Polri dan Dinamika Politik Lokal opini

Polri dan Dinamika Politik Lokal
Oleh A. WAHYURUDHANTO

Menarik sekali judul di Harian Kompas tanggal 11 Februari 2009
yang merupakan berita tentang perkembangan kasus demonstrasi anarkis
di Kantor DPRD Sumatera Utara yang menewaskan Ketua DPRD Sumut
Abdul Azis Angkat. “Politisi di Belakang Aksi”, demikian judul berita
tersebut yang merupakan simpulan atas kelanjutan proses penyidikan
yang dilakukan oleh tim gabungan Poltabes Medan, Polda Sumut, dan
Mabes Polri.
Demo tentang

pemekaran Propinsi Tapanuli tersebut ternyata

telah menjadi bola liar. Di lingkungan internal Polri, akibat demo tersebut
telah terjadi serentetan pencopotan pejabat, mulai Kapoltabes Medan,
Inspektur Pengawasan Daerah Polda Sumut, Kepala Biro Operasi Polda
Sumut, dan Direktur Intelkam Polda Sumut. Dan sebentar lagi, sesuai janji
Kapolri, Kapolda Sumut juga akan dicopot. Belum lagi pejabat di tingkat
Polsek dan Kasat yang penulis yakin juga akan mengikuti arus di atasnya,
yaitu akan dicopot.

Pencopotan pejabat-pejabat teras di Poltabes Medan maupun di
Polda Sumut menuai banyak komentar. Terakhir dalam rapat kerja Komisi
III DPR dengan Kapolri Senin (9 Februari 2009) lalu, kritik tajam atas
kebijakan Kapolri datang bertubi-tubi. Yang sangat menyolok adalah
adanya pernyataan dari beberapa anggota Dewan, agar Polri jangan
mempolitisasi kasus ini, karena beredar rumor bahwa kejadian ini
menguntungkan “persaingan” sebagian elite Polri untuk masuk ke posisi
“mantap”. Bahkan muncul desakan agar pencopotan yang dilakukan oleh
Kapolri jangan dikarenakan tekanan dari kelompok politik tertentu. Kapolri
pun dengan tegas menjawab, bahwa kebijakannya ini didasarkan pada
azas

profesionalisme.

Ditunjuknya

dasar

pencopotan


adalah

hasil

pemeriksaaan yang dipimpin langsung oleh Irwasum Polri, bahwa telah
terjadi kesalahan prosedur yaitu tidak disiplin dalam pelaksanaan

1

prosedur tetap (protap) sesuai Peraturan Kepala Polri Nomor 16/2006
tentang pengendalian massa.
Yang menarik dalam perkembangan kasus ini, karena polisi
akhirnya juga menahan tokoh-tokoh partai yang juga calon legislatif. Judul
berita yang menyebutkan adanya peran politisi tersebutlah yang menarik,
karena alasan yang dipakai polisi bahwa yang bersangkutan diduga kuat
sebagai pengerah massa. Persoalan ini akan menjadi bahan diskusi yang
akan terus berkembang karena ada pernyataan dari

Kepala Bidang


Humas Polda Sumut bahwa bagi polisi yang terpenting adalah memeriksa
mereka yang terlibat demonstrasi. “Kebetulan kebanyakan mereka
berasal dari partai partai politik,” demikian pernyataannya seperti dikutip
dalam berita tersebut.
Hak Menyampaikan Pendapat
Demonstrasi di DPRD Sumut tersebut tentu saja tidak akan
berkembang menjadi bola liar jika tidak makan korban. Kebetulan yang
tewas adalah Ketua DPRD dan merupakan tokoh Partai Golkar Sumut,
partai yang mempunyai basis memadai di propinsi Sumut. Walau hasil
otopsi menunjukkan

bahwa yang bersangkutan meninggal karena

serangan jantung, tetapi tentu saja alasan itu tidak dapat meredakan
polemik yang berkepanjangan. Maka tuntutan agar polisi mengusut tuntas
pun terus berkembang, sampai kemudian pencopotan demi pencopotan
pejabat Polri setempat dilakukan oleh Kapolri.
Mengemukakan pendapat di depan umum merupakan hak bagi
semua warga negara Indonesia. Landasan hukumnya jelas, yaitu UU
Nomor 9 Tahun 1998. Apalagi setelah reformasi bergulir di Bumi Indonesia

sejak Mei tahun 1998. Unjuk rasa merupakan hal yang biasa di Indonesia.
Mulai dari mahasiswa sampai buruh, mulai kepala desa sampai rakyat
jelata,

pendeknya

demonstrasi

dan

segala
tidak

lapisan

masyarakat

terkaget-kaget

lagi


sekarang
ketika

mengenai

menyaksikan

demonstrasi di mana-mana. Maka selain demo murni, ada juga demo
pesanan. Juga selain ada demonstran “asli” ada juga demonstran
bayaran.

2

Fenomena tersebut tentu saja pada akhirnya akan menyebabkan
dampak yang bisa kontraproduktif. Adalah hal yang sudah kasat mata
bahwa semua demonstrasi selalu bermuara pada kepentingan, baik
kepentingan individu maupun kepentingan kelompok. Fenomena demo
pesanan dan demonstran bayaran adalah efek dari upaya pencapaian
kepentingan


tersebut.

Sehingga

menjadi

masuk

akal

ketika

polisi

menjaring tersangka dengan menggali informasi siapa figur dibalik
demontrasi, siapa yang membiayai demo.
Akan tetapi jika merujuk pada UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Depan Umum, orang yang
menggerakkan demonstrasi atau orang yang membiayai demonstrasi

tidak bisa dipersalahkan. Pada bagian menimbang undang-undang
tersebut

pun

sudah

jelas-jelas

ditegaskan,

bahwa

kemerdekaan

menyampaikan pendapat umum adalah hak asasi manusia yang dijamin
oleh Undang Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi
Manusia. Disebutkan pula bahwa kemerdekaan setiap warga negara untuk
menyampaikan


pendapat

di

muka

umum

merupakan

perwujudan

demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat., berbangsa, dan
bernegara.
Sehingga jika kita melihat semangatnya, unjuk rasa adalah hak
yang secara hakiki diyakini menjadi bagian penting dalam proses
demokratisasi yang merupakan salah satu inti dari gerakan reformasi di
Indonesia

yang


kini

sudah

berjalan

sepuluh

tahun

lebih.

Hak

menyampaikan pendapat ini ketika dilakukan oleh sekelompok individu
tentu saja membutuhkan leader, yang sudah pasti akan menjadi
penggeraknya. Kegiatan demontrasi juga tidak mungkin dilakukan secara
gratis. Setidaknya pasti mereka yang melakukan aktivitas itu harus makan
dan minum. Ini jelas butuh biaya. Jadi, jika ada yang membiayai tentu saja

wajar.
Yang menjadi masalah ketika demontrasi tersebut berubah menjadi
tindakan anarkis. Demonstrasi Propinsi Tapanuli oleh polisi dinyatakan
ilegal, karena sesuai ketentuan seharusnya tiga hari sebelum aksi
dilakukan sudah harus memberitahukan ke polisi, tetapi hal tersebut tidak
3

dilakukan. Polisi yang tahu hal ini tidak membubarkan aksi, dengan alasan
sikap menghormati karena unjuk rasa dilakukan sebagai bagian dari
demokrasi. Karena itulah yang dilakukan adalah memberikan pelayanan
keamanan.
Dari sini kita melihat bahwa polisi sebenarnya sudah melakukan
track yang benar, bahwa dukungan atas berkembangnya demokratisasi
harus diberikan apresiasi, terutama dalam memasuki era reformasi.
Namun yang dilupakan, bahwa apresiasi tersebut bisa menimbulkan efek
negatif ketika dalam pegelolaannya tidak berdasarkan pada rambu yang
ada. Ketentuan yang ada pada undang-undang tentu saja sudah dengan
berbagai pertimbangan. Walau polisi mempunyai kewenangan diskresi,
namun ketika akibat yang muncul ternyata fatal, maka tanggung-jawab
itu lalu menjadikan akibat baru. Kasus demo di DPRD Sumut menunjukkan

kesalahan tersebut. Artinya bahwa unjuk rasa adalah hak, namun
prosedur

pun

juga

harus

dilakukan,

sehingga

demokratisasi

tidak

dilakukan dengan membabi buta.
Dinamika Politik Lokal
Kasus demontrasi Provinsi Tapanuli yang berujung pada tindakan
anarkis dan mengakibatkan tewasnya Ketua DPRD Sumut Abdul Azis
Angkat memberikan banyak pelajaran bagi kita semua. Bagi polisi,
tindakan diskresi kepolisian walau merupakan kewenangannya namun
dalam implementasinya haruslah benar-benar mempertimbangkan kondisi
riil di lapangan. Menyampaikan pendapat melalui unjuk rasa memang
merupakan hak warga negara yang dilindungi undang-undang. Bagi Polri
yang mempunyai semangat dalam tugas pokok dalam bentuk melindungi,
mengayomi, dan melayani, kemudian melakukan implementasi dalam
bentuk

apresiasi

terhadap

demokratisasi

boleh-boleh

saja,

dengan

memberikan dukungan pada kegiatan unjuk rasa melalui pelayanan dalam
hal keamanan. Namun deteksi dini ternyata menjadi masalah yang sangat
penting. Protap yang sudah didisain untuk meminimalkan risiko-risiko
terutama risiko kerawanan kamtibmas yang menjadi tugas polisi untuk
menekannya, menjadi hal yang wajib dilakukan.

4

Ada hal penting yang bisa kita petik pada kejadian tersebut, yaitu
mengingatkan pada kita untuk selalu waspada, bahwa era otonomi daerah
dengan

segala

aspek

yang

melingkupinya



seperti

pilkada

dan

pemekaran wilayah – serta pemilihan umum yang dalam penentuan calon
terpilih sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan suara
terbanyak, akan mempunyai efek pada meningkatnya dinamika politik
lokal. Dinamika ini akan bergerak dengan segala variasinya dan pada
akhirnya akan menjadi “kubangan-kubangan” pusaran dinamika sosial.
Demonstrasi Provinsi Tapanuli merupakan salah satu bentuk
“kubangan” tersebut., dimana dari sana akan mengemuka aktivitas unitunit kekuatan sosial yang saling bergesekan. Jika kita simak lebih jauh
bagaimana perkembangan dari daerah-daerah pemekaran, yang terjadi
bukanlah munculnya inovasi-inovasi baru dalam rangka mensejahterakan
masyarakat, tetapi justru “inovasi” elite setempat untuk menarik dana
dari pusat. Akibatnya tujuan pemekaran yang diharapkan menjadi pemicu
pertumbuhan akhirnya tidak tercapai.
Inilah

pangkal

dari

bencana

tersebut,

gesekan

yang

justru

menimbulkan konflik, karena yang terjadi adalah pertarungan untuk
merebut sumber politik dan ekonomi. Kemenangan dalam perebutan ini
menjadi penting bagi elite, karena inilah jalan masuk agar bisa
memperoleh akses transformasi kekuasaan dari pusat. Inilah efek negatif
dari

otonomi

daerah

yang

sekarang

dikembangkan

di

Indonesia.

Ketidaksiapan elite lokal untuk mandiri menyebabkan ketergantungan
dengan pusat terus dibangun melalui upaya-upaya bangunan politik. Di
sinilah kepentingan itu akan terus bertaut dengan dinamika politik lokal
yang jelas akan memberikan kontribusi bagi gangguan kamtibmas.
Polri akan pada posisi harus bisa menjadi “moderator” bagi
dinamika
keamanan

politik
dan

lokal

melalui

ketertiban

tugas

pokoknya,

masyarakat,

yakni

menegakkah

memelihara
hukum,

dan

melindungi, mengayom, serta melayani. Inilah tugas yang tidak ringan.
Unjuk rasa sebagai bentuk mengemukakan pendapat di muka umum akan
terus ada sebagai upaya penggalangan oleh kelompok kepentingan
tersebut. Elite lokal pada akhirnya akan terus memobilisasi masyarakat
5

untuk kepentingannya. Temuan polisi bahwa ada peran politisi dalam aksi
di DPRD Sumut merupakan bukti yang tak terbantahkan. Selain demo
Provinsi Tapanuli, gesekan juga akan sering terjadi manakala para calon
legislatif berusaha memobilisasi masyarakat untuk memberikan dukungan
padanya.
Bagi Polri tugas ini akan membawa banyak resiko. Di satu pihak
tuntutan

untuk

mampu

mengawal

proses

demokratisasi,

proses

desentralisasi dalam otonomi daerah, serta mengawal pembelajaran
politik bagi masyarakat wajib dilakukan, namun di lain pihak sorotan akan
kinerja Polri pun tak akan pernah berhenti. Alih-alih jika tidak waspada,
maka kejadian-kejadian yang tidak diinginkan bisa saja terjadi. Dan tentu
saja jalan keluarnya tidak bisa hanya dengan mencopot pejabat Polri di
wilayah tersebut. Karena jika ini sering dilakukan, juga tidak baik bagi
proses membangun rasa percaya diri bagi mereka yang diberi tanggung
jawab.
Maka yang penting bagi Polri, membangun kewaspadaan harus
semakin ditingkatkan. Internal dengan terus menerus membangun kinerja
yang profesional, dan eksternal dengan terus membangun partisipasi dan
dukungan dari masyarakat. Era otonomi daerah, dan sistem pemilu yang
semakin terbuka akan terus membawa efek pada semakin dinamisnya
gerakan-gerakan politik lokal, dan tugas Polri untuk menjaga dinamika
tersebut tanpa harus kehilangan rasa percaya diri karena musibahmusibah yang tidak terduga. Kasus di Sumatera Utara adalah pelajaran
yang sangat berharga. (*)
A WAHYURUDHANTO,
dosen pada Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta.

6