syarat dan rukun wakaf (3)
                                                                                SYARAT DAN RUKUN WAKAF
Makalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Zakat dan Wakaf
Dosen pengampu: Dr. H. A. Hasyim Nawawi, SH., M.Si.
Disusun oleh :
1. Mita ambarsari
2. M. Khasan Badrudin
(1741143224)
(1741143206)
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH 3 F
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
November 2015
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt. atas rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dan tak lupa sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Besar
Muhammad SAW. kepada keluarganya dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti jejak
langkah mereka sampai hari kiamat.
Dengan selesainya pembuatan makalah ini, kami tidak lupa mengucapkan terimakasih
kepada:
1. Dr.Maftuhin, M.Ag, selaku rector IAIN Tulungagung
2. Dr. H. A. Hasyim Nawawi, SH., M.Si. selaku dosen pengampu mata kuliah Fiqih Zakat dan
Wakaf
3. Serta semua pihak yang turut membantu dalam penyelesaian makalah ini
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Dan apabila ada salah kata dalam
penulisan makalah ini, kami mohon maaf sebesar-besarnya, dan mengharapkan kritik dan saran agar
kekurangan dan kelemahan yang ada tidak sampai terulang dalam pembuatan makalah selanjutnya.
Tulungagung, 06 November 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul..................................................................................................
Kata Pengantar..................................................................................................i
Daftar Isi...........................................................................................................ii
BAB 1. PENDAHULUAN
A. Latar belakang..........................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................1
C. Maksud dan Tujuan Penulisan..................................................1
2
BAB 2. PEMBAHASAN
A. Pengertian wakaf............................................................................2
B. Syarat dan Rukun wakaf menurut ulama mazhab..........................3
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan....................................................................................15
Daftar Pustaka...................................................................................................
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai aset, tanah mempunyai peran yang sangat penting dalam
kehidupan. Tak heran, banyak sekali kasus-kasus sengketa yang pada umumnya
terkait dengan status hak atas tanah. Hal ini pada dasarnya sudah disadari betul
oleh para Pendiri Bangsa sejak awal kemerdekaan sehingga masalah pertanahan
menjadi prime act pada waktu itu. Setelah dibahas dalam jangka waktu yang
cukup panjang kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
Pokok-Pokok Agraria atau juga dikenal dengan UUPA sebagai dasar pengaturan
pertanahan di Indonesia.
Oleh karena begitu pentingnya masalah perwakafan tanah ini, dalam UU
Pokok Agraria, diperlukan pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peraturan
pemerintah yang kemudian melahirkan Peraturan Pemerintah No 28 tahun 1977
tentang Perwakafan Tanah Milik. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
No 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dan berbagai peraturan
pelaksanaannya, maka secara yuridis, telah terjadi suatu pembaharuan hukum
pertanahan, dimana persoalan tentang perwakafan tanah telah diatur, ditertibkan
dan diarahkan sedemikian rupa, sehingga benar-benar telah memenuhi hakekat
dan tujuan perwakafan menurut Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi wakaf?
2. Bagaimana syarat dan rukun wakaf menurut ulama madzhab?
C. Maksud dan Tujuan
1. Menjelaskan tentang definisi wakaf.
2. Mendeskripsikan mengenai syarat dan rukun wakaf menurut ulama
mazhab.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wakaf
Pengertian wakaf menurut mazhab syafi’i dan hambali adalah seseorang
menahan hartanya untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan
tetap melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub kepada Allah ta’alaa.
Pengertian wakaf menurut mazhab hanafi adalah menahan harta-benda
sehingga menjadi hukum milik Allah ta’alaa, maka seseorang yang mewakafkan
sesuatu berarti ia melepaskan kepemilikan harta tersebut dan memberikannya
kepada Allah untuk bisa memberikan manfaatnya kepada manusia secara tetap
dan kontinyu, tidak boleh dijual, dihibahkan, ataupun diwariskan.
Pengertian wakaf menurut imam Abu Hanafi adalah menahan
harta-benda atas kepemilikan orang yang berwakaf dan bershadaqah dari hasilnya
atau menyalurkan manfaat dari harta tersebut kepada orang-orang yang
dicintainya. Berdasarkan definisi dari Abu Hanifah ini, maka harta tersebut ada
dalam pengawasan orang yang berwakaf (wakif) selama ia masih hidup, dan bisa
diwariskan kepada ahli warisnya jika ia sudah meninggal baik untuk dijual ayau
dihibahkan. Definisi ini berbeda dengan definisi yang dikeluarkan oleh Abu Yusuf
dan Muhammad, sahabat Imam Abu Hanifah itu sendiri.
Pengertian wakaf menurut mazhab maliki adalah memberikan sesuatu
hasil manfaat dari harta, dimana harta pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan
pemberi manfaat tersebut walaupun sesaat.
Pengertian wakaf menurut peraturan pemerintah no. 28 tahun 1977 adalah
perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta
kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selamalamanya. Bagi kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran agama Islam.
Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wakaf itu
termasuk salah satu diantara macam pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil
manfaatnya, dan bendanya harus tetap utuh. Oleh karena itu, harta yang layak
untuk diwakafkan adalah harta yang tidak habis dipakai dan umumnya tidak dapat
dipindahkan, mislanya tanah, bangunan dan sejenisnya. Utamanya untuk
kepentingan umum, misalnya untuk masjid, mushala, pondok pesantren, panti
asuhan, jalan umum, dan sebagainya.1
1Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika,2009), hlm.65.
B. Syarat dan rukun wakaf
Wakaf dinyatakan syah apabila syarat dan rukunya telah terpenuhi. Rukun
wakaf ada empat (yaitu):
1. Wakif (orang yang mewakafkan harta).
2. Mauquf bih (barang atau harta yang diwakafkan).
3. Mauquf ‘alaih (pihak yang diberi wakaf atau peruntukan wakaf).
4. Sighat (pernyataan atau ikhrar wakif sebagai suatu kehendak untuk
mewakafkan sebagian harta bendanya).2
Para Ulama’ berbeda pendapat dalam menentukan rukun wakaf. Perbedaan
tersebut merupakan implikasi dari perbedaan mereka memandang substansi
wakaf. Jika pengikut Malikiyah, Syafi’iyah, Zaidiyah dan Hanabilah memandang
bahwa rukun wakaf terdiri dari waqif, mauquf alaih, mauquf bih dan sighat,
maka hal ini berbeda dengan pandangan pengikut Hanafi yang mengungkapkan
bahwa rukun wakaf hanyalah sebatas sighat (lafal) yang menunjukkan makna/
substansi wakaf.
Sedangkan dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
yaitu Pasal 6 menyatakan bahwa :
Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
a. Wakif;
b. Nadzir;
c. Harta benda wakaf;
d. Ikrar wakaf;
e. Peruntukan harta benda wakaf;
f. Jangka waktu wakaf.
Sedangkan syarat-syarat wakaf di antaranya adalah:
1. Syarat Wakif
Orang yang mewakafkan (wakif) disyaratkan memiliki kecakapan hukum
atau kamalul ahliyah (legal competent) dalam membelanjakan hartanya.
Kecakapan bertindak disini meliputi empat kriteria yaitu:
a. Merdeka
2 Farida Prihatin, Fiqh Wakaf,(Direktorat Pengembangan Zakat dan
Wakaf Departemen RI ,2007), h. 21.
Wakif yang dilakukan oleh seorang budak (hamba sahaya) tidak sah,
karena wakaf adalah pengguguran hak milik dengan cara memberikan hak
milik itu kepada orang lain. Sedangkan hamba sahaya tidak mempunyai hak
milik, dirinya dan apa yang dimiliki adalah kepunyaan tuannya. Namun
demikian, Abu Zahrah mengatakan bahwa para fuqaha sepakat, budak itu
boleh mewakafkan hartanya apabila ada izin dari tuannya.
b. Berakal sehat
Wakaf yang dilakukan oleh orang gila tidak sah hukumnya, sebab ia tidak
berakal, tidak mumayyiz dan tidak cakap melakukan akad serta tindakan
lainnya. Demikian juga wakaf orang lemah mental (idiot), berubah akal
karena faktor usia, sakit atau kecelakaan, hukumnya tidak sah karena akalnya
tidak sempurna dan tidak cakap untuk menggugurkan hak miliknya.
c. Dewasa (baligh)
Wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa (baligh), hukumnya
tidak sah karena ia dipandang tidak cakap melakukan akad dan tidak cakap
pula untuk menggugurkan hak miliknya.
d. Tidak berada di bawah pengampuan (boros/lalai)
Orang yang berad di bawah pengampuan dipandang tidak cakap untuk
berbuat kebaikan (tabarru’), maka wakaf yang dilakukan hukumnya tidak sah.
Tetapi berdasarkan ihtisan, wakaf orang yang berada di bawah pengampuan
terhadap dirinya sendiri selama hidupnya hukumnya sah. Karena tujuan dari
pengampuan ialah untuk menjaga harta wakaf supaya tidak habis dibelanjakan
untuk sesuatu yang tidak benar, dan untuk menjaga dirinya supaya tidak
menjadi beban orang lain.
2. Syarat Mauquf Bih (harta yang diwakafkan)
Mauquf dipandang sah apabila merupakan harta bernilai, tahan lama
dipergunakan, dan hak milik wakif murni. Benda yang diwakafkan dipandang sah
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :3
a. Benda harus memiliki nilai guna.
Tidak sah hukumnya sesuatu yang bukan benda, misalnya hak-hak yang
bersangkut paut dengan benda, seperti hak irigasi, hak lewat, hak pakai dan lain
3 Farida Prihatin, ibid, hlm26.
sebagainya. Tidak sah pula mewakafkan benda yang tidak berharga menurut
syara’, yaitu benda yang tidak boleh diambil manfaatnya, seperti benda
memabukkan dan benda-benda haram lainnya.
b. Benda tetap atau benda bergerak.
Secara umum yang dijadikan sandaran golongan syafi’iyah dalam
mewakafkan hartanya dilihat dari kekekalan fungsi atau manfaat dari harta
tersebut, baik berupa barang tak bergerak, benda bergerak maupun barang kongsi
(milik bersama).
c. Benda yang diwakafkan harus tertentu (diketahui) ketika terjadi akad wakaf.
Penentuan benda tersebut bisa ditetapkan dengan jumlah seperti seratus
juta rupiah, atau juga bisa menyebutkan dengan nisab terhadap benda tertentu,
misalnya separuh tanah yang dimiliki dan lain sebagainnya. Wakaf yang tidak
menyebutkan secara jelas terhadap harta yang akan diwakafkan tidak sah
hukumnya seperti mewakafkan sebagian tanah yang dimiliki, sejumlah buku, dan
sebagainya.
d. Benda yang diwakafkan benar-benar telah menjadi milik tetap (al-milk
at-tamm) si wakif (orang yang mewakafkan) ketika terjadi akad wakaf.
Dengan demikian jika seseorang mewakafkan benda yang bukan atau
belum miliknya, walaupun nantinya akan menjadi miliknya maka hukumnya
tidak sah, seperti mewakafkan tanah yang masih dalam sengketa atau jaminan
jual beli dan lain sebagainya. Ada perbedaan pendapat menurut ulama mazhab
dalam menentukan syarat-syarat benda yang diwakafkan, yaitu:
1) Ulama Mazhab Hanafi mensyaratkan harta yang diwakafkan itu :
a. Harus bernilai harta menurut syara’ dan merupakan benda tidak bergerak.
Oleh sebab itu, minuman keras tidak bisa diwakafkan, karena minuman keras
dan sejenisnya tidak tergolong harta dalam pandangan syara’. Di samping itu
haqq al-irtifaq (hak memanfaatkan harta orang lain) tidak boleh diwakafkan,
karena hak seperti itu tidak termasuk harta bagi mereka dan harta yang
bergerak pun tidak bisa menjadi objek wakaf, karena objek wakaf itu harus
yang bersifat tetap.
b. Tentu dan jelas.
c. Milik sah waqif, ketika berlangsung akad dan tidak terkait hak orang lain
pada harta itu.
2) Ulama Mazhab Maliki mensyaratkan harta yang diwakafkan itu :
a. Milik sendiri, tidak terkait dengan orang lain.
b. Harta tertentu dan jelas.
c. Dapat dimanfaatkan.
Oleh sebab itu, harta yang sedang menjadi jaminan utang, dan harta yang
sedang disewakan orang tidak boleh diwakafkan. Akan tetapi Ulama Mazhab
Maliki membolehkan mewakafkan manfaat hewan untuk dipergunakan dan
mewakafkan makanan, uang, dan benda tidak bergerak lainnya.
3) Ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanabilah mensyaratkan harta
yang diwakafkan itu :
a. Sesuatu yang jelas dan tertentu.
b. Milik sempurna waqif dan tidak terkait dengan hak orang lain.
c. Bisa dimanfaatkan sesuai dengan adat setempat.
d. Pemanfaatan harta itu bisa berlangsung terus-menerus tanpa dibatasi waktu.
Apabila pemanfaatan harta itu tidak bersifat langgeng, seperti makanan tidak
sah wakafnya. Di samping itu, menurut mereka, baik harta bergerak, seperti
mobil dan hewan ternak, maupun harta tidak bergerak, seperti rumah dan
tanaman, boleh diwakafkan.
3. Syarat Mauquf ‘alaih (penerimaan wakaf)
Yang dimaksud dengan mauquf ‘alaih adalah tujuan wakaf (peruntukan
wakaf). Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas yang sesuai dan diperbolehkan
syariat islam. Karena pada dasarnya, wakaf merupakan amal yang mendekatkan
diri manusia kepada Tuhan. Karena itu mauquf ‘alaih (yang diberi wakaf)
haruslah pihak kebajikan. Para faqih sepakat berpendapat bahwa infaq kepada
kebajikan itulah yang membuat wakaf ssebagai ibadah yang mendekatkan diri
manusia kepada Tuhannya.
Namun terdapat perbedaaan antara para faqiha mengenai jenis ibadat
disini, apakah ibadat menurut pandangan islam ataukah menurut keyakinan wakif
atau keduanya, yaitu menurut pandangan islam dan keyakinan wakif.4
a. Mazhab Hanafi mensyaratkan agar mauquf ‘alaih (yang diberi wakaf)
ditujukan untuk ibadah menurut pandangan islam dan menurut keyakinan
wakif. Jika tidak terwujud salah satunya, maka wakaf tidak sah, karena itu:
i.
Sah wakaf orang islam kepada semua syi’ar-syi’ar islam dan pihak
kebajikan,
seperti
orang-orang
miskin,
rumah
sakit,
tempat
penampungan dan sekolah. Adapun wakaf selain syi’ar-syi’ar islam
ii.
dan pihak-pihak kebajikan hukumnya tidak sah, seperti klub judi.
Sah wakaf non muslim kepada pihak kebajikan umum seperti tempat
ibadat pada pandangan islam seperti pembangunan masjid, biaya
masjid, bantuan kepada jamaah haji dan lain-lain. Adapun kepada
selain pihak kebajikan umum dan tempat ibadat dalam pandangan
agamanya saja seperti pembangunan gereja, biaya pengurusan gereja
hukumnya tidak sah.
ب ل ههه
هصهدهقةة هجالري هةة ي هسعلنى ث ههوبهدها ي ه س
جلرى ا هبهددا هوضهغي سلر ال سهمسسللمم هلاث ههو ه
Artinya:
Pahala sedekah jariyah terus mengalir selain muslim tidak ada pahalanya.
b. Madzhab Maliki mensyaratkan agar mauquf ‘alaih (peruntukan wkakaf)
untuk ibadat menurut pandangan wakif. Sah wakaf muslim kepada semua
syi’ar islam dan badan-badan sosial umum. Dan tidak sah wakaf non muslim
kepada masjid dan syi’ar-syia’ar islam.
c. Mazhab Syafi’i dan Hambali menyatakan agar mauquf ‘alaih adalah ibadah
menurut pandangan islam saja, tanpa memandang keyakinan wakif. Karena
itu sah wakaf muslim dan non muslim kepada badan-badan sosial seperti,
penampungan, tempat peristirahatan, badan kebajikan dalam islam seperti
masjid. Dan tidak sah wakaf muslim dan non muslim kepada badan-badan
sosial yang tidak sejalan dengan islam seperti gereja.
4 Farida Prihatin, ibid, hlm.37
Secara khusus,ahli fiqih dari mazhab Syafi’i (Syafi’iyyah), membagi tempat
penyaluran wakaf kepada dua bagian yaitu: a) orang tertentu (baik satu orang
atau jamaah tertentu), b) tidak tertentu.
a) Kepada orang tertentu (jamaah tertentu)
Imam Nawawi menyebut bagian ini dengan “syahsan mu’ayyinan au
jamaatan mu’ayyina” (satu orang atau kelompok tertentu). Syaratnya ialah
hendaklah penerima wakaf dapat memiliki harta yang diwakafkan kepadanya
pada saat pemberian wakaf. Syarat tersebut membukakan peluang penyaluran
wakaf kepada anggota masyarakat yang cukup luas, baik individu maupun
kelompok.
i.
Wakaf kepada diri sendiri
Ada dua pendapat tentang hukum wakif wakaf kepada diri sendiri.
Pertama, Abu Yusuf, Ibn Abi Laila, Ibn Syubramah, sebagian ahli mazhab
Syafi’i dan Hambali memperbolehkan wakif mewakafkan sebagian atau
seluruh wakafnya kepada dirinya sendiri. Diantara pendukungnya mazhab
Syafi’i ialah Zubairi. Dalil dari pendapat ini adalah: bahwa penetapan hak
terhadap sesuatu sebagai wakaf tidak sama dengan penetapannyasebagai milik.
Contoh: wakif mewakafkan hartanya kepada fakir miskin dengan syarat ia ikut
mendapat hasil wakafnya.
Kedua, Muhammad, mazhab Maliki dan mayoritas mazhab Hambali
membolehkannya. Diantara pendukungnya dari kalangan mazhab Syafi’i ialah
Nawawi. Ia menilai pendapat ini paling kuat dalam mazhab Syafi’i. Dalil
pendapt ini ialah bahwa seorang pemilik harta tidak dapat memilikkan apa
yang telah dimilikinya kepada dirinya sendiri, karena ia telah memilikinya.
Membuat sesuatu yang telah terjadi adalah mustahil. Penerapan pendapat ini
akan menutup kemungkinan menjadikan wakaf sebagai helat (tipu daya) untuk
menutupi kekayaan dari pengalihan hak milik selama pemiliknya hidup.
ii.
Wakaf kepada muslim (muslimat)
iii.
Wakaf kepada non muslim tertentu atau kelompok tertentu
i) Kepada kafir dzimmi dari muslim (muslimat)
Imam Nawawi mengatakan: “hukumnya sah, wakaf kepada kafir
dzimmi tertentu, baik dari kaum muslim maupun dari kafir dzimmi juga”.
Namun ahli fiqih menetapkan dua syarat yaitu: hendaklah obyek
wakafnya terdiri dari benda yang dapat dimiliki non muslim. Sebab itu
mereka melarang wakaf kitab suci Al-Qur’an, buku-buku Al-Qur’an yang
mengandung ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah. Hendaklah tidak
mengandung unsur maksiat. Karena itu tidak sah wakaf kepada non
muslim apabila mengandug unsur maksiat, seperti berwakaf kepada
pelayan gereja dan tikar untuk gereja.
ii) Kepada kafir dzimmi dari kafir dzimmi juga
Imam Nawawi menjelaskan: sah wakaf kepada kafir dzimmi baik dari
muslim maupundari kafir dzimmi juga. Artinya, orang kafir dzimi yang
hidup dalam masyarakat islam boleh berwakaf kepada kafir dzimmi juga.
b) Wakaf kepada yang tidak tertentu
Tempat penyaluran wakaf ialah kepada pihak tertentu. Nawawi
menyebutnya “wa’fan ‘ala al-jihati” (berwakaf ke pihak umum). Tujuan wakif
ialah memberikan wakaf kepada pihak yang menderita kefakiran dan
kemiskinan, secara umum, bukan kepada pribadi-pribadi tertentu. Contohnya
ialah seperti wakaf kepada orang orang fakir dan miskin, para mujahid, masjidmasjid, sekolah-sekolah, pengurusan jenazah, tempat penampungan anak yatim
piatu dan sebagainya.
4. Shighat (pernyataan atau ikrar wakaf sebagai suatu
kehendak untuk mewakafkan sebagian harta bendanya)
a. Pengertian Shighat
Shighat adalah (lafadz) atau pernyataan wakaf dapat dikemukakan dengan
tulisan, lisan atau suatu isyarat yang dapat dipahami maksudnya. Pernyataan
dengan tulisan atau lisan dapat digunakan untuk menyatakan wakaf oleh siapa
saja, sedangkan cara isyarat hanya bagi orang yang tidak dapat menggunakan
dengan cara tulisan atau lisan. Tentu pernyataan dengan isyarat tersebut harus
sampai benar-benar dimengerti pihak penerima wakaf agar dapat menghindari
persengketaan di kemudian hari.5
Adapun lafadz sighat wakaf ada dua macam, yaitu :
a. Lafadz yang jelas (sharih).
Lafal wakaf bisa dikatakan jelas apabila lafal itu populer sering digunakan
dalam transaksi wakaf. Ada tiga jenis lafal yang termasuk dalam kelompok ini
yaitu: al waqf (wakaf), al-habs (menahan) dan altasbil (berderma). Bila lafal ini
5 Farida Prihatin, Ibid,hlm. 55.
dipakai dalam ijab wakaf, maka sahlah wakaf itu, sebab lafal tersebut tidak
mengandung suatu pengertian lain kecuali kepada wakaf. Selain ketiga bentuk ini,
para fuqoha masih berselisih pendapat. Ibnu Qudamah berkata : “Lafal-lafal
wakaf yang sharih (jelas) itu ada tiga macam yaitu: waqaftu (saya mewakafkan),
habistu (saya
menahan harta) dan sabbitu (saya mendermakan). Dalam kitab Raudhah Al
Thalibin Imam Nawawi berkata : “Perkataan waqaftu (saya mewakafkan), habistu
(saya menahan), atau didermakan, semua itu merupakan lafal yang jelas, dan yang
demikian ini adalah yang paling benar sebagaimana ditegaskan oleh mayoritas
fuqaha”.
Imam Nawawi menyepakati kesahihan lafal sarih di atas. Karenanya, jika
seseorang menyatakan, “aku menyedekahkan tanahku ini secara permanent” atau
“aku menyedekahkan tanahku ini tidak untuk dijual maupun untuk di hibahkan”,
maka yang demikian itu, menurut pendapat yang paling benar, dinilai sebagai
lafadz yang jelas. Namun kejelasan yang digambarkan oleh Nawawi pada contoh
terakhir bukan merupakan kejelasan secara langsung.
Lafal ini menjadi sarih (jelas) karena adanya indikasi yang mengarah pada
makna wakaf secara jelas. Jika tidak ada indikasi tersebut, maka ungkapan itu
dengan sendirinya menjadi samar tau tidak jelas.
b. Lafaz kiasan (kinayah)
Kalau lafal ini dipakai, harus dibarengi dengan niat wakaf.Sebab lafadz
“tashaddaqtu” bisa berarti shadaqah wajib seperti zakat
dan shadaqah sunnah. Lafadz “harramtu” bisa berarti dzihar, tapi bisa
juga berarti wakaf. Kemudian lafadz “abbadtu” juga bisa berarti semua
pengeluaran harta benda untuk selamanya. Sehingga semua lafadz
kiyasan yang dipakai untuk mewakafkan sesuatu harus disertai dengan
niat wakaf secara tegas.
b. Status Shighat
Status Shighat (pernyataan), secara umum adalah salah
satu rukun wakaf. Wakaf tidak sah tanpa shighat, setiap shighat
mengandung ijab dan mungkin mengandung qabul pula.6
c. Dasar Shighat
Dasar (dalil) perlunya Shighat (pernyataan) ialah karena
wakaf adalah melepaskan hak milik dan benda dan manfaat atau
dari manfaat saja dan memiliki kepada yang lain, maksud tujuan
melepaskan dan memilikkan adalah urusan hati. Tidak ada yang
menyelami isi hati orang lain secara jelas, kecuali melalui
pernyataan sendiri. Ijab wakif tersebut mengungkapkan dengan
jelas keinginan wakif memberi wakaf, wakaf dapat berupa katakata dan bagi wakif yang tidak mampu mengungkapkannya
dengan kata-kata, maka ijab dapat berupa tulisan atau isyarat.
Namun demikian, selain penegasan lafaz yang dipakai dalam
shighat (ikrar), perlu kiranya memperhatikan syarat-syarat
sahnya sighat ijab, baik berupa ucapan maupun tulisan :
1)
Shighat
harus
munajazah
(terjadi
seketika/
selesai),
maksudnya ialah
shighat tersebut menunjukkan terjadinya dan terlaksananya
wakaf seketika setelah shighat ijab diucapkan atau ditulis,
misalnya wakif berkata “Saya mewakafkan tanah saya… atau
saya sedekahkan tanah saya sebagai wakaf”.
2) Shighat tidak diikuti syarat batil/ palsu, maksudnya ialah
syarat yang menodai atau mencederai dasar wakaf atau
meniadakan
hukumnya,
yakni
kelaziman
dan
keabadian.
Misalnya wakif berkata : “Saya mewakafkan rumah ini untuk diri
saya sendiri seumur hidup, kemudian setelah saya meninggal
untuk anak-anak dan cucu-cucu saya dengan syarat bahwa saya
boleh
menjual
atau
menggadaikannya
kapan
saja
saya
kehendaki…atau jika saya meninggal wakaf ini menjadi harta
waris bagi para ahli waris saja”.
6 Farida Prihatin, ibid. hlm.56.
3) Shighat tidak diikuti pembatasan waktu tertentu dengan kata
lain bahwa wakaf tersebut tidak untuk selamanya. Wakaf adalah
shadaqah jariyah yang disyari’atkan untuk selamanya, jika
dibatasi waktu berarti bertentangan dengan syari’at, oleh karena
itu hukumnya tidak sah.
4) Tidak mengandung suatu pengertian untuk mencabut kembali
wakaf yang sudah dilakukan. Semua golongan ulama pada
dasarnya sepakat dengan syarat-syarat di atas, kecuali golongan
Malikiyah yang justru pendapatnya bertolak belakang dengan
syarat-syarat tersebut di atas. Mereka berpendapat bahwa:
a. Tidak diisyaratkan dalam perwakafan untuk selamanya,
walaupun itu berupa masjid. Tapi boleh mewakafkan selama
setahun atau lebih dalam waktu tertentu, kemudian benda
itu kembali menjadi milik si wakif.
b. Tidak harus bebas dari suatu syarat, maka boleh berkata:
Barang itu diwakafkan kepada sesuatu setelah satu bulan
atau satu tahun, atau berkata: Kalau rumah ini milik saya,
maka saya wakafkan.
c. Tidak harus ditentukan penggunaannya, maka boleh berkata:
Saya wakafkan benda ini kepada Allah SWT tanpa ditentukan
kepada siapa wakaf itu ditujukan.7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Wakaf termasuk salah satu diantara macam pemberian, akan tetapi hanya
boleh diambil manfaatnya, dan bendanya harus tetap utuh. Oleh karena itu, harta
7 Farida Prihatin, ibid, hlm.57.
yang layak untuk diwakafkan adalah harta yang tidak habis dipakai dan umumnya
tidak dapat dipindahkan, mislanya tanah, bangunan dan sejenisnya.
Rukun wakaf ada empat (yaitu): Wakif (orang yang mewakafkan harta),
Mauquf bih (barang atau harta yang diwakafkan), Mauquf ‘alaih (pihak yang
diberi wakaf atau peruntukan wakaf), Sighat (pernyataan atau ikhrar wakif
sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan sebagian harta bendanya).
Syarat-syarat wakat adalah sebagai berikut: a. Syarat wakif: merdeka,
baligh, berakal sehat, tdak boros. b. syarat mauquf bih: Benda harus memiliki nilai
guna, benda tetap atau benda bergerak, benda yang diwakafkan harus tertentu
(diketahui) ketika terjadi akad wakaf, benda yang diwakafkan harus diketahui
akadnya ketika berwaqaf, benda yang diwakafkan benar-benar telah menjadi milik
tetap (al-milkat-tamm) si wakif (orang yang mewakafkan) ketika terjadi akad
wakaf. c. syarat mauquf ‘alaih : Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas yang
sesuai dan diperbolehkan syariat islam. Karena pada dasarnya, wakaf merupakan
amal yang mendekatkan diri manusia kepada Tuhan. Karena itu mauquf ‘alaih
(yang diberi wakaf) haruslah pihak kebajikan. Para faqih sepakat berpendapat
bahwa infaq kepada kebajikan itulah yang membuat wakaf ssebagai ibadah yang
mendekatkan diri manusia kepada Tuhannya. c. sighat : Shighat adalah (lafadz)
atau pernyataan wakaf dapat dikemukakan dengan tulisan, lisan atau suatu isyarat
yang dapat dipahami maksudnya. Pernyataan dengan tulisan atau lisan dapat
digunakan untuk menyatakan wakaf oleh siapa saja, sedangkan cara isyarat hanya
bagi orang yang tidak dapat menggunakan dengan cara tulisan atau lisan. Tentu
pernyataan dengan isyarat tersebut harus sampai benar-benar dimengerti pihak
penerima wakaf agar dapat menghindari persengketaan di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Usman, Rachmadi. 2009. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika.
Prihatin, Farida. 2007. Fiqh Wakaf. Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf
Departemen RI.
                                            
                Makalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Zakat dan Wakaf
Dosen pengampu: Dr. H. A. Hasyim Nawawi, SH., M.Si.
Disusun oleh :
1. Mita ambarsari
2. M. Khasan Badrudin
(1741143224)
(1741143206)
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH 3 F
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
November 2015
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt. atas rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dan tak lupa sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Besar
Muhammad SAW. kepada keluarganya dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti jejak
langkah mereka sampai hari kiamat.
Dengan selesainya pembuatan makalah ini, kami tidak lupa mengucapkan terimakasih
kepada:
1. Dr.Maftuhin, M.Ag, selaku rector IAIN Tulungagung
2. Dr. H. A. Hasyim Nawawi, SH., M.Si. selaku dosen pengampu mata kuliah Fiqih Zakat dan
Wakaf
3. Serta semua pihak yang turut membantu dalam penyelesaian makalah ini
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Dan apabila ada salah kata dalam
penulisan makalah ini, kami mohon maaf sebesar-besarnya, dan mengharapkan kritik dan saran agar
kekurangan dan kelemahan yang ada tidak sampai terulang dalam pembuatan makalah selanjutnya.
Tulungagung, 06 November 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul..................................................................................................
Kata Pengantar..................................................................................................i
Daftar Isi...........................................................................................................ii
BAB 1. PENDAHULUAN
A. Latar belakang..........................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................1
C. Maksud dan Tujuan Penulisan..................................................1
2
BAB 2. PEMBAHASAN
A. Pengertian wakaf............................................................................2
B. Syarat dan Rukun wakaf menurut ulama mazhab..........................3
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan....................................................................................15
Daftar Pustaka...................................................................................................
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai aset, tanah mempunyai peran yang sangat penting dalam
kehidupan. Tak heran, banyak sekali kasus-kasus sengketa yang pada umumnya
terkait dengan status hak atas tanah. Hal ini pada dasarnya sudah disadari betul
oleh para Pendiri Bangsa sejak awal kemerdekaan sehingga masalah pertanahan
menjadi prime act pada waktu itu. Setelah dibahas dalam jangka waktu yang
cukup panjang kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
Pokok-Pokok Agraria atau juga dikenal dengan UUPA sebagai dasar pengaturan
pertanahan di Indonesia.
Oleh karena begitu pentingnya masalah perwakafan tanah ini, dalam UU
Pokok Agraria, diperlukan pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peraturan
pemerintah yang kemudian melahirkan Peraturan Pemerintah No 28 tahun 1977
tentang Perwakafan Tanah Milik. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
No 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dan berbagai peraturan
pelaksanaannya, maka secara yuridis, telah terjadi suatu pembaharuan hukum
pertanahan, dimana persoalan tentang perwakafan tanah telah diatur, ditertibkan
dan diarahkan sedemikian rupa, sehingga benar-benar telah memenuhi hakekat
dan tujuan perwakafan menurut Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi wakaf?
2. Bagaimana syarat dan rukun wakaf menurut ulama madzhab?
C. Maksud dan Tujuan
1. Menjelaskan tentang definisi wakaf.
2. Mendeskripsikan mengenai syarat dan rukun wakaf menurut ulama
mazhab.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wakaf
Pengertian wakaf menurut mazhab syafi’i dan hambali adalah seseorang
menahan hartanya untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan
tetap melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub kepada Allah ta’alaa.
Pengertian wakaf menurut mazhab hanafi adalah menahan harta-benda
sehingga menjadi hukum milik Allah ta’alaa, maka seseorang yang mewakafkan
sesuatu berarti ia melepaskan kepemilikan harta tersebut dan memberikannya
kepada Allah untuk bisa memberikan manfaatnya kepada manusia secara tetap
dan kontinyu, tidak boleh dijual, dihibahkan, ataupun diwariskan.
Pengertian wakaf menurut imam Abu Hanafi adalah menahan
harta-benda atas kepemilikan orang yang berwakaf dan bershadaqah dari hasilnya
atau menyalurkan manfaat dari harta tersebut kepada orang-orang yang
dicintainya. Berdasarkan definisi dari Abu Hanifah ini, maka harta tersebut ada
dalam pengawasan orang yang berwakaf (wakif) selama ia masih hidup, dan bisa
diwariskan kepada ahli warisnya jika ia sudah meninggal baik untuk dijual ayau
dihibahkan. Definisi ini berbeda dengan definisi yang dikeluarkan oleh Abu Yusuf
dan Muhammad, sahabat Imam Abu Hanifah itu sendiri.
Pengertian wakaf menurut mazhab maliki adalah memberikan sesuatu
hasil manfaat dari harta, dimana harta pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan
pemberi manfaat tersebut walaupun sesaat.
Pengertian wakaf menurut peraturan pemerintah no. 28 tahun 1977 adalah
perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta
kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selamalamanya. Bagi kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran agama Islam.
Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wakaf itu
termasuk salah satu diantara macam pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil
manfaatnya, dan bendanya harus tetap utuh. Oleh karena itu, harta yang layak
untuk diwakafkan adalah harta yang tidak habis dipakai dan umumnya tidak dapat
dipindahkan, mislanya tanah, bangunan dan sejenisnya. Utamanya untuk
kepentingan umum, misalnya untuk masjid, mushala, pondok pesantren, panti
asuhan, jalan umum, dan sebagainya.1
1Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika,2009), hlm.65.
B. Syarat dan rukun wakaf
Wakaf dinyatakan syah apabila syarat dan rukunya telah terpenuhi. Rukun
wakaf ada empat (yaitu):
1. Wakif (orang yang mewakafkan harta).
2. Mauquf bih (barang atau harta yang diwakafkan).
3. Mauquf ‘alaih (pihak yang diberi wakaf atau peruntukan wakaf).
4. Sighat (pernyataan atau ikhrar wakif sebagai suatu kehendak untuk
mewakafkan sebagian harta bendanya).2
Para Ulama’ berbeda pendapat dalam menentukan rukun wakaf. Perbedaan
tersebut merupakan implikasi dari perbedaan mereka memandang substansi
wakaf. Jika pengikut Malikiyah, Syafi’iyah, Zaidiyah dan Hanabilah memandang
bahwa rukun wakaf terdiri dari waqif, mauquf alaih, mauquf bih dan sighat,
maka hal ini berbeda dengan pandangan pengikut Hanafi yang mengungkapkan
bahwa rukun wakaf hanyalah sebatas sighat (lafal) yang menunjukkan makna/
substansi wakaf.
Sedangkan dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
yaitu Pasal 6 menyatakan bahwa :
Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
a. Wakif;
b. Nadzir;
c. Harta benda wakaf;
d. Ikrar wakaf;
e. Peruntukan harta benda wakaf;
f. Jangka waktu wakaf.
Sedangkan syarat-syarat wakaf di antaranya adalah:
1. Syarat Wakif
Orang yang mewakafkan (wakif) disyaratkan memiliki kecakapan hukum
atau kamalul ahliyah (legal competent) dalam membelanjakan hartanya.
Kecakapan bertindak disini meliputi empat kriteria yaitu:
a. Merdeka
2 Farida Prihatin, Fiqh Wakaf,(Direktorat Pengembangan Zakat dan
Wakaf Departemen RI ,2007), h. 21.
Wakif yang dilakukan oleh seorang budak (hamba sahaya) tidak sah,
karena wakaf adalah pengguguran hak milik dengan cara memberikan hak
milik itu kepada orang lain. Sedangkan hamba sahaya tidak mempunyai hak
milik, dirinya dan apa yang dimiliki adalah kepunyaan tuannya. Namun
demikian, Abu Zahrah mengatakan bahwa para fuqaha sepakat, budak itu
boleh mewakafkan hartanya apabila ada izin dari tuannya.
b. Berakal sehat
Wakaf yang dilakukan oleh orang gila tidak sah hukumnya, sebab ia tidak
berakal, tidak mumayyiz dan tidak cakap melakukan akad serta tindakan
lainnya. Demikian juga wakaf orang lemah mental (idiot), berubah akal
karena faktor usia, sakit atau kecelakaan, hukumnya tidak sah karena akalnya
tidak sempurna dan tidak cakap untuk menggugurkan hak miliknya.
c. Dewasa (baligh)
Wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa (baligh), hukumnya
tidak sah karena ia dipandang tidak cakap melakukan akad dan tidak cakap
pula untuk menggugurkan hak miliknya.
d. Tidak berada di bawah pengampuan (boros/lalai)
Orang yang berad di bawah pengampuan dipandang tidak cakap untuk
berbuat kebaikan (tabarru’), maka wakaf yang dilakukan hukumnya tidak sah.
Tetapi berdasarkan ihtisan, wakaf orang yang berada di bawah pengampuan
terhadap dirinya sendiri selama hidupnya hukumnya sah. Karena tujuan dari
pengampuan ialah untuk menjaga harta wakaf supaya tidak habis dibelanjakan
untuk sesuatu yang tidak benar, dan untuk menjaga dirinya supaya tidak
menjadi beban orang lain.
2. Syarat Mauquf Bih (harta yang diwakafkan)
Mauquf dipandang sah apabila merupakan harta bernilai, tahan lama
dipergunakan, dan hak milik wakif murni. Benda yang diwakafkan dipandang sah
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :3
a. Benda harus memiliki nilai guna.
Tidak sah hukumnya sesuatu yang bukan benda, misalnya hak-hak yang
bersangkut paut dengan benda, seperti hak irigasi, hak lewat, hak pakai dan lain
3 Farida Prihatin, ibid, hlm26.
sebagainya. Tidak sah pula mewakafkan benda yang tidak berharga menurut
syara’, yaitu benda yang tidak boleh diambil manfaatnya, seperti benda
memabukkan dan benda-benda haram lainnya.
b. Benda tetap atau benda bergerak.
Secara umum yang dijadikan sandaran golongan syafi’iyah dalam
mewakafkan hartanya dilihat dari kekekalan fungsi atau manfaat dari harta
tersebut, baik berupa barang tak bergerak, benda bergerak maupun barang kongsi
(milik bersama).
c. Benda yang diwakafkan harus tertentu (diketahui) ketika terjadi akad wakaf.
Penentuan benda tersebut bisa ditetapkan dengan jumlah seperti seratus
juta rupiah, atau juga bisa menyebutkan dengan nisab terhadap benda tertentu,
misalnya separuh tanah yang dimiliki dan lain sebagainnya. Wakaf yang tidak
menyebutkan secara jelas terhadap harta yang akan diwakafkan tidak sah
hukumnya seperti mewakafkan sebagian tanah yang dimiliki, sejumlah buku, dan
sebagainya.
d. Benda yang diwakafkan benar-benar telah menjadi milik tetap (al-milk
at-tamm) si wakif (orang yang mewakafkan) ketika terjadi akad wakaf.
Dengan demikian jika seseorang mewakafkan benda yang bukan atau
belum miliknya, walaupun nantinya akan menjadi miliknya maka hukumnya
tidak sah, seperti mewakafkan tanah yang masih dalam sengketa atau jaminan
jual beli dan lain sebagainya. Ada perbedaan pendapat menurut ulama mazhab
dalam menentukan syarat-syarat benda yang diwakafkan, yaitu:
1) Ulama Mazhab Hanafi mensyaratkan harta yang diwakafkan itu :
a. Harus bernilai harta menurut syara’ dan merupakan benda tidak bergerak.
Oleh sebab itu, minuman keras tidak bisa diwakafkan, karena minuman keras
dan sejenisnya tidak tergolong harta dalam pandangan syara’. Di samping itu
haqq al-irtifaq (hak memanfaatkan harta orang lain) tidak boleh diwakafkan,
karena hak seperti itu tidak termasuk harta bagi mereka dan harta yang
bergerak pun tidak bisa menjadi objek wakaf, karena objek wakaf itu harus
yang bersifat tetap.
b. Tentu dan jelas.
c. Milik sah waqif, ketika berlangsung akad dan tidak terkait hak orang lain
pada harta itu.
2) Ulama Mazhab Maliki mensyaratkan harta yang diwakafkan itu :
a. Milik sendiri, tidak terkait dengan orang lain.
b. Harta tertentu dan jelas.
c. Dapat dimanfaatkan.
Oleh sebab itu, harta yang sedang menjadi jaminan utang, dan harta yang
sedang disewakan orang tidak boleh diwakafkan. Akan tetapi Ulama Mazhab
Maliki membolehkan mewakafkan manfaat hewan untuk dipergunakan dan
mewakafkan makanan, uang, dan benda tidak bergerak lainnya.
3) Ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanabilah mensyaratkan harta
yang diwakafkan itu :
a. Sesuatu yang jelas dan tertentu.
b. Milik sempurna waqif dan tidak terkait dengan hak orang lain.
c. Bisa dimanfaatkan sesuai dengan adat setempat.
d. Pemanfaatan harta itu bisa berlangsung terus-menerus tanpa dibatasi waktu.
Apabila pemanfaatan harta itu tidak bersifat langgeng, seperti makanan tidak
sah wakafnya. Di samping itu, menurut mereka, baik harta bergerak, seperti
mobil dan hewan ternak, maupun harta tidak bergerak, seperti rumah dan
tanaman, boleh diwakafkan.
3. Syarat Mauquf ‘alaih (penerimaan wakaf)
Yang dimaksud dengan mauquf ‘alaih adalah tujuan wakaf (peruntukan
wakaf). Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas yang sesuai dan diperbolehkan
syariat islam. Karena pada dasarnya, wakaf merupakan amal yang mendekatkan
diri manusia kepada Tuhan. Karena itu mauquf ‘alaih (yang diberi wakaf)
haruslah pihak kebajikan. Para faqih sepakat berpendapat bahwa infaq kepada
kebajikan itulah yang membuat wakaf ssebagai ibadah yang mendekatkan diri
manusia kepada Tuhannya.
Namun terdapat perbedaaan antara para faqiha mengenai jenis ibadat
disini, apakah ibadat menurut pandangan islam ataukah menurut keyakinan wakif
atau keduanya, yaitu menurut pandangan islam dan keyakinan wakif.4
a. Mazhab Hanafi mensyaratkan agar mauquf ‘alaih (yang diberi wakaf)
ditujukan untuk ibadah menurut pandangan islam dan menurut keyakinan
wakif. Jika tidak terwujud salah satunya, maka wakaf tidak sah, karena itu:
i.
Sah wakaf orang islam kepada semua syi’ar-syi’ar islam dan pihak
kebajikan,
seperti
orang-orang
miskin,
rumah
sakit,
tempat
penampungan dan sekolah. Adapun wakaf selain syi’ar-syi’ar islam
ii.
dan pihak-pihak kebajikan hukumnya tidak sah, seperti klub judi.
Sah wakaf non muslim kepada pihak kebajikan umum seperti tempat
ibadat pada pandangan islam seperti pembangunan masjid, biaya
masjid, bantuan kepada jamaah haji dan lain-lain. Adapun kepada
selain pihak kebajikan umum dan tempat ibadat dalam pandangan
agamanya saja seperti pembangunan gereja, biaya pengurusan gereja
hukumnya tidak sah.
ب ل ههه
هصهدهقةة هجالري هةة ي هسعلنى ث ههوبهدها ي ه س
جلرى ا هبهددا هوضهغي سلر ال سهمسسللمم هلاث ههو ه
Artinya:
Pahala sedekah jariyah terus mengalir selain muslim tidak ada pahalanya.
b. Madzhab Maliki mensyaratkan agar mauquf ‘alaih (peruntukan wkakaf)
untuk ibadat menurut pandangan wakif. Sah wakaf muslim kepada semua
syi’ar islam dan badan-badan sosial umum. Dan tidak sah wakaf non muslim
kepada masjid dan syi’ar-syia’ar islam.
c. Mazhab Syafi’i dan Hambali menyatakan agar mauquf ‘alaih adalah ibadah
menurut pandangan islam saja, tanpa memandang keyakinan wakif. Karena
itu sah wakaf muslim dan non muslim kepada badan-badan sosial seperti,
penampungan, tempat peristirahatan, badan kebajikan dalam islam seperti
masjid. Dan tidak sah wakaf muslim dan non muslim kepada badan-badan
sosial yang tidak sejalan dengan islam seperti gereja.
4 Farida Prihatin, ibid, hlm.37
Secara khusus,ahli fiqih dari mazhab Syafi’i (Syafi’iyyah), membagi tempat
penyaluran wakaf kepada dua bagian yaitu: a) orang tertentu (baik satu orang
atau jamaah tertentu), b) tidak tertentu.
a) Kepada orang tertentu (jamaah tertentu)
Imam Nawawi menyebut bagian ini dengan “syahsan mu’ayyinan au
jamaatan mu’ayyina” (satu orang atau kelompok tertentu). Syaratnya ialah
hendaklah penerima wakaf dapat memiliki harta yang diwakafkan kepadanya
pada saat pemberian wakaf. Syarat tersebut membukakan peluang penyaluran
wakaf kepada anggota masyarakat yang cukup luas, baik individu maupun
kelompok.
i.
Wakaf kepada diri sendiri
Ada dua pendapat tentang hukum wakif wakaf kepada diri sendiri.
Pertama, Abu Yusuf, Ibn Abi Laila, Ibn Syubramah, sebagian ahli mazhab
Syafi’i dan Hambali memperbolehkan wakif mewakafkan sebagian atau
seluruh wakafnya kepada dirinya sendiri. Diantara pendukungnya mazhab
Syafi’i ialah Zubairi. Dalil dari pendapat ini adalah: bahwa penetapan hak
terhadap sesuatu sebagai wakaf tidak sama dengan penetapannyasebagai milik.
Contoh: wakif mewakafkan hartanya kepada fakir miskin dengan syarat ia ikut
mendapat hasil wakafnya.
Kedua, Muhammad, mazhab Maliki dan mayoritas mazhab Hambali
membolehkannya. Diantara pendukungnya dari kalangan mazhab Syafi’i ialah
Nawawi. Ia menilai pendapat ini paling kuat dalam mazhab Syafi’i. Dalil
pendapt ini ialah bahwa seorang pemilik harta tidak dapat memilikkan apa
yang telah dimilikinya kepada dirinya sendiri, karena ia telah memilikinya.
Membuat sesuatu yang telah terjadi adalah mustahil. Penerapan pendapat ini
akan menutup kemungkinan menjadikan wakaf sebagai helat (tipu daya) untuk
menutupi kekayaan dari pengalihan hak milik selama pemiliknya hidup.
ii.
Wakaf kepada muslim (muslimat)
iii.
Wakaf kepada non muslim tertentu atau kelompok tertentu
i) Kepada kafir dzimmi dari muslim (muslimat)
Imam Nawawi mengatakan: “hukumnya sah, wakaf kepada kafir
dzimmi tertentu, baik dari kaum muslim maupun dari kafir dzimmi juga”.
Namun ahli fiqih menetapkan dua syarat yaitu: hendaklah obyek
wakafnya terdiri dari benda yang dapat dimiliki non muslim. Sebab itu
mereka melarang wakaf kitab suci Al-Qur’an, buku-buku Al-Qur’an yang
mengandung ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah. Hendaklah tidak
mengandung unsur maksiat. Karena itu tidak sah wakaf kepada non
muslim apabila mengandug unsur maksiat, seperti berwakaf kepada
pelayan gereja dan tikar untuk gereja.
ii) Kepada kafir dzimmi dari kafir dzimmi juga
Imam Nawawi menjelaskan: sah wakaf kepada kafir dzimmi baik dari
muslim maupundari kafir dzimmi juga. Artinya, orang kafir dzimi yang
hidup dalam masyarakat islam boleh berwakaf kepada kafir dzimmi juga.
b) Wakaf kepada yang tidak tertentu
Tempat penyaluran wakaf ialah kepada pihak tertentu. Nawawi
menyebutnya “wa’fan ‘ala al-jihati” (berwakaf ke pihak umum). Tujuan wakif
ialah memberikan wakaf kepada pihak yang menderita kefakiran dan
kemiskinan, secara umum, bukan kepada pribadi-pribadi tertentu. Contohnya
ialah seperti wakaf kepada orang orang fakir dan miskin, para mujahid, masjidmasjid, sekolah-sekolah, pengurusan jenazah, tempat penampungan anak yatim
piatu dan sebagainya.
4. Shighat (pernyataan atau ikrar wakaf sebagai suatu
kehendak untuk mewakafkan sebagian harta bendanya)
a. Pengertian Shighat
Shighat adalah (lafadz) atau pernyataan wakaf dapat dikemukakan dengan
tulisan, lisan atau suatu isyarat yang dapat dipahami maksudnya. Pernyataan
dengan tulisan atau lisan dapat digunakan untuk menyatakan wakaf oleh siapa
saja, sedangkan cara isyarat hanya bagi orang yang tidak dapat menggunakan
dengan cara tulisan atau lisan. Tentu pernyataan dengan isyarat tersebut harus
sampai benar-benar dimengerti pihak penerima wakaf agar dapat menghindari
persengketaan di kemudian hari.5
Adapun lafadz sighat wakaf ada dua macam, yaitu :
a. Lafadz yang jelas (sharih).
Lafal wakaf bisa dikatakan jelas apabila lafal itu populer sering digunakan
dalam transaksi wakaf. Ada tiga jenis lafal yang termasuk dalam kelompok ini
yaitu: al waqf (wakaf), al-habs (menahan) dan altasbil (berderma). Bila lafal ini
5 Farida Prihatin, Ibid,hlm. 55.
dipakai dalam ijab wakaf, maka sahlah wakaf itu, sebab lafal tersebut tidak
mengandung suatu pengertian lain kecuali kepada wakaf. Selain ketiga bentuk ini,
para fuqoha masih berselisih pendapat. Ibnu Qudamah berkata : “Lafal-lafal
wakaf yang sharih (jelas) itu ada tiga macam yaitu: waqaftu (saya mewakafkan),
habistu (saya
menahan harta) dan sabbitu (saya mendermakan). Dalam kitab Raudhah Al
Thalibin Imam Nawawi berkata : “Perkataan waqaftu (saya mewakafkan), habistu
(saya menahan), atau didermakan, semua itu merupakan lafal yang jelas, dan yang
demikian ini adalah yang paling benar sebagaimana ditegaskan oleh mayoritas
fuqaha”.
Imam Nawawi menyepakati kesahihan lafal sarih di atas. Karenanya, jika
seseorang menyatakan, “aku menyedekahkan tanahku ini secara permanent” atau
“aku menyedekahkan tanahku ini tidak untuk dijual maupun untuk di hibahkan”,
maka yang demikian itu, menurut pendapat yang paling benar, dinilai sebagai
lafadz yang jelas. Namun kejelasan yang digambarkan oleh Nawawi pada contoh
terakhir bukan merupakan kejelasan secara langsung.
Lafal ini menjadi sarih (jelas) karena adanya indikasi yang mengarah pada
makna wakaf secara jelas. Jika tidak ada indikasi tersebut, maka ungkapan itu
dengan sendirinya menjadi samar tau tidak jelas.
b. Lafaz kiasan (kinayah)
Kalau lafal ini dipakai, harus dibarengi dengan niat wakaf.Sebab lafadz
“tashaddaqtu” bisa berarti shadaqah wajib seperti zakat
dan shadaqah sunnah. Lafadz “harramtu” bisa berarti dzihar, tapi bisa
juga berarti wakaf. Kemudian lafadz “abbadtu” juga bisa berarti semua
pengeluaran harta benda untuk selamanya. Sehingga semua lafadz
kiyasan yang dipakai untuk mewakafkan sesuatu harus disertai dengan
niat wakaf secara tegas.
b. Status Shighat
Status Shighat (pernyataan), secara umum adalah salah
satu rukun wakaf. Wakaf tidak sah tanpa shighat, setiap shighat
mengandung ijab dan mungkin mengandung qabul pula.6
c. Dasar Shighat
Dasar (dalil) perlunya Shighat (pernyataan) ialah karena
wakaf adalah melepaskan hak milik dan benda dan manfaat atau
dari manfaat saja dan memiliki kepada yang lain, maksud tujuan
melepaskan dan memilikkan adalah urusan hati. Tidak ada yang
menyelami isi hati orang lain secara jelas, kecuali melalui
pernyataan sendiri. Ijab wakif tersebut mengungkapkan dengan
jelas keinginan wakif memberi wakaf, wakaf dapat berupa katakata dan bagi wakif yang tidak mampu mengungkapkannya
dengan kata-kata, maka ijab dapat berupa tulisan atau isyarat.
Namun demikian, selain penegasan lafaz yang dipakai dalam
shighat (ikrar), perlu kiranya memperhatikan syarat-syarat
sahnya sighat ijab, baik berupa ucapan maupun tulisan :
1)
Shighat
harus
munajazah
(terjadi
seketika/
selesai),
maksudnya ialah
shighat tersebut menunjukkan terjadinya dan terlaksananya
wakaf seketika setelah shighat ijab diucapkan atau ditulis,
misalnya wakif berkata “Saya mewakafkan tanah saya… atau
saya sedekahkan tanah saya sebagai wakaf”.
2) Shighat tidak diikuti syarat batil/ palsu, maksudnya ialah
syarat yang menodai atau mencederai dasar wakaf atau
meniadakan
hukumnya,
yakni
kelaziman
dan
keabadian.
Misalnya wakif berkata : “Saya mewakafkan rumah ini untuk diri
saya sendiri seumur hidup, kemudian setelah saya meninggal
untuk anak-anak dan cucu-cucu saya dengan syarat bahwa saya
boleh
menjual
atau
menggadaikannya
kapan
saja
saya
kehendaki…atau jika saya meninggal wakaf ini menjadi harta
waris bagi para ahli waris saja”.
6 Farida Prihatin, ibid. hlm.56.
3) Shighat tidak diikuti pembatasan waktu tertentu dengan kata
lain bahwa wakaf tersebut tidak untuk selamanya. Wakaf adalah
shadaqah jariyah yang disyari’atkan untuk selamanya, jika
dibatasi waktu berarti bertentangan dengan syari’at, oleh karena
itu hukumnya tidak sah.
4) Tidak mengandung suatu pengertian untuk mencabut kembali
wakaf yang sudah dilakukan. Semua golongan ulama pada
dasarnya sepakat dengan syarat-syarat di atas, kecuali golongan
Malikiyah yang justru pendapatnya bertolak belakang dengan
syarat-syarat tersebut di atas. Mereka berpendapat bahwa:
a. Tidak diisyaratkan dalam perwakafan untuk selamanya,
walaupun itu berupa masjid. Tapi boleh mewakafkan selama
setahun atau lebih dalam waktu tertentu, kemudian benda
itu kembali menjadi milik si wakif.
b. Tidak harus bebas dari suatu syarat, maka boleh berkata:
Barang itu diwakafkan kepada sesuatu setelah satu bulan
atau satu tahun, atau berkata: Kalau rumah ini milik saya,
maka saya wakafkan.
c. Tidak harus ditentukan penggunaannya, maka boleh berkata:
Saya wakafkan benda ini kepada Allah SWT tanpa ditentukan
kepada siapa wakaf itu ditujukan.7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Wakaf termasuk salah satu diantara macam pemberian, akan tetapi hanya
boleh diambil manfaatnya, dan bendanya harus tetap utuh. Oleh karena itu, harta
7 Farida Prihatin, ibid, hlm.57.
yang layak untuk diwakafkan adalah harta yang tidak habis dipakai dan umumnya
tidak dapat dipindahkan, mislanya tanah, bangunan dan sejenisnya.
Rukun wakaf ada empat (yaitu): Wakif (orang yang mewakafkan harta),
Mauquf bih (barang atau harta yang diwakafkan), Mauquf ‘alaih (pihak yang
diberi wakaf atau peruntukan wakaf), Sighat (pernyataan atau ikhrar wakif
sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan sebagian harta bendanya).
Syarat-syarat wakat adalah sebagai berikut: a. Syarat wakif: merdeka,
baligh, berakal sehat, tdak boros. b. syarat mauquf bih: Benda harus memiliki nilai
guna, benda tetap atau benda bergerak, benda yang diwakafkan harus tertentu
(diketahui) ketika terjadi akad wakaf, benda yang diwakafkan harus diketahui
akadnya ketika berwaqaf, benda yang diwakafkan benar-benar telah menjadi milik
tetap (al-milkat-tamm) si wakif (orang yang mewakafkan) ketika terjadi akad
wakaf. c. syarat mauquf ‘alaih : Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas yang
sesuai dan diperbolehkan syariat islam. Karena pada dasarnya, wakaf merupakan
amal yang mendekatkan diri manusia kepada Tuhan. Karena itu mauquf ‘alaih
(yang diberi wakaf) haruslah pihak kebajikan. Para faqih sepakat berpendapat
bahwa infaq kepada kebajikan itulah yang membuat wakaf ssebagai ibadah yang
mendekatkan diri manusia kepada Tuhannya. c. sighat : Shighat adalah (lafadz)
atau pernyataan wakaf dapat dikemukakan dengan tulisan, lisan atau suatu isyarat
yang dapat dipahami maksudnya. Pernyataan dengan tulisan atau lisan dapat
digunakan untuk menyatakan wakaf oleh siapa saja, sedangkan cara isyarat hanya
bagi orang yang tidak dapat menggunakan dengan cara tulisan atau lisan. Tentu
pernyataan dengan isyarat tersebut harus sampai benar-benar dimengerti pihak
penerima wakaf agar dapat menghindari persengketaan di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Usman, Rachmadi. 2009. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika.
Prihatin, Farida. 2007. Fiqh Wakaf. Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf
Departemen RI.