Hubungan antara Koping dengan Resiliensi pada pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

(1)

HUBUNGAN ANTARA KOPING DENGAN RESILIENSI PADA

PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI

HEMODIALISIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT

HAJI ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Oleh

JAGENTAR PARLINDUNGAN PANE

127046043 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

HUBUNGAN ANTARA KOPING DENGAN RESILIENSI PADA

PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI

HEMODIALISIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT

HAJI ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep) dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah pada Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara

Oleh

JAGENTAR PARLINDUNGAN PANE

127046043 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

(4)

Telah diuji

Pada tanggal: 5 Desember 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr.dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes.

Anggota : 1. Rosina Tarigan, S.Kp.,M.Kep.,Sp.KMB 2. Prof.Dr.Dra. Irmawati Soeprapto, M.Si., Psikolog


(5)

(6)

Judul Tesis : Hubungan antara Koping dengan Resiliensi pada pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

Nama Mahasiswa : Jagentar Parlindungan Pane

Progam Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2014

ABSTRAK

Penyakit gagal ginjal kronis berlangsung secara progresif dan irreversible tanpa memperhatikan penyebabnya. Pasien gagal ginjal kronis akan menjalani hemodialisa sepanjang hidup apabila pasien tidak menjalani transplantasi ginjal. Kondisi ketergantungan kepada mesin dialisa dan perubahan gaya hidup menjadi masalah psikologis bagi pasien. Untuk memecahkan masalah terkait dengan penyakit dan prosedur perawatan hemodialisa, diperlukan suatu cara yang disebut dengan koping yaitu usaha yang dilakukan individu untuk mengurangi ketidaknyamanan, ancaman akibat tindakan cuci darah yang sedang berjalan. Strategi koping terbagi atas 2 jenis yaitu koping yang berfokus pada masalah dan koping yang berfokus pada emosi. Penelitian Yi, Smith, and Vitaliano (2005) dan Sutanto (2005) mengatakan individu dikatakan memiliki resiliensi tinggi apabila individu menggunakan strategi koping yang berfokus pada masalah (problem focused coping) sedangkan individu dikatakan memiliki resiliensi rendah apabila individu menggunakan strategi koping yang berfokus pada emosi (emotion focused coping). Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara strategi koping dengan resiliensi pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan. Desain penelitian cross-sectional, jumlah sampel sebanyak 92 orang diambil dengan teknik purposive sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner Resiliensi yang disusun oleh Wagnild & Young (1993) dan telah diadaptasi oleh peneliti, kuesioner Coping disusun oleh Carver (1997 dan telah diadaptasi oleh peneliti. Hasil penelitian


(7)

menunjukkan tidak ada hubungan strategi koping berfokus pada masalah dengan resiliensi tinggi dan strategi koping berfokus emosi dengan resiliensi rendah. Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis “ada hubungan strategi koping berfokus pada masalah dengan tingkat resiliensi tinggi dan ada hubungan strategi koping berfokus pada emosi dengan tingkat resiliensi rendah ditolak”. Strategi koping berfokus masalah dan strategi koping berfokus emosi sering terjadi secara bersamaan (Lazarus & Folkman, 1984). Penelitian ini menemukan 56,5% responden memiliki resiliensi tinggi, 12% resiliensi sedang dan 31,5% resiliensi rendah. Disarankan bagi pasien gagal ginjal kronik yang menjalani tindakan cuci darah yang tingkat resiliensi rendah diperlukan upaya-upaya untuk memperkuat sumber-sumber resiliensi yang mengacu pada teori Grotberg (2001) yaitu I have, I am dan I can. I have adalah dukungan eksternal mencakup dukungan orang terdekat, yaitu keluarga, saudara atau kekasih. I am adalah pengembangan kekuatan batin mencakup intensitas beribadah yang lebih sering sehingga menunjukkan religiusitas yang lebih tinggi. I can adalah keterampilan interpersonal dan pemecahan masalah, dalam hal ini lebih dominan pada kemampuan sosial yang baik.


(8)

Thesis Title : Correlation between Coping and Resilience in Chronic Kidney Failure Patients who are treated in Hemodialysis in Haji Adam Malik General Hospital Medan

Name : Jagentar Parlindungan Pane

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

Chronic kidney failure occurs progressively and irreversibly without regarding its cause. Chronic kidney failure patients will be treated in hemodialysis all his life when his kidney is not transplanted. His condition which is relied on dialysis machine and the change in lifestyle becomes his psychological problem. Coping, which is done by a person to reduce his inconveniences in the threat caused by hemodialysis, should be done in order to solve the problem of this disease and the procedures of hemodialysis treatment. There are two kinds of coping strategy: problem focused coping and emotion focused coping. The researches conducted by Yi, Smith, and Vitaliano (2005) and by Sutanto(2005) state that a person has high resilience when he uses problem focused coping, while he has low resilience when he uses emotion focused coping. The objective of the research was to analyze the correlation between coping strategy and resilience of kidney failure patient who were treated in hemodialysis in Haji Adam Malik Hospital, Medan. The research was a cross sectional design. The samples consisted of 92 respondents, taken by using purposive sampling technique. The data were gathered by using questionnaires on resilience which were organized by Wagnild & Young (1993) and on coping which were organized by Carver (1997), and all of them were adapted by the researcher. The result of the research showed that there was no correlation between problem focused coping with high resilience and emotion focused coping with low resilience. This was indicated that the hypothesis which state that “there was the correlation between problem focused coping with high resilience and emotion focused coping with low resilience” was rejected. The strategy of problem focused coping and strategy of emotion focused coping usually occurred simultaneously (Lazarus & Folkman, 1984). It was found in the research that 56,5% of respondent had high resilience, 12% of them had moderate resilience, and 31,5% had low resilience. It is recommended that chronic kidney failure patients who are treated in hemodialysis with low resilience strengthen resilience sources which are referred to the theory of Grotberg (2001): ‘I have, I am, I can’. ‘I have’ means external support which includes support from


(9)

close relatives (family, siblings, or beloved), ‘I am’ means moral support development which includes the intensity of service to God which indicates that the person is more religious, and ‘I can’ means interpersonal skill and problem solving which are more dominant than good social capacity.


(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karuniaNya peneliti dapat menyelesaikan Tesis dengan judul: Hubungan Antara Koping dengan Resiliensi pada Pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisis di RSUP. Haji Adam Malik Medan.” Tesis ini dibuat dalam rangka memenuhi sebagian syarat guna menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan Medikal Bedah Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan tesis ini penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat:

1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Setiawan, S.Kp., MNS, Ph.D, selaku Kaprodi Magister Ilmu Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Achmad Fathi, S.Kep,Ns, MNS, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

4. Dr.dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, selaku pembimbing I yang telah membimbing penulis dengan sabar, tekun dan sangat cermat memberikan masukan serta motivasi dalam penyelesaian tesis ini.


(11)

5. Rosina Tarigan, S.Kp., M.Kep., Sp.KMB, selaku pembimbing II yang dengan sabar membimbing penulis dan senantiasa meluangkan waktu untuk perbaikan tesis ini.

6. Prof.Dr.Dra. Irmawati Soeprapto, M.Si. Psikolog dan Ikhsanuddin Ahmad Harahap, S.Kp.,MNS selaku penguji yang telah banyak memberikan masukan untuk perbaikan tesis ini.

7. Pimpinan Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi “RASYIDA” beserta staf yang telah memberikan kesempatan kepada Peneliti untuk melaksanakan Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian.

8. Direktur RSUP. Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam melakukan penelitian.

9. Seluruh Perawat ruangan Hemodialisa Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan yang telah membantu penulis selama melaksanakan penelitian

10.Yayasan Widya Fraliska Medan yang telah memberikan kepercayaan kepada saya untuk melanjutkan pendidikan ke Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

11.Seluruh staf dosen Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu penulis selama proses pendidikan.

12.Responden penelitian yang dengan sukarela meluangkan waktunya untuk berpartisipasi.

13.Ibunda Tercinta, R. Br. Siburian serta Mertua St.D.E. Malau/Th. Br. Simbolon, yang selalu mendoakan dan mendukung penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.


(12)

14.Istri tercinta,Tiodora br Malau, yang menjadi teman sekaligus sahabat yang selalu berbagi, yang selalu menjadi motivator dan selalu mendukung dan mencari solusi terbaik sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.

15.Putri tercinta, Febby Valentin Gabriella Pane yang menjadi sumber kekuatan yang menguatkan penulis dalam suka dan duka untuk selalu melakukan yang terbaik sehingga tesis ini dapat selesai dengan baik.

16.Rekan kerja penulis, Br. Amos Ginting, SKM dan Pomaria Simbolon, M.Kes., yang telah banyak membantu dalam proses penyelesaian tesis ini.

17.Teman-teman seangkatan di Program Studi Magister Ilmu Keperawatan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang selalu saling menopang satu dengan yang lain, sehingga bersama-sama kita berusaha untuk dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.

Semoga kebaikan Bapak, Ibu, Bruder dan Saudara mendapat pahala yang berlimpah dari Tuhan Yang Maha Esa. Akhirnya penulis mengharapkan tesis ini dapat bermanfaat untuk peningkatan pelayanan Asuhan Keperawatan Medikal Bedah.

Medan, 5 Desember 2014 Penulis


(13)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Jagentar Parlindungan Pane

Tempat/Tanggal lahir : Medan, 30 Desember 1977

Agama : Katolik

Alamat : Jln. Jamin Ginting No.161 Padang Bulan Medan No.Telp/HP : 061-8220701/085370867449

Riwayat Pendidikan :

Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulusan

SD St. Yosef Sidikalang 1990

SMP St. Paulus Sidikalang 1993

SMA Cahaya 2 Sidikalang 1996

Akademi Keperawatan St. Elisabeth Medan 1999

S1 Ners

Prodi Ilmu Keperawatan FK USU Medan Prodi Ilmu Keperawatan FK USU Medan

2005 2005

S2 Prodi Magister Ilmu Keperawatan

Fakultas Keperawatan USU Medan

2014

Riwayat Pekerjaan :

Tahun 2003 - Sekarang : Dosen Tetap di STIKes Santa Elisabeth Medan

Tahun 1999 - 2003 : Staf Perawat di Ruang Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan


(14)

Kegiatan Akademik Penunjang Studi:

Peserta pada seminar Aplikasi Penelitian Kualitatif Sebagai Landasan Pengembangan Pengetahuan Bidang Kesehatan, 18 Desember 2012, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Peserta pada workshop Analisis Data Kualitatif Dengan Metode Contents Analysis & Sofware WEFT-QDA”, 31 Januari 2013, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Peserta pada seminar Medan International Nursing Conference “The Application of Caring Science in Nursing Education Advanced Research and Clinical Practice”, 1-2 April 2013; Hotel Garuda Plaza Medan, Sumatera Utara. Peserta pada seminar dan workshop “Diagnostic Reasoning- NANDA dan ISDA

Basic, 24 Nopember 2013; Fakultas Keperawatan, Universitas Sumatera Utara


(15)

DAFTARISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Hipotesis ... 8

1.5 Manfaat Penelitian ... 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Konsep Koping ... 10

2.2. Konsep Resiliensi ... 17

2.3 Konsep Gagal Ginjal Kronik ... 20

2.4 Landasan Teori ... 28

2.5 Kerangka Konsep ... 31

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 32

3.1 Jenis Penelitian ... 32

3.2 Variabel Penelitian ……… ... 32

3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 33

3.4 Populasi dan Sampel ... …. 33

3.5 Metode Pengumpulan Data ... ….. 34

3.6 Variabel dan Defenisi Operasional ... 40

3.7 Metode Pengukuran ... 40

3.8 Uji coba instrumen ... 42

3.9 Metode analisis data ... 47

3.10 Pertimbangan etik ... 49

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 50

4.1 Karakteristik Demografi Responden ... 50

4.2 Hubungan Karakteristik Demografi Responden Dengan Resiliensi ... 52


(16)

BAB 5. PEMBAHASAN……….. 58

5.1 Hubungan Umur Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa……….. 58

5.2 Hubungan Jenis kelamin Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa……… 59

5.3 Hubungan Pekerjaan Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa………. 60

5.4 Hubungan Pendidikaan Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa……….. 61

5.5 Hubungan Status perkawinan Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa………... 62

5.6 Strategi Koping yang digunakan oleh responden Gagal Ginjal Kronik selama menjalani tindakan cuci darah (hemodialisa)………... 63

5.7 Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisa………... 64

5.8 Hubungan Strategi Koping Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan………. 65

5.9 Keterbatasan Penelitian………... 65

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN………... 67

6.1. Kesimpulan……… 67

6.2. Saran………... 68

DAFTAR PUSTAKA……….. 71

LAMPIRAN……… 75


(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.5.1 Instrumen B: Kuesioner Strategi Koping ………. 35 Tabel 3.5.2 Instrumen C: Kuesioner Resiliensi ………... 38 Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi dan Persentase Responden

Berdasarkan Data Demografi di Rumah Sakit Umum Pusat

Haji Adam Malik Medan……….. 50

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi dan Persentase Strategi Koping Responden Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani

Hemodialisis di Rumah Sakit Haji Adam Malik………….. 51

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi dan Persentase Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisis di Rumah

Sakit Haji Adam Malik Medan……….. 52

Tabel 4.4 Hubungan Umur Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit

Umum Pusat Haji Adam Malik Medan……… 52

Tabel 4.5 Hubungan Jenis Kelamin Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisis di

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik

Medan……….. 53

Tabel 4.6 Hubungan Pekerjaan Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit

Umum Pusat Haji Adam Malik Medan ……… 54

Tabel 4.7 Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam

Malik Medan ……… 55

Tabel 4.8 Hubungan Status Pernikahan Dengan Resiliensi Responden Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik


(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Instrumen Penelitian……….. 75

Lampiran 2 Biodata Expert………... 82


(20)

Judul Tesis : Hubungan antara Koping dengan Resiliensi pada pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

Nama Mahasiswa : Jagentar Parlindungan Pane

Progam Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2014

ABSTRAK

Penyakit gagal ginjal kronis berlangsung secara progresif dan irreversible tanpa memperhatikan penyebabnya. Pasien gagal ginjal kronis akan menjalani hemodialisa sepanjang hidup apabila pasien tidak menjalani transplantasi ginjal. Kondisi ketergantungan kepada mesin dialisa dan perubahan gaya hidup menjadi masalah psikologis bagi pasien. Untuk memecahkan masalah terkait dengan penyakit dan prosedur perawatan hemodialisa, diperlukan suatu cara yang disebut dengan koping yaitu usaha yang dilakukan individu untuk mengurangi ketidaknyamanan, ancaman akibat tindakan cuci darah yang sedang berjalan. Strategi koping terbagi atas 2 jenis yaitu koping yang berfokus pada masalah dan koping yang berfokus pada emosi. Penelitian Yi, Smith, and Vitaliano (2005) dan Sutanto (2005) mengatakan individu dikatakan memiliki resiliensi tinggi apabila individu menggunakan strategi koping yang berfokus pada masalah (problem focused coping) sedangkan individu dikatakan memiliki resiliensi rendah apabila individu menggunakan strategi koping yang berfokus pada emosi (emotion focused coping). Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara strategi koping dengan resiliensi pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan. Desain penelitian cross-sectional, jumlah sampel sebanyak 92 orang diambil dengan teknik purposive sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner Resiliensi yang disusun oleh Wagnild & Young (1993) dan telah diadaptasi oleh peneliti, kuesioner Coping disusun oleh Carver (1997 dan telah diadaptasi oleh peneliti. Hasil penelitian


(21)

menunjukkan tidak ada hubungan strategi koping berfokus pada masalah dengan resiliensi tinggi dan strategi koping berfokus emosi dengan resiliensi rendah. Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis “ada hubungan strategi koping berfokus pada masalah dengan tingkat resiliensi tinggi dan ada hubungan strategi koping berfokus pada emosi dengan tingkat resiliensi rendah ditolak”. Strategi koping berfokus masalah dan strategi koping berfokus emosi sering terjadi secara bersamaan (Lazarus & Folkman, 1984). Penelitian ini menemukan 56,5% responden memiliki resiliensi tinggi, 12% resiliensi sedang dan 31,5% resiliensi rendah. Disarankan bagi pasien gagal ginjal kronik yang menjalani tindakan cuci darah yang tingkat resiliensi rendah diperlukan upaya-upaya untuk memperkuat sumber-sumber resiliensi yang mengacu pada teori Grotberg (2001) yaitu I have, I am dan I can. I have adalah dukungan eksternal mencakup dukungan orang terdekat, yaitu keluarga, saudara atau kekasih. I am adalah pengembangan kekuatan batin mencakup intensitas beribadah yang lebih sering sehingga menunjukkan religiusitas yang lebih tinggi. I can adalah keterampilan interpersonal dan pemecahan masalah, dalam hal ini lebih dominan pada kemampuan sosial yang baik.


(22)

Thesis Title : Correlation between Coping and Resilience in Chronic Kidney Failure Patients who are treated in Hemodialysis in Haji Adam Malik General Hospital Medan

Name : Jagentar Parlindungan Pane

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

Chronic kidney failure occurs progressively and irreversibly without regarding its cause. Chronic kidney failure patients will be treated in hemodialysis all his life when his kidney is not transplanted. His condition which is relied on dialysis machine and the change in lifestyle becomes his psychological problem. Coping, which is done by a person to reduce his inconveniences in the threat caused by hemodialysis, should be done in order to solve the problem of this disease and the procedures of hemodialysis treatment. There are two kinds of coping strategy: problem focused coping and emotion focused coping. The researches conducted by Yi, Smith, and Vitaliano (2005) and by Sutanto(2005) state that a person has high resilience when he uses problem focused coping, while he has low resilience when he uses emotion focused coping. The objective of the research was to analyze the correlation between coping strategy and resilience of kidney failure patient who were treated in hemodialysis in Haji Adam Malik Hospital, Medan. The research was a cross sectional design. The samples consisted of 92 respondents, taken by using purposive sampling technique. The data were gathered by using questionnaires on resilience which were organized by Wagnild & Young (1993) and on coping which were organized by Carver (1997), and all of them were adapted by the researcher. The result of the research showed that there was no correlation between problem focused coping with high resilience and emotion focused coping with low resilience. This was indicated that the hypothesis which state that “there was the correlation between problem focused coping with high resilience and emotion focused coping with low resilience” was rejected. The strategy of problem focused coping and strategy of emotion focused coping usually occurred simultaneously (Lazarus & Folkman, 1984). It was found in the research that 56,5% of respondent had high resilience, 12% of them had moderate resilience, and 31,5% had low resilience. It is recommended that chronic kidney failure patients who are treated in hemodialysis with low resilience strengthen resilience sources which are referred to the theory of Grotberg (2001): ‘I have, I am, I can’. ‘I have’ means external support which includes support from


(23)

close relatives (family, siblings, or beloved), ‘I am’ means moral support development which includes the intensity of service to God which indicates that the person is more religious, and ‘I can’ means interpersonal skill and problem solving which are more dominant than good social capacity.


(24)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Gagal ginjal kronis merupakan suatu keadaan dimana terjadi penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan irreversibel tanpa memperhatikan penyebabnya (Smeltzer, 2001). Istilah penyakit ginjal tahap akhir atau end stage renal disease sering digunakan oleh pemerintah seperti Health Care Financing Administration (HCFA) dan telah menjadi sinonim gagal ginjal kronis. Sidabutar, 1992 (dalam Lubis, 2006) menyatakan bahwa gagal ginjal kronis semakin banyak menarik perhatian dan makin banyak dipelajari karena walaupun sudah mencapai gagal ginjal tahap akhir akan tetapi pasien masih dapat hidup panjang dengan kualitas hidup yang cukup baik disamping prevalensinya yang terus meningkat setiap tahun.

Menurut United State Renal Data System (USRDS, 2008) di Amerika Serikat prevalensi penyakit gagal ginjal kronis meningkat sebesar 20-25% setiap tahunnya. Di Kanada insiden penyakit gagal ginjal tahap akhir meningkat rata-rata 6,5 % setiap tahun (Canadian Institute for Health Information (CIHI), 2005), dengan peningkatan prevalensi 69,7 % sejak tahun 1997 (CIHI, 2008). Sedangkan di Indonesia prevalensi pasien gagal ginjal hingga kini belum ada yang akurat karena belum ada data yang lengkap mengenai jumlah pasien gagal ginjal kronis di Indonesia. Tetapi diperkirakan, bahwa jumlah pasien gagal ginjal di Indonesia semakin meningkat. WHO memperkirakan di Indonesia akan terjadi peningkatan pasien gagal ginjal antara tahun 1995-2025 sebesar 41,4%.


(25)

Pasien gagal ginjal kronis yang mengalami kerusakan fungsi ginjal akan memerlukan terapi seperti cuci darah (hemodialisis) pada jangka waktu tertentu atau melakukan transplantasi ginjal (Pearce, 1995). Waktu yang dibutuhkan pasien selama tindakan hemodialisis berlangsung rata-rata 12-15 jam setiap minggunya, dimana tindakan hemodialisis ini dibagi menjadi dua atau tiga sesi yang setiap sesinya berlangsung 3-6 jam. Tindakan hemodialisis ini akan berlangsung seumur hidup kecuali pasien melakukan transplantasi ginjal (Smeltzer, S.C, Bare, 2005).

Menurut National Kidney and Urologic Diseases Information

Clearinghouse (NKUDIC, 2006), hemodialisis merupakan terapi yang paling

sering digunakan pada pasien gagal ginjal kronis. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Caninsti, R (2007) di unit hemodialisis RSAL Mintoharjo Jakarta, pasien gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisis khawatir dan takut jika pada proses hemodialisis terjadi hal-hal diluar dugaan yang menyebabkan pasien meninggal dunia. Pasien juga mengalami depresi berupa hilangnya minat melakukan aktifitas yang menyenangkan, rasa bersalah kepada keluarga, istri/suami karena merasa dirinya sebagai beban, dan perasaan tidak berdaya karena ketergantungan pada hemodialisis seumur hidup. Perubahan yang terjadi dalam hidup pasien hemodialisis merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya stress yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi kesakitan dan pola perilaku individu.

Di Unit rawat jalan hemodialisis RS. Turki, ada sebanyak 5.307 pasien menjalani dialisis peritoneal sedangkan yang menjalani transplantasi ginjal ada


(26)

sebanyak 5.647 (Cinar et al, 2009). Penelitian oleh Mollahadi (2010) tentang hubungan antara tingkat depresi dengan stres pasien dialisis, didapatkan bahwa 64,5% pasien mengalami depresi, 51,4% stres yang jelas dan 49,7% stres yang tersembunyi. Cristovao pada tahun 1999 (dalam Gerogianni, 2013) melakukan penelitian dengan 1.101 pasien yang menjalani dialisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stres yang paling sering dilaporkan oleh pasien adalah kelelahan, ketidakpastian tentang masa depan, keterbatasan dalam liburan dan hilangnya fungsi tubuh serta faktor biaya.

Di Indonesia jumlah pasien yang menjalani hemodialisis tahun 2012 sebanyak 24.141 orang. Di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2013 jumlah pasien yang menderita gagal ginjal sebanyak 191 orang kasus, sedangkan di RS Pirngadi sebanyak 184 orang kasus gagal ginjal secara rutin menjalani pengobatan hemodialisis (Askes, 2013).

Ketergantungan pada obat-obatan dan pemakaian alat dalam jangka waktu yang sangat lama merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya stres bagi pasien yang menderita penyakit gagal ginjal kronik. Pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis dalam jangka waktu yang sangat panjang sebenarnya masih memiliki kekuatan dari dalam dirinya untuk beradaptasi dengan pemicu stres. Kemampuan individu untuk bangkit dan beradaptasi dengan kondisinya ini disebut dengan resiliensi.

Teori Resiliensi diperkenalkan pertama kali oleh Wagnild & Young (1990). Resiliensi adalah kemampuan individu untuk beradaptasi pada situasi hidup yang sulit (Wagnild & Young, 1990). Konsep resiliensi digunakan untuk


(27)

menggambarkan sikap dan perilaku manusia ketika individu berhadapan dengan kemalangan atau kesulitan hidup (Sulistyaningsih, 2009). Hasil penelitian Smokowski dkk (2000 dalam Sulistyaningsih, Wiwik (2009), menunjukkan bahwa individu yang berhasil adalah mereka yang memiliki ciri sifat optimis terhadap masa depan, tekun, memiliki kebulatan tekad, dan mampu mengambil pelajaran dari kehidupan masa lalu untuk mengatasi kesulitan hidup. Pendapat ini didukung oleh Penelitian Susan De Nisco (2011) tentang resiliensi pada wanita yang menderita diabetes mellitus 2 pada wanita Afrika mengatakan bahwa individu yang memiliki nilai resiliensi yang tinggi akan mampu mengontrol kadar gula darah, sementara menurut penelitian yang dilakukan oleh Carver dan Scheier (1999 dalam Sulistyaningsih, Wiwik (2009) menyatakan bahwa orang yang optimis mampu mengatasi stres dengan cara yang lebih adaptif daripada orang yang pesimis. Orang optimis cenderung menggunakan coping yang terpusat pada masalah dan berorientasi pada tindakan.

Sulistyaningsih, Wiwik (2009) mengatakan resiliensi adalah lebih dari sekedar pemecahan masalah atau coping . Pendapat ini didukung oleh penelitian Yi, Smith, and Vitaliano (2005), dimana atlet remaja putri dibagi menjadi 2 kelompok yaitu individu dengan resiliensi tinggi dan individu dengan resiliensi rendah. Individu dikatakan memiliki resilien tinggi apabila individu menggunakan strategi koping yang berfokus pada pemecahan masalah (problem focused coping) dengan jenis koping mencari dukungan sosial sedangkan individu dikatakan memiliki resiliensi rendah apabila individu menggunakan strategi koping yang


(28)

berfokus pada emosi (emotion focused coping) dengan jenis koping menghindar dari masalah/Avoidance dan menyalahkan orang lain/Blame others.

Coping didefenisikan sebagai upaya kognitif dan perilaku yang berubah secara konstan untuk mengelola tuntutan eksternal dan atau internal tertentu yang dinilai berat dan melebihi sumber daya (kekuatan) seseorang (Lazarus & Folkman, 1984). Coping dapat juga dikatakan sebagai bentuk adaptasi karena coping merupakan bagaimana cara seseorang bereaksi terhadap sebuah stimulus yang didapat dari lingkungannya (Costa, Somerfield & McCrae, 1996 dalam Primaldhi 2006).

Lazarus dan Folkman (1984) membagi strategi coping menjadi dua yaitu strategi coping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping) dan strategi coping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping). Secara umum, Lazarus dan Folkman (1984) menjelaskan bahwa Problem-focused coping mengarah pada penyelesaian masalah, seperti mencari informasi mengenai suatu masalah, mengumpulkan solusi-solusi yang dapat dijadikan alternatif, mempertimbangkan alternatif dari segi biaya dan manfaatnya, memilih alternatif dan menjalani alternatif yang dipilih (Lazarus dan Folkman, 1984), sedangkan Emotion-focused coping diarahkan untuk mengurangi perasaan emosional seperti menghindari, meminimalisir, menjaga jarak, selektif memilih perhatian, dan mencari nilai positif dari sebuah peristiwa negatif. Orang yang menggunakan emotion-focused coping mempertahankan harapan dan optimis, menyangkal fakta dan implikasinya, menolak mengakui hal terburuk, bertindak seolah-olah hal yang terjadi bukan hal yang penting, dan lainnya dimana kesemua proses tersebut


(29)

memberi sebuah penipuan atau distorsi kenyataan pada diri mereka sendiri (Lazarus dan Folkman, 1984).

Pernyataan Lazarus dan Folkman (1984) didukung oleh penelitian Kumar et al (2003) di India, pasien yang menjalani terapi hemodialisis lebih sering menggunakan strategi coping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping), sedangkan menurut penelitian Yeh,S.J & Chou, H (2007) di Taiwan, pasien hemodialisis lebih sering menggunakan strategi coping yang berorientasi pada emosi. Sementara penelitian Wu Li-Min et al (2013) mengatakan bahwa koping yang berorientasi pada masalah (problem focused coping) adalah koping yang sering digunakan oleh remaja selama menjalani pengobatan kanker, hal ini disebabkan karena problem-focused coping dianggap sebagai faktor pelindung yang mendorong pemulihan pada remaja yang menderita penyakit kanker dan dapat mengurangi kecemasan, kekhawatiran serta meningkatkan resiliensi pada remaja yang menderita penyakit kanker sedangkan koping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping) jarang digunakan.

Allen dan Leary (dalam Susanto, 2012) mengatakan bahwa individu yang mempunyai kemampuan koping tinggi akan cenderung pada PFC (problem focused coping) sedangkan kemampuan koping yang relatif rendah akan cenderung pada EFC (emotion focused coping) dalam penyelesaian masalah. Penelitian Susanto (2012) mengatakan bahwa resiliensi pada individu PFC (problem focused coping) akan lebih tinggi dibandingkan dengan resiliensi pada individu EFC (emotion focused coping).


(30)

Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana hubungan strategi koping dengan resiliensi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Adam Malik Medan.

1.1. Perumusan Masalah

Bagaimanakah hubungan strategi koping dengan resiliensi pada pasien Gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan Tahun 2014?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Menganalisis hubungan strategi koping dengan resiliensi pada pasien yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Adam Malik Medan Tahun 2014.

1.3.2 Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi karakteristik ( umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, status perkawinan) pasien yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.

b. Mengidentifikasi strategi koping yang digunakan pasien dalam menjalani tindakan cuci darah (hemodialisis) di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan. c. Mengidentifikasi resiliensi pasien yang menjalani hemodialisis di Rumah

Sakit Haji Adam Malik Medan.

d. Menganalisis hubungan karakteristik (umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, status perkawinan) dengan resilensi pasien yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.


(31)

e. Menganalisis hubungan strategi koping berfokus masalah dengan resilensi tinggi pada pasien yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.

f. Menganalisis hubungan strategi koping berfokus emosi dengan resilensi rendah pada pasien yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.

1.4. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu penelitian, atau kesimpulan teoritis yang masih harus dibuktikan kebenarannya melalui analisis terhadap bukti-bukti empiris (Setiadi, 2007). Hipotesis penelitian ini adalah :

1. Ada hubungan strategi koping berfokus pada masalah dengan tingkat resiliensi tinggi pada pasien yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.

2. Ada hubungan strategi koping berfokus pada emosi dengan tingkat resiliensi rendah pada pasien yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1 Rumah Sakit/Unit hemodialisis

Memberikan masukan kepada Rumah Sakit Adam Malik Medan khususnya Unit Hemodialisis agar memperhatikan strategi koping dan tingkat resiliensi dari pasien yang menjalani terapi hemodialisis.


(32)

1.5.2. Bagi Praktek keperawatan

Untuk mengembangkan kajian teoritis maupun penelitian yang berhubungan dengan konsep koping dan resiliensi terkait penanganan psikologis pada pasien yang menjalani tindakan cuci darah (hemodialisis)

1.5.3. Bagi Keluarga pasien

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu keluarga dalam mempersiapkan strategi koping dan resiliensi anggota keluarga sehingga keberhasilan hemodialisis dapat tercapai dan pasien tetap hidup berkualitas.

1.5.4. Bagi Penelitian selanjutnya

Memberikan rekomendasi yang bermanfaat bagi pengembangan penelitian keperawatan serta memberikan masukan untuk penelitian berikutnya dalam perencanaan penelitian keperawatan yang berfokus kepada tindakan keperawatan mandiri yaitu perawatan diri individu selama menjalani tindakan cuci darah.


(33)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Koping Dan Resiliensi Pada Pasien Yang Menjalani Hemodialisis

Sulistyaningsih (2009) mengatakan koping merupakan bagian dari resiliensi. Koping didefenisikan sebagai upaya kognitif dan perilaku yang berubah secara konstan untuk mengelola tuntutan eksternal dan atau internal tertentu yang dinilai berat dan melebihi sumber daya (kekuatan) seseorang (Lazarus & Folkman, 1984).

Koping dapat juga dikatakan sebagai bentuk adaptasi karena koping merupakan bagaimana cara seseorang bereaksi terhadap sebuah stimulus yang didapat dari lingkungannya (Costa, Somerfield & McCrae, 1996 dalam Primaldhi 2006). Hasil penelitian Susan De Nisco (2011) tentang resiliensi pada wanita yang menderita diabetes mellitus 2 di Afrika memperlihatkan bahwa individu yang memiliki nilai resiliensi yang tinggi akan mampu mengontrol kadar gula darah. Yi, Smith, and Vitaliano (2005), membagi atlet remaja putri menjadi 2 kelompok yaitu individu dengan resiliensi tinggi dan individu dengan resiliensi rendah. Individu dikatakan memiliki resilien tinggi apabila individu menggunakan strategi Koping yang berfokus pada pemecahan masalah (problem focused coping) dengan jenis koping mencari dukungan sosial sedangkan individu dikatakan memiliki resiliensi rendah apabila individu menggunakan strategi koping yang berfokus pada emosi (emotion focused coping) dengan jenis koping menghindar dari masalah/Avoidance dan menyalahkan orang lain/Blame others.


(34)

Lazarus dan Folkman (1984) membagi strategi koping menjadi dua yaitu strategi koping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping) dan strategi koping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping). Secara umum, Lazarus dan Folkman (1984) menjelaskan bahwa Problem-focused coping mengarah pada penyelesaian masalah, seperti mencari informasi mengenai suatu masalah, mengumpulkan solusi-solusi yang dapat dijadikan alternatif, mempertimbangkan alternatif dari segi biaya dan manfaatnya, memilih alternatif dan menjalani alternatif yang dipilih (Lazarus dan Folkman, 1984), sedangkan Emotion-focused coping diarahkan untuk mengurangi penderitaan emosional seperti menghindari, meminimalisir, menjaga jarak, selektif memilih perhatian, dan mencari nilai positif dari sebuah peristiwa negatif. Orang yang menggunakan emotion-focused coping mempertahankan harapan dan optimis, menyangkal fakta dan implikasinya, menolak mengakui hal terburuk, bertindak seolah-olah hal yang terjadi bukan hal yang penting, dan lainnya dimana kesemua proses tersebut memberi sebuah penipuan atau distorsi kenyataan pada diri mereka sendiri (Lazarus dan Folkman, 1984).

Penelitian Kumar et al (2003) di India, pasien yang menjalani terapi hemodialisis lebih sering menggunakan strategi koping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping), sedangkan menurut penelitian Yeh,S.J & Chou, H (2007) di Taiwan, pasien hemodialisis lebih sering menggunakan strategi koping yang berorientasi pada emosi. Sementara penelitian Wu Li-Min et al (2013) mengatakan bahwa koping yang berorientasi pada masalah (problem focused koping) adalah koping yang sering digunakan oleh remaja selama


(35)

menjalani pengobatan kanker, hal ini disebabkan karena problem-focused coping dianggap sebagai faktor pelindung yang mendorong pemulihan pada remaja yang menderita penyakit kanker dan dapat mengurangi kecemasan, kekhawatiran serta meningkatkan resiliensi pada remaja yang menderita penyakit kanker sedangkan koping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping) jarang digunakan.

Bersasarkan penelitian Li-Ching Ma et al, 2013, ditemukan bahwa pasien yang sedang menjalani tindakan hemodialisis lebih banyak menggunakan strategi koping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping) daripada menggunakan strategi koping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping). Juga dikatakan bahwa resiliensi individu yang baik akan mengurangi tekanan-tekanan yang disebabkan oleh dampak-dampak negatif dari penyakit gagal ginjal kronis. Hal senada juga ditemukan oleh Yi, Smith, and Vitaliano (2005), pada atlet remaja putri yang sedang menjalani pertandingan, yang menemukan bahwa apabila atlet remaja putri menggunakan strategi koping berfokus pada masalah (problem focused coping) akan menghasilkan resiliensi tinggi dibandingkan dengan penggunanaan strategi koping berfokus pada emosi.

2. 2. Kepustakaan 2.2.1. Koping

1. Pengertian Koping

Koping adalah usaha untuk menghindari atau menekan ancaman, ketidaknyamanan dan kehilangan atau usaha untuk mengurangi berbagai macam penyebab stress atau dengan kata lain koping merujuk kepada tindakan langsung (Compas et al.,2001) sedangkan menurut Lazarus dan Folkman (1984), koping


(36)

didefinisikan sebagai upaya kognitif dan perilaku yang berubah secara konstan untuk mengelola tuntutan eksternal dan/ atau internal tertentu yang dinilai berat dan melebihi sumber daya (kekuatan) seseorang.

Keliat (1999) mendefinisikan koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan dan respon terhadap situasi yang mengancam, sedangkan menurut Rasmun (2004), koping merupakan respon individu terhadap situasi yang mengancam dirinya baik fisik maupun psikologik.

2. Pembagian Strategi Koping

Lazarus dan Folkman (1984), membagi strategi koping menjadi dua yaitu problem-focused coping dan emotion-focused coping. Secara umum, Lazarus dan Folkman (1984) menjelaskan bahwa Problem-focused coping mengarah pada penyelesaian masalah, seperti mencari informasi mengenai suatu masalah, mengumpulkan solusi-solusi yang dapat dijadikan alternatif, mempertimbangkan alternatif dari segi biaya dan manfaatnya, memilih alternatif, dan menjalani alternatif yang dipilih (Lazarus & Folkman, 1984). Jadi dalam problem-focused tidak hanya berencana sebanyak mungkin, tapi segera melakukan rencana terbaik dari semua pilihan yang ada seperti mencari informasi mengenai suatu masalah, mengumpulkan solusi-solusi yang dapat dijadikan alternatif, mempertimbangkan alternatif dari segi biaya dan manfaatnya, memilih alternatif dan menjalani alternatif yang dipilih.


(37)

problem-focused muncul saat kondisinya masih ada kemungkinan berubah dan dapat diperbaiki. Emotion-focused coping menurut Lazarus dan Fokman (1984), merupakan sekumpulan proses kognitif yang diarahkan untuk mengurangi penderitaan emosional dan mencakup strategi seperti menghindari, meminimalisir, menjaga jarak, selektif memilih perhatian, perbandingan positif, dan mencari nilai positif dari sebuah peristiwa negatif. Orang menggunakan emotion-focused biasanya mempertahankan harapan dan optimis, menyangkal fakta dan implikasinya, menolak mengakui hal terburuk, bertindak seolah-olah hal yang terjadi bukan hal yang penting, dan lainnya di mana kesemua proses tersebut memberi sebuah penipuan atau distorsi kenyataan pada diri mereka sendiri (Lazarus & Folkman, 1984).

Pada tahun 1989, Carver dkk menyusun sebuah instrument yang diberi nama Brief COPE berdasarkan teori Lazarus dan Folkman (1984) tentang koping. Sebagaimana Lazarus dan Folkman, Carver (1989) mengatakan strategi koping terdiri dari 2 (dua) yaitu strategi koping berfokus masalah dan strategi koping berfokus emosi.

Berikut ini penjelasan teori yang mendasari Brief COPE menurut Carver (1997):

I. Strategi Koping yang berfokus pada masalah (Problem- focused coping)

Ada 5 (lima) jenis koping yang termasuk ke dalam strategi problem-focused coping adalah :

1. Active Coping (Penyelesaian masalah secara aktif)

Disebut aktif karena ada penekanan pada tindakan aktif individu untuk mencoba mengatasi masalah maupun mengurangi dampak dari masalah


(38)

tersebut. Jenis Koping ini meliputi langkah awal pengambilan tindakan langsung, peningkatan usaha individu dan upaya untuk mencoba melakukan koping dengan langkah yang bijaksana.

2. Planning (Perencanaan)

Melibatkan usaha memikirkan, menyusun rencana strategi tindakan dan langkah yang akan diambil, serta kemungkinan berhasilnya usaha tersebut. Planning terjadi selama fase penelitian sekunder (proses pengolahan di otak tentang suatu potensi respon terhadap ancaman), sedangkan active coping terjadi pada fase melaksanakan koping.

3. Suppression of competiting activities (Penekanan pada kegiatan lain) Mencakup usaha membatasi ruang gerak atau aktifitas lain yang tidak berhubungan dengan masalah. Jadi individu mengesampingkan urusan lain, berusaha menghindari hal lain yang dapat menyebabkan teralihnya perhatian individu dari masalah yang sedang dihadapi. Hal ini dilakukan agar perhatian individu sepenuhnya tercurah untuk mengatasi stres.

4. Restraint coping (Penundaan perilaku mengatasi stress)

Usaha mengatasi masalah dengan tidak melakukan tindakan apapun (menunggu) sampai ada kesempatan yang tepat untuk bertindak. Oleh karena itu membutuhkan kontrol/kendali diri yang cukup baik.

5. Using instrumental support (Menggunakan instrument sebagai dukungan)

Merupakan usaha mencari dukungan sosial berupa nasehat, informasi atau bantuan yang diharapkan agar membantu individu memecahkan masalah dan mengatasi stressor yang dihadapi.


(39)

II. Strategi Koping yang berfokus pada emosi (Emotion- focused coping)

Ada 10 (sepuluh) jenis koping yang termasuk ke dalam strategi emotion-focused coping adalah :

1. Using emotional support (Menggunakan dukungan emosional)

Mencari dukungan moral, simpati, atau pengertian yang bertujuan untuk mengurangi bahkan menghilangkan ketidaknyamanan emosional akibat masalahnya. Kecenderungan mencari dukungan sosial emosi memiliki fungsi ganda, yaitu setelah individu merasa yakin berkat dukungan yang diperoleh kemudian timbul tingkah laku Koping yang terpusat pada masalah. Defenisi ini hampir serupa dengan dukungan sosial pada problem-focused koping namun bedanya kecenderungan mencari dukungan sosial emosional ini adalah hanya mencari dukungan emosional untuk menenangkan dirinya atau mengeluarkan perasaan saja, sehingga penggunaan strategi ini dinilai terkadang tidak selalu adaptif.

2. Positive reframing (Mengkaji ulang kejadian masa lalu ke arah positif) Carver, menggunakan istilah ini didasarkan pada teori Lazarus dan Folkman (1984) tentang konsep penilaian yang positif. Penilaian kembali secara positif adalah strategi koping yang berfokus untuk mengelola perasaan tertekan dan bukan berurusan dengan stressor itu sendiri.

3. Acceptance (Penerimaan)

Individu menerima kenyataan akan situasi yang penuh stres, menerima bahwa kenyataan tersebut pasti terjadi. Penerimaan dapat memiliki dua makna, yaitu sebagai sikap menerima tekanan sebagai suatu kenyataan dan


(40)

sikap menerima karena belum adanya strategi menghadapi masalah secara aktif yang dapat dilakukan.

4. Humor (Humor)

Individu mencoba membuat lelucon mengenai masalah yang sedang dihadapi.

5. Religion (Agama)

Individu mencari pegangan pada agama saat ia mengalami stres, misalnya dengan lebih sering berdoa dan memperbanyak ibadah. Hal ini dapat terjadi karena agama dapat berfungsi sebagai sumber dukungan emosional dan sarana untuk menafsirkan kembali masalah yang dihadapi secara positif maupun lebih dewasa.

6. Denial (Penolakan)

Menolak untuk percaya bahwa suatu stressor itu ada, atau mencoba bertindak seolah-olah stressor tersebut tidak nyata. Kadang-kadang penolakan menjadi pemicu masalah baru jika tekanan yang muncul diabaikan karena dengan menyangkal suatu kenyataan dari masalah yang dihadapi seringkali mempersulit upaya menghadapi masalah yang seharusnya lebih mudah untuk pemecahan masalah.

7. Venting (Pelampiasan emosi)

Kecenderungan melepaskan emosi yang dirasakan. 8. Substance Use (Penggunaan zat atau alcohol/obat-obatan)

Individu menggunakan alkohol atau obat-obatan lainnya sebagai cara untuk melepaskan diri dari stressor


(41)

9. Self-Distraction (Pengendalian diri)

Merupakan variasi dari tindakan pelarian, terjadi ketika kondisi pada saat itu menghambat munculnya tindakan pelarian. Strategi yang menggambarkan pelarian secara mental ini adalah melakukan tindakan-tindakan alternatif untuk melupakan masalah seperti melamun, melarikan diri dengan tidur dan menyibukkan diri dengan menonton televisi.

10.Self Blame

Lebih fokus pada apa saja yang dilakukan seseorang untuk menjauhkan pikiran dari pemicu stres.

11.Behavioral disengagement (Pelepasan perilaku)

Mengurangi usaha seseorang untuk menghadapi stressor, menghentikan usaha menghilangkan stressor yang mengganggu. Behavioral disengagement digambarkan melalui gejala perilaku yang disebut “helplessness” (ketidakberdayaan).

Pada tahun 1997, Carver melakukan penelitian koping terhadap penyakit kronik (kanker payudara, HIV) menggunakan instrument Brief COPE yang disusun sebelumnya, hasilnyaada beberapa jenis koping yang dieliminasi, diubah serta ditambahkan kedalam jenis koping. Adapun jenis strategi koping yang dieliminasi dari koping yang berfokus masalah (problem-focused coping) adalah restraint coping dan suppression of competing activities dengan alasan kedua jenis koping ini sudah dimasukkan ke dalam jenis koping yaitu active coping, sedangkan jenis koping yang diubah supaya tidak menimbulkan ambiguitas dari strategi koping berfokus emosi (emotion-focused coping) adalah positive


(42)

reinterpretation and growth menjadi positive reframing, focus on and venting emotions menjadi venting, mental disengagement menjadi self distraction. Selanjutnya terdapat satu jenis koping yang ditambahkan ke dalam komponen strategi koping yang berfokus emosi (emotion-focused coping) yaitu self blame.

Carver (1997) mengatakan bahwa instrumen Brief COPE yang telah direvisi dapat digunakan untuk semua situasi sesuai dengan kebutuhan dan imaginasi (gambaran) dari peneliti. Oleh karena itu peneliti menggunakan instrument Brief COPE untuk menilai strategi koping yang digunakan oleh pasien gagal ginjal kronik yang sedang menjalani tindakan cuci darah (hemodialisa).

Berdasarkan keterangan di atas, maka instrument Brief COPE yang akan digunakan dalam penelitian ini yakni strategi koping berfokus masalah terdiri dari Active coping, Planning, Using Instrumental Support sedangkan yang termasuk ke dalam strategi koping berfokus emosi terdiri dari Using Emotional Support, Positive reframing, Acceptance, Humor Religion Denial, Venting, Substance use, Self Distraction, Self Blame, Behavioral disengagement.

2.2.2 Resiliensi 1. Defenisi Resiliensi

Setiap orang pernah tersandung dan jatuh dari waktu ke waktu, tetapi masing-masing dari kita memiliki kemampuan untuk bangkit dan segar kembali. Kemampuan untuk bangkit dan segar kembali disebut dengan resiliensi. Sebagai suatu kontruk psikoanalitik, resiliensi didefinisikan oleh Block dan Block (1980, dalam Wagnild & Young, 1993) sebagai “ the dynamic capacity of an individual to modify his/her modal level of ego-control, in either direction, as a function of


(43)

the demand characteristics of the environmental context”. Block menjelaskan konstruk ini dengan menyebutnya “egoresilience” yang terentang pada suatu kontinum. Pada salah satu ujung kontinum terdapat karakteristik fleksibel, memiliki berbagai sumber daya dan strategi pemecahan masalah yang beragam sedangkan pada ujung kontinum yang berlawanan terdapat karakteristik “ego-brittleness” atau kerapuhan yang menunjukkan kurangnya fleksibilitas dalam menghadapi berbagai situasi yang sulit.

Resiliensi mempunyai arti sebagai stamina emosional dan digunakan untuk menjelaskan orang yang menunjukan keberanian dan kemampuan beradaptasi pada situasi hidup yang sulit (Wagnild & Young, 1990). Rutter (1987 dalam Wagnild & Young, 1993) mendefinisikan resiliensi sebagai faktor penyangga yang melindungi individu dari gangguan psikotik.

Druss dan Douglas (1988 dalam Wagnild & Young, 1993) menjelaskan individu yang resilien adalah individu yang memiliki keberanian yang luar biasa dan optimisme dalam menghadapi kematian, penyakit, dan cacat bawaan. Individu memiliki kepercayaan tidak dapat dikalahkan dan fokus pada aspek positif dari kondisi mereka. Konsep resiliensi menurut Kadner (1989 dalam Wagnild & Young, 1993) sebagai kemampuan individu untuk bangkit kembali dari kesulitan psiko-sosial " dan mendefenisikan resiliensi sebagai kekuatan ego (efektivitas semua fungsi ego dalam meningkatkan adaptasi terhadap lingkungan), keintiman sosial, dan sumberdaya.

Dari beberapa pengertian resiliensi menurut beberapa ahli maka dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi atau bangkit


(44)

kembali dari tantangan atau dengan kata lain resiliensi mengandung arti memiliki kekuatan batin, kemampuan, optimis, fleksibel dan kemampuan untuk mengatasi kesulitan secara efektif. Konsep resiliensi digunakan untuk menggambarkan sikap dan perilaku manusia ketika ia berhadapan dengan kemalangan atau kesulitan hidup baik kesulitan itu bersumber dari dirinya sendiri, lingkungan keluarga maupun situasi dan konteks lingkungan hidup sekitarnya (Sulistyaningsih, 2009).

2. Karakteristik Resiliensi

Wagnild dan Young (1993) menyebutkan ada lima karakteristik resiliensi:

a. Self-Reliance (keyakinan pada diri sendiri), yakni keyakinan pada diri sendiri dengan memahami kemampuan dan batasan yang dimiliki oleh diri sendiri. Individu yang resilien sadar akan kekuatan yang ia miliki dan mempergunakannya dengan benar sehingga dapat menuntun setiap tindakan yang ia lakukan. Karakteristik ini didapat dari berbagai pengalaman hidup yang dialami sehari-hari dan dapat meningkatkan keyakinan individu akan kemampuan dirinya sendiri. Individu yang resilien mampu belajar dari pengalaman hidup yang didapatnya setiap hari dan mampu mengembangkan berbagai pemecahan masalah yang dihadapinya.

b. Existential aloneness (Sifat unik), yaitu kesadaran bahwa setiap individu unik dan beberapa pengalaman dapat dihadapi bersama namun ada juga yang harus dihadapi sendiri. Individu yang resilien belajar untuk hidup dengan keberdayaan dirinya sendiri. Individu tidak terus menerus mengandalkan orang lain, dengan kata lain mandiri dalam menghadapi situasi sulit apapun sehingga individu menjadi lebih menghargai kemampuan yang dimilikinya.


(45)

Karakteristik existential aloneness bukan berarti tidak menghiraukan pentingnya berbagi pengalaman dan merendahkan orang lain, melainkan menerima diri sendiri apa adanya.

c. Meaningfulness (tujuan hidup), merupakan kesadaran individu bahwa

hidupnya memiliki tujuan dan diperlukan usaha untuk mencapai tujuan tersebut. Wagnild (2010) menyebutkan bahwa karakteristik ini merupakan karakteristik resiliensi yang paling penting dan menjadi dasar dari keempat karakteristik yang lain, karena menurutnya hidup tanpa tujuan sama dengan sia-sia karena tidak memiliki arah atau tujuan yang jelas. Tujuan mendorong individu untuk melakukan sesuatu dalam hidup tak terkecuali ketika ia mengalami kesulitan, tujuanlah yang membuat individu terus berjuang menghadapi kesulitan tersebut.

d. Equaminity (Ketenangan hati), yaitu suatu perspektif yang dimiliki oleh

individu mengenai hidup dan pengalaman-pengalaman yang dialaminya semasa hidup yang dianggap merugikan. Namun demikian inidivu harus mampu untuk melihat dari sudut pandang yang lain sehingga ia dapat melihat hal-hal yang lebih positif daripada hal-hal negatif dari situasi sulit yang sedang dialami. Equaminity juga menyangkut karakteristik humor. Oleh karena itu individu yang resilien dapat menertawakan situasi apapun yang sedang dihadapi, melihat situasi tersebut dari hal yang positif, dan tidak terjebak pada hal-hal negatif yang terdapat di dalamnya.

e. Perseverance (Ketekunan), yaitu suatu sikap individu yang tetap bertahan dalam menghadapi suatu situasi sulit. Perseverance juga dapat berarti


(46)

keinginan seseorang untuk terus berjuang dalam mengembalikan kondisi seperti semula. Dalam karakteristik perseverance ini dibutuhkan kedisiplinan pada diri individu ketika berjuang menghadapi situasi yang sulit dan kurang menguntungkan baginya.

2.2.3 Gagal Ginjal Kronis

1. Pengertian Gagal Ginjal Kronis

Gagal ginjal menahun (CRF = Chronic Renal Failure) merupakan suatu kegagalan fungsi ginjal yang berlangsung perlahan-lahan, karena penyebabnya yang berlangsung lama, sehingga tidak dapat menutupi kebutuhan biasa lagi dan menimbulkan gejala sakit (Junadi, 1989).

Gagal ginjal kronik adalah kemunduran fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel dimana terjadi kegagalan kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan metabolik, cairan dan elektrolit yang mengakibatkan uremia atau azotemia (Brunner & Suddarth, 2000).

Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut (Suyono, 2001).

2. Stadium Gagal Ginjal Kronis

Klasifikasi gagal ginjal kronis tidak selalu sama. Price & Wilson (2005) membagi perjalan klinis umum gagal ginjal kronis menjadi tiga stadium. Stadium pertama disebut penurunan cadangan ginjal, selama stadium ini kreatinin serum, kadar nitrogen dan urea darah (BUN) normal, serta gejalanya asimtomatik.


(47)

Stadium kedua disebut juga insufisiensi ginjal, dimana terdapat lebih dari 75% jaringan ginjal yang berfungsi telah rusak atau GFR 25% besarnya dari normal. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal serta mulai timbul gejala-gejala nokturia dan poliuria.

Stadium ketiga merupakan stadium akhir gagal ginjal kronis yang sering disebut gagal ginjal terminal atau uremia. Penyakit ginjal stadium akhir terjadi apabila sekitar 90% dari massa nefron telah rusak, atau hanya sekitar 200.000 nefron yang masih utuh. Pada stadium ini pasien mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostatis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Pada gagal ginjal tahap akhir urin menjadi iso osmotis, pasien biasanya menjadi oliguria dan terjadi sindrom uremia yang mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh.

3. Penyebab Gagal Ginjal Kronis

Gagal ginjal kronis merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang yang progresif dan ireversibel yang berasal dari berbagai penyebab. Perjalanan gagal ginjal tahap akhir hingga tahap terminal bervariasi dari 2-3 bulan hingga 30-40 tahun. Price & Wilson (2005) mengklasifikasikan penyebab gagal ginjal kronis menjadi delapan kelas yaitu: 1).Penyakit infeksi tubulointerstisial seperti pielonefritis kronik atau refluks nefropati; 2).Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis; 3).Penyakit vaskular hipertensif seperti nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, dan stenosis arteria renalis; 4).Gangguan jaringan ikat seperti lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa, dan sklerosis sistemik progresif ; 5).Gangguan kongenital dan herediter seperti penyakit ginjal polikistik


(48)

dan asidosis tubulus ginjal; 6).Penyakit metabolik seperti diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme, dan amiloidosis; 7).Nefropati toksik akibat penyalahgunaan analgesik dan nefropati timah; 8).Nefropati obstruktif pada traktus urinarius bagian atas seperti batu ginjal, neoplasma, fibrosis retroperitoneal dan nefropati obstruktif pada traktus urinarius bagian bawah seperti hipertrofiprostat, anomali kongenital leher vesika urinaria dan uretra. Selain penyebab tersebut ada empat faktor risiko utama dalam perkembangan gagal ginjal tahap akhir yaitu usia, ras, jenis kelamin, dan riwayat keluarga. Gagal ginjal tahap akhir yang disebabkan oleh nefropati hipertensif 6,2 kali lebih sering terjadi pada orang Afrika-Amerika daripada orang kaukasia. Secara keseluruhan insiden gagal ginjal tahap akhir lebih besar pada laki-laki yaitu 56,3% daripada perempuan 43,7% (Fauci & Longo’s, 2001; Price & Wilson, 2005).

4. Manifestasi Gagal Ginjal Kronis

Manifestasi klinik Gagal ginjal kronis menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:

a. Gangguan kardiovaskuler

Hipertensi, nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi pericardial dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema.

b. Gangguan pulmoner


(49)

c. Gangguan gastrointestinal

Anoreksia, nausea dan vomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein dalam usus, perdarahan saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau amoniak.

d. Gangguan musculoskeletal

Pegal pada kaki, rasa kesemutan dan terbakar terutama di telapak kaki, tremor, miopati (kelemahan dan hipertropi otot-otot ekstremitas).

e. Gangguan integumen

Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat penimbunan urokrom, gatal-gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.

f. Gangguan endokrin

Gangguan seksual: libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi dan aminore. Gangguan metabolik gula, gangguan metabolik lemak dan vitamin D.

g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa

Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.

h. Gangguan hematologi

Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga rangsangan eritropoesis pada sumsum tulang berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi thrombosis dan trombositopeni.


(50)

5. Terapi Gagal Ginjal Kronis

Menurunnya fungsi ginjal dan semakin buruknya gejala uremia pada gagal ginjal kronis tahap akhir mengharuskan diberikannya pengobatan kepada pasien. Wilson (2005) menyatakan bahwa pengobatan gagal ginjal kronis dibagi dalam dua tahapan, dimana tahap pertama merupakan tindakan konservatif yang ditujukan untuk meredakan atau memperlambat perburukan progresif fungsi ginjal dan tahap kedua yaitu tindakan untuk mempertahankan kehidupan dengan dialisis dan transplantasi ginjal. Prinsip-prinsip penatalaksanaan konservatif didasarkan pada batas ekskresi yang dapat dicapai ginjal yang terganggu. Tindakan konservatif berupa diet, pembatasan cairan, dan konsumsi obat-obatan (Suhardjono, 2001; Potter & Perry, 2005; Wilson,2005).

Pada gagal ginjal kronis tahap akhir dibutuhkan tindakan yang bisa mengganti fungsi ginjal untuk mempertahankan kehidupan karena tindakan konservatif saja tidak efektif. Penggantian fungsi ginjal bisa dengan transplantasi dan dialisa. Transplantasi ginjal merupakan tindakan yang lebih baik karena pasien tidak terlalu terbatas hidupnya dan biasanya tidak ada pantangan diet serta tidak membutuhkan banyak waktu untuk melakukan dialisis (Potter & Perry, 2005; Wilson, 2005). Namun di Indonesia transplantasi ginjal masih terbatas karena banyak kendala yang dihadapi seperti faktor ketersediaan donor ginjal, biaya, dan sistem kesehatan yang belum mendukung (Yayasan Ginjal Nasional, 2000) sehingga dialisa bagi pasien gagal ginjal kronis tahap akhir merupakan satu-satunya cara untuk bertahan hidup.


(51)

Wilson (2005) mendefinisikan dialisa sebagai suatu proses difusi zat terlarut dan air secara pasif melalui suatu membran berpori dari satu kompartemen cair menuju kompartemen cair lainnya. Penggunaan dialisa ditujukan untuk pengobatan gagal ginjal kronis pertamakali diusulkan oleh Abel, Rowntree & Turner pada tahun 1913 (Gibson, 1983; Van Stone, 1983).

Pada dialisa, molekul solut berdifusi melalui membran semipermiabel dengan cara mengalir dari sisi cairan yang lebih pekat atau konsentrasi solute lebih tingggi ke cairan yang lebih encer atau konsentrasi solut lebih rendah. Cairan mengalir lewat membran semipermiabel dengan cara osmosis atau ultrafiltrasi (Daugirdas, Blake & Ing, 2001; Brunner & Suddarth, 2001; Daugirdas & Wilson, 2005; Van Stone 1983).

Potter & Perry (2005) menyatakan bahwa ada beberapa indikasi pelaksanaan dialisis yaitu gagal ginjal yang tidak dapat lagi dikontrol dengan penatalaksaan konservatif, perburukan gejala uremia yang berhubungan dengan gagal ginjal tahap akhir, gangguan cairan dan elektrolit serta yang tidak dapat dikontrol oleh tindakan yang lebih sederhana.

Ada dua metode dialisis yaitu dialisa peritoneal dan hemodialisa. Diantara kedua metode dialisa tersebut yang merupakan metode paling umum digunakan untuk pasien gagal ginjal di Indonesia dan Amerika adalah hemodialisa (Kartono, Darmarini & Roza, 1992 dalam Lubis, 2006; Peterson,1995).


(52)

2.2.4 Hemodialisa

1. Pengertian Hemodialisis

Hemodialisis adalah proses pembuangan zat-zat sisa metabolisme, zat toksik lainnya melalui membran semi permeable sebagai pemisah antara darah dan cairan diaksat yang sengaja dibuat dalam dialyzer (Hudak dan Gallo, 1996).

Hemodialisa merupakan suatu tindakan yang digunakan pada klien gagal ginjal untuk menghilangkan sisa toksik, kelebihan cairan dan untuk memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dengan prinsip osmosis dan difusi dengan menggunakan system dialisa eksternal dan internal (Tucher, 1998).

2. Prinsip-prinsip yang mendasari Hemodialisis

Pada hemodialisa aliran darah yang mengandung limbah metabolik dialirkan dari tubuh pasien ke dialiser untuk dibersihkan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi melalui membran semipermeabel tubulus.

Pada proses kerja mesin dialisa ada tiga prinsip yang mendasarinya yaitu osmosis, difusi, dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah dikeluarkan dari dalam darah melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. Selanjutnya air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis yang dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan. Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisa. Tekanan negatif ini diterapkan untuk memfasilitasi pengeluaran air sehingga tercapai isovolemia (Smeltzer, 2001).


(53)

Hemodialisa bagi pasien gagal ginjal kronis akan mencegah kematian yang lebih cepat. Namun hemodialisa tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktifitas metabolik yang dilaksanakan oleh ginjal.

Di indonesia hemodialisa dilakukan 2 kali seminggu dimana waktu yang dibutuhkan untuk setiap tindakan hemodialisia adalah 5 jam, tetapi ada juga yang melakukan 3 kali seminggu dengan lama dialisis 4 jam, hal ini bergantung pada keadaan pasien. Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun (Price & Wilson, 2005; Suhardjono dkk, 2001). Namun banyak komplikasi yang terjadi akibat terapi hemodialisa yang mempengaruhi kehidupan pasien hemodialisa.

3. Komplikasi Hemodialisis

Komplikasi yang bisa terjadi saat pasien melakukan hemodialisa antara lain hipotensi, emboli udara, nyeri dada, pruritus, gangguan keseimbangan dialisis, kram otot, nyeri, mual, muntah, perembesan darah, sakit kepala, sakit punggung, demam, menggigil, aritmia, temponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, hiperlipidemia, gangguan tidur dimana pasien selalu bangun lebih cepat di pagi hari, dan hipoksemia (Smeltzer, 2001).

Individu dengan hemodialisa jangka panjang sering merasa khawatir akan kondisi sakit yang tidak dapat diramalkan dan gangguan dalam kehidupanya. Pasien menghadapi masalah finansial, kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan, penurunan seksual serta impotensi, depresi akibat sakit kronik, dan ketakutan terhadap kematian. Pasien-pasien yang lebih muda khawatir terhadap


(54)

pernikahan mereka, anak-anak yang dimiliki dan beban yang ditimbulkan kepada keluarga mereka. Gaya hidup terencana berhubungan dengan terapi hemodialisa dan pembatasan asupan makanan serta cairan sering menghilangkan semangat hidup pasien (Smeltzer, 2001).

Hemodialisa menyebabkan perubahan gaya hidup pada keluarga. Waktu yang diperlukan untuk terapi hemodialisa akan mengurangi waktu yang tersedia untuk melakukan aktifitas sosial dan dapat menciptakan konflik, frustasi, rasa bersalah serta depresi di dalam keluarga. Keluarga pasien dan sahabat-sahabatnya mungkin memandang pasien sebagai beban hidup karena keterbatasannya. Barangkali sulit bagi pasien, pasangan, dan keluarganya untuk mengungkapkan rasa marah serta perasaan negatif. Pasien yang menjalani tindakan hemodialisis terkadang membutuhkan konseling dan psikoterapi (Brunner & Suddarth,2005).

Pasien harus diberi kesempatan untuk mengungkapkan setiap perasaan marah dan keprihatinan terhadap berbagai pembatasan yang harus dipatuhi akibat penyakit, serta terapinya di samping masalah keuangan, rasa sakit dan gangguan rasa nyaman yang timbul akibat penyakit ataupun komplikasi terapi. Jika rasa marah tersebut tidak diungkapkan, mungkin perasaan ini akan diproyeksikan kepada diri sendiri dan menimbulkan depresi, rasa putus asa serta upaya bunuh diri. Insiden bunuh diri meningkat pada pasien-pasien hemodialisa. Jika rasa marah tersebut di proyeksikan kepada orang lain, hal ini dapat merusak hubungan keluarga (Smeltzer, 2001).


(55)

2.3. Landasan Teori

Penulis menggunakan teori keperawatan menurut Sister Calista Roy sebagai dasar penelitian ini. Menurut Sister Calista Roy, individu sebagai makhluk biopsikososial dan spiritual memiliki koping untuk beradaptasi terhadap perubahan yang ada di sekitarnya sehingga individu selalu berinteraksi terhadap perubahan hidup. Perubahan hidup yang terjadi pada pasien gagal ginjal kronik merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya stres yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi kesakitan dan pola perilaku individu .

Penyakit ginjal kronis (CKD) adalah penyakit yang mengancam jiwa. Ada tiga pilihan terapi pengganti yang dapat dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal tahap akhir yaitu hemodialisis, dialisis peritoneal, serta transplantasi ginjal (Crawford & Lerma, 2008 dalam Al Nazly, E.A., et al (2013). Ketika penyakit gagal ginjal kronik memasuki stadium akhir (end stage renal disease), pasien harus menerima perawatan dialisis untuk bertahan hidup, dan mereka sering rentan terhadap emosi seperti perasaan tidak berdaya, depresi, dan ketakutan.

Pasien sering merasa takut akan masa depan yang akan dihadapi dan perasaan marah yang berhubungan dengan pertanyaan mengapa hal tersebut terjadi pada dirinya. Ketakutan dan perasaan berduka juga kerap datang karena harus tergantung seumur hidup pada alat cuci ginjal (Andri , 2012). Hal seperti ini tentunya akan menimbulkan perasaan tertekan yang sering disebut dengan stres (Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia, 2012). Pada umumya seseorang yang mengalami stress atau ketegangan psikologik dalam menghadapi masalah kehidupan sehari-hari memerlukan kemampuan pribadi maupun dukungan dari


(56)

lingkungan, agar dapat mengurangi stress. Cara yang digunakan oleh individu untuk mengurangi stres disebut dengan koping.

Koping adalah proses yang dilalui oleh individu dalam menyelesaikan situasi stresfull. Koping merupakan respon individu terhadap situasi yang mengancam diri baik fisik maupun psikologik. Secara alamiah baik disadari ataupun tidak disadari, individu sesungguhnya telah menggunakan strategi koping dalam menghadapi stres. Strategi koping adalah cara yang dilakukan untuk merubah lingkungan atau situasi atau menyelasaikan masalah yang sedang dirasakan/dihadapi (Rasmun, 2004).

Menurut Rasmun (2004), koping dinilai efektif apabila menghasilkan adaptasi yang menetap yang merupakan kebiasaan baru dan perbaikan dari situasi yang lama sedangkan koping yang tidak efektif berakhir dengan maladaptif yaitu perilaku yang menyimpang dari keinginan normatif dan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain serta lingkungan. Setiap individu dalam melakukan koping tidak sendiri dan tidak hanya menggunakan satu strategi koping tetapi dapat melakukannya bervariasi. Hal ini tergantung dari kemampuan dan kondisi individu.

Menurut Nikkerud, H.C. & Frydenberg, E. (2011), koping merupakan komponen penting dari resiliensi. Resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi atau bangkit kembali dari tantangan atau dengan kata lain resiliensi mengandung arti memiliki kekuatan batin, kemampuan, optimis, fleksibel dan kemampuan untuk mengatasi kesulitan secara efektif. Konsep resiliensi digunakan untuk menggambarkan sikap dan perilaku manusia ketika ia berhadapan dengan


(57)

kemalangan atau kesulitan hidup baik kesulitan itu bersumber dari dirinya sendiri, lingkungan keluarga maupun situasi dan konteks lingkungan hidup sekitarnya (Sulistyaningsih, 2009). Resiliensi melibatkan kualitas koping yang membantu individu bertahan hidup dan berkembang meskipun sedang mengalami kesulitan atau kemalangan (Connor & Davidson 2003) dan meliputi harapan untuk sembuh, harga diri, tekad, dan sikap dan perilaku sosial (Dyer & McGuiness 1996 dalam Smith, (2009).

Konsep resiliensi meliputi keterampilan koping, pengetahuan tentang perawatan yang terjangkau dan tersedia, penerimaan budaya setempat dan perhatian yang peka, serta dorongan untuk memelihara dan bekerja dengan orang lain.


(58)

Keterangan:

: diteliti : berhubungan

2.4. Kerangka Konsep

Berdasarkan kajian teoritis seperti yang telah diuraikan, maka berikut ini dikemukakan kerangka konsep penelitian yang berfungsi sebagai penuntun, alur pikir dan sekaligus sebagai dasar dalam merumuskan hipotesis.

Variabel Independen Variabel Dependen

1. Strategi koping yang berfokus pada masalah (Problem-focused

coping) terdiri atas 3 jenis koping:

a. Active Koping

b. Planning

c. Using Instrumental Support

2. Strategi koping yang berfokus pada emosi(emotion-focused

coping) terdiri atas 10 jenis

koping:

a. Using Emotional Support

b. Positive reframing

c. Acceptance

d. Humor

e. Religion

f. Denial

g. Venting

h. Substance use i. Self Distraction j. Self Blame

k. Behavioral disengagement

Resiliensi:

Karakteristik : a. Self-reliance

b. Existential aloneness

c. Meaningfulness

d. Equanimity

e. Perseverance

Karakteristik demografi

1. Umur

2. Jenis kelamin 3. Pendidikan 4. Pekerjaan


(59)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1.Jenis penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan pendekatan cross-sectional. Penelitian analitik adalah untuk menganalisa hubungan antara satu variabel dengan variabel lain sedangkan desain cross-sectional berarti pengukuran variabel hanya pada satu saat tertentu yang berarti setiap subyek hanya satu kali diukur yang dilakukan pada saat pemeriksaan tersebut (Sudigdo, 2011).

3.2.Variabel penelitian

Variabel yang dikaji dalam penelitian ini adalah koping dan resiliensi. Variabel independen dalam penelitian ini adalah strategi koping yang berfokus pada masalah (problem-focused koping), strategi koping yang berfokus pada emosi (emotion-focused koping) dan karakteristik demografi. Adapun yang termasuk ke dalam Strategi koping berfokus pada masalah (problem-focused koping) adalah active koping, planning dan using instrumenal support, sedangkan yang termasuk ke dalam strategi koping yang berfokus pada emosi (emotion-focused koping) adalah using emotional support, positive reframing, acceptance, humor, religion, denial, venting, substance use, Self distraction, self blame dan behavioral disengagement sementara yang termasuk ke dalam karakteristik demografi responden meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah resiliensi.


(60)

3.3. Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian dilaksanakan di Rumah Pusat Haji Adam Malik Medan. Pemilihan tempat penelitian berdasarkan pertimbangan bahwa jumlah pasien yang menjalani hemodialisis lebih banyak di rumah sakit pemerintah dibandingkan dengan rumah sakit swasta sehingga mempermudah peneliti dalam proses pengumpulan data. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2014.

3.4. Populasi dan Sampel 3.4.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek/subjek yang mempunyai kualitas atau karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiono, 2009). Populasi dalam penelitian ini adalah setiap pasien gagal ginjal kronik yang datang ke RSUP. Haji Adam Malik untuk melakukan tindakan cuci darah (hemodialisis) baik rawat jalan maupun rawat inap. Jumlah populasi dalam penelitian ini tidak diketahui berhubung karena peneliti tidak melakukan survei pasien sebelumnya ke Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan.

3.4.2 Sampel

Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Sugiono, 2013).


(61)

Keterangan:

n = jumlah sampel minimal yang dibutuhkan zα = tingkat kepercayaan 95% (1,96)

zβ = kekuatan uji 80% (0,842)

r = koefisien korelasi minimal (r= 0,284 menurut Azwar, S.,1999)

Jadi jumlah sampel dalam penelitian ini ada sebanyak 92 orang pasien yang menjalani tindakan cuci darah (hemodialisis).

Adapun kriteria untuk menentukan kelayakan sampel agar sesuai dengan dengan tujuan penelitian adalah sebagai berikut

1. Mau menandatangani informed consent.

2. Dapat membaca, menulis dan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. 3. Pasien sadar penuh (compos mentis).

4. Pasien sedang menjalani hemodialisis baik rawat jalan maupun rawat inap di Rumah Sakit Adam Malik Medan.

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini termasuk nonprobability sampling yaitu purposive sampling yang berarti pemilihan sampel dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti.

3.5. Metode pengumpulan data

Dalam penelitian kuantitatif, peneliti menggunakan instrumen berupa kuesioner sebagai alat pengumpulan data. Ada 3 instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu instrumen A untuk mendapatkan data demografi, instrumen B untuk mengetahui strategi koping responden gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis dan instrumen C untuk mengukur tingkat resiliensi.


(62)

perkawinan, pendidikan, pekerjaan. Bentuk pertanyaan tertutup, responden hanya menjawab pada kotak yang tersedia, sesuai dengan pilihan yang ada.

Instrumen B : Merupakan instrumen untuk mengetahui strategi koping responden gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Instrumen Brief COPE disusun oleh Carver, Scheier dan Weintraub (1989) dan sudah diterjemahkan ke dalam versi Indonesia serta telah diuji validitas dan reliabilitasnya oleh peneliti. Hasil uji validitas didapatkan bahwa nilai cronbach alpha sebesar 0,974 artinya kuesioner Brief COPE sudah dapat mengetahui strategi koping yang digunakan responden gagal ginjal kronik yang menjalani tindakan cuci darah kuesioner Brief COPE. Kuisioner strategi koping terdiri dari 4 pertanyaan dengan Pilihan “tidak pernah” skor 1, “jarang” skor 2, “sering” skor 3, dan “selalu” skor 4.

Tabel.3.5.1 Instrumen B: Kuisioner Strategi Koping

Strategi Koping Aitem Bahasa Inggris Aitem Bahasa Indonesia Jenis Koping berfokus pada masalah (Problem-focused koping)

Active Koping

(Penyelesaian masalah secara aktif)

I've been concentrating my efforts on doing something about the situation I'm in

I've been taking action to try to make the situation better

Saya telah berusaha untuk melaksanakan tindakan cuci darah ini dalam situasi yang sedang saya alami

Saya telah melaksanakan tindakan cuci darah ini untuk membuat keadaan saya lebih baik

Planning (Perencanaan)

I've been trying to come up with a strategy about what to do

I've been thinking hard about what steps to take

Saya telah mencoba menemukan strategi apa yang harus dilakukan selama menjalani tindakan cuci darah

Saya telah berpikir serius mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan selama menjalani tindakan cuci darah ini


(63)

Using Instrumenal Support

(Menggunakan instrumen sebagai dukungan)

I've been getting

emotional support from others

I've been getting comfort and understanding from someone

Saya telah mendapat dukungan emosional dari orang lain selama

menjalani tindakan cuci darah

Saya telah mendapat rasa nyaman dan pengertian dari seseorang ketika sedang menjalani cuci darah

Jenis Koping yang berfokus pada emosi (Emotion-focused koping)

Using Emotional Support

(Menggunakan dukungan emosional)

I've been getting help and advice from other people

I've been trying to get advice or help from other people about what to do

Saya telah mendapatkan nasehat dari orang lain terkait dengan tindakan cuci darah

Saya telah mendapatkan nasehat dari orang lain tentang apa yang harus

dilakukan selama menjalani tindakan cuci

darah Positive Reframing

(Mengkaji ulang kejadian masa lalu ke arah positif

I've been trying to see it in a different light, to make it seem more positive

I've been looking for something good in what is happening

Saya telah berusaha memahami tindakan cuci darah ini dengan sudut pandang yang berbeda untuk membuat tindakan cuci darah ini kelihatan lebih positif

Saya telah mencari sesuatu yang baik dari cuci darah terkait dengan kondisi kesehatan saya Acceptance

(Penerimaan)

I've been accepting the reality of the fact that it has happened

I've been learning to live with it

Saya telah menerima realitas dari fakta bahwa tindakan cuci darah ini terjadi

Saya telah berusaha untuk hidup dengan tindakan cuci darah ini

Humor I've been making jokes

about it

I've been making fun of the situation

Saya sering membuat lelucon mengenai tindakan cuci darah ini

Saya suka mentertawakan apa yang sedang terjadi ketika sedang menjalani cuci darah


(64)

Religion (Agama)

I've been trying to find comfort in my religion or spiritual beliefs

I've been praying or meditating

Saya mencoba menemukan rasa nyaman

dalam kepercayaan saya Saya selalu berdoa Denial

(Penolakan)

I've been saying to myself "this isn't real."

I've been refusing to believe that it has happened

Saya selalu mengatakan pada diriku bahwa “tindakan cuci darah ini tidak terjadi”

Saya menolak untuk mempercayai bahwa tindakan cuci darah ini terjadi

Venting (Pelampiasan)

I've been saying things to let my unpleasant feelings escape

I've been expressing my negative feelings

Saya selalu mengatakan apa saja untuk melepaskan perasaan saya yang tidak enak menghadapi cuci darah

Saya senantiasa mengungkapkan perasaan

saya yang negatif atas kesehatan saya yang mengharuskan cuci darah Substance Use

(Penggunaan zat dan obat-obatan)

I've been using alkohol or other drugs to make myself feel better

I've been using alkohol or other drugs to help me get through it

Saya mengkonsumsi alkohol untuk membuat diriku merasa lebih baik menghadapi proses cuci darah

Saya mengkonsumsi alkohol untuk membantu saya melewati masalah kesehatan yang saya hadapi

Self-Distraction (Pengendalian diri)

I've been turning to work or other activities to take my mind off things

I've been doing something to think about it less, such as going to movies, watching TV,

reading, daydreaming, sleeping, or shopping

Saya kembali bekerja atau melakukan aktifitas lain untuk membebaskan pikiranku dari berbagai hal terkait keharusan menjalani cuci darah

Saya melakukan sesuatu untuk melupakan tindakan cuci darah ini seperti pergi ke bioskop, menonton TV, membaca, melamun, tidur atau belanja


(1)

CURRICULUM VITAE

Nama : Walter, S.Kep.,Ns., M.Kep, Sp.Kep.J

Tempat/Tgl. lahir : Baturongkam, 11 Januari 1976

Alamat : Jl. Jamin Ginting Gg. Rukun 4 C Medan

Pendidikan : S2 Keperawatan Kekhususan Jiwa Universitas Indonesia

Pekerjaan : Staf Perawat di Rumah Sakit Pendidikan USU

Telepon : 081394889994

Agama : Kristen Protestan

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Sudah Menikah

Email


(2)

Lampiran 3

IZIN PENELITIAN


(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Hubungan Karakteristik Pasien dengan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisa di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

10 114 131

Karakteristik dan Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2011

0 35 76

Koping Pasien Gagal Ginjal Kronis Yang Menjalani Hemodialisa Di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan

18 79 79

Tingkat Kepatuhan Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis Reguler dalam Menjaga IDWG Normal di RSUP H. Adam Malik Medan September-Oktober 2014

3 73 81

Hubungan antara Koping dengan Resiliensi pada pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

1 1 15

Hubungan antara Koping dengan Resiliensi pada pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

1 1 26

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Hubungan antara Koping dengan Resiliensi pada pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 9

HUBUNGAN ANTARA KOPING DENGAN RESILIENSI PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TESIS

0 0 19

Hubungan Karakteristik Pasien dengan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisa di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 32

Hubungan Karakteristik Pasien dengan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisa di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 2 10