena bangkitanya neokonservatisme/liberal ofensif ini dapat
dilihat dari berbagai sudut pendekatan. Michael Hardt dan Antonio Negri
dalam bukunya Empire melihat fenomena ini sebagai politik imperium,
dimana satu kekuatan tunggal akan bertindak sebagai pemimpin yang
dapat menegasikan kedaulatan lain. Kemudian jika melihat artikel
Benjamin Miller (Democracy Promotion: Offensive Liberalism versus the
Rest
(of
IR
Theory)),
neokonservatisme
adalah
praktik
imposed
democracy, yang dapat dikategorikan dalam deretan teori liberalisme
ofensif. Sedangkan pemikir yang berangkat dari Foucauldian seperti
Wendy Larner dan Jakob Vestegaard menganggap bahwa rasionalitas dan
teknologi kepemerintahan neoliberal sedang dalam proses transformasi
menuju
rasionalitas
dan
teknologi
kepemerintahan
yang
akan
membentuk mekanisme conduct of conduct yang baru. Lalu, apakah
hidup dalam dunia pasca-Amerika berarti hidup dalam rasionalitas politik
baru? Jika ya, bagaimana conduct of conduct yang ada dalam kehidupan
pasca-Amerika?
Dan
bagaimana
neokonservatisme
Amerika
dapat
menjadi imposed-force bagi praktik imperium seperti yang dikemukakan
oleh Hardt dan Negri?
Rasionalitas Politik Baru?
Rasionalitas politik sejatinya dalam hal ini mengambil terminologi
yang
digagas
oleh
(governmentality),
Michel
yang
Foucault
bermakna
mengenai
justifikasi
kepemerintahan
pemerintahan
dalam
mempraktikan kebijakan-kebijakan administratif dan pengaturan tata
kewarganegaraan serta aturan dalam masyarakat. Rasionalitas politik
dalam konteks ini juga dapat dimaknai sebagai dasar pemikiran yang
menciptakan
teknologi
guna
mencapai
tujuan-tujuan
tercapainya
rasionalitas tersebut. Dari definisi ini muncul kembali satu konsep yaitu
teknologi, yang bermakna seperangkat pengaturan-pengaturan baik yang
berbentuk sistem maupun teknik-teknik konkrit dalam menerapkan
mekanisme yang terstruktur. Dengan demikian telah terjalin suatu
mekanisme yang disebut oleh Foucault sebagai conduct of conduct, yakni
logika
pengaturan
dan
segala
pengaturan;
pengendalian
di
atas
pengendalian lain yang mengendalikan hal lain, dalam hal ini adalah
warga negara.
Perdebatan besar (great debate) ketiga dalam ilmu hubungan
internasional terjadi antara paradigma neorealisme dan neoliberalinstitusionalisme. Adapun perdebatan tersebut lahir dari argumentasi
kaum liberal yang berasumsi bahwa ditengah konstelasi dunia yang
semakin terglobalisasi, maka potensi kerjasama perlahan-lahan akan
menggeser situasi dunia yang konfliktual (seperti yang diasumsikan oleh
realisme).1
Deretan
pemikir
liberal-institusionalis
ini
mengkritik
pemikiran realisme yang terlalu menganggap serius sifat dunia yang
anarki sehingga relasi negara akan selalu diwarnai saling curiga. Liberalinstitusional tidak menafikkan bahwa dunia adalah anarki, namun
ditengah ke-anarki-annya, sangat dimungkinkan terjadinya kerjasama
dalam hubungan antar negara, sehingga anarki sejatinya dapat diatur
(di-manage) sedemikian rupa agar menjadi situasi yang kooperatif.2
Debat
pertama
dalam
ilmu
hubungan
internasional
yang
berlangsung pasca-Perang Dunia II, yakni antara idealisme (liberalismeutopian) dengan realisme pertama-tama harus diuraikan terlebih dahulu
untuk melihat sisi paradigmatik yang coba dilampaui pada perdebatan
yang ketiga (dalam neorealisme vs. neoliberal-institusionalisme). Debat
pertama ini diawali dengan munculnya gagasan untuk mendirikan suatu
struktur yang melampaui entitas negara. Masa setelah Perang Dunia I ini
membuat Presiden Woodrow
mendirikan
Liga
Wilson (Amerika Serikat) berinisiatif
Bangsa-Bangsa
(LBB)
yang
bertujuan
mencegah
peperangan berulang kembali. Pemikiran Wilson ini kemudian disambut
oleh berbagai pemikir liberal lain seperti Norman Angell dan David
Held.3 Deretan pemikir ini pada dasarnya merupakan awal lahirnya
neoliberal-institusionalisme itu sendiri. Norman Angell berasumsi bahwa
1 Martin Ceadel (2009) Living the Great Illusion: Sir Norman Angell, 1872-1967. New
York: Oxford University, hlm. 1-3
2 Robert O. Keohane and Lisa L. Martin. (1995)The Promise of Institusionalist Theory.
International Security, Vol. 20, N0. 1 (Summerr: 1995), hlm. 42
3 Martin Griffiths (1999) Fifty Key Thinkers in International Relations. London:
Routledge, hlm. 53, 75
pasca-perang (PD I) situasi dunia akan berubah drastis dari konfliktual
menjadi kooperatif. Asumsi ini lahir dari berbagai perkembangan
teknologi yang lahir pada masa itu, serta komoditas finansial dan
perdagangan yang semakin terhubung satu sama lain. Sedangkan David
Held berasumsi bahwa norma dan keadilan akan tercipta seiring lahirnya
organisasi internasional.
Namun kenyataan mengatakan sebaliknya. Perang Dunia II meletus
dan LBB dibubarkan. Pada masa ini dua pemikir paling berpengaruh
yang langsung mengambil langkah akademik untuk menumbangkan
asumsi idealisme adalah Edward H. Carr dan Hans Morgenthou. 4 Kedua
pemikir ini mematahkan argumen para idealis bahwa situasi dunia akan
berubah setelah Perang Dunia I. Carr dan Morgenthau lebih lanjut
mengatakan bahwa damai hanyalah jeda di antara dua perang, sehingga
setelah perang, akan ada masa tak ada peperangan dan akan terjadi
perang lagi, dan seterusnya. Dengan demikian dunia tak ayal adalah
sebuah hutan belantara dimana hukum rimba yang menjadi tatanan dan
aturan. Yang berhasil menang di medan pertempuran akan menjadi
pengatur yang kalah.
Pemikiran ini lalu mendominasi studi hubungan internasional
selama kurang lebih dua dekade. Baru pada 1970, Robert Keohane dan
Joseph Nye mengadaptasi pemikiran fungsionalisme dan menerapkannya
pada operasi rezim internasional dan organisasi internasional.5 Pemikiran
ini berakar pada sistem internasional sebagai tubuh yang dapat bekerja
dengan mekanisme tersendiri dan mampu menjadi pusat bersatunya
kepentingan
negara-negara
anggota.
Dengan
adanya
organisasi
internasional, situasi dunia yang anarki dapat di-manage sehingga konflik
antar-negara
dapat
institusionalisme
diminimalisir.
berasumsi
bahwa
Oleh
relasi
karenanya
neo-liberal
antar-negara
adalah
4 Time Dunne, Michael Cox, dan Ken Booth. (1998) The Eghty Years’ Crisis. New York:
Cambridge University Press, hlm. xiii
5 Robert Powell (1994) Anarchy in International Relations Theory: The NeorealistNeoliberal Debate. International Organization, Vol. 48, No. 2 (Spring), hal. 313-315
berdasarkan kepentingan nasional yang hanya dapat tercapai jika
dilakukan kerjasama.
Keohane
dan
Nye
kemudian
memformulasikan
Complex
Interdependence Theory (CIT) untuk menggambarkan relasi tersebut.6
Dengan perkembangan teknologi dan informasi serta meningkatnya
ekonomi global, maka terjadilah interdependensi. Tidak ada negara yang
mampu memenuhi kebutuhan domestiknya sendiri sehingga negara
harus
melakukan
kerjasama.
Kerjasama
menurut
CIT
maknanya
sangatlah luas. Kerjasama tidak hanya dapat dilakukan oleh aktor
negara, melainkan juga aktor non-negara dan individu dalam negara
tersebut, sehingga interaksi global tidak lagi terdikotomi dalam istilah
high politics yang diwakili oleh isu-isu politik dan keamanan, dan low
politics yang didominasi isu ekonomi dan lingkungan, melainkan semua
isu tersebut menjadi sama derajatnya dalam interaksi antar-negara.
Dengan kata lain isu lingkungan, ekonomi, sosial-budaya, bahkan seni
telah menjadi isu yang semakin penting.
Pemikiran neoliberal-institusionalisme sejatinya adalah salah satu
pemikiran yang lahir dari kritik terhadap perkembangan paradigma
neorealisme. Dalam bukunya yang berjudul Neorealism and its Critics,
Keohane berbicara tentang anarki, preferensi, keuntungan absolut dan
relatif, dan persoalan distribusi dan koordinasi. 7
Ketika berbicara
tentang anarki, kedua pemikiran ini sepakat bahwa dunia terdiri dari
negara-negara yang berdiri mandiri dan tidak bisa diatur oleh satu
kekuatan manapun, sehingga tidak ada otoritas yang bisa melakukan
intervensi terhadapnya. Namun keduanya berpisah pada bagaimana
melihat interaksi internasional dalam situasi yang anarki tersebut.
Realisme melihat bahwa dunia tak ubahnya adalah sebuah hutan
belantara
dimana
hukum
rimba
yang
berlaku.
Selama
sistem
internasional bersifat anarki, maka negara dengan kekuatan besarlah
6 John Bayliss dan Steve Smith. (2001) The Globalization of World Politics: An
Introduction in International Relations. London: Oxford University Press, hlm. 212-214
7 Robert Powell (1994) Anarchy in International Relations Theory: The NeorealistNeoliberal Debate. International Organization, Vol. 48, No. 2 (Spring), hal. 313-315
yang akan terus mendominasi/menghegemoni negara lain. Namun tidak
bagi liberal. Dunia bersifat kooperatif karena tidak ada satu negara pun
yang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri-sendiri tanpa peran
negara lain. Oleh karena itu dalam pemikiran liberal dikenal istilah
keuntungan absolut dan dalam realisme dikenal dengan keuntungan
relatif.
Keuntungan absolut (absolute gain) adalah keuntungan yang dapat
diperoleh setiap negara dalam melakukan interaksinya dengan negara
lain dengan bentuk kerjasama. Hanya dengan kerjasama negara dapat
meraih hasil yang pasti (absolut). 8 Pemikiran liberal memandang
keuntungan dari kerjasama tersebut absolut didapat setiap negara meski
tidak mungkin kedua negara mendapatkan keuntungan yang sama besar.
Namun liberal memastikan setidaknya keuntungan akan diraih bagi
negara yang dapat melakukan kerjasama. Tidak seperti realisme yang
berpendapat bahwa interaksi negara dengan negara lain dalam kondisi
apapun akan berujung pada pola permainan zero sum game
atau
menang-kalah. Pemikiran liberal ini yang lalu akan dikritik oleh pemikir
konstruktivisme, bahwa keuntungan yang merata sebenarnya dapat
dicapai
asal
melalui
proses
konstruksi
yang
mengarah
pada
kesamarataan keuntungan.9
Sifat kerjasama yang mampu menghasilkan keuntungan absolut ini
tidak datang dengan sendirinya. Ada prakondisi yang harus dipenuhi
dalam mencapai keuntungan tersebut. Karena pada dasarnya liberal juga
mengakui natur negara yang anarki dan memiliki kecenderungan
konfliktual.
Para
pemikir
liberal
mensyaratkan
adanya
organisasi
internasional (institusi internasional) yang harus berperan sebagai
pengorganisasi dan pengatur interaksi antar negara tersebut. Dengan
membentuk organisasi di luar institusi negara, pemikir liberal percaya
8 Robert Powell (1991) Absolute and Relative Gains in International Relations Theory.
The American Political Science Rewiew, Vol. 85, No. 4 (December), hlm. 1303-1305
9 Alexander Wendt (1992) Anarchy is What States Make of It: The Social Construction
of Power Politics. International Organization, Vol.42, No.2, (Spring), hlm.403
perilaku curang (cheat) dapat diminimalisir bahkan dihilangkan (dengan
mekanisme peraturan dan hukum internasional).
Peran organisasi internasional dengan demikian berada dalam
posisi
utama
dalam
menjaga
kesinambungan
situasi
kooperatif.
Bagaimana jika situasi ini sewaktu-waktu berubah menjadi situasi
perang? Pemikir liberal tidak menutup sama sekali kemungkinan
terjadinya hal ini. John Dugard, dalam International Terrorism and the
Just War menjelaskan bahwa perang dapat dilakukan dengan berbagai
mekanisme tertentu dan dengan mempertimbangkan etika perang. 10
Etika ini disebut dalam bahasa latin yaitu jus ad bellum yang dijabarkan
dalam buku tersebut diantaranya, perang (jika benar-benar harus
dilakukan)
haruslah
menjadi
jalan
terakhir
(last
resort)
setelah
mengalami kebuntuan pada upaya-upaya sebelumnya seperti diplomasi
(preventive diplomacy, peace diplomacy, dll), negosiasi, dan pendekatan
non-militer lainnya. Kemudian perang harus dideklarasikan terlebih
dahulu agar dua atau lebih negara yang akan berperang dapat
melakukan persiapan. Persiapan tersebut bukan hanya dalam hal
persenjataan,
melainkan
juga
penyediaan
tempat
berperang,
perelokasian warga sipil, dan perlindungan infrastruktur. Oleh karenanya
dalam jus ad bellum diharuskan adanya aspek diskriminatif terhadap
kaum non-kombatan atau pihak yang tidak boleh diserang seperti warga
sipil dan anak-anak.
Perdebatan selanjutnya yang terjadi antara neorealisme dan
neoliberalisme
adalah
dalam
hal
memandang
preferensi
negara.
Preferensi adalah pertimbangan yang diambil negara ketika melakukan
proses perumusan kebijakan hingga implementasinya. Menurut neorealis
neoliberalis, preferensi negara
sudah ada
(exogenously
dalam
negosiasi
given).11
yang
Namun
dilakukan
di
sejak adanya
proses
organisasi
interaksi
perundingan
internasional
tidak
hingga
akan
10 John Dugard, International Terrorism and the Just War
11 Alexander Wendt (1992) Anarchy is What States Make of It: The Social Construction
of Power Politics. International Organization, Vol.42, No.2, (Spring), hlm.403
mengubah secara fundamental preferensi masing-masing negara. Lain
halnya bagi neoliberalis, preferensi dapat diubah menurut kebutuhan
bersama. Jika komunitas dalam lingkup organisasi internasional atau
rezim tersebut merasa harus membentuk kepentingan bersama, maka
yang terbentuk adalah kepentingan bersama. Sehingga preferensi negara
dapat disesuaikan (adjustable) sesuai kepentingan bersama dalam
organisasi internasional. Karenanya, organisasi internasional harus
mampu memenuhi kepentingan semua negara yang tergabung di
dalamnya. Jika tidak, maka organisasi dianggap gagal dan patut
dibubarkan (digantikan dengan organisasi baru). Berbeda dengan
pemikiran
konstruktivisme,
bahwa
preferensi ada
ketika
interaksi
berlangsung (endogenously given).
Neokonservatisme Amerika Serikat: Rasionalitas Politik dalam
Kehidupan Pasca-Amerika, Tinjauan terhadap Buku The Post
American World
“The Post American World”
adalah salah satu buku Amerikanis
yakni Fareed Zakaria. Fareed Zakaria adalah seorang imigran asal India
yang kini telah menjadi warga negara Amerika Serikat. Ia bekerja
sebagai jurnalis pada salah satu majalah terkenal di negara adidaya
tersebut. Namanya terus dikenal sebagai salah satu pemikir politik
internasional
kontemporer
Amerika
dan
sebagai
editor
majalah
Newsweek Internasional, dengan bukunya yang terkenal “The Future of
Freedom” yang diterbitkan New York Times. Zakaria juga menulis
berbagai artikel mengenai islam, terorisme dan demokrasi yang dimuat
pada salah satu buku terkenal di kalangan akademik HI Indonesia, yakni
“Amerika dan Dunia.”
Dalam
“The
Post
American
World”,
Fareed
Zakaria
ingin
menunjukkan fenomena-fenomena terbaru yang merupakan bagian
berantai dari apa yang ia sebut “Pergeseran Tektonik Kekuatan Dunia”.
Peregeseran yang ia maksud, pertama, adalah saat dunia barat mulai
mengambil alih kepemimpinan dunia dari kerajaan-kerajaan kuno masa
lampau. Kedua adalah saat Amerika Serikat muncul sebagai satu-satunya
superpower setelah keruntuhan Uni Soviet. Dan yang ketiga adalah apa
yang Zakaria sebut sebagai The Rise of the Rest- kebangkitan kekuatan
lain. Hal yang pertanyakan oleh Fareed Zakaria, yakni apa artinya hidup
di dunia pasca-Amerika? Bagaimana posisi dominan Amerika dilihat dari
segi perang dan damai, ekonomi dan bisnis, serta budaya dalam
menghadapi kenyataan The Rise of the Rest yang ia paparkan dalam
bukunya tersebut?
Zakaria ingin menunjukkan bahwa meski Amerika Serikat masih
menjadi kekuatan politik nomor satu di dunia, namun terdapat fakta
bahwa kekuatan ekonomi kini dikendalikan oleh China, Rusia, Jepang,
dan Eropa, bahkan India. Fenomena kebangkitan kekuatan-kekuatan
besar
(greatpowers)
ini
menurut
Zakaria
merupakan
paradoks
globalisasi. Globalisasi ternyata sukses mengantarkan berbagai negaranegara berkembang bahkan sampai level yang hampir menyaingi
Amerika Serikat dan negara maju lain. Kebanggaan terhadap fakta ini
membuat nasionalisme di negara-negara greatpowers bahkan negara
dunia
ketiga
semakin
tinggi.
Pada
titik
inilah
menurut
Zakaria,
neokonservatisme (paham yang ingin mengembalikan nilai-nilai luhur
yang sempat tenggelam akibat neoliberalisasi) semakin tumbuh di
berbagai belahan dunia tersebut. Oleh karenanya Amerika Serikat
menurutnya harus segera mengakui bahwa dirinya sedang mengalami
ketertinggalan dan semakin meningkatkan nilai-nilai luhur juga, serta
meng-impose nilai-nilainya seperti demokrasi, kebebasan, HAM, dst.,
kepada negara lain. Era ini menurut Zakaria, bukanlah era anti-Amerika,
melainkan era pasca-Amerika.
Fenomena bangkitanya neokonservatisme/liberal ofensif ini dapat
dilihat dari berbagai sudut pendekatan. Michael Hardt dan Antonio Negri
dalam bukunya Empire melihat fenomena ini sebagai politik imperium,
dimana satu kekuatan tunggal akan bertindak sebagai pemimpin yang
dapat menegasikan kedaulatan lain. Kemudian jika melihat artikel
Benjamin Miller (Democracy Promotion: Offensive Liberalism versus the
Rest
(of
IR
Theory)),
neokonservatisme
adalah
praktik
imposed
democracy, yang dapat dikategorikan dalam deretan teori liberalisme
ofensif. Sedangkan pemikir yang berangkat dari Foucauldian seperti
Wendy Larner dan Jakob Vestegaard menganggap bahwa rasionalitas dan
teknologi kepemerintahan neoliberal sedang dalam proses transformasi
menuju
rasionalitas
dan
teknologi
kepemerintahan
yang
akan
membentuk mekanisme conduct of conduct yang baru. Lalu, apakah
hidup dalam dunia pasca-Amerika berarti hidup dalam rasionalitas politik
baru? Jika ya, bagaimana conduct of conduct yang ada dalam kehidupan
pasca-Amerika?
Dan
bagaimana
neokonservatisme
Amerika
dapat
menjadi imposed-force bagi praktik imperium seperti yang dikemukakan
oleh Hardt dan Negri?
Rasionalitas Politik Baru?
Rasionalitas politik sejatinya dalam hal ini mengambil terminologi
yang
digagas
oleh
(governmentality),
Michel
yang
Foucault
bermakna
mengenai
justifikasi
kepemerintahan
pemerintahan
dalam
mempraktikan kebijakan-kebijakan administratif dan pengaturan tata
kewarganegaraan serta aturan dalam masyarakat. Rasionalitas politik
dalam konteks ini juga dapat dimaknai sebagai dasar pemikiran yang
menciptakan
teknologi
guna
mencapai
tujuan-tujuan
tercapainya
rasionalitas tersebut. Dari definisi ini muncul kembali satu konsep yaitu
teknologi, yang bermakna seperangkat pengaturan-pengaturan baik yang
berbentuk sistem maupun teknik-teknik konkrit dalam menerapkan
mekanisme yang terstruktur. Dengan demikian telah terjalin suatu
mekanisme yang disebut oleh Foucault sebagai conduct of conduct, yakni
logika
pengaturan
dan
segala
pengaturan;
pengendalian
di
atas
pengendalian lain yang mengendalikan hal lain, dalam hal ini adalah
warga negara.