(EMPAT) ANATOMI TELINGA

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Telinga 2.1.1 Anatomi telinga luar

Telinga luar terdiri dari daun telinga (aurikula), liang telinga (meatus acusticus eksterna) sampai membran timpani bagian lateral. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit yang berfungsi mengumpulkan gelombang suara, sedangkan liang telinga menghantarkan suara menuju membrana timpani (Pearce,2008).

Liang telinga berbentuk huruf S dengan panjang 2,5-3 cm. Sepertiga bagian luar terdiri dari tulang rawan yang banyak mengandung kelenjar serumen dan rambut, sedangkan dua pertiga bagian dalam terdiri dari tulang dengan sedikit serumen (Lee KJ, 2008).

2.1.2 Anatomi telinga tengah

Telinga tengah berbentuk kubus yang terdiri dari membrana timpani, cavum timpani, tuba eustachius, dan tulang pendengaran. Bagian atas membran timpani disebut pars flaksida (membran Shrapnell) yang terdiri dari dua lapisan,yaitu lapisan luar merupakan lanjutan epitel kulit liang telinga dan lapisan dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia. Bagian bawah membran timpani disebut pars tensa (membran propria) yang memiliki satu lapisan di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin (Tortora & Derrickson, 2009).

Tulang pendengaran terdiri atas maleus (martil), inkus (landasan), dan stapes (sanggurdi) yang tersusun dari luar ke dalam seperti rantai yang bersambung dari membrana timpani menuju rongga telinga dalam (Pearce, 2008). Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada


(2)

inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antara tulang-tulang pendengaran merupakan persendian. Tuba eustachius menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah (Soetirto I; Hendarmin H; Bashiruddin J, 2007).

Prosessus mastoideus merupakan bagian tulang temporalis yang terletak di belakang telinga. Ruang udara yang berada pada bagian atasnya disebut antrum mastoideus yang berhubungan dengan rongga telinga tengah. Infeksi dapat menjalar dari rongga telinga tengah sampai ke antrum mastoideus yang dapat menyebabkan mastoiditis (Pearce, 2008).

2.1.3 Anatomi telinga dalam

Telinga dalam terdiri dari dua bagian, yaitu labirin tulang dan labirin membranosa. Labirin tulang terdiri dari koklea, vestibulum, dan kanalis semisirkularis, sedangkan labirin membranosa terdiri dari utrikulus, sakulus, duktus koklearis, dan duktus semisirkularis. Rongga labirin tulang dilapisi oleh lapisan tipis periosteum internal atau endosteum, dan sebagian besar diisi oleh trabekula (susunannya menyerupai spons) (Pearce, 2008).

Koklea (rumah siput) berbentuk dua setengah lingkaran. Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala vestibuli (sebelah atas) dan skala timpani (sebelah bawah). Diantara skala vestibuli dan skala timpani terdapat skala media (duktus koklearis) (Sherwood L., 2001). Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa dengan konsentrasi K+ 4 mEq/l dan Na+ 139 mEq/l, sedangkan skala media berisi endolimfa dengan konsentrasi K+ 144 mEq/l dan Na+ 13 mEq/l. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut membrana vestibularis (Reissner’s Membrane) sedangkan dasar skala media adalah membrana basilaris. Pada membran ini terletak organ corti yang mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran. Organ Corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam yang berisi 3000 sel dan tiga baris sel rambut luar yang berisi 12000 sel. Ujung saraf aferen


(3)

dan eferen menempel pada ujung bawah sel rambut. Pada permukaan sel-sel rambut terdapat stereosilia yang melekat pada suatu selubung di atasnya yang cenderung datar, dikenal sebagai membran tektoria. Membran tektoria disekresi dan disokong oleh suatu panggung yang terletak di medial disebut sebagai limbus (Lee KJ, 2008).

Nervus auditorius atau saraf pendengaran terdiri dari dua bagian, yaitu: nervus vestibular (keseimbangan) dan nervus kokhlear (pendengaran). Serabut-serabut saraf vestibular bergerak menuju nukleus vestibularis yang berada pada titik pertemuan antara pons dan medula oblongata, kemudian menuju cerebelum. Sedangkan, serabut saraf nervus kokhlear mula-mula dipancarkan kepada sebuah nukleus khusus yang berada tepat dibelakang thalamus, kemudian dipancarkan lagi menuju pusat penerima akhir dalam korteks otak yang terletak pada bagian bawah lobus temporalis (Pearce, 2008).


(4)

2.2. Fisiologi Pendengaran

2.2.1 Fisiologi pendengaran normal

Daun telinga mengumpulkan suara dan menyalurkannya ke saluran telinga luar kemudian membrana timpani bergetar sewaktu terkena getaran suara. Daerah-daerah gelombang suara yang bertekanan tinggi dan rendah berselang-seling menyebabkan gendang telinga yang sangat peka tersebut menekuk keluar masuk seirama dengan frekuensi gelombang suara. Telinga tengah memindahkan gerakan bergetar membrana timpani ke cairan di telinga dalam. Pemindahan ini dipermudah oleh tulang-tulang pendengaran (maleus, inkus, dan stapes) yang berjalan melintasi telinga tengah. Ketika membrana timpani bergetar sebagai respons terhadap gelombang suara, rantai tulang-tulang tersebut juga bergerak dengan frekuensi yang sama, memindahkan frekuensi gerakan tersebut dari membrana timpani ke jendela oval. Tekanan di jendela oval akibat setiap getaran yang dihasilkan menimbulkan gerakan seperti gelombang pada cairan telinga dalam dengan frekuensi yang sama dengan frekuensi gelombang suara semula. Namun, diperlukan tekanan yang lebih besar untuk menggerakkan cairan. Tekanan tambahan ini cukup untuk menyebabkan pergerakan cairan koklea (Sherwood L., 2001).

Gerakan cairan di dalam perilimfe ditimbulkan oleh getaran jendela oval mengikuti dua jalur : (1) gelombang tekanan mendorong perilimfe pada membrana vestibularis ke depan kemudian mengelilingi helikotrema menuju membrana basilaris yang akan menyebabkan jendela bundar menonjol ke luar dan ke dalam rongga telinga tengah untuk mengkompensasi peningkatan tekanan, dan (2) “jalan pintas” dari skala vestibuli melalui membrana basilaris ke skala timpani. Perbedaan kedua jalur ini adalah transmisi gelombang tekanan melalui melalui membrana basilaris menyebabkan membran ini bergetar secara sinkron dengan gelombang tekanan (Tortora dan Derrickson, 2009).

Organ corti menumpang pada membrana basilaris, sehingga sel-sel rambut juga bergerak naik turun sewaktu membrana basilaris bergetar. Rambut-rambut


(5)

tersebut akan membengkok ke depan dan ke belakang sewaktu membrana basilaris menggeser posisinya pada membran tektorial sehingga menyebabkan saluran-saluran ion gerbang-mekanis terbuka dan tertutup secara bergantian. Hal ini mengakibatkan perubahan potensial berjenjang di reseptor, yang menimbulkan perubahan potensial berjenjang di reseptor, sehingga terjadi perubahan pembentukan potensial aksi yang merambat ke otak. Gelombang suara diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang dipersepsikan otak sebagai sensasi suara (Sherwood L., 2001).


(6)

Gambar 2.3. Transduksi Suara (Sherwood, L., 2001)

Getaran membrana timpani

Getaran tulang-tulang pendengaran

Getaran jendela oval

Gerakan cairan dalam koklea

Getaran membrana basilaris

Pembengkokan sel-sel rambut sewaktu pergerakan membrana basilaris menyebabkan perubahan posisi rambut-rambut tersebut dalam kaitannya dengan membrana tektorial di atasnya tempat rambut-rambut tersebut terbenam

Perubahan potensial berjenjang (potensial reseptor) di sel-sel reseptor

Perubahan kecepatan pembentukan potensial aksi yang terbentuk di saraf auditorius

Perambatan potensial aksi ke korteks auditorius di lobus temporalis otak untuk persepsi suara

Getaran jendela bundar

Penghamburan energi (tidak ada persepsi suara) Gelombang suara


(7)

2.2.2 Fisiologi gangguan pendengaran

Gangguan pendengaran atau ketulian dapat bersifat sementara atau menetap, parsial atau total. Ketulian ada tiga jenis, yaitu tuli konduktif (hantaran), tuli sensorineural (saraf), dan tuli campuran, bergantung mekanisme pendengaran yang kurang berfungsi secara adekuat (Sherwood L., 2001).

Gangguan pendengaran atau ketulian dibagi menjadi 2 tipe : (1) disebabkan oleh kerusakan koklea atau nervus auditorius (tuli saraf) dan (2) disebabkan oleh kerusakan struktur fisik telinga yang menjalarkan suara ke dalam koklea (tuli konduktif). Jika koklea atau nervus auditorius rusak, maka seseorang akan mengalami tuli permanen (Corwin, 2000). Sedangkan, jika koklea dan nervus tetap utuh tetapi sistem tulang pendengaran-timpani telah hancur atau mengalami ankilosis, gelombang suara masih dapat dikonduksikan ke dalam koklea melalui konduksi tulang dari pembangkit suara yang diletakkan pada kepala di atas telinga (Guyton & Hall, 2008).

2.3. Gangguan Pendengaran

2.3.1 Definisi gangguan pendengaran

Gangguan pendengaran merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kehilangan pendengaran di satu atau kedua telinga (WHO, 2006). Gangguan pendengaran adalah perubahan tingkat pendengaran yang mengakibatkan kesulitan dalam melaksanakan kehidupan normal, biasanya dalam hal memahami pembicaraan (Buchari, 2007).

Normalnya telinga manusia dapat mendengar suara berfrekuensi 20 - 20000 Hz dengan intensitas dibawah 80 dB. Jika seseorang secara terus- menerus mendengarkan suara di atas ambang normal, maka akan merusak fungsi sel-sel rambut sehingga terjadi gangguan pendengaran (Buchari, 2007).


(8)

2.3.2 Klasifikasi derajat gangguan pendengaran

Tabel 2.1. Klasifikasi derajat gangguan pendengaran menurut ISO

(International Standard Organization) dan ASA (American

Standard Association)

Derajat Gangguan Pendengaran ISO (dB) ASA (dB)

Pendengaran Normal 10-25 10-15

Ringan 26-40 16-29

Sedang 41-55 30-44

Sedang Berat 56-70 45-59

Berat 71-90 60-79

Sangat Berat > 90 > 80

2.3.3 Jenis gangguan pendengaran

A. Gangguan Pendengaran Konduktif

Gangguan pendengaran konduktif terjadi apabila terdapat kerusakan di telinga luar atau telinga tengah sehingga gelombang suara tidak dapat dihantarkan untuk menggetarkan cairan di telinga dalam (Sherwood L., 2001)

Gangguan pendengaran konduktif bisa disebabkan oleh gangguan pada telinga luar atau telinga tengah. Gangguan pada telinga luar yang dapat menyebabkan tuli konduktif misalnya atresia liang telinga, sumbatan oleh serumen, otitis eksterna sirkumskripta, osteoma liang telinga. Sedangkan gangguan pada telinga tengah yang dapat menyebabkan tuli konduktif adalah tuba katar/ sumbatan tuba eustachius, otitis media, otosklerosis, timpanosklerosis, hemotimpanum, dan dislokasi tulang pendengaran (Soetirto I., Hendarmin H., Bashiruddin J., 2007).

Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi dijumpai adanya sekret dalam kanal telinga luar, perforasi gendang telinga, ataupun keluarnya cairan dari telinga tengah. Pada


(9)

tes fungsi pendengaran, yaitu tes berbisik, dijumpai penderita tidak dapat mendengar suara berbisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata yang mengandung nada rendah (Soetirto I., Hendarmin H., Bashiruddin J., 2007).

B. Gangguan Pendengaran sensorineural

Pada gangguan pendengaran sensorineural gelombang suara dapat disalurkan ke telinga dalam, tetapi tidak diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang diinterpretasikan oleh otak sebagai sensasi suara yang disebabkan adanya kerusakan pada organ Corti (Sherwood L., 2001).

Gangguan pendengaran sensorineural dibagi dua, yaitu gangguan pendengaran sensorineural koklea dan retrokoklea. Gangguan pendengaran sensorineural koklea disebabkan oleh aplasia (kongenital), labirinitis (bakteri/ virus), intoksikasi streptomisin, kanamisin, garamisin, neomisin,kina, asetosal atau alkohol. Selain itu, bisa juga disebabkan oleh tuli mendadak (sudden deafness), trauma kapitis, trauma akustik, dan pajanan bising. Sedangkan gangguan pendengaran sensorineural retrokoklea disebabkan oleh neuroma akustik, tumor sudut pons serebellum, mieloma multiple, cedera otak, perdarahan otak, dan kelainan otak lainnya (Soetirto, I; Hendarmin, H; Bashiruddin, J., 2007).

Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi dijumpai kanal telinga luar dan selaput gendang telinga tampak normal. Pada tes berbisik dijumpai penderita tidak dapat mendengar suara berbisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata yang mengandung nada tinggi (Soetirto, I; Hendarmin, H; Bashiruddin, J., 2007).


(10)

Tabel 2.2. Hasil pemeriksaan pendengaran dengan menggunakan garpu tala

Tes Rinne Tes Weber Tes Swabach Diagnosis

Positif Tidak ada lateralisasi Sama dengan pemeriksa

Normal

Negatif Lateralisasi ke telinga yang sakit

Memanjang Tuli konduktif

Positif Lateralisasi ke telinga yang sehat

Memendek Tuli sensorineural

Catatan : pada tuli konduktif < 30 dB, Rinne bisa masih positif (Soetirto I., Hendarmin H., Bashiruddin J., 2007).

C. Gangguan Pendengaran Campuran

Gangguan pendengaran campuran merupakan kombinasi antara gangguan pendengaran konduktif dan sensorineural. Gejala yang timbul juga merupakan kombinasi kedua gangguan pendengaran tersebut. Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi dijumpai tanda-tanda seperti gangguan pendengaran sensorineural. Pada tes berbisik dijumpai penderita tidak dapat mendengar suara berbisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata bernada rendah maupun bernada tinggi. Tes garpu tala Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang sehat, dan Swabach memendek (Bashiruddin J, 2009).

2.3.4 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap gangguan pendengaran Gangguan pendengaran dapat disebabkan oleh pekerjaan (occupational hearing loss), misalnya akibat kebisingan, trauma akustik, dapat juga bukan disebabkan oleh pekerjaan (non-occupational hearing loss). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap gangguan pendengaran akibat pekerjaan adalah intensitas suara yang terlalu tinggi, usia karyawan, gangguan pendengaran yang sudah ada sebelum bekerja, tekanan dan frekuensi kebisingan, lama masa kerja, jarak dari sumber suara, gaya hidup pekerja di luar tempat kerja (Buchari, 2007).


(11)

Gambar 2.4. Faktor yang Berpengaruh terhadap Gangguan Pendengaran 2.4. Audiometri Nada Murni

Audiometri nada murni adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengukur sensivitas pendengaran dengan alat audiometer yang menggunakan nada murni (pure tone). Ambang nada murni diukur dengan intensitas minimum yang dapat didengar selama satu atau dua detik melalui hantaran udara (AC) ataupun hantaran tulang (BC) (Arini,2005).

Untuk pemeriksaan audiogram, dipakai grafik AC, yaitu dibuat dengan garis lurus penuh (intensitas yang diperiksa antara 125-8000 Hz) dan grafik BC, yaitu dibuat dengan garis terputus-putus (250-4000 Hz). Untuk telinga kiri dipakai warna biru, sedangkan telinga kanan dipakai warna merah (http:// scribd.com).

Derajat ketulian dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher: Ambang dengar (AD) =

3

AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz

Faktor internal:

- Umur - Masa kerja - Riwayat

penyakit

Gangguan pendengaran

Faktor eksternal:

- Alat pelindung telinga

- Riwayat pekerjaan Sumber kebisingan:

- Frekuensi kebisingan - Jenis kebisingan - Intensitas kebisingan - Sifat kebisingan


(12)

Kepustakaan terbaru menambahkan ambang dengar 4000 Hz dengan ketiga ambang dengar diatas, kemudian dibagi 4.

Ambang dengar (AD) =

4

AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz + AD 4000 Hz

Gambar 2.5. Gambaran audiogram pendengaran normal (Arini, 2005). Normal : AC dan BC sama atau kurang dari 25 dB

AC dan BC berimpit, tidak ada gap

Gambar 2.6. Gambaran audiogram gangguan pendengaran sensorineural (Arini, 2005).

Gangguan pendengaran sensorineural : AC dan BC lebih dari 25 dB


(13)

Gambar 2.7. Gambaran audiogram gangguan pendengaran konduktif (Arini, 2005).

Gangguan pendengaran konduktif : BC normal atau kurang dari 25 dB AC lebih dari 25 dB

Antara AC dan BC terdapat gap

Gambar 2.8. Gambaran audiogram gangguan pendengaran campuran (Arini, 2005).

Gangguan pendengaran campuran : BC lebih dari 25 dB


(1)

2.3.2 Klasifikasi derajat gangguan pendengaran

Tabel 2.1. Klasifikasi derajat gangguan pendengaran menurut ISO (International Standard Organization) dan ASA (American Standard Association)

Derajat Gangguan Pendengaran ISO (dB) ASA (dB) Pendengaran Normal 10-25 10-15

Ringan 26-40 16-29

Sedang 41-55 30-44

Sedang Berat 56-70 45-59

Berat 71-90 60-79

Sangat Berat > 90 > 80

2.3.3 Jenis gangguan pendengaran

A. Gangguan Pendengaran Konduktif

Gangguan pendengaran konduktif terjadi apabila terdapat kerusakan di telinga luar atau telinga tengah sehingga gelombang suara tidak dapat dihantarkan untuk menggetarkan cairan di telinga dalam (Sherwood L., 2001)

Gangguan pendengaran konduktif bisa disebabkan oleh gangguan pada telinga luar atau telinga tengah. Gangguan pada telinga luar yang dapat menyebabkan tuli konduktif misalnya atresia liang telinga, sumbatan oleh serumen, otitis eksterna sirkumskripta, osteoma liang telinga. Sedangkan gangguan pada telinga tengah yang dapat menyebabkan tuli konduktif adalah tuba katar/ sumbatan tuba eustachius, otitis media, otosklerosis, timpanosklerosis, hemotimpanum, dan dislokasi tulang pendengaran (Soetirto I., Hendarmin H., Bashiruddin J., 2007).

Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi dijumpai adanya sekret dalam kanal telinga luar, perforasi gendang telinga, ataupun keluarnya cairan dari telinga tengah. Pada


(2)

tes fungsi pendengaran, yaitu tes berbisik, dijumpai penderita tidak dapat mendengar suara berbisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata yang mengandung nada rendah (Soetirto I., Hendarmin H., Bashiruddin J., 2007).

B. Gangguan Pendengaran sensorineural

Pada gangguan pendengaran sensorineural gelombang suara dapat disalurkan ke telinga dalam, tetapi tidak diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang diinterpretasikan oleh otak sebagai sensasi suara yang disebabkan adanya kerusakan pada organ Corti (Sherwood L., 2001).

Gangguan pendengaran sensorineural dibagi dua, yaitu gangguan pendengaran sensorineural koklea dan retrokoklea. Gangguan pendengaran sensorineural koklea disebabkan oleh aplasia (kongenital), labirinitis (bakteri/ virus), intoksikasi streptomisin, kanamisin, garamisin, neomisin,kina, asetosal atau alkohol. Selain itu, bisa juga disebabkan oleh tuli mendadak (sudden deafness), trauma kapitis, trauma akustik, dan pajanan bising. Sedangkan gangguan pendengaran sensorineural retrokoklea disebabkan oleh neuroma akustik, tumor sudut pons serebellum, mieloma multiple, cedera otak, perdarahan otak, dan kelainan otak lainnya (Soetirto, I; Hendarmin, H; Bashiruddin, J., 2007).

Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi dijumpai kanal telinga luar dan selaput gendang telinga tampak normal. Pada tes berbisik dijumpai penderita tidak dapat mendengar suara berbisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata yang mengandung nada tinggi (Soetirto, I; Hendarmin, H; Bashiruddin, J., 2007).


(3)

Tabel 2.2. Hasil pemeriksaan pendengaran dengan menggunakan garpu tala

Tes Rinne Tes Weber Tes Swabach Diagnosis

Positif Tidak ada lateralisasi Sama dengan pemeriksa

Normal

Negatif Lateralisasi ke telinga yang sakit

Memanjang Tuli konduktif

Positif Lateralisasi ke telinga yang sehat

Memendek Tuli sensorineural

Catatan : pada tuli konduktif < 30 dB, Rinne bisa masih positif (Soetirto I., Hendarmin H., Bashiruddin J., 2007).

C. Gangguan Pendengaran Campuran

Gangguan pendengaran campuran merupakan kombinasi antara gangguan pendengaran konduktif dan sensorineural. Gejala yang timbul juga merupakan kombinasi kedua gangguan pendengaran tersebut. Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi dijumpai tanda-tanda seperti gangguan pendengaran sensorineural. Pada tes berbisik dijumpai penderita tidak dapat mendengar suara berbisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata bernada rendah maupun bernada tinggi. Tes garpu tala Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang sehat, dan Swabach memendek (Bashiruddin J, 2009).

2.3.4 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap gangguan pendengaran Gangguan pendengaran dapat disebabkan oleh pekerjaan (occupational hearing loss), misalnya akibat kebisingan, trauma akustik, dapat juga bukan disebabkan oleh pekerjaan (non-occupational hearing loss). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap gangguan pendengaran akibat pekerjaan adalah intensitas suara yang terlalu tinggi, usia karyawan, gangguan pendengaran yang sudah ada sebelum bekerja, tekanan dan frekuensi kebisingan, lama masa kerja, jarak dari sumber suara, gaya hidup pekerja di luar tempat kerja (Buchari, 2007).


(4)

Gambar 2.4. Faktor yang Berpengaruh terhadap Gangguan Pendengaran 2.4. Audiometri Nada Murni

Audiometri nada murni adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengukur sensivitas pendengaran dengan alat audiometer yang menggunakan nada murni (pure tone). Ambang nada murni diukur dengan intensitas minimum yang dapat didengar selama satu atau dua detik melalui hantaran udara (AC) ataupun hantaran tulang (BC) (Arini,2005).

Untuk pemeriksaan audiogram, dipakai grafik AC, yaitu dibuat dengan garis lurus penuh (intensitas yang diperiksa antara 125-8000 Hz) dan grafik BC, yaitu dibuat dengan garis terputus-putus (250-4000 Hz). Untuk telinga kiri dipakai warna biru, sedangkan telinga kanan dipakai warna merah (http:// scribd.com).

Derajat ketulian dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher: Ambang dengar (AD) =

3

AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz Faktor internal:

- Umur

- Masa kerja

- Riwayat

penyakit

Gangguan pendengaran

Faktor eksternal:

- Alat pelindung

telinga

- Riwayat pekerjaan

Sumber kebisingan:

- Frekuensi kebisingan - Jenis kebisingan - Intensitas kebisingan - Sifat kebisingan


(5)

Kepustakaan terbaru menambahkan ambang dengar 4000 Hz dengan ketiga ambang dengar diatas, kemudian dibagi 4.

Ambang dengar (AD) =

4

AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz + AD 4000 Hz

Gambar 2.5. Gambaran audiogram pendengaran normal (Arini, 2005). Normal : AC dan BC sama atau kurang dari 25 dB

AC dan BC berimpit, tidak ada gap

Gambar 2.6. Gambaran audiogram gangguan pendengaran sensorineural (Arini, 2005).

Gangguan pendengaran sensorineural : AC dan BC lebih dari 25 dB


(6)

Gambar 2.7. Gambaran audiogram gangguan pendengaran konduktif (Arini, 2005).

Gangguan pendengaran konduktif : BC normal atau kurang dari 25 dB AC lebih dari 25 dB

Antara AC dan BC terdapat gap

Gambar 2.8. Gambaran audiogram gangguan pendengaran campuran (Arini, 2005).

Gangguan pendengaran campuran : BC lebih dari 25 dB