Akad Nikah Pengertian Shighat dan Syarat (1)

Makalah
Akad Nikah: Pengertian, Shighat dan Syarat-syarat
Diajukan guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fiqh Munakahat

Dosen Pengampu:
H. Abd. Holik, M.Hi
Oleh:
Ahmad Fauzan Nizar
M. Adib Basthomi
FAKULTAS SYARIAH dan EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM BANI FATTAH (IAIBAFA)
TAMBAKBERAS JOMBANG
TAHUN 2015

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah satu-satunya agama yang tidak hanya mengatur hubungan
antara manusia dengan Tuhan saja (ibadah) melainkan juga mengatur hubungan

antar manusia dengan manusia (muamalah). Hal ini dibuktikan dalam kitab suci
Islam yakni al-Qur’an yang di dalamnya memuat berbagai macam aspek ilmu baik
ilmu dunia maupun akhirat dan aturan-aturan tertentu untuk tujuan kemaslahatan
manusia. Selain itu, terdapat pula hadits yang berfungsi untuk menjelaskan
kandungan al-Qur’an dan memuat hukum yang tidak ada dalam al-Qur’an.
Dalam pengambilan hukum, ulama’ berusaha untuk memahami dan
menafsirkan apa-apa yang dimuat dalam al-Qur’an. Hal ini dikarenakan al-Qur’an
bersifat global dan berfungsi sebagai sumber hukum dalam islam. Metode
pengambilan hukum tersebut dalam islam disebut dengan istinbath al-ahkam. Hasil
dari istinbath al-ahkam tersebut dibungkus ke dalam sebuah ilmu yang disebut
dengan ilmu fiqh.
Salah satu bagian dari ilmu fiqh yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia serta urusan keduniawian adalah fiqh muamalah. Sebagai makhluk sosial,
manusia pasti memerlukan manusia lain, oleh karena itu islam memperhatikan hal
tersebut dan menganggapnya sebagai sesuatu yang urgen dan vital. Salah satu
contoh yaitu tidak semua orang memiliki barang yang ia butuhkan, sedangkan orang
lain memiliki barang tersebut, dengan adanya kesepakatan antara kedua belah
pihak, maka akan terjadi suatu transaksi.
Begitu juga dengan pernikahan. Seseorang tidak akan bisa langsung
berhubungan dengan selain jenis tanpa adanya hubungan pernikahan. Salah satu

yang menjadi syarat pernikahan adalah adanya kesepakatan yang ditujukan kepada
kedua mempelai.

2

Kesepakatan tersebut timbul apabila kedua belah pihak telah terikat satu
sama lain dalam suatu ijab dan qabul. Inilah yang disebut dengan akad dalam islam.
Akad tersebut digunakan dalam melakukan suatu transaksi maupun kerjasama
dengan orang lain.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan akad nikah?
2. Bagaimana shighat dalam akad nikah?
3. Apa saja syarat-syarat dalam akad nikah?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian akad nikah;
2. Mengetahui shighat dalam akad nikah;
3. Mengetahui syarat-syarat dalam akad nikah;


3

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akad
Dalam Al-Qur’an, ada dua istilah yang berkaitan dengan perjanjian, yakni al-‘aqdu
dan al-‘ahdu. Kata al-‘aqdu terdapat dalam Al Qur’an:

ِ
ِ
ِ ِ
‫يمةُ اأَنْ َع ِام إِا َما يُْت لَى َعلَْي ُك ْم ََْي ََ ُُِلِي‬
ْ ‫ين َآمُواْ أ َْوفُواْ بِالْعُ ُقود أُحل‬
َ ََ ‫ت لَ ُكم‬
َ ‫يَا أَي َها الذ‬
ِ
‫الصْيد َوأَنتُ ْم ُح ٌَُم إِن ي‬
ُ ‫اَّ ََْ ُك ُم َما‬

.‫يد‬

ُ َِ ‫ي‬

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah akad-akad. Hewan ternak
dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah).
Sesungguhnya Allah Menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia
Kehendaki.1
Secara etimologi, akad (al-‘aqdu) berarti perikatan, perjanjian, dan pemufakatan
(al-ittifaq).2 Dikatakan ikatan karena memiliki maksud menghimpun atau
mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya
hingga keduanya bersambung dan menjadi seutas tali yang satu.3 Sedangkan
menurut Wahbah Az-zuhaily, yaitu4

ٍ ‫الَبط بن أطَاف الش ء سواء أكان ربطًا حسييًا أم مع ويًا من‬
‫جانب أو من جانبن‬
Artinya : Ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan
secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi.
Sedangkan al-‘ahdu secara etimologis berarti masa, pesan, penyempurnaan, dan
janji atau perjanjian.5 Kata al-‘ahdu terdapat dalam Al Qur’an:


1

QS. al-Maidah (5):1
Faturrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah, dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh
Mariam Darus Badrulzaman, et al., cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), 247
3
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002), 75
4
Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqh Al-Isla>mi wa Adillatuha>, juz. IV, (Damaskus: Dar Al-Fikr,
1989), 80
5
Faturrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah, dalam ..., 247
2

4

ِ
ِ ‫ب لَى من أَو ََ بِعه ِد ِ وات َقى فَِإن‬
.‫ن‬

‫ي‬
َ ‫اَّ َُب الْ ُمتق‬
َ َْ ْ ْ َ َ
Artinya : Sebenarnya barangsiapa menepati janji dan bertakwa, maka sungguh,
Allah Mencintai orang-orang yang bertakwa.6
Istilah al-‘aqdu dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam KUHP,
karena istilah akad lebih umum dan mempunyai daya ikat kepada para pihak yang
melakukan perikatan. Sedangkan al-‘ahdu dapat disamakan dengan istilah
overeenkomst, yang dapat diartikan sebagai suatu pernyataan dari seseorang untuk
mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, dan tidak ada sangkut pautnya dengan
kemauan pihak lain. Janji ini hanya mengikat bagi orang yang bersangkutan.7
Pengertian akad secara terminology, yang dalam hal ini dikemukakan oleh
ulama fiqh, ditinjau dari dua segi yaitu:8
1. Pengertian Umum
Pengertian akad dalam arti umum hampir sama dengan pengertian akad
secara bahasa. Hal ini dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan
Hanabilah, yaitu:

‫كل ما عزم امَء على فعله سواءٌ صدر بإرادةٍ م فَدةٍ كالوقف واإبَء والطا واليمن‬
.‫أم إحتاج إى إرادتن ي إنشائه كالبيع واإجار والتوكيل والَهن‬

Artinya : Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan
keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu
yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jualbeli, perwakilan, dan gadai.
2. Pengertian Khusus
Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan ulama fiqh yaitu:

ٍ ‫بقبول على‬
ٍ ‫إجاب‬
ٍ ‫إرتباط‬
.‫مشَوع يثبت أثَ ي ُله‬
‫وجه‬
ٍ

6

QS. Ali Imran (3): 76
Faturrahman Djamil, 247-248
8
Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 43-44
7


5

Artinya : Perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan
syara’ yang berdampak pada objeknya.
B. Shighat dalam akad nikah
Shighat akad adalah sesuatu yang disandarkan dari dua pihak yang berakad dan
menunjukkan atas apa yang dihati keduanya tentang terjadinya suatu akad. Hal itu
dapat diketahui melalui ucapan, perbuatan, isyarat dan tulisan.9 Shighat dalam akad
nikah yang dalam hal ini adalah Ijab dan Qabul disyaratkan harus saling
berhubungan diantara keduanya. Syarat-syaratnya10 adalah:
1. Qobul harus selaras dengan ijab.
Jika memang Ijab dan Qabul berbeda, semisal dalam pengucapan mahar dan
penyebutan ma’qud alayh, maka akad tersebut tidak sah.
Contoh: jika wali mengucapkan, “ saya menikahkan putriku bernama Fulanah
dengan maskawin 1000”. Lalu mempelai pria menjawab, “saya
menerima nikahnya dengan maskawin 500”, maka tidak sah akad
tersebut. Tetapi ketentuan diatas tidak akan berlaku jika apa yang
diucapkan oleh mempelai pria mengucapkan ucapan yang ashlah.
Semisal “kuterima nikahnya dengan mahar 2000”. Maka pernyataan

tersebut sah dengan syarat mempelai wanita menerimanya.
2. Akad harus terjadi pada satu tempat.
Jika salah satu dari orang yang akad meninggalkan tempat sebelum ijab
qabul selesai, maka akad tidak sah. Menurut Jumhur Ulama’, tidak disyaratkan
bagi mempelai pria ketika menjawab harus muttashil, tetapi diperbolehken bagi
mempelai pria untuk melambatkan walaupun diselingi waktu yang lama selama
Aqidayn masih dalam satu majlis dan tidak mengucapkan sesuatu yang
melenceng dari akad.
Berbeda dengan Jumhur, Ulama’ Syafi’iyyah dan Malikyyah mensyaratkan
Ijab dan Qabul harus muttasil. Tidak boleh dipisah, walaupun sebentar, kecuali

9

Ibid., 46

10

Dr. Ali Ahmad al Qolishi, Ahka>m al-Usroh fi> Syari>ati al-Isla>miyyati juz 1, cet. 12 (Yaman:
Maktabah al-Ikli>l al-Jadid, 2012), 67


6

sesuatu pemisah yang memang berhubungan dengan kemashlahatan akad.
Seperti berbicara tentang mahar, maka hal demikian bukanlah sesuatu yang bisa
merusak akad. Karena hal tersebut bukanlah hal yang melencengkan tujuan.
Ulama’ Malikiyyah juga memperbolehkan berkata dengan lambat ketika qabul
dengan syarat hanya sebentar saja.
3. Ijab dan Qabul tidak boleh dibatasi.
Maka tidak boleh akad nikah dibatasi oleh waktu atau perjanjian. Semisal
“Aku akan menikahimu selama satu minggu”, “Aku akan menikahimu ketika
aku lulus ujian.” Karena nikah adalah akad Mu’awadhoh11, maka tidak sah akad
nikah dengan menggunakan ta’liq.
Metode shighat dalam akad dapat diungkapkan dengan beberapa cara.
Diantaranya :
1. Akad dengan lafad
Shighat denga ucapan adalah shighat akad yang paling sering digunakan karena
mudah dan cepat difahami.
a. Isi Lafad
Ulama’ Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa shighat
akad dalam pernikahan boleh dengan lafad apa saja. Seperti Menikahkan,

Menjadikan dan lain-lain. Serta diikuti dalam hati maksudnya adalah
pernikahan.12
Sedangkan dipihak yang lain, Ulama’ Hanabilah dan Syafiiyyah
berpendapat bahwa shighat akad dalam pernikahan tidaka kan sah kecuali
dengan menggunakan lafad Inkah dan tazwij atau lafad yang semakna
dengan itu.
b. Lafad Shighat dan kata kerja dalam shighat
Para Ulama’ sepakat bahwasannya fiil Madhi boleh digunakan
dalam akad karena merupakan kata kerja yang paling mendekati maksud
akad. Merekapun sepakat membolehkan penggunaan fiil mudhori’. Tentu

11
12

Akad Mu’awadhoh adalah akad yang berlaku atas dasar timbal balik. Seperti Jual beli.
Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah ..., 47

7

saja dengan diiringi dengan niat bahwa akad tersebut dilakukan seketika
itu.13
2. Akad dengan perbuatan
Dalam akad, terkadang tidak menggunakan ucapan, tetapi cukup dengan
saling meridhoi. Seperti yang jama’ pada zaman sekarang.
Dalam menetapkan hal ini, Para Ulama’ berbeda pendapat, yaitu;
a. Ulama’ Hanabilah dan Hanafiyyah diperbolehkan akad dengan perbuatan
terhadap barang yang sudah umum diketahui manusia. Jika tidak umum,
maka akad ini dianggap batal.14
b. Imam Maliki dan Imam Ahmad berpendapat boleh tetapi dengan syarat
harus jelas adanya kerelaan. Baik barang itu secara umu atau tidak.
Pengecualian dalam hal pernikahan.
c. Ulama’ Syafiiyyah, Syi’ah dan Dhahiriyyah beroendapat

bahwa akad

tersebut tidak dibenarkan karena tidak ada oetunjuk yang kuat akan hal itu.
Adapun kerelaan merupakan sesuatu yang samar.15
3. Akad dengan Isyarat
Bagi orang yang mampu berbicara, tidak diperbolehkan menggunakan
isyarat. Bagi yang tidak bisa berbicara boleh menggunakan isyarat. Tetapi jika
tulisannya bagus, maka lebih baik menggunakan tulisan. Hal ini dibolehkan jika
dia memang cacat sudah sejak lahir. Kalau tidak sejak lahir, maka dia harus
berusaha untuk tidak menggunakan isyarat.16
4. Akad dengan tulisan
Pada dasarnya, akad harus menggunakan ucapan. Tidak bisa membandingi
akad dengan menggunakan ucapan kecuali memang dalam keadaan darudat.17

Ibid.
Ibid., 49
15
Ibid., 50
16
Ibid., 51
13
14

17

Dr. Ali Ahmad al Qolishi, Ahka>m al-Usroh fi> Syari>ati ..., 65

8

Dibolehkan akad menggunakan tulisan, baik bagi orang yang mampu
berbicara maupun tidak, dengan syarat tulisan harus jelas, tampak dan dapat
difahami oleh keduanya.
Namun, jika kedua orang yang akad hadir dan bisa berbicara, maka tidak
boleh menggunakan tulisan. Karena saksi harus mendengarkan perkataan orang
yang akad. Inilah pendapat Ulama’ Hanafiyyah.18
Ulama’ Syafiiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad dengan
menggunakan tulisan itu sah jika kedua orang yang akad tidak hadir. Jika hadir,
maka akad menggunakan tulisan tidak sah. Sebab tulisan tidak dibutuhkan.
C. Syarat-syarat dalam akad nikah
Pembahasan kali ini akan dibagi tiga bagian, yaitu; wali, saksi dan maskawin.
1. Wali
Ulama’ berselisih pendapat apakah wali menjadi syarat sahnya nikah atau
tidak. Berdasarkan pendapat asybab, Imam Malik dan Imam Syafi’i serta Imam
Ahmad berpendapat bahwa tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi syarat
sahnya nikah.19 Oleh sebab itu, seorang perempuan tidak boleh menikahkan
dirinya sendiri.20 Dalil yang menunjang adalah firman Allah:

ِ
‫اج ُه ن‬
ُ ‫َجلَ ُه ن فَ ا تَ ْع‬
ُ ُ‫ن ل‬
َ ‫وهن أَ ْن يَ ْك ْ َن أَْ َو‬
َ ‫اءَ فَ بَ لَ َْ َن أ‬

‫َوإِ َذا طَل ْق تُ ُم الِي َس‬
...

Artinya : Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya, maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan
bakal suaminya21

18

Ibid.

Ibn Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yat al-Muqtashid 2, terj. Drs. Imam Ghazali Said,
MA. (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), 409
20
Abu Abdillah Muhammad ibn Abdurrahman ad-Dimisyq, Rahmat al Ummat fi ikhtila>fi alAimmah, (Beirut: Dar El Fikr, 2011), 157
21
Qs. Al Baqoroh (02) : 232
19

9

Abu Hanifah, Zufar, asy-Sya’bi dan az Zuhri berpendapat bahwa apabila
seorang perempuan melakukan akad nikahnya dirinya sendiri tanpa wali,
sedang calon suaminya sebanding (Kafa>’ah) maka nikahnya boleh.

ِ َ‫فَِإ َذا ب لَ َْن أَجلَهن فَا جَاح علَي ُكم فِيما فَع ْلن ِي أَنْ ُف ِس ِهن بِالْمع‬
... ‫وف‬
َُ َ َ
َ َ َ ْ َْ َ ُ
ُْ َ
Artinya: Kemudian apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa bagimu (para
wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut
yang patut22
Imam Dawud ad Dhahiri memisahkan antara gadis dan janda. Dia
mensyaratkan adanya wali bagi gadis dan tidak mensyaratkan bagi janda karena
sudah bisa memilih pasangan.23
Pendapat keempat yang dikemukakan Imam Malik dari riwayat Ibn alQosim menyimpulkan bahwa persyaratan wali itu sunnah hukumnya, dan
bahkan fardhu ain. Hal ini dikarenakan adanya hubungan waris mewaris yang
terjadi antara suami dan istri tanpa menggunakan wali. Imam Malik juga
menganjurkan seorang janda mengajukan walinya untuk mengawinkannya.
Dengan demikian, Imam Malik seolah menganggap wali termasuk syarat
kelengkapan pernikahan, bukan syarat sahnya pernikahan. Berbanding terbalik
dengan pendapat Malikiyyah yang berpendapat wali termasuk syarat sahnya
pernikahan, bukan syarat kelengkapan.24
2. Saksi
Imam Abu Hanifah dan Syafiiyyah berpendapat bahwa saksi termsuk syarat
dalam pernikahan. Tetapi mereka berselisih apakah saksi menjadi syarat
kelengkapan yang diperintahkan ketika hendak menggauli istri atau merupakan
syarat sah yang diperintahkan ketika diadakan akad nikah.
Bagi fuqoha’ yang berpendapat bahwa saksi merupakan hukum syara’,
mengatakan bahwa saksi merupakan salah satu syarat perkawinan. Sedangkan

22
23
24

Qs. Al Baqoroh (02) : 234
Ibn Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid ..., 410

Ibid.

10

yang berpendapat bahwa kedudukan saksi sebagai penguat perkawinan
menganggap saksi sebagai syarat kelengkapan.25
3. Maskawin
a. Hukum Maskawin
Fuqoha’ sepakat bahwasannya membayar maskawin adalah syarat
sahnya nikah. Dasarnya adalah Firman Allah:

ِ
ِ
ً‫ص ُدقَاِِِن ِْلَة‬
َ َ‫َوآتُوا الي َساء‬
Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.26
b. Kadar Maskawin
Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa tidak ada batasan tentang besaran
Mahar. Segala sesuatu yang bisa dijadikan harga, maka sesuatu tersebut
boleh dijadikan mahar.
Ukuran mahar menurut Ulama’ Hanafi adalah sepuluh dirham atau satu
dinar. Sedangan menurut Ulama’ Maliki membatasi kadar minimal mahar
adalah seperempat ninar atau tiga dirham.27

Ibid., 430
QS. An Nisa’ (05) : 04
27
Abu Abdillah Muhammad ibn Abdurrahman ad-Dimisyq, Rahmat al Ummat ... , 158
25

26

11

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara etimologi, akad (al-‘aqdu) berarti perikatan, perjanjian, dan
pemufakatan (al-ittifaq). menurut Wahbah Az-zuhaily adalah Ikatan antara dua
perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi
maupun dari dua segi.
Sedangkan al-‘ahdu secara etimologis berarti masa, pesan, penyempurnaan, dan
janji atau perjanjian.
Pengertian akad secara terminology, yang dalam hal ini dikemukakan oleh
ulama fiqh, ditinjau dari dua segi yaitu
1. Pengertian Umum
Pengertian akad dalam arti umum hampir sama dengan pengertian akad
secara bahasa. Hal ini dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan
Hanabilah, yaitu: Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang
berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau
sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti
jual-beli, perwakilan, dan gadai.
2. Pengertian Khusus
Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan ulama fiqh yaitu:
Perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syara’
yang berdampak pada objeknya.
Syarat-syarat Shighat akad adalah:
1. Qobul harus selaras dengan ijab.
2. Akad harus terjadi pada satu tempat.
3. Ijab dan Qabul tidak boleh dibatasi.
Metode shighat dalam akad dapat diungkapkan dengan beberapa cara.
Diantaranya :
1. Akad dengan lafad

12

2. Lafad dengan perbuatan
3. Akad dengan Isyarat
4. Akad dengan tulisan
Syarat-syarat dalam akad nikah
1. Wali
2. Saksi
3. Maskawin

13

DAFTAR PUSTAKA
Dimisyq (al). Abu Abdillah Muhammad ibn Abdurrahman. 2011. Rahmat al

Ummat fi ikhtila>fi al-Aimmah, Beirut: Dar El Fikr
Djamil, Faturrahman. 2001. Hukum Perjanjian Syariah, dalam Kompilasi Hukum

Perikatan oleh Mariam Darus Badrulzaman, et al., cet. 1, Bandung: Citra
Aditya Bakti
Mas’adi, Ghufron A. 1989. Fiqh Muamalah Kontekstual, cet. 1, Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Qolishi (al), Dr. Ali Ahmad. 2012. Ahka>m al-Usroh fi> Syari>ati al-Isla>miyyati juz
1, cet. 12. Yaman: Maktabah al-Ikli>l al-Jadid
Rusyd, Ibn. 2007. Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yat al-Muqtashid 2, terj. Drs.
Imam Ghazali Said, MA. Jakarta: Pustaka Amani
Syafe’i, Rachmat. 2001. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia
Zuhaili (al), Wahbah. 1989. Al-Fiqh Al-Isla>mi wa Adillatuha>, juz. IV, Damaskus:
Dar Al-Fikr