Peran Pendidikan Sejarah dan Kebudayaan

Peran (Pendidikan) Sejarah dan Kebudayaan Nasional
dalam Meningkatkan Persatuan dan Persatuan Bangsa
Yudi Prasetyo, S.S., M.A.1
STKIP PGRI Sidoarjo

Pengantar
Sejarah dan kebudayaan merupakan hal yang tak dapat dipisahkan, eksistensinya
bagaikan dua sisi mata uang. Manusia merupakan subjek dari proses terbentuknya kebudayaan,
baik yang secara material maupun imaterial. Bapak Antropologi Indonesia, Koentrjaraningrat,
mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Terminologi “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta, buddhayah, yakni bentuk jamak dari
budhi yang berarti ”budi” atau “akal”.2 Soekarno, budayawan Sidoarjo, menerjemahkan

“kebudayaan” dalam bahasa Jawa yakni nalar, panemu utawa angen-angen sing dibabarno
rupa tumindak, paugeran, pakaryan lan kawicaksanan. Utawa: babare nalar pambudine
menungso sing wujud kagunan, kepinteran, raweruh, tata pernatan, sing dilandesi karo cipta,
rasa, karya, kuwasa lan sakteruse.3

Maka dapat diartikan bahwa ke-budaya-an dapat diartikan: ”hal-hal yang bersangkutan
dengan akal” yang dapat berupa cipta, karsa, dan rasa, sedangkan kebudayaan merupakan

produk/hasil dari cipta, karsa, dan rasa tersebut. Pelbagai produk kebudayaan tersebut
kemudian dituangkan dalam sebuah historiografi yang kelak menjadi indikator sebuah bangsa
atau peradaban mengalamai masa transisi dari masa prasejarah (belum mengenal tulisan) ke era
sejarah (telah mengenal tulisan).

1

Penulis merupakan alumni prodi Ilmu Sejarah UGM dan tengah mempersiapkan proposal disertasi studi

2

Koetjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Rineka Cipta: Jakarta), hlm. 181.

S-3
3
Soekarno. “Kebudayaan (Jaman) Jenggala”, makalah dipresentasikan pada seminar “Mengungkap
Potensi Tinggalan Jenggala dalam Rangka Menelusuri Hari Jadi Sidoarjo”, Kamis, 23 April 2015 di UPT
Museum Mpu Tantular Sidoarjo hlm. 1.

Makalah disampaikan dalam Seminar Kebangsaan. “Sejarah dan Kebudayaan Bangsa Sebagai Instrumen

Peningkatan Persatuan dan Kesatuan Bangsa”, Minggu, 26 Mei 2015 di STKIP PGRI Sidoarjo

Kehidupan manusia sebagai entitas sosial sejak dilahirkan hingga kelak menemui masa
akhir hayatnya tidak akan lepas dari kegiatan berbudaya dan bersejarah. Koentjaraningrat
mengemukakan bahwa terdapat tujuh unsur kebudayaan, yakni:
1. Bahasa
2. Sistem pengetahuan
3. Organisasi sosial
4. Sistem peralatan hidup dan teknologi
5. Sistem mata pencaharian hidup
6. Sistem religi
7. Kesenian

Ketujuh unsur tersebut kemudian tercipta, terlaksana, hingga menjadi kebiasaan (habit)
yang kemudian bermuara pada proses terbentuknya tradisi. Proses tersebut tentunya juga tidak
dapat dilepaskan dari proses ruang dan waktu yang merupakan ranah studi sejarah, terutama
ilmu sejarah. Kerap kali sebuah tradisi menjadi pemahaman memory collective suatu
masyarakat yang diturunkan dari generasi ke generasi namun tidak terdokumentasi dengan
baik, sehingga ketika dilakukan penelusuran sejarah dengan menggunakan sumber-sumber
tertulis maka yang terjadi adalah missing link terkait dengan ketiadaan sumber tertulis dan

hanya mengandalkan sumber lisan / oral.4
Sebuah tradisi atau produk kebudayaan akan diragukan eksistensinya tanpa dukungan
sumber tertulis yang otentik dan kredibel. Dokumen-dokumen tersebut dapat dijadikan sebagai
legalitas atau bahkan legitimasi atas adanya sebuah pengakuan dan memiliki peran krusial
sebagai identitas bangsa di masa kini, sekarang, dan yang akan datang. Selain itu sebuah
bangsa akan dikatakan maju ketika masyarakatnya terbiasa dengan budaya membaca (literasi)
layaknya negara-negara di Eropa, Amerika, Jepang, dan Singapura.
Makalah ini akan mencoba untuk mencari dan mengaitkan benang merah diantara peran
sejarah dengan kebudayaan nasional terkait dengan upaya peningkatan persatuan dan
kesatuan bangsa.

Jan Vansina dalam “Oral Tradition: A Study in Historical Methodology” membagi tradisi lisan menjadi
lima kategori: pertama , rumusan untuk belajar, ritual, slogan, dan gelar, kedua, daftar yang berisikan nama dan
tempat, ketiga, puisi-puisi resmi dan pribadi -yang bertema sejarah, agama, personal-, keempat, cerita –sejarah,
didaktis, dan personal-, kelima , komentar tentang hukum dan hal-hal lain. Lihat, Paul Thompson, Suara dari
Masa Silam Teori dan Metode Sejarah Lisan (Ombak: Yogyakarta, 2012), hlm. 26.
4

Makalah disampaikan dalam Seminar Kebangsaan. “Sejarah dan Kebudayaan Bangsa Sebagai Instrumen
Peningkatan Persatuan dan Kesatuan Bangsa”, Minggu, 26 Mei 2015 di STKIP PGRI Sidoarjo


Sejarah, Kebudayaan, dan Glorifikasi Bangsa

“Cinta kita melukiskan sejarah menggelarkan cerita penuh suka cita....”
Lirik di atas merupakan salah satu cuplikan chorus dari Bunga Citra Lestari dalam lagu
“Cinta Sejati” OST. film “Habibie Ainun”, yang juga kebetulan film bertemakan sejarah
tokoh mantan presiden ke-3 RI. Cuplikan dari lagu tersebut dapat kita kaitkan dengan
bagaimana rasa cinta tanah air terhadap glorifikasi atau hegemoni abad kejayaan kebudayaan
bangsa Indonesia di masa lampau yang pantas ‘dinikmati’ dengan rasa suka cita mulai dari
masa prasejarah hingga saat ini.
Atlantis dan Indonesia
Plato, dalam dialognya Timaeus dan Critias, yang ditulis pada tahun 360 SM, berisi
tentang referensi pertama Atlantis. Plato tidak pernah menyelesaikan Critias karena berbagai
faktor dan ketidaktahuan. Karya tersebut kemudian ditelusuri dan dilanjutkan oleh berbagai
peneliti generasi berikut setelah berabad-abad kemudian mulai dari Francis Bacon (1627),
Isaac Newton (1728),

Charles Etienne Brasseur de Bourbourg, Edward Herbert

Thompson dan Augustus Le Plongeon pada akhir abad XIX hingga pada akhirnya seorang

ahli geohistori asal Brasil Prof. Arysio Santos Nunes dos Santos, Ph.D. dengan karya Atlantis
The Lost Continent Finally Found adalah sebuah buku arkeologi prasejarah yang menyatakan

secara definitif letak peradaban Atlantis ada di Indonesia.5 Hal ini mengacu pada tesisnya
yang mengatakan bahwa kawasan Atlantis terdapat di wilayah Ring of Fire dengan ciri
rangkaian gunung api di berbagai kawasan Indonesia sehingga tidak mengherankan bila area
Nusantara dikenal sangat subur akibat adanya abu vulkanik yang mampu menyuburkan tanah
di sekitarnya. Kesuburan dan keindahan alam Hindia Belanda di era kolonialisme Belanda
menghadirkan sebuah konsep “Mooi Indie”.6

5

Arysio Santos, Atlantis The Lost Continent Finally Found (Ufuk Press: Jakarta: 2010).

Menurut Onghokham, terminologi Mooi Indiё adalah penggambaran ciptaan kolonial Belanda tentang
alam dan masyarakat Hindia Belanda secara damai, tenang, dan harmonis. Pandangan tersebut berakar pada
romantisisme Belanda yang ingin menciptakan Timur yang eksotis sekaligus menguntungkan bagi sisi finansial.
Onghokham, “Hindia yang Dibekukan “Mooi Indiё” dalam Seni Rupa dan Ilmu Sosial”, dalam Harsja W.
Bachtiar, dkk. Raden Saleh, Anak Belanda, Mooi Indië, dan Nasionalisme (Depok: Komunitas Bambu, 2009),
hlm. 163-164.

6

Makalah disampaikan dalam Seminar Kebangsaan. “Sejarah dan Kebudayaan Bangsa Sebagai Instrumen
Peningkatan Persatuan dan Kesatuan Bangsa”, Minggu, 26 Mei 2015 di STKIP PGRI Sidoarjo

Penelitian tersebut memang masih perlu dikaji ulang namun apabila dikaitkan dalam
konteks nasionalisme menunjukkan bahwa pada dasarnya nenek moyang kita di Nusantara
merupakan generasi dari peradaban tertinggi di dunia yang hilang. Tentunya pernyataan
tersebut berpotensi menimbulkan kontroversi, namun setidaknya ungkapan tersebut tidak
terlontar secara pribadi dan tidak terlibat dalam penelitian tersebut sehingga tidak ada unsur
subjektif di dalamnya. Karya ini banyak diapresiasi oleh kalangan profesional, akademisi,
dan pengamat budaya karena mampu menstimulasi perasaan nasionalisme di kalangan bangsa
Indonesia.

Abad Kejayaan Sriwijaya dan Majapahit
Kejayaan kedua kerajaan tersebut sangat berpengaruh dalam bidang maritim dan
agraris di tingkat perdagangan global abad VII – XVI. Kerajaan Sriwijaya menjadi penguasa
Nusantara dengan tingkat teknologi navigasi, perkapalan yang maju, serta jaringan
perdagangan maritim yang terintegrasi dengan baik. Jaringan perdagangan internasional
Sriwijaya menjangkau hingga ke wilayah Malaka, Borneo, Sulawesi, Maluku, Papua, dan

sebagian kepulauan Filipina sehingga lebih menyerupai imperium.7 Sedangkan Majapahit
mengalami masa kejayaannya pada tahun 1313-1364 dan merupakan cikal-bakal atas
terbentuknya wilayah Nusantara oleh Patih Gadjah Mada. Tanpa adanya Sumpah Palapa
niscaya terbentuknya Nusantara hanya sekedar sebuah wacana tanpa aksi.

Candi Borobudur
Eksistensi candi Borobudur menjadi salah satu icon tujuh keajaiban dunia. Bangunan
candi Budha yang dibangun pada abad IX tersebut memiliki tingkat kompleksitas tinggi dan
merupakan sebuah mahakarya tentang kisah Ramayana. Borobudur menjadi bangunan suci
yang melambangkan bagaimana proses perjalanan ajaran Budha Mahayana untuk mencapai
tahap menjadi Budha. Tingkat kesulitan, detail, dan nilai sejarahnya yang tak terhingga telah
menempatkan Borobudur sebagai salah satu bangunan peninggalan sejarah dunia (World
Wonder Heritages).8

Hermann Kulke, “Kedatuan Srivijaya – Imperium atau Kraton Srivijaya?” dalam George Coedes dkk
(eds.), Kedatuan Sriwijaya: Kajian Sumber Prasasti dan Arkeologi (Komunitas Bambu: Depok, 2014), hlm.
281-313.
7

8


Warisan budaya dapat dipilah berdasarkan yang (benda yang dapat dipegang/disentuh) dan yang
intangible (tak benda/tak dapat disentuh) disertai contoh, aspek yang melekat antara lain: 1. Konsep mengenai
benda itu sendiri (meja), 2. Perlambangan yang diwujudkan melalui benda (bendera), 3. Kebermaknaan dalam
kaitan dengan fungsinya (kapak), 4. Isi pesan yang terkandung di dalamnya, khususnya bila terdapat tulisan
Makalah disampaikan dalam Seminar Kebangsaan. “Sejarah dan Kebudayaan Bangsa Sebagai Instrumen
Peningkatan Persatuan dan Kesatuan Bangsa”, Minggu, 26 Mei 2015 di STKIP PGRI Sidoarjo

Kemegahan dan pengakuan tersebut mampu menempatkan Borobudur sebagai salah
satu wujud fisik kebudayaan yang menjadi identitas bangsa Indonesia di kancah di dunia
terkait dengan keberadaan lokasi. Hal ini menunjukkan bahwa Jawa tidak hanya sebagai
sebuah kawasan geografis namun telah menjadi pusat dari peradaban Jawa.9 Adanya
peradaban Jawa dan Borobudur dapat dijadikan sebagai identitas bangsa sekaligus glory of
nation10 dalam rangka pembentukan nation building.

Sejarah dan Kebudayaan Nasional dalam Proses Terbentuknya Identitas
Indonesia merupakan sebuah negara yang multikulturalisme dengan berbagai
keunikannya dari sisi sejarah, kultural, dan budaya dimana tercipta sebuah melting pot (pusat
pertemuan) dan rendezvous (persinggahan) entitas global. Posisi dan peran Indonesia di era
merkantilisme abad XIII – XVIII menghasilkan interaksi sosial budaya yang intens dan

massif sehingga terdapat pelbagai budaya yang berkembang dengan keunikan masing-masing
yang khas, baik yang merupakan budaya asli Indonesia maupun masuknya pengaruh asing. 11
Keanekaragaman tersebut menjadikan Indonesia kaya akan berbagai kebudayaan.
Wujud kebudayaan tersebut dapat berupa material dan imaterial yang secara sadar maupun
tidak telah menjadi bagian yang identik dari masyarakat lokal. Sebagai contoh adalah Ulos,
tari Tor-Tor, Bika Ambon menjadi identitas bagi masyarakat Sumatera Utara, Palembang
dengan makanan khas Pempek, atau Bali dengan tari Kecak, Sasando sebagai alat musik
tradisional dari Nusa Tenggara Timur dll.
Adanya pertemuan kebudayaan asli dan luar menghasilkan sebuah percampuran budaya
(inkulturasi) ataupun asimilasi yang khas. Kekhasan kebudayaan tersebut berada pada tahap
lokal, nasional, internasional yang kemudian dapat menjadi kebudayaan bangsa dan sekaligus
menjadi kebudyaan nasional identitas kebangsaan bangsa.

(prasasti atau naskah), 5. Teknologi untuk membuatnya (keris), 6. Pola tingkah laku yang terkait dengan
pemanfaatanya (kostum tari).
9
Supratikno Rahardjo, Peradaban Jawa: Dari Mataram Kuna sampai Majapahit Akhir (Komunitas
Bambu: Depok, 2011). & Makalah Workshop of Interdiciplinary Dutch and Indonesia, Penelitian kolaborasi
penulis dengan Dr. Martijn Eickhoff , NIOD Belanda tentang World Heritages di Borobudur, Magelang, 2011.
10


Nation diturunkan dari kata benda bahasa Latin Natio, yang berasal dari kata kerja Latin, Nascio
(dilahirkan dari), merujuk pada asal seseorang. Steven Grosby, Sejarah Nasionalisme: Asal-usul Bangsa dan
Tanah Air (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 201), hlm. 57.
11
Lihat J.S. Furnivall, Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk, terj. Samsudin Berlian
(Jakarta: Freedom Institute, 2009)

Makalah disampaikan dalam Seminar Kebangsaan. “Sejarah dan Kebudayaan Bangsa Sebagai Instrumen
Peningkatan Persatuan dan Kesatuan Bangsa”, Minggu, 26 Mei 2015 di STKIP PGRI Sidoarjo

Kamus ensiklopedia elektronik Wikipedia menerjemahkan kebudayaan nasional
sebagai kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional. Definisi kebudayaan nasional
menurut TAP MPR No.II tahun 1998, yakni:
“Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta, karya dan karsa
bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk
mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk memberikan wawasan
dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa. Dengan demikian
Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang berbudaya”12


Interpretasi mengenai kebudayaan nasional berbeda-beda, Ki Hajar Dewantara
memandang kebudayaan nasional merupakan “puncak-puncak kebudayaan daerah,
sedangkan Koentjaraningrat menilai sebagai “sesuatu yang khas “yang khas dan bermutu
dari suku bangsa mana pun asalnya, asal bisa mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa
bangga”. Sedyawati memandang identitas budaya bangsa Indonesia (dalam makna
“kebudayaan nasional” Indonesia) mempunyai dua sisi: pertama , segala sesuatu yang
diciptakan dalam konteks ke-Indonesia-an, kurang lebih pada masa pergerakan nasional
hingga kini, kedua , “puncak-puncak” kebudayaan yang diangkat dari berbagai tradisi sukusuku bangsa yang ada di Indonesia, yang diterima sebagi miliki bersama seluruh bangsa
Indonesia.13 Meski demikian semuanya merupakan hasil budi daya masyarakat bangsa,
eksistensinya telah ada sejak masa lampau, memiliki nilai yang dibanggakan, bermuara pada
lahirnya konsep identitas bangsa yang lebih mengedepankan ketunggalikaan (persatuan)
dibanding kebhinekaan (keberagaman).
Wujud dari kebudayaan dapat direpresentasikan dalam berbagai hal contohnya: rumah,
upacara, pernikahan, pakaian adat, kulinari, bahasa, seni sastra, tarian, lagu, maupun musik.
Ungkapan grup vokal P-Project bahwa “dangdut is the music of my coutry” mungkin benar
adanya karena meski pun dangdut tidak merupakan ‘benar-benar’ asli Indonesia karena
terdapat pengaruh musik dari Arab, Hindustan, dan Melayu namun kepopulerannya dan
besarnya animo masyarakat Indonesia, terutama wilayah Jawa Timur, telah melabeli musik
dangdut adalah sebagai musik orang Indonesia.14

12

http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Indonesia diakses pada Senin, 21 April 2015.

13

Edy Sedyawati, Kebudayaan Nusantara: Dari Keris Tor-tor sampai Industri Budaya (Depok:
Komunitas Bambu, 2014)
14
Hal ini terlihat dalam sebuah kompetisi menyanyi dangdut di salah satu stasiun televisi swasta dimana
sang pemenang akan diberikan hadiah berupa wisata sekaligus rekaman/membuat video klip dangdut di India
.
Makalah disampaikan dalam Seminar Kebangsaan. “Sejarah dan Kebudayaan Bangsa Sebagai Instrumen
Peningkatan Persatuan dan Kesatuan Bangsa”, Minggu, 26 Mei 2015 di STKIP PGRI Sidoarjo

Kontribusi Pendidikan Sejarah terhadap Bangsa
Keberadaan aneka jenis budaya di negeri yang maha kaya akan kebudayaan ini
menunjukkan bahwa Indonesia merupakan bangsa yang besar dan sangat relevan dengan
semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Namun keanekaragaman tersebut tentunya juga harus
didukung dengan adanya sumber sejarah sebagai upaya penelusuran jejak dan juga sekaligus
penjaga memori kolektif agar terus hidup dan dapat difahami serta dilestarikan oleh generasi
seterusnya terlebih lagi di dunia internasional dikenal hukum positif sehingga bukti tertulis
merupakan hal yang tak terbantahkan.
Sejarah sebagai ilmu humaniora memiliki peran yang sangat krusial dan bila boleh
diumpamakan bagaikan senjata pemusnah massal apabila disalahgunakan oleh pemiliknya.
Sebaliknya sejarah akan mampu menjadi sebuah kekuatan maha dahsyat bila mampu
memanfaatkannya sebagaimana slogan berbahasa Latin, historia magistra vitae (sejarah
adalah ilmu kehidupan).15 Sejarah tidak hanya sebuah ilmu yang mempelajari masa lampau
belaka karena di dalam sejarah terkandung sebuah hukum “challange and respons” –
meminjam istilah Arnold Toybee- dimana terkandung hukum sebab-akibat. Apa yang terjadi
hari ini tidak dapat dilepaskan dari apa yang telah terjadi di masa lampau dan apa yang akan
terjadi di masa mendatang tidak terlepas dari apa yang tengah terjadi saat ini sehingga kita
sebagai pelaku sejarah memahami bagaimana kesinambungan yang terjadi. Sejarah memang
tidak mampu menghadirkan masa lampau dengan berbagai kebenaran absolut karena
telah terpisahkan oleh ruang dan waktu, namun sejarah mampu merekonstruksi
mozaik masa lampau sehingga menghasilkan sebuah realitas kebenaran relatif melalui
metode dan pendekatan multidimensional. Seluruh peristiwa sejarah yang telah terjadi
maupun yang akan terjadi di dunia ini akan dapat difahami dan diprediksi dengan
mengedepankan konsep tersebut (verstehen).
Tanpa adanya pemahaman sejarah yang memadai akan berimplikasi terhadap
munculnya gerakan atau pandangan yang bersifat chauvinime, radikalisme, atau pun
separatisme. Disinilah pentingnya peran sejarah, terutama bagi kalangan pendidik.yang
merupakan corong dari transfer ilmu, nilai, dan karakter terhadap peserta didik. Meraka
merupakan kalangan yang berinteraksi langsung dengan peserta didik. Filosofi “ing ngarso
sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”, sebagai pedoman guru yang

artinya: “di depan memberi teladan, di tengah menyemangati, dan mengiringi dari belakang
sambil memberi kekuatan”.
15
Budiawan ”Membaca Beragam (Sifat) Sejarah: Sebuah Pengantar” dalam Bernard Lewis, Sejarah
Diingat, Ditemukan Kembali, Ditemu-ciptakan (Ombak: Yogyakarta, 2009) hlm. vi-xii

Makalah disampaikan dalam Seminar Kebangsaan. “Sejarah dan Kebudayaan Bangsa Sebagai Instrumen
Peningkatan Persatuan dan Kesatuan Bangsa”, Minggu, 26 Mei 2015 di STKIP PGRI Sidoarjo

Seorang pendidik harus mampu menciptakan sistem belajar dan mengajar yang
berkarakter namun menarik minat peserta didik dalam kontek pembentukan nasionalisme,
antara lain dengan cara: pertama, menetapkan sejumlah pokok substansi bahan ajar yang
relevan dengan tujuan “memperkuat bangsa”, kedua , menetapkan metode penyampaian dan
porsi substansi yang sesuai dengan jalur dan jenjang yang diberikan, ketiga , pencarian
sumber informasi dengan tema yang sesuai, dan keempat, menyusun himpunan data ke dalam
kemasan yang kreatif dan inovatif.16
Pokok pembelajaran sejarah yang mampu menumbuhkembangkan kesadaran budaya,
kesadaran sejarah, dan nasionalisme adalah:
1. Sejarah Indonesia dilihat dari perkembangan berbagai subjek seperti: sosialpolitik, kebudayaan, teknologi, kesenian dll.
2. Sistem kebudayaan pada berbagai satuan sosial
3. Tantangan-tantangan pembangunan bangsa dan negara di masa yang akan
datang
4. Penerapan nilai dari suatu proses sejarah sebagai implemetasi pembentukan
karakter bangsa
Capaian dari penerapan dari pembelajaran tersebut adalah bagaimana siswa mampu
dibekali secara kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pendekatan kognitif adalah bagaimana
siswa mampu berfikir kritis dan mengasah intelektual terhadap pemahaman perjalanan
sejarah bangsa Indonesia dari masa prasejarah hingga saat ini, afektif agar siswa mampu
memliki rasa, emosi, sistem nilai, dan sikap dalam sejarah, dan psikomotirik agar siswa
mampu memiliki visi pandangan hidup yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Diharapakan para peserta didik tersebut dapat menjadi agen perubahan (agent of change) dan
virus positif di masyarakat, terutama terkait dengan bagaimana upaya pelestarian situs dan
artefak bersejarah. Meraka dapat menjadi agen yang mengedukasi dalam proses gerakan cinta
sejarah untuk memasyarakatkan sejarah sehingga masyarakat menyadari bahwa sejarah
merupakan bagian dari hidup manusia.

16
Lihat, Yudi Prasetyo, “Metode Pembelajaran Kratif Inovatif bagi Siswa”, makalah dipresentasikan
dalam seminar “Menelusuri Jejak Perkembangan Islam di Nusantara” tanggal 23-25 Maret 2015, Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur.

Makalah disampaikan dalam Seminar Kebangsaan. “Sejarah dan Kebudayaan Bangsa Sebagai Instrumen
Peningkatan Persatuan dan Kesatuan Bangsa”, Minggu, 26 Mei 2015 di STKIP PGRI Sidoarjo

Simpulan (dan harapan)
Pepatah “tak keneral maka tak sayang” bila dikorelasikan dengan pandangan siswa atau
masyarakat berbanding lurus dengan realitas kekinian. Perasaan acuh tak acuh atau
ketidaktahuan inilah yang menstimulus dan mengakumulasi ketidakhadiran rasa sense of
belonging (rasa memiliki). Sejarah bagaikan dianaktirikan dibanding ilmu-ilmu lain yang

dianggap lebih populer dan menjamin masa depan, seperti kedokteran, hukum, ekonomi,
teknik, atau ilmu pengetahuan alam. Sejarah sebagai rumpun ilmu sosial humaniora kurang
mendapat tempat dalam perpektif khalayak. Ironis ketika sebuah kebudayaan kita diambil
atau diklaim pihak luar, sebagai contoh klaim Malaysia terhadap tari Pendet Bali, Reog
Ponorogo, dan tempe, masyarakat hanya bersikap ‘merengek’ dan mencari dukungan dari
kalangan ahli sejarah / pendidik sejarah sehingga terkesan dibutuhkan ketika terjadi
kontroversi.
Soekarno telah mengingatkan kita generasi muda dengan tagline Jas merah, jangan
sekali-sekali meninggalkan sejarah karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai
sejarah bangsanya. Kehidupan negara Islandia di masa silam merupakan salah satu negara
termiskin di dunia namun sekarang mereka mampu menjadi negara dengan tingkat pendapat
per kapita tertinggi di Eropa. Dengan adanya visi dan misi yang sama tentang sejarah maka
tidak mustahil bangsa Indonesia akan mencapai milestone (capaian) yang gemilang di masa
mendatang agar mendapat kehidupan yang lebih baik. Sudah saatnya kita memulai dari diri
sendiri untuk kemudian terbiasa melakukan hal yang luar biasa sehingga karya monumental
ber-sejarah kita dapat dinikmati oleh generasi penerus yang akan datang. Tentu kita tidak ini
mengalami kehilangan jejak sejarah nenek moyang kita sebagaimana bangsa Aborigin yang
hanya menjadi figuran dalam sejarah nasional Australia. Apabila ini dibiarkan maka apa yang
dikatakan oleh Collapse oleh Diamond Jared niscaya hanya tinggal menunggu waktu....

Sekian & Terima Kasih
Viva Historia

Makalah disampaikan dalam Seminar Kebangsaan. “Sejarah dan Kebudayaan Bangsa Sebagai Instrumen
Peningkatan Persatuan dan Kesatuan Bangsa”, Minggu, 26 Mei 2015 di STKIP PGRI Sidoarjo

DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, Harsja W. dkk. Raden Saleh, Anak Belanda, Mooi Indië, dan Nasionalisme. Depok:
Komunitas Bambu, 2009.
Coedes, George dkk (eds.), Kedatuan Sriwijaya: Kajian Sumber Prasasti dan Arkeologi.
Komunitas Bambu: Depok, 2014.
Diamond, Jared.Collapse: Runtuhnya Peradaban Dunia , Gramedia: Jakarta, 2014.
Furnivall,J.S. Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk, terj. Samsudin Berlian.
Jakarta: Freedom Institute, 2009.
Grosby, Steven. Sejarah Nasionalisme: Asal-usul Bangsa dan Tanah Air . Pustaka Pelajar:
Yogyakarta, 2011.
Koetjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta: Jakarta.
Lewis, Bernard. Sejarah Diingat, Ditemukan Kembali, Ditemu-ciptakan. Ombak:
Yogyakarta, 2009.
Rahardjo, Supratikno. Peradaban Jawa: Dari Mataram Kuna sampai Majapahit Akhir .
Komunitas Bambu: Depok, 2011.
Santos, Arysio. Atlantis The Lost Continent Finally Found. Ufuk Press: Jakarta: 2010.
Sedyawati, Edy. Kebudayaan Nusantara: Dari Keris Tor-tor sampai Industri Budaya .
Depok: Komunitas Bambu, 2014.
Soekarno. “Kebudayaan (Jaman) Jenggala”, makalah dipresentasikan pada seminar
“Mengungkap Potensi Tinggalan Jenggala dalam Rangka Menelusuri Hari Jadi
Sidoarjo”, Kamis, 23 April 2015 di UPT Museum Mpu Tantular Sidoarjo
Thompson, Paul. Suara dari Masa Silam Teori dan Metode Sejarah Lisan . Ombak:
Yogyakarta, 2012.
Yudi Prasetyo, “Metode Pembelajaran Kratif Inovatif bagi Siswa”, makalah dipresentasikan
dalam seminar “Menelusuri Jejak Perkembangan Islam di Nusantara” tanggal 23-25
Maret 2015, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur
Sumber internet:
http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Indonesia

Makalah disampaikan dalam Seminar Kebangsaan. “Sejarah dan Kebudayaan Bangsa Sebagai Instrumen
Peningkatan Persatuan dan Kesatuan Bangsa”, Minggu, 26 Mei 2015 di STKIP PGRI Sidoarjo

Nama: Yudi Prasetyo, S.S., M. A.
NIDN: 0719058403
TTL: Surabaya, 19 Mei 1984
Status: Dosen tetap, belum menikah
Agama: Islam
Alamat : Grand Rose Regency Blok A No. 26 Kemiri Sidoarjo
: Bumi Menteng Asri Blok AJ. No. 16 Bogor
CP
: 085 – 8787 – 60607
Email : prastyudi@yahoo.com
Facebook: https://www.facebook.com/buitenlander
Hobi : Penelitian, bersosialisasi, & wirausaha
Pendidikan
1991 – 1997: SD Gadjah Mada, Medan
1997 – 1999: SLTPN I, Palembang
1999 – 2000: SLTPN IV, Bogor
2000 – 2003: SMUN VI, Bogor
2003 – 2004: S-1 Sastra Jerman, Universitas Indonesia
2004 – 2008: S-1 Ilmu Sejarah UGM
2008 – 2011: S-2 Ilmu Sejarah UGM
2015 : Persiapan program S-3 dalam dan luar negeri
Jabatan
: Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo
Penghargaan dan Konsentrasi Studi
2008
: Cum laude S-1 Ilmu Sejarah UGM, IPK 3,60
2010
: Sertifikat internasional bahasa Belanda Katholike Universiteit, Leuven, Belgia
2011
: Cum laude S-2 Ilmu Sejarah UGM, IPK 3,78
2014
: Sertifikat mengajar mata kuliah Anti Korupsi dari KPK tk. Perguruan Tinggi
2014
: Menerima Hibah penelitian dosen Dikti
Konsenstrasi studi:
Sejarah Etnis Indonesia, bahasa Belanda, Sejarah Indonesia era kolonial, kajian budaya
Karya tulis:
“Meneer Baba: Gaya Hidup Elite Tionghoa Batavia 1900-1945”, Surakarta: Yuma Pustaka,
2013
Organisasi:
2012 - 2017
: Anggota PGRI Republik Indonesia
2013 - sekarang : Kabid. penelitian dan pengembangan APPS (Asosiasi Peneliti dan Pendidik
Sejarah)
2014 – sekarang: Anggota Asosiasi Program Studi Sejarah Indonesia (APSI)
2015 – sekarang: sekretatis Asosiai Program Studi Pendidikan Sejarah PGRI Se-Jatim

Makalah disampaikan dalam Seminar Kebangsaan. “Sejarah dan Kebudayaan Bangsa Sebagai Instrumen
Peningkatan Persatuan dan Kesatuan Bangsa”, Minggu, 26 Mei 2015 di STKIP PGRI Sidoarjo