Cuti Produktivitas dan Etos Kerja (1)

Cuti, Produktivitas dan Etos Kerja
Oleh Fajar Setiyo Anggraeni
Terusik dengan pernyataan dari petinggi APINDO, bapak Sofjan Wanandi mengenai
cuti bersama pada Koran Suara Merdeka edisi Senin, 14 Oktober 2013 halaman EkonomiBisnis, di mana diungkapkannya bahwa secara kuantitas, cuti bersama sudah mengganggu
kinerja perusahaan. Jika kita cermati bersama, sebenarna secara kuantitas, jumlah (hak) cuti
karyawan per orang tetaplah sama dalam satu tahun. Akan tetapi, jumlah karyawan yang
kemudian (dipaksa) melakukan cuti secara masal itulah yang kemudian mempengaruhi
produktivitas usaha.
Sementara itu, tudingan mengenai penurunan produktivitas sebagai akibat dari
kebijakan pemerintah mengenai cuti bersama ditampik oleh Serikat Buruh yang mengatakan
bahwa pernyataan tersebut hanyalah pengalihan isu terhadap faktor-faktor yang secara
signifikan menjadi penyebab penurunan produktivitas. Beberapa faktor yang memicu
turunnya produktivitas tersebut antara lain;

usia mesin produksi yang sudah tua,

infrastruktur yang belum mendukung seperti jalan yang sempit dan berlubang sehingga
memperlambat transportasi, serta masih tergantungnya pasokan bahan baku dari import.
Di lain pihak, ternyata tidak semua karyawan bisa menikmati cuti bersama yang
diperolehnya. Sebagian orang memandang bahwa cuti adalah menjadi hak karyawan
sepenuhnya untuk mengatur. Sehingga seorang karyawan bisa bebas membuat jadwal

cutinya sendiri tanpa harus terikat pada kebijakan cuti bersama. Jadi mengapa kebijakan
pemerintah Indonesia mengenai cuti bersama ini terlahir ? Menko Kesra Agung Laksono
menyatakan bahwa semula pertimbangan cuti bersama itu dianggap memberikan
keuntungan bagi bangsa, baik dilihat dari segi pendidikan, ekonomi, kerukunan,
pemanfaatan, dan sumber daya lain yang dimiliki, seperti sektor pariwisata. Tetapi
kemudian diakuinya, libur yang panjang ternyata tidak memperbaiki etos kerja PNS. Pada
hari pertama kerja pascalebaran atau cuti bersama lainnya, masih ada saja PNS yang
membolos. Atas dasar alasan tersebut kemudian timbul wacana untuk mengkaji kembali
tentang perlu tidaknya kebijakan cuti bersama ditetapkan.
Menurut Dessler (2005, p489) cuti adalah hak yang di terima oleh karyawan untuk
melakukan kepentingan (1)Cuti Tahunan, (2) Ijin kepentingan keluarga, (3) Cuti menjalankan

ibadah agama, (4) Cuti melahirkan. Cuti sendiri merupakan hak Pegawai Negeri Sipil (PNS)
yang diatur dalam pasal 8 Undang-undang no 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian. Dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa cuti terdiri dari cuti
tahunan, cuti sakit, cuti karena alasan penting, cuti besar, cuti bersama, dan cuti di luar
tanggungan negara. Sementara mengenai cuti bersama itu sendiri tidak didefinisikan baik
dalam peraturan perundangan maupun teori hukum administrasi kepegawaian. Akan tetapi,
cuti bersama dapat diartikan sebagai cuti masal yang dilakukan sebagai optimalisasi
efektifitas dan efisiensi pemanfaatan hari libur. Cuti bersama tidak hanya ditujukan bagi

Pegawai Negeri Sipil saja, namun juga berlaku pada pegawai di sector swasta. Cuti bersama
tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah no 24 tahun 1976 tentang Cuti Pegawai Negeri
Sipil, namun diatur dalam Keputusan Bersama tiga menteri, yaitu Menteri Agama, Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Menteri Pendayagunaan Negara dan Reformasi
Birokrasi yang dikeluarkan setiap tahun.
Etos Kerja
Menurut K. Bertens (1994), secara etimologis istilah etos berasal dari bahasa Yunani
yang berarti tempat hidup . Mula-mula tempat hidup dimaknai sebagai adat istiadat atau
kebiasaan. Sejalan dengan waktu, kata etos berevolusi dan berubah makna menjadi semakin
kompleks. Dari kata yang sama muncul pula istilah ethikos yang berarti teori kehidupan ,
yang kemudian menjadi etika . Dalam bahasa Inggris, etos dapat diterjemahkan menjadi
beberapa pengertian antara lain starting point, to appear, disposition hingga disimpulkan
sebagai character. Dalam bahasa Indonesia kita dapat menterjemahkannya sebagai sifat
dasar , pemunculan atau disposisi (watak) . Sedangkan menurut Sinamo (2005), etos
kerja adalah seperangkat perilaku positif yang berakar pada keyakinan fundamental yang
disertai komitmen total pada paradigma kerja yang integral. Menurutnya, jika seseorang,
suatu organisasi, atau suatu komunitas menganut paradigma kerja, mempercayai, dan
berkomitmen pada paradigma kerja tersebut, semua itu akan melahirkan sikap dan perilaku
kerja mereka yang khas. Itulah yang akan menjadi budaya kerja.
Di Jepang, Korea Selatan, dan China adalah Negara-negara Asia yang kita tahu

demikian pesat perkembangannya setelah mengalami keterpurukan. Salah satu yang selalu
saja disebut-sebut sebagai sikap yang harus dimiliki sebagai bentuk dari etos kerja adalah
disiplin. Kedisiplinan, di segala bentuk kegiatan sangat diperlukan. Disiplin merupakan

perasaan taat dan patuh terhadap nilai-nilai yang dipercaya termasuk melakukan pekerjaan
tertentu yang menjadi tanggung jawabnya. Disiplin memerlukan integritas emosi dalam
mewujudakan keadaan. disiplin diri dapat bermula pada suatu hal yang kecil. Berbeda
dengan manusia Indonesia yang digambarkan oleh Mochtar Lubis dalam bukunya Manusia
Indonesia [1977], etos kerja orang Indonesia adalah (1) Munafik atau hipokrit. Suka berpura-pura,
lain di mulut lain di hati; (2) Enggan bertanggung jawab. Suka mencari kambing hitam; (3) Berjiwa
feodal. Gemar upacara, suka dihormati daripada menghormati dan lebih mementingkan status
daripada prestasi; (4) Percaya takhyul. Gemar hal keramat, mistis dan gaib; (5) Berwatak lemah.
Kurang kuat mempertahankan keyakinan, plinplan, dan gampang terintimidasi. Dari kesemuanya,
hanya ada satu yang positif, yaitu (6) Artistik; dekat dengan alam.

Dalam kaitannya dengan cuti bersama, diakui oleh Agung Laksono bahwa

kedisiplinan yang diharapkan menjadi etos kerja para PNS di negeri ini ternyata tidak
membaik meskipun mereka telah dimanjakan dengan libur bersama tersebut. Mereka
masih memperpanjang hari liburnya pada hari pertama masuk bekerja. Ini bisa

mengindikasikan bahwa kebijakan yang telah ditempuh pemerintah untuk memberikan cuti
bersama telah gagal meningkatkan etos kerja karyawan, dan mendongkrak produktivitas
yang diharapkan. Oleh karenanya, penting bagi pemerintah untuk meninjau ulang. Kita
tunggu di 2014 seperti apa ?