Teori Resepsi Sastra Menurut Iser

Teori Resepsi Sastra
Menurut Iser
Ditulis oleh Haluan
Minggu, 29 April 2012 01:13
Wolfgang Iser (1926-2007) adalah salah seorang pakar ilmu-ilmu sastra berkebangsaan Jerman
yang terkenal dengan teori respons pembaca (reader-response theory). Kritik Iser terhadap teori
sastra adalah selama ini yang menjadi pusat perhatian sastra adalah maksud penulis, makna
sosial, psikologi, kontemporerisme, pengertian historis teks, atau cara dimana teks dibangun,
namun jarang terjadi kritik yang menyatakan bahwa teks hanya dapat memberikan arti ketika teks
itu dibaca. Hemat Iser, inti pembacaan setiap karya sastra adalah interaksi antara strukturnya dan
penerimanya. Itulah mengapa teori fenomenologi seni telah menarik perhatian bahwa kajian
terhadap karya sastra tidak hanya menyangkut teks yang sesungguhnya, tetapi juga tindakantindakan yang terkait dalam menanggapi teks itu.
Teks dengan sendirinya hanya menawarkan “aspek skematis”, yaitu pokok persoalan dari karya
itu dapat dihasilkan, sementara produksi yang sesungguhnya terjadi melalui tindakan
konkretisasi. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa karya sastra memiliki dua buah kutub yang
disebut kutub artistik dan kutub estetik. Kutub artistik adalah teks penulis, dan kutub estetik
adalah realisasi yang disempurnakan oleh pembaca. Dari sudut pandang polaritas ini jelas bahwa
karya itu sendiri tidak dapat diidentikkan dengan teks atau dengan konkretisasi, tetapi karya harus
disituasikan di antara keduanya. Dalam karya sastra, pesan disampaikan melalui dua cara:
pertama, pembaca menerima pesan, kedua, pembaca menyusun pesan itu. Dengan asumsi ini
peneliiti harus mencari struktur yang memungkinkannya menjelaskan kondisi dasar interaksi,

karena hanya dengan cara itu, peneliti akan mampu mendapatkan pandangan tentang pengaruh
potensial yang menyatu dalam karya itu.
Secara praktis setiap struktur yang dapat dilihat dalam fiksi memiliki dua sisi; yaitu sisi verbal
dan sisi afektif. Sisi verbal membimbing reaksi dan mencegahnya dari reaksi yang sembarangan.
Adapun sisi afektif adalah pemenuhan yang telah dibuat oleh struktur sebelumnya melalui bahasa
teks. Penjelasan apa pun tentang interaksi antara keduanya harus menyatukan struktur pengaruh
(teks) dan tang gapan (pembaca). Dalam hal ini, tugas seorang peneliti adalah menguraikan
makna potensial dari suatu teks, bukan membatasinya dalam makna tunggal. Tegasnya, makna
potensial suatu teks tidak pernah terpenuhi dalam proses pembacaan. Oleh karena itu, penting
bagi peneliti memahami suatu makna sebagai sesuatu yang terjadi karena hanya dengan cara itu,
peneliti akan memahami faktor-faktor yang merupakan prakondisi komposisi dari suatu makna.
Adapun bentuk interpretasi tradisional, yang didasarkan pada pencarian makna tunggal oleh
pembaca, cenderung mengabaikan karakter teks sebagai sesuatu kejadian dan pengalaman
pembaca. Makna referensial dalam konteks ini, pada awalnya, bersifat estetis karena ia
memberikan dunia sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Oleh karena itu, sifat estetis suatu makna
merupakan sesuatu yang berubah sendiri menjadi determinasi diskursif (wacana), atau menurut
Kant, disebut sebagai amphibolik: yaitu pada suatu ketika bersifat estetis, pada waktu yang lain
bersifat diskursif.
Perubahan ini dikondisikan oleh struktur makna yang bersifat fiksi. Dalam melakukan interpretasi


digunakan teknik pemaknaan tunggal yang menerangkan adanya perbedaan, mengabaikan sepenuhnya fakta bahwa pengalaman estetis melahirkan pengalaman nonestetis. Di sini makna
dipahami sebagai sebuah ekspresi, atau bahkan representasi dari nilai-nilai yang diakui secara
kolektif. Pendekatan teknik pemaknaan tunggal ini dipastikan merupakan kompilasi makna,
karena tujuannya sendiri adalah menyampaikan apa yang dipahami sebagai pemaknaan teks yang
objektif dan dapat dijelaskan. Langkah-langkah di atas penting dilakukan karena teori yang
berorientasi pada pembaca semenjak awal membuka kritik terhadap bentuk subjektivisme yang
terkontrol. Hobsbaum secara tegas menunjukkan adanya perbedaan dalam teori ini. Ia mengatakan bahwa teori-teori seni berbeda menurut derajat subjektivitas yang dikaitkan dengan
tanggapan penerima, atau apa yang datang sebagai sesuatu yang sama, berbeda menurut tingkat
objektivitas yang dikaitkan dengan karya seni.
Salah satu keberatan yang utama terhadap teori estetika resepsi adalah bahwa teori ini
mengorbankan teks pada pemahaman yang subjektif, oleh sebab itu, menolak identitasnya
sendiri. Sementara itu, keberatan yang lain adalah pada pengaruh teks sastra yang terdapat pada
apa yang disebut Wimsatt dan Beardsley sebagai “affective fallacy” (kesalahan gagasan). Ini
merupakan bentuk kekacauan antara syair dan hasilnya (apakah syair itu dan apa yang dilakukan
syair itu). Sebagai konsekuensinya pendekatan baik dan buruk hanya berhubungan dengan sifat
dari hasil. Oleh sebab itu, pertanyaan yang muncul adalah persoalan yang sesungguhnya tidak
bersandar pada fakta sehingga kita lebih cenderung menyamakan sebuah karya seni dengan hasil
dibanding kualitas dari hasil itu.
Fakta inilah yang menyebabkan banyaknya persoalan estetis dalam karya sastra. Dalam hal ini,
kita dapat mengatakan bahwa teks melahirkan ‘performansi’ makna daripada perumusan maknanya sendiri. Kualitas estetisnya terdapat dalam struktur ‘performansi’ yang jelas tidak dapat

diidentikkan dengan produk akhir karena tanpa partisipasi pembaca individu, maka tidak akan
terjadi performansi itu. Dengan demikian “affective fallacy” tidak dapat diaplikasikan pada teori
estetika resepsi karena teori ini berkaitan dengan struktur ‘performansi’ yang mendahului
pengaruhnya. Lebih jauh, teori estetika resepsi melakukan pemisahan analitis terhadap
performansi dan hasil sebagai premis dasar, dan premis ini biasanya tidak diperhitungkan ketika
para pembaca atau kritikus bertanya “Apakah arti teks itu?”
Banyak tipe pembaca yang muncul ketika kritik sastra membuat pernyataan tentang pengaruh
karya sastra atau tanggapan terhadap karya sastra. Dalam hal ini, terdapat dua kategori. Pertama,
kita menemukan pembaca ‘riil’ (sejati), yang dikenal dengan reaksinya yang terdokumentasi.
Kedua, kita menemukan pembaca ‘hipotetis’, dengannya semua kemungkinan aktualisasi teks
dapat diproyeksikan. Kategori yang terakhir ini seringkali dibagi menjadi apa yang disebut
sebagai “pembaca ideal” dan “pembaca kontemporer”. Pembaca riil terutama muncul dalam studi
sejarah tanggapan, misalnya, ketika perhatian difokuskan pada cara dimana karya sastra diterima
oleh publik. Adapun penilaian apa saja yang disampaikan pada karya itu juga akan mencerminkan
kode kultural yang mengondisikan penilaian-penilaian tersebut. Dalam hal ini, setidak-tidaknya
ada dua tipe pembaca ‘kontemporer’ dan pembaca riil.
Yang pertama dibangun dari pengetahuan sosial dan sejarah kala itu, dan kedua diperhitungkan
dari peranan pembaca yang disandarkan pada teks. Sementara itu hampir berlawanan secara

diametris, pembaca kontemporer menentukan pembaca ideal yang dimaksudkan. Dalam hal ini,

sulit untuk menunjukkan dari mana pembaca ideal berasal. Namun demikian terdapat kecenderungan yang mengklaim bahwa dia cenderung muncul dari pemikiran ahli filologi atau kritik
itu sendiri.
Seorang pembaca ideal harus memiliki kode yang identik dengan kode yang dimiliki penulis;
bagaimanapun juga, para penulis biasanya menyusun kembali kode-kode yang ada di dalam
teksnya, dan pembaca ideal juga ikut memberikan tujuan yang mendasari proses itu. Selanjutnya,
pembaca ideal tidak hanya memenuhi makna yang potensial dari teks secara independen dari
situasi historisnya sendiri, tetapi juga harus melakukannya dengan sungguh-sungguh. Pembaca
ideal murni bersifat fiksi; dia tidak memiliki dasar dalam realitas, dan fakta inilah yang
membuatnya menjadi begitu berguna.

DONNY SYOFYAN
(Dosen FIB Universitas Andalas)
http://www.harianhaluan.com/index.php/kultur/14556-teori-resepsi-sastra-menurutiser