Analisis Yuridis Perubahan Hak Atas Tanah Dari Status Hak Guna Usaha Menjadi Hak Pengelolaan Pada Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei PT.Perkebunan Nusantara III (Persero)

40

BAB II
PROSES PERUBAHAN HAK ATAS TANAH PADA KAWASAN SEI MANGKEI
PT.PERKEBUNAN NUSANTARA III
A. Landasan Hukum Hak Guna Usaha
1. Terjadinya Hak Guna Usaha
Menurut Pasal 28 Undang-Undang No 5 tahun 1960 tentang Undang- Undang
Pokok Agraria Hak Guna Usaha adalah:
”Hak untuk mengusahakan tanah yang langsung dikuasai Negara dalam jangka
waktu tertentu guna usaha pertanian, peternakan, atau perikanan, tanah yang
dimaksud dalam pengertian ini adalah tanah yang dapat diberikan adalah tanah
Negara, yang diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh pejabat yang
ditunjuk.”
Dari defenisi atau pengertian yang diberikan tersebut di atas, dapat diketahui
bahwa yang dinamakan dengan Hak Guna Usaha yaitu hak yang diberikan oleh negara
kepada perusahaan pertanian, perikanan atau perusahaan peternakan untuk melakukan
kegiatan usahanya di Indonesia. 37
Hak Guna Usaha adalah usaha pemerintah menciptakan lapangan kerja yang
besar bagi rakyat, oleh karena perkebunan, perikanan dan peternakan adalah usaha yang
padat karya. 38 Tujuan dari pemberian Hak Guna Usaha tersebut tidak diubah dan

dialihkan kepada usaha- usaha lain, apalagi untuk usaha real estate atau disewakan
demikikan pula tidak dapat dibagi hasilkan dengan orang lain. 39

37

Kartini Muljadi Dan Gunawan Widjaja,Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak- Hak Atas Tanah
(Jakarta: kencana, 2008) hal 150
38
A.P.Parlindungan, Beberapa Masalah Dalam UUPA (Bandung: Mandar Maju,1993) Hal 39
39
Ibid

41

Sebagai sifat-sifat dan ciri-ciri Hak Guna Usaha dapat disebutkan antara lain: 40
a. Meskipun tidak sekuat Hak Milik, Hak Guna Usaha tergolong hak atas tanah
yang kuat, artinya tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap
ganguan pihak lain. Oleh karena itu, Hak Guna Usah termasuk salah satu
hak yang wajib didaftarkan( Pasal 32 UUPA, jo Pasal 9 Peraturan
Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah)

b. Hak Guna Usaha dapat beralih, artinya dapat diwariskan kepada ahli waris
yang memiliki hak ( Pasal 16 Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1996
tentang Hak Guna Usaha, hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah)
c. Akan tetapi berlainan dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha jangka waktunya
terbatas, artinya pada suatu waktu akan berakhir (Pasal 8 Peraturan
Pemerintah No 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah)
d. Hak Guna Usaha dapat dialihkan kepada pihak lain, yaitu dijual, ditukarkan
dengan benda lain, dihibahkan atau diberikan dengan wasiat
e. Hak Guna Usaha dapat juga dilepaskan oleh yang memiliki hingga tanahnya
menjadi tanah negara.
Hak Guna Usaha diberikan atas tanah yang yang tidak kurang atau paling sedikit
dari 5 Ha sedangkan batas luas maksimumnya adalah 25 Ha, bagi pihak yang
memohonkan Hak Guna Usaha atas tanah seluas 25 Ha harus memiliki kesanggupan
untuk melakukan investasi modal yang layak, penggunaan teknologi usaha yang baik
sesuai dengan perkembangan zaman serta mendapat pertimbangan dari pejabat yang
berwenang di bidang usaha yang bersangkutan 41.
Mengenai ketentuan bagi 25 Ha tanah dengan Hak Guna Usaha harus disertai
dengan investasi yang layak serta teknologi yang baik, ini tidak berarti bahwa tanahtanah yang luasnya kurang dari 25 Ha itu pengusahaannya boleh dilakukan secara tidak
baik, atau sekehendak hati, dan lain sebagainya yang menunjukkan pemanfaatan yang

kurang positif, kalau hal-hal yang kurang baik atau negatif itu memang dilaksanakan

40

Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi( Bandung:Alumni,1999)

41

Zaidar Op.Cit hal 128

Hal 55

42

oleh pemegang haknya, maka berdasarkan pasal 34 UUPA Hak Guna Usahanya dapat
dicabut kembali 42
Pada pasal 31 UUPA disebutkan ” bahwa karena Hak Guna Usaha hanya dapat
diberikan diatas tanah Negara maka, Hak Guna Usaha hanya terjadi berdasarkan
penetapan pemerintah, Hak Guna Usaha tidak dapat terjadi berdasarkan perjanjian, Hak
Guna Usaha diberikan karena permohonan yang berkepentingan setelah memenuhi

persyaratan- persyaratan yang telah ditentukan untuk itu 43.”
Asal tanah Hak Guna Usaha berupa tanah hak, maka tanah tersebut harus
dilakukan pelepasan atau penyerahan hak oleh pemegang hak dengan pemberian ganti
kerugian oleh calon pemegang Hak Guna Usaha dan selanjutnya mengajukan
permohonan pemberian Hak Guna Usaha kepada Badan Pertanahan Nasional. Kalau
tanahnya berasal dari kawasan hutan, maka tanah tersebut harus dikeluarkan statusnya
sebagai kawasan hutan 44.
Dalam rangka pemberian Hak Guna Usaha ini, tanah- tanah yang dikecualikan
adalah: 45
1. Dikecualikan dari pemberian Hak Guna Usaha baru, bagian- bagian tanah
bekas areal perusahaan- perusahaan besar yang
a. Sudah merupakan perkampungan rakyat.
b. Telah diusahakan oleh rakyat secara menetap.
c. Diperlukan oleh Pemerintah.
2. Apabila di antara tanah-tanah tersebut di atas ada yang perlu dimasukkan ke
dalam areal perusahaan kebun yang diberikan dengan Hak Guna Usaha maka
tentang Hak Guna Usaha tersebut penyelesaiannya harus dilakukan menurut
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah.
Dari ketentuan Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dapat diketahui bahwa pemberian Hak

42

G. Kartasapoetra, Op.Cit, hal 8
Chadidjah Dalimunthe,Suatu Tinjauan Tentang Pemberian Hak Guna Usaha Dalam Rangka
Penanam Modal Asing (Medan:USU Press, 1994) hal 24
44
Urip Santoso, Hukum, Agraria dan hak-hak atas Tanah (1)(Jakarta: Kencana, 2010) hal 99
45
Soedharyo Soimin, Status Hak Dan Pembebasan Tanah (Jakarta: Sinar Grafika,2008) hal 25
43

43

Guna Usaha ini termasuk pemberian tanah negara, maka pendaftraran yang diwajibkan
terhadap pemberian Hak Guna Usaha ini juga merupakan penentuan saat lahirnya Hak
Guna Usaha tersebut. Tanpa adanya pendaftaran tersebut, tidak pernah ada Hak Guna
Usaha sama sekali, meskipun untuk itu telah dikeluarkan Surat Keputusan Pemberian
Hak oleh pejabat berwenang. 46
Sehubungan dengan pemberian Hak Guna Usaha, pihak yang dapat menjadi
pemegang Hak Guna Usaha adalah Warga Negara Indonesia dan badan hukum

Indonesia. Untuk badan hukum Indonesia ini perlu diperhatikan bahwa untuk menjadi
badan hukum Indonesia menurut Pasal 30 UUPA harus memenuhi kedua syarat yaitu
didirikan menurut ketentuan dan hukum Negara Republik Indonesia dan berkedudukan
di Indonesia. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa setiap badan hukum yang
didirikan menurut ketentuan hukum Negara Republik Indonesia dapat menjadi
pemegang Hak Guna Usaha yang artinya tidak mempertimbangkan sumber asal dana
yang merupakan modal dari badan hukum tersebut.
Hak Guna Usaha tidak dapat diberikan kepada Warga Negara Asing dan badan
hukum asing. Perusahaan-perusahaan asing yang ingin menanamkan modal di
Indonesia, dan akan mempergunakan Hak Guna Usaha dalam rangka Penanaman Modal
Asing harus mendirikan badan hukum Indonesia setelah mendapat izin operasional
terlebih dahulu dari Badan Koordinasi Penanaman Modal. 47
Setiap pemegang Hak Guna Usaha memiliki hak dan kewajibannya, pemegang
Hak Guna Usaha memiliki hak untuk mengusahakan tanah-tanah Hak Guna Usaha
46
47

Zaidar, Op.Cit, hal 140
Chadidjah Dalimunthe, Op.Cit, hal 18


44

sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta berhak pula untuk memperoleh hasil yang
diperoleh dari Hak Guna Usaha tersebut.
Berdasarkan Pasal 14 Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Bangunan dan Hak Pakai atas tanah, pemegang Hak Guna Usaha
berhak menguasai dan menggunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha
untuk melaksanakan usaha di bidang pertanian, perkebunan, perikanan, dan/ atau
peternakan. Penguasaan dan penggunaan sumber air dan sumber daya alam lainnya di
atas tanah Hak Guna Usaha oleh pemegang Hak Guna Usaha hanya dapat dilakukan
untuk mendukung usaha hak Guna Usaha dengan mengingat ketentuan UndangUndang Pokok Agraria dan kepentingan masyarakat sekitarnya. 48
Karena pada umumnya Hak Guna Usaha meliputi tanah yang luas yang didalam
tanahnya terdapat sumber air atau sumber daya lainnya. Pemegang Hak Guna Usaha
berhak menggunakan sumber daya alam ini sepanjang diperlukan untuk kepentingan
yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam usaha-usaha yang
diatur dalam Undang- Undang Pokok Agraria.
Setiap pemegang Hak Guna Usaha memiliki kewajiban yang harus dipenuhi,
antara lain yaitu: 49
a. Membayar pemasukan kepada Negara.
b. Melakukan usaha pertanian, perkebunan, dan perternakan dan atau perikanan

sesuai dengan peruntukan dan persyaratan yang sebagaimana ditetapkan
dalam keputusan pemberian hak tersebut.
c. Mengusahakan sendiri tanah Hak Guna usaha berdasarkan kriteria yang
ditetapkan oleh instansi teknis.
48

Urip Santoso (1), Op.Cit, hal 105
Irene Eka Sihombing, Segi-Segi Hukum Tanah Nasional Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2009) hal 31
49

45

d. Membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang
ada dalam lingkungan areal Hak Guna Usaha tersebut.
e. Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan
Hak Guna Usaha tersebut.
f. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha
tersebut kepada Negara sesudah Hak Guna usaha tersebut hapus.
g. Menyerahkan sertifikat Hak Guna Usaha yang telah hapus kepada Kepala

Kantor Pertanahan.
h. Pemegang Hak Guna Usaha dilarang menyerahkan pengusahaan tanah Hak
Guna Usaha kepada pihak lain kecuali dalam hal-hal yang diperbolehkan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak Guna Usaha terjadi dengan adanya permohonan pemberian Hak Guna
Usaha oleh pemohon kepada Kepala Badan Pertahanan Nasional Republik Indonesia.
Setelah seluruh persyaratan yang ditentukan dalam permohonan tersebut telah dipenuhi,
maka Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia atau pejebat yang
diberikan wewenang untuk menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH).
Kemudian Surat Keputusan Pemberian Hak tersebut wajib didaftarkan ke kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan
sertipikat sebagai tanda bukti haknya, hal ini diatur dalam Pasal 31 UUPA jo. Pasal 6
dan Pasal 7 Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1996 tentang tentang Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.
Hak Guna Usaha juga dapat terjadi dengan adanya ketentuan konversi, konversi
yang dimaksudkan pada ketentuan agraria adalah menyesuaikan hak-hak tanah yang
berlaku sebelum UUPA kepada hak-hak baru sesuai dengan yang dianut oleh sistem
UUPA. 50 Dalam rangka pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia No 32
Tahun 1979 yaitu tentang Kebijaksanaan Pemberian Hak Baru Asal Konversi Hak


50

Chadidjah Dalimunthe,Op.Cit, hal 26

46

Barat, perlu digariskan secara menyeluruh penyelesaiannya menurut UUPA. Untuk ini
oleh Pemerintah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 3 Tahun 1979 ditetapkan
Ketentuan-Ketentuan mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru atas Tanah asal
Konversi Hak-hak Barat.
Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat(1) Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1996
tentang Hak Guna Usaha, Hak Bangunan dan Hak Pakai atas tanah disebutkan bahwa
Hak Guna Usaha baru akan diberikan pada permohonan jika: 51
1. Dipenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 2 dan 3 Peraturan
Pemerintah No 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Bangunan dan
Hak Pakai atas tanah.
2. Menurut penelitian Panitia Pemeriksa Tanah (panitia B) berada dalam
keadaan baik dan diusahakan sendiri oleh bekas pemegang haknya.
3. Areal perkebunan tersebut tidak seluruhnya diperlukan untuk pembangunan
proyek-proyek bagi penyelenggaran kepentingan umum.

4. Bekas pemegang haknya bukan suatu perusahaan yang seluruhnya atau
sebagian modalnya adalah modal asing.
Dalam permohonan pemberian Hak Guna Usaha terdapat juga syarat-syarat
yang harus dipenuhi antara lain: 52
1. Harus ada izin prinsip dari Bupati/ Kepala Daerah dimana Hak Guna Usaha
itu dimohonkan.
2. Harus ada izin lokasi dari Bupati/ Kepala Daerah dimana Hak Guna Usaha
itu dimohonkan.
3. Harus ada surat keputusan pelepasan areal dari kawasan hutan oleh
Departemen Kehutanan apabila lokasi tersebut masuk dalam kawasan hutan.
4. Harus ada izin prinsip dari Direktur Jendral Perkebunan.
5. Harus ada akte pendirian perusahaan.
6. Harus ada Nomor Pokok Wajib Pajak.
7. Proposal perusahaan.
8. Refrensi bank mengenai bonafits dari perusahaan .
9. Bukti pembayaran ganti kerugian dari masyarakat apabila Hak Guna Usaha
dari tanah yang dimohonkan berasal dari masyarakat.
10. Harus ada peta dari lokasi yang dimohonkan.
51
52

Ibid
Affan Mukti, Op.Cit, hal 71

47

Kewenangan pemberian Hak Guna Usaha dapat dilihat dalam Pasal 8 dan pasal
13 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun
1999 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Dan Pembatalan Keputusan Pemberian
Hak Atas Tanah Negara yaitu pemberian Hak Guna Usaha atas tanah luasnya sampai
dengan 200 Ha dilakukan oleh Kepala Kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional
Provinsi, sedangkan untuk tanah seluas mulai dari 200 Ha keatas, pemberian Hak Guna
Usaha dilakukan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional/ Menteri Negara Agraria.
Jangka waktu untuk tanah dengan Hak Guna Usaha yang pertama kalinya
menurut Pasal 29 UUPA diberikan paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk
jangka waktu paling lama 25 tahun. Pasal 8 Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1996
tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah mengatur
jangka waktu Hak Guna Usaha adalah untuk pertama kalinya paling lama 35 tahun,
diperpanjang paling lama 25 tahun dan diperbarui paling lama 35 tahun. 53
Permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Usaha
diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna
Usaha tersebut, persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemegang Hak Guna Usaha
adalah: 54
a. Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan sifat, dan
tujuan pemberian hak tersebut.
b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang
hak.
c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.

53
54

Urip Santoso (1) Op.Cit, hal 100
Ibid

48

Pada Pasal 11 Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1960 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Bangunan dan Hak Pakai atas tanah telah diatur mengenai kepentingan
penanaman modal, permintaan perpanjangan atau pembaruan Hak Guna Usaha dapat
dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada
saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna Usaha.
Dalam hal uang pemasukan telah dibayar sekaligus untuk perpanjangan dan
pembaruan Hak Guna Usaha hanya dikenakan biaya administrasi. Persetujuan untuk
dapat memberikan perpanjangan atau pembaruan Hak Guna Usaha dan perincian uang
pemasukan dicantumkan dalam keputusan pemberian Hak Guna Usaha yang
bersangkutan.
Dalam rangka memberikan kemudahan pelayanan dan perizinan kepada para
penanam modal, yang memenuhi persyaratan tertentu, Undang- Undang No 25 tahun
2007 tentang Penanaman Modal tersebut memberikan kemudahan dalam memperoleh
hak atas tanah yang diperlukan. Hak atas tanah yang diperlukan itu dapat diberikan dan
diperpanjang sekaligus dan dapat dibaharui kembali atas permohonan penanam modal.
Sehubungan dengan adanya gugatan Perkara Nomor 22/PUU-V/2007 Perihal
Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal Terhadap Undang-Undang Dasar 1945 pada Mahkamah Konstitusi,
yaitu menguji bagian dari Pasal 22 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25
Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang bertentangan dengan UUD 1945, yaitu
Pasal 22 ayat (1) sepanjang menyangkut kata-kata "di muka sekaligus" dan "berupa”
seperti berikut:

49

a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima)
tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama
60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun;
b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 delapan puluh) tahun
dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50
(lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan
c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara
dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh
lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun".
Selain itu, Pasal 22 ayat (2) Undang- Undang No 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal sepanjang menyangkut kata-kata "di muka sekaligus" dan Pasal 22
ayat (4) Undang- Undang No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal sepanjang
menyangkut kata-kata "sekaligus di muka" juga dinyatakan bertentangan dengan UUD
1945.
Pasal 22 ayat (4) Undang- Undang No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal dimaksud menjadi berbunyi:
1. Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang dan
dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal.
2. Hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dapat diberikan
dan diperpanjang untuk kegiatan penanam modal dengan persyaratan
antara lain:
a. Penanam modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait
dengan perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih
berdaya saing.
b. Penanaman modal dengan tingkat resiko penanaman modal yang
memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai
dengan jenis kegiatan penanam modal yang dilakukan.
c. Penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas.
d. Penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara.
e. Penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat
dan tidak merugikan kepentingan umum.
3. Hak atas tanah dapat diperbarui setelah adanya evaluasi bahwa tanahnya
masih digunakan dan diusahakan dengan baik, sesuai dengan keadaan,
sifat dan tujuan pemberian hak.

50

4. Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan dan dapat
diperbarui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dapat dihentikan
atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanam modal
menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau
memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian
hak atas tanahnya serta melanggar ketentuan perundang- undangan di
bidang pertanahan.
Perlu diperhatikan tentang tata cara pemberian, perpanjangan dan pembaharuan
Hak Guna Usaha dan batas waktu penyelesaiannya dengan proses yang sederhana.
Dalam hal ini instansi yang berwenang perlu bertindak konsekuen. Artinya bila
persyaratan sudah dipenuhi oleh pemohon/ pemegang hak, maka penyelesaiannya
hendaknya tepat waktu. Apabila terjadi keterlambatan, maka aparat harus diberi
sanksi. 55
Dalam kaitannya dengan jaminan pemberian perpanjangan maupun pembaruan
hak, perlu dipertimbangkan kemungkinan pengajuan permohonan tidak perlu menunggu
sampai selambat-lambatnya satu tahun sebelum hak berakhir, tetapi dapat ditempuh
lebih awal. Dengan adanya kesinambungan jangka waktu Hak Guna Usaha diharapkan
agar kepastian berusaha lebih terjamin secara nyata, dan bagi pemerintah tujuan untuk
pengawasan secara berkala pun tercapai. 56
2. Hapusnya Hak Guna Usaha
Menurut Pasal 17 Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah, faktor –faktor yang
menyebabkan hapusnya Hak Guna Usaha yang mengakibatkan tanahnya kembali
menjadi tanah Negara adalah:
55

Maria S.W Sumardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi(1)
(Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2001) hal 113
56
Ibid hal 114

51

a. Berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan pemberian dan
perpanjangan.
b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir
karena tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak atau
dilanggarnya ketentuan- ketentuan yang telah ditetapkan dalam keputusan
pemberian hak, dan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu
berakhir.
d. Hak Guna Usahanya dicabut.
e. Tanahnya musnah.
f. Pemegang hak guna usaha tidak memenuhi syarat sebagai pemegang Hak
Guna Usaha.
Apabila Hak Guna Usaha tidak diperpanjang dan diperbaharui serta hapus,
bekas pemegang Hak Guna Usaha wajib membongkar bangunan- bangunan dan bendabenda yang ada diatasnya dan menyerahkan tanah dan tanaman yang ada diatas bekas
Hak Guna Usaha kepada Negara dalam batas waktu yang ditetapkan.
Dalam kaitannya dengan pemegang Hak Guna Usaha dapat saja melepaskan
haknya sebelum jangka waktunya berakhir, kemungkinan- kemungkinan ini dapat saja
terjadi, suatu misal karena pemegang hak selalu rugi dan atau tanah-tanah tersebut
sudah tidak dapat diharapkan lagi maka penyerahan ini dapat dilakukan dengan suatu
penyerahan yang ditandatangani oleh pemegang hak. 57 Apabila tanahnya tidak lebih
dari 25 Ha, yang dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 6 Tahun 1972
disebutkan bahwa Gubernur memberi keputusan mengenai permohonan pemberian,
perpanjangan jangka waktu atau pembaruan, izin permintaan, dan menerima pelepasan
Hak Guna Usaha atas tanah Negara jika: 58
a. Luas tanahnya tidak melebihi 25 Ha.
57
58

Soedharyo Soimin, Op.Cit, hal 27
Ibid

52

b. Peruntukan tanahnya bukan tanaman keras.
c. Perpanjangan jangka waktunya tidak lebih dari 5 tahun.
Hapusnya Hak Guna Usaha erat kaitannya dengan kewarganegaraan seseorang
atau perusahaan sebagai pemegang Hak Guna Usaha, jika pemegang Hak Guna usaha
sudah tidak tunduk lagi dengan hukum di Indonesia ini menandakan bahwa salah satu
syarat sebagai pemegang Hak Guna Usaha tidak dipenuhi, sehingga menurut Pasal 3
Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai dapat, dalam jangka waktu satu tahun Hak Guna Usaha
tersebut wajib dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila tidak
dialihkan, Hak Guna Usaha tersebut hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah
negara 59
Berdasarkan pada Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 6 Tahun 1972,
bahwa Hak Guna Usaha masih dapat dimintakan lagi perpanjangannya dengan catatan
bahwa pemegang hak masih Warga Negara Indonesia atau perusahaannya masih tunduk
pada hukum Indonesia, dengan adanya perpanjangan Hak Guna Usaha ini maka
Pemerintah dalam hal ini Menteri Dalam Negeri perlu meneliti apakah pemegang hak
telah mengusahakan tanahnya, sehingga tidak diterlantarkan yang dapat mengundang
pihak ketiga menggarap tanah tersebut sebagai areal perladangan, sehingga timbul
sengketa- sengketa yang menimbulkan kerawanan-kerawanan di bidang pertanahan. 60

59
60

Ibid
Ibid

53

Pasal 18 Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah mengatur konsekuensi hapusnya Hak
Guna Usaha bagi bekas pemegang Hak Guna Usaha yaitu:
a.

b.

c.
d.

Apabila Hak Guna Usaha hapus dan tidak diperpanjang atau
diperbaharui, bekas pemegang wajib membongkar bangunan- bangunan
dan benda- benda yang ada diatasnya dan menyerahkan tanah dan
tanaman yang ada di atas tanah bekas Hak Guna Usaha tersebut kepada
Negara.
Apabila bangunan, tanaman, dan benda- benda tersebut diatas diperlukan
untuk melangsungkan dan memulihkan pengusahaan tanahnya, maka
kepada bekas pemegang Hak Guna Usaha diberikan ganti rugi yang
bentuk dan jumlahnya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Ganti rugi merupakan suatu imbalan yang diterima oleh pemegang hak
atas tanah sebagai pengganti dari nilai tanah termasuk yang ada
diatasnya, terhadap tanah yang dilepas atau diserahkan. 61 Baik dalam
perolehan tanah dengan cara pencabutan hak, kepada pihak yang telah
menyerahkan tanahnya wajib diberikan imbalan yang layak sehingga
sedemikian rupa keadaan sosial dan keadaan ekonominya tidak menjadi
mundur. 62
Pembongkaran bangunan dan benda-benda di atas tanah Hak Guna
Usaha dilaksanakan dengan biaya bekas pemegang Hak Guna Usaha.
Jika bekas pemegang Hak Guna Usaha lalai dalam memenuhi kewajiban
tersebut, maka bangunan dan benda- benda yang ada di atas tanah bekas
Hak Guna Usaha itu dibongkar oleh Pemerintah atas biaya bekas
pemegang Hak Guna Usaha.

3.Peralihan Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi
syarat sebagai pemegang Hak Guna Usaha. Bentuk dialihkan tersebut dapat berupa jual
beli, tukar- menukar, hibah, penyertaan dalam modal perusahaanyang harus dibuktikan
dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) khusus yang ditunjuk oleh Kepala

61

Syafrudin Kalo, Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Jakarta:
Pustaka Bangsa Press, 2004) hal 87
62
Ibid

54

Badan Pertanahan Nasional, sedangkan lelang harus dibuktikan dengan Berita Acara
Lelang yang dibuat oleh pejabat dari Kantor Lelang. 63
Prosedur pemindahan Hak Guna Usaha dengan cara jual-beli, tukar- menukar,
hibah, dan penyertaan dalam modal perusahaan diatur dalam Pasal 16 Peraturan
Pemerintah No 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak
Pakai atas tanah jo. Pasal 37 sampai dengan Pasal 40 Peraturan Pemerintah No 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo. Pasal 97 sampai dengan Pasal 106 Permen
Agraria/ Kepala BPN No 3 Tahun 1997.
Prosedur pemindahan Hak Guna Usaha dengan cara Lelang diatur dalam Pasal
16 Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah jo. Pasal 41 Peraturan Pemerintah No 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah jo. Pasal 107 sampai dengan Pasal 110 Permen
Agraria/ Kepala BPN No 3 Tahun 1997. 64
Pada Pasal 16 Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah jo Pasal 42 Peraturan
Pemerintah No 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo. Pasal 111 dan 112 Permen
Agraria Kepala BPN No 3 Tahun 1997 mengatur mengenai dapat beralih dan
dialihkannya Hak Guna Usaha dengan cara pewarisan yang harus dibuktikan dengan
adanya surat wasiat atau surat keterangan sebagai ahli waris yang dibuat oleh pejabat

63
64

Urip Santoso (1), Op.Cit, hal 106
Ibid

55

yang berwenang, surat keterangan kematian pemegang Hak Guna Usaha, bukti identitas
para ahli waris, dan Sertipikat Hak Guna Usaha yang bersangkutan. 65
Peralihan Hak Guna Usaha wajib didaftarkan kepada Kantor Pertanahan
Kabupaten /Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan dilakukan perubahan
nama dalam sertipikat dari pemegang Hak Guna Usaha yang baru.
B. Landasan Hukum Hak Pengelolaan
1. Terjadinya Hak Pengelolaan
Hak pengelolaan atas tanah yang merupakan wujud delegasi wewenang dari
Hak Menguasai Negara, tidak tercantum sebagai salah satu diantara hak- hak di dalam
Pasal 16 UUPA. Namun pengertian Hak Pengelolaan terdapat pada Pasal 1 angka 2
Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai dapat, yaitu “ Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari
negara

yang

kewenangan

pelaksanaannya

sebagian

dilimpahkan

kepada

pemegangnya.” 66
Hak pengelolaan merupakan hak atas tanah yang dikuasai oleh Negara dan
hanya dapat diberikan kepada badan hukum pemerintah atau pemerintah daerah baik
dipergunakan untuk usahanya sendiri maupun untuk kepentingan pihak ketiga. 67.
Awalnya Hak Pengelolaan tidak dari semula bernama Hak Pengelolaan tetapi
mengambil terjemahan dari bahasa Belanda

Beheersrecht,

maka pada waktu itu

diterjemahkan dengan Hak Penguasaan dan lama sekali istilah ini bertahan dan
65

Ibid
Tampil Anshari,Undang- Undang Pokok Agraria Dalam Bagan( Medan: Kelompok Studi
Hukum Dan Masyarakat,2001) hal 264
67
R. Ateng Ranoemihardja, Perkembangan Hukum Agraria Indonesia( Bandung: Tarsito, 1982)
hal 16
66

56

dipergunakan. 68 Istilah Hak Pengelolaan salah satu diantara jenis hak-hak atas tanah
yang sama sekali tidak disebutkan di dalam UUPA, pengertian dan penjelesannya
terdapat diluar dari UUPA. 69
Konsep Hak Pengelolaan diperkenalkan dalam Peraturan Pemerintah No 8
Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara, sesuai dengan judulnya
Peraturan Pemerintah tersebut mengatur penguasaan sebagai terjemahan dari
Beheersrecht atas tanah- tanah Negara, yang secara ringkas inti dari Peraturan
Pemerintah tersebut adalah sebagai berikut: 70
a. Penguasaan atas tanah Negara berada pada Menteri Dalam Negeri, kecuali
bila tanah Negara itu telah diserahkan kepada Kementerian/ Jawatan atau
Daerah Swatantra ( Pasal 2 dan 3).
b. Penguasaan atas tanah Negara dapat diserahkan kepada Kementerian/
Jawatan untuk melaksanakan kepentingan tertentu kepada Daerah
Swatantra untuk menyelenggarakan kepentingan daerahnya.
c. Jika tanah dalam butir b tidak digunakan lagi, penguasaannya diserahkan
kembali kepada Kementerian Dalam Negeri (Pasal 5).
d. Penguasaan yang diberikan kepada Kementerian/ Jawatan atau Daerah
Swatantra dapat dicabut kembali oleh Menteri Dalam Negeri bila:
1) Penyerahan itu belum atau tidak tepat lagi
2) Luas tanah yang diserahkan melebihi keperluannya
3) Tanah tidak dipelihara atau tidak dipergunakan sebagaimana mestinya
e. Tanah Negara yang penguasannya diserahkan kepada Kementerian/
Jawatan dan Daerah Swatantra, sebelum digunakan, dapat diberikan
kepada pihak lain dalam waktu pendek dengan izin Kementerian/ Jawatan
dan daerah Swatantra tersebut. Izin bersifat sementara dan dapat dicabut
serta harus diberitahukan kepada Menteri Dalam Negeri.
f. Kepada Daerah Swatantra dapat diberikan penguasaan atas tanah Negara
untuk dapat diberikan kepada pihak lain dengan sesuatu hak menurut
ketentuan Menteri Dalam Negeri.
Dengan Peraturan Menteri Agraria No 9 Tahun 1965 menunjukkan bahwa Hak
Pengelolaan lahir tidak didasarkan pada Undang-Undang melainkan dengan Peraturan
Menteri Agraria. Hak Pengelolaan semakin dipertegas keberadaannya oleh Undang-

68

A.P Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA (Bandung: Mandar Jaya,1989)

hal 6
69

Ramli Zein, Op.Cit, hal 65
Maria S.W Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (2)(Jakarta:
PT Kompas Media Nusantara, 2008) hal 199
70

57

Undang No 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun, 71 Peraturan Menteri Dalam Negeri
No 5 Tahun 1973 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak
Atas Tanah, Peraturan Menteri Dalam Negeri No 6 Tahun 1972 dan kemudian peraturan
tersebut diganti dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional No 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas
Tanah Negara dan Hak Pengelolaan 72
Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 1 Tahun 1977 Tentang Tata Cara
Permohonan Dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-Bagian Tanah Hak
Pengelolaan Serta Pendaftarannya menyatakan bahwa:
Bagian- bagian tanah Hak Pengelolaan yang diberikan kepada Pemerintah
Daerah, Lembaga, Instansi dan atau Badan/ Badan Hukum(milik) Pemerintah
untuk pembangunan wilayah pemukiman, dapat diserahkan kepada pihak ketiga
dan diusulkan kepada Menteri dalam Negeri atau Gubernur Kepala daerah yang
bersangkutan untuk diberikan dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan, atau Hak
Pakai, sesuai dengan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang telah
dipersiapkan oleh pemegang hak pengelolaan yang bersangkutan.
Berdasarkan Pasal 67 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria No 9 Tahun 1999
tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Negara dan Hak Pengelolaan
yang dapat menjadi pemegang Hak Pengelolaan adalah:
a. Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah.
b. Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
c. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
d. PT. Persero.
e. Badan Otorita.
f. Badan- badan hukum pemerintah lainnya yang ditunjuk pemerintah.

71

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya ( Jakarta: Djambatan, 2003)
71
Urip Santoso Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah (2)(Jakarta: Kencana, 2010),hal 279
72
Winahyu Erwiningsih, Hak Pengelolaan atas Tanah ( Yogyakarta: Total Media, 2011) hal 65

58

Ada 2 macam cara terjadinya hak Pengelolaan dalam peraturan perundangundangan, yaitu:
a. Konversi
Berkaitan dengan perolehan Hak Pengelolaan melalui konversi, menurut
Perautran Menteri Agraria No 9 Tahun 1965, Hak Pengelolaan yang pertama-tama ada
pada waktu mulai berlakunya UUPA adalah yang berasal dari konversi hak penguasaan
atau hak beheer, yaitu yang tanahnya selain digunakan untuk kepentingan instansi yang
bersangkutan, dimaksudkan juga untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada
pihak ketiga. Hak Pengelolaan yang berasal dari konversi tersebut berlangsung selama
tanahnya digunakan untuk keperluan itu. Pelaksanaan konversi diselenggarakan oleh
Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang bersangkutan dan jika tanahnya belum terdaftar
di Kantor Pendaftaran Tanah baru diselenggarakan setelah pemegang haknya datang
mendaftarkannya. 73
Peraturan yang mengatur pelaksanaan konversi Hak Pengelolaan yang semula
berasal dari Hak Penguasaan atas tanah Negara yang dipunyai oleh departemen,
direktorat, atau Daerah Swatantra adalah Peraturan Menteri Agraria No 9 Tahun 1965. 74
Melalu ketentuan konversi, Hak Penguasaan atas tanah Negara yang dipunyai oleh
departemen, direktorat, atau Daerah Swatantra diubah menjadi Hak Pengelolaan. Hak
Pengelolaan ini lahir setelah diterbitkan sertipikat Hak Pengelolaan oleh Kantor
Pertanahan Kabupaten/ Kota setempat. 75

73

Boedi Harsono, Op.Cit hal 403
Urip Santoso, (2),hal 126
75
Ibid

74

59

b. Pemberian Hak Atas Tanah.
Pemberian hak atas tanah memiliki pengertian yaitu pemerintah memberikan
sesuatu hak atas tanah Negara, perpanjangan jangka waktu hak, pembaruan hak,
perubahan hak, termasuk pemberian hak di atas Hak Pengelolaan.
Dalam pemberian hak atas tanah ini, Hak Pengelolaan yang lahir tersebut
berdasarkan dari permohonan oleh calon pemegang Hak Pengelolaan atas tanah negara.
Ketentuan lahirnya Hak Pengelolaan melalui pemberian hak semula diatur dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 5 Tahun 1973 kemudian diubah dengan Peraturan
Menteri Agraria/ Kepala BPN No 9 Tahun 1999. 76
Secara garis besar tahapan-tahapan lahirnya Hak Pengelolaan melalui pemberian
hak, dapat dijelaskan sebagai berikut: 77
a. Permohonan Hak Pengelolaan yang diajukan calon pemegang Hak Pengelolaan
kepada Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang
bersangkutan.
b. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota meneliti kelengkapan dan kebenaran
data yuridis dan data fisik permohonan Hak Pengelolaan dan memeriksa
kelayakan permohonan tersebut untuk diproses lebih lanjut.
c. Setelah permohonan memenuhi syarat, Kepala Kantor Pertanahan kabupaten.
Kota yang bersangkutan menyampaikan berkas permohonan tersebut kepada
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi.
76

Ibid
Ibid

77

60

d. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Provinsi meneliti kelengkapan dan
kebenaran data yuridis dan data fisik atas tanah yang dimohonkan beserta
pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dan
memeriksa kelayakan permohonan Hak Pengelolaan tersebut untuk diproses
lebih lanjut.
e. Setelah permohonan memenuhi syarat, Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan menyampaikan berkas
permohonan tersebut kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional disertai
pendapat dan pertimbangannya.
f. Kepala Badan Pertanahan Nasional meneliti kelengkapan dan kebenaran data
yuridis dan data fisik atas tanah yang dimohonkan dengan memperhatikan
pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Provinsi dan selanjutnya memeriksa kelayakan permohonan tersebut untuk dapat
atau tidaknya dikabulkan.
g. Setelah mempertimbangkan pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Provinsi, Kepala Badan Pertanahan Nasional
menerbitkan Keputusan pemberian Hak Pengelolaan atas tanah yang dimohon
atau keputusan penolakan yang disertai dengan alasan penolakannya.
h. Keputusan pemberian atau penolakan pemberian Hak Pengelolaan disampaikan
kepada pemohon melalui surat tercatat atau dengan cara lain yang menjamin
sampainya keputusan tersebut kepada yang berhak.

61

i. Pemohon Hak Pengelolaan berkewajiban mendaftarkan keputusan pemberian
Hak Pengelolaan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang
daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan setelah melunasi Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan uang pemasukan
kepada negara.
j. Pendaftaran keputusan pemberian Hak Pengelolaan dengan maksud untuk
diterbitkan Sertifikat Hak Pengelolaan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
yang daerahnya meliputi letak tanah yang bersangkutan.
k. Sertifikat Hak Pengelolaan diserahkan oleh Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan
kepada pemohon Hak Pengelolaan.
Pemegang Hak Pengelolaan berkewajiban mendaftarkan tanahnya ke Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Sebagai tanda bukti pendaftaran Hak
Pengelolaan diterbitkan Sertifikat Hak Pengelolaan. Dengan diterbitkannya Sertifikat
Hak Pengelolaan tersebut telah timbul hak dan kewajiban bagi pemegang Hak
Pengelolaan.
Tugas untuk melakukan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia dibebankan
kepada pemerintah yang oleh Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria
ditentukan bertujuan tunggal yaitu menjamin kepastian hukum. 78 Menurut penjelasan
dari Undang-Undang Pokok Agraria, ”pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah
merupakan kewajiban dari Pemerintah bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan
78

Muhamad Yamin dan Abdul Rahim, Hukum Pendaftaran Tanah (1)( Bandung:Mandar
Maju,2010) hal 167

62

kepastian haknya, artinya untuk kepentingan pendaftaran tanah saja dan hanya
mempersalahkan haknya apa dan siapa pemiliknya, bukan untuk kepentingan lain
seperti perpajakan. 79
Pendaftaran tanah selain berfungsi untuk melindungi si pemilik juga berfungsi
untuk mengetahui status sebidang tanah, siapa pemiliknya, apa hak nya, berapa luasnya,
untuk apa dipergunakan, dan sebagainya. 80
Hak Pengelolaan memberikan wewenang kepada pemegangnya, salah satu
peraturan yaitu Pasal 6 ayat(1) Peraturan Menteri Agraria No 9 Tahun 1965 mengatur
mengenai wewenang pemegang Hak Pengelolaan antara lain: 81
a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tesebut.
b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya.
c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut untuk pihak ketiga
menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak
tersebut, yang meliputi segi- segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu
dan keuangannya, dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanahtanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat
yang berwenang.
d. Menerima uang pemasukan/ ganti rugi dan/atau uang wajib tahunan.
Berdasarkan uraian Pasal 4 ayat (1) UUPA dapat diketahui dalam hak atas tanah
terdapat kekuasaan yang dijamin dan dilindungi hukum yakni kewenangan untuk
menguasai dan menggunakan tanah yang dikuasai dengan suatu hak atas tanah.
Penguasaannya bisa dalam bentuk penguasaan fisik dan bisa pula berbentuk penguasaan

79

A.P Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia( Bandung: Mandar maju, 1994) hal 13
Chadidjah Dalimunthe, Pelaksanaan Landerform Di Indonesia Dan Permasalahannya (
Medan: FH USU Press, 2000) Hal 132
81
Ramli Zein, Op.cit, hal 89
80

63

yuridis. Seorang pemilik tanah yang mengusahakan sendiri tanahnya, menguasai tanah
tersebut secara legal, adalah bentuk penguasaan secara fisik. 82
Namun demikian perumusan wewenang pemegang Hak Pengelolaan tersebut
mengalami perubahan, melalui Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 5 Tahun
1974 yang menyatakan bahwa dengan mengubah seperlunya ketentuan Peraturan
Menteri Agraria No 9 Tahun 1965, Hak Pengelolaan berisikan wewenang untuk: 83
a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan.
b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan usahanya.
c. Menyerahkan bagian-bagian daripada tanah itu kepada pihak ketiga
menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang Hak
tersebut, yang meliputi segi- segi peruntukannya, penggunaan, jangka
waktu dan keuangannya, dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas
tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabatpejabat yang berwenang, seusai dengan peraturan yang berlaku.
Ketentuan-ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa bagian-bagian tanah
Hak Pengelolaan dapat diserahkan kepada pihak ketiga dengan Hak Milik. Hak Guna
Bangunan atau Hak Pakai. Dengan di daftarkannya Hak Milik, Hak Guna Bangunan
atau Hak Pakai pada Kantor Pertanahan tidak menyebabkan hubungan hukum dengan
tanah Hak Pengelolaan menjadi hapus sesuai dengan hakekat Hak Pengelolaan sebagai
bagian hak menguasai dari negara. 84
2. Eksistensi Pihak Ketiga Memperoleh Hak Diatas Bagian Hak Pengelolaan
Hak yang dimiliki oleh pemegang Hak Pengelolaan adalah menggunakan tanah
untuk pelaksanaan tugasnya dan menyerahkan bagian- bagian tanah Hak Pengelolaan

82

Oloan Sitorus dan Nomadyawati, Hak Atas Tanah dan Kondomonium, Suatu tinjauan
Hukum (Dasamedia Utama, Jakarta, 1995,)hal. 12
83
Ibid
84
Boedi Harsono, Op.Cit, hal 402

64

untuk pihak ketiga, bukan menyewakan bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan kepada
pihak ketiga. 85
Hak-hak atas tanah yang dapat diberikan kepada pihak ketiga yang berasal dari
Hak Pengelolaan menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No 1 Tahun 1977 jo.
Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No 4 Tahun 1998
tentang Pedoman Penetapan Uang Pemasukan dalam Pemberian Hak Atas Tanah
Negara, adalah Hak Milik, Hak Guna Bangunan dam Hak pakai. 86
Pihak ketiga yang akan memperoleh Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang
berasal dari tanah Hak Pengelolaan ditempuh melalui perjanjian penggunaan tanah
diantara pihak ketiga dengan pemegang Hak Pengelolaan dan dinyatakan dalam Surat
Perjanjian Penggunaan Tanah. Dalam praktik, Surat Perjanjian Penggunaan Tanah
tersebut dapat disebut dengan nama lain, misalnya Perjanjian Penyerahan, Penggunaan
dan Pengurusan Hak Atas Tanah (selanjutnya disebut “Perjanjian”). 87
Ketentuan tentang perjanjian penggunaan tanah bagian tanah Hak Pengelolaan
semula diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 1 Tahun 1977,
kemudian diganti oleh pasal 4 ayat(2) Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan
Pertanahan Nasional No 9 Tahun 1999, yaitu:
“Dalam hal tanah yang dimohon merupakan tanah Hak Pengelolaan, pemohon
harus terlebih dahulu memperoleh penunjukan berupa perjanjian penggunaan
tanah dari pemegang Hak Pengelolaan”. 88
Menurut Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri No 1 Tahun 1977,
terdapat ketentuan-ketentuan yang harus dicantumkan dalam perjanjian yaitu: 89
1. Identitas para pihak yang bersangkutan.
85

Urip Santoso (2), Op.Cit,hal 131
Ibid
87
Maria S.W Sumardjono,(2) , Op.Cit hal 208
88
Urip Santoso (2), Op.Cit,hal 131
89
Ibid
86

65

2. Letak dan batas- batas serta luas tanah yang dimaksud.
3. Jenis penggunaannya.
4. Hak- hak atas tanah yang akan dimintakan untuk diberikan pada pihak ketiga
yang bersangkutan dan keterangan mengenai jangka waktu nya serta
kemungkinan untuk memperpanjangnya.
5. Jenis bangunan yang akan didirikan di atasnya dan ketentuan mengenai
pemilikan bangunan- bangunan tersebut pada berakhinya hak atas tanah yang
diberikan.
6. Syarat- syarat lain yang dianggap perlu.
Adapun ketentuan-ketentuan lain yang dapat dimuat dalam perjanjian
penggunaan tanah bagian Hak Pengelolaan pada umumnya adalah berkenaan dengan: 90
1. Penyerahan penggunaan dan pengurusan sebidang tanah (dalam hal ini Hak
Pengelolaan).
2. Tanah Hak Pengelolaan akan diserahkan dengan pemberian Hak Guna
Bangunan diatasnya ( catatan: penyerahan secara fisik dilakukan dalam
keadaan kosong dan bebas dari segala klaim/ tuntutan).
3. Jangka waktu penyerahan, penggunaan, dan pengurusan adalah 30 tahun(
jangka waktu Hak Guna Bangunan) dan dapat sekaligus diberikan
persetujuan perpanjangan dilakukan secara tertuli soleh pemegang Hak Guna
Bangunan dan pemegang Hak Pengelolaan wajib memberikan konfirmasi
persetujuan.
4. Penggunan tanah Hak Guna Bangunan.
5. Kemungkinan pembebanan Hak Guna Bangunan dengan Hak Tanggungan.
6. Kemungkinan peralihan Hak Guna Bangunan, bila diperbolehkan, status Hak
Guna Bangunan harus diberitahukan kepada pihak yan menerima peralihan
tersebut.
7. Kompensasi yang dibayarkan kepada pemegang Hak Pengelolaan.
8. Penyerahan kembali hak atas tanah, bebas dari segala beban, sitaan, sengketa
dan segala macam klaim.
9. Cidera janji karena kelalaian pemegang Hak Pengelolaan untuk:
a. Menyerahkan penggunaan dan pengurusan tanah
b. Melaksanakan setiap dan seluruh kewajiban yang tertuang dalam
Perjanjian.
c. Kelalaian pemegang hak Guna Bangunan.
d. Tidak menyelesaikan pengurusan Hak Guna Bangunan dan membayar
segala biaya sesuai perjanjian.
e. Mengembalikan tanah setelah berakhirnya Hak Guna Bangunan
f. Melaksanakan setiap dan seluruh kewajiban yang tertuang dalam
perjanjian.
90

Maria S.W Sumardjono (2), Op.Cit hal 211

66

Dengan telah dibuatnya perjanjian penggunaan tanah antara pemegang Hak
Pengelolaan dengan pihak ketiga belum melahirkan Hak Guna Bangunan atau Hak
Pakai atas tanah Hak Pengelolaan. Calon Pemegang Hak Guna Bangunan atau Hak
Pakai harus mengajukan permohonan pemberian Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai
atas tanah Hak Pengelolaan kepada Kepala Kantor Pertanahan kabupaten/ Kota yang
wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.
Apabila

permohonannya

dikabulkan

maka

Kepala

Kantor

Pertanahan

Kabupaten/Kota yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan
mengeluarkan Surat Keputusan Pemberian Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang
kemudian wajib didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang
wilayah kerjanya meliputi tanah yang bersangkutan untuk diterbitkan Sertipikat Hak
Guna Bangunan atau Hak Pakai sebagai tanda bukti haknya. 91
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang berasal dari Hak Pengelolaan
berjangka waktu sebagaimana yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah No 40 Tahun
1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah , yaitu
Hak Guna Bangunan berjangka waktu untuk pertama kalinya paling lama 30 tahun dan
dapat diperpanjang dalam jangka waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui
haknya untuk jangka waktu paling lama 30 tahun sedangkan untuk Hak Pakai berjangka
waktu untuk pertama kalinya paling lama 25 tahun dapat diperpanjang untuk jangka

91

Urip Santoso, Hukum Agraria: Kajian Komprehensif ( 3)(Jakarta:Kencana, 2012) hal 196

67

waktu paling lama 20 tahun dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 25
tahun. 92
Hak Guna Bangunan dan hak Pakai yang berasal dari Hak Pengelolaan tidak
memutuskan hubungan hukum antara pemegang Hak Pengelolaan dengan Hak
Pengelolaannya. Setiap perpanjangan jangka waktu dan pembaharuan Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai harus dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari
pemegang Hak Pengelolaan. 93
Pemegang Hak Pengelolaan yang menyerahkan bagian-bagian tanah Hak
Pengelolaan dalam bentuk Hak Milik kepada pihak ketiga maka cara yang ditempuh
adalah melalui pelepasan atau penyerahan Hak Pengelolaan dengan dibuatnya surat
pernyataan pelepasan atau penyerahan Hak Pengelolaan oleh pemegang haknya, maka
terputus sudah hubungan hukum antara pemegang Hak Pengelolaan dengan Hak
Pengelolaannya. 94
Hak Pengelolaan yang telah dilepaskan dan diserahkan tersebut secara langsung
menjadi tanah yang dikuasai oleh negara, selanjutnya pihak yang menerima pelepasan
atau penyerahan tersebut mengajukan permohonan pemberian Hak Milik kepada Kepala
Badan Pertanahan Nasional melalui Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota setempat.

92

Urip Santoso (2), Op.Cit,hal 132
Ibid
94
Ibid
95
Ibid
93

95

68

C.Proses Perubahan Hak Atas Tanah Pada Kawasan Ekonomi Khsusus Sei
Mangkei PT.Perkebunan Nusantara III
Pada tanggal 27 Oktober 2014 sampai dengan tanggal 31 Oktober telah
dilakukan penelitian yang dilaksanakan di kantor Kawasan Ekonomi Khusus Sei
Mangkei, kemudian didapatkan hasil penelitian sebagai berikut:
1. Profile PT. Perkebunan Nusantara III ( Persero)
Diawali dengan langkah penggabungan manajemen pada tahun 1994, 3 (tiga)
BUMN Perkebunan yang terdiri dari PT. Perkebunan III (Persero), PT. Perkebunan IV
(Persero) dan PT. Perkebunan V (Persero) disatukan pengelolaannya oleh Direksi PT.
Perkebunan III (Persero). Selanjutnya melalui Peraturan Pemerintah Nomor : 8 tahun
1996 tanggal 14 Februari 1996 ketiga Perusahan tersebut yang wilayah kerjanya berada
di Provinsi Sumatera Utara digabungkan menjadi satu Perusahaan dengan nama
PT. Perkebunan Nusantara III ( Persero) yang beralamat di Jln. Sei Batang Hari No. 2
Medan, Sumatera Utara.
PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) didirikan dengan Akta Notaris Harun
Kamil, SH, Nomor : 36 tanggal 11 Maret 1996 dan telah mendapat pengesahan dari
Menteri Kehakiman Republik Indonesia dengan surat keputusa Nomor: C2-8331. HT.
01.TH.96 tanggal 8 Agustus 1996 serta diumumkan dalam Berita Negara Republik
Indonesia Nomor : 81 tanggal 8 Oktober 1996, tambahan Nomor : 8674/1996.
PT Perkebunan Nusantara III (Persero) memiliki visi dan misi dalam
menjalankan kegiatan usahanya, visi yang menjadi pedoman yaitu menjadi perusahaan

69

agribisnis kelas dunia dengan kinerja prima dan melaksanakan tata kelola bisnis terbaik.
Serta misi yang akan dicapai oleh PT Perkebunan Nusantara III (Persero) adalah:
1. Mengembangkan
industri
hilir
berbasis
perkebunan
secara
berkesinambungan.
2. Menghasilkan produk berkualitas untuk pelanggan.
3. Memperlakukan karyawan sebagai aset strategik dan mengembangkannya
secara optimal.
4. Menjadikan perusahaan terpilih yang memberikan “imbal-hasil” terbaik bagi
para investor.
5. Menjadikan perusahaan yang paling menarik untuk bermitra bisnis.
6. Memotivasi karyawan untuk berpartisipasi aktif dalam pengembangan
komunitas.
7. Melaksanakan seluruh aktivitas perusahaan yang berwawasan lingkungan.
Perusahaan bergerak dalam bidang usaha perkebunan dengan komoditi utama
(core bisnis) kelapa sawit dan karet. Perusahaan memiliki lahan perkebunan yang
didukung dengan pabrik pengolahan untuk masing-masing komoditi tersebut. Lahan
perkebunan perusahaan tersebar di Propinsi Sumatera Utara seluas 143.160,42 Ha
(Karet : 41.751,29 Ha dan Kelapa Sawit : 101.409,13 Ha) dalam pengelolaan
perusahaan dikelompokkan mejadi :
a.