Pendidikan Politik dan Demokrasi Bangsa

Pendidikan Politik dan Demokrasi Bangsa
Demokrasi dan Politik Desentralisasi
Dosen Pengampu :
Dr. Nasiwan, M.Si

Disusun Oleh :
Siti Handayani
15416241042

Prodi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta
2017

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara Demokrasi yang menjunjung tinggi hak setiap warga
negaranya di depan hukum. Setiap 5 tahun sekali Indonesia mengadakan pesta demokrasi
atau pemilu, untuk memilih pemimpin baru. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
pertama kali dilaksanakan secara langsung pada tahun 2004. Diman amasyarakat Indonesia

dapat menggunakan hak pilihnya secara langsung, bebas dan jujur. Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Pusat yang menyelenggarakan dan mengantur pelaksanaan pemilu. Disisi
lain adanya politik desentralisasi namun hanya menyentuh birokrasi. Dapat kita lihat saat
pemilihan ada masalah seperti kekurangan surat suara maka harus menunggung dari pusat
padahal ada Komisi Pemilihan Umum tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota.
Untuk lebih lanjut akan di bahas dalam makalah ini.
B.
1.
2.
3.
C.
1.
2.
3.

Rumusan Masalah
Bagaimana pelaksanaan Demokrasi di Indonesia ?
Bagaiman keadaan ruang publik ?
Bagaimana pelaksanaan pendidikan politik dan demokrasi ?
Tujuan

Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan Demokrasi di Indonesia
Untuk mengetahui bagaiman keadaan ruang publik
Bagaimana pelaksanaan pendidikan politik dan demokrasi

D. Manfaat
1. Bagi masyarakat

Memberikan pengetahuan mengenai demokrasi di Indonesia
2. Bagi pemerintah
Memberikan masukan mengenai penyelenggaraan pemilu

BAB II
PEMBAHASAN

A. Demokrasi
Dalam negara yang menerapkan demokrasi sebagai prinsip penyelenggaraan
pemerintah, pemilu merupakan media bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatannya. Secara
ideal, pemilu atau general election bertujuan agar terselenggara perubahan kekuasaan
pemerintah secara teratur dan damai sesuai dengan mekanisme yang dijamin oleh
konstitusi. Dengan demikian, pemilu menjadi prasyaratan dalam kehidupan bernegara dan

bermasyarakat secara demokratis sehingga melalui pemilu sebenarnya rakyat sebagai
pemegang kedaulatan akan :
a. Pertama: mempengaruhi kontak sosial
b. Kedua : memilih pemerintahan baru
c. Ketiga : menaruh harapan baru dengan adanya pemerintah baru
Istilah kontrak umumnya dikenal dalam ilmu hukum dan ekonomi yang
mengandung makna sebagai perjanjian antara dua pihak atau lebih yang setara, makna
perjanjian antara kedua pihak atau lebih , dimana kedua belah pihak menyepakati sejumlah
persyaratan yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Dalam kajian Ilmu
Politik, istilah kontrak digunakan oleh J.J Rousseau ( kontrak sosial) untuk menyebutkan
konsep negara yang dilandasi perjanjian antara pemerintah dan yang diperintah.
Namun, hakikat maknanya sama dengan kontrak dalam ilmu hukum maupun ilmu
ekonomi, yakni adanya pihak-pihak yang bersepakat mengadakan perjanjian untuk
mencapai tujuan bersama. Sebagai suatu bentuk kontrak sosial, pemilu memuat perjanjian
antara rakyat dengan mereka yang diberi mandat untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.
Kontrak ini dibuat dengan partai-partai pemenang pemilu sebagai bukti bahwa programprogramnya sesuai dengan aspirasi rakyat. Ketika seseorang memberikan suaranya pada
salah satu partai atau kandidat, maka hakikatnya suara tersebut menjadi simbol persetujuan
rakyat terhadap program-program partai atau kandidat yang bersangkutan.

Sebagai konsekuensi dari kontrak sosial yang baru tersenut, maka akan terbentuk

pemerintahan baru yang terdiri dari mereka yang terpilih dalam pemilu. Pemerintahan baru
inilah yang kemudian akan bekerja sesuai dengan kontrak yang telah disepakati dalam
pemilu. Sebagai suatu kontrak, idealnya rakyat telah mengetahui isi dari kontrak tersebut
sehingga bersedia mengikatkan diri dengan pihak lainnya. Karenanya, transparasi selama
proses menjadi nilai prinsipil yang tidak mungkin diabaikan. Kejelasan ideologi, tujuan,
program, serta cara partai politik atau kandidat melaksanakan program tersebut untuk
mencapai tujuan menjadi elemen-elemen penting yang harus diketahui selama proses
kampanye berlangsung.
Rotasi kekuasaan yang tercermin dari terbentuknya pemerintahan baru akan
membawa harapan baru bagi rakyat, yakni harapan bahwa penyelenggaraan pemerintah
akan lebih berpihak pada rakyat sebagaimana telah disepakati dalam kontrak sosial. Karena
didasari oleh suatu kontrak, maka asumsinya kedua belah pihak saling percaya sehingga
terbentuknya pemerintahan baru ini akan memperoleh legitimasi politik dalam bentuk
kepercayaan sebagian besar rakyat. Legitimasi politik ini diperluhkan selama masa
pemerintahannya untuk menjalankan program-program yang telah disepakati dalam
kontrak. Di sisi lain, legitimasi politik yang diperoleh akan menjadi dasar yang kuat untuk
membangkitkan dukungan dan komitmen seluruh komponen negara dan masyarakat.

Dengan demikian, hakikat pemilu jauh lebih dalam dibandingkan sekedar
memberikan suara. Setiap suara yang diberikan sangat bermakna bagi terbentuknya

pemerintahan baru yang legitimas, suatu pemerintah yang dipercaya dan didukung
rakyatnya. Pemilu tidak berakhir ketika seseorang sudah memberikan suaranya di Tempat

Pemungutan Suara (TPS), tetapi lebih jauh lagi, pemilu hanyalah awal dari terbentuknya
hubungan penguasa dengan pemegang kedaulatan yakni rakyat.
Sehingga rakyat sangat berperan dalam menentukan pemerintahan yang baru,
karena satu suara rakyat dapat memberikan harapan baru pada pemerintah baru. Tidak
seharusnya kita sebagai rakyat menjadi golongan putih (Golput) tidak memberikan suara
atau tidak menggunakan hak pilihnya. Pemerintah juga memberikan kemudahan bagi warga
negara untuk menggunakan pilihnya yaitu pada saat hari pemilu dijadikan libur agar semua
warga bisa mencoblos, kemudian diberikan izin untuk mencoblos jika tidak dalam pemilu
serentak misal pemilihan kepala desa itu tidak sama se Indonesia sehingga daerah yang
baru ada pemilihan kepala desa warganya diberikan izin untuk mencoblos, bahkan banyak
TPS-TPS di Indonesia yang mendesain TPS semenarik mungkin agar menarik warga untuk
mencoblos, sampai-sampai TPS di beberapa daerah membagikan sembako, hadiah bagi
warga yang sudah mencoblos
Pemilu yang diadakan setiap 5 tahun sekali ini menjadi ajang demokrasi bagi warga
Negara Indonesia. Dimana setiap warga Negara Indonesia yang sudah berumur 17 tahun
berhak untuk megikuti pemilu. Pemilu menjadi bagian dari interaksi sosial masyarakat
bahkan pemilu sebagai bentuk rekayasa sosial, mkasudnya bagaimana ? istilah “rekayasa

sosial atau sociial engineering) seringkali dipandang negatif karena lebih banyak digunakan
untuk menunjukan perilaku yang manipulatif. Padahal, secara konseptual istilah “rekayasa
sosial” adalah suatu konsep yang netral yang mengandung makna upaya mendesain suatu
perubahan sosial sehingga efek yang diperoleh dari perubahan tersebut dapat diarahkan dan
diantisipasi.
Konsep rekayasa sosial, dengan demikian menunjukan pada suatu upaya desain atau
mengkondisikan terjadinya perubahan struktur dan kultur masyarakat secara terencana. Jika
dikaitkan dengan pemilu. Maka konsep ini akan menjadi relevan untuk mendorong
pelembagaan nila-nilai demokrasi dalam struktur dan kultur masyarakat. Pemilu jangan
hanya dimaknai dalam perspektif politik sebagai media kompetisi untuk memperoleh

kekuasaan, namun juga sebagai media untuk pendidikan politik dimana para pihak yang
terlibat belajar untuk mengaplikasikan nilai-nilai demokrasi.
Nilai-nilai demokrasi antara lain menghendaki adanya desentralisasi atau
pemencaran kekuasaan dalam segenap aspek kehidupan. Desentralisasi mengandung makna
yang luas, bukan hanya dalam hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah, namun juga hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah.
Desentralisasi menghendaki agar kekuasaan didistribusikan sehingga pelaksanaan
suatu urusan dapat menjadi lebih efektif, efisien dan responsif. Tetapi dalam prakteknya
desentralisasi ternyata hanya menyentuh level birokrasi pemerintah karena kenyataanya

dalam pemilu 2004 ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu
justru berperilaku sentralistik. Strategi KPU dalam menangani persoalan-persoalan teknis
penyelenggaraan pemilu cenderung sentralistik, misalnya soal pencetakan kertas pemilu,
kotak suara, dan logistik pemilu masih dikelola secara terpusat oleh KPU Pusat.
Padahal urusan-urusan teknis semacam ani akan lebih muda diselenggarakan kalau
KPU Pusat mau mendestralisasikan urusan-urusan tersenut kepada KPU Provinsi dan KPU
Kbupaten/Kota.

KPU Pusat tetap berperan dalam menentukan standar kualitasnya sehingga produk
yang digunakan tetap otentik. Yang namanya autentik tidak harus dipahami sama dengan
dicetak dari Jakarta tetapi memenuhi standar yang ditetapkan.
Standarisasi dapat lebih mengefektifkan kinerja KPU Pusat dan di sisi lain juga
memberikan tanggungjawab dan peran yang lebih besar bagi KPU Daerah untuk proaktif.
KPU daerah tidak perlu lagi “harap-harap cemas” manakala permasalahan logistik dan

teknis mengalami kendala, seperti terlambat tiba di daerah atau jumlah yang kurang dalam
permintaan daerah. Pemilu seyogianya mengkondisikan seluruh pihak yang terlibat untuk
belajar berbagai peran sehingga tidak semuanya harus berpusat pada salah satu aktor atau
satu lokus (pusat).
Dari pernyataan diatas dapat kita ketahui bahwa keperluan pemilu masih ditangani

oleh pusat yang berada di Jakarta, sehingga saat ada desentralisasi hanya sampai birokrasi.
Disisi lain masih identik dalam penyelenggaraan pemilu semua dari pusat baik kertas, kotak
dll seperti ada yang kurang saat tidak dari pusat yang menyediakan. Kemudian KPU
Provinsi, KPU Kabupaten/Kota sebagai tempat menghitung suara dan mencoblos sehingga
saat ada kekurangan kertas suara maka harus menungguh pengiriman kertas suara dari
pusat ini menganggu jalannya pemilu, belum lagi setiap daerah di Indonesia berbeda-beda
aksesibilitasnya.
Pemerintah perluh ada perubahan sehingga dalam penyelenggaraan pemilu KPU
Pusat bersama KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota dapat saling bekerja sama diman aada
yang membuat kertas suara, ada yang menyedikan kotak suara dll.

Hal ini jika di lakukan dapat mengatisipasi permasalahan dalam pemil, seperti saat
kotak suara jumlahnya kurang di Kabupaten makan KPU di Kabupaten/kota dapat untuk
menyukupi kekurangan kotak suara tersebut dengan cepat tanpa harus menungguh lama.
Dan desentralisasi dapat terlihat pada penyelenggaraan pemilu. Semua elemen perluh
bersama untuk menyelenggaraan pemilu yang aman, damai, jujur dan menyenangkan bagi
warga negara. Dengan begitu peran KPU Provinsi dan KPU Kabupate/kota bertambah dan
semakin terlihat oleh warga negara.

Pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya menunjukkan bahwa pemilu belum

diarahkan untuk kepentingan rekayasa sosial dan lebih sebagai alat legitimasi politik.
Sehingga rasanya tidak berlebihan jika Pemilu 2004 bisa lebih berperan sebagai rekayasa
sosial yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Berbagai peraturan dan praktik
penyelenggaraan Pemilu 2004 seharusnya didesain untuk semakin mendewasakan seluruh
komponen bangsa dan negara sehingga masing-masing mengetahui perannya.
Inilah langkah awal yang harus dilakukan untuk mengkondisikan elite dan massa
untuk berperilaku lebih demokratis. Pemilu 2004 bukanlah projek segelintir elite, tetapi
projek besar seluruh rakyat Indonesia. Sudah saatnya pengelolaan seluruh kegiatan Pemilu
2004 didasarkan pada prinsip kemitraan sehingga tidak ada salah satu pihak yang dominan.
Dengan prinsip kemitraan ini, rakyat dilevel grass root maupun institusi-institusi di level
lokal dapat berperan lebih signifikan dan proaktif. Karenanya, marilah mengembalikan
pemilu pada rakyat agar Pemilu 2004 tidak menjadi langkah mundur bagi pelembagaan
demokrasi.

Pemilu 2004 meupakan pertama kali warga Negara Indonesia memberikan hak
pilihnya secara langsung untuk memilih presiden dan wakil presiden. Betapa hiruk
pikuknya demokrasi saat itu, warga negara menggunakan hak pilihnya untuk memilih calon
presiden dan wakil presiden Negeri ini. Alam penyelengaraannya Pemilu 2004 belum
berjalan lancar terkait ada permasalah dilapangan, sehingga apa-apa yang berhasil
dilakukan pada Pemilu 2004 dapat di teruskan untuk pemilu berikutnya dan apa yang

menjadi permasalah dalam pemilu 2004 dapat digunakan untuk mencari solusi
permasalahan.

Berdirinya suatu negara dan terbentuknya suatu pemerintahan sebagai pelaksana
negara didasari oleh tujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi para warganya. Dalam
rangka rangka mencapai tujuan inilah, demokrasindipandang sebagai suatu cara atau
mekanisme yang paling baik dibandingkan mekanisme lainnya, seperti otoritarianisme,
fasisme dan sejenisnya. Namun pada kenyataanya dari seluruh negara yang memilih untuk
menerapkan demokrasi ternyata mengalami tingkat kesejahteraan dan kemakmuran yang
sangat berbeda. Permasalahan-permasalahan seperti kemiskinan, pemerataan kemakmuran,
korupsi, kesenjangan ekonomi, kesehatan yang buruk, lemahnya pendidikan dan lain-lain
masih menjadi momok yang dialami negara-negara berkembang, termasuk Indonesia yang
baru belajar menerapkan demokrasi.
Kebijakan politik, baik nasional maupun lokal masih mendistorsi upaya-upaya
pemulihan ekonomi, padahal secara historis pengalaman negara-negara lain demokrasi
justru mendorong pertumbuhan ekonomi ideal. Idealnya, demokrasi akan mengarahkan
pada pencapaian kesejahteraan karena demokrasi akan memperluas akses publik untuk
memperoleh barang-barang publik, seperti pertumbuhan ekonomi, peninhkatan pendapatan
perkapita, perluasan kesempatan kerja,dll.


Namun yang terjadi sekarang sepertinya penerapan demokrasi di Indonesia belum
menunjukkan keterkaitan dengan pencapaian kesejahteraan.
Kegagalan demokrasi dalam mewujudkan kesejahteraan ini disebabkan oleh dua
hal, yakni anomali dalam sistem dan perilaku aktor yang terlibat. Praktik demokrasi yang
dijalankan sekarang ini baru sebatas prosedural dan formal, masih jauh dari substansial.
Indikasinya, institusi demokrasi yang ada hanya dikuasai segelintir elit politik sehinga
pratik demokrasi bergeser menjahi oligarki elit-elit strategis. Politik desentralisasi yang

dijalankan baru sebatas elit dan parpol, belum sampai ke massa atau rakyat/warga, sehingga
otonomi daerah cenderung oligarkhis pelaksanaanya.
Kondisi ini mengakibatkan akses rakyat/ warga terhadap pengambilan keputusan
strategis, misalnya dalam penetapan APBN dan APBD hampir tidak ada. Artinya, rakyat
masih tetap ada di pinggiran di dalam proses berpemerintah dan tetap menempati posisi
marginal. Sementara dari dimensi perilaku aktor politik, orientasi para pelaku politik
sekarang ini cenderung mengalami pergeseran dari yang semula didasari oleh orientasi
ideologis menjadi sekedar orientasi pragmatis yakni untuk memperoleh kekuasaan dan
menggunakannya untukkepentingan kelompoknya.
Penyelenggaraan pemerintah cenderung terpaku pada konsep-konsep dan paradigma
ala Barat, yang tanpa disadari bermuatan jebakan “neoliberalisme”. Di Jawa Barat misalnya
penerapan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI)
sebagai indikator makro keberhasilan kinerja politik pemerintahan, dan pembangunan
terlalu simplistis dan tidak kritis dasar teoretiknya sebagai argumentasi
Pemilihan kebijakan tersebut, sehingga tanpa disadari politik lokal dan ekonomi
politik di tingkat lokal JAWA Barat masuk kedalam perangkap pemikiran neoliberalisme.

Akibatnya, program akselerasi pencapaian IPM 80 pada tahun 2010 yang
dicanangkan Gubenur Jawa Barat saat ini akan sulit diwujudkan karena framework dan
metodologinya tidak terlalu jelas. Karena itu otoritas di Jawa Barat dalam hal eksekutif dan
legislatif harus cepat melakukan reposisi dan readjustment mengenai kebijakan politik dan
ekonominya, termasuk melakukan revisi penggunaan IPM sebagai indikator pencapaian
politik, pemerintah dan pembangunan. IPM sebenarnya hanyalah merupakan impact dari

kinerja politik dan ekonomi bukan tujuan itu sendiri. Kesejahteraan dan keadilan sosial
adalah tujuan setiap kebijakan politik dan ekonomi bagi suatu negara dan daerah.
Dominasi elit dalam penyelenggaraan pemerintah ini juga dapat dilihat dari
argumen-argumen legal-formal ketika merespon tuntutan penerapan mekanisme pemilihan
penjabt publik secara langsung. Munculnya alternatif pemilihan kepala daerah semi
langsung disikapi oleh DPRD secara konservatif, legal, formal, dengan alasan belum ada
landasan hukumnya, padahal bisa saja dengan Perda sebagai bentuk kesepakatan politik
selama secara substantif tidak bertentangan dengan UU.
Keterbatasan peran masyarakat dalam dinamika politik lokal tampak dari proses
pemilihan para penjabat publik. Pemilihan anggota DPRD berlangsung dalam sistem
proposional dimana para calon ditentukan oleh dewan pimpinan partai sementara proses
pemilihan kepala daerah didominasi oleh peran DPRD. Dalam kedua proses politik ini saja
sudah terindikasi sempitnya ruang publik bagi partisipasi masyarakat, padahal
desentralisasi juga mengandung dimensi politik yang mensyaratkan adanya keterlibatan
rakyatbdalam seluruh proses pemerintahan.

Secara teoritis , terdapat relevansi antara partisipasi langsung dengan demokrasi.
Namun demikian, asumsi ini tidak langsung menjustifikasin bahwa mekanisme pemilihan
kepala daerah secara langsung berkorelasi langsung dengan demokratisasindi tingkat lokal.
Pada praktiknya, penerapan desentralisasi dan otonomi daerah melibatkan berbagai dimensi
seperti ketersediaan peraturan perundang-undangan sebagai penjabaran dan pengaturan
lebih lanjut UU No. 22 Tahun 1999 kapasitas kelembagaan dan kualitas personel yang
memadai. Oleh karena itu, masih perluh kajian yang lebih mendalam dan komprehensif

mengenai relevansi pemilihan kepala daerah secara langsung dengan penguatandemokrasi
ditingkat lokal.
UU No. 22 Tahun 1999 membawa perubahan yang cukup signifikan dalam
mekanisme maupun substansi pemilihan kepala daerah. Secara prosedural, pemilihan
kepala daerah dilakukan oleh DPRD, mulai tahap pencalonan sampai dengan penetapan.
Proses pemilihan kepala daerah dilakukan melalui mekanisme pemungutan suara secara
langsung dengan ketentuan one man one vote (setiapanggota DPRD dapat memberikan
suara pada satu pasang calon kepala daerah dan wakil kepala daerah). Pemerintah pusat,
dalam hal ini presiden hanya berperan dalam pengesahan kepala daerah dan wakil kepala
daerah yang telah ditetapkan oleh DPRD.
Secara substansial mekanisme semacam ini memberikan kewenangan politik yang
lebih besar bagi masyarakat di daerah untuk menentukan siapa yang akan menjadi kepala
daerahnya.
Pemilihan kepala daerah secara langsung peluang demokratisasi, maksudnya esensi
demokratisasi adalah partisipasi publik dalam menentukkan pejabat-pejabat politik dan
dalam pembuatan kebijakan publik. Dalam pandangan Rosseau, demokrasi tanpa partisipasi
langsung oleh rakyat merupakan bentuk pengingkaran terhadap demokrasi itu sendiri.

Asumsi inilah yang mendasarkan pandangan bahwa pemilihan para peenjabat
politik secara langsung lebih demokratis dibandingkan melalui mekanisme perwakilan.
Kualitas sistem demokrasi ikut ditentukkan oleh kualitas proses seleksi para wakil,
termasuk wakil yang memperoleh mandat untuk memimpin pemerintahan. Karena itu,
pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan salah satu alternatif yang bisa dipilih
untuk meningkatkan legitimasi pemerintahan. Ada sejumlah argumen yang melandasi
relevansi pemilihan kepala daerah secara langsung dengan legitimasi pemerintah daerah.

Pertama pemilihan langsung diperluhkan untuk memutus oligarkhi partai yang
mewarnai pola pengorganisasian partai pilitik di DPRD. Kepentingan partai dan bahkan
kepentingan elit partai seringkali dimanipulasi sebagai kepentingan kolektif masyarakat.
Dengan demikian, pemilihan secara langsung bagi kepala daerah diperluhkan untuk
memutus distorsi dan politisasi aspirasi publik yang cenderung dilakukan partai dan para
politisi partai jika kepala daerah dipilih secara elitis ileh DPRD.
Kedua, pemilihan kepala daerah secara langsung dapat meningkatkan kualitas
akuntabilitas para elit politik lokal, termasuk kepala-kepala daerah. Mekanisme pemilihan
kepala daerah secara perwakilan cenderung menciptakan ketergantungan berlebihan kepada
kepada daerah di DPRD.
Akibatnya, kepala daerah lebih bertanggung jawab kepada DPRD daripada kepada
publik. Pola hubungan kepala daerah dan DPRD yang lebih condong pada DPRD inilah
yang kemudian mengarahkan pada praktik politik uang dan kolusi, baik dalam proses
pemilihan kepala daerah maupun dalam proses penyampaian Laporan Pertanggungjawaban
(LPJ).

Ketiga, pemilihan langsung kepala daerah akan memperkuat dan meningkatkan
seleksi kepemimpinan elit lokal sehingga membuka peluang bagi munculnya figur-figur
alternatif yang memiliki kapabilitas dan dukungan rill di masyarakat lokal. Selama ini figur
yang muncul lebih banyak bersifat top-down sebagai akibat dari sentralisasi partai sehingga
seolah-olah daerah tidak memiliki kader untuk memimpin daerahnya.

Keempat, pemilihan secara langsung lebih meningkatkan kualitas keterwakilan
karena masyarakat dapat menentukan pemimpinnya ditingkat lokal. Lebih dari itu,
keterlibatan masyarakat secara langsung dalam proses seleksi kepemimpinan lokal yang
transparan akan menambah legitimasi dari proses pemilihan tersebut sehingga pemimpin
yang lahir dari proses seleksi yang legitim akan memperoleh legitimasi politik dimata
publik.
Sehingga pemilihan kepala daerah secara langsung jauh lebih baik daripada melalui
perwakilan karena dapat dengan mudah terjadinya politik uang untuk melanggengkan
kekuasaan para anggota DPRD. Sebagai warga negara yang baik maka harus mengikuti
peraturan yang ada seperti menggunakan hak pilihnya dan tidak menerima uang agar
memilih calon kepala daerah yang memberi uang.
Jadilah warga negara yang memberikan perubahan bagi negara nya melalui berbagai
cara salah satunya menaati peraturan karena Negara Indonesia merupakan negara hukum
yang setiap kegiatan selalu ada aturan yang harus ditaati. Dan menjadi warga negara yang
bersedia memberikan saran, kritik terhadap hasil kerja kepala daerah agar kepala daerah
bertanggung jawab atas amanah yang telah di embannya

B. Ruang publik
Kembali, tanpa terasa hampir satu dekade sudah terlewati perjalanan panjang
Indonesia menempuh kehidupan berbangsa dan bernegara dengan segala dinamikanya. Dari
sejumlah peristiwa yang terjadi pada satu dekade pasca-Orde Baru, sabagian merupakan
agenda yang tak terpikirkan sebelumnya dan sebagian lagi merupakan proses pemantapan
kehidupan demokrasi.

Sementara itu sisanya adalah lanjutan dari perjalanan reformasi yang rangkaiannya
dimulai 1998/1999 yang lalu. Ada baiknya bila kita bersyukur. Persoalan berat pasca rezim
Soeharto berhasil kita lampaui dengan baik. Saat ini banyak orang pesimis dengan beberapa
agenda demokrasi, seperti potensi konflik dalam pilkada, penyelenggaraan pilkada pertama
di Aceh yang diduga akan membahayakan posisi NKRI, sementara itu TNI akan pasang
kuda-kuda untuk mengambil alih. Tapi nyatanya, konflik yang diperkirakan itu nihil
adanya. Banten dan Aceh sukses memilih sepasang pemimpinnya, tanpa gejolak.
Persoalah fundamental berupa tuntutan akan reformasi birokrasi pemerintahan
semakin kuat dan tegas. Demikian pulandengan sektor hukum. Penegakan hukum,
pemberantasan KKN, perluasan ruang publik, intelijen negara, sampai sejauh manapun
intervensi negara dalam kehidupan privat adalah sejumlah isu yang berkembang sepanjang
tahun ini.
Reformasi memang sebuah momentum yang tidak mudah berulang, namun
pelembagaan demokrasi sebagai tindak lanjut dari proses reformasi asdalah proses yang
tidak berkesudahan. Apakah selama sepuluh tahun kedepan akan ada perkembangan
signifikan dalam demokratisasi atau sebaliknya nanti demokrasi kehilangan popularitasnya,
apakah prakondisi yang diperluhkan untuk menjaga agar reformasi tetap berjalan di atas
“rel demokrasi” bagaimana proyeksi Indonesia sepuluh tahun kedepan : stagna, maju, atau
bahka kembali ke era demokrasi semu.

Demokrasi di Indonesia saat ini sedang berkembang sehingga masih belum
maksimal dalam menjalankannya. Pasca rezim Soeharto runtuh disinilah demokrasi mulai
berkembang. Rakyat memiliki hak untuk memilih bahwa kedudukan tertinggi berada di
tangan rakyat.
Indonesia mulai menata demokrasinya dengan ciri ala Indonesia bukan ciri
kebaratan. Adanyan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) belum bisa eektif untuk dijadikan

indikator dalam mengetahui tingkat pembangunan, ekonomi dan hasil kerja para pemimpin.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) seperti kebarat-baratan dimana alat ukut untuk
mengetahui tingkat keberhasilan menggunakan sedikit aspek padahal banyak aspek yang
berpengaruh.
Sebagai cerminan kondisi didalam negeri, politik luar negeri Indonesia pun masih
menghadapi sejumlah persoalan. Politik luar negeri eksklusif terpisah dari yang lain.
Pengelolaan politik luar negeri terpisah dari departemen lainnya, mengindikasikan
ketiadaan koordinasi antar sektor. Upaya diplomasi belum diarahkan untuk menyelesaikan
permasalahan krusial dalam negeri. Kasus aceh menjadi contoh buruknya kinerja diplomasi
politik luat negeri Indonesia. Banyaknya kunjungan Presiden ke luar negeri untuk mencari
investasi asing juga dipandang belum berpengaruh secara signifikan terhadap perbaikan
ekonomi dalam negeri.
Politik luar negeri Indonesia dimasa mendatang seyogianya diarahkan untuk
membangun citra positif Indonesia dimata dunia, sehingga seharusnya ada keterkaitan
antardepartemen. Kemiskinan dan pengangguran menjadi dua indikator lemahnya kinerja
pembangunan, baik ditingkat nasional maupun daerah. Pertumbuhan ekonomi memang
meningkat namun belum diimbangi pemerataan.

Laju pertumbuhan ekonomi pun masih didominasi oleh konsumsi, bukan oleh
peningkatan kapasitas produksi. Meningkatnya upah minimum regional diprediksi akan
menambah jumlah pengagngguran karena tidak disertai dengan peningkatan kemampuan
perusahaa. Investasi memang mengalami peningkatan, namun masih bersifat fluktuaktif
sehingga pertumbuhan ekonomi secra rill masih belum stabil .
Dari sisi pertahanan dan keamanan masih menyisahkan tumpukan permasalahan
yang perluh segera diselesaikan. Bentrok TNI-Polri, hak politik Polri pada pemilu 2009,

posisi Polri dalam kelembagaan negara, praktik kekerasan polisi intelejen Polri, anggaran
Polri serta hubungan Polri dengan pemerintah daerah terkait fundi satpol ppl dan
linmasmerupakan isu-isu yang belum tuntas dibahas dalam kaitanya dengan reformasi
sektor keamanan. Demikian pula di sektor pertahanan negara sekalipun jumlah UU telah
lahir membawa “wajah baru” TNI, namun sejumlah persoalan internal maupun eksternal di
tubuh TNI, seperti anggaran pertahana, alutsista, postur TNI, struktur teritorial dal lain-lain
masih menghambat lancarnya reformasi TNI.
Namun angin segar masih berhembus dalam perjalanan reformasi publik Indonesia.
Pilkada langsung yang dikhawatirkan akan memicu konflik horisontal ternyata bisa
berlangsung damai bahkan di sejumlah daerah yang rawan konflik seperti Aceh dan Banten.
Di luar dugaan masyarakat ternyata mampu memilih sesuai dengan hati nuraninya.
Terpilihnya calon yang independen sebagai Gubenur Aceh membuktikan bahwa masyarakat
ternyata mampu memilih sesuai hati nuraninya.

Sebagai contoh hasil penelitian dari Dr. Nasiwan, M.Si mengenai
Kedua Proses demokratisasi elit lokal pada pilkada Kota Yogyakarta 2006 secara
umum dinyatakan berjalan dengan damai dan mengalami kemajuan dari sisi kualitas.
Secara umum dapat dinyatakan bahwa para pihak yang ikut terlibat dalam proses Pilkada
Kota Yogyakarta dapat mentaati aturan main uyang ditetapkan dalam undang-undang yang
mengatur kegiatan Pilkada. Pelanggaran-penggaran yang banyak dilakukan oleh tim sukses
calon walikota pada umumnya adalah pelangaran ringan yang tergolong pelanggaran

administrasi, yang tidak memiliki pengaruh yang serius pada hasil Pilkada. Selama
berlangsungnya proses Pilkada semenjak masa persiapan, masa kampanye, sampai hari
pencoblosan tidak ditemukan pelanggaran yang bersifat pidana yang berakibat adanya
korban nyawa ataupun berakibat dibatalkannya hasil Pilkada. Sekalipun ada perselisihan
pada akhirnya dapat diselesaikan dengan cara damai dengan bantuan pihak keamanan
dibantu kesiapan KPUD Kota Yogyakarta dalam mengantisipasi persoalan-persoalan yang
muncul di lapangan.
Ketiga, arah demokratisasi elit lokal Kota Yogyakarta pada Pilkada 2006 di satu sisi
menghadapi kendala-kendala serius serta di sisi lain memiliki potensi untuk berkembang.
Dari penelitian ini ditemukan bahwa masyarakat belum memiliki keberanian untuk
mengungkap secara transparan berbagai penyimpangan terkait dengan pelaksanaan
kampanye yang diindikasikasikan melibatkan politik uang. Karena tidak ada pihak dari
masyarakat yang berani mengungkap adanya politik uang dalam kampanye Pilkada, maka
secara formal di atas kertas Pilkada diakui syah tetapi dibawah permukaan masih ada
aspirasi yang tidak tersampaikan. Haltersebut dikuatkan dengan adanya protes dari salah
satu saksi dari Koalisi Merah Putih (KMP) yang tidak bersedia menandatangani
pengesahan hasil Pilkada Kota 2006. Diluar berbagai kendala sebagaimana telah
dikemukakan demokratisasi elit di Kota Yogyakarta juga memiliki potensi untuk
berkembang ke arah yang lebih baik. Potensi tersebut antara lain sikap untuk mau
menghormati aturan main, adanya komitmen untuk melakukan Pilkada secara damai, tidak
melakukan kampanye hitam, serta sikap elit politik lokal Yogyakarta yang secara umum
Keempat, meningkatnya jumlah Golput yang mencapai 46,68 persen, sehingga
jumlah warga kota yang menggunakan hak pilihnya hanya mencapai 190.922 orang (53,32
%) darijumlah warga yang tercantum Daftar Pemilih Tetap (DPT), sisanya sebanyak
167.142 (46,68 %) orang tidak menggunakan hak pilih dalam Pilkada. Tingginya angka
Golput pada Pilkada Walikota Yogyakarta 2006 disatu sisi dapat dibaca sebagai adanya
kecenderungan tumbuhnya kesadaran kritis pada para pemilih di Kota Yogyakarta, dalam
menentukan siapa Walikota yang sesuai dengan aspirasi mereka. Namun disisi yang lain
juga dapat dibaca sebagai adanya problem mulai tumbuhnya gejala ketidakpercayaan

(distrust) publik pemilih kepada elit politik lokal yang mencalonkan diri sebagai Walikota
Yogyakarta.
Karena tidak mengherankan bila kebijakan publik yang lahir sangat sedikit
merefleksikan keberpihakan terhadap publik atau masyarakat umum. Perencanaan
pembangunan disusun dengan skema proyek. Tidak ada jaminan akankeberlanjutan suatu
kegiatan. Orientasi penganggaran lebih banyak untuk pembiayaan birokrasi. Ancaman
pemberantasan korupsi tidak menimbulkan rasa jera, justru memacu lahirnya “kelihaiankelihaian” yang lebih canggih untuk memanipulasi pengadaan barang dan jasa publik.
Akibatnya pembangunan mengalami perlambatan. Masyarakat kembali menjadi pihak yang
dirugikan.
Memperluas ruang publik , segala keluh kesah dan permasalahan tersebut
sebenarnya bisa diminmalkan bila masyarakat dilibatkan sejak awal dalam pemerintahan
dan pembangunan sehingga prasangka negatif dapat di kurangi. Ruang-ruang publik
sesungguhnya dibangun untuk mentrasformasikan peran sebagai “complainer” menjadi
“participator”. Pihak yang semula hanya bisa berkeluh kesah terhadap kinerja pemerintah
ketika dilibatkan akan memiliki rasa tanggung jawab untuk mendukung keberhasilan
pemerintah . akan muncul keinginan untuk menciptakan inovasi-inovasi baru yang
selanjutnya akan memperbaiki tata kelola pemerintahan.
partisipasi tidak harus secra formla direfleksikan dalam bentuk kehadiran fisik
dalam rapat-rapat yang diselenggarakan oleh lembaga organisasi kemasyarakatan, melalui
lembaga pendidikan, melalui diskusi-diskusi kritis dan lain-lain. Banyak cara untuk
memperluas ruang publik agar partisipasi menjadi lebih bermakna.
Ruang publik memiliki arti dalam penyelenggaraan demokrasi karena dalam ruang
publik mudah untuk diakses masyarakat dan di dalam ruang publik banyak kegiatan yag
memperkaya pemahaman kita mengena apa yang sedang terjadi di demokrasi saat ini.
Manfaatkan ruang publik yang ada dilingkungan sekitar untuk memperkaya
pemahaman kita dan tidak ada salahnya sekali-kali kita bergabung dalam diskusi diruang

publik. Dapat melatih skill keberanian dan berbicara di depan umum bukankah demokrasi
bukan hanya soal pemilu, itu terlalu sempit. Berani mengungkapkan pendapat juga
merupakan bagian dari demokrasi di Indonesia. Praktik politik di Indonesia kini
membuktikan bahwa mekanisme pemilu atau pilkada lima tahun tidak cukup ampuh untuk
“memaksa” para elit menepati jani-janjinya. Namun bukan berarti mekaisme ini tidak
diperuhkan lagi sebagai media rekrumen dan seleksi kepemimpinan politik, mekanisme
yang berlaku sekarang jauh lebih demokratis dibandingkan masa lalu. Manum perluh
adanya

alternatif

untuk

mengatasi

kelemahan-kelemahan

mekanisme

demokrasi

perwakilah.
Kapasitas partai politik perluh ditingkatkan agar benar-benar berfungsi sebagai
instrumen antar patai perluh terus dikembangkan agar stabilitas dan tertib politik terjaga.
Pencerahan politik

bagi masyarakat perluh di lakukan secara dini dan kontintu agar

perilaku politik semakin rasional. Singapura dan Malaysia betapapun makmurnya, tidak
ada apa-apanya dengan demokrasi kita. Tapi itulah ironisnya di Indonesia. Di satu sisi
demokratis, disisi lain seolah belum bersibak peluang bagi pemakmuran rakyat segera.
Tampaknya inilah yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah di tahun-tahun
mendatang, bagaimana mensinergikan pertumbuhan demokrasi dengan pertumbuhan
kesejahteraan.

Pemilihan umum yang diadakan 5 tahun sekali, membuat masyarakat Indonesia
bertambah jumlah premilih dininya, dilihat dari jumlah penduduk Indonesia yang banyak
dan bertambah setiap tahunnya menjadikan jumlah pemilih meningkat setiap tahunnya.
Bisa di bayangkan betapa banyaknya jumlah pemilih dini pada 5 tahun sekali.
Pemilih dini inilah yang menjadi sasaran untuk di bina dalam artian di berikan
penyuluhan tentang pemilu agar menggunakan hak pilihnya. Ada beberapa komunikator
politik, peran mereka dalam mempengaruhi orang lain dan sifat-sifat mereka sebagai
pemimpin politik, sebagai pemimpin tugas dan emosi, sebagai pemimpin organisasi dan

simbolik, ikatan yang menyatuhkan mereka dengan pengikut, citra mereka, karakteristik
sosial dan pemilihan, kita akan menutup pembahasan “siapa” yang akan memperkenalkan
tiga bidang ketidakpastian dalam kegiatan komunikator politik.
Yang pertama berurusan dengan masalah profesionalisme. Beberapa orang sarjana
dalam tahun-tahun terakhir ini bertambah khawatir bahwa komunikator politik telah
meninggalkan klien, pemilih dan khalayak, mereka disebabkan oleh kesetiaan kepada nilainilai impersonal dan profesional, Disini ada pradoks, sebab profesionalisme jawatan
pemerintah politik dan industri komunikasi telah lama menjadi tujuan reformer politik dan
banyak pendidik administrasi publik , jurnalisme, hubungan masyarakat dan periklanan.
Alasan fundamental mereka ialah bahwa profesionalisme mendukung pemerintah lebih bai
dengan menekankan pada teknik-teknik intelektual, penerapan keseluruhan pengetahuan
secara sistematis, pertanggung jawaban pribadi profesional terhadap penilaian dan
rindakan, tekanan pada pelayanan dan bukan pada keuntungan ekonomis, pribadi dan
standar etika yang jelas untuk mengukur prestasi.

Bahwa telah ada profesionalisasi yang tampak dalam komunikasi politik, ternyata
dari banyak studi yang menetapkan ktiteria profesionalisme dan menerapkan mereka pada
prestasi politikus yang berpraktek, administrator pemerintah, jurnalis, orang-orang dari
hubungan masyarakat dan sebagainya.
Komuniksi politik itu penting untuk melaksanakan salah satunya demokrasi yang
baik dan lancar. Saat komunikasi antar pemerintah dan warga masyarakat berjalan baik .
Dalam artian apa yang menjadi tujuan masyarakat sama dengan hasil kerja dari pemeintah
maka akan terjalin kesinambungan. Saat cita-cita pemerintah dapat sesuai dengan keinginan
masyarakat hal tersebut dapat untuk memudahkan dalam memperoleh kekuasaan salah

satunya saat anggota DPRD dapat memberikan hasil kerja yang baik dan memberikan
perubahan yang signifikan. Maka akan mudah untuk dapat terpilih kembali pada pemilu
berikutnya karena sudah dapat untuk memikat hati masyarakat dengan hasil kerjanya.
Berbeda dengan anggota DPRD yang belum menunjukkan progres dari hasil
kerjanya, mungkin tidak akan mengikuti pemilu selanjutnya karena sudah merasa bahwa
hasil kerjanya kurang bagus dan kurang sesuai dengan keinginan masyarakat. Tidak sulit
untuk dapat mempertahankan kekuasaan salah satunya cukup memberikan hasil kerja yang
dapat bermanfaat bagi masyarakat, kepentingan umum. Saat hati masyarakat sudah terpikat
maka akan mudah untuk mendapatkan suara di pemilu.

C. Pelaksanaan Pendidikan Politik dan Demokrasi
Perluhnya pendidikan politik dan demokrasi bangsa. Sudah kita tahu bahewa saat
berbicara politik dan demokrasi pasti identik dengan pemilu, pemilih calon-calon pemimpin
setiap 5 tahun sekali. Kemudian ada yang golput, ada yang menang dan yang kalah.
Kemudian saat ada yang menang pasti pendukungnya akan pengunduli kepala sebagai
wujud rasa bangga. Namum pada kebenarannya politik dan demokrasi bukan hanya pemilu.
Pemilu itu salah sati contoh atai implementasi dari politik dan demokrasi.

Indonesia merupakan Negara Demokrasi, melalui musyawara salah satunya. Pada
saat berbicar pemilu sebenarnya apa yang istimewa ? mencoblos atau memasukan jari
kelingking pada tinta sebagai wujud telah mencoblos.
Perluh adanya pendidikan politik dan demokrasi kepada masyarakat secara
langsung. Saat ini di sekolah-sekolah sudah ada pengenalan mengenail politik dan
demokrasi pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, namun itu kebanyakan teori
dan prakteknya masih sedikit.
Pendidikan politik dan demokrasi penting dilaksanakan kepada masyarakat untuk
memperkenalkan bagaimana itu politik, bagaimana itu demokrasi, apakah harus saling
membenci jika berbeda mengenai siapa yang dipilih. Masyarakat Indonesia yang identik
dengan murah senyum, bersahaja namun tiba-tiba menjadi bermusuhan karena pemilu
sebagai contoh 2 orang yang bertentang dapat menjadi musuh karena berbeda mengenai
siapa yang dipilih dan berusaha mengajak orang untuk ikut memilih yang dipilih.

Ini kan mengagnggu keamanan dan kenyamanan dalam hidup bertentangga. Inilah
yang harus di tanamkan kepada masyarakat mengenai bagaimana sikap yang baik saat
berpolitik. Agar kehidupan bernegara tetap terjaga walau berbeda-beda kepentingan.
Pelaksanaan pendidikan politik dan demokrasi dapat di mulai dari :
1. Keluarga
Memberikan pemahaman mengenai apa itu politik, misal untuk jadi seperti pak harun yang
anggota DPR maka perluh untuk dipilih rakyat, seperti besok bapak dan ibu memberikan
suara ke TPS pemahaman seperti itu kepada anak

2. Tempat tinggal/ Dusun
Melalui acara perkumpulan masyarakat dusun seperti saat arisan, saat senam pagi karena
banyak warga yang datang. Berikan pengetahuan dengan cara melalui alat peraga karena
masyarakat dusun berbeda-beda usianya. Masyarakat yang berusi lanjut tidak suka banyak
mendengarkan lenbih mudah paham saat melihatnya langsung contoh saat akan
memberiakn pendapat dapat dengan menunjukan jari tangan atau menyebutkan nama dan
kemudian berpendapat
3. Tingkat Desa/ Kelurahan
Melalui perwakilahpak Dukuh, RT/RW setempat sebagai sasaran dalam memberikan
pengetahuan. Karyawan-karyawan juga perluh diberikan pembinaan agar dapat memaknai
apai itu politik dan apa itu demokrasi

4. Tingkat Kabupaten/ Kota
Dengan sosialisai kepada masyarakat sekitar yang mendapat undangan.
5. Tingkat Provinsi
Sosialisai lebih kepada toko-toko umum yang di kenal masyarakat
6. Tingkat Nasional
Seluruh masyarakat Indonesia melalui penyiaran televisi

Dengan tingkat sosialisasi secara bertahap diharapkan pendidikan politik dan demokrasi
bukan hanya sekedar teori namun juga ada wujud dari contoh pelaksanaannya .
Karena sasaran dari pendidikan politik dan demokrasi adalah :
1.
2.
3.
4.
5.

Anak-anak SD
Anak-anak SMP
Anak-anak SMA/ Sederajat
Mahasiswa
Masyarakat umum

Dengan berbeda-bedanya karakteristik sasaran makan metode yang digunakan juga
berbeda-beda agar tepat dan sesuai sasaran.
Metode penyampaian yang salah dapat berpengaruh terhadap pandangan
masyarakat, sebagai contoh sasarannya orang tua atai kakek-kakek dan nenek-nenek
menggunakan metode ceramah berjam-jam jelas saja sasaran tidak akan paham kalau pun
paham hanya sedikit, usia tua merupakan usia yang tidak tahan untuk banyak
mendengarkan lebih dari 1 jam.
Bahkan jika terlalu lama berbicara maka sasaran akan mengantuk dan tidur arau
malah pulang. Perluhnya mengenali sasaran sangat penting dalam hal ini, untuk dapat
memberikan hasil yang bermanfaat.

Saat pendidikan politik dan demokrasi sudah mulai ditanamkan sejakdini maka akan
sangat mudah untuk menyerap nilai-nilai yang ada dalam politik dan demokrasi. Saat
seseorang atau masyarakat paham mengenai politik dan demokrasi dan dapat memahani
maknanya maka akan timbul rasa ingin tahun mengenai politik seperti saat pemimpin
daerah memberikan hasil kerja yang biik maka jika mencalonkan lagi dalam pemilu
berikutnya pasti akan menang. Perasaan seperti itu akan menarik dan membuat kita ingin
tahu lagi dan lagi.

Pelaksanaan pendidikan politik perluh mendapat dukungan dari beberapa pihak dan
elemen, diantaranya
1. Di lingkung keluarga
Terdapat dukungan dan peran orang tua, saudara, teman
2. Di lingkungan tempat tinggal / Dusun
Perluh mendapat dukungan dari RT/RW, Kepala Dusun, anggota masyarakat
3. Di lingkungan kelurahan/desa
Perluh mendapat dukungan dari perangkat Desa, toko masyarakat, aparatur penegak hukum
4. Di lingkungan Kabupaten

Perluh mendapat dukungan dari jajaran karyawan dan pegawai
5. Di lingkunga Provinsi
Perluh mendapat dukungan dari Gubenur dan perangkat serta sarana dan prasarana
6. Di lingkunga Nasional
Perluh mendapatkan dukungan dari Presiden dan Wakil Presiden beserta menteri dan star
jajarannya

Jika semua sudah terlaksana maka akan berakhir dengan tujuan yang ingin di capai.
Tidak ada usaha yang sia-sia, maka jangan berputus asa. Gunakan hak pilih dan menjadi
bagian dari perubahan Bangsa Indonesia.
Benar dalam penyampaian pendapat juga merupakan bagian dari pelaksanaan
demokrasi bahkan mampu menerima pendapat orang lain dengan lapang dada. Musyawara
bertujuan untuk mencapai mufakat.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demokrasi menjadi bagian terpenting dalam Bangsa Indonesia karena Bangsa Indonesia
merupakan Negara Demokrasi. Penggunaan hak pilih menentukan perubahan dengan adnya
pemimpin baru. Melalui pendidikan politik dan demokrasi warga negara diharapkan
mampu memiliki pemahaman mengenai politik dan demokrasi.
B. Saran
Gunakan hak pilih mu dengan baik sebagai warga negara.

DAFTAR PUSTAKA
Mariana, Dede.2008. demokrasi dan politik desentralisasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Nimmo, Dan. 2011. Komunikasi politik, komunikkator, pesan, dan media. Bandung: PT
Remaja Rosadakarya.
Penelitian. Nasiwan. 2007. Demokrasi elit lokal pada pilkada 2006 di kota yogyakarta: UNY
Rendra, Sutono, dkk. 1999. Menyelamatkan Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Warsito.2003. Otonomi Daerah. Semarang: Puskodak UNDIP