Studi Kasus Dampak Kekerasan Seksual Pada Anak Di Kecamatan Batang Kuis Tahun 2016

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Situasi anak Indonesia masih dan terus memburuk karenamengalami
kekerasan dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Survei tahun 2009 di Provinsi
Nusa Tenggara Timur, Aceh, Papua dan Jawa Tengah proporsi anak yang mengalami
kekerasan dalam berbagai bentuk usia 10 sampai 18 tahun dilaporkan sangat tinggi.
Tahun 2015 data kekerasan seksual pada anak di Kabupaten Deli Serdang yang
tercatat pada Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2)
sebanyak 97 kasus yaitu pencabulan sebanyak 56 kasus, pemerkosaan 8 kasus,
kekerasan terhadap anak 30 kasus, penelantaran 1 kasus, trafiking 2 kasus,
melaporkan ke Polres Deli Serdang sebanyak 83 korban, 12 korban berada di
Kecamatan Batang Kuis. Sedangkan berdasarkan hasil survei Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) tahun 2012 di 9 Propinsi terhadap lebih dari 1000 orang
siswa siswi, baik dari tingkat Sekolah Dasar/MI, SMP/Mts, maupun SMA/M,
menunjukkan 87,6% siswa mengaku mengalami tindak kekerasan. Baik kekerasan
fisik maupun psikis, seperti dijewer, dipukul, dibentak, dihina, diberi stigma negative
sehingga dilukai dengan benda tajam. Sebaliknya 78,3 persen anak juga mengaku
pernah melakukan tindak kekerasan dari bentuk ringan sampai yang berat. Tahun
2014 terjadi 6006 kasus, sebanyak 3160 kasus kekerasan terhadap anak terkait

pengasuhan, 1764 kasus terkait pendidikan, 1366 kasus terkait kesehatan dan

Universitas Sumatera Utara

NAPZA, 1032 kasus disebabkan oleh cyber crime dan pornografi dan rata-rata 45
anak mengalami kekerasan seksual setiap bulannya di tahun 2015.
Studi kekerasan anak di Tanzania yang dirilis oleh UNICEF tahun 2011
dalam penelitian Kartika (2015), mengungkapkan bahwa satu dari tiga anak-anak
perempuan dan satu dari tujuh anak laki-laki di Tanzania mengalami kekerasan
seksual sebelum usia delapan belas tahun. Selain itu, tingkat kekerasan fisik yang
cukup tinggi, hampir tiga dari empat anak laki-laki dan anak-anak perempuan
mengalami kekerasan fisik seperti dicambuk pada masa kanak-kanak, sementara
seperempat dari semua anak-anak secara emosional telah dilecehkan. Sebagian besar
dari mereka tidak melaporkan apa yang mereka alami, sebagiannya lagi sudah
meminta pertolongan dan mendapatkan perawatan serta pengobatan. Penelitian
Waladeri (2014) sepanjang tahun 2012 sampai 2013 program kerja UNICEF dan
mitra di Republik Afrika Tengah mencakup, 1.500 anak-anak dibebaskan dari
angkatan bersenjata dan kelompok-kelompok dan 80 persen yang diintegrasikan
dengan keluarga mereka, 2.000 perempuan dan anak perempuan yang diidentifikasi
sebagai korban kekerasan seksual memiliki akses ke dukungan holistik, 3.200

pengungsi dan anak-anak berpartisipasi dalam kegiatan rekreasi dan pendidikan di
ruang ramah anak.
Anak menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap kekerasan seksual
karena anak selalu diposisikan sebagai sosok lemah atau yang tidak berdaya dan
memiliki ketergantungan yang tinggi dengan orang-orang dewasa di sekitarnya. Hal
inilah yang membuat anak tidak berdaya saat diancam untuk tidak memberitahukan

Universitas Sumatera Utara

apa yang dialaminya. Hampir dari setiap kasus yang diungkap, pelakunya adalah
orang yang dekat korban.Tak sedikit pula pelakunya adalah orang yang memiliki
dominasi atas korban, seperti orang tua dan guru.Tidak ada satupun karakteristik
khusus atau tipe kepribadian yang dapat diidentifikasi dari seorang pelaku kekerasan
seksual terhadap anak. Dengan kata lain, siapa pun dapat menjadi pelaku kekerasan
seksual terhadap anak atau pedofilia. Kemampuan pelaku menguasai korban, baik
dengan tipu daya maupun ancaman dan kekerasan, menyebabkan kejahatan ini sulit
dihindari.Dari seluruh kasus kekerasan seksual pada anak baru terungkap setelah
peristiwa itu terjadi, dan tak sedikit yang berdampak fatal (Noviana, 2015).
Permasalahan kekerasan terhadap anak semakin mengemuka di Indonesia
setelah media menayangkan berbagai berita mengenai kasus kekerasan seksual

terhadap anak dibawah umur.Kekerasan seksual dari tahun ke tahun mengalami
peningkatandan menjadi fenomena gunung es, hal ini disebabkan kebanyakan anak
yang menjadi korban kekerasan seksual enggan melapor.Peningkatan tersebut tidak
hanya dari segi kuantitas atau jumlah kasus yang terjadi, bahkan juga dari kualitas.
Dan yang lebih tragis lagi pelakunya adalah kebanyakan dari lingkungan keluarga
atau lingkungan sekitar anak itu berada, antara lain di dalam rumahnya sendiri,
sekolah, lembaga pendidikan, dan lingkungan sosial anak.
Di Indonesia sendiri, diakui atau tidak, selama ini kontruksi sosial sering
menempatkan perempuan pada kedudukan yang kurang menguntungkan di
masyarakat.Sejak kecil perempuan dianggap sebagai orang “nomor dua”, berada pada
posisi sub-ordinat, inferior, sedangkan laki-laki berada pada posisi yang lebih

Universitas Sumatera Utara

superior.Meski di sebagian masyarakat mungkin tidak secara eksplisit dinyatakan,
tetapi sejumlah indikasi memperlihatkan bahwa dalam banyak hal memang posisi
kaum lelaki cenderung ditempatkan lebih berkuasa, berhak memimpin, dan bahkan
berhak untuk meguasai lawan jenisnya.Dalam konteks hubungan atau relasi sosial
yang tidak seimbang seperti inilah, kaum perempuan akhirnya sering diperlakukan
tidak senonoh, kurang menguntungkan bahkan merugikan perempuan secara fisik

maupun mental.Bentuk perlakuan yang merugikan perempuan ini sangat banyak
bentuk dan jenisnya, diantaranya adalah pelecehan dan tindak kekerasan seksual
terhadap perempuan.Salah satunya praktik seks yang dinilai menyimpang adalah
bentuk kekerasan seksual pada anak, artinya praktik hubungan seksual yang
dilakukan dengan cara-cara kekerasan, bertentangan dengan ajaran agama serta
melanggar hukum yang berlaku.Kekerasan ditunjukkan untuk membuktikan bahwa
pelakunya memiliki kekuatan baik fisik maupun non fisik kepada anak (Suyanto,
2010).
Setiap anak memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar yang menuntut untuk
dipenuhi sehingga anak tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar.Kebutuhan
dasar yang sangat penting bagi anak adalah adanya hubungan orangtua dan anak yang
sehat dimana kebutuhan anak, seperti perhatian dan kasih sayang yang kontinu,
perlindungan,

dorongan,

dan

pemeliharaan


yang

harus

dipenuhi

oleh

orangtua.Kebutuhan umum anak adalah perlindungan (keamanan), kasih sayang,
pendekatan/perhatian dan kesempatan untuk terlibat dalam pengalaman positif yang

Universitas Sumatera Utara

dapat menumbuhkan dan mengembangkan kehidupan mental yang sehat (Ghufran,
2015).
Kekerasan menurut Undang undang Nomor 23 Tahun 2002 adalah setiap
perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum. United Nations Children’s Fund (UNICEF) mendefenisikan kekerasan

seksual adalah setiap tindakan seksual yang dilakukan terhadap seseorang termasuk
melakukan tindakan pemerkosaan, melakukan kontak seksual yang tidak diinginkan,
mengancam kekerasan seksual, pelecehan seksual secara verbal.
Kementerian

Pemberdayaan

Perempuan

dan

Perlindungan

Anak

(Kemenpppa) menyatakan Dampak kekerasan seksual terhadap anak meliput
perubahan bentuk fisik yang ada baik berupa lebam-lebam pada permukaan kulit,
benjol-benjol, luka, patah tulang sehingga berdampak pada cacat, kehilangan fungsi
tubuh atau indra, kerusakan pada organ reproduksi anak, dampak psikologis anak
menjadi takut dan tidak percaya diri dalam menatap masa depannya. Dampak lebih

lanjut dari kekerasan seksual terhadap anak adalah tidak dapatnya menikmati
kehidupan seksualnya ketika anak memasuki jenjang perkawinan. Hal ini
mendatangkan trauma yang sangat mendalam bagi anak sehingga anak yang
mengalami kekerasan seksual ini banyak mengalami depresi, tidak percaya diri
karena hilangnya kesucian diri, rasa takut yang berkepanjangan, gangguan emosional,
kecemasan akan masa depan serta ada yang berdampak ingin mengakhiri hidup

Universitas Sumatera Utara

karena merasa sia-sia dan tidak punya harapan masa depan. Dampak sosial anak yang
mengalami kekerasan cenderung berprilaku menyimpang, anak dapat menutup diri
dari pergaulan dan tidak memiliki kecerdasan interpersonal dan intrapersonal.
Menurut Myers, 1999 dalam (Puspitawati, 2011) kekerasan menyatakan luka fisik
ataupun luka psikis yang dialami anak korban kekerasan membawa dampak terhadap
kesejahteraan anak sebagai seorang individu. Hal ini terjadi karena kesejahteraan
seseorang di pengaruhi oleh dirinya sendiri seperti harga diri, pengendalian diri, sifat
ekstovert, optimisme, hubungan positif, keintiman emosional, kontak sosial,
pemahaman tentang arti dan tujuan, dan jadi penyelesaian konflik dalam diri. Dalam
penelitan Bahri (2015) dalam kasus kekerasan seksual ini, satu hal yang perlu
diketahui, bukan berapa tahun hukuman pelaku melainkan seberapa dalam luka psikis

yang dialami korban dan betapa sulitnya bagi korban untuk dapat pulih, berdamai
dengan dengan masa lalu. Sebab trauma psikis tidak sama dengan luka fisik yang
waktu penyembuhan relatif cepat. Luka psikis ataupun trauma psikis adalah luka
yang tidak tampak, menyembuhkan luka trauma pada korban pelecehan seksual tidak
mudah tentu dibutuhkan usaha yang keras dan waktu yang tidak dapat ditentukan
untuk pemulihannya.Bisa saja upaya pemulihan korban membutuhkan waktu
bertahun-tahun, atau bahkan seumur hidup untuk dapat berdamai dengan dirinya
sendiri dan masa lalunya, serta upaya untuk menyembuhkan trauma dan gangguangangguan lain yang dialaminya.
Sesungguhnya Negara dan Pemerintah telah mengembangkan kebijakan,
program dan kegiatan-kegiatan sebagai langkah-langkah untuk memberikan

Universitas Sumatera Utara

perlindungan terhadap anak dari tindak kekerasan.Pada tahun

1974, Indonesia

menerbitkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Kesejahteraan Sosial
Anak. Pada tahun 1989, Indonesia merativikasi Konveansi Hak Anak (KHA) dan
pada tahun 2002 diterbitkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak. Peraturan perundang-undangan tersebut menggambarkan bahwa
negara dan pemerintah Indonesia sejak 40 tahun silam sudah memberikan respon
terhadap persoalan kekerasan terhadap anak (Suradi, 2013).
Pemerintah Indonesia telah menyatakan komitmennya terhadap deklarasi
AWorld Fit for Children (WFC) dalam 27 th United Nations General Assembly
Special Session on Children pada tahun 2002. Terdapat 4 bidang pokok yang
mendapat perhatian khusus dalam deklarasi WFC yaitu promosi hidup sehat
(promoting healthy lives), penyediaan pendidikan yang berkualitas (providing quality
education), perlindungan terhadap perlakuan salah (abuse), eksploitasi dan kekerasan
(protecting against abuse, exploitation and violence) dan penanggulangan HIV/AIDS
(combating HIV/AIDS). Pelaksanaan program ini merupakan Program Nasional Bagi
Anak Indonesia (PNBAI) sampai dengan tahun 2015 (Paramasatri, 2010)
Negara juga menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak
asasi anak yang di tandai dengan adanya jaminan perlindungan dan pemenuhan hak
anak dalam Undang undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
konvensi Hak anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang
Pengesahan Convention On The Rights Of The Child. Undang undang ini
mengantisipasi terjadinya bentuk-bentuk kejahatan terhadap anak yang kelak

Universitas Sumatera Utara


akanmembahayakan kelangsungan tumbuh kembang anak seperti anak korban
kekerasan, anak korban terorisme, anak dengan perilaku menyimpang, dan anak
korban stigmatisasi/labelisasi orang tua (UU Perlindungan Anak, 2015).
Pasal 4 Undang undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak
disebutkan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta
mendapat pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Namun, kenyataannya setiap
tahun jumlah kasus kejahatan seksual terus meningkat.Lemahnya penegakan hukum
atas kejahatan seksual menyebabkan tidak ada efek jera bagi pelaku.Akibatnya, ada
kemungkinan pelaku kembali melakukan aksinya (Wahyuni, 2014).

1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah “bagaimana dampak kekerasan seksual pada anak di Kecamatan Batang
Kuis 2016”.

1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengungkap dampak yang terjadi pada anak korban kekerasan seksual
di Kecamatan Batang Kuis Tahun 2016.


Universitas Sumatera Utara

1.4 Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya konsep atau teori yang
menyokong perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya tentang dampak
yang terjadi pada anak korban kekerasan seksual, khususnya dampak
kesehatan reproduksi.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi bagi
responden sehingga mengetahui dampak yang terjadi pada kekerasan seksual
yang pernah dialaminya.
3. Memberi sumbangan informasi kepada keluarga atau lingkungan sekitar
korban agar dapat memberikan dukungan yang positif dan pemulihan hingga
anak mampu mengatasi trauma akibat kekerasan seksual.
4. Memberi informasi bagi Polres Deli Serdang tentang dampak dari kekerasan
seksual sehigga ada pendampingan bagi korban untuk menghilangkan dampak
yang terjadi.

Universitas Sumatera Utara