Korelasi Kadar Albumin dengan Indeks Massa Tubuh pada Penderita Gagal Ginjal Kronik di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2014

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Ginjal merupakan organ yang vital bagi manusia karena mempunyai

berbagai fungsi yang sangat penting bagi kehidupan, yaitu mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh dan mengeluarkan (mengekskresikan)
produk-produk akhir (sisa) metabolisme tubuh, misalnya urea, asam urat, dan
kreatinin (Sherwood, 2012). Suwitra (2009) menyatakan bahwa berbagai etiologi
dapat menyebabkan proses patofisiologis pada ginjal yang kemudian dapat
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Keadaan patofisiologis pada ginjal tersebut disebut
dengan penyakit ginjal kronik. Penyakit ginjal kronik tahap akhir sering disebut
dengan end-stage renal disease atau gagal ginjal.
Penyakit ginjal kronik (PGK) telah berkembang menjadi suatu masalah
kesehatan serius di dunia karena jumlahnya yang terus mengalami kenaikan.

Prevalensi PGK di dunia diperkirakan sebesar 8-16% (Vivekanand, et al., 2013).
Menurut WHO (2002) dan Global Burden of Disease (GBD) Project dalam
Schieppati dan Remuzzi (2005), PGK adalah penyebab kematian terbanyak ke12 dan penyebab kecacatan (disability) ke-17 di dunia.
Di Indonesia, prevalensi gagal ginjal kronik (GGK) yang didiagnosis
dokter melalui wawancara adalah sebesar 0,2%. Prevalensi tertinggi didapatkan
di Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara
masing-masing sebesar 0,4%. Prevalensi GGK di Sumatera Utara adalah sebesar
0,2% (Riskesdas, 2013).
Prevalensi GGK di Indonesia meningkat seiring bertambahnya usia. Hal
ini terlihat dari prevalensi GGK di kelompok usia 15-24 tahun sebesar 0,1%, usia
25-34 tahun sebesar 0,1%, usia 35-44 tahun sebesar 0,3%, usia 45-54 tahun
sebesar 0,4%, usia 55-64 tahun sebesar 0,5%, usia 65-74 tahun sebesar 0,5% dan
tertinggi pada kelompok usia 75 tahun ke atas yaitu sebesar 0,6%. Prevalensi
penderita GGK yang berjenis kelamin laki-laki adalah 0,3% dan perempuan

Universitas Sumatera Utara

2

0,2%. Prevalensi penderita GGK lebih tinggi pada kuintil indeks kepemilikan

terbawah dan menengah bawah (0,3%) dibandingkan dengan menengah,
menengah atas dan teratas (0,2%). Hasil lain yang ditemukan adalah prevalensi
penyakit GGK yang lebih tinggi di pedesaan (0,3%) dan pada orang tidak
bersekolah (0,4%) (Riskesdas, 2013).
Penyakit GGK akan menyebabkan suatu penurunan status nutrisi pada
penderita dan dapat berujung pada keadaan malnutrisi. Penyebab turunnya status
nutrisi antara lain pembatasan diet protein, penurunan nafsu makan, dan mual
muntah. Keadaan ini akan menyebabkan penurunan berat badan pada penderita
dan akan terlihat pada penurunan nilai indeks massa tubuh (IMT).
Pemeriksaan status nutrisi pada penderita GGK penting dilakukan karena
malnutrisi dianggap sebagai salah satu penanda prognosis yang buruk pada GGK.
(Mohammed, Farhood dan Abdul-AtheemWtwt, 2014). Malnutrisi pada
penderita GGK dapat menyebabkan berbagai hal, seperti peningkatan kerentanan
terhadap infeksi, terganggunya proses penyembuhan luka, rehabilitasi yang
buruk, mudah lelah, malaise, dan meningkatnya tingkat hospitalisasi, mortalitas,
dan morbiditas (Espahbodi, Khoddad dan Esmaeili, 2013).
Pemeriksaan status nutrisi pada penderita GGK dapat dilakukan dengan
beberapa cara yaitu dengan kuesioner Subjective Global Assessment (SGA),
antropometri, dan parameter biokimia seperti albumin. Salah satu pemeriksaan
antropometri adalah IMT yang sudah umum digunakan sebagai parameter status

nutrisi di seluruh dunia. Pemeriksaan albumin rutin dilakukan di rumah sakit dan
pemeriksaannya tidak membutuhkan biaya yang besar. Nilai albumin pada pasien
GGK umumnya rendah dikarenakan selain terjadi penurunan asupan protein,
terjadi kelebihan cairan tubuh (overhydration) dan kehilangan protein dari urin
(Gama-Axelsson, Heimbürger, Stenvinkel, Bárány, Lindholm dan Qureshi,
2012). Meski demikian, kegunaan albumin dalam diagnosis malnutrisi masih
banyak diragukan karena nilainya yang dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor nonnutrisi seperti inflamasi dan status hidrasi (Espahbodi, Khoddad dan Esmaeili,
2013). Oleh sebab itu, hingga saat ini belum ada suatu cara yang dijadikan baku
emas untuk mendiagnosis keadaan malnutrisi pada GGK.

Universitas Sumatera Utara

3

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti ingin mengetahui apakah ada korelasi
kadar albumin dengan IMT pada pasien GGK di RSUP H. Adam Malik.

1.2.

Rumusan Masalah

Apakah terdapat korelasi kadar albumin dengan IMT pada pasien gagal

ginjal kronik di RSUP H. Adam Malik Medan?

1.3.

Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui korelasi antara kadar albumin dengan IMT pada pasien
gagal ginjal kronik di RSUP H. Adam Malik Medan.
1.3.2. Tujuan Khusus
1.

Untuk mengetahui distribusi frekuensi pasien gagal ginjal kronik
berdasarkan kelompok usia.

2.

Untuk mengetahui distribusi frekuensi pasien gagal ginjal kronik

berdasarkan jenis kelamin.

3.

Untuk mengetahui distribusi frekuensi pasien gagal ginjal kronik
berdasarkan indeks massa tubuh.

4.

Untuk mengetahui distribusi frekuensi pasien gagal ginjal kronik
berdasarkan kadar albumin.

1.4.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat:

1. Bagi praktik kesehatan.
Hasil penelitian diharapkan dapat memberi tambahan pengetahuan tentang
hubungan kadar albumin dengan indeks massa tubuh pada penderita gagal

ginjal kronik dan gambaran status nutrisi penderita gagal ginjal kronik.

Universitas Sumatera Utara

4

2. Bagi peneliti.
a. Menambah pengetahuan dan wawasan tentang hubungan kadar
albumin dengan indeks massa tubuh pada penderita gagal ginjal
kronik.
b. Menumbuhkan jiwa meneliti pada diri sendiri, sehingga di masa depan
peneliti mampu melaksanakan penelitian selanjutnya yang lebih baik.
3. Bagi penelitian.
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan rujukan bagi penelitian
berikutnya.

Universitas Sumatera Utara