Uji Infeksi Phaeophleospora Sp. Pada Klon Hibrid Eucalyptus Grandis X Eucalyptus Urophylla Di PT. Toba Pulp Lestari, Tbk Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara Chapter III V

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. Kabupaten Toba
Samosir, Sumatera Utara dan di Laboratorium Research and Development PT.
Toba Pulp Lestari, Porsea. Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2015 sampai
Februari 2016.
Bahan dan Alat
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah klon turunan Eucalyptus
grandis x Eucalyptus urophylla yang berpenyakit dan yang sehat di PT. Toba Pulp
Lestari, Tbk, alkohol 70%, air steril, spritus, tisu dan kapas, serta PDA (Potato
Dextrose Agar), Aquadest, Top Soil, Alumunium foil, Kertas label,
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah kaca pembesar, plastik
sampel, sarung tangan, masker pernafasan, mikroskop, cawan petridish, labu
erlenmeyer, pinset, spatula, jarum ose, timbangan analitik, oven dan autoklaf,
kaca preparat, plastik wrap, kamera, polybag ukuran 40x15cm, gunting, sungkup
plastik, alat tulis, hand sprayer, kain kasa, Laminar air flow, kalkulator, kotak tray.
Prosedur Penelitian
Tahapan prosedur penelitian adalah:

a. Pengambilan sampel tanaman yang sakit dan yang sehat
Tanaman Eucalyptus sp. yang sakit atau yang bergejala digunakan sebagai
bahan isolasi untuk mencari patogen Phaeophleospora sp., sedangkan
tanaman Eucalyptus sp. yang sehat atau yang tidak bergejala digunakan

Universitas Sumatera Utara

sebagai bahan pengamatan setelah Patogen Phaeophleospora sp. Diperoleh
dan disemprotkan ke tanaman. Bibit yang digunakan adalah bibit hasil
persilangan Eucalyptus grandis x Eucalyptus Urophylla. Banyak bibit jenis
yang digunakan sebanyak tiga klon yakni IND 68, 69 73. Masing-masing klon
sebanyak sepuluh ulangan, dengan umur setiap bibit yakni dua bulan.
b. Isolasi Patogen
Tanaman yang sakit atau yang bergejala dibersihkan dengan menggunakan
alcohol 70%, setelah dibersihkan diambil dengan menggunakan pinset dan
dikeringkan lalu dipotong-potong dengan ukuran 1x1 cm, kemudian diisolasi
ke dalam cawan petri dengan media PDA (Potato Dextrose Agar). Setelah 3
hari dilakukan kembali pengisolasian tetapi isolasi yang dilakukan adalah
isolasi biakan murni dengan ketentuan tidak mengalami kontaminasi lagi.
Setelah 14 hari dan tidak terjadi kontaminasi maka dapat dilakukan

identifikasi fungi dengan menggunakan mikroskop.
c. Pengamatan Patogen
Jamur yang telah berumur 14 hari diambil dengan dipotong dan diambil
dengan pinset yang steril. Dimasukkan ke dalam cawan petri kemudian
diletakkan di atas kaca preparat dan ditutupi dengan kaca objek lalu
dimasukkan ke dalam kotak tray. Setelah 4 hari dapat diamati di bawah
mikroskop dengan perbesaran 40x.
d. Pembuatan inokulum
Biakan yang telah murni (berumur 14 hari) diambil lalu dimasukkan ke dalam
cawan petri yang telah diisi aquades sebanyak 10 ml dan kemudian dikikis
dengan menggunakan pengait, bagian atas biakan dikikis tanpa mengenai

Universitas Sumatera Utara

medianya. Setelah semua bagian permukaan terkikis lalu disaring dengan
menggunakan kain kassa. Hal ini dilakukan sebanyak 30 kali sesuai dengan
jumlah tanaman yang ada setelah selesai dimasukkan ke dalam tabung reaksi
dan diberi label.
e. Pelaksanaan inokulasi
Sebelum inokulasi dilakukan, bibit tanaman sehat dipindahkan ke dalam

polybag yang telah diisi top soil lalu dipindahkan ke dalam rumah kaca.
Tanaman dipelihara selama satu minggu untuk penyesuaian di rumah kaca.
Inokulasi dilakukan dengan metode penyemprotan inokulum (campuran 10 ml
aquades dengan spora Phaeophleospora sp.) ke tanaman. Setiap tanaman
disemprotkan sebanyak 10ml inokulan/tanaman dengan kerapata spora
5x104cfu/ml. Inokulasi dilakukan menggunakan hand sprayer dan dilakukan
secara bergantian terhadap tanaman. Setelah penyemprotan inokulum, tiap
tanaman lalu disungkup dengan menggunakan sungkup plastik selama 1 x 24
jam. Keesokan harinya sungkup dibuka dan dimulai pengamatan gejala yang
muncul

pada

daun

tanaman.

Pengamatan

terhadap


infeksi

fungi

Phaeophleospora pada tanaman Eucalyptus spp. dilakukan selama 42 hari
dengan selang pengamatan enam kali.
f. Uji Infeksi.
Dilakukan untuk mengetahui intensitas serangan dan luas serangan
Phaeophleospora sp. terhadap tanaman Eucalyptus sp. Agrios (1996)
mengungkapkan intensitas serangan/keparahan penyakit (KpP) didefinisikan
sebagai persentase luasnya jaringan tanaman yang terserang patogen dari total
luasan yang diamati. Luas serangan/keterjadian penyakit (KjP) merupakan

Universitas Sumatera Utara

persentase jumlah tanaman yang terserang patogen (n) dari total tanaman yang
diamati (N).
Parameter pengamatan
Parameter yang diamati adalah:

a. Intensitas Serangan
Parameter yang diamati adalah perubahan yang dialami oleh daun setelah
inokulasi. Pengamatan dilakukan terhadap lima daun teratas. Daun yang
diamati diberi tanda dan disesuaikan dengan skala bercak daun (0-5). Skala
bercak terdiri dari:
Skala 0: tidak ada bercak pada daun
Skala 1: terdapat bercak daun 1/16 bagian
Skala 2: terdapat bercak daun 1/8 bagian
Skala 3: terdapat bercak daun 1/4 bagian
Skala 4: terdapat bercak daun 1/2 bagian
Skala 5: terdapat bercak daun pada seluruh bagian permukaan daun
Menurut Sinaga (2003) Nilai intensitas serangan dapat ditentukan dengan
rumus:
IS =

x 100%

Keterangan:
IS : Intensitas serangan
n


: Jumlah daun yang terserang Phaeophleospora pada skala ke-i

(n=1,2,3…i)

Universitas Sumatera Utara

v

: Nilai dari skala pada daun yang terserang Phaeophleospora ke-i
(v=1,2,3,4,5)

N : Jumlah total daun setiap tanaman
Z : Skala tertinggi
Tabel 1. Penilaian tingkat intensitas dan luas serangan penyakit dan reaksi tanaman

No

Nilai Intensitas dan Luas Serangan (%)


Kategori Reaksi Tanaman

1

0%

Imun

2

1 % - 25 %

Resisten (R)

3

26 % - 50 %

Agak Resisten (AR)


4

51 % - 75 %

Agak Rentan (Ar)

5

76 % - 100 %

Rentan (r)

b. Luas Serangan
Luas serangan ditentukan dengan cara menghitung jumlah tanaman yang
terserang Phaeophleospora kemudian membaginya dengan jumlah tanaman
yang diamati. Menurut Sinaga (2003). Adapun luas serangan penyakit
ditentukan dengan rumus:
A=

x 100 %


Keterangan:
A : Luas serangan
n

: Jumlah tanaman yang terserang Phaeophleospora sp.

N : Jumlah seluruh tanaman yang diamati.

Universitas Sumatera Utara

Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini menggunakan
model rancangan acak lengkap (RAL) non faktorial dengan model linier sebagai
berikut:
Y ij = μ + τi + εij

Keterangan:
Y ij


= pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

μ

= rataan umum

τi

= pengaruh perlakuan ke-i

εij

= pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

i

= perlakuan ke-i (1,2,3)

j


= ulangan ke-j (1,2,3...,10)

Universitas Sumatera Utara

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Isolasi dan Identifikasi Phaeophleospora sp
Isolasi daun yang terserang penyakit dilakukan di laboratorium Research
and Development PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. Hasil isolasi diperoleh berupa
biakan murni Phaeophleospora sp. Tampilan makroskopis Phaeophleospora sp.
disajikan pada Gambar 1.

A
B
Gambar 1. Hasil isolasi biakan murni Phaeophleospora pada media PDA di Laboratorium
R&D PT. Toba Pulp Lestari Tbk. A. Tampak Depan, B. Tampak Belakang

Biakan murni fungi Phaeophleospora sp. memiliki penampilan berwarna
merah muda (pink), pertumbuhannya lambat, teksturnya seperti berbulu putih dan
tebal, serta penyebarannya merata ke segala arah. Ciri-ciri biakan murni ini sesuai
dengan salah satu jenis fungi Phaeophleospora sp. yang dikemukakan oleh
Burgess (2004) bahwa patogen Phaeopleospora berwarna kemerahmudaan,
pertumbuhannya lambat, dan agak lembut. Biakan murni fungi Phaeophleospora
juga memiliki serabut-serabut yang panjang dan tipis. Selain pengamatan
makroskopis, dilakukan juga pengamatan mikroskopis terhadap biakan murni.
Pengamatan mikroskopis dilakukan untuk memastikan apakah biakan murni yang
kita dapat memang benar jenis Phaeophleospora sp. yang kita inginkan. Hasil
Pengamatan dapat dilihat pada Tabel 2.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2. Hasil Pengamatan Mikroskopis Phaeophleospora sp
No

Keterangan

1.

Spora

Karakteristik Mikroskopis
biakan murni

Karakteristik
Mikroskopis
Phaeophleospora
sp*

*Sumber: First Report of Phaeophleospora destructans in China (Burgess, 2004)

Hasil pengamatan mikroskopis pada biakan murni Phaeophleospora sp.
menunjukkan bahwa sporanya berbatang panjang, bersepta dua, dan tampilannya
tipis. Hal ini dipertegas dengan pernyataan Burgess (2004) tentang fungi
Phaeophleospora, bahwa spora Phaeophleospora berbentuk panjang dan tipis.

2. Gejala penyakit Phaeophleospora pada tanaman Eucalyptus
Bibit Eucalyptus yang digunakan sebagai sampel untuk uji infeksi
merupakan bibit hasil persilangan antara Eucalyptus grandis dengan Eucalyptus
urophylla. Bibit klon hibrid ini digunakan sebanyak tiga klon, yakni IND 68, IND
69, dan IND 73, serta berumur dua bulan, diulang sebanyak sepuluh kali. Pada
kenyataan dilapangan didapati bahwa banyak bibit yang terserang penyakit seperti
Cylindrocladium, Puccinia Psidii, Phaeophleospora, Mycosphaerella dll. Maka
untuk menghindari penyakit yang tersebar saya memilih bibit yang sehat untuk
digunakan sebagai sampel penelitian. Berikut adalah gambar tempat pembibitan di
PT. Toba Pulp Lestari, Tbk.

Universitas Sumatera Utara

A
B
C
Gambar 2. Tempat Pembibitan di PT. Toba Pulp Lestari A. Mother plant B. Mist house C.
Lapangan terbuka

A
B
Gambar 3. Tanaman Eucalyptus yang ada di PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. A. Tanaman yang sehat,
B. Tanaman yang terkena Phaeophleospora

Gejala awal yang ditunjukkan oleh penyakit ini adalah adanya bercak
kekuningan pada permukaan atas daun. Bercak ini menyebabkan hijau daun
memudar. Besar dan letak bercaknya berbeda-beda pada setiap daun. Pada awal
kemunculannya, tidak terdapat spora hitam pada permukaan bawah daun.
Tanaman sudah menunjukkan gejala pada pengamatan II setelah inokulasi. Gejala
lanjutan menunjukkan pada permukaan atas daun yang terdapat bercak
kekuningan kemudian muncul bercak kemerahan. Beberapa hari kemudian, pada
lokasi bercak kemerahan tersebut muncul spora hitam pada permukaan bawah
daun. Karakteristik lain dari gejala yang ditimbulkan oleh fungi Phaeophleospora
adalah munculnya awal gejala selalu dimulai dari daun yang paling bawah atau

Universitas Sumatera Utara

paling pangkal. Bila daun paling bawah sudah terjangkiti, biasanya setelah
beberapa hari akan diikuti oleh munculnya awal gejala pada daun di atasnya. Hal
yang sama sudah dipaparkan oleh Old (2003) apabila satu daun tanaman telah
terinfeksi patogen ini maka akan terjadi penularan penyakit pada daun yang
berdekatan hingga dapat mengakibatkan kematian bibit tanaman. Penularan sering
kali terlihat dimulai dari bagian pangkal bibit tanaman hingga mencapai daun
bagian ujung tanaman. Maka dari itu fungi ini tergolong sebagai patogen yang
agresif yang dapat menyebabkan gugurnya daun pada usia muda.
Tabel 3. Variasi Gejala Serangan Penyakit Pheophleospora sp
No.

Klon

Masa Inkubasi

1.

IND 68

8-11 Hari

2.

IND 69

8-12 Hari

3.

IND 73

8-11 Hari

Teori

patogen

Variasi Gejala Serangan
Timbulnya bercak kekuningan pada permukaan
daun dan kemudian berubah menjadi bercak merah.
Timbulnya bercak kekuningan pada permukaan
daun dan semakin berkembang.
Timbulnya bercak kekuningan pada permukaan
daun dan meluas.

menyatakan

bahwa

infeksi

suatu

patogen

akan

menimbulkan reaksi atau gejala yang berbeda pada tanaman yang berbeda. Hasil
pengamatan dirumah kaca, Gejala awal yang ditunjukkan oleh serangan
Phaeophleospora sp. pada IND 68, IND 69, dan IND 73 adalah adanya bercak
kekuningan pada daun. Munculnya gejala awal lumayan cepat, yakni 11-12 hari
setelah penyemprotan inokulum. Perbedaan kecepatan atau lama waktu
terserangnya masing-masing klon menunjukkan adanya variasi gejala yang
timbul. Kemampuan setiap klon tidak sama dalam hal interaksi antara tanaman
dan penyakit yang diinfeksikan. Klon IND 68 dan klon IND 73 menunjukkan
gejala serangan yang lebih cepat dibandingkan dengan klon IND 69, meskipun
demikian ketiga klon ini merupakan jenis yang resisten terhadap serangan

Universitas Sumatera Utara

penyakit Phaeophleospora sp. Hal ini menunjukkan bahwa pada tanaman jenis
yang sama (tetapi jenis klon yang berbeda), gejala yang muncul adalah sama dan
temuan ini berbeda dengan teori patogen.

3. Perkembangan Gejala Phaeophleospora sp
Bibit Eukaliptus yang digunakan untuk uji infeksi Phaeophleospora sp.
adalah bibit berumur 2 bulan hasil persilangan antara E. grandis x E. urophylla
sebanyak 3 klon yaitu IND 68, IND 69 dan IND 73 dengan sepuluh ulangan
untuk masing-masing klonnya. Pengamatan dilakukan selama enam minggu.
Gejala yang ditunjukkan oleh serangan Cylindrocladium sp. pada IND 68 adalah
adanya bintik kekuningan pada permukaan daun
Tabel 4. Perkembangan Gejala Phaeophleospora IND 68

No
1

Gambar

Keterangan
Terlihat pada pengamatan pertama, daun yang
ada masih hijau dan terlihat sehat.

2

Pada pengamatan kedua, muncul bercak
kuning pada daun. Hal ini berlanjut pada
pengamatan ketiga dan semakin parah.

Universitas Sumatera Utara

3

Pengamatan keempat menunjukkan bahwa
bercak kuning telah berubah menjadi bercak
merah. Hal ini menunjukkan serangan infeksi
penyakit pada daun berhasil dan timbul spora
pada permukaan bawah daun.

Tabel 5. Perkembangan Gejala Phaeophleospora IND 69

No

Gambar

1

Keterangan
Tanaman sehat IND 69 diambil dari kloning
Eucalyptus sp dan selanjutnya diamati.

2

Pada pengamatan kedua, terlihat bercak
kekuningan pada daun.

3

Pada pengamatan ketiga dan seterusnya
bercak kekuningan berubah menjadi bercak
kemerahan dan dibawah daun terdapat spora
hitam.

Tabel 6. Perkembangan Gejala Phaeophleospora IND 73

No

Gambar

Keterangan

Universitas Sumatera Utara

1

Pengamatan

pertama

tanaman

belum

menunjukkan gejala penyakit.

2

Pada pengamatan kedua, bercak kekuningan
mulai

terlihat

yang

menandakan

inokulasi

berhasil.

3

Pada pengamatan ketiga dan seterusnya serangan
semakin parah dan timbul bercak kemerahan
serta spora pada bagian bawah daun.

4. Intensitas Serangan
Pengamatan terhadap infeksi fungi Phaeophleospora pada tanaman
Eucalyptus spp. dilakukan selama 42 hari dengan selang pengamatan enam kali.
Pengukuran intensitas serangan dilakukan dengan metode skala pada lima daun
teratas tiap ulangan percobaan. Daun yang diamati diberi tanda dan disesuaikan
dengan nilai skala (0-5). Hasil dari nili skala tersebut kemudian ditransformasikan
ke dalam rumus nilai intensitas serangan. Nilai intensitas serangan (IS) setiap
selang pengamatan dapat dilihat pada tabel 7 berikut:
Tabel 7. Rata-rata Intensitas Serangan Pengamatan I-VI
No

Klon

Intensitas Serangan (IS) (%)

Universitas Sumatera Utara

I

II

III

IV

V

VI

1

IND 68

0

4.4229

8.2228

15.5217

14.2191

12.4265

2

IND 69

0

3.909

12.6186

10.9963

7.282

6.146

3

IND 73

0

8.7496

13.958

17.2266

15.8329

14.0977

Gambar 4. Grafik Rata-rata Intensitas Serangan Pengamatan I-VI

Tanaman mulai menunjukkan gejala serangan pada 8-11 hari atau tepatnya
pada pengamatan minggu kedua. Tanaman yang menunjukkan respon yang cepat
adalah klon IND 73 dengan intensitas serangan mencapai 8,75% pada minggu
kedua. Sedangkan untuk dua klon yang lain masih menunjukkan respon dibawah
5%. Berlanjut ke pengamatan ketiga, respon yang ditunjukkan oleh IND 73 juga
meningkat, yakni sebesar 13,9%. Pada minggu keempat klon IND 73 juga
kembali naik yakni 17,2% namun pada pengamatan kelima intensitas serangan
turun menjadi 15,8% dan turun kembali menjadi 14% pada pengamatan keenam.
Pada klon IND 68 pengamatan minggu kedua terjadi kenaikan intensitas serangan
sebesar 4,4% pada minggu kedua lalu naik kembali menjadi 8,2% di pengamatan
ketiga dan 15,52% di pengamatan keempat dan disini adalah puncak intensitas
serangan IND 68. Tetapi berbeda halnya dengan IND 73 nilai intensitas serangan

Universitas Sumatera Utara

pada IND 68 turun pada minggu kelima dan keenam. Pada IND 69 intensitas
serangan yang dihitung pada pengamatan minggu kedua tidak cukup signifikan
yakni 3,9% tetapi pada minggu ketiga terjadi lonjakan tajam nilai intensitas
serangan menjadi 12,6% naik sekitar 9%. Namun pada pengamatan ketiga inilah
puncak dari nilai intensitas serangan IND 69. Pada pengamatan keempat sampai
keenam perlahan-lahan terjadi penurunan. Dapat dilihat dari grafik bahwa ketiga
klon memiliki ketahanan dan karakter yang berbeda, hal ini menunjukkan bahwa
perbedaan sifat setiap tanaman walaupun berasal dari genus yang sama. Tetapi
dari ketiga klon menunjukkan bahwa nilai intensitas serangan Phaeophleospora
sp. pada ketiga klon hibrid E. grandis x E. urophylla tidak melebihi 25%. Menurut
Sinaga (2003) nilai intensitas antara 0-25% dikategorikan resisten, sehingga dapat
dikatakan bahwa ketiga klon hibrid diatas resisten terhadap penyakit
Phaeophleospora sp. Ketiga klon (IND 68, IND 69, IND 73) mengalami
penurunan

intensitas

serangan

disebabkan

karena

patogen

penyakit

Phaeophleospora sp. tidak intens lagi menyerang tanaman, selain itu laju
pertumbuhan daun tiap minggunya juga mengurangi tingkat intensitas serangan
karena produksi senyawa antimikroba (senyawa fenol) pada daun.

5. Luas Serangan (%)
Luas Serangan ditentukan dengan cara menghitung jumlah tanaman dalam
klon yang terserang kemudian dibagi dengan jumlah keseluruhan tanaman tiap
klon. Setelah didapat data, kemudian dimasukkan kedalam rumus luas serangan.

Universitas Sumatera Utara

Pengamatan dilakukan setiap minggu sehingga diperoleh enam data. Nilai luas
serangan dapat dilihat pada tabel 8 berikut:
Tabel 8. Rata-rata Luas Serangan Pengamatan I-VI
No
1
2
3

Klon
IND 68
IND 69
IND 73

I
0
0
0

Luas Serangan (A) (%)
II
III
IV
V
40
90 100 100
30
70 80
100
80 100 100 100

VI
100
100
100

Gambar 5. Grafik Rata-rata Luas Serangan Pengamatan I-VI

Pengamatan dilakukan mulai dari minggu pertama hingga minggu keenam.
Tetapi seluruh tanaman baru terserang Phaeophleospora sp pada pengamatan
kedua. Seperti yang dapat kita lihat pada tabel dan grafik diatas bahwa yang
paling menunjukkan respon tercepat terhadap serangan penyakit yaitu klon 73,
karena pada pengamatan kedua klon tersebut sudah mencapai 80%

yang

kemudian pada pengamatan ketiga sampai dengan keenam mencapai 100%. Klon
kedua yang menunjukkan respon yang cepat adalah klon 68 yang pada
pengamatan kedua mencapai 40% kemudian mengalami kenaikan pada

Universitas Sumatera Utara

pengamatan ketiga hingga 90%. Kemudian pada pengamatan keempat sampai
dengan keenam klon 68 mencapai 100%. Sedangkan klon yang memiliki respon
paling lambat adalah klon 69. Pada pengamatan kedua luas serangan mencapai
30% selanjutnya naik menjadi 70% pada pengamatan ketiga. Kemudian pada
pengamatan keempat luas serangan kembali naik menjadi 80% lalu pada
pengamatan kelima dan keenam luas serangan mencapai 100%.

Universitas Sumatera Utara

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Gejala awal yang ditimbulkan oleh Pheophleospora sp pada ketiga klon
adalah adanya bercak kekuningan pada permukaan atas daun dan kemudian
berkembang. Gejala lanjutan berupa bercak daun berwarna kemerahan pada
permukaan atas daun dan adanya spora berwarna hitam pada bagian
permukaan bawah daun.
2. Ketiga klon ini mengalami variasi serangan yang berbeda yang diakibatkan
oleh penyakit Phaeophleospora sp dilihat dari masa inkubasi, perubahan
warna daun, dan perubahan bentuk daun.
3. Dilihat dari intensitas serangan dan luas serangan, ketiga klon masih
dikategorikan kedalam kategori resisten [R]
4. Terdapat perbedaan respon pada beberapa jenis klon turunan Eucalyptus
grandis x Eucalyptus Urophylla terhadap infeksi Phaeophleospora sp.
5. Terdapat variasi gejala yang disebabkan oleh Phaeophleospora pada ketiga
klon jenis Eucalyptus grandis x Eucalyptus Urophylla IND 68, 69, 73.
6. Terdapat perbedaan ketahanan ketiga klon jenis Eucalyptus grandis x
Eucalyptus Urophylla IND 68, 69, 73
Saran
Perlu dilakukan penelitian sejenis untuk mengetahui resistensi tanaman
eukaliptus klon yang lain terhadap serangan penyakit hawar daun.

Universitas Sumatera Utara