Index of /ProdukHukum/kehutanan

Nomor 03, September 2006

PLAN
BULETIN

LOG

ISSN: 1858-3261

Oleh : Dr. Ir. Bambang Widyantoro, MMAgr.

P

ermasalahan pembangunan hutan tanaman (HT) sejak dicanangkan tahun 1984 pada seminar “kini menanam esok memanen”
merupakan bagian tidak terpisahkan dari pengkelolaan hutan secara menyeluruh. Kajian secara mikro (Perusahaan bidang kehutanan)
maupun makro (Sektor Kehutanan) perlu dilakukan pendekatan analisis, antara lain melalui pendekatan analisis makro dan analisis
komparasi.

Analisis Makroekonomi Sektor Kehutanan
Masa lalu kehutanan, sejak tahun 1972 yang ditandai dengan maraknya aktivitas logging pada hutan alam oleh HPH yang hingga kini
banyak meninggalkan berbagai masalah. Yang paling menonjol adalah makin menurunnya potensi hutan alam dari tahun ke tahun dan

degradasi hutan hingga 2.5 juta hektar per tahun. Kondisi ini tidak segera dipulihkan dengan penanaman/reboisasi sistem tebang pilih tanam
Indonesia. Di sisi lain hutan yang rusak, tanah kosong, alang-alang dan semak-belukar harus dilakukan penanaman dalam rangka
pembangunan HTI untuk memenuhi kekurangan bahan baku serpih dan/atau kayu pertukangan. Namun dalam perkembangannya,
pembangunan HT terhambat oleh berbagai persoalan kepastian kawasan, hukum, konflik lahan, tidak ada jaminan keamanan investasi, dan
lain-lain.
Sejak krisis ekonomi tahun 1997, produk kayu olahan (plywood dan sawntimber) mengalami penurunan (decline) atau pertumbuhan
yang negatif (-3.92). Di pihak lain, industri pulp Indonesia mengalami pertumbuhan positif 49%, kertas dan barang-barang dari kertas
tumbuh 20.72%. Dengan demikian, industri pulp dipandang sebagai andalan produk kehutanan di masa depan. Sedangkan produk kayu
olahan (plywood, sawntimber dan panel-panel kayu) harus mendongkrak kembali kinerjanya di masa depan, jika tidak ingin terperosok
dengan pertumbuhan negatif karena hanya mengandalkan pasokan kayu dari hutan alam. Oleh karena itu, kontribusi HT untuk memasok
kayu pertukangan menjadi penting.
Melalui pendekatan teori Keynesian, makroekonomi kehutanan dalam masa depresi yang panjang, investasi berupa pembangunan
HT dipengaruhi oleh tingkat suku bunga, depresiasi, modal (kapital + lahan), output sektor kehutanan, dan kebijakan pemerintah berupa Dana
Reboisasi. Pendekatan ini dipandang sesuai dengan perkembangan kehutanan pada khususnya, dan perkembangan makro ekonomi pada

P

DARI REDAKSI

aradoksal kepentingan ekonomi dan kepentingan ekologi dalam pengelolaan sumberdaya hutan, hamper selalu menjadi

topic optimalisasi pembangunan secara menyeluruh.
Benarkah argumen pelestarian sumberdaya seakan menjadi momok penghambat pertumbuhan ekonomi dan tidak adakah
argument ilmiah yang layak untuk merespon ataupun meredam paradoksal pembangunan tersebut?
Mengacu pada 3 (tiga) ide dasar terkait dengan kelestarian hutan yang menurut Graham Tyrie (2000) adalah ; keseimbangan
antara laju panen dengan laju penggantian pertumbuhan dan minimnya kerusakan akibat logging, maka persepsi paradoksal tersebut
bisa dikatakan sepenuhnya benar atau dengan kata lain ada persyaratan-persyaratan yang dapat mengoffset kondisi paradoks
tersebut.
Cara pandang perencanaan yang memperhatikan “keseimbangan” sebagaimana tersebut di atas, pada setiap tahap upaya
pembangunan (mulai dari masalah persepsi kawasan, pemanfaatan dan distribusi hasil) mudah-mudahan dapat meredusir
pertentangan kepentingan kehutanan dan non kehutanan, dengan pertambangan, trasmigrasi dan perkebunan misalnya.
Topik-topik dalam edisi tiga ini mencoba meramu cara-cara pandang tersebut, mudah-mudahan bermanfaat.

Redaksi

BULETIN

PLAN

LOG


Nomor 03, September 2006
umumnya.

Analisis Kualitatif dan Dampak Kuantitatif Kebijakan Hutan Tanaman
Kebijakan-kebijakan terkait dengan pembangunan HT telah banyak diterbitkan Pemerintah (C.q Departemen
Kehutanan), namun hingga kini belum menghasilkan output berupa pasokan bahan baku dari HT yang memadai, baik untuk
pasokan kayu serat maupun kayu perkakas. Analisis kebijakan ini ditinjau dari sisi kualitatif dan sisi lain secara kuantitatif dengan
dampaknya terhadap kinerja sektor kehutanan.

Analisis Kualitatif Kebijakan
Kelangkaan pasokan kayu bulat, terutama BBS, dari hutan alam sebagai landasan asumsi kebijakan perdagangan
tertutup ternyata faktanya adalah penawaran kayu bulat hutan alam jauh lebih besar dibandingkan dengan pasokan kayu bulat dari
HT di pasar domestik (Gambar 2). Namun substansi kebijakan perdagangan tidak menunjukkan re-orientasi atas fakta yang

Gambar 2. Perkembangan permintaan dan pasokan kayu bulat BBS

produksi dan konsumsi BBS

x 1000 m3


25.000,00

Unrecorded

20.000,00

Produk HT
BBS*
Produk
Konversi+HR
Konsumsi
BBS

15.000,00
10.000,00
5.000,00

19

84


19
86
19
88
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02


-

Tahun
Sumber: Widyantoro, 2005 (diolah)

secara kontekstual dihadapi.
Ekstensifikasi investasi HT telah memberikan peluang memperbolehkan konversi hutan alam menjadi HT. Peluang ijin
konversi tersebut menyebabkan aliran komoditas kayu bulat hutan alam masuk kedalam pasar domestik dengan jumlah yang
besar serta dengan biaya yang relatif jauh lebih murah. Implikasi logis kebijakan tersebut mendorong berkembangnya pasar
komoditas yang distortif terhadap tujuan pengembangan pasar domestik kompetitif untuk HT.
Persoalan inkonsistensi asumsi kebijakan terhadap perkembangan substansi kebijakan menyebabkan terbentuknya
pola hubungan divergentif antar kebijakan. Pola hubungan divergentif tersebut, tampak disatu sisi kebijakan memberikan insentif
yang sangat besar terhadap faktor domestik (lahan, tenaga kerja dan modal) namun di sisi lain kebijakan menyebabkan dis-insentif
melalui pembentukan pasar distortif, yang menyebabkan timbulnya efek trade off dan in-efisiensi (Gambar 3)
Inkonsistensi kebijakan serta pola hubungan kebijakan yang berdampak inefisiensi merupakan indikasi penting yang
merujuk pada lemahnya kelembagaan. Reorientasi substansi kebijakan pasca tahun 1997/1998 lebih tampak sebagai aksi
kebijakan dalam mengakomodasikan isu-isu politik yang dicirikan oleh gerakan sosial yang merebak di seluruh wilayah
pengelolaan sumberdaya tanfa melakukan evaluasi terhadap kesesuaian dengan asumsi kebijakan itu sendiri. Perubahan luas
kawasan maksimum unit pengelolaan yang sebelumnya diatur oleh PP 7/1990 menjadi kawasan lebih kecil menurut PP 6/1999
menyebabkan pemotongan kawasan yang selama ini telah dikelola. Demikian juga pemberian hak kompensasi kepada

masyarakat lokal atas kehilangan akses terhadap hutan, yang diatur oleh UU 41/1999 tmenyebabkan merebaknya klaim-klaim
atas perluasan lahan masyarakat untuk memperoleh kompensasi yang lebih besar.

Analisis Dampak Kuantitatif Kebijakan
Adanya pola hubungan divergentif antar kebijakan yang mendorong terbentuknya efek trade off, secara kuantitatif, dapat
dibuktikan dengan melakukan sejumlah studi kasus. Seperti diuraikan diatas, bahwa sejumlah kebijakan memberikan efek
disinsentif, terutama kebijakan berkenaan dengan pasar komoditas kayu bulat yang menyebabkan distorsi, sedangkan di sisi lain
sejumlah kebijakan bersifat insentif, berkenaan dengan sejumlah insentif terhadap sumber daya domestik (lahan, tenaga kerja dan
modal).

Halaman

2

Analisis kuantitatif menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM) pada beberapa unit hutan tanaman pola patungan dan BUMN di
Sumatera dan Kalimantan Selatan mampu mengungkap dampak kuantitatif masing-masing kelompok kebijakan tersebut.

Nomor 03, September 2006

Gambar 3.


Pola hubungan antar kebijakan hutan tanaman serta dampaknya.

BULETIN

1. Terdapat insentif terhadap sumberdaya domestik (lahan, tenaga kerja, modal) berkisar Rp2 juta s.d Rp6 juta per hektar.

PLAN

Berdasarkan hasil penelitian di empat unit hutan tanaman menunjukkan bahwa:

LOG

Sumber: Rukmantara, 2006
2. terdapat disinsentif berupa kehilangan potensi pendapatan kotor (bruto) akibat kebijakan larangan ekspor dan konversi hutan
alam sebesar Rp3 s.d. Rp7 juta per hektar.

Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Komoditas Hutan Tanaman
Hal terpenting bagi ukuran komoditas adalah memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif sehingga mampu bersaing di pasar
dengan komoditas pesaingnya. Oleh karena itu sangat perlu diketahui apakah komoditas dari HT yang ada saat ini memiliki salah

satu atau keduanya dari kriteria keunggulan tersebut. Kajian ini akan memberikan sugesti yang baik baik pengambil keputusan.

Keunggulan Komparatif Sistem Komoditas Hutan Tanaman
Keunggulan komparatif sistem komoditas hutan tanaman (efisiensi ekonomi) didefinisikan sebagai kemampuan sistem
komoditas untuk memperoleh keuntungan ekonomi pada kondisi pasar persaingan sempurna (tidak ada distorsi kebijakan).
Indikator yang digunakan dalam analisis keunggulan komparatif adalah keuntungan ekonomi bersih, B/C ratio.
Hasil analisis pada empat unit investasi HTI di Kalimantan dan Sumatera sebagai berikut:
1.

Komoditas BBS secara umum tidak memiliki keunggulan komparatif di lokasi penelitian (Kalimantan). Hal ini berbeda dengan
lokasi Sumatera. Hal ini disebabkan dua hal yaitu penggunaan teknologi dan pemilihan kualitas lahan/lokasi. Produktifitas
lahan di unit contoh di Sumatera Selatan sebesar 150 m3/ha/daur sedangkan di unit contoh Kalimantan Selatan rata-rata 98
m3/ha.

2.

Komoditas kayu pertukangan memiliki keunggulan komparatif di seluruh unit HT contoh, baik di Sumatera maupun di
Kalimantan.

3.


Jenis komoditas Karet memiliki keunggulan komparatif paling tinggi dibandingkan dengan komoditas kayu akasia dan
eukaliptus.

Secara teknis hasil analisis memberikan indikasi bahwa kombinasi penggunaan teknologi dan pemilihan kualitas lahan
merupakan salah satu faktor dalam menentukan keunggulan komparatif sistem komoditas hutan tanaman. Kedua faktor tersebut
harus menjadi pertimbangan dalam pemilihan lokasi dalam pengembangan investasi hutan tanaman.

Keunggulan Kompetitif Sistem Komoditas Hutan tanaman
Berbeda dari keunggulan komparatif, maka keunggulan kompetitif didefinisikan sebagai kemampuan sistem komoditas dalam
menghasilkan keuntungan finansial pada pasar yang dihadapi secara riil. Analisis keunggulan kompetitif didasarkan pada sistem
harga-harga pada pasar yang berlaku (dihadapi). Hal ini berarti sistem pasar baik pasar input, faktor domestik maupun pasar
komoditas telah dipengaruhi oleh intervensi kebijakan pemerintah.
Halaman

3

BULETIN

PLAN


LOG

Nomor 03, September 2006
Hasil analisis dari empat hutan tanaman menunjukkan bahwa :
1. Komoditas BBS tidak memiliki keunggulan kompetitif (tidak layak finansial) di seluruh unit contoh, kecuali di Sumatera Selatan.
2. Kayu pertukangan memiliki keunggulan kompetitif pada seluruh unit contoh (B/C ratio antara 1.3 1.7).
3. Kayu pertukangan Karet menunjukkan keunggulan kompetitif yang tertinggi dibandingkan jenis lain (Akasia).
Berdasarkan hasil kajian tersebut maka disimpulkan bahwa :
1. Kebijakan larangan ekspor, konversi menyebabkan harga pasar rendah sehingga merugikan produsen BBS (disinsentif).
2. Kebijakan insentif berupa; subsidi lahan (sewa lahan mendekati nol rupiah per hektar per tahun), kebijakan UMR dan pinjaman
DR 0% tidak memberikan dampak positif karena kerugian yang lebih besar akibat butir 1.
3. Komoditas kayu pertukangan baik Akasia maupun karet memberikan keuntungan finansial yang lebih baik daripada BBS.
4. Komoditas karet memberikan keuntungan terbaik diantara seluruh komoditas hutan tanaman pada unit analisis.
Dengan demikian maka kebijakan yang perlu diperbaiki adalah kebijakan berkaitan dengan pasar komoditas, antara lain
penghentian kebijakan konversi hutan alam, pencabutan larangan ekspor kayu BBS hutan tanaman, pemilihan kelas perusahaan
(BBS & Pertukangan) sesuai dengan tujuannya.

Skenario Pemenuhan Bahan Baku Kayu
Skenario pemenuhan bahan baku terbagi dua, yaitu skenario optimistik dan pesimistik. Pembagian skenario ini didasarkan pada
pertimbangan luasan pencadangan areal untuk investasi HT dan produktifitas lahan. Proyeksi hingga tahun 2030 (jangka
panjang) akan tumbuh industri pulp sebanyak 26 unit. Saat ini telah terbangun dan beroperasi sebanyak 13 unit (10 unit
terintegrasi dan 3 unit sisanya tidak terintegrasi). Asumsi dasar adalah pasar berada dalam persaingan sempurna.
Skenario Optimistik (Jangka Panjang)
Skenario pemenuhan bahan baku dibuat untuk 25 tahun yang akan datang, dengan asumsi pencadangan areal untuk investasi
hutan tanaman seluas 9,3 juta hektar dengan produktifitas lahan sebesar 200 m3/ha. Telah terealisasi hingga saat ini seluas 2,5
juta hektar. Jadi sisa areal sebesar 6,8 juta hektar. Untuk perhitungan skenario dibawah ini akan menggunakan sisa areal tersebut
(6,8 juta hektar).
R Untuk 26 unit pulpmill dengan kapasitas masing-masing 800.000 ton per tahun akan menghasilkan 20,8 juta ton pulp.
Diasumsikan jika seluruh bahan baku berasal dari kayu, maka kebutuhan kayu bulat BBS sebesar 93,6 juta ton BBS atau
setara dengan 112,32 juta m3 BBS.
R Perkiraan pasokan dengan skenario ini berasal dari 6,8 juta hektar. Dari luas tersebut dialokasikan untuk BBS seluas 4,3 juta
hektar dan alokasi untuk kayu pertukangan sebesar 2.5 juta hektar. Dari luas tersebut maka pasokan BBS sekitar 107,5 juta
m3 (luas tebangan tahunan 537.500 hektar). Sedangkan untuk kayu pertukangan sebesar 41,7 juta m3 (luas tebangan
tahunan 166.800 hektar).
Dengan skenario ini diharapkan pasokan bahan baku baik untuk BBS maupun kayu pertukangan terjadi surplus produksi (tahun
2030). Porsi kayu untuk bahan baku serpih dari sumber HTI berkisar 80% dan HTI-kayu pertukangan sebesar 20%.
Skenario Pesimistik (Jangka Panjang)
Skenario pemenuhan bahan baku dibuat untuk 25 tahun yang akan datang, dengan asumsi pencadangan areal untuk investasi
hutan tanaman seluas 9,3 juta hektar dengan produktifitas lahan sebesar 105 m3/ha. Asumsi produktifitas sebesar 105 m3/ha
(BBS) dan 150 m3/ha untuk kayu pertukangan, dengan peertimbangan bahwa pengalokasian lahan untuk HT pada umumnya
adalah tanah marjinal (miskin hara) dimana perkembangan teknologi sangat lambat. Telah terealisasi hingga saat ini seluas 2,5
juta hektar. Jadi sisa areal sebesar 6,8 juta hektar. Untuk perhitungan skenario dibawah ini akan menggunakan sisa areal tersebut
(6,8 juta hektar).
R Untuk 26 unit pulpmill dengan kapasitas masing-masing 800.000 ton per tahun menghasilkan 20,8 juta ton pulp. Diasumsikan
jika seluruh bahan baku berasal dari kayu, maka kebutuhan kayu bulat BBS sebesar 93,6 juta ton BBS atau setara dengan
112,32 juta m3 BBS.
R Perkiraan pasokan dengan skenario ini berasal dari 6,8 juta hektar. Dari luas tersebut dialokasikan untuk BBS seluas 4,3 juta
hektar dan alokasi untuk kayu pertukangan sebesar 2,5 juta hektar. Dari luas tersebut maka pasokan BBS sekitar 56,5 juta m3
per tahun (luas tebangan tahunan 537.500 hektar) juta m3 Sedangkan untuk pertukangan 25 juta m3 (luas tebangan 166.800
hektar).
Mengingat skenario pesimistik ini tidak dapat memenuhi permintaan, maka sisa kebutuhan dipenuhi dari penanaman di kawasan
open access, atau dicari sumber lain sebagai alternatif pasokan kayu. Sumber alternatif tersebut dapat berasal dari Hutan Rakyat
(HR) dimana lahannya dibebani hak milik dan/atau Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang lahannya berada dalam kawasan hutan
produksi.

Halaman

4

Skenario Jangka Pendek
Untuk mengatasi persoalan kesenjangan bahan baku kayu bulat saat ini, baik untuk BBS mauoun untuk kayu pertukangan
dilakukan skenario sebagai berikut:
R Penurunan kapasitas produksi industri melalui downsizing yang dapat dilakukan dengan kebijakan.
R Atau, pemanfaatan potensi yang belum dapat dipanen sekitar 15 juta m3 yang lokasinya tersebar terutama di Kalimantan
dan Sumatera. Oleh karena harga kayu dari HT belum baik, maka kayu-kayu ini tidak diproduksi dan dijual. Rata-rata dari

Nomor 03, September 2006
BULETIN

PLAN
LOG

Gambar 4.

Pergeseran kurva permintaan agregat (AD-1) ke (AD-2) dan seterusnya
menghasilkan peningkatan output dan harga komoditas dari periode tahun
sebelumnya ke periode tahun berikutnya dengan harga kesetimbangan baru
pada harga P-2 dan kuantiti Y-2 lebih tinggi (Skenario Optimistik: Tahap I

produsen HT ini masih menunggu harganya baik (menguntungkan secara finansial).
Untuk skenario jangka pendek ini yang perlu dilakukan adalah perbaikan harga pasar komoditas HT. Disamping itu, secara teknis
industri pengolah kayu pertukangan segera menyesuaikan dengan ketersediaan bahan baku bersumber dari hutan tanaman
tersebut (rata-rata diameter kecil). Misalnya, dengan melakukan beberapa perubahan mesin-mesin industrinya yang disesuaikan
dengan bahan baku.

STRATEGI KEBIJAKAN
Dalam strategi kebijakan yang perlu diambil adalah (i) garis-garis besar kebijakan yang diperlukan guna mendorong
percepatan pembangunan HT, dan (ii) langkah-langkah strategis yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan dan sasaran
pembangunan HT sebagai pemasok industri primer kehutanan.
Ouline kebijakan meliputi pertama rencana aksi kebijakan yang merupakan tindakan penting dalam mendorong daya saing
komoditas bahan baku serpih, kedua keamanan investasi sebagai jaminan berusaha, dan ketiga terkait dengan debirokratisasi
pengurusan kehutanan.

Rencana Aksi Kebijakan

Uraian mengenai keunggulan komparatif sistem komoditas hutan tanaman, keunggulan kompetitif dan dampak kuantitatif
kebijakan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya menunjukkan bahwa kinerja kebijakan sangat lemah dalam mendorong
peningkatan daya saing komoditas hutan tanaman, terutama BBS. Rendahnya daya saing ini diduga sebagai penyebab utama
kegagalan pertumbuhan investasi hutan tanaman. Fenomena akumulasi standing stock kayu BBS yang tidak dapat dijual ke
pasar bebas (Gambar 4) menguatkan dugaan tersebut sehingga dukungan outline kebijakan baru menjadi penting dengan fokus
meningkatkan daya saing komoditas hutan tanaman, terutama BBS.
Prinsip dalam mendorong daya saing komoditas tersebut, melalui kebijakan, adalah dengan menggeser kurva permintaan
ke kanan atas (Gambar 4), sehingga titik output komoditas kayu BBS akan meningkat yang disebabkan oleh adanya peningkatan
harga komoditas di pasar. Disamping itu kebijakan tidak langsung yang dapat menciptakan distorsi (disinsentif) pasar komoditas
perlu dieliminasi, seperti kebijakan konversi yang menyebabkan aliran komoditas yang sama masuk ke pasar domestik dengan
harga yang jauh lebih murah.
Instrumen yang paling efektif untuk menggeser kurva agregat demand ke kanan atas adalah melalui pembukaan kran
ekspor kayu bulat BBS. Mengingat sifat BBS dan kayu pertukangan berbeda (seperti diuraikan sebelumnya) maka perlu ada
diferensiasi perlakuan kebijakan berkaitan dengan kebijakan perdagangan kayu bulat.
Pada pasar terdistorsi perbedaan harga di hutan antar lokasi hutan tanaman sangat tinggi berkisar antara 16-18 USD/m3
di TPn sedangkan harga pasar kompetitifnya pada lokasi yang sama berkisar antara USD 35-40 per m3. Atau, dengan
menggunakan kaidah 'rule of thumb' harga BBS sekitar 6-7% dari harga pulp di Asia-Pasifik. Melalui instrumen pembukaan kran
ekspor tersebut maka disparitas harga yang merujuk pada sistem inefisiensi dapat dihindarkan, mengingat pasar tidak ditortif
Halaman

5

BULETIN

PLAN

LOG

Nomor 03, September 2006
disamping kegagalan pasar akibat inperfect information dapat terhindarkan karena semua pihak akan dengan mudah memperoleh
informasi pergerakan harga komoditas dunia.
Melalui strategi kebijakan tersebut maka investasi hutan tanaman akan meningkat pesat, cateris paribus, mengingat
proyeksi keuntungan yang menarik. Hal ini, dalam hukum ekonomi, secara otomatis investasi hutan tanaman akan menjadi tujuan
investasi berbasis pengelolaan sumberdaya alam, tanpa harus ada ”pemaksaan” untuk menanam hutan tanaman. Hasil
penelitian pada beberapa unit hutan tanaman menunjukkan bahwa skenario pembukaan ekspor kayu bulat untuk BBS tersebut
menyebabkan investasi hutan tanaman memiliki potensi menjadi kompetitor terkuat investasi berbasis pengelolaan sumberdaya
lahan seperti kelapa sawit maupun perkebunan karet rakyat bahkan dengan pencabutan subsidi atas lahan sekalipun, yang
selama ini diberikan pemerintah dengan harga sewa yang sangat murah (hampir Rp 0 per hektar per tahun), masih mampu
memperoleh keuntungan yang menarik.
Namun jika pemerintah melalui kebijakan berorientasi untuk melindungi industri perkayuan maka kebijakan untuk
mewajibkan integrasi vertikal hilir-hulu perlu dilakukan untuk memastikan aliran produksi dan konsumsi bahan baku. Namun
skenario kebijakan tersebut menimbulkan banyak kelemahan-kelemahan. Kelemahan tersebut disamping rentan terhadap
fluktuasi makroekonomi sebagai faktor eksternal yang dapat berimbas pada sektor hulu juga investasi on-farm menjadi kurang
dihargai. Dengan demikian maka investasi hutan tanaman (on-farm) menjadi profit center dalam sistem industri perkayuan
menjadi penting untuk dipertahankan.

Keamanan Investasi (Investment security)

Untuk mendukung aksi kebijakan tersebut pada poin 4.1. maka dukungan kebijakan berkaitan dengan kepastian hukum
investasi sangat penting. Berbagai kendala atas lemahnya kepastian hukum selama ini telah menjadi momok calon investor
masuk ke wilayah Indonesia. Kebijakan pencabutan unit hutan tanaman melalui keputusan nomor 8678, ancaman pencabutan
atas ketidaklayakan teknis dan finansial SK Menhut nomor 43/Menhut-II/2004 sebenarnya tidak diperlukan mengingat ancaman
justru disebabkan oleh kebijakan yang tidak kondusif. Demikian juga kebijakan berkaitan dengan penvabutan insentif pendanaan
melalui Surat Edaran Menhutbun nomor 922/Menhutbun-VI/99 dan penghentian oleh SE Sekjen nomor 549/II-Keu/2000 perlu
segera dicarikan solusinya. Hal tersebut penting mengingat secara kontekstual akses pendanaan pada lembaga keuangan masih
sulit sementara LKA belum efektif.
Demikian juga kebijakan kontroversi dengan aksi kebijakan tersebut perlu dihilangkan untuk menghindari terjadinya efek
divergentif seperti yang telah terjadi pada periode kebijakan sebelumnya yang menyebabkan inefisiensi dan upaya insentif yang
diberikan jadi sia-sia. SK 101/Menhut-II/2001 yang diperbaiki dengan P.23/Menhut-II/2004 perlu evaluasi kembali berkaitan
dengan peluang konversi hutan alam menjadi kawasan investasi hutan tanaman. Walaubagaimanapun, dalam tataran makro
kebijakan tersebut akan menyebabkan aliran komoditas BBS masuk ke pasar domestik atau unit yang terintegrasi dengan industri
justru akan memanfaatkan aliran ini untuk konsumsi industri dan menimbulkan perlambanan dalam progres investasi unit hutan
tanamannya.

Debirokratisasi

Mengingat nature investasi hutan tanaman sangat berbeda dengan nature pengelolaan hutan alam, dimana sejumlah biaya
pada awal investasi diperlukan dalam jumlah yang besar dengan resiko yang tinggi, maka skenario komersial sudah merupakan
pertimbangan utama dalam investasi hutan tanaman. Hal ini berarti pola pengelolaan telah memiliki perencanaan yang lengkap
meliputi baik skedul maupun biaya serta proyeksi keuntungan sejak pembukaan lahan sampai dengan distribusi pemasaran.
Dengan demikian maka tidak lagi diperlukan pengaturan-pengaturan kebijakan yang merupakan domain kebijakan internal
manajemen hutan tanaman serta tidak diperlukan lagi kebijakan administratif lainnya yang mengikat yang dapat menimbulkan
disinsentif proses percepatan investasi hutan tanaman itu sendiri.
Kebijakan mengenai studi kelayakan (feaseability study, FS) disamping membutuhkan waktu lama, juga bukan merupakan
sesuatu yang harus diatur oleh pemerintah, mengingat FS adalah bagian integral dari proses pengelolaan usaha komersial yang
merupakan domain manajemen perusahaan. Perusahaan lebih tahu apa yang harus dilakukan untuk mengamankan investasi
serta membuat investasinya menguntungkan dengan mempertimbangkan potensi resiko-resiko yang akan dihadapi. Demikian
juga dalam proses pengesahan RKT yang membutuhkan waktu lama serta menimbulkan high cost economy. Mengaitkan ijin
pengesahan Rencana Karya Tahunan (RKT) dengan rescheduling pembayaran pinjaman DR dan lain-lain justru dapat
menimbulkan kekacauan proses percepatan mengingat kedua subjek tersebut tidak terkait secara substansial. Di satu sisi RKT
hutan tanaman, disamping merupakan aktifitas sejalan program kebijakan, juga membutuhkan likuiditas perusahaan untuk
membiayai progres penanaman sehingga hambatan kebijakan dengan mengaitkan RKT dan resheduling kontroversi dengan
semangat percepatan.
Oleh karena itu, dalam proses-proses perencanaan di atas yang perlu ditangani oleh Pemerintah hanya terkait Rencana
Karya Umum (RKU) untuk masa 10 atau 20 tahun. Sedangkan Rencana Karya Lima Tahun (RKL) dan Rencana Karya Tahunan
(RKT) cukup menjadi bagian investor saja. Disamping itu berbagai perangkat birokrasi perlu di perbaiki berkaitan dengan proses
pelayanan administrasi. Sejumlah proses administrasi masih dirasakan sulit yang disebabkan oleh panjangnya proses birokrasi.
======OOO======

Halaman

6

Nomor 03, September 2006

Bagian I :

BULETIN

Oleh : Drs. Heri Sunuprapto, Msc.1)

PLAN

Unit Pengelolaan Hutan
Posisinya Dalam Perencanaan Kehutanan

Pengantar

yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam dan lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Pada
umumnya para pihak telah sepakat bahwa hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa sudah seharusnya
dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hutan harus bisa memberi
manfaat secara lestari, bukan hanya bagi generasi sekarang akan tetapi juga untuk generasi mendatang.

LOG

Hutan bisa dapat dimengerti sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati

Hutan harus bisa dinikmati manfaatnya bagi generasi mendatang, generasi anak, cucu, cicit dan seterusnya. Generasi
yang mungkin tidak akan pernah dilihat oleh generasi sekarang namun ikut menanggung akibat perbuatan generasi sekarang dan
generasi terdahulu. Dari kesadaran lintas generasi ini maka muncul jargon bahwa hutan bukan warisan nenek moyang akan tetapi
titipan anak cucu.

Agar hutan lestari dan bisa memberi manfaat yang sebesar-besarnya, serbaguna untuk kemakmuran rakyat maka harus
ada yang mengelola hutan dan membuat perencanaan . Pada tataran konsep hampir semua pihak setuju bahwa hutan harus
dikelola dan sepakat akan pentingnya menjaga kelestarian hutan agar hutan bisa memberi manfaat lintas generasi. Namun
perbedaan pendapat mulai muncul pada saat menjawab pertanyaan siapa yang mengelola, bagaimana mengelolanya. Bahkan
pada tataran praktis perbedaan pendapat lebih banyak muncul lagi karena berbagai sebab.

Pendapat yang berbeda-beda tersebut bisa dimengerti sebagai akibat dari perbedaan latar belakang, perbedaan
pemahaman, perbedaan persepsi dan perbedaan kepentingan. Berbagai perbedaan pendapat tersebut seyogyanya tidak
menimbulkan perdebatan yang berlarut-larut yang justru kontraproduktif terhadap usaha pengelolaan hutan lestari. Perbedaan
pendapat dapat dihilangkan atau setidaknya dikurangi apabila semua pihak secara bersama mengacu pada suatu hal yang
disepakati bersama. Hal-hal yang disepakati bersama oleh para pihak terkait (stakeholders) dan ditetapkan oleh pihak yang
mempunyai otoritas adalah peraturan perundangan.
Unit Pengelolaan Hutan dan Perencanaan Kehutanan dalam Peraturan Perundangan.
Peraturan perundangan terkait unit pengelolaan hutan atau yang dapat dijadikan acuan untuk bersepakat serta
memahami Unit Pengelolaan Hutan adalah :


UndangUndang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan



Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan
Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan (dalam proses revisi)



Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan
Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa salah hal yang harus dilakukan dalam

pengurusan hutan adalah melakukan perencanaan kehutanan dan melakukan pengelolaan. Dalam PP nomer 44 tahun 2004
diuraikan pengertian Perencanaan Kehutanan adalah proses penetapan tujuan, penentuan kegiatan dan perangkat yang
diperlukan dalam pengurusan hutan lestari untuk memberikan pedoman dan arah guna menjamin tercapainya tujuan
penyelenggaraan kehutanan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Halaman

7

LOG

Nomor 03, September 2006
Selanjutnya UU 41 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa salah satu kegiatan dalam perencanaan kehutanan adalah
pembentukan wilayah pengelolaan hutan. UU 41 juga memandatkan untuk membentuk wilayah pengelolaan hutan pada berbagai
tingkat. Disebutkan pada pasal 17 bahwa pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat: propinsi,
kabupaten/kota, dan unit pengelolaan.
Menurut Pasal 3 PP 44 kegiatan Perencanaan Kehutanan meliputi kegiatan sebagai berikut:

BULETIN

PLAN

a. Inventarisasihutan;
b. Pengukuhankawasanhutan;
c. Penatagunaankawasanhutan;
d. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan; dan
e. Penyusunan rencana kehutanan.
Dari pasal 3 PP44 diatas terlihat bahwa posisi kegiatan untuk mewujudkan wilayah pengelolaan yaitu Pembentukan
Wilayah Pengelolaan Hutan merupakan salah satu kegiatan dalam rangkaian kegiatan Perencanaan Kehutanan.
Pengertian masing-masing wilayah pengelolaan dalam menurut Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2004 adalah sebagai berikut:

·
·
·

Wilayah pengelolaan hutan tingkat Provinsi adalah seluruh hutan dalam wilayah Provinsi yang dikelola secara efisien dan
lestari.
Wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota adalah seluruh hutan dalam wilayah kabupaten/kota yang dikelola
secara efisien dan lestari.
Unit pengelolaan hutan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat
dikelola secara efisien dan lestari.

Terkait dengan pembentukan wilayah pengelolaan adalah kegiatan tata hutan. Tata hutan dilaksanakan dalam rangka
pengelolaan kawasan hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari. Disebutkan bahwa
dalam UU tentang Kehutanan tersebut bahwa Tata Hutan adalah kegiatan rancang bangun unit pengelolaan hutan, mencakup
pengelompokan sumber daya hutan sesuai dengan tipe ekosistem dan potensi yang terkandung didalamnya dengan tujuan untuk
memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat secara lestari.
Selanjutnya dalam UU 41 tahun 1999 digariskan bahwa kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan,
pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan dilaksanakan pada wilayah hutan dalam bentuk Unit atau Kesatuan
Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), Unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), dan Unit atau Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Unit pengelolaan dimaksud adalah Kesatuan Pengelolaan Hutan terkecil yang dapat
dikelola secara efisien dan lestari.
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah diatas telah mengamanatkan dan mengatur untuk membentuk unit
pengelolaan hutan atau kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dalam berbagai fungsi hutan. Bahkan berbagai kegiatan kehutanan
harus dilaksanakan dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan. Pada tataran ini nampaknya banyak pihak telah sepakat,
pertanyaan berikutnya adalah siapa, bagaimana dan kapan membentuk unit pengelolaan hutan adalah masalah yang harus
dipikirkan dan dijawab bersama.

>>>>>>>>>0O0